KOMUNIKASI POLITIK ANTARA PARTAI POLITIK

1

KOMUNIKASI POLITIK ANTARA PARTAI POLITIK
DENGAN KONSTIUEN DAN SIMPATISAN
Sebuah perspektif Fenomenologi dan Sosiologi Politik1
Oleh : Muhammad Asratillah Senge2

Pendahuluan ; Sekilas mengenai Komunikasi Politik yang memerdekakan.
Komunikasi politik adalah hal yang sangat vital bagi sebuah partai politik.
Apa yang dimaksud dengan komunikasi politik ?. barangkali pertanyaan yang perlu
kita jawab terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan komunikasi adalah suatu aktivitas
atau proses transfer atau transformasi pesan (message) dari komunikator (yang
menyampaikan pesan) kepada komunikan (sasaran pesan) dengan menggunakan
pesan tertentu melalui media tertentu dan mengharapkan adanya respon atau efek
terhadap komunikan (sasaran pesan).
Lalu apa yang membedakan antara komunikasi politik dengan komunikasi
pada umumnya ?.Pada dasarnya komunikasi politik ditandai dengan muatan dan
kepentingan politik yang melatarbelakangi tindak komunikasi . Kalau aktivitas
komunikasi bisa dipecah menjadi 4 elemen dasar yaitu : 1. Komunikator 2.
Komunikan 3. Media dan 4. Efek, makadalam komunikasi politik komunikator yang
menyampaikan pesan adalah subjek atau pihak yang terlibat dalam institusi politik

formal atau bisa juga pihak yang memiliki kepentingan politik baik jangka pendek
atau jangka panjang atau komunikator adalah berupa lembaga politik. Bisa juga
1Ditulis

dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mengikuti TOT Partai Perindo
yang dilaksanakan oleh DPP Partai Perindo pada tanggal 14-16 Mei 2015 di Jakarta.
2Penulis lahir di Kota Parepare Sulawesi Selatan pada tanggal 4 September 1985,
Sekarang aktiv di DPW Partai Perindo Sulsel sebagai Wakabid Organisasi. Selain itu
juga aktif di beberapa Ormas, seperti Muhammadiyah dan JIMM, aktiv dalam
lingkar-lingkar diskusi di beberapa kampus seperti UNHAS, Univ.45, UMI,
UNISMUH dan UNM. Sekarang berprofesi sebagai staf pengajar di
FakultasTeknikUniversitas Veteran R.I Makassar.

2

dalam komunikasi politik komunikan yang menerima pesan merupakan sekelompok
orang yang berasosiasi kuat dengan lembaga politik tertentu, baik secara ideologis
maupun infrastruktur kelembagaan. Dan yang terpenting dalam komunikasi politik
adalah efek yang dihasilkan oleh tindakan komunikasi tersebut adalah efek yang
politis.

Apa yang dimaksud dengan efek politis ? Menurut Elly M. Setiadi dan
Usman Kolip, politik dapat di pahami sebagai proses pembentukan dan pembagian
kekuasaan. Sehingga kalau kita mengikuti definisi tersebut maka yang dimaksud
dengan efek politik adalah efek yang bisa mempengaruhi, merubah ataupun
mentransformasi proses pembentukan dan pembagian kekuasaan.3 Tapi perspektif kita
mengenai efek politik harus diperluas dengan menggunakan perspektif fenomenologi
politik.
Menurut Ito Prajna-Nugroho, politik dalam perspektif fenomenologi4 ,
bukanlah pertama-tama berkaitan dengan tindakan yang mekanis, rutin ataupun
proseduraltetapi politik adalah

Erlebnis yaitu pengalaman yang dihayati secara

eksistensial. Politik berkenaan dengan pengalaman akan dunia, perjumpaan dengan
diri sendiri dan orang lain, sekaligus konfrontasi di antara manusia yang sama-sama
bebas sejajar. Politik adalah sebuah bentuk penyingkapan cara berada manusia yang
senantiasa bergerak di antara keniscayaan dan kebebasan, bertahan di antara kesia3Elly

M. Setiadi dan Usman Kolip (2013) dalam buku Sosiologi Politik juga
menjelaskan bahwa politik juga dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda

misalnya ; (1) Politik dilihat sebagai usaha yang ditempuh warga Negara untuk
mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik arsitoteles); (2) politik dipahami sebagai
hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahandan Negara; (3) politik
merupakan kegaiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan di masyarakat; dan (4) politik adalah segala seuatu tentang proses
perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
4Fenomenologi adalah sebuah konsep filsafat yang diinisiasi oleh Edmund Husserl
dan dia tuangkan dalam buku Logische Untersuchungen (Penyelidikan-penyelidikan
logika). Intinya fenomenologi adalah sebuah konsep filosofis yang ingin mendekati
atau melibati dunia sebagai apa adanya, sebagai dunia yang dihayati, bukan dunia
yang telah ditelikung oleh konsep-konsep.

