PESAN-PESAN KEISLAMAN DALAM TRILOGI NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI (Kajian Semiotik dan Semantik)

PENELITIAN RUMPUN ILMU TAHUN 2014

  

PESAN-PESAN KEISLAMAN DALAM TRILOGI NOVEL

NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI

(Kajian Semiotik dan Semantik)

  

Oleh

Drs. Bahroni, M.Pd.

  

NIP. 196408181994031004

PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN

MASYARAKAT

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

2014

PERNYATAAN KEASLIAN

  Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Drs. Bahroni, M.Pd.

  NIP : 196408181994031004 Pangkat/Golongan : Pembina (IVa) / Lektor Kepala

menyatakan bahwa naskah penelitian dengan judul PESAN-PESAN

KEISLAMAN DALAM TRILOGI NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD

FUADI (Kajian Semiotik dan Semantik), secara keseluruhan adalah hasil

penelitian/karya saya sendiri, kecuali bagian-bagian yang dirujuk

sumbernya dan telah saya susun sesuai dengan kaidah dan etika

penelitian.

  Salatiga, 22 Desember 2014 Yang Menyatakan Drs. Bahroni, M.Pd.

  NIP. 196408181994031004

  

ABSTRAK

Bahroni. 2014. Pesan-pesan Keislaman dalam Trilogi Novel Negeri 5

Menara Karya Ahmad Fuadi (Kajian Semiotik dan Semantik).

  Penelitian Rumpun Ilmu. Konsultan: Prof. Dr. H. Mansur, M.Ag. Kata kunci: keislaman, semiotik, semantik Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) bagaimanakah

pesan tentang prinsip umum keislaman dalam trilogi novel Negeri 5

  

Menara?; (2) bagaimanakah pesan tentang aqidah, ibadah, dan akhlak

dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?; dan (3) bagaimanakah pesan

tentang jihad dan dakwah dalam trilogi novel Negeri 5 Menara? Adapun

tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mendeskripsikan dan

menjelaskan pesan tentang prinsip umum keislaman dalam trilogi

novel Negeri 5 Menara?; (2) mendeskripsikan dan menjelaskan pesan

tentang aqidah, ibadah, dan akhlak dalam trilogi novel Negeri 5

Menara?; dan (3) dan mendeskripsikan dan menjelaskan pesan tentang

jihad dan dakwah dalam trilogi novel Negeri 5 Menara? Sumber data dalam penelitian berupa dokumen yakni trilogi

novel N5M, R3W, dan R1M. Bentuk dan makna pesan-pesan keislaman

dideskripsikan dengan menelaah novel-novel tersebut dengan bantuan

referensi-referensi lain yang relevan dan opini publik yang berupa

tulisan-tulisan di media tentang tanggapan pembaca terhadap isi

trilogi novel N5M. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini

menggunakan teknik pustaka, yakni teknik pengambilan data dari

berbagai sumber tertulis beserta konteks lingual yang mendukung

analisis data.

  Pengolahan dan analisis data dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: (1) pengurutan data sesuai dengan masalah yang akan dijawab; (2) pembentukan satuan-satuan data dalam stiap urutannya sesuai dengan kemungkinan hubungan cici kategorinya; (3) interpretasi nilai data sesuai dengan masalah yan akan dijawab; (4) evaluasi tingkat kelayaan dan kelengkapan data dikaitkan dengan rentang masalahnya. Evaluasi ini juga menyangkut penafsiran validitas data bila dihubungkan dengan isi penjelasan yang diberikan. Berdasarkan hasil evaluasi ini dapat ditentukan perlu tidaknya mencari data baru. Berdasarkan hasil analisis, selanjutnya dilakukan pendeskripsian, yakni penjelasan secara sistematis tentang fakta tertentu yang dihasilkan berdasarkan konsep dan cara kerja yang telah ditetapkan.

  Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama,

pesan-pesan tentang prinsip umum keislaman dalam trilogi novel

Negeri 5 Menara meliputi (1) prinsip Ketuhanan (Rabbaniyah),

misalnya para ustadz di PM dalam mengajar hanya karena ibadah,

karena melaksanakan perintah Allah; (2) prinsip kemanusiaan

  

(insaniyah) yang terdiri dari (a) ukhuwah (persaudaraan), misalnya

ketika kawan-kawan Alif berkelahi, Amak memanfaatkan momentum

itu untuk mendidik Alif tentang contoh-contoh perilaku yang termasuk

dalam nilai-nilai persaudaraan, misalnya mengucapkan salam dan

bersikap ramah terhadap sesama (tersenyum); (b) persamaan,

misalnya ketika Alif kurang disiplin dalam mengikuti pelajaran

Kesenian, Amak memberi nilai tidak bagus, yakni nilai 5 meskipun Alif

adalah anak kandungnya sendiri; (c) kebebasan, misalnya para santri

di PM dibebaskan dalam mengikuti kegiatan pengembangan bakat

masing-masing santri. Demikian pula, para santri juga bebas membaca

buku apa saja tetapi tentu dibatasi dengan aturan bahwa buku yang

dibaca harus buku-buku yang bermanfaat; (3) prinsip universalitas

(syumul), misalnya para mahasiswa ITB melengkapi ilmu tekniknya

yang diperoleh melalui perkuliahan dengan ilmu keislaman dengan

cara mengadakan diskusi-diskusi di luar jam perkuliahan., (4) prinsip

moderat (al-wasthiyyah), misalnya ajaran keseimbangan antara ikhtiar

dan tawakal. Alif belajar secara sungguh-sungguh pada malam hari

meskipun harus menahan rasa kantuknya. Sementara itu, Alif yang

berdoa kepada Allah setelah belajar merupakan bentuk tawakal setelah

berikhtiar secara maksimal; (5) prinsip kontekstual (Al-Waqi’iyyah):

prinsip ajaran Islam yang bersifat kontekstual benar-benar ditemukan

di PM yang direpresentasikan dengan sejumlah mata kegiatan yang

dapat membekali para santri untuk menjalani kehidupan di tengah-

tengah masyarakat baik sekarang maupun yang akan datang; (6)

prinsip kejelasan (al-wudhuh): kejelasan dalam tujuan beragama yang

utama, yakni hanya untuk beribadah dan mencari ridha Allah dengan

penuh keikhlasan.

