Pengaruh Perlakuan Leaching Pada Film Lateks Karet Alam Berpengisi Selulosa Mikrokristal Dari Ampas Tebu Dengan Penyerasi Alkanolamida Terhadap Sifat Mekanik Film

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

LATEKS KARET ALAM
Indonesia memproduksi lateks pekat hanya 3,6% dari total produksi karet

alam yang dihasilkan. Lateks adalah cairan getah yang didapat dari bidang sadap
pohon karet. Pada umumnya berwarna putih seperti susu dan belum mengalami
penggumpalan dengan atau tanpa penambahan bahan pemantap (zat anti
penggumpal). Lateks ini dapat diperoleh dengan cara menyadap antara kambium dan
kulit pohon. Komposisi kimia lateks segar secara garis besar adalah 25 - 40% karet
dan 60 - 75% merupakan bahan bukan karet. Kandungan bukan karet ini selain air
adalah protein (globulin dan havein), karbohidrat (sukrosa, glukosa, galaktosa dan
fruktosa), lipida (gliserida, sterol, dan fosfolipida). Komposisi ini bervariasi
tergantung pada jenis tanaman, umur tanaman, musim, sistem deres, dan penggunaan
stimulant [10].
Getah lateks karet alam dari Hevea brasiliensis dalam satu kali penyadapan
dapat diperoleh sekitar 200-400 ml, yang mengandung berbagai komponen non
karet, baik organik maupun inorganik pada penambahan karet. Umumnya, komposisi

dari lateks karet alam meliputi karet (30 - 40%), resin (1 - 2,0%), protein (2 - 2,5 %),
gula (11,5%), abu/ash (0,7-0,9%), dan air (55-60 %). Komponen utama dari karet
alam adalah polimer polyisoprene yang dirumuskan dengan CH2-C=CH(CH3)-CH2
CH3

H
C

C

CH2

CH2

Gambar 2.1 Struktur Umum Lateks cis-1,4-poliisoprena [11]

2.2

PEMBUATAN SENYAWA LATEKS KARET ALAM
Campuran lateks karet alam dengan bahan kimia karet disebut senyawa


(compound) lateks karet alam. Bahan kimia karet terdiri atas bahan kimia pokok dan
bahan kimia tambahan. Bahan kimia pokok yaitu bahan vulkanisasi, pencepat reaksi,

7
Universitas Sumatera Utara

pengaktif, penstabil, antioksidan, dan pengisi. Sedangkan bahan kimia tambahan
adalah bahan penyerasi antara pengisi dengan lateks karet alam.

2.2.1

BAHAN VULKANISASI
Vulkanisasi adalah proses pembentukan ikatan silang kimia dari rantai

molekul yang berdiri sendiri, yang dapat meningkatkan elastisitas dan menurunkan
plastisitas. Proses vulkanisasi secara konvensional menggunakan belerang pertama
kali ditemukan oleh Charles Goodyear tahun 1839, untuk proses vulkanisasi ini
sering dipakai senyawa belerang (sulfur) sebagai pengikat polimer karet tersebut.
Pada proses vulkanisasi konvensional yang menggunakan belerang ini, dibutuhkan 3

sampai 4 macam bahan kimia yaitu bahan pemvulkanisasi yaitu belerang, bahan
pemercepat berupa senyawa karbamat, bahan penggiat, dan bahan pemantap yaitu
KOH lalu dipanaskan pada suhu 40-50 °C selama 2-3 hari, pemanasan kedua 70 °C
selama 2 jam, dan pemanasan akhir 100 °C selama 1 jam [11].

2.2.2

BAHAN PENCEPAT REAKSI (ACCELERATOR)
Bahan

penggiat

ditambahkan

ke

dalam

sistem


vulkanisasi

untuk

meningkatkan kecepatan proses vulkanisasi yang berjalan lambat bila hanya
menggunakan belerang. Dalam sistim vulkanisasi dengan bahan pencepat, bahan ini
berfungsi sebagai pengaktif kerja bahan pencepat karena pada umumnya bahan
pencepat organik tidak akan berfungsi secara efisien tanpa adanya bahan pengaktif.
Bahan penggiat yang umum digunakan dalam sistem vulkanisasi karet alam
menggunakan belerang adalah kombinasi antara ZnO dengan asam stearat [12].
Ada beberapa jenis bahan pencepat yang bias digunakan, secara umum yaitu
dari golongan dithiokarbamat. Bahan pencepat jenis ini mampu membantu reaksi
vulkanisasi dengan ultra-cepat, selain itu bahan pencepat ini sesuai jika digunakan
untuk pencepat proses vulkanisasi barang-barang tipis dan dapat divulkanisasi dalam
waktu singkat dan dengan suhu rendah (100 oC). Contohnya adalah senyawa Zinc
dibuthyldithiocarbamate (ZDBC), Zinc diethyldithiocarbamate (ZDEC), dan Zinc
dimethyldithiocarbamate (ZDMC) [68].

8
Universitas Sumatera Utara


2.2.3

BAHAN PENGAKTIF (ACTIVATOR)
Sebagian besar bahan pencepat vulkanisasi ( accelerators) membutuhkan

bahan pengaktif pencepat atau disebut juga penggiat vulkanisasi (activators
accelerators) untuk bisa mempercepat proses vulkanisasi secara maksimal. Bahan ini

dipakai untuk lebih mengaktifkan bahan pencepat vulkanisasi karena pada umumnya
bahan pencepat organik tidak akan berfungsi secara efisien tanpa adanya bahan
penggiat. Bahan penggiat yang umum digunakan adalah Zink Oxide, senyawa lain
yang bisa digunakan sebagai activators accelerators adalah asam stearat [68].