3

siaan dan kebermakanaan, bergulat diantara tatanan (order) dan ketak bertatanan
(chaos). Sehingga politik adalah ikhtiar eksistensial manusia dalam terlibat sekaligus
memaknai dirinya dan dunianya tanpa henti, sambil menyadari tidak adanya rumusan
final mengenai keterlibatan dan kebermaknaan.
Bagi penulis mengetengahkan politik dalam perspektif fenomenologis
sangatlah penting, karena kita membutuhkan perspektif baru dan segar mengenai

politik dan komunikasi politk. Walaupun bersifat preskriptif5, tetapi fenomenologi
dapat memberikan kita perspektif komunikasi politik yang bukan dalam relasi yang
mendominasi, di mana konstituen dan simpatisan hanya dijadikan sebagai objek
komunikasi politik belaka, sebagai pihak yang hanya ingin direkayasa respon dan
perilaku politiknya. Fenomenologi dapat memberikan orientasi kepada komunikasi
politik, agar efek politis dalam komunikasi politik harus diarahkan agar pihak-pihak
yang terlibat dalam komunikasi politik tersebut bisa makin terlibat dengan dirinya
dan dunianya secara semakin bermakna.6
Kita boleh berbangga dengan pencapaian demokrasi politik Indonesia saat ini,
tetapi jika kita melihatnya dengan cukup teliti, demokrasi politik di Indonesia masih
bersifat prosedural belaka, sehingga proses politik hanyalah bersifat instrumental.
Indonesia masih belum memiliki kultur- baik ide, tradisi dan perilaku- demokrasi
politik yang memadai. Perspektif fenomenologi dalam komunikasi politik dapat
membantu mematangkan kultur demokrasi politik di Indonesia.

5Haryatmoko

(2015), mengatakan bahwa, perlu menghadirkan kembali gagasangagasan normative dalam politik, karena politik bukan hanya soal kekuasaan tetapi
lebih substansial menyangkut soal kebaikan / kesejahteraan bersama dan keadilan.
6Persoalan makna adalah tema yang cukup penting dalam studi-studi humaniora

termasuk dalam Fenomenologi. Makna adalah sesuatu yang muncul akibat
keterlibatan (sorge) yang autentik antara manusia dengan dunianya, termasuk dalam
hal ini adalah politik. Makna ini lah yang akan melahirkan militansi, ketenangan,
sikap bijak dan bajik dalam hidup.

4

Menuju Hubungan Yang Relasional
Firmanzah (2007) dalam bukunya Marketing Politik, mengatakan bahwa
dalam era demokratisasi sekarang ini hubungan antara konstituen dengan partai
politik bukanlah hubungan yang ideologis tetapi merupakan hubungan yang sifatnya
sama dengan aktifitas pertukaran (exchange) yang terjadi dalam dunia marketing
pada sebuah perusahaan jasa. Dalam hal tertentu ini ada benarnya, kita tidak bisa
pungkiri bahwa seorang kandidat presiden, gubernur, kepala daerah atau anggota
legislatif jika ingin meraup suara signifikan dan memenangkan pemilihan maka dia
harus memiliki basis popularitas yang cukup baik, nanti dari popularitas inilah bisa
dibangun aksepbilitas (tingkat keberterimaan di masyarakat) lalu akhirnya
membangun basis elektibiltas (tingkat keterpilihan).7
Tetapi akan menjadi persoalan jika relasi politik antara elit politik dengan
konstituen hanya didasarkan pada citra belaka. Bukan citra politik nya yang menjadi

masalah, yang menjadi soal jika citra politik tersebut telah berbuah dusta, yaitu saat
citra politik yang “dikonsumsi” oleh masyarakat tidak sesuai dengan kenyataan ril
sang kandidat, inilah yang disebut dengan virtualitas 8 politik oleh Yasraf Amir
Pilliang (2004).
Strategi Marketing sebagai alat bukanlah sesuatu yang salah, tetapi yang
menjadi penting adalah jika actor-aktor politik yang bersaing yang menggunakan
instrument-instrumen dalam marketing politik telah memiliki kapabilitas, kapasitas
dan virtue yang rata-rata sama levelnya.