  Kedua, pesan-pesan tentang aqidah, meliputi: beriman kepada

Allah SWT, beriman kepada Malaikat Allah, beriman kepada Kitab Allah,

beriman kepada Rasul Allah, dan beriman kepada qodho dan qodar

Allah. Pesan-pesan tentang ibadah mahdhoh meliputi: wudhu, adzan,

shalat, membaca Alquran, dan puasa; ibadah ghoiru mahdhoh

meliputi: berdoa, membaca/belajar, sedekah, beristighfar, dan

mengajar. Adapun pesan-pesan tentang akhlak meliputi: bersyukur,

menjaga atau menundukkan pandangan, tawadhu’, berbakti kepada

orangtua (birrul walidain), meminta maaf dan memaafkan kesalahan

orang lain, berprasangka baik (huznudzon), dan memuliakan tamu.

  Ketiga, pesan-pesan tentang jihad adalah sebagai berikut: (1) jihad yang

  bermakna bersungguh-sungguh atau berjuang keras dalam menuntut ilmu. Dalam hal ini Alif ingin menjadi ulama yang intelek, maka ia bertekat meraihnya dengan ikhtiar maksimal yakni dengan belajar yang sunguh-sungguh dengan semboyan

  

man jadda wajada; (2) jihad yang lebih ditekankan pada semangat berhijrah dalam rangka meraih cita-cita. Amak sangat menginginkan anaknya (Alif) menjadi pendakwah dalam pengertian amar ma’ruf nahi munkar, yakni mengajak orang untuk senantiasa berbuat baik dan meninggalkan perilaku yang jahat. Adapun pesan-pesan tentang dakwah sebagai berikut: (1) dakwah bil-lisan: ketika liburan para santri PM menjalankan amanah Kiai Rais dan melaksanakan ajaran Nabi Muhammad, yakni mengamalkan sabda Nabi saw: Ballighu anni walau

  

aayah, sampaikanlah sesuatu dariku, walau hanya sepotong ayat; (2) dakwah bil-

hal, yakni dengan berkarya secara nyata atau melakukan suatu perbuatan atau

  sikap tertentu dengan berpegang teguh pada prinsip dari agama yang diyakini kebenarannya meskipun berbeda dengan sikap atau pendapat orang yang berada di lingkungannya. Dalam hal ini, Amak menolak dan memprotes sikap sebagian besar guru di tempat mengajarnya dimana para guru bersepakat untuk melonggarkan pengawasan ujian dan membantu siswa dalam mengerjakan soal ujian Ebtanas.

  

KEMENTERIAN AGAMA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT

Jl. Tentara Pelajar No.2 Telp. (0298) 323706, Fax 3233433

Salatiga 50721

  

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : PESAN-PESAN KEISLAMAN DALAM TRILOGI NOVEL

  NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI

(Kajian Semiotik dan Semantik)

Peneliti : Drs. Bahroni, M.Pd.

  NIP : 196408181994031004 Jenis Penelitian : Penelitian Rumpun Ilmu Tema : Keislaman dan Bahasa Salatiga, 22 Desember 2014 Konsultan Kepala P3M Prof. Dr. H. Mansur, M.Ag. Mufiq, S.Ag, M.Phil NIP. 196806131994031004 NIP.

  196906171996031004

KATA PENGANTAR

  Alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT dan kontribusi dari

berbagai pihak, penyusunan laporan penelitian unggulan judul ”PESAN-

PESAN DALAM TRILOGI NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD

FUADI (Kajian Semiotik dan Semantik) ” dapat terselesaikan

dengan baik.

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan

rujukan dalam upaya memperkaya khazanah ilmu pengetahuan,

terutama dalam bidang kajian sastra yang dikaitkan dengan pesan-

pesan keislaman.

  Peneliti sangat mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif

dari berbagai pihak terhadap kekurangan-kekurangan dalam penelitian

in untuk perbaikan karya-karya peneliti di masa-masa mendatang.

  Akhirnya, semua kebenaran mutlak dan kesempurnaan hanyalah

milik Allah, segala kekurangan dan kesalahan tentu dari peneliti

sebagai manusia biasa. Mudah-mudahan karya yang jauh dari

kesempurnaan ini ada manfaatnya. Amin.

  Salatiga, 22 Desember 2014

  

Peneliti

Drs. Bahroni, M.Pd.

  DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ___i PERNYATAAN KEASLIAN ___ ii ABSTRAK ___ iii LEMBAR PENGESAHAN ___ v KATA PENGANTAR ___ vi DAFTAR ISI ___vii

  BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ___1 B. Rumusan Masalah ___5 C. Tujuan Penelitian ___ 5 D. Manfaat Penelitian ___5 E. Metode Penelitian ___ 7

  1. Pendekatan dan Strategi Penelitian ___ 7

  2. Data dan Sumber Data Penelitian ___ 7

  3. Teknik Pengumpulan Data ___8

  4. Validitas Data ___ 8

  5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ___8

  BAB II : LANDASAN TEORI A. Ajaran Islam ___ 10 B. Semiotik ___ 14 C. Semantik ___ 26

  D. Pesan Agama dalam Karya Sastra ___ 37

  

BAB III :BENTUK DAN MAKNA PESAN-PESAN TENTANG PRINSIP UMUM

KEISLAMAN A. Prinsip Ketuhanan (Rabbaniyah) ___ 38 B. Prinsip Kemanusian (Al-Insaniyah) ___ 39 C. Prinsip Universalitas (Syumul) ___ 45 D. Prinsip Moderat (Al-Wasthiyyah) ___ 46 E. Prinsip Kontekstual (Al-Waqi’iyyah) ___ 48 F. Prinsip Kejelasan (Al-Wudhuh) ___ 50 BAB IV : BENTUK DAN MAKNA PESAN-PESAN TENTANG AQIDAH A. Beriman kepada Allah SWT. ___ 51 B. Beriman kepada Malaikat Allah ___ 52 C. Beriman kepada Kitab Allah ___ 53 D. Beriman kepada Rasul Allah ___ 53 E. Beriman kepada Qodho dan Qodar Allah ___ 54 BAB V : BENTUK DAN MAKNA PESAN-PESAN TENTANG IBADAH A. Wudhu ___ 57 B. Adzan ___ 57 C. Shalat ___ 58 D. Membaca Alquran ___ 59 E. Berpuasa ___ 62 F. Berdoa ___ 64 G. Membaca/belajar ___ 66 H. Bersedekah ___ 68 I. Beristighfar ___ 70 J. Mengajar ___ 73 BAB VI : BENTUK DAN MAKNA PESAN-PESAN TENTANG AKHLAK A. Bersyukur ___ 77 B. Menjaga Pandangan ___ 80

  C. Tawadhu’ ___ 82

  D. Berbakti kepada Orangtua (Birrul Walidain) ___ 84

  E. Meminta Maaf dan Memaafkan Kesalahan Orang Lain __87

  F. Berprasangka Baik (Huznudzon) ___ 89

  G. Memuliakan Tamu ___ 90

  

BAB VII : BENTUK DAN MAKNA PESAN-PESAN TENTANG JIHAD

DAN DAKWAH A. Jihad ___ 93 B. Dakwah ___ 97 BAB VIII : PENUTUP A. Kesimpulan ___ 101 B. Saran ___ 103 DAFTAR PUSTAKA ___ 105 LAMPIRAN-LAMPIRAN ___108 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semua ummat Islam diwajibkan untuk menyampaikan

  pesan-pesan keislaman (berdakwah), dimulai kepada diri sendiri, keluarga, dan masyarakat luas. Penyampaian pesan-

  pesan keislaman dapat dilakukan dengan berbagai strategi sebagai berikut.

  Pertama, dakwah fardiah, yakni strategi dakwah yang dilakukan seseorang kepada orang lain (satu orang) atau kepada beberapa orang dalam jumlah yang kecil dan terbatas. Biasanya dakwah fardiah terjadi tanpa persiapan yang matang dan tersusun secara tertib. Termasuk kategori dakwah seperti ini adalah menasihati teman sekerja, teguran, anjuran memberi contoh. Termasuk dalam hal ini pada saat mengunjungi orang sakit, pada waktu ada acara (ucapan selamat), dan pada waktu upacara kelahiran (tasmiyah).

  Kedua, dakwah ‘ammah, merupakan strategi dakwah yang dilakukan oleh seseorang dengan media lisan yang ditujukan kepada orang banyak dengan maksud menanamkan pengaruh kepada mereka. Media yang dipakai biasanya berbentuk khotbah . Dakwah ‘ammah ini kalau ditinjau dari segi subjeknya, ada yang dilakukan oleh perorangan dan ada yang dilakukan oleh organisasi tertentu yang berkecimpung dalam soal-soal dakwah.

  Ketiga, dakwah bil-lisan yakni penyampaian informasi atau pesan dakwah melalui lisan (ceramah atau komunikasi langsung antara subjek dan objek dakwah). Strategi ini akan efektif bila penyampaiannya bertepatan dengan hari ibadah seperti khutbah Jumat atau khutbah hari raya, kajian yang disampaikan menyangkut ibadah praktis, konteks sajian terprogram, disampaikan dengan metode dialog dengan hadirin.

  Keempat, dakwah bil-haal, yakni strategi dakwah yang mengedepankan perbuatan nyata. Hal ini dimaksudkan agar si penerima dakwah mengikuti jejak dan hal ikhwal dari pendakwah. Strtegi dakwah ini biasanya lebih efektif dan mempunyai pengaruh yang besar pada diri penerima dakwah. Pada saat pertama kali saw tiba di kota

  

beliau mencontohkan dakwah bil-haal ini dengan

  mendirikan dalam ikatan ukhuwah Islamiyah.

  Kelima, dakwah bit-tadwin, yakni strategi strategi dakwah melalui tulisan, baik dengan menerbitkan kitab-kitab, majalah, koran, dan tulisan-tulisan yang mengandung pesan- pesan keislaman, termasuk penulisan novel-novel islami.

  Keuntungan dakwah dengan strategi ini materi dakwah tidak menjadi musnah meskipun sang pendakwah atau penulisnya sudah wafat. diakses pada 21 Desember 2014). Menyangkut dakwah dengan tulisan ini Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya tinta para ulama adalah lebih baik dari darahnya para syuhada". Tentunya, tinta para sastrawan yang menulis novel yang mengandung pesan-pesan keislaman juga termasuk kedalam makna sabda Rasulullah saw tersebut.

