Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Kelainan Refraksi Pada Siswa Siswi SMP Negeri 1 Medan Tahun 2014

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kelainan refraksi adalah kelainan optik intrinsik mata yang menghalangi
cahaya untuk dibawa ke satu fokus pada retina, sehingga mengurangi penglihatan
normal (CEH, 2000). Kelainan refraksi adalah penyebab utama gangguan
penglihatan dan morbiditas pada anak-anak di seluruh dunia, sehingga anak
biasanya mengeluhkan kesulitan dalam penglihatan (Bull World Health Organ,
2001). Deteksi dan pengobatan awal pada penyakit mata penting untuk mencegah
masalah penglihatan dan morbiditas mata yang dapat mempengaruhi kemampuan
belajar, kepribadian dan adaptasi anak di sekolah (Nigerian Journal of Surgical
Science, 2005)

Pemeriksaan penglihatan, seperti tes atau prosedur lain, dilakukan untuk
mendeteksi penyakit mata ataupun kelainan mata yang belum ditemukan secara
dini, terutama pada individu yang sehat (Perks K., 2007). Tes skrinning hanya
merupakan pemeriksaan awal dan tidak termasuk dalam tes diagnostik. Mereka
yang memiliki hasil tes positif dirujuk ke dokter mata untuk dilakukan tes

diagnostik dan perawatan lanjut (Perks K. 2007).
Sebuah penelitian mengenai kelainan refraksi antara anak-anak sekolah
dilakukan di Bayelsa State, Nigeria-Selatan. Dalam penelitian tersebut, prevalensi
kelainan refraksi adalah 7,4% pada anak-anak sekolah dasar di Enugu Nigeria
(Nkanga DG, Dolin P. 1997). Faderin dalam studinya menyatakan bahwa
prevalensi gejala refraktif yang ditemukan pada anak-anak sekolah dasar di
Lagos, Nigeria adalah 7.3% (Faderin MA, Ajaiyeoba AI., 2001). Sebuah penelitan

serupa pada survey penglihatan anak-anak sekolah pada masyarakat pedesaan di
selatan-timur Nigeria didapati prevalensi gejala refraksi yang lebih rendah dari
4,2% (Ugochukwu CO ., 2002) .Kawuma dan Mayeku di Uganda menemukan
prevalensi gejala refraksi pada anak-anak SD adalah 11,6% (Kawuma M, Mayeku

Universitas Sumatera Utara

2

R, 2002), sedangkan penelitian Kawuma dengan penelitian Wedner di Tanzania

menunjukkan prevalensi 1% untuk kelainan refraksi pada anak usia 7-19 tahun.

Prevalensi yang lebih rendah dalam penelitian Wedner dikarenakan hanya murid
dengan hasil pemeriksaan tajam penglihatan kurang dari 6/12 yang diikutkan
dalam penelitian (Wedner SH, Ross DA, Balira R, Kaji L, Foster A, 2000)
Padhye et al meneliti prevalensi kelainan refraksi yang tidak diperbaiki pada

anak-anak sekolah di daerah perkotaan dan pedesaan di Maharashtra, India. Hasil
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa prevalensi kelainan yang tidak diperbaiki
pada anak-anak sekolah tersebut lebih tinggi di perkotaan dibandingakan dengan
di pedesaan (Padhye AS, Khandekar R, Dharmadhikari S, Dole K, Gogate P,
Deshpande M, 2009).
India merencanakan pelaksanaan vision 2020; The Right to Sight
document (2007–2011), dilaksanakan di sekolah-sekolah, berupa tes skrining

kesehatan mata di masing-masing daerah untuk mengidentifikasi semua kasus
gangguan penglihatan (Vision 2020 Right to Sight Document, 2007).
Masalah kebutaan masih menjadi masalah kesehatan di dunia maupun
Indonesia. Kejadian kesakitan akibat kelainan refraksi di Indonesia adalah 24.72
% dan menempati tempat pertama penyebab kebutaan di Indonesia (IIyas, 2006).
Sesuai hasil survei Nasional Kesehatan Indera di 8 provinsi tahun 1993-1996,
prevalensi kebutaan di Indonesia sebesar 1,5%. Penyebab utama kebutaan adalah