7Logika

marketing politik dalam memanajemen event politik mirip dengan logika
perusahaan dalam memasarkan brand produk tertentu. Dengan kata lain manipulasi
selera konsumen itu mendahului pilihan konsumen. Manipulasi selera konsumen
dapat dilakukan melalui manipulasi citra produk di mata para konsumen.
8Virtualitas politika dalah konsep yang mendeskripsikan tentang proses politik yang
tidak didasari oleh aktivitas ,kapabilitas dang agasan politik yang autentik tetapi
hanya didasari olehcitra-citra politik yang jumlahnya berlimpah dan kadangkala tidak
memiliki kaitan sama sekali dengan realitas.


5

Lalu bagaimanakan hubungan yang relasional antara partai politik dan
konstituen serta simpatisannya ? menurut penulis hubungan yang relasional adalah
hubungan yang rasional, bermakna dan setara. Apa yang dimaksud dengan hubungan
yang rasional ? walaupun rasio bukanlah potensi satu-satunya dan rasionalitas
bukanlah tolak ukur satu-satunya, tetapi menempatkan indicator rasional sangatlah
penting, hal ini karena salah satu persyaratan minimal dari politik yang demokratis
dan politik yang menganggap penting peran akal sehat adalah ke-rasionalan, artinya
semua aktifitas politik harus dipertimbangkan secara rasional9 dan tidak meremehkan
kemampuan rasional manusia. Menurut Immanuel Kant dusta atau bohong adalah
tindakan yang meremehkan kemampuan rasional manusia. Maka dalam konteks
hubungan antara partai politik dengan simpatisan dan konstituennya, tidak boleh
didasari oleh dusta.
Lalu apa yang dimaksud dengan hubungan yang bermakna ? Bahwa partai
politik dalam berhadapan dengan konstituen dan simpatisan, bukan dalam hubungan
yang sifatnya prosedural dan mekanistik belaka, tetapi betul-betul didasari oleh
hubungan kemanusiaan yang paling mendasar. Tidak hanya memperhitungkan
simpatisan dan konstituen hanya dalam angka-angka belaka, berkomunikasi mereka
dengan janji-janji palsu belaka. Kalau kita meminjam pandangan fenomenologi dari

Immanuel Levinas mengenai L’autre (wajah), maka partai politik seharusnya
memupuk rasa tanggung jawab dan militansi perjuangan bila sedang berhadapan atau
“melihat” wajah-wajah para simpatisan dan konstituen.10

9Dalam

tradisi Weberian, rasionalitas dapat dibagi menjadi dua jenis, yang pertama
disebut dengan rasionalitas instrumental, yaitu suatu upaya untuk mencari jalan yang
paling efisien dalam mencapai tujuan, yang kedua disebut dengan rasionalitas nilai, di
mana segala perilaku harus konsisten secara logis dengan nilai-nilai yang diyakini.
Yang penulis maksud dengan kerasionalan dalam tulisan ini adalah sintesis antara
rasionalitas nilai dengan rasionalitas instrumental. Demokrasi politik yang sedang
berlangsung saat ini di Indonesia merupakan demokrasi prosedural , artinya
demokrasi yang hanya rasional secara instrumental, tetapi tidak rasional atau
konsisten dengan nilai-nilai yang menjadi latar belakang berdirinya Republik ini.

6

Dan yang terakhir relasi dan komunikasi politik sebaiknya dibangun diatas
dasar prinsip kesetaraan. Orientasi politik Indonesia pasca Orde baru telah membuka