  Oleh karena biasanya para pembeca novel itu atas kemauan sendiri, maka pesan-pesan keislaman yang diserap dari bacaan novel itu lebih menyentuh hatinya. Hal yang demikian ini terjadi karena para pembaca novel tidak merasa digurui oleh penyampai pesan keislaman (penulis). Agaknya strategi dakwah ini dapat dikategorikan sebagai dakwah bil hikmah yakni menyampaikan dakwah dengan cara yang arif bijaksana, yaitu melakukan pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak objek dakwah mampu melaksanakan dakwah atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, tekanan maupun konflik. Dengan kata lain, penyampaian pesan-pesan keislaman melalui novel merupakan suatu strategi komunikasi dakwah yang dilakukan atas dasar persuasif.

  Sebagai salah satu jenis karya sastra, novel menarik untuk dikaji. Kehadirannya dimaksudkan untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan kepada masyarakat, baik yang berhubungan dengan aspek politik, sosial, budaya, pendidikan, kemanusiaan, maupun agama. Pengarang mengkreasi novel sebagai salah satu solusi alternatif untuk merespon permasalahan yang muncul mengingat novel erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Teeuw (1988:20) bahwa novel sebagai salah satu jenis karya sastra diciptakan tidak dalam keadaan kekosongan budaya.

  Dewasa ini, kesadaran akan pentingnya penyebaran pesan-pesan keislaman melalui penciptaan novel semakin meningkat yang ditandai dengan terbitnya novel-novel inspiratif karya penulis-penulis muda berbakat. Misalnya, Trilogi novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, 99 Cahaya

  

di Langit Eropa karya Hanum Salsabila Rais dan Rangga

  Almahendra, Kemuning Senja di Beranda Mekah karya Abu Umar Basyir, Dalam Mihrab Cinta karya Habirrahman El- Shirazy, Di Jamuan Cinta-Mu di Arafah karya Ratna Januarita,

  

Jangan Biarkan Surau ini Roboh karya Taufiqurrahman Al-Azizy,

Kutemukan Engkau dalam Sujudku karya Rizma Nurani, dan

  masih banyak lagi novel-novel sejenis.

  Sebelum hadirnya novel-novel islami sebagaimana tersebut di atas, masyarakat banyak disuguhi sajian jenis- jenis novel yang kurang mendidik karena banyak yang mengangkat tema konflik rumah tangga, perselingkuhan, dan pergaulan bebas para remaja. Oleh sebab itu, hadirnya novel- novel islami tersebut dinilai banyak memberikan pencerahan bagi masyarakat. Dengan membaca novel-novel islami tersebut, masyarakat banyak yang mengalami perubahan ke arah kebaikan karena tersentuh pesan-pesan keislaman yang ada di dalam novel-novel tersebut.

  Trilogi novel Negeri 5 Menara yang terdiri dari (1) Negeri

  5 Menara/N5M (2009), (2) Ranah 3 Warna/R3W (2011), dan (3) Rantau 1 Muara/R1M (2013) karya Ahmad Fuadi dengan latar

  cerita masyarakat Sumatera Barat yang terkenal religius- tradisional dan Pondok Modern Gontor yang terkenal religius- modern merupakan novel yang patut diapresiasi, dibaca, dan diteliti agar pesan-pesan keislaman yang terkandung di dalamnya lebih tersebar luas di masyarakat.

  Untuk itulah, penelitian dengan judul Pesan-pesan

  Keislaman dalam trilogi novel N5M karya Ahmad Fuadi (Kajian Bentuk dan Makna) layak untuk dilakukan.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

  1. Bagaimanakah pesan tentang prinsip umum keislaman dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?

  2. Bagaimanakah pesan tentang aqidah, ibadah, dan akhlak dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?

  3. Bagaimanakah pesan tentang jihad dan dakwah dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?

C. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah untuk:

  1. Mendeskripsikan dan menjelaskan pesan tentang prinsip umum keislaman dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?

  2. Mendeskripsikan dan menjelaskan pesan tentang aqidah, ibadah, dan akhlak dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?

  3. Mendeskripsikan dan menjelaskan pesan tentang jihad dan dakwah dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?

D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang kajian bentuk dan makna yang terkait dengan pesan-pesan keislaman.

  2. Manfaat Praktis.

  a. Bagi Dunia Pendidikan Makna pesan-pesan keislaman yang dideskripsikan dan dijelaskan dalam penelitian ini diharapkan dapat:

  1) Menjadi materi pengayaan bagi para guru agama Islam dalam menyampaikan ajaran Islam kepada peserta didiknya

  2) Menjadi bahan pertimbangan bagi para guru Bahasa dan Sastra Indonesia dalam memilih bahan bacaan yang berupa novel, agar novel yang disarankan untuk dibaca para peserta didik yang beragama Islam (mayoritas) adalah novel-novel yang mengandung pesan-pesan keislaman, mengingkat pentingnya internalisasi nilai-nilai keislaman bagi pembetukan generasi muslim-muslimah yang shalih-shalihah dan unggul.

  b. Bagi Masyarakat 1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah apresiasi yang mendalam terhadap karya sastra

  Indonesia kontemporer, khususnya trilogi novel

  Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi yang mengandung pesan-pesan keislaman.

