BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Preparasi Kulit Batang Pisang Kepok - PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MEMBRAN FOTOKATALITIK KOMPOSIT KITOSAN-SELULOSA DIASETAT-TiO2 UNTUK PENGOLAHAN LIMBAH ZAT WARNA TEKSTIL CONGO RED Repository - UNAIR REPOSITORY
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Preparasi Kulit Batang Pisang Kepok
Preparasi kulit batang pisang diawali dengan mencucinya menggunakan air hingga bersih dan dijemur di bawah sinar matahari hingga kering. Proses pengeringan ini membutuhkan waktu yang cukup lama karena kulit batang pisang memiliki kandungan air yang cukup tinggi sehingga sukar kering. Setelah kulit batang pisang kering, kulit batang pisang dipotong-potong dengan ukuran sekitar 1-2 cm bertujuan untuk memperbesar luas permukaan sehingga mempercepat reaksi dalam pembuatan pulp.
4.2 Hasil Pembuatan Pulp dari Kulit Batang Pisang
Langkah awal pembuatan pulp dari kulit batang pisang yaitu dengan menimbang kulit batang pisang yang telah kering sebanyak 20 gram lalu direndam dengan larutan Ca(OH)
2 2,5% sebanyak 200 mL selama 7 hari. Tujuan
proses perendaman ini adalah untuk mereaktifkan serat, mengembangkan serat agar menjadi lebih lunak sehingga mempermudah pembuatan pulp dan menurunkan derajat polimerisasi. Setelah proses perendaman selesai, kulit batang pisang tersebut dicuci dengan akuades sampai bebas basa yang dapat diuji menggunakan kertas lakmus merah dimana warna dari kertas lakmus merah tersebut tidak berubah. Selanjutnya batang pisang dimasukkan ke dalam labu alas bulat yang telah diisi dengan 150 mL larutan NaOH 17,5% lalu campuran tersebut direfluks selama 4 jam. Tujuan dari proses refluks ini adalah untuk menghilangkan lignin dan hemiselulosa yang terdapat dalam kulit batang pisang. Lepasnya lignin dan hemiselulosa ditandai dengan berubahnya warna campuran kulit batang pisang dengan NaOH yang semula berwarna coklat menjadi hitam.
Setelah proses refluks selesai, campuran tersebut didinginkan lalu dicuci kembali dengan akuades hingga bebas basa yang dapat diuji menggunakan kertas lakmus.
Kulit batang pisang yang bebas basa lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 60 C hingga kering selama semalam. Pada penelitian ini diperoleh pulp sebesar 80,75 gram dengan rendemen 22,43%. Rendemen yang didapat sangat kecil hal ini dikarenakan banyaknya kandungan lignin dan hemiselulosa pada kulit batang pisang yang hilang selama proses refluks. Hasil refluks batang pisang ditunjukkan pada Gambar 4.1
Gambar 4.1 Hasil refluks batang pisang4.3 Pemutihan (Bleaching) Pulp dari Kulit Batang Pisang
Proses bleaching pulp ini diawali dengan menimbang sebanyak 10 gram pulp kering dari kulit batang pisang lalu ditambahkan 88 mL akuades dalam gelas beker yang telah dipanaskan pada suhu 60ºC, kemudian campuran tersebut diaduk hingga bertekstur seperti bubur. Kemudian bubur didinginkan lalu ditambahkan dengan 100 mL NaOCl 5% dan didiamkan selama 30 menit sambil terus diaduk.
Bleaching bertujuan untuk menghilangkan lignin yang masih tersisa setelah proses refluks. Pada penelitian ini proses bleaching pulp menggunakan NaOCl yang berperan sebagai bleaching agent yang bersifat oksidator kuat. Penggunaan NaOCl di sini merupakan teknologi bleaching dengan konsep ECF (Elementally
Chlorin Free ) dimana unsur klorida masih boleh digunakan tetapi tidak dalam
bentuk Cl
2 yang sangat berbahaya bagi lingkungan tapi dalam bentuk senyawa
lain yang lebih aman terhadap lingkungan misalnya NaOCl. NaOCl bereaksi dengan lignin melalui reaksi adisi dan subtitusi. Waktu perendaman dengan NaOCl harus diperhatikan karena jika waktu perendaman terlalu lama maka selulosa terdegradasi bersama lignin, sehingga dalam penelitian ini dipakai waktu 30 menit (Suryani, 2011). Untuk menghilangkan sisa-sisa NaOCl, pulp dibilas dengan akuades hingga bebas basa.
Untuk menyempurnakan proses degradasi lignin, maka pulp direndam kembali dengan NaOH 2% dan dibiarkan selama 30 menit. Pemilihan konsentrasi dan waktu perendaman dengan NaOH juga menjadi pertimbangan. Apabila konsentrasi NaOH yang dipakai terlalu besar maka selulosa dapat terdegradasi, begitu juga waktu perendaman yang tidak boleh terlalu lama. Kemudian pulp dicuci dengan akuades hingga bebas basa yang diuji dengan menggunakan kertas lakmus merah. Selanjutnya pulp dikeringkan diudara terbuka selama semalam. Proses beaching ditandai dengan berubahnya tekstur selulosa menjadi lebih halus seperti kapas dan perubahan warna dari yang semula coklat menjadi putih. Massa pulp yang diperoleh setelah proses bleaching sebesar 29,35 gram dengan rendemen 36,35%. Rendahnya rendemen dikarenakan lignin yang tersisa masih cukup banyak. Perbedaan antara pulp batang pisang sebelum dan sesudah diputihkan ditunjukkan pada Gambar 4.2
Gambar 4.2 Perbedaan pulp sebelum (kanan) dan sesudah (kiri) diputihkan4.4 Sintesis Selulosa Diasetat dari Kulit Batang Pisang
Proses sintesis selulosa diasetat meliputi 3 tahap yaitu tahap penggembungan, tahap asetilasi dan tahap hidrolisis. Tahap penggembungan dimulai dari pulp kulit batang pisang yang telah diputihkan sebanyak 10 gram ditambahkan asam asetat glasial 24 mL, dan diaduk menggunakan shaker pada suhu 40ºC dalam waktu 1 jam. Asam asetat glasial di sini berperan sebagai
sweeling agent . Sweeling agent bertujuan untuk menggembungkan serat-serat selulosa dan mereaktifkan selulosa agar dapat bereaksi dengan anhidrida asetat.