kemungkinan-kemungkinan baru, diantaranya adalah penguatan posisi warga Negara,
jadi yang dimaksud dengan warga Negara adalah sesuatu yang jauh melampaui
konsep “penduduk”. Indonesia tidak hanya memiliki penduduk tetapi yang terpenting
Indonesia memiliki warga Negara (citizen), sedangkan warga Negara ditandai dengan
keterlibatan mereka dalam segalam aspek berbangsa dan bernegara secara aktif dan
bebas serta bertanggung jawab, kata kunci dari kewarganegaraan adalah partisipasi
terutama dalam sektor politik, dan tidak ada partisipasi yang optimum jika tidak
dilandasi oleh prinsip kesetaraan.
Relasi yang Ideologis sekaligus Praxis
Menurut penulis partai politik seharusnya bisa menjadi sebuah gerakan
politik. Apa yang dimaksud dengan gerakan politik ?, menurut Anthony Giddens
(1993), gerakan adalah sebuah upaya untuk mengejar kepentingan bersama atau
upaya untuk mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif dan memberikan
solusi atau alternative yang baru.
Kalau kita melihat definisi Giddens mengenai gerakan tersebut, maka bagi
sebuah partai politik yang juga merupakan gerakan politik haruslah memiliki 4
karakter ; pertama. Gerakan politik merupakan upaya sadar. Lalu bagaimana agar
gerakan politik bisa menciptakan upaya yang sadar dari para konstituen dan
simpatisannya ?. Satu-satunya jalan adalah melalui “Ideologi”. Kita ketahui bahwa
politik merupakan rangkaian proses pengambilan keputusan tiada henti, terutama

keputusan yang menyangkut kekuasaan dan kepentingan orang banyak. Dimana
konteks pengambilan kekuasaan tersebut bisa dalam kondisi normal atau krisis,
10Emmanuel

Levinas seorang fenomenolog dari perancis, pernah mengutarakan
konsep mengenai L’Autre (wajah), wajah dalam hal ini bukanlah wajah yang biologis
tetapi wajah yang polos secara eksistensial. Yaitu wajah yang jika dipandang dengan
spontanitas akan menimbulkan simpati, empati dan tanggungjawab bagi yang
memandangnya.

7

apakah diambil secara sepihak oleh elit partai tertentu (biasanya ini dilakukan dalam
kondisi darurat) ataukah mempertimbangkan masukan dan pendapat para konstituen.
Biasanya pengambilan keputusan dalam politik sering didesak oleh krisis atau kondisi
ke-daruratan, apalagi dalam alam demokrasi Indonesia sekarang ini. Dalam kondisi
tersebut biasanya refleksi panjang bukanlah hal yang efektif, di sinilah peran
ideologi11 yang bisa memberikan legitimasi bagi keputusan politik tertentu, dan bisa
menjadi arah bagi konstituen dan simpatisan dalam menerjemahkan keterlibatannya
dalam keputusan tersebut.

Dengan kata lain Ideologi bisa mengurangi “keluaran energi mental” bagi
Partai atau gerakan politik beserta konstiuen dan simpatisannya dalam merespon
situasi politik yang begitu cepat. Tetapi yang perlu diingat bahwa Ideologi pada
sebuah gerakan politik sebaiknya bukanlah ideology yang tertutup, bukanlah ideology
yang menutup diri terhadap kritik, refleksi diri yang kritis dan menganggap bahwa
rumusan kebenarannya merupakan satu-satunya rumusan kebenaran yang final.
Ideologi

partai

tetap

harus

dikembangkan,

dikayakan

(enrichment)

dan

ditransformasi, merujuk dari temuan-temuan konsep filsafat politik terbaru dan fakta
politik lapangan yang terus berkembang.
Selain itu menurut Louis Althusser, Ideologi akan memanggil individuindividu sebagai subjek. Dengan kata lain jika Politik demokratis hanya bisa
dibangun melalui partisipasi aktif dala.m politik, sedangkan partisipasi politik bisa
terjadi jika para actor politik berada dalam posisi setara sebagai subjek, maka hanya
melalui Ideologi lah demokrasi politik yang substansial bisa terbangun. Ideologi akan
memanggil para pengurus harian partai, konstituen dan simpatisnnya sebagai subjek
yang setara. Melalui keberadaan subjek-subjek politik yang setara inilah yang akan
menjadikan politik sebagai upaya sadar.
11Ideologi

dapat didefinisikan sebagai seperangkat gagasan, konsep, nilai dan norma
yang dianut oleh sekelompok manusia dalam berinteraksi dengan realitas dunia.
Ideologi inilah yang akan menjadi alat baca para penganutnya dalam menjelaskan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya, termasuk peristiwa politik.