  2) Dengan mengetahui dan mengamalkan pesan-pesan keislaman yang terdapat dalam trilogi novel Negeri 5

  Menara diharapkan masyarakat dapat meningkatkan

  keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan peduli pada sesamanya.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Strategi Penelitian

  Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif- deskriptif, yakni bertujuan untuk mengungkapkan berbagai informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti dan penuh nuansa untuk menggambarkan secara cermat sifat- sifat suatu hal, keadaan, fenomena, dan tidak terbatas pada pengumpulan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi data tersebut (Sutopo, 2002:111). Penelitian ini berusaha mendeskripsikan secara kualitatif bentuk dan makna pesan-pesan keislaman dalam aspek aqidah, ibadah, dan akhlak/muamalah.

2. Data dan Sumber Data Penelitian

  a. Data Penelitian

  Data penelitian kebahasaan adalah fenomena lingual khusus yang berkaitan langsung dengan masalah penelitian (Sudaryanto, 2002:5-6). Data penelitian ini berupa data kebahasaan, yakni pemakaian bentuk- bentuk kata, frasa, kalimat, paragraf, idiom, dan tanda- tanda linguistik lain yang dapat dikamaknai secara semantik maupun semiotik.

  b. Sumber Data

  Sumber data dalam penelitian berupa dokumen yakni trilogi novel N5M, R3W, dan R1M. Bentuk dan makna pesan-pesan keislaman dideskripsikan dengan menelaah novel-novel tersebut dengan bantuan referensi-referensi lain yang relevan dan opini publik yang berupa tulisan- tulisan di media tentang tanggapan pembaca terhadap isi trilogi novel N5M.

3. Teknik Pengumpulan Data

  Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pustaka, yakni teknik pengambilan data dari berbagai sumber tertulis beserta konteks lingual yang mendukung analisis data. Berbagai tulisan dipilih yang mencerminkan pemakaian potensi bahasa yang khas (Subroto,1992:42).

  4. Validitas Data

  Agar data yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan dapat menjadi landasan dalam penarikan kesimpulan, maka sebelum informasi dijadikan data penelitian perlu dicermati validitas dan reliabiltasnya. Untuk menjamin keabsahan dan kredibilitas data penelitian, digunakan tekni trianggulasi, yang lazim dipakai dalam penelitian kualitatif.

  5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

  Pada tahap ini dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: (1) pengurutan data sesuai dengan masalah yang akan dijawab; (2) pembentukan satuan-satuan data dalam stiap urutannya sesuai dengan kemungkinan hubungan cici kategorinya; (3) interpretasi nilai data sesuai dengan masalah yan akan dijawab; (4) evaluasi tingkat kelayaan dan kelengkapan data dikaitkan dengan rentang masalahnya. Evaluasi ini juga menyangkut penafsiran validitas data bila dihubungkan dengan isi penjelasan yang diberikan. Berdasarkan hasil evaluasi ini dapat ditentukan perlu tidaknya mencari data baru.

  Berdasarkan hasil analisis, selanjutnya dilakukan pendeskripsian, yakni penjelasan secara sistematis tentang fakta tertentu yang dihasilkan berdasarkan konsep dan cara kerja yang telah ditetapkan (Aminuddin, 1995:67).

BAB II LANDASAN TEORI A. Ajaran Islam Menurut Nurdin, dkk (1995) Islam berasal dari kata

  aslama yuslimu yang berarti tunduk, menyerah, patuh, dan

  damai. Secara etimologis, Islam adalah agama yang diturunkan Allah kepada manusia yang ajaran-ajarannya disampaikan lewat rasul-Nya (utusan-Nya). Jadi, Islam adalah agama samawi yang diturunkan Allah kepada manusia dan ajaran-ajarannya disampaikan oleh rasul yang berakhir dengan Nabi Muhammad saw.

  Senada dengan pendapat di atas, Suryana, dkk (1996) menyatakan bahwa secara bahasa Islam berasal dari kata

  aslama yang berarti tunduk, patuh, dan berserah diri. Secara

  etimologis, Islam adalah nama agama wahyu yang diturunkan Allah kepada rasul-rasul-Nya yang berisi aturan-aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Islam dalam pengertian ini adalah amanat yang dibawa oleh rasul sejak Nabi Adam as sampai dengan Nabi Muhammad saw.

  Takariawan, dkk (2003: 79) menjelaskan tentang pengertian Islam. Ditinjau dari asal katanya, istilah Islam berasal dari bahasa Arab, yakni aslama-yuslimu yang artinya menyerahkan. Kata tersebut bentukan dari salima, yang berarti selamat. Dari kata itu pula lahir kata-kata baru seperti

  

istislam (menyerahkan diri), salaam (sejahtera), silm (damai),

  dan sullam (tangga). Secara terminologis, Islam adalah ketundukan kepada wahyu Allah yang diturunkan kepada para nabi dan rasul, khususnya Nabi Muhammad SAW., sebagai hukum atau aturan Allah yang membimbing manusia ke jalan yang lurus menuju kebahagiaan dunia-akhirat.

  Nama agama pada umumnya berasal atau bersandarkan nama penyeru atau nama asal munculnya. Misalnya, Budha diambil dari nama pencetusnya, yaitu Budha (Sidharta Gautama), Kristen dari Kristus atau nama lainnya Nasrani (karena Yesus lahir di daerah Nazaret). Adapun nama Islam adalah pemberian langsung dari Allah, yakni dienul Islam (Takariawan, dkk., 2003:79).

  Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapatlah disimpulkan bahwa Islam adalah agama samawi yang diturunkan Allah melalui rasul-Nya yang berisi ajaran-ajaran mulia untuk disampaikan kepada manusia. Ajaran-ajaran tersebut berisi aturan-aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.