Setelah itu ditambahkan lagi campuran 60 mL asam asetat glasial dan 0,5 mL H
2 SO 4 , kemudian diaduk lagi dengan shaker selama 45 menit pada suhu 40 C
2
4
(Suryani, 2011). H SO berperan sebagai katalis agar proses asetilasi berjalan dengan cepat. Tahap asetilasi dimulai dari campuran yang didinginkan lalu ditambahkan anhidrida asetat sebanyak 27 mL yang telah didinginkan pada suhu
18 C dan diaduk selama 3 jam pada temperatur 40
C. Anhidrida asetat berperan sebagai sumber gugus asetil. Reaksi asetilasi berlangsung secara eksoterm sehingga perlu dilakukan proses pendinginan terlebih dahulu dengan merendam larutan dalam es balok. Pada tahap ini terjadi reaksi subtitusi antara gugus asetil dari anhidrida asetat dengan gugus -OH pada selulosa, yang mengakibatkan selulosa memiliki 3 gugus asetil disebut selulosa triasetat yang berbentuk larutan coklat tua yang sangat kental. Tahap selanjutnya yaitu hidrolisis, dimana ditambahkan asam asetat glasial 67% sebanyak 30 mL dilakukan tetes demi tetes selama 3 jam pada temperatur 40ºC. Asam asetat glasial 67% berperan dalam menghidrolisis gugus asetil pada selulosa triasetat sehingga menjadi selulosa diasetat. Waktu hidrolisis pada penelitian ini yaitu 15 jam (Sofiana, 2011). Waktu hidrolisis di sini harus diperhatikan, apabila terlalu lama maka berat molekul dari selulosa diasetat yang dihasilkan sangat rendah. Setelah proses hidrolisis selesai, larutan diendapkan dengan menambahkan akuades tetes demi tetes dan diaduk hingga diperoleh endapan berbentuk serbuk berwarna putih. Endapan yang terbentuk disaring dan dicuci dengan akuades sampai bebas dari asam, kemudian dikeringkan pada oven dengan suhu 60-70ºC hingga kering. Endapan yang telah kering kemudian dihaluskan dengan mortar hingga halus dan siap diuji kelarutannya dalam aseton. Pada penelitian ini diperoleh massa selulosa diasetat hasil sintesis sebesar 32,16 gram dengan rendemen 109,57%. Selulosa diasetat hasil sintesis ditunjukkan pada Gambar 4.3
Gambar 4.3 Selulosa diasetat hasil sintesis4.5 Hasil Karakterisasi Selulosa Diasetat
Karakterisasi selulosa diasetat meliputi 3 cara yaitu uji kelarutan dalam aseton, penentuan berat molekul rata-rata dengan menggunakan viskometer Ostwald dan analisis gugus fungsi menggunakan FT-IR.
4.5.1 Hasil uji kelarutan selulosa diasetat
Karakterisasi awal selulosa diasetat adalah uji kelarutan. Uji kelarutan selulosa diasetat menggunakan aseton. Selulosa tidak larut dalam aseton sedangkan selulosa diasetat larut dalam aseton karena struktur selulosa diasetat yang amorf sehingga mudah larut dibandingkan struktur selulosa yang kristalin sukar larut.
4.5.2 Hasil penentuan berat molekul rata-rata selulosa diasetat
Penentuan berat molekul rata-rata yang digunakan pada penelitian ini adalah metode viskometri. Metode pengukuran ini merupakan metode yang paling sederhana. Pengukuran dapat dilakukan dengan berbagai variasi konsentrasi selulosa diasetat yang dibandingkan dengan pelarutnya yaitu aseton.
Setelah diperoleh data-data mengenai waktu alir berbagai variasi larutan seperti pada Lampiran 3, kemudian dibuat grafik antara viskositas reduksi (ŋsp/C) sebagai sumbu y dan konsentrasi larutan (C) sebagai sumbu x seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.4
0,1 0,09 0,08 0,07 0,06
C 0,05 p/ ƞS 0,04
0,03 y = -0,044x + 0,104 0,02
R² = 0,965 0,01 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4
Konsentrasi (g/L)
Gambar 4.4 Grafik penentuan berat molekul (Mv) selulosa diasetatGrafik linier yang diperoleh memiliki persamaan regresi sebesar y = -0.044x + 0.104. Dari nilai intersep tersebut dapat digunakan untuk menghitung berat molekul rata-rata selulosa diasetat dengan menggunakan persamaan Mark Houwink-Sakurada dengan nilai konstanta viskometri (K) dan nilai a masing-masing yaitu 0,000133 L/g dan 0,616. Pada penelitian ini diperoleh berat molekul rata-rata selulosa diasetat sebesar 49.742,03 g/mol sedangkan berat molekul rata-rata selulosa diasetat standar sebesar 50.364,67 g/mol (Suryani, 2011)
4.5.3 Hasil FT-IR selulosa dan selulosa diasetat
Spektra FT-IR selulosa dan selulosa diasetat ditunjukkan pada Gambar 4.5
- 1
Bilangan gelombang (cm )
Gambar 4.5 Spektra FT-IR selulosa (a) dan selulosa diasetat (b)Spektra FT-IR selulosa menunjukkan bahwa muncul puncak serapan pada
- 1
bilangan gelombang 3448,72 cm yang menunjukkan adanya gugus fungsi -OH,
- 1
bilangan gelombang 1257,59 cm menunjukkan adanya serapan ikatan C-O-C
- 1
dari bentuk glikosida, bilangan gelombang 1033,85 cm menunjukkan adanya
- 1 unit glukopiranosida dan bilangan gelombang 894,97 cm khas untuk piranosa.