2.2.4

BAHAN PENSTABIL (STABILIZER)
Pencampuran dispersi lateks harus dilakukan hati – hati, karena lateks sangat

mudah menggumpal. Bahan pemantap ini berguna mencegah pengentalan atau

penggumpalan lateks terlalu cepat. Selain itu, penambahan bahan pemantap akan
melindungi lateks dari tegangan terhadap beberapa campuran dan berfungsi sebagai
bahan pendispersi. Contoh bahan pemantap yang paling umum digunakan adalah
Kalium Hidroxide (KOH). Kalium Hidroxide (KOH) selain berfungsi sebagai

pengawet yang dapat mencegah pembiakan bakteri, dan dapat juga menjaga
kestabilan koloid lateks dengan menghindarkan berlakunya fenomena pemekatan
ZnO yang digunakan sebagai pengaktif. Selain daripada itu dapat juga meningkatkan
kemampuan partikel lateks dan kemudian meningkatkan kestabilan lateks tersebut
[68].

2.2.5

BAHAN ANTIOKSIDAN (ANTIOXIDANT)
Bahan Penangkal Oksidasi (Antioxidant) adalah bahan kimia yang digunakan

untuk mencegah terjadinya proses oksidasi (reaksi dengan oksigen) pada produk
karet alam. Bahan antioksidan dapat menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi
kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas dan menghambat terjadinya reaksi
berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan sifat oksidatif

pada barang jadi karet. Selain untuk mencegah proses oksidasi oleh oksigen,
penambahan bahan antioksidan juga dapat melindungi barang jadi karet terhadap ion
– ion peroksida yaitu ion tembaga, ion mangan, dan ion besi. Sehingga barang jadi

9
Universitas Sumatera Utara

lateks akan memiliki ketahanan terhadap suhu tinggi, sinar matahari, keretakan, dan
mempunyai sifat lentur [68].

2.2.6 BAHAN PENGISI (F ILLER)
Bahan pengisi ditambahkan ke dalam kompon karet dalam jumlah besar
bertujuan dengan tujuan untuk meningkatkan sifat fisik dan memperbaiki
karakteristik pengolahan. Bahan pengisi dibagi atas dua golongan, yaitu golongan
bahan pengisi tidak aktif dan golongan bahan pengisi aktif atau bahan penguat.
Bahan pengisi aktif akan meningkatkan kekerasan, ketahanan sobek, ketahanan kikis,
dan tegangan putus pada produk karetnya. Penambahan pengisi tidak aktif hanya
akan meningkatkan kekerasan dan kekakuan barang jadi karet, sedangkan kekuatan
dan sifat lainnya akan berkurang [12].


2.2.7 BAHAN PENYERASI (COMPATIBILIZER)
Pengolahan kimia dilakukan dengan merubah permukaan pengisi atau
matriks dengan menggunakan bahan kimia tertentu. Umumnya perubahan
permukaan pengisi dilakukan dengan penambahan bahan penggandeng sedangkan
perubahan matriks dilakukan dengan menggunakan bahan penyerasi. Bahan
penggandeng atau bahan penyerasi yang digunakan harus serasi atau dapat bereaksi
dengan senyawa-senyawa kimia yang terdapat pada permukaan pengisi atau matriks.
Bahan penyerasi adalah bahan kimia yang mempunyai satu segmen kimia
untuk menyambungkan satu polimer dan segmen kimia yang kedua dengan polimer
yang lain dengan cara membentuk ikatan kovalen antara dua fasa. Penggunaan bahan
penyerasi akan mengurangi kedua fasa polimer terpisah dengan cara meningkatkan
pelekatan antar muka antara kedua fasa. Umumnya bahan penyerasi merupakan
kopolimer blok atau cangkok yang terdiri dari segmen berlainan dengan cara kimia
akan serasi dengan fasa matriks polimer yang digunakan [13].
Secara umum fungsi bahan penyerasi adalah untuk [14] :
a. Mengurangi tegangan antar muka peleburan polimer dengan memberikan
pengemulsian dan seterusnya menyebarkan satu fasa ke dalam fasa yang lain
b. Menambah pelekatan antar muka
c. Menstabilkan fasa tersebar sewaktu pemprosesan.


10
Universitas Sumatera Utara

2.3

AMPAS TEBU
Ampas tebu (bagasse) merupakan sisa bagian batang tebu dalam proses

ekstraksi tebu yang memiliki kadar air berkisar 46 – 52%, kadar serat 43 – 52% dan
padatan terlarut sekitar 2 – 6%. Komposisi kimia ampas tebu meliputi zat arang atau
karbon (C) 23,7%, hidrogen (H) 2%, oksigen (O) 20%, air (H2O) 50% dan gula 3%.
Pada prinsipnya serat ampas tebu terdiri dari selulosa, pentosan, dan lignin.
Komposisi ketiga komponen bisa bervariasi pada varitas tebu yang berbeda.
Ampas tebu (bagasse) adalah salah satu sumber biomassa dari penggilingan
gula yang pemanfaatannya sebagian besar hanya sebagai bahan bakar padahal jumlah
produksi tiap tahunnya cukup melimpah, mudah didapatkan, dan harganya murah.
Saat ini, ampas tebu digunakan baik sebagai bahan baku untuk pembuatan kertas atau
sebagai sumber pakan ternak yang potensial. Nilai ekonomi yang diperoleh dari
pemanfaatan tersebut masih cukup rendah. Oleh karena itu, diperlukan adanya
pengembangan teknologi sehingga terjadi pengembangan pemanfaatan limbah

