Pengelolaan Partai Politik Menuju Partai Politik yang Modern dan Profesional

PENGELOLAAN PARTAI POLITIK MENUJU PARTAI POLITIK YANG
MODERN DAN PROFESIONAL
Muryanto Amin1

Pendahuluan
Konstitusi Negara Republik Indonesia menuliskan kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan oleh undang-undang dasar. Makna kedaulatan rakyat
yang disepakati tersebut diterjemahkan sebagai sebuah asas, pendirian dan
dilaksanakan berdasarkan sistem konstitusi karena seluruh tugas dan kewenangan
negara, seperti pembuatan undang-undang (UU), pelaksanaan UU, dan penghakiman
pelanggaran UU akan dilaksanakan oleh rakyat secara bersama-sama. Jika merujuk
pada sila keempat Pancasila yaitu “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”, maka representasi
kedaulatan rakyat diatur dalam kelembagaan negara.
UUD 1945 antara lain mengatur pembentukan DPR, DPD, dan DPRD melalui
pemilihan umum, MPR sebagai gabungan DPR dengan DPD, pemilihan presiden dan
wakil presiden, pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota secara demokratis. Artinya,
kedaulatan rakyat atau demokrasi yang diadopsi UUD 1945 bukan demokrasi
langsung melainkan demokrasi tak langsung (representative democracy) karena partai
politik yang menawarkan calon. Bila demokrasi tak langsung yang diadopsi, peran
parpol sangat diperlukan untuk menggerakkan demokrasi perwakilan dan

pemerintahan demokratis.
Kontribusi partai politik dalam sistem perwakilan sangat menentukan baik
atau buruknya kualitas pelaksanaan demokrasi. Peran partai politik menjadi sangat
penting dalam mengurai persoalan publik, mendorong perbaikan kebijakan, dan
memastikan perbaikan tersebut dilaksanakan. Oleh karena peran yang dimiliki partai
politik itu, maka cepat atau lambannya konsolidasi demokrasi sangat tergantung dari
pengelolaan partai politik dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Makalah ini akan
membahas pentingnya pengelolaan partai politik yang modern dan profesional untuk


1 Dosen Ilmu Politik FISIP USU dan Ketua Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Cabang Medan.



1

menjaring, menganalisis, melaksanakan dan mengevaluasi aspirasi konstituennya
serta mengedepankan kepentingan nasional.

Peran parpol

Peran penting yang dimiliki partai politik ditulis sangat jelas dalam UUD 1945
yaitu mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, dan menjadi peserta
pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD. Selain dua peran itu, undang-undang
yang mengatur pemilihan gubernur, bupati dan wali kota menugaskan parpol untuk
mengajukan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk dipilih
rakyat. Konstitusi maupun undang-undang memberikan ruang partai politik untuk
bertugas sebagai bagian dari penentu kebijakan publik di DPR, DPRD Provinsi dan
DPRD

Kabupaten/Kota,

serta

memfasilitasi

pemerintahan

presidensial

dan


pemerintahan daerah.
Sebagai peserta pemilu anggota DPR dan DPRD, parpol tak saja bersaing
dengan partai lain untuk menarik simpati dan kepercayaan rakyat melalui kampanye
pemilu, tetapi juga menentukan siapa calon anggota DPR dan DPRD, serta
menetapkan visi, misi, dan program partai sebagai materi kampanye. Singkat kata,
parpol ditugaskan terutama mempersiapkan calon pemimpin sekaligus rencana
kebijakan publik untuk ditawarkan kepada rakyat pada masa kampanye pemilu.
Ilmu politik mengajarkan bahwa partai politik dipandang sangat mutlak
diperlukan agar berfungsinya demokrasi.2 Akan tetapi, parpol saja tak cukup untuk
membuat demokrasi berfungsi. Diperlukan faktor lain, seperti pembagian kekuasaan
negara secara berimbang dan saling mengecek, rule of law (nomokrasi), dan
partisipasi politik warga negara. Parpol dipandang sebagai faktor yang mutlak
diperlukan untuk menggerakkan demokrasi perwakilan dan pemerintahan demokratis
karena tiga peran yang dilaksanakan.3
Pertama, parpol sebagai jembatan antara warga negara dengan negara. Untuk
itu parpol melakukan rekrutmen warga negara menjadi anggota parpol, dan
menjadikan parpol wahana partisipasi politik warga negara. Kedua, parpol

2

Larry Diamond and Richard Gunther. 2001. (eds) Political Parties and Democracy. The John
Hopkins University Press. Baltimore & London. hal. 10.
3
Lihat Friedrich-Ebert-Stiftung (FES). 2012. Peran Partai Politik Dalam Sebuah Sistem Demokrasi:
Sembilan Tesis. Jakarta.