Semua spektra tersebut menunjukkan gambaran gugus fungsi yang terdapat pada molekul selulosa.
Spektra FT-IR selulosa diasetat menunjukkan bahwa puncak serapan unit
- 1
glukopiranosa pada bilangan gelombang 1049,28 cm tetap muncul, begitu pula dengan puncak serapan -OH yang muncul pada bilangan gelombang
- 1
3502,72 cm . Akan tetapi, puncak serapan gugus fungsi -OH pada spektrum selulosa diasetat mempunyai intensitas yang lebih rendah dibandingkaan dengan selulosa. Pada spektrum selulosa diasetat juga muncul serapan baru yaitu pada
- 1
bilangan gelombang 1751,36 cm yang merupakan pita serapan gugus karbonil ester. Terbentuk ester ini didukung dengan munculnya pita serapan pada daerah
- 1
bilangan gelombang 1234,44 cm yang merupakan pita serapan yang khas C-O ester dari asetat. Dengan adanya spektra baru ini, menunjukkan bahwa selulosa telah terasetilasi menjadi selulosa diasetat.
4.6 Hasil Preparasi Serbuk Cangkang Rajungan
Preparasi serbuk cangkang rajungan diawali dengan mencuci cangkang rajungan dengan air sampai bersih dari kotoran yang menempel lalu dimasak dalam air mendidih selama 15 menit. Kemudian cangkang rajungan dikeringkan di bawah sinar matahari. Pengeringan ini bertujuan agar cangkang rajungan lebih mudah diblender. Setelah benar-benar kering, cangkang rajungan tersebut dipecah menjadi bagian yang lebih kecil lalu dihaluskan dengan blender hingga halus kemudian diayak dengan menggunakan saringan Mesh ukuran 50 µ m. Tujuan dari memblender di sini adalah untuk meningkatkan luas permukaan sehingga dapat mempermudah proses transformasi kitin ke kitosan. Pada penelitian ini diperoleh serbuk cangkang rajungan berwarna coklat.
4.7 Hasil Proses Transformasi Kitin ke Kitosan dari Cangkang Rajungan
Proses transformasi kitin menjadi kitosan melalui beberapa tahap yaitu deproteinasi, demineralisasi, depigmentasi dan deasetilasi. Tahap awal merupakan tahap deproteinasi yaitu tahap pemisahan protein pada cangkang rajungan. Serbuk cangkang rajungan dimasukkan ke dalam gelas beker dan ditambahkan larutan NaOH 3,5% dengan perbandingan antara serbuk cangkang rajungan dengan larutan NaOH 1:10 (w/v). Larutan NaOH yang digunakan pada tahap ini berkonsentrasi rendah karena jika digunakan NaOH berkonsentrasi tinggi maka cangkang rajungan akan mengalami deasetilasi. Proses ini dilakukan pada
o temperatur 65 C dengan pengadukan selama + 2 jam (Ernasuryaningtyas, 2011).
Kemudian serbuk ini disaring lalu dicuci menggunakan akuades hingga pH air cucian mencapai netral yang diuji dengan menggunakan kertas lakmus merah.
o
Setelah itu serbuk cangkang rajungan dikeringkan dalam oven pada suhu 65 C sampai kering, dalam proses ini didapatkan crude kitin. Crude kitin yang diperoleh pada penelitian kali ini sebesar 613 gram dari berat awal serbuk cangkang rajungan sebesar 684 gram. Dapat dilihat bahwa terjadi pengurangan massa sebesar 10,38% yang menandakan terjadinya pelepasan protein dari cangkang rajungan atau yang disebut deproteinasi.
Tahap selanjutnya yaitu demineralisasi yaitu pemisahan mineral dari cangkang rajungan. Crude kitin hasil deproteinasi dimasukkan ke dalam gelas beaker lalu ditambahkan larutan HCl 2N dengan perbandingan antara kitin kasar dan larutan HCl 1:15 (w/v). Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
CaCO 3 (s) + 2HCl (aq) CaCl 2 (aq) + H
2 O (l) + CO 2 (g)
Ca
3 (PO 4 ) 2 (s) + 4HCl (aq)
2CaCl
2 (aq) + Ca(H
2 PO 4 ) 2 (l)
Penambahan larutan HCl 2N dilakukan tetes demi tetes secara hati-hati
2
dikarenakan adanya gelembung-gelembung gas CO apabila crude kitin ditetesi dengan HCl, hal ini disebabkan crude kitin yang belum benar-benar netral dari basa sehingga bereaksi aktif dengan asam. Kemudian dilakukan pengadukan pada suhu kamar selama 30 menit. Kemudian kitin kasar disaring dan ditiriskan. Kitin kasar dicuci dengan akuades hingga pH air cucian mencapai netral yang diuji dengan menggunakan kertas lakmus biru dan dikeringkan dalam oven pada suhu
o
80 C sampai kering sehingga diperoleh kitin (No et al, 2000). Kitin yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 91,8 gram dari 613 gram crude kitin. Dari data tersebut dapat terlihat bahwa kandungan mineral dalam cangkang rajungan sangat banyak sehingga terjadi penurunan massa yang sangat signifikan sebesar 85,1%.