biomassa terutama dalam bidang pertanian. [16]
Dibawah ini adalah data mengenai karakteristik khas material ampas tebu.
Beberapa karakteristik tersebut adalah sebagai berikut [15] :
1. Bersifat tidak keras dan tidak fleksibel
Ampas tebu memiliki sifat dasar yang berada pada pertengahan, tidak keras,
tidak juga fleksibel karena ampas tebu memiliki kulit yang keras dan bagian
gabus yang tebal pada strukturnya. Hal ini mengakibatkan ampas tebu agak
sulit untuk dijadikan bidang maupun struktur. Begitu juga karakteristik yang
didapatkan dari hasil penggilingan minuman sari tebu terkadang terdapat
retak pada bagian buku yang dinilai mengurangi kekuatan material. Pada
proses pencetakan sederhana, ampas tebu berhasil di bentuk melengkung
menyerupai cetakan. Namun, dalam beberapa bulan, ampas tebu kembali
seperti semula terkecuali dicampur dengan hardener pada prosesnya. Dalam
pencetakan tersebut, ampas tebu tetap tidak dapat mencapai bentuk-bentuk
yang signifikan. Hal ini dikarenakan bentuk asli tebu yang lurus, sehingga
pada pembentukan akan tetap mempertahankan sifat lurusnya.

11
Universitas Sumatera Utara


2. Ketebalan yang tidak merata
Ampas tebu memiliki ketebalan yang tidak merata berdasarkan bagian gabus
yang dimiliki. Pada proses eksperimen roll, ketebalan ampas tebu berhasil
direduksi hingga menjadi relatif sama dengan ketebalan 3 mm.
3. Warna putih gading yang khas
Ampas tebu yang sudah dikerik kulitnya memiliki warna putih gading setelah
kering. Warna tersebut hanya didapat pada pengeringan dengan sinar
matahari. Warna yang khas memberikan nilai estetika sendiri bagi produk
dengan material ampas tebu.
4. Bersifat menyerap kelembapan
Berdasarkan penelitian yang telah ada, ampas tebu memiliki kandungan
gabus tebal yang bersifat menyerap uap air. Begitu juga dengan eksperimen
menggunakan buah pisang dan tomat yang berada didalam kotak berisi ampas
tebu membutuhkan waktu lebih lama dalam pematangan.
5.

Empuk dan bouncy
Ampas tebu memiliki gabus tebal yang memiliki pori pori besar. Sifat ini
mengakibatkan gabus ampas tebu bersifat empuk dan bouncy, bila ditekan
kembali seperti semula.

2.4

SELULOSA
Selulosa merupakan salah satu polimer yang tersedia melimpah di alam.

Produksi selulosa sekitar 100 milyar ton setiap tahunnya. Selulosa tersusun dari
unit-unit anhidrog lukopiranosa yang tersambung dengan ikatan

-1,4-glikosidik

membentuk suatu rantai makro molekul tidak bercabang. Setiap unit anhidrog
lukopiranosa memiliki tiga gugus hidroksil, seperti yang terlihat pada gambar 2.3.
Selulosa mempunyai rumus empirik (C6H10O5)n dengan n ~ 1500 dan berat molekul
~ 243.000 [17].

12
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2 Struktur Selulosa [18]
Selulosa merupakan polimer yang relatif stabil dikarenakan adanya ikatan
hidrogen. Selulosa tidak larut dalam pelarut air dan tidak memiliki titik leleh. Serat
selulosa juga memiliki fleksibilitas dan elastisitas yang baik sehingga dapat
mempertahankan aspect ratio (perbandingan panjang terhadap diameter (P/d)) yang
tinggi selama proses produksi [17].
Bagian mikrofibril yang banyak mengandung jembatan hidrogen antar
molekul selulosa bersifat sangat kuat dan tidak dapat ditembus dengan air. Bagian ini
disebut sebagai bagian berkristal dari selulosa, sedangkan bagian lainnya yang
sedikit atau sama sekali tidak mengandung jembatan hidrogen disebut bagian amorf.
Menurut Tsao (1978) perbandingan bagian kristal dan bagian amorf adalah 85 persen
dan 15 persen. Struktur berkristal dari selulosa merupakan hambatan utama dalam
proses hidrolisis.
Menurut Sjostrom (1981), selulosa dapat dibedakan berdasarkan derajat
polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam senyawa natrium hidroksida (NaOH) 17,5%
yaitu [19]:
1.

Selulosa α (Alpha cellulose ) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut
dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan DP (derajat
polimerisasi) 600-1500. Selulosa α dipakai sebagai penduga dan atau penentu
tingkat kemurnian selulosa.

2.

Selulosa

(Betha cellulose ) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam

larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP 15-90, dapat mengendap bila
dinetralkan.
3.

Selulosa µ (Gamma cellulose ) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam
larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan DP nya kurang dari 15.

13
Universitas Sumatera Utara

Selulosa terdiri dari dua bagian yaitu amorf dan kristal. Selulosa

dapat

ditemukan dalam bentuk mikrofibril kristalin selulosa I, II, III, dan IV. Fraksikristal
dinyatakan dalam persentase sebagai indeks kristalinitas. Penentuan struktur
selulosa bisa dilakukan dengan difraksi X-Ray, NMR, dan FTIR [20; 21].
Selulosa I merupakan bentuk asli selulosa yang terdiri dari dua Kristal
allomorf, yaitu Iα dan I . Berdasarkan pengujian difraksi elektron selulosa Iα
memiliki satu unit sel triklinik, sedangkan selulosa I

memiliki dua unit sel

monoklinik, keduanya tersusun dalam satu susunan rantai paralel, dengan rasio
berbeda dalam satu serat, tergantung pada asalnya. Selulosa Iα banyak terdapat
pada selulosa bakteri dan valonia, sedangkan I

pada selulosa kapas atau kayu [20].