katarak 0,78%, glaukoma 0,20%, kelainan refraksi 0,14%, dan penyakit-penyakit
lain yang berhubungan dengan lanjut usia 0,38% (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2014).
Hasil penelitian Anatasia Vanny, menunjukkan prevalensi kelainan
refraksi terbesar didapatkan pada kelompok usia 5-6 tahun. Hal ini disebabkan
oleh berbagai faktor, seperti aktivitas dan kebiasaan anak, misalnya kebiasaan
menonton televisi yang terlalu dekat. Penelitian yang dilakukan terhadap 185
anak, yaitu 90 anak laki-laki (48.6%) dan 95 anak perempuan (51.4%). Sampel
dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan usia; kelompok I: usia 3-4 tahun

Universitas Sumatera Utara

3

sebanyak 59 anak (31.9%), kelompok II: usia 4-5 tahun sebanyak 67 anak
(36.2%), dan kelompok III: usia 5-6 tahun sebanyak 59 anak (31.9%). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa 5 anak (2.7%) mengalami visus tidak normal.
Berdasarkan riwayat keturunan memakai kacamata, subyek dibagi atas 3
kelompok, yaitu kelompok dengan tanpa riwayat keturunan memakai kacamata
sebanyak 174 (94.6%) anak, kelompok dengan riwayat ibu memakai kacamata

sebanyak 7 (3.8%) anak, dan kelompok dengan riwayat bapak memakai kacamata
sebanyak 3 (1.6%) anak (Anastasia Vanny Launardo & Achmad Afifudin, 2010).
Broto (2006) mengemukakan bahwa anak-anak pada usia sekitar tujuh
tahun mulai tertarik pada video game dan sepertiga anak usia awal belasan tahun
bermain video game setiap hari, serta 7% dari mereka bermain video game paling
sedikit 30 jam per minggu, artinya, mereka dapat duduk bermain game di depan
alat elektronik dengan mata terbuka lebih dari empat jam setiap hari
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk meneliti tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi kelainan refraksi pada siswa/I SMPN 1 Medan
tahun 2014, dimana siswa/I SMP tersebut menambah pemahaman siswa-siswi
terhadap pentingnya mata yang sehat.

1.2. Rumusan Masalah
Bagaimanakah faktor-faktor yang mempengaruhi kelainan refraksi pada
siswa-siswi SMP Negeri 1 Medan pada tahun 2014.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelainan refraksi pada
siswa-siswi SMP Negeri 1 Medan pada tahun 2014.


Universitas Sumatera Utara

4

1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui rata-rata

lama membaca buku pada siswa-siswi yang

menderita kelainan refraksi dan tidak menderita kelainan refraksi di SMP
Negeri 1 Medan tahun 2014.
2. Mengetahui rata-rata lama menonton pada siswa-siswi yang menderita
kelainan refraksi dan tidak menderita kelainan refraksi di SMP Negeri 1
Medan tahun 2014.
3. Mengetahui rata-rata lama penggunaan alat elektronik pada siswa-siswi
yang menderita kelainan refraksi dan tidak menderita kelainan refraksi di
SMP Negeri 1 Medan tahun 2014.
4. Mengetahui rata-rata lama penggunaan komputer pada siswa-siswi yang
menderita kelainan refraksi dan tidak menderita kelainan refraksi di SMP

Negeri 1 Medan tahun 2014.
1.4. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk manajemen,
pelaksana kebijakan pelayanan kesehatan di Sumatera Utara, dan para klinisi,
yaitu:
1.

Hasil penelitian ini dapat memberi tahu siswa-siswi untuk melakukan
pengobatan terhadap kelainan refraksi mereka dengan lebih awal (miopia,
hipermetropia, dan astigmatisma).

2.

Diperoleh data jumlah siswa yang mengalami kelainan refraksi di SMP
Negeri 1 Medan tahun 2014.

3.

Penelitian ini dapat menambah pemahaman siswa-siswi terhadap pentingnya
mata yang sehat.


4.

Para orangtua diharapkan dapat mengawasi anak mereka saat membaca buku,
memakai alat elektronik, menonton televisi dan menggunakan komputer.

Universitas Sumatera Utara