Pada tahap depigmentasi yaitu tahap penghilangan warna, kitin hasil dari proses demineralisasi lalu dihilangkan pigmennya dengan menggunakan aseton dan diaduk terus selama 2 jam. Hasil perendaman dibilas dengan akuades hingga netral lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 110 C sampai kering. Tahap akhir yaitu deasetilasi di mana terjadi transformasi gugus asetamida pada kitin menjadi gugus amina pada kitosan melalui reaksi hidrolisis. Kitin hasil depigmentasi dimasukkan ke dalam gelas beaker kemudian ditambahkan larutan NaOH 50% dengan perbandingan antara kitin dan larutan NaOH 1:10 (w/v) (Kolodziesjska, 2000). Penggunaan NaOH dengan konsentrasi tinggi pada tahap ini dikarenakan gugus asetil yang sulit lepas. Campuran tersebut direbus selama 2 jam pada 95
C, lalu disaring dan ditiriskan. Campuran dicuci dengan akuades hingga pH mencapai netral yang diuji dengan menggunakan kertas lakmus merah dan
o
dikeringkan dalam oven pada suhu 65 C sampai kering hingga diperoleh kitosan.Kitosan yang diperoleh dalam penelitian ini sebesar 66,8 gram dari 86,4 gram kitin setelah proses depigmentasi sehingga terjadi pengurangan massa sebesar 22,69%. Serbuk rajungan, kitin dan kitosan hasil sintesis ditunjukkan pada Gambar 4.6
(a) (b) (c)
Gambar 4.6 Serbuk rajungan (a), kitin (b) dan kitosan hasil sintesis (c)4.8 Hasil Karakterisasi Kitosan
Karakterisasi kitosan hasil sintesis meliputi 4 cara yaitu uji kelarutan dalam asam asetat 2%, penentuan berat molekul rata-rata dengan metode viskometri, analisis derajat deasetilasi (DD) menggunakan spektra FT-IR dengan metode Baxter dan analisis gugus fungsi menggunakan FT-IR.
4.8.1 Hasil uji kelarutan kitosan
Uji paling sederhana untuk mengetahui terbentuknya kitosan adalah uji kelarutan. Uji kelarutan kitosan menggunakan asam asetat 2%. Kitosan larut sempurna dalam asam asetat 2% sedangkan kitin tidak larut (Khor, 2001). Hal ini disebabkan oleh pembentukan ikatan hidrogen antara N dari gugus amina pada
- kitosan dengan H dari asam asetat.
4.8.2 Hasil uji penentuan berat molekul rata-rata kitosan
Penentuan berat molekul rata-rata kitosan dengan menentukan waktu alir asam asetat 2% sebagai pelarut dengan berbagai variasi konsentrasi kitosan seperti pada Lampiran 4, kemudian dibuat grafik antara viskositas reduksi (ŋsp/C) sebagai sumbu y dan konsentrasi larutan (C) sebagai sumbu x seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.8
35
30
25
20 /C sp
15 ƞ
10 y = 392,3x + 8,183
5 R² = 0,978 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 Konsentrasi kitosan (g/dL)
Gambar 4.8 Grafik penentuan berat molekul (Mv) kitosanGrafik linier yang diperoleh memiliki persamaan regresi sebesar y = 392,3x + 8,183. Dari nilai intersep tersebut dapat digunakan untuk menghitung berat molekul rata-rata kitosan dengan menggunakan persamaan
- 4
Mark Houwink-Sakurada dengan nilai k dan a masing-masing sebesar 1,4x10 dan 0,83. Pada penelitian ini diperoleh berat molekul rata-rata kitosan sebesar 553.495,22 Dalton. Nilai tersebut memenuhi rentang dari berat molekul rata-rata kitosan komersil yaitu 100 kDa
- – 1200 kDa (Kim et al., 2004).
4.8.3 Hasil FT-IR kitin dan kitosan
Spektra FT-IR kitin dan kitosan ditunjukkan pada Gambar 4.8 dan 4.9
Gambar 4.8 Spektra FT-IR kitinGambar 4.9 Spektra FT-IR kitosan Berdasarkan Gambar 4.8 terlihat bahwa pada spektra FT-IR kitin muncul- 1
puncak-puncak serapan pada bilangan gelombang 3448,72 cm yang menunjukkan vibrasi ulur
- –OH. Munculnya serapan pada bilangan gelombang
- 1 -1
2931,80 cm dan 2885,51 cm yang masing-masing merupakan vibrasi ulur simetri CH
3 dan vibrasi ulur C-H, menunjukkan keberadaan gugus asetil
- 1
(Yanming et al., 2001). Serapan pada bilangan gelombang 1627,92 cm menunjukkan pita amida I (ulur C=O) juga menandakan keberadaan gugus asetil.
- 1
Bilangan gelombang 1550,77 cm merupakan serapan dari amida II (tekuk
- –NH)
- 1
dan 1381,03 cm menunjukkan serapan amida III (ulur C-N) juga merupakan bukti keberadaan gugus asetil.
Berdasarkan Gambar 4.9 pada spektra FT-IR kitosan, muncul puncak
- 1 serapan pada bilangan gelombang 3448,72 cm (Velde dan Kiekens, 2004).
- 1
Melebarnya puncak serapan pada bilangan gelombang 3448,72 cm menunjukkan telah terjadinya proses deasetilasi. Puncak serapan pada bilangan gelombang
- 1
- 1
2924,09 cm mempunyai intensitas lebih lemah daripada 2931,80 cm pada spektra FT-IR kitin, hal ini menunjukkan telah hilangnya sebagian gugus asetil akibat proses deasetilasi dengan basa kuat konsentrasi tinggi. Adanya serapan
-1
pada bilangan gelombang 1658,78 cm yang merupakan serapan amina primer ditandai dengan munculnya 2 puncak bersebelahan.
4.8.4 Hasil perhitungan derajat deasetilasi
Perhitungan derajat deasetilasi pada kitin dan kitosan dilakukan menggunakan hasil analisa FT-IR dengan software DDK Project metode Baxter.