Selain selulosa I, terdapat selulosa II yang terbentuk dengan pengendapan
selulosa dari larutan ke dalam medium air pada suhu kamar atau sedikit lebih tinggi
dari suhu kamar pada proses pemintalan serat selulosa buatan manusia secara teknis.
Selulosa II ini juga diperoleh dari proses merserisasi kapas, yang terjadi melalui
pembentukan natrium selulosa melalui interaksi polimer dengan cairan natrium
hidroksida dan peruraian dengan netralisasi atau penghilangan natrium hidroksida.
Proses transformasi dari selulosa I menjadi selulosa II biasanya irreversible,
walaupun ada yang menyatakan bahwa natrium selulosa dapat

diretransformasi

sebagian menjadi selulosa I. Sistem ikatan hidrogen selulosa II lebih rumit
daripada selulosa I dan menghasilkan densitas tautan silang intermolekul yang lebih
tinggi [17; 20].

2.5

SELULOSA MIKROKRISTAL
Microcrystalline cellulose

(MCC) merupakan turunan selulosa yang

diperoleh dengan cara memperlakuan pada alfa-selulosa yang dikandung oleh
tumbuhan berserat dengan menggunakan larutan asam. Di bidang farmasi, MCC
digunakan sebagai bahan eksipien dalam formulasi pembuatan tablet, pengikat agar
bahan – bahan dalam tablet tetap menyatu [22].
Kandungan utama yang berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan baku
pembuatan MCC yaitu bahan yang berserat dan memiliki kandungan selulosa cukup
tinggi. Setiap bahan memiliki jumlah selulosa yang berbeda-beda. Semakin tinggi
kandungan selulosa dalam biomassa, maka kemungkinan biomassa dijadikan sebagai

14
Universitas Sumatera Utara

bahan baku semakin besar. Beberapa bahan yang mengandung selulosa dan dapat
dijadikan sebagai bahan pembuatan MCC tercantum pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Daftar Biomassa dan Kandungannya [22]
Biomassa (Lignoselulosa)
Kayu lunak
Pelapah sawit
Tandan kosong sawit
Ampas tebu
Jerami padi

Selulosa (% berat)
40 – 45
37 – 45
36 – 42
32 – 44
28 – 36

Pada penelitian ini, menggunakan ampas tebu sebagai bahan baku untuk
mendapatkan Microcrystalline cellulose (MCC) dimana ampas tebu sendiri
mengandung 32 – 44% (% berat).
Dalam proses produksi gula, dari setiap tebu yang diproses dihasilkan ampas
tebu. Limbah pabrik gula berupa ampas tebu dapat mengganggu lingkungan apabila
tidak dimanfaatkan. Selama ini pemanfaatan ampas tebu hanya terbatas untuk makan
ternak, bahan baku pembuatan pupuk, pulp, dan untuk bahan bakar boiler di pabrik
gula. Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan tersebut masih cukup rendah
[69].
Selulosa dapat dibuat menjadi selulosa mikrokristal, yaitu dengan melarutkan
selulosa dalam larutan alkali kuat maka akan diperoleh selulosa yang hampir murni
yang dikenal dengan alfa-selulosa dan dengan merendam alfa-selulosa dengan asam,
kemudian dihaluskan secara mekanik akan didapat selulosa mikrokristal [69].
Terdapat beberapa proses yang dapat digunakan untuk memproduksi selulosa
mikrokristal yaitu [22] :
1. Proses hidrolisis asam
Proses hidrolisis dengan asam merupakan metode konvensional dalam
pembuatan MCC. Larutan asam yang dapat digunakan adalah asam klorida
(HCl) atau asam sulfat (H2SO4). Larutan asam tersebut berfungsi untuk
melarutkan selulosa amorf. Kondisi operasi yang dibutuhkan untuk
menjalankan reaksi adalah suhu di atas 160 oC. Metode ini dilakukan dengan
cara menghidrolisis secara terkontrol alfa selulosa dari tumbuhan berserat
dengan larutan mineral encer. Waktu yang diperlukan untuk pembuatan
selulosa mikrokristal menggunakan metode kimiawi lebih singkat.

15
Universitas Sumatera Utara

2. Proses kontak uap
MCC diproduksi dengan cara mengkontakkan selulosa dengan steam
bertekanan pada temperature antara 180 oC sampai 350 oC selama waktu yang
cukup untuk mecapai kondisi LODP (leveling off degree of polymerization ).
Proses

pengontakkan

bertujuan

untuk

menghidrolisis

selulosa

dan

menghilangkan lignin dan hemiselulosa. Uap jenuh secara terus menerus
diumpankan ke dalam reaktor sampai mencapai tekanan 430 psig. Tekanan di
dalam reaktor antara 390 psig (2,689 Pa) sampai 430 psig (2,965 Pa).
Kelebihan dari proses ini adalah tidak membutuhkan larutan asam. MCC
yang diproduksi dengan proses kontak berbentuk koloid.
3. Proses hidrolisis gas
Proses hidrolisis gas merupakan proses hidrolisis dengan menggunakan gas.
Selulosa dihidrolisis sebagian di dalam reaktor bertekanan menggunakan air
dan menjaga suhu reaktor pada suhu reaksi, 100 DP (degree of
polymerization ). Kemudian, menginjeksikan gas oksigen atau karbon

dioksida dengan menjaga tekanan antara 0,1 sampai 60 bar pada 20 oC. Rasio
antara selulosa dan air dalam reaktor yaitu 1:8 sampai 1:20 (V/V). Kelebihan
dari proses ini yaitu dapat menghasilkan yield di atas 95%.