8

Kedua. Selain sebagai Upaya Sadar, Gerakan politik juga merupakan untuk
mengejar kepentingan bersama. Seperti yang dikatakan oleh Alain Badiou (2003)
bahwa relevansi politik ada pada kepentingan orang banyak, semakin banyak
konstituen, simpatisan atau orang yang merasakan impact kehadiran atau keputusan
dari sebuah gerakan politik, maka semakin politis gerakan politik tersebut. Hannah
Arendt pernah menggambarkan bahwa kata Politik yang berasal dari kata polis, tidak
hanya diartikan secara picik sebagai kota yang dilindungi oleh tembok besar. Tetapi
Polis harus diartikan sebagai dinding di mana kekuatan dan kekuasaan telah
mengalami pe-manusiaan, di mana penggunaan kekuatan dan kekuasaan telah
diperhalus oleh kebdayaan dan peradaban, di mana kekuatan dan kekuasaan bukan
dalam rangka mengenakkan dan mengenyangkan “perut sendiri” tetapi dalam rangka
menguatkan, mengembangkan dan memperdalam kehidupan bersama.
Jadi segala bentuk mobilisasi politik bermuara pada kepentingan bersama.
Walaupun bagi orang tertentu menjadikan lapangan politik sebagai arena untuk meniti
karir tetapi kita harus memandang politik seperti yang dikatakan oleh Hannah Arendt,
Bahwa politik merupakan seni untuk mengabadikan diri sendiri. Melalui politik
seseorang bisa membuat dirinya abadi dalam memori public, dikenang selamanya
melalui prestasi, terobosan atau aktivitas politik yang mempunyai makna dan
manfaat optimum bagi orang banyak.
Ketiga, Partai politik yang merupakan gerakan politik adalah sebuah tindakan
kolektif. Disinilah letak urgensi infrastruktur partai politik. Infrastruktur yang penulis
maksud di sini memiliki dua spektrum, spektrum pertama infrastruktur yang berupa
struktur organisasi, mulai dari tingkat pusat hingga tingkat rayon (Tps). Hal ini perlu
diperadakan , agar partai politik bisa mengorganisir dan memanajemen semua potensi
sumber daya manusia pada pengurus, konstituen dan simpatisan partai. Sebisa
mungkin semua konstituen dan simpatisan memiliki tempat dalam struktur organisasi
partai, baik pada struktur organisasi utama ataukah pada struktur organisasi sayap
partai, agar konstituen dan simpatisan secara manajerial dan psikologis memiliki

9

peran dan keterlibatan baik secara langsung maupun tidak dalam gerak langkah partai
politik.
Spektrum yang kedua dari infrastruktur partai politik adalah kegiatan
komunkasi politik yang terencana dan terorganisir, terutama antara pengurus partai
dengan konstituen dan simpatisannya. Secara garis besar komunikasi yang bisa
dilakukan bermacam-macam mulai dari komunikasi yang berupa acara massal, acara
berbasais partai, komunikasi interpersonal dan komunikasi interpersonal. Komunikasi
yang berupa acara massal dapat berupa bakti sosial, temu warga, musrenbang atau
kegiatan sosial yang insidentil. Komunikasi yang berbasis partai misalnya pertemuanpertemuan regular dengan setiap tingkatan kepengurusan, atau rapat umum yang
diselenggarakan partai. Komunikasi interpersonal dapat berupa kegiatan door to door,
tatap muka langsung, kegiatan berbasis ketrampian individu atau kagiatan
pendampingan dan advokasi. Sedangkan komunikasi politik yang bersifat
instrumental bisa berupa menjadi narasumber di acara-acara diskusi atau seminar,
menggunakan aplikasi social media, membuat iklan luar ruangan, membuat rumah
aspirasi dan lain-lain. Tetapi apapun bentuk komunikasinya yang terpenting adalah
komunikasi tersebut harus menempatkan konstiuen atau simpatisan sebagai subjek
yang rasional dan setara selain itu komunikasi tersebut haruslah bisa memeperdalam
makna keterlibatan konstiuen dan simpatisan dalam realitas politik.
Keempat, Partai atau gerakan politik harus mampu memperlihatkan etos
kebaruan dan kemajuan. Apa yang dimaksud dengan etos kemajuan dan kebaruan ?
Etos kebaruan artinya kemampuan partai politik dalam membaca perkembanganperkembangan baru dalam realitas social, ekonomi, politik dan kebudayaan dan
mampu memberikan respon yang mengikuti perkembangan tersebut tanpa harus
tercerabut dari akar-akar tradisi dan agama. Etos kemajuan artinya kemampuan partai
politik dalam memproyeksikan kondisi kebangsaan jauh ke depan, partai politik harus
bisa membuat blue print bangsa di masa yang akan datang. Di sinilah letak
pentingnya refleksi dan gagasan dalam partai politik, bahkan Hanah Arendt