Dari penelitian didapatkan derajat deasetilasi (DD) kitin dan kitosan masing- masing sebesar 43,54% dan 84,43%. Suatu molekul dikatakan kitin bila mempunyai derajat deasetilasi (DD) kurang dari 70% dan dikatakan kitosan bila derajat deasetilasi (DD) lebih dari 70% (Kim et al.,2001).
4.9 Hasil Pembuatan Membran Fotokatalitik Komposit Kitosan-Selulosa Diasetat-TiO
2 Pembuatan membran komposit diawali dengan melarutkan selulosa
diasetat dengan variasi konsentrasi 2%, 4%, 6%, 8% dan 10% dalam aseton dan masing-masing ditambahkan kitosan dengan konsentrasi 3% dalam asam asetat 2%. Kemudian campuran dituangkan ke dalam labu erlenmeyer bertutup lalu ditambahkan formamida 8% (v/v) dan diaduk dengan magnetic stirer sampai larutan homogen. Formamida berfungsi sebagai zat aditif. Larutan dope didiamkan 1 malam untuk menghilangkan gelembung udara agar tidak terbentuk
pin hole pada saat dicetak. Larutan yang telah bebas dari gelembung udara dibuat membran dengan metode inversi fasa.
Metode inversi fasa ini berdasarkan pada prinsip termodinamika, di mana larutan dicetak dengan kondisi awal yang stabil, kemudian larutan ini mengalami ketidakstabilan pada proses demixing (perubahan fasa). Langkah awal metode inversi fasa ialah dengan menuangkan larutan dope sebanyak 5 mL di atas cawan petri seperti ditunjukkan pada Gambar 4.4. Tujuan pencetakan membran pada cawan petri untuk mempercepat dan mempermudah pengelupasan membran yang akan dicetak, karena permukaan cawan petri lebih halus dibandingkan dengan plat kaca. Kemudian untuk membentuk dan meratakan permukaan membran, cawan petri digoyang-goyangkan hingga larutan dope rata di atas cawan petri. Membran yang telah dicetak kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu penguapan
80 C untuk menghilangkan pelarut-pelarut yang terdapat di dalam campuran membran.
Gambar 4.10 Larutan dope membran dalam cawan petriSetelah membran kering, cawan petri dituangi dengan NaOH 4% sebagai koagulan untuk membantu melepaskan membran dari cawan petri . Membran yang diperoleh lalu dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan sisa-sisa pelarut. Kemudian membran ditempatkan pada plastik mika dan dikeringkan di udara terbuka. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir mengerutnya membran setelah kering. Membran yang telah kering lalu diuji sifat mekanikn nya dengan alat
autograph untuk mengetahui membran yang mempunyai komposisi selulosa
diasetat yang optimum. Setelah diperoleh komposisi selulosa diasetat yang optimum, mengulangi prosedur diatas dengan menambahkan suspensi TiO
2 dalam
metanol dengan variasi konsentrasi 0,1%, 0,15%, 0,2%, 0,25%, dan 0,3% ke dalam larutan dope membran. Kemudian dilakukan uji mekanik dan kinerja membran untuk mengetahui membran yang optimum dalam mengolah limbah zat warna tekstil congo red. Membran komposit kitosan-selulosa diasetat-TiO
2 hasil
sintesis ditunjukkan pada Gambar 4.10
Gambar 4.11 Membran kitosan-selulosa diasetat-TiO2
4.10 Hasil Karakterisasi Membran Kitosan dengan Variasi Konsentrasi Selulosa Diasetat
Karakterisasi terhadap membran kitosan dengan variasi konsentrasi selulosa diasetat meliputi uji tarik menggunakan alat autograph untuk mengetahui nilai stress agar diperoleh membran yang memiliki sifat mekanik kuat.
4.10.1 Hasil uji sifat mekanik membran kitosan dengan variasi konsentrasi selulosa diasetat
Membran yang memiliki sifat mekanik yang kuat dapat dilihat dari nilai stress yang tinggi. Stress merupakan perbandingan antara gaya dan luas penampang membran. Grafik hubungan antara nilai stress dengan variasi konsentrasi selulosa diasetat ditunjukkan pada Gambar 4.12
0,025 2 ) 0,02 m m
0,015 N/ (k s
0,01 es tr S
0,005
2
4
6
8
10
12 Konsentrasi selulosa diasetat (%)
Gambar 4.12 Grafik hubungan antara nilai stress dengan variasi konsentrasi selulosa diasetat dalam membran kitosanselulosa diasetat Berdasarkan Gambar 4.12, membran kitosan yang memiliki nilai stress tertinggi yaitu membran dengan konsentrasi selulosa diasetat 4%. Pada umumnya, semakin banyak komposisi selulosa diasetat maka kekuatan mekaniknya rendah karena selulosa diasetat berperan untuk memperbesar pori sehingga kekuatan dari membran tersebut semakin menurun yang disebabkan oleh kurang rapatnya strukur membran.
4.11 Hasil Karakterisasi Membran Kitosan-Selulosa Diasetat dengan Variasi Konsentrasi TiO
2 Karakterisasi membran dilakukan untuk memperoleh membran yang
terbaik. Karakterisasi membran kitosan-selulosa diasetat-TiO
2 meliputi uji
ketebalan dengan mikrometer sekrup, uji kekuatan mekanik membran, uji kinerja membran berupa fluks dan rejeksi serta uji SEM untuk mengetahui morfologi membran kitosan-selulosa diasetat-TiO
2 dan FT-IR untuk mengetahui gugus- gugus fungsi membran komposit yang optimum.