  Takariawan, dkk., (2003:81) menjelaskan bahwa Islam memiliki karakteristik, di antaranya:

  1. Rabbaniyah (ketuhanan)

  Rabbaniyah (ketuhanan) adalah berorientasi kepada

  Allah dalam segala aspeknya. Orientasi tersebut meliputi: (1) rabbaniyah ghayah wa mijhah (orientasi ketuhanan dalam tujuan dan sudut pandang), yakni bahwa Islam menjadikan tujuan akhir dan sasarannya jauh ke depan, yaitu menjaga hubungan dengan Allah secara baik demi mencapai ridha-Nya. (2) rabbaniyah masdar wa manhaj (orientasi ketuhanan dalam sumber hukum dan sistem), yakni bahwa sistem yang telah ditetapkan oleh Islam guna mencapai sasaran dan tujuan itu adalah sistem rabbani yang murni, yang berasal dari Allah.

  2. Al-insaniyah (kemanusiaan) Selain berorientasi ketuhanan, ternyata Islam adalah ajaran yang sangat manusiawi. Islam itu istimewa dengan kecenderungan kemanusiaannya yang jelas, tetap, dan asli dalam akidah, syariat, dan akhlak. Buah dari insaniyah dalam Islam adalah ukhuwah (persaudaraan), persamaan, dan kebebasan. Prinsip persaudaraan dalam Islam adalah karena berasal dari satu keturunan, yaitu Adam dan Hawa. Di samping itu, dasar keimanan merupakan bagian dari dasar persaudaraan yang mengikat kaum muslimin di manapun berada.

  3. Syumul (universal) Risalah Islam adalah risalah yang panjang terbentang sehingga meliputi semua abad sepanjang zaman, terbentang luas sehingga meliputi semua cakrawala umat, dan begitu mendalam sehingga memuat urusan-urusan dunia-akhirat. Risalah Islam memuat risalah sampai akhir zaman, risalah bagi alam semesta, dan risalah untuk segala sektor kehidupan.

  4. Al-Wasthiyyah (moderat) Moderat atau tawazun (keseimbangan) meliputi keseimbangan di antara dua jalan atau dua arah yang saling berhadapan atau bertentangan yang salah satu dari dua jalan tersebut tidak bisa berpengaruh dengan sendirinya dan mengabaikan yang lain. Contohnya individu dengan kolektif, kontekstual dengan idealisme, konsisten dengan perubahan. Modert dalam Islam meliputi moderat dalam ideologi, moderat di antara rasionalis dan naturalis, moderat dalam memperlakukan nabi, moderat dalam meletakkan akal dan wahyu/ilham, moderat dalam sisi ketuhanan dan kemanusiaan beribadah, dan moderat di antara orientasi dunia-akhirat.

  5. Al-Waqi’iyyah (kontekstual) Islam adalah serangkaian kalam Allah yang abadi bagi manusia. Allah menjamin Islam sebagai ajaran yang sesuai dengan kondisi manusia di mana saja, kapan saja, dan bagi siapa saja. Kontekstual dalam Islam meliputi kontekstual dalam akidah, kontekstual dalam ibadah, kontekstual dalam akhlak, dan kontekstual dalam syariat.

  6. Al-Wudhuh (jelas) Islam adalah risalah yang jelas, baik berhubungan dengan asas-asanya, sumber hukumnya, sasaran dan tujuan, maupun kejelasan sistem dan jalan penyelesaiannya. Kejelasan dalam Islam meliputi kejelasan dalam ibadah, kejelasan dalam akhlak/ adab, kejelasan dalam hukum, kejelasan dalam tujuan beragama, serta kejelasan sistem dan jalan penyelesaian masalah.

  Darajat, dkk (1984) menyatakan bahwa sumber ajaran Islam berasal dari Alquran dan hadis, serta terdiri dari akidah yang merupakan akar yang menunjang kokohnya batang di atas permukaan bumi, syariat merupakan batang yang berdiri kokoh di atas akar, dan akhlak yang merupakan buah dari akar dan batang. Akidah berkaitan dengan kepercayaan dan keimanan seseorang kepada Allah. Syariat berhubungan dengan masalah hukum dan norma yang mengatur manusia dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam. Syariat terdiri dari ibadah dan muamalah. Sedangkan akhlak berkaitan dengan perilaku manusia.

B. Semiotik

1. Pengertian Semiotik

  Larsen (2009:1) menulis satu kalimat cukup panjang yang penuh makna. Kalimat itu berbunyi, “Sebagai manusia, kita bisa menentukan untuk tidak makan atau tidak minum, tidak berkomunikasi, atau bahkan mungkin untuk tidak hidup; tetapi, di sepanjang hidup kita, kita tidak dapat memilih untuk tidak menyampaikan makna ke dunia sekeliling kita.” Artinya, dalam menjalani kehidupan ini sebenarnya kita diberi kebebasan oleh Allah untuk berbuat apa pun.

  Namun demikian, kita harus ingat bahwa kita tidak dapat bebas atau melepaskan diri dari pemaknaan orang lain terhadap apa yang telah kita perbuat. Dalam perspektif Islam, semua perbuatan kita, baik atau buruk, tidak hanya dimaknai oleh orang lain, tetapi juga senantiasa dicatat oleh Malaikat Pencatat Amal dan sekecil apa pun perbuatan kita itu, pasti berdampak pada yang berbuat, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.

  Menurut Larsen dalam Baryadi (2007:46), semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda.