2

menyiapkan calon pemimpin dan menawarkannya ke rakyat pada masa kampanye
pemilu. Untuk fungsi kedua, parpol melakukan kaderisasi anggota menjadi kader
partai, menugaskan kader partai melakukan berbagai jenis kegiatan partai, seperti
mendampingi anggota DPR atau DPRD, mendampingi kader partai yang menjadi
kepala daerah atau menteri, memimpin kepanitiaan kegiatan partai, mendengarkan
dan merumuskan suara rakyat, dan menominasikan kader partai yang telah teruji
menjadi calon berbagai jenis pemilu. Ketiga, merumuskan pola dan arah kebijakan
publik dalam berbagai bidang isu publik dan kemudian menawarkannya kepada
rakyat pada kampanye pemilu. Untuk fungsi ini, parpol melakukan tiga hal
berinteraksi dengan dan mendengarkan aspirasi berbagai lapisan masyarakat,

menjabarkan ideologi partai menjadi preskripsi yang berfungsi sebagai penuntun
kebijakan partai, dan merumuskan pola dan arah kebijakan publik.
Agar berfungsi, parpol melakukan tiga hal dalam menggerakkan rakyat
pemilik kedaulatan untuk berperan serta dalam pemilu: membuat warga negara peduli
politik, menyiapkan dan menyederhanakan alternatif pilihan calon, dan menyiapkan
dan menyederhanakan alternatif pilihan pola dan arah kebijakan publik. Merujuk
fungsi

seperti

ini,

parpol

memang

sangat

membantu


rakyat

menyatakan

kedaulatannya.
Parpol akan dapat melaksanakan ketiga fungsi ini jika parpol dikelola
berdasarkan tiga karakteristik berikut. Pertama, parpol sebagai pengorganisasian
warga negara dikelola secara demokratis berdasarkan prinsip "kedaulatan partai
berada di tangan anggota". Pengelolaan parpol secara demokratis berarti pengambilan
keputusan partai dilakukan secara inklusif (melibatkan semua anggota dan semua
unsur partai) dan desentralistik (pengambilan keputusan untuk sebagian persoalan
partai diserahkan kepada cabang/daerah, tetapi cabang juga harus inklusif).
Pengambilan keputusan yang harus inklusif dan desentralistik tersebut menyangkut
tiga isu: penentuan ketua partai dari tingkat lokal sampai nasional, penentuan calon
atau pasangan calon partai untuk berbagai jenis pemilu, dan pembahasan, penetapan
kebijakan partai baik untuk internal partai maupun untuk rencana kebijakan publik.
Kedua, untuk melaksanakan berbagai fungsi partai itu diperlukan dana tidak
sedikit. Untuk itu parpol perlu memiliki sumber dana yang memadai dari tiga sumber
yang relatif seimbang, yaitu negara, internal partai (iuran anggota, sumbangan kader,
dan usaha partai dalam bidang komoditas yang tak menimbulkan konflik kepentingan



3

dengan kedudukan kader partai dalam pemerintahan dan lembaga legislatif), dan dari
masyarakat (individu, kelompok, dan dunia usaha swasta). Agar tak tergantung
kepada negara, jumlah pengeluaraan partai tak boleh lebih dari 30 persen dari total
pengeluaran partai.
Sumber penerimaan dari negara diperlukan tak hanya karena partai
melaksanakan tugas yang diberikan konstitusi, tetapi juga untuk mencegah kontrol
penyandang dana dari masyarakat terhadap partai. Sumber dana dari partai tetap
diperlukan tak hanya agar elite partai akuntabel kepada anggota, tetapi juga untuk
mencegah dominasi negara dan masyarakat terhadap partai. Sumber dana dari
masyarakat diperlukan tidak saja untuk mencegah ketergantungan kepada negara,
tetapi juga agar elite partai peduli kepada masyarakat. Singkat kata, ketiga sumber
penerimaan ini diperlukan demi menjaga kemandirian partai.
Ketiga, parpol dibentuk dan digerakkan oleh suatu cita-cita politik tentang
suatu negara-bangsa dan individu warga negara yang dianggap ideal. Cita-cita politik
atau preskripsi tentang negara-bangsa ini merupakan penjabaran dari tujuan negara
dan UUD. Preskripsi tentang negara-bangsa seperti inilah yang dalam ilmu politik