Proses ini

dikategorikan ramah lingkungan karena air limbah yang dihasilkan tidak lagi
mengandung garam inorganik. Namun proses ini hanya sesuai untuk bahan
baku selulosa murni.
4. Proses ekstruksi reaktif
Pembuatan MCC dari material yang mengandung lignin, hemiselulosa, dan
selulosa, dengan menggunakan proses ekstruksi reaktif. Ekstruksi tahap
pertama melibatkan natrium hidroksida (NaOH) yang dilakukan pada rentang
temperatur 140 oC sampai 170 oC untuk menghilangkan senyawa kompleks
lignocellulosic . Kemudian, tahap kedua yaitu dengan melibatkan larutan

asam yang dilakukan pada suhu 140

o

C. Selulosa dan larutan asam

direaksikan dalam screw conveyor . Screw conveyor terdiri atas screw dan
barrel. Screw diputar sehingga menghasilkan tekanan pada selulosa,

kemudian selulosa bercampur dengan larutan asam membentuk MCC.
Kelebihan proses ini yaitu dapat dijalankan pada proses kontinyu untuk

16
Universitas Sumatera Utara

memproduksi MCC dengan waktu reaksi lebih cepat dan dengan efisiensi
yang baik. Dilihat dari segi produk MCC, partikel MCC yang dihasilkan kecil
sehingga tidak membutuhkan perlakuan tambahan untuk memperkecil
partikel.
5. Proses enzim
Pada proses ini, hidrolisis ini dilakukan dengan menggunkan enzim sebagai
katalis. Enzim yang digunakan dihasilkan dari mikroba seperti enzim aamylase yang dipakai untuk hidrolisis pati menjadi glukosa dan maltosa
(Groggins, 1958). Dalam hidrolisis selulosa, mikrobia yang digunakan dapat
berupa Trichoderma viride . Mikrobia tersebut akan menghasilkan enzim
endo-celullase yang dapat memutus bagian amorf a-cellulose secara selektif.

Kondisi operasi yang disarankan dalam proses ini adalah 50-60 oC dan pH
2.5-3. Proses ini memiliki beberapa kelebihan yaitu, hidrolisis dengan enzim
lebih bersih dan prosesnya lebih selektif, bekerja pada tekanan dan temperatur
yang sedang. Namun, proses hidrolisis dengan menggunakan enzim terjadi
secara lambat dengan waktu reaksi sekitar 24 sampai 48 jam. Ditinjau dari
waktu reaksi, proses ini tidak cocok untuk aplikasi secara komersial.
Metode yang digunakan untuk pembuatan selulosa mikrokristal pada
penelitian ini adalah proses hidrolisis asam. Metode ini dilakukan dengan cara
menghidrolisis secara terkontrol alfa selulosa dari tumbuhan berserat dengan larutan
mineral encer. Waktu yang diperlukan untuk pembuatan selulosa mikrokristal
menggunakan metode ini lebih singkat dibandingkan dengan proses pembuatan
selulosa mikrokristal lainnya.
Beberapa sumber alam telah digunakan untuk menghasilkan selulosa
mikokristal, seperti serat rami (Bhimte dan Tayade, 2007), ampas tebu dan jerami
(Indra dan Dhake, 2008), dan lenan (Leppanen, dkk., 2009). Dimana selulosa
mikrokristal dapat digunakan sebagai pengisi, pengikat, dan penghancur serta
memiliki sifat bebas mengalir, sehingga banyak juga digunakan dalam pembuatan
tablet cetak langsung. Penggunaan selulosa mikrokristal disini dapat memberikan
waktu hancur terhadap bahan dalam waktu yang singkat [34].

17
Universitas Sumatera Utara

2.6

RBDPS (Refined Bleached Deodorized Palm Stearin )
Minyak sawit memiliki karakteristik yang unik dibandingkan dengan minyak

nabati lainnya. Komposisinya terdiri dari asam lemak jenuh ± 50%, MUFA
(monounsaturated fatty acid ) ± 40%, serta asam lemak tak jenuh ganda yang relatif
sangat sedikit (± 10%).
Minyak sawit juga dapat difraksinasikan menjadi 2 bagian, yakni fraksi padat
(stearin) dan fraksi cair (olein). Karakteristik yang berbeda pada fraksi-fraksi tersebut
menyebabkan aplikasinya sangat luas untuk produk-produk pangan maupun non
pangan. Proses pemisahan asam lemak yaitu stearin dan olein dapat dilakukan
dengan beberapa cara, antara lain: mechanical pressing, solvent crystalization dan
hydrophilization . Metode machanical pressing merupakan cara yang paling

sederhana dan masih dilakukan di banyak negara. Pada metode ini asam lemak di
didihkan pada sebuah bejana dan kemudian didinginkan. Setelah itu bahan tersebut
akan terbentuk menjadi dua fasa yaitu kristal padat dan cairan [35].

Fatty acid

Mechanical
pressing

Asam Stearat + Asam Oleat
(Stearin)

2.7

(Olein)

ALKANOLAMIDA
Amida adalah turunan asam karboksilat yang paling tidak reaktif, karena itu

golongan senyawa ini banyak terdapat di alam. Amida yang terpenting adalah
protein. Amida dapat bereaksi dengan asam dan reaksi ini tidak membentuk garam
karena amida merupakan basa yang sangat lemah. Selain itu senyawa amida
merupakan nukleofilik yang lemah dan bereaksi sangat lambat dengan alkil halida.
Amida asam lemak pada industri oleokimia dapat dibuat dengan mereaksikan amina
dengan trigliserida, asam lemak atau metil ester asam lemak. Senyawa amina yang
digunakan dalam reaksi amidasi sangat bervariasi seperti etanolamina dan
dietanolamina, yang dibuat dengan mereaksikan amonia dengan etilen oksida.
Alkanolamina seperti etanolamina, jika direaksikan dengan asam lemak akan
membentuk suatu alkanolamida dan melepaskan air. Alkanolamida merupakan
kelompok surfaktan nonionik yang berkembang dengan pesat.