  Semiotik berarti ilmu yang mempelajari tentang tanda, baik struktur maupun proses tanda. Istilah lain dari semiotik adalah semiologi. Kedua istilah tersebut tidak mengandung perbedaan konseptual. Perbedaannya terutama terletak pada wilayah pemakaiannya, yaitu semiotik yang pada mulanya digunakan oleh Charles Sanders Peirce lebih lazim dipakai di dunia Anglo-Sakson, sedangkan semiologi yang pada awalnya digunakan oleh Ferdinand de Saussure lebih lazim di Eropa Koninental. Agaknya perbedaan penggunaan dua istilah tersebut juga dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan dua tokoh tersebut. Peirce (1834 – 1914, berkebangsaan Amerika Serikat, berbahasa Inggris) yang lebih suka menggunakan istilah semitik merupakan seorang ahli filsafat dan logika, sedangkan Saussure (1857 – 1913, berkebangsaan Swiss, berbahasa Prancis) yang lebih suka menggunakan istilah semiologi merupakan seorang peneliti/ilmuwan bahasa (linguis), pelopor linguitik modern.

  Dalam pengertian yang luas, semiotik adalah studi kegiatan kegiatan manusia yang mendasar yaitu menciptakan makna. Atau, studi tentang tetanda (tanda- tanda) yang bermakna. Tetanda adalah segala corak atau tipe unsur—verbal , nonverbal, natural, artifisial—yang membawa makna. Dengan kata lain, semiotik adalah studi tentang berbagai struktur tanda dan aneka proses tanda. Ada dua jenis pendapat mengenai hakikat tanda. Pendapat pertama dikenal sebagai pendapat formal. Pendapat ini ditokohi oleh Saussure. Pengertian tanda bertitik tolak dari pengertian tanda bahasa, kemudian hal itu diterapkan untuk tanda yang lain. Pendapat ini, sesuai dengan namanya, lebih mementingkan ciri-ciri formal tanda. Oleh karena itu, pendapat ini disebut aliran strukturalisme. Pendapat kedua berasal dari aliran pragmatis. Pelopor aliran ini adalah Peirce, yang berpendapat bahwa hakikat tanda itu tidak hanya terletak pada struktur internalnya, tetapi juga penggunaannya (Larsen, 1994:3824).

  Sebagai disiplin khusus, semiotik terus dikembangkan sehingga menjadi studi tentang tetanda yang berfungsi di dunia kegiatan manusia. Dalam hal ini, semiotik mengkaji tiga masalah mendasar. Pertama, bagaimana dunia yang mengelilingi kita itu disusun melalui tetanda sebagai lingkungan yang manusiawi karena persepsi dan pengertian kita terhadapnya itu. Kedua, bagaimana dunia ini di-kode- kan atau di-sandi-kan dan di-dekode-kan atau di-sandi-kan kembali. Dengan demikian, menjadi sebuah ”ranah kultural khusus” yang terdiri atas jejaring tetanda. Ketiga, bagaimana kita ”berkomunikasi” dan ”bertindak” melalui tetanda agar ranah ini menjadi dunia kultural yang diikutsertakan secara kolektif (Larsen, 2009:2).

2. Jenis-jenis Tanda

  Dilihat dari sifat hubungannya, kadang tanda itu mirip dengan yang ditandai, maka tanda yang semacam ini disebut ikon (icon), hubungannya bersifat ikonik (iconic), misalnya patung, foto, peta, denah, karikatur, dan sebagainya. Jika antara tanda dengan yang ditandai ada kedekatan eksistensi, maka tanda semacam ini disebut indeks (index), hubungannya bersifat indeksikal (indexical), misalnya asap sebagai tanda ada api; panah sebagai tanda arah kiblat; mak tekluk sebagai tanda mengantuk, dan sebagainya. Selanjutnya, jika antara tanda dengan yang ditandai merupakan kesepakatan/konvensional maka disebut simbol (symbol), hubungannya bersifat simbolik (symbolic), misalnya jilbab sebagai tanda kemuslimahan seseorang; blankon sebagai tanda orang Jawa; dan sebagainya.

  Dengan kata lain, konsep ikon memiliki pasangan ganda, yaitu “indeks” dan “simbol”. Konsep yang triadik itu dimunculkan oleh Pierce untuk mengidentifikasi sifat dominan hubungan antara tanda dengan objek yang ditandai atau teracunya. Hubungan antara tanda dan yang ditandai dapat menampakkan kemiripan; artinya tanda mirip dengan objek yang ditandai. Oleh karena itu, tanda yang dimaksud “bertindak” mewakili dengan modus kemiripan terhadap objek objek yang ditandai itu. Tanda yang demikian itu disebut ikon dan tentu saja bersifat ikonik.

  Hubungan antara tanda dengan objek yang ditandai atau teracunya dapat pula menampakkan diri “karena ada kedekatan eksistensi”. Artinya, keberadaan tanda itu “sinambung” dengan yang ditandai, meskipun menurut kesadaran pemakainya keduanya berbeda. Oleh karena itu, tanda yang dimaksud menjadi pengacu bagi si objek yang ditandai. Tanda yang demikian itu disebut indeks dan tentu saja bersifat indeksikal.

  Akhirnya, hubungan antara tanda dengan objek yang ditandai atau teracunya dapat pula tidak mirip dan tidak mengacu sebagaimana dimaksudkan pada tanda ikon dan indeks. Tanda yang dimaksud berstatus tanda bagi objek yang ditandai semata-mata karena pemakai sengaja men- status-kan apa yang menjadi tanda itu sebagai tanda tanpa memperhitungkan kadar kemiripannya atau tanpa mempertimbangkan kadar kedekatan eksistensinya. Pada dirinya, yang distatuskan sebagai tanda itu tidak memiliki potensi mirip atau “sinambung” dengan objek teracunya. Sesuatu itu berstatus sebagai tanda semata-mata karena dikaidahkan atau ditentukan serta saling disetujui antar pemakainya. Jadi, merupakan konvensi dan konsesus yang status “ke-wakil-an” dan pengacunya diperoleh karena ditentukan bersama secara arbitrer. Tanda yang demikian itu disebut simbol dan tentu saja bersifat simbolik.