disebut ideologi. Setiap parpol memiliki ideologi sebagai inspirasi, semangat dan
tujuan perjuangan partai. Ideologi dalam partai tak hanya berfungsi sebagai
"tontonan" sebagaimana ditunjukkan oleh tanda gambar, warna, bendera, jargon, dan
tokoh, tetapi terutama berfungsi sebagai "tuntunan" bagi tindakan partai sebagaimana
diperlihatkan oleh visi, misi, dan program partai.
Sebagai tuntunan, ideologi berfungsi untuk garis perjuangan partai, menjadi
pedoman dan pegangan bagi setiap anggota dan kader partai dalam mengelola partai
dan terutama dalam merumuskan pola dan arah kebijakan publik dalam berbagai
bidang isu publik. Oleh karena peran ideologi dalam partai seperti ini, maka parpol
lebih dikenal dari pola dan arah kebijakan publik yang diperjuangkan daripada figur
dan pesona ketua partai. Atas dasar itu, parpol akan dapat disimpulkan sebagai
penggerak demokrasi perwakilan dan pemerintahan demokratis jika telah mencapai
kelima indikator berikut.
Pertama, pengambilan keputusan partai dilakukan secara inklusif dan
desentralistik. Pengambilan keputusan partai tak diletakkan pada ketua umum atau
pengurus pusat melainkan pada semua anggota dan semua unsur dalam partai. Kedua,



4


mandiri dari segi penerimaan keuangan karena memperoleh dana dari tiga sumber
penerimaan (negara, internal partai, dan masyarakat) yang relatif berimbang. Ketiga,
semua kader partai yang duduk di lembaga legislatif dan/atau pemerintahan taat
kebijakan partai (disiplin partai). Kebijakan partai yang harus ditaati itu penjabaran
visi, misi, dan program partai yang dijanjikan kepada rakyat pada masa kampanye
pemilu. Kebijakan itu dirumuskan secara tertulis dan ditegakkan oleh pimpinan fraksi
di DPR dan DPRD begitu juga di pemerintahan. Kader yang bertindak "liar" alias di
luar garis partai dikenai sanksi mulai dari peringatan sampai pemberhentian (recall).
Keempat, parpol lebih dikenal dari pola dan arah kebijakan publik yang
diperjuangkannya daripada figur dan ketokohan ketuanya. Sehingga, memilih suatu
parpol pada hari pemungutan suara pada dasarnya bukan memilih kucing dalam
karung melainkan memilih pola dan arah kebijakan publik tertentu. Kelima, jumlah
pemilih yang mengidentifikasi diri dengan suatu parpol mencapai persentase yang
signifikan (party identification/PI). Jumlah PI seperti ini menggambarkan jumlah
anggota yang loyal kepada partai, dan menggambarkan jumlah pemilih yang bukan
swing voter dalam pemilu.

Belum ada yang memenuhi
Tampaknya belum ada parpol peserta pemilu di Indonesia yang telah

mencapai kelima indikator ini. Pertama, proses pengambilan keputusan masih
dilakukan secara oligarkis bahkan personalistik. Banyak kasus partai politik pada
Pemilu 2014 dan pemilihan kepala daerah yang berlanjut ke pengadilan terkait dengan
keputusan pencalonan dan hanya proses pencalonan yang dapat dilihat oleh
masyarakat. Sebenarnya jika diamati dan diteliti secara lebih utuh, maka akan banyak
kasus proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara oligarki atau
personalistik.4
Hampir seluruh partai politik peserta Pemilu 2014, mengajukan guguatan
calon anggota legislatif terpilih dari kalangan internalnya sendiri.5 Kasus tentang
konflik internal di Partai Golkar dan PPP menyebabkan proses pencalonan kepala

4

Beberapa hasil penelitian lihat Syamsudin Haris. (ed). 2005. Pemilu Langsung di Tengah Oligarki
Partai. Jakarta. PT. Gramedia.
5
Mahkamah Konstitusi mengadili 767 sengketa Pemilu 2014 dengan rincian 735 perkara diajukan oleh
partai politik dan 32 perkara diajukan oleh calon anggota DPD.