18
Universitas Sumatera Utara

Surfaktan alkanolamida tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi daripada
molekul. Disamping itu alkanolamida dapat digunakan pada rentang pH yang luas,
biodegradabel, lembut dan bersifat noniritasi, baik untuk kulit maupun mata.
Surfaktan ini juga menghasilkan reduksi tegangan permukaan yang besar, toksisitas
yang rendah dan pembusaan yang bagus serta stabil. Surfaktan alkanolamida juga
sangat kompatibel dengan ketiga jenis surfaktan lainnya yaitu surfaktan anionik,
kationik dan amfoterik. Sebagaimana surfaktan nonionik lainnya, alkanolamida
menunjukkan performa yang baik seperti kelarutan yang tinggi, stabil terhadap
berbagai enzim dan media yang alkali. Karena sifat-sifatnya tersebut maka surfaktan
ini dapat digunakan sebagai bahan pangan, obat-obatan, kosmetika danaplikasi
industri serta dapat digunakan pada rentang penggunaan surfaktan anionik [23].
Dalam penelitian ini, sumber trigliserida yang digunakan adalah asam
palmitat dari turunan minyak kelapa sawit yaitu RBDPS ( Refined Bleached
Deodorized Palm Stearin ). RBDPS (Refined Bleached Deodorized Palm Stearin )

dipilih sebagai sumber trigliserida karena memiliki sifat kemurnian yang tinggi serta
harga yang relatif lebih terjangkau.

2.8

METODE PENCELUPAN BERKOAGULAN
Terdapat dua metode pencelupan yang umumnya digunakan dalam produksi

sarung tangan yaitu metode pencelupan langsung dan metode pencelupan
berkoagulan. Metode kedua adalah metode yang sangat sering digunakan dalam
industri [24].
Metode pencelupan merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam
pembuatan produk lateks seperti sarung tangan, balon, kondom, dan lain-lain.
Metode pencelupan adalah proses dimana cetakan berlapis koagulan dicelupkan ke
dalam lateks karet alam dalam beberapa kali pecelupan [25].
Proses dimulai dengan membersihkan cetakan dan berakhir dengan
memisahkan film dari cetakannya. Operasi pembersihan termasuk mencuci cetakan
dengan larutan asam, kemudian dinetralkan dengan larutan basa dan diikuti dengan
pembilasan dan pengeringan di dalam oven. Cetakan yang telah dibersihkan
dicelupkan pada tangki koagulan pada sudut yag telah ditentukan untuk beberapa
waktu, kemudian ditarik perlahan dari tangki pencelupan.

19
Universitas Sumatera Utara

Pada tangki koagulan, cetakan dicelupkan selama 16 detik agar terbentuk
lapisan tipis dan seragam pada permukaan cetakan. Hal ini dapat diperoleh dengan
perendaman perlahan dan penarikan cetakan diikuti dengan manipulasi mekanik dan
evaporasi koagulan secara cepat. Cetakan yang sudah dilapisi dikeringkan dalam
oven dan dicelupkan pada tangki lateks.
Formulasi koagulan merupakan campuran dari garam kalsium, air atau
alkohol, agen pembasah dan agen anti-lekat. Tangki umumnya dilengkapi dengan
pengaduk untuk mencegah terjadinya pengendapan bahan kimia. Sebuah saringan
juga digunakan untuk menahan gelembung-gelembung udara dan bekas koagulum
yang mungkin terbentuk [24].

2.9

PROSES PENCUCIAN (LEACHING)
Lateks terdiri atas partikel karet dan bahan bukan karet yang terdispersi

dalam air. Bahan bukan karet meliputi karbohidrat, asam nukleat, karotenoid,
senyawa nitrogen atau protein, dan ion-ion organik, jumlahnya relatif kecil sebagian
larut dalam air dan sisanya terdapat pada permukaan partikel karet yang berdiameter
tidak lebih dari 3 mm. Walaupun jumlahnya sedikit, peranan bahan bukan karet
sangat penting dalam mengendalikan sifat karet dan lateks.
Keberadaan protein dalam partikel karet sudah lama diketahui dimana 50%
protein dalam lateks terdapat pada serum C, sisanya terdapat pada permukaan
partikel karet dan fraksi dasar. Dewasa ini telah diketahui bahwa beberapa jenis
protein dapat menimbulkan reaksi alergi. Protein tersebut bersifat tahan panas hingga
120 oC, larut air, dan mempunyai kisaran BM 5-200 kD kasus alergi terhadap protein
lateks mulai diketahui pada tahun 1979.
Menurut Food and Drug Administration (FDA) 8 – 12 % pekerja kesehatan
di Amerika menderita alergi akibat penggunaan produk jadi lateks, terutama mereka
yang bekerja di ruang praktek gigi, ruang operasi, dan ruang gawat darurat. Para
penata rambut, tukang kebun, dan pekerja di pabrik pengolahan karet juga
mempunyai resiko tinggi untuk terkena alergi. FDA juga menambahkan 67%
penderita spina bifida sangat peka terhadap protein lateks, karena seringnya
penderita tersebut menggunakan kateter dari lateks.

20
Universitas Sumatera Utara

Alergi pada produk lateks mempunyai hubungan dengan protein terekstraksi
(extractable protein, EP ) dalam lateks. Selain itu, telah didapat kepastian bahwa zat
aditif yang ditambahkan ke dalam lateks tidak menyebabkan alergi. Alergi dapat
ditimbulkan dari produk lateks yang mengandung kadar EP lebih dari 100 mg/g.
Kenyataan tersebut cukup menimbulkan kekhawatiran, sebab kisaran kadar EP dari
berbagai produk lateks bisa bervariasi antara 8 sampai 700 mg/g sehingga resiko
terkena alergi menjadi tinggi [26].
Pada umumnya setiap proses produksi barang jadi karet, supaya hasilnya
tidak berbau setelah disimpan beberapa bulan, maka selalu dilakukan pencucian
selama proses produksi. Hal ini dilakukan karena proses pencucian bertujuan di
samping menghilangkan bahan baku bukan karet, misalnya protein, lemak, dan
karbohidrat yang dapat menyebabkan bau tidak sedap, juga dapat meningkatkan
penampilan serta sifat mekanik barang jadi karet tersebut [8].
Pada proses pencucian film lateks karet alam sangat mempengaruhi sifat fisik
film, hal ini disebabkan pada waktu pencucian dapat melarutkan bahan -bahan bukan
karet, sehingga permukaan film karet menjadi lebih bersih, licin, dan lebih tipis
sehingga dapat meningkatkan perpanjangan putus pada film karet [7].
Pada larutan KOH atau ammonia lebih baik daripada air biasa pada proses
pencucian, karena dengan menggunakan larutan KOH atau amonia turunnya kadar
protein terlarut dapat mencapai 97% sementara itu dengan air biasa hanya 75%. Hal
ini disebabkan karena molekul protein terekstrak yang bersifat amfotir dalam
keadaan basa (larutan KOH) daya kelarutannya lebih tinggi daripada dalam keadaan
netral [8].