4.11.1 Hasil uji ketebalan membran kitosan-selulosa diasetat dengan variasi konsentrasi TiO
2 Pengukuran ketebalan membran adalah indikator keseragaman dan
kontrol kualitas membran. Membran diukur dari sisi kanan, kiri, tengah, atas dan bawah. Tebal membran diukur sebanyak 2 kali, menggunakan mikrometer sekrup kemudian dihitung ketebalan rata-ratanya. Pengukuran ketebalan membran dilakukan menggunakan mikrometer sekrup. Pada penelitian ini diperoleh ketebalan membran sebesar 0,01 mm seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.13
) 0,012 mm 0,01
( n ra b 0,008 m e
0,006 m n la
0,004 a b te e
0,002 K
0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 Konsentrasi TiO (%) 2 Gambar 4.13 Grafik hubungan antara ketebalan rata-rata membran dengan
variasi konsentrasi TiO
2 dalam membran
kitosan-selulosa diasetat- TiO
2 Ketebalan yang dihasilkan sama rata yaitu 0,01 mm. Membran yang baik
adalah membran yang tipis tapi kuat. Ketebalan membran akan berpengaruh pada sifat permeabilitas karena semakin tebal membran, maka jarak yang akan ditempuh umpan akan semakin panjang sehingga laju alir fluida umpan akan semakin lama dan berpotensi memperbesar terjadinya fouling karena penumpukan material umpan di atas permukaan membran (Baker, 2004).
4.11.2 Hasil uji sifat mekanik membran kitosan-selulosa diasetat dengan variasi konsentrasi TiO
2 Karakterisasi sifat mekanik perlu dilakukan untuk mengetahui kekuatan
membran terhadap gaya. Uji sifat mekanik menggunakan alat autograph meliputi nilai stress, strain, modulus young (Stevens, 2001). Stress adalah perbandingan gaya dengan luas penampang membran. Grafik hubungan antara nilai stress
2
dengan variasi komposisi TiO dapat dilihat pada Gambar 4.14
0,025 0,02 0,015 0,01 0,005 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25
Konsentrasi TiO 2 (%) 0,3 0,35
Gambar 4.14 Grafik hubungan antara nilai stress konsentrasi TiO2 dalam membran
diasetat-TiO
2
dengan variasi kitosan-selulosa Berdasarkan data-data yang ditunjukkan pada Gambar 4.14, membran yang memiliki sifat mekanik tertinggi adalah membran kitosan-selulosa diasetat dengan konsentrasi TiO
2 0,3% yang dapat dilihat dari nilai stress yang tinggi.
Dari data tersebut juga diperoleh bahwa semakin banyak komposisi TiO
2 maka
semakin tinggi nilai stress. Hal ini disebabkan oleh struktur membran yang semakin rapat sehingga kekuatan membran meningkat dan gaya yang diberikan pada membran juga semakin besar.
Strain adalah perbandingan antara perubahan panjang membran setelah
diberi gaya dengan panjang mula-mula. Nilai strain membran menunjukkan elastisitas membran. Grafik hubungan antara nilai strain dengan variasi komposisi TiO
2 ditunjukkan pada Gambar 4.15 S tr es s (k N/ m m 2 )
0,2 0,15 n ai
0,1 tr S
0,05 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 Konsentrasi TiO (%) 2 Gambar 4.15 Grafik hubungan antara nilai strain dengan variasi
2
konsentrasi TiO dalam membran kitosan-selulosa
2
diasetat-TiO Berdasarkan Gambar 4.15, membran yang memiliki nilai strain tertinggi yaitu membran kitosan-selulosa diasetat dengan konsentrasi TiO
2 0,1%. Semakin
2
banyak komposisi TiO , nilai strain juga semakin rendah. Hal ini disebabkan karena dengan bertambahnya komposisi TiO
2 akan menyebabkan struktur
membran semakin rapat sehingga elastisitasnya berkurang. Membran yang baik adalah membran yang memiliki elastisitas rendah, karena apabila elastisitas suatu membran besar maka dapat mengakibatkan pembesaran pada pori sehingga selektifitas membran semakin kecil (Baker, 2004).
Modulus young adalah perbandingan nilai stress dan strain. Pada membran
kitosan-selulosa diasetat-TiO
2 , hubungan nilai modulus young dengan variasi
komposisi TiO
2 dapat ditunjukkan pada Gambar 4.16
0,45 2 ) 0,4 m m
0,35 N/
0,3 (k g
0,25 n u
0,2 o y
0,15 s lu
0,1 u d o 0,05 M
0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 Konsentrasi TiO (%) 2 Gambar 4.16 Grafik hubungan antara nilai modulus young dengan variasi
konsentrasi TiO
2 dalam membran kitosan-selulosa
diasetat-TiO
2 Berdasarkan Gambar 4.16, membran yang memiliki nilai modulus young
2 tertinggi yaitu membran kitosan-selulosa diasetat dengan konsentrasi TiO 0,3%.
Nilai modulus young mengalami peningkatan sebanding dengan tingginya konsentrasi TiO
2 . Semakin besar komposisi TiO 2 maka nilai modulus young
modulus young yang tinggi dipengaruhi nilai stress yang semakin besar. Nilai juga meningkat.
4.11.3 Hasil uji kinerja membran kitosan-selulosa diasetat dengan variasi konsentrasi TiO
2 Kinerja suatu membran sangat ditentukan oleh parameter utama berupa
nilai fluks dan rejeksi. Nilai fluks dan rejeksi membran ditentukan dengan menggunakan alat sel filtrasi dead end dan spektrofotometer UV-Vis. Hubungan antara fluks dengan variasi komposisi TiO
2 ditunjukkan pada Gambar 4.17
1200 1000 800 600 400 200
2 yang aktif
Parameter kinerja membran yang kedua adalah rejeksi. Hubungan antara rejeksi dengan variasi komposisi TiO
penurunan. Hal ini dikarenakan adanya proses filtrasi oleh membran. Proses filtrasi ini menyebabkan membran menjadi berwarna merah dan terjadi penumpukan solut pada pori-pori membran (fouling) sehingga menyebabkan penyempitan yang menghalangi laju umpan (Baker, 2004).