  Patut dicatat, meskipun tanda itu ada tiga macam, akan tetapi terasumsikan tidak ada tanda yang sepenuhnya bersifat ikonik, sepenuhnya bersifat indeksikal, sepenuhnya bersifat simbolik. Di dalam satu sifat terkandung pula salah satu atau kedua sifat yang lain.

  Dari ketiga jenis tanda tersebut, ikon merupakan tanda yang utama karena berkaitan dengan proses mewujudkan fungsi tanda. Dengan ikon, fungsi tanda dapat diwujudkan secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, uraian tentang tanda semiotik berikut ini akan difokuskan pada ikon.

  Kata ikon berasal dari bahasa Latin, yaitu icon yang berarti ’arca, patung, atau gambar’. Kata ikon selanjutnya dipakai oleh Peirce sebagai istilah dalam semiotik, yaitu untuk menyebut jenis tanda --sebagaimana telah disebut di atas--yang penandanya memiliki hubungan kemiripan dengan objek yang diacunya. Atau, tanda yang bentuk fisiknya memilki kaitan erat dengan sifat khas dari apa yang diacunya (Sudaryanto dalam Baryadi, 2007:1).

  Frasa ”kaitan yang erat” dalam definisi di atas, berart ”mirip” atau ”mencerminkan”, dan frasa ”apa yang diacunya” berarti realitas, isi tuturan, isi wacana, atau situasi. Oleh karena itu, pengertian ikon dalam linguistik dapat diformulasikan dengan lebih jelas, yaitu satuan bahasa yang bentuknya mirip dengan realitas yang diacunya atau satuan bahasa yang bentuknya mencerminkan realitas yang diacunya.

  Dalam dunia pendidikan terutama yang terkait dengan ilmu bahasa, kajian yang terpenting mengenai ikon adalah mengenai ikon verbal atau bahasa yang ikonik. Oleh karena itu, bahasan berikut ini lebih ditujukan pada berbagai hal yang terkait dengan ikon verbal tersebut.

3. Nilai-nilai dalam Ikon Verbal

  Menurut Sudaryanto (2008:31), nilai adalah kekuatan, setidak-tidaknya dalam perspektif kelestarian dan pelestarian identitas. Sebagai kekuatan, nilai menghasilkan, mengakibatkan, dan mendampakkan pula kekuatan.

  Ungkapan-ungkapan “ada nilai x-nya”, “memiliki nilai plus”,

  “mengembangkan nilai-nilai”, “mengorbankan nilai x”—nilai apa pun—terkait dengan fakta nilai semacam itu.

  Apabila pokok bahasan yang dipaparkan adalah mengenai nilai ikon, hal itu berarti bahwa yang dibicarakan adalah kekuatan yang dimiliki oleh ikon. Dalam hal ini, khususnya ikon verbal, ikon yang bersifat kebahasaan, yang tidak lain juga bahasa itu sendiri. Adapun macam nilai yang dimaksud meliputi antara lain nilai kebenaran, keindahan, dan kebaikan.

  Ikon merupakan istilah dalam disiplin semiotik. Dalam kajian semiotik, pemaparan tentang bahasa dan tanda menjadi hal yang sangat penting. Hal ini dimaksudkan agar posisi dan peran ikon tampak jelas.

  Dalam wacana linguistik, bahasa merupakan sistem simbol bunyi bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap), yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan pikiran dan perasaan (Wibowo, 2001:3).

  Bahasa merupakan sesuatu yang maujud atau entitas yang berwujud kata, frasa, kalimat, alinea, wacana, atau satuan lingual lain yang lebih kecil, mula-mula ialah dengan cara diucapkan. Dengan demikian, bahasa dikenal karena terdengar(kan). Adapun fungsi, peran, tugas, atau manfaatnya ialah untuk meng-anu-kan apa pun, segala hal, yang memang dapat di-anu-kan. Meng-anu-kan yang dimaksud adalah kinerja manusia pencipta, pemilik, dan pemakai bahasa. Meng-anu-kan itu identitasnya bermacam- macam. Secara acak, berikut merupakan sebagian kecil dari kinerja meng-anu-kan yang dimaksud: mendakwahkan, menyantuni, mendoakan, menamakan, menetapkan, mengatakan, menyatakan, memerinci, mengulas, merumuskan, menawar, menggertak, membantah, menyepakati, mengakses, menjanjikan, menyarankan, mengivestigasi, meminta, menceritakan, menjelaskan, mempersoalkan; mengumpat, mengakui, membual; dan masih banyak lagi lainnya (Sudaryanto , 2008).

  Sebagaimana bentuk kinerja, yang bila dicatat secara saksama ada bermacam-macam itu, satu sama lain saling menghubungkan secara spektral dan prismatik. Dikatakan sebagai hubungan “spektral” jika yang melaksanakan kinerja itu berbagai jenis satu lingual (linguistic unit), yang rinciannya ialah (1) menyebut: dengan kata; (2) menentukan: dengan frasa; (3) menguraikan: dengan kalimat; (4)

  

menerangkan atau menjelaskan: dengan alinea; dan (5)

menceritakan: dengan wacana. Dikatakan “prismatik”, jika