2.10

PENGUJIAN DAN KARAKTERISASI

2.10.1 UJI KEKUATAN TARIK (TENSILE STRENGTH )
Kekuatan tarik adalah salah satu sifat dasar dari bahan polimer yang
terpenting dan sering digunakan untuk karakteristik suatu bahan polimer. Kekuatan
tarik suatu bahan didefenisikan sebagai besarnya beban maksimum (F maks) yang
digunakan untuk memutuskan spesimennya bahan dibagi dengan luas penampang
awal (Ao) dapat ditunjukkan pada persamaan 2.1 [55].

21
Universitas Sumatera Utara

σ=

F maks
......................................................(2.1)
o

Dimana :
σ

= kekuatan tarik (kgf/mm2)

F maks = beban maksimum (kgf)
Ao

= luas penampang awal (mm2)
Kekuatan tarik dari karet lebih sering diukur dibandingkan sifat-sifat yang

lain kecuali kekerasan dan karet sering digunakan pada berbagai aplikasinya,
contohnya sarung tangan dan kondom tergantung pada sifat kekuatan tariknya.
Alasannya adalah bahwa kekuatan tarik merupakan ukuran kualitas senyawa tersebut
dan ikut berperan dalam pengaturan penggunaan bahan pengisi berbiaya rendah.
Senyawa-senyawa yang dipakai untuk industri umumnya memiliki kualitas yang
tinggi, sehingga kekuatan tarik mengambil bagian penting pada spesifikasi senyawasenyawa yang dipakai untuk industri.
Kekuatan tarik karet juga memiliki ketertarikan sains tersendiri dan tipe ikat
silang serta derajat ikat silang mempunyai pengaruh yang signifikan pada kekuatan
tarik karet alam. Umumnya, kekuatan tarik akan mencapai maksimum seiring dengan
meningkatnya derajat ikat silang. Nilai maksimum kekuatan tarik terjadi pada
densitas ikat silang yang lebih tinggi [56].

2.10.2 KARAKTERISASI F OURIER TRANSFORM INFRA RED (FT-IR)
Penggunaan spektrofotometer FT-IR untuk analisa banyak diajukan untuk
identifikasi suatu senyawa. Hal ini disebabkan spektrum FT-IR suatu senyawa
(misalnya organik) bersifat khas, artinya senyawa yang berbeda akan mempunyai
spektrum berbeda pula. Vibrasi ikatan kimia pada suatu molekul menyebabkan pita
serapan hampir seluruh di daerah spektrum IR 4000-450 cm-1.
Formulasi bahan polimer dengan kandungan aditif bervariasi seperti
pemlastis, pengisi, pemantap, dan antioksidan memberikan kekhasan pada spektrum
inframerahnya. Analisis infra merah memberikan informasi tentang kandungan
aditif, panjang rantai, dan struktur rantai polimer. Di samping itu, analisis IR dapat
digunakan untuk karakterisasi bahan polimer yang terdegradasi oksidatif dengan

22
Universitas Sumatera Utara

munculnya gugus karbonil dan pembentukan ikatan rangkap pada rantai polimer
[57].

2.10.3 KARAKTERISASI SCANNING ELECTRON MICROSCOPE (SEM)
SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen
secara mikroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada
spesimen. Interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa
fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron, Sinar X, elektron sekunder dan
absorbsi elektron.
Teknik SEM pada hakikatnya merupakan pemeriksaan dan analisa
permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari
lapisan yang tebalnya sekitar β0

m dari permukaan. Gambar permukaan yang

diperoleh merupakan tofografi segala tonjolan, lekukan, dan lubang pada permukaan.
Gambar topografi diperoleh dari penangkapan elektron sekunder yang
dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan ditangkap oleh
detektor dan diteruskan ke monitor. Pada monitor akan diperoleh gambar yang khas
yang menggambarkan struktur permukaan spesimen. Selanjutnya gambar dimonitor
dapat dipotret dengan menggunakan film hitam putih atau dapat pula direkam ke
dalam suatu disket.
Sampel yang dianalisa dengan teknik ini harus mempunyai permukaan
dengan konduktifitas tinggi, karena polimer mempunyai konduktifitas rendah, maka
bahan perlu dilapisi dengan bahan konduktor (bahan penghantar) yang tipis. Yang
biasa digunakan adalah perak, tetapi jika dianalisa dalam waktu yang lama, lebih
baik digunakan emas atau campuran emas dan palladium [58].