2 0,25% dan 0,3% nilai fluks mengalami
besar. Namun ketika konsentrasi TiO
congo red menjadi struktur yang lebih kecil sehingga laju aliran umpan semakin
dalam mendegradasi
2
dalam membran maka semakin besar pula kemampuan TiO
0,1%, 0,15% dan 0,2% mengalami kenaikan fluks karena semakin besar konsentrasi TiO
0,1 0,15 0,2 0,25 Konsentrasi TiO 2 (%)
2
dalam membran. Membran dengan komposisi TiO
2
2 Berdasarkan Gambar 4.17, nilai fluks dipengaruhi oleh komposisi TiO
2 dalam membran kitosan-selulosa diasetat- TiO
TiO
Gambar 4.17 Grafik hubungan antara nilai fluks dengan variasi konsentrasi0,3
2 ditunjukkan pada Gambar 4.18 F lu k s (L /m 2 ha ri )
100
99 )
98 (% i
97 jeks e
96 R
95
94 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 Konsentrasi TiO (%) 2 Gambar 4.18 Grafik hubungan antara nilai rejeksi dengan variasi
konsentrasi TiO
2 dalam membran kitosan-selulosa
diasetat- TiO
2 Berdasarkan Gambar 4.18, membran yang memiliki nilai rejeksi tertinggi
yaitu dengan konsentrasi TiO
2 0,3%. Nilai rejeksi meningkat sebanding dengan
2
2
meningkatnya konsentrasi TiO . Semakin tinggi konsentrasi TiO maka semakin rapat ukuran dan distribusi pori yang dihasilkan oleh membran sehingga kemampuan membran dalam menahan umpan semakin besar.
Membran optimum adalah membran yang memiliki sifat mekanik yang kuat ditandai dengan nilai stress yang tinggi, kinerja yang baik dilihat dari nilai rejeksi tinggi dan fluks yang cukup tinggi pula. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka membran optimum adalah membran dengan komposisi kitosan 3%, selulosa diasetat 4% dan TiO
2 0,3% dimana nilai stress yang diperoleh
2
2 sebesar 0,02250 kN/mm , fluks 1061,54 L/m hari dan rejeksi 99,60%.
4.11.4
2 Hasil penentuan morfologi membran kitosan-selulosa diasetat-TiO
Uji SEM bertujuan untuk mengetahui morfologi membran, distribusi dan ukuran pori membran pada permukaan dan penampang melintang membran. Uji ini dilakukan pada membran fotokatalitik dengan kondisi optimum yaitu dengan konsnetrasi kitosan 3%, selulosa diasetat 4% dan TiO
2 0,3%. Hasil penentuan
komposit kitosan-selulosa diasetat-TiO
2 ditunjukkan pada
morfologi membran Gambar 4.19
2 Gambar 4.19 Hasil SEM permukaan membran kitosan-selulosa diasetat-TiO
Gambar 4.19 merupakan hasil SEM permukaan membran yang bertujuan untuk mengetahui distribusi dan ukuran pori membran. Dari gambar tersebutdiketahui bahwa membran ini memiliki pori dan persebaran porinya cukup merata. Pada gambar tersebut terlihat butiran-butiran putih TiO
2 yang tidak larut
sempurna pada pembuatan larutan dope membran, hal ini dikarenakan TiO
2 yang digunakan dalam bentuk suspensi.
4.11.5
2 Hasil analisis FT-IR membran kitosan-selulosa diasetat-TiO
2 Spektra FT-IR membran kitosan-selulosa diasetat-TiO ditunjukkan pada
Gambar 4.20
Gambar 4.20 Spektra FTIR membran kitosan-selulosa diasetat (a) dan membran kitosan-selulosa diasetat-TiO2 (b)
Berdasarkan Gambar 4.20 dapat dilihat bahwa tidak terdapat banyak perbedaan pita serapan yang muncul pada membran kitosan-selulosa diasetat dan membran kitosan-selulosa diasetat-TiO
2 terbukti masih terlihat pita serapan C-O
- 1
ester pada bilangan gelombang 1265,30 cm ciri khas dari selulosa diasetat dan
- 1
pita serapan ciri khas dari kitosan.
- –NH pada bilangan gelombang 1635,64 cm Pada spektra FT-IR membran kitosan-selulosa diasetat-TiO
2 tidak terlihat pita
- 1
serapan pada bilangan gelombang 509 cm yang menunjukkan ikatan Ti-O pada TiO
2 . Munculnya pita serapan pada spektra FT-IR membran kitosan-selulosa
- 1 -1
2
diasetat-TiO pada bilangan gelombang 370,33 cm dan 339,47 cm menunjukkan adanya ikatan Ti-N (Nakamoto, 2009). Oleh karena itu terjadi ikatan kimia antara TiO
2 dengan kitosan pada membran fotokatalitik ini yang ditandai dengan perubahan gugus fungsi.