10

mengatakan bahwa ketiadaan refleksi dan gagasan dalam politik adalah sebuah
kejahatan.
Tetapi yang perlu diperhatikan bahwa, etos kebaruan dan kemajuan haruslah
bisa didisseminasikan ke tingkat bawah. Karena partai politik tidak mungkinlah bisa
membawa perubahan signifikan jika tidak mengandalkan keberadaan konstituen dan
simpatisannya. Cita-cita sebuah partai politik haruslah bisa menjadi imajinasi kolektif
dari konstiuen dan simpatisannya, bisa menjadi frame of reference atau bingkai dalam
menginterpretasi realitas kebengsaan yang terus mengalir dan berkembang. Hal inilah
yang akan membentuk identitas bersama diantara konstituen dan simpatisan partai
politik.
Penutup
Barangkali sebagian pembaca akan beranggapan, bahwa tulisan ini tidak
memenuhi ekspektasi mereka. Karena tulisan ini memang lebih ditujukan pada
refleksi yang lebih substansial terhadap komunikasi politik antara partai politik
dengan konstituen dan simpatisannya. Kita ketahui sejak diadakannya pemilihan
langsung di segala level kepemimpinan di Indonesia, telah berkembang dengan cukup
signifikan teknik-teknik marketing politik, mulai dari pemetaan preferensi pemilih,
teknik penggalangan suara hingga teknik penjagaan suara. Tetapi teknik-teknik
tersebut sangatlah instrumental, walaupun bisa membantu seorang kandidat untuk
bertarung secara efektif dan efisien, serta membantu para politisi untuk survive dalam
demokrasi politik Indonesia yang sangat prosedural, tapi teknik-teknik marketing
politik tersebut belum bisa memperkuat posisi politik warga Negara.
Mudah-mudahan ke depannya kita bisa secara bersama-sama, membangun
demokrasi Indonesia dalam artian yang substansial. Selain mengfektifkan prosedur
politik, yang perlu juga dilakukan adalah membekali para actor politik dengan
gagasan-gagasan, inspirasi-inspirasi, imajinasi-imajinasi serta strategi-strategi politik
yang lebih progresif.

11

DAFTAR PUSTAKA
BagusTakwin, Akar-AkarIdeologi. Jakarta .Jalasutra.2003

12

Elly M. Setiadi& Usman Kolip, PengantarSosiologiPolitik. Jakarta . Kencana.2013
Firmanzah, Marketing Politik. Jakarta :YayasanObor Indonesia.2007
Fransisco Budi Hardiman, KritikIdeologi. Yogyakarta. PenerbitBukuBaik. 2004
George Ritzer& Douglas J Goodman. TeoriSosiologi Modern. Jakarta. Kencana. 2003
Gerald F Gauss &ChandranKukathas, Handbook TeoriPolitik. Bandung. Nusa
Media.2012
HamdiMuluk, PengantarPsikologiPolitik, Jakarta. Rajawali Press.2012
Haryatmoko, EtikaPolitikdanKekuasaan, Jakarta. PenerbitBukuKompas. 2014
IRI. KomunikasidenganKonstituen. Jakarta. IRI. 2011
Ito Prajna-Nugroho, FenomenologiPolitik. SanggarPembasisanPancasila. 2013
Muh. Asratillah. S, MemikirkanUlangPolitik. Makassar. 2013
LP3ES, JurnalPrisma Vol. 32, Kewarganegaraan,
RvitalisasiKonsepsiKeindonesiaan.Jakarta. Jurnal Indonesia & Cornell
Indonesia Modern.2014
LP3ES, JurnalPrisma Vol. 33, Demokrasi, di BawahCengkramanOligarki. Jakarta.
Jurnal Indonesia & Cornell Indonesia Modern.2014
PartaiPerindo, GarisBesarPerjuanganPartai. Jakarta.
DewanPimpinanPusatPartaiPerindo. 2015
RobertusRobet, ManusiaPolitik. Tangerang. Marjin Kiri.2010