2.10.4 ANALISA KANDUNGAN AMILUM
milum (pati) merupakan hompolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik.
Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai karbonnya,
serta lurus atau bercabangnya rantai molekul. Amilum (pati) yang berikatan dengan
Iodin (I2) akan menghasilkan warna biru. Sifat ini dapat digunakan untuk
menganalisis adanya pati. Hal ini disebabkan oleh struktur molekul iodin dan
terbentuklah warna biru. Bila pati dipanaskan, spiral merenggang, molekul-molekul

23
Universitas Sumatera Utara

iodin terlepas sehingga warna biru menghilang. Pati akan merefleksikan warna biru
bila berupa polimer glukosa yang lebih besar dari 20, misalnya molekul-molekul
amilosa. Bila polimernya kurang dari 20 seperti amilopektin, maka akan dapat
dihasilkan warna merah. Sedangkan desktrin dengan polimer 6,7 dan 8 membentuk
warna coklat. Polimer yang lebih kecil dari 5 tidak memberikan warna dengan iodin
[59].

2.10.5 X-RAY DIFFRACTION (XRD)
Kaidah difraksi sinar x sangat penting khususnya dalam penentuan struktur
kristal. Kaidah ini digunakan seiring dengan kenyataan bahwa panjang gelombang
sinar x berorde sama dengan kisi kristal sehingga kisi kristal berperan sebagai kisi
difraksi. Lebih lanjut kaidah difraksi sinar x dapat juga digunakan untuk menentukan
ukuran kristal atau butir, fase dan komposisi suatu padatan [60].
Sinar x juga dapat dihasilkan melalui peristiwa ―pengereman‖ elektron yang
dipercepat yang disebut peristiwa Bremsstrahlung. Pancaran sinar x akibat transisi
elektron akan memberikan suatu spektrum karakteristik. Artinya puncak-puncak
intensitas spektrum sinar x terbentuk dengan panjang gelombang tertentu. Sedangkan
sinar x yang berasal dari gejala Bremsstrahlung membentuk spektrum yang kontinyu
dan rendah. Misal untuk padatan tembaga (Cu) sebagai target pada sumber sinar x,
intensitas spektrum sinar x karakteristik (Kα) yang dihasilkan memiliki panjang
gelombang sekitar 1.54 Å.
Sinar-x memiliki daya tembus yang cukup besar dan panjang gelombangnya
berorde 10-10 m yang bersesuaian dengan ukuran kisi kristal. Karena itu sinar x
dapat digunakan untuk menganalisis struktur kristal bahan padatan melalui peristiwa
difraksi. Peristiwa difraksi sinar x pada kristal padatan dinyatakan dengan persamaan
Bragg [60]:
2 dhkl Sin Ɵ = n � ………………………..(β.β)

Dengan �hkl adalah jarak antar bidang kristal, � adalah sudut difraksi, � adalah

panjang gelombang dan n = 1, β, γ …

24
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3 Sinar x datang dan terdifraksi oleh atom-atom kristal [60]

Kristalinitas merupakan salah satu sifat yang paling penting yang
berkontribusi pada sifat fisika, kimia dan mekanik suatu bahan. Indeks kristalinitas
(CrI) adalah parameter yang umumnya digunakan untuk menghitung jumlah kristalin
dalam suatu bahan dan juga diterapkan untuk menafsirkan perubahan dalam struktur
bahan setelah perlakuan fisikokimia dan biologis. Salah satu metode analitik untuk
menentukan indeks kristalinitas adalah X-ray diffraction (XRD) [61].

Indeks kristalinitas dapat dihitung dengan metode Segal sebagai berikut [44].

 I  I am 
CrI   002
100 ………………………...(2.3)
 I 002 
Pada persamaan ini, CrI menyatakan derajat kristalinitas relatif, I 002 adalah
intensitas maksimum dari difraksi kisi 002 pada 2θ = 22o dan Iam adalah intensitas
difraksi dalam satuan yang sama pada 2θ = 18o.

25
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengaruh Perlakuan Leaching Pada Film Lateks Karet Alam Berpengisi Selulosa Mikrokristal Dari Ampas Tebu Dengan Penyerasi Alkanolamida Terhadap Sifat Mekanik Film

8 45 136

Pengaruh Leaching Pada Produk Film Lateks Karet Alam Berpengisi Mikrokristal Selulosa Avicel Dengan Penambahan Penyerasi Alkanolamida

1 11 101

Pengaruh Perlakuan Leaching Pada Film Lateks Karet Alam Berpengisi Selulosa Mikrokristal Dari Ampas Tebu Dengan Penyerasi Alkanolamida Terhadap Sifat Mekanik Film

0 0 27

Pengaruh Perlakuan Leaching Pada Film Lateks Karet Alam Berpengisi Selulosa Mikrokristal Dari Ampas Tebu Dengan Penyerasi Alkanolamida Terhadap Sifat Mekanik Film

0 0 2

Pengaruh Perlakuan Leaching Pada Film Lateks Karet Alam Berpengisi Selulosa Mikrokristal Dari Ampas Tebu Dengan Penyerasi Alkanolamida Terhadap Sifat Mekanik Film

0 0 6

Pengaruh Perlakuan Leaching Pada Film Lateks Karet Alam Berpengisi Selulosa Mikrokristal Dari Ampas Tebu Dengan Penyerasi Alkanolamida Terhadap Sifat Mekanik Film

0 1 5

Pengaruh Perlakuan Leaching Pada Film Lateks Karet Alam Berpengisi Selulosa Mikrokristal Dari Ampas Tebu Dengan Penyerasi Alkanolamida Terhadap Sifat Mekanik Film

0 0 23

Pengaruh Leaching Pada Produk Film Lateks Karet Alam Berpengisi Mikrokristal Selulosa Avicel Dengan Penambahan Penyerasi Alkanolamida

0 0 23

Pengaruh Leaching Pada Produk Film Lateks Karet Alam Berpengisi Mikrokristal Selulosa Avicel Dengan Penambahan Penyerasi Alkanolamida

0 0 2

Pengaruh Leaching Pada Produk Film Lateks Karet Alam Berpengisi Mikrokristal Selulosa Avicel Dengan Penambahan Penyerasi Alkanolamida

0 0 5