4.12 Hasil Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Congo Red
Penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan dengan mengukur absorbansi dari larutan standar congo red 100 ppm menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Pada penelitian ini diperoleh panjang gelombang maksimum dari larutan congo red sebesar 496 nm. Hasil penentuan panjang geombang maksimum dari larutan congo red ditunjukkan pada Gambar 4.21
Gambar 4.21 Grafik panjang gelombang maksimum dari congo red4.13 Hasil Pembuatan Kurva Standar Larutan Congo Red
Larutan standar congo red dengan konsentrasi 1, 20, 40, 60, 80, dan 100 ppm diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum 496 nm. Kemudian dibuat grafik linier dengan konsentrasi sebagai sumbu x dan absorbansi sebagai sumbu y. Persamaan regresi yang diperoleh sebesar y = 0,025x + 0,019. Kurva standar larutan congo red ditunjukkan pada Gambar 4.22
3 2,5 si
2 n a rb 1,5 so y = 0,025x + 0,019 b
1 A
R² = 0,999 0,5
20
40
60 80 100 120 Konsentrasi congo red (ppm)
Gambar 4.22 Kurva standar larutan congo red4.14 Hasil Pengaruh Variasi Waktu Kontak antara Membran Fotokatalitik dengan Lampu UV terhadap Konsentrasi Congo Red yang Tersisa
Menentukan waktu optimasi TiO
2 dalam mendegradasi congo red
dilakukan dalam reaktor fotokatalitik dengan cara membran dari berbagai variasi konsentrasi TiO
2 dikontakkan dengan larutan congo red. Kemudian diukur
absorbansinya setiap variasi waktu yang telah ditentukan. Hubungan antara waktuc penyinaran dengan absorbansi congo red ditunjukkan pada Gambar 4.23
2,5
2 2 TiO2 0,1% TiO si n
1,5 a
TiO2 0,15% 2 TiO rb so 2 TiO2 0,2% TiO
1 b A 2 TiO
TiO2 0,25% 0,5 TiO 2 TiO2 0,3%
5
10
20
30
45
60 90 120 180 Waktu penyinaran (menit)
Gambar 4.23 Grafik hubungan antara waktu penyinaran dengan absorbansicongo red
Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa waktu optimum dalam mendegradasi congo red adalah 180 menit, hal ini dilihat dari penurunan absorbansi congo red yang paling signifikan. Semakin lama waktu penyinaran maka absorbansi dari larutan congo red semakin menurun. Menurunnya absorbansi menandakan konsentrasi congo red sisa juga menurun. Hal ini
2
disebabkan oleh semakin lamanya waktu kontak antara TiO dalam membran dengan sinar UV dalam reaktor sehingga kemampuan TiO
2 semakin aktif dalam mendegradasi congo red.
4.15 Hasil Aplikasi Membran Kitosan-Selulosa Diasetat-TiO 2 untuk Pengolahan Limbah Zat Warna Tekstil Congo Red
2 Aplikasi membran kitosan-selulosa diasetat-TiO untuk pengolahan limbah
zat warna tekstil congo red ditentukan dari nilai fluks dan rejeksi. Limbah tekstil
congo red yang digunakan berwarna biru hal ini dikarenakan kondisi larutan
limbah tekstil bersuasana asam. Perlakuan awal adalah menyaring limbah tekstil dengan kertas saring What mann ukuran 42. Kemudian mengukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis, namun karena konsentrasinya terlalu pekat sehingga dilakukan pengenceran 100 kali, diperoleh absorbansi sebesar 1,094 dengan konsentrasi sebesar 4300 ppm. Selanjutnya, limbah tekstil dikontakkan dengan membran dalam reaktor fotokatalitik selama 3 jam lalu diukur absorbansinya, sehingga didapat absorbansi sebesar 0,528 dengan konsentrasi sebesar 2036 ppm maka diperoleh % degradasi sebesar 52,65%. Kemudian dilanjutkan dengan proses dead end yang menghasilkan nilai fluks dan % rejeksi
2
masing-masing sebesar 715,529 L/m .hari dan 92,19 %. Nilai rejeksi dan fluks yang dihasilkan dari pengolahan limbah zat warna tekstil congo red lebih rendah dibandingkan dengan kinerja membran terhadap sampel congo red murni
2
100 ppm dengan fluks 1061,540 L/m hari dan rejeksi 99,60%. Hal ini disebabkan oleh terlalu banyaknya komponen yang terkandung dalam limbah tekstil tersebut sehingga dapat mengganggu kinerja dari membran yang seharusnya spesifik terhadap zat tertentu. Proses pengolahan limbah tekstil congo red terjadi karena kemampuan membran dalam memfiltrasi limbah zat warna tekstil dan adanya atom Ti pada TiO
2 yang berikatan dengan atom N pada kitosan membentuk
senyawa kompleks yang mampu mendegradasi zat warna dengan pembentukan radikal hidroksil yang merupakan oksidator kuat (Lodha et al., 2008). Mekanisme pembentukan radikal hidroksil oleh senyawa kompleks [Ti-N kitosan ] sebagai berikut:
n+1 (n+1 )
[Ti-N kitosan ] hv [Ti-N kitosan ]
(n+1 ) + n+ +
[Ti-N kitosan ] + + H
2 O hv Ti
- OH + H
1500 ) ri a 2 h
1000 /m (L s
500 luk F
Congo red murni Limbah tekstil congo red Sampel
Gambar 4.24 Perbandingan nilai fluks membran kitosan-selulosa diasetat-TiO
2 terhadap sampel congo red murni dan limbah tekstil congo red
100 ) (% si
95 jek Re
90
85 Congo red murni Limbah tekstil congo red Sampel
Gambar 4.25 Perbandingan nilai rejeksi membran kitosan-selulosa diasetat-TiO2 terhadap sampel congo red murni dan
limbah tekstil congo red Hasil pengolahan sampel congo red murni ditunjukkan pada Gambar 4.26
(a (b (c
Gambar 4.26 Congo red awal (a), Congo red setelah didegradasi dalam reaktor fotokatalitik (b), dan Congo red setelah difiltrasidengan membran kitosan-selulosa diasetat-TiO
2 (c)
Hasil pengolahan sampel limbah tekstil congo red ditunjukkan pada Gambar 4.27
(a (b (c
Gambar 4.27 Limbah tekstil congo red awal (a), limbah tekstil congo red setelah didegradasi dalam reaktor fotokatalitik (b), danlimbah tekstil congo red setelah difiltrasi dengan membran
2
kitosan-selulosa diasetat-TiO (c)