5

daerah menuai persoalan dan berlanjut di pengadilan. Mekanisme penyelesaian
konflik internal partai politik tidak cukup memberikan kepastian kepada kader yang
merasa dicurangi oleh caleg sesama partai pada saat pemilihan umum. Artinya,
ketidakpuasan hasil pemilu mengindikasikan adanya alur proses pengambilan
keputusan, yang terlihat dari pencalonan, tidak melibatkan pihak-pihak yang
berkepentingan.
Kedua, sumber penerimaan utama partai berasal dari kalangan elite internal
partai sehingga kurang peduli kepada anggota. Pendanaan kegiatan partai politik lebih
dominan diberikan dari elit partainya pada tingkat nasional maupun lokal. Donasi
tersebut menyebabkan lemahnya kemandirian partai politik dalam membuat
keputusan dan menentukan sikap jika bertentangan dengan kepentingan elit partai.
Kasus korupsi yang terjadi dalam anggaran pemerintah (APBN dan APBD) banyak
berkaitan dengan partai politik. Sebagai contoh, bukti-bukti dalam proses pengadilan
kasus korupsi Gubernur Sumatera Utara non aktif sangat kuat mengindikasikan
keterlibatan partai politik dan kadernya.
Sejumlah

studi

mandiri

yang

dilakukan

oleh

lembaga

independen

mengindikasikan temuan korupsi yang dilakukan partai politik.
Gambar 1
Indeks Partai Korupsi Periode 2002-2014

Sumber: http://antikorupsi.org

Ketiga, penegakan disiplin partai politik tidak selalu dilaksanakan secara
konsisten. Kader yang bertugas di lembaga legislatif, eksekutif, maupun lembaga
negara lainnya seharusnya tidak hanya memiliki sikap loyalitas kepada elit parpol
tetapi wajib menghayati ideologi partai politik. Kader parpol yang bersalah dalam


6

melaksanakan tugas harus diberikan sanksi yang sama, tetapi terkadang aturan itu
tidak berlaku bagi kader yang hanya mengandalkan loyalitas kepada elit parpol.
Keempat, partai lebih dikenal dari figur dan pesona ketuanya daripada pola
dan arah kebijakan publik yang diperjuangkan. Disiplin partai sangat rendah, bahkan
kader partai pendukung pemerintah lebih "gaduh" daripada kader dari partai oposisi.
Perdebatan yang terjadi di parlemen misalnya banyak yang tidak terkait dengan
substansi program atas dasar keyakinan ideologi, tetapi yang terjadi adalah semacam
debat kusir yang tidak jelas substansi materi yang dibahas dan arah kesimpulan
kebijakan yang akan diputuskan. Akibatnya, selalu saja ketua partai menjadi satusatunya rujukan dalam mengatasi perdebatan yang arahnya tidak sesuai dengan
ideologi parpolnya.6
Kelima, tidak ada parpol yang mencapai party identification secara signifikan,
dan jumlah swing voters mencapai sekitar 40 persen. Akibat fungsi partai tidak
dikelola secara profesional maka tidak ada basis pemilih partai yang besifat konsisten.
Setiap kali pemilu atau pilkada maka setiap daerah mengalami perubahan komposisi
partai politik dalam perolehan suaranya. Semua partai politik menawarkan program
yang sama (kesehatan dan pendidikan gratis, perbaikan dan peningkatan infrastruktur,
dan sebagainya), tidak ada pembeda dari program tersebut. Sehingga, pemilih bebas
memilih setiap partai politik karena tidak ada kekhasan atau kekhususan
menyelesaikan masalah keseharian pemilih di daerahnya.
Jika dilihat dari lima indikator di atas, maka partai politik peserta pemilu di
Indonesia umumnya belum mampu berperan sebagai penggerak demokrasi
perwakilan dan pemerintahan demokratis. Program reformasi telah berjalan hampir 18
tahun, konsolidasi demokrasi yang menitikberatkan berfungsinya partai politik
ternyata masih mengalami banyak persoalan. Politik tidak hanya diartikan pada saat
pemilu, pilpres, dan pilkada tetapi yang lebih penting adalah lahirnya kebijakan yang
konsisten dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan
konstitusi. Oleh karena itu, partai politik harus dikelola secara mandiri dan
profesional agar demokrasi menghasilkan kesejahteraan pemilihnya.


6

Sebagai contoh perdebatan tentang pemberian subsidi bahan bakar minyak di parlemen tahun 2013,
penyusunan susduk parlemen 2014, dan lain sebagainya.



7

Daftar Pustaka
Diamond, Larry and Richard Gunther. 2001. (eds) Political Parties and Democracy.
The John Hopkins University Press. Baltimore & London.
Friedrich-Ebert-Stiftung (FES). 2012. Peran Partai Politik Dalam Sebuah Sistem
Demokrasi: Sembilan Tesis. Jakarta.
Haris, Syamsudin. (ed). 2005. Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai. Jakarta.
PT. Gramedia.



8