BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori - UPAYA MENINGKATKAN DISIPLIN DAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA MATERI PECAHAN MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BRUNER DI KELAS IV SD NEGERI 2 LESMANA - repository perpustakaan

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori

  1. Sikap Disiplin

  a. Pengertian Disiplin Para ahli mengungkapkan berbagai pengertian tentang disiplin.

  Wijaya (2014: 97) bahwa kata disiplin berasal dari bahasa Inggris

  discipline yang berakar dari kata disciple yang berarti siswa, pengikut,

  penganut, atau seseorang yang menerima pengajaran dan menyebarkan ajaran tersebut. Disiplin yang berasal dari kata dicipline berarti peraturan yang harus diikuti; bidang ilmu yang dipelajari; ajaran; hukuman atau etika, norma, dan tata cara bertingkah laku. Disciplinary adalah model atau cara untuk memperbaiki atau hukuman pelanggaran aturan (discipline). Pengertian disiplin secara umum adalah tindakan individu untuk melaksanakan serta menaati peraturan, tata tertib, dan norma yang berlaku di lembaga tertentu. Oleh karena itu, pelaksanaan disiplin akan senantiasa mengacu pada norma, peraturan, serta patokan yang menjadi unsur penentu perilaku dan juga ada unsur pengendali perilaku supaya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Komensky (dalam Koesoema, 2010: 236) kedisiplinan merupakan proses pengajaran, pelatihan, seni mendidik, dan materi kedisiplinan dalam sekolah.

  8 Disiplin penting diterapkan kepada siswa dari sejak dini. Salahudin dan Alkrienciehie (2013: 54) disiplin yaitu tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Listyarti (2012: 6) disiplin merupakan tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan pertaturan.

  Pendapat para ahli di atas, maka disiplin dapat disimpulkan yaitu tindakan individu untuk menaati dan patuh pada sebuah aturan, tata tertib, norma yang berlaku di sebuah lembaga atau instansi tertentu. Pelaksanaan disiplin mengacu pada norma, aturan, tata tertib yang menjadi patokan perilaku seseorang.

  b. Tujuan Disiplin Disiplin sangat perlu untuk mengatur perilaku dan tata kehidupan anak-anak, remaja, dan kaum muda sebagai prasyarat penting dalam pembentukan sikap, perilaku, dan tata kehidupan. Wijaya (2014: 98) mengatakan bahwa ada empat tujuan disiplin antara lain: 1) Mengetahui dan menyadari mengenai hak milik orang lain. 2) Mengerti larangan dan segera menurut untuk menjalankan kewajiban.

  3) Mengerti tingkah laku yang baik dan buruk. 4) Mengendalikan keinginan dan berbuat sesuatu tanpa merasa terancam hukuman.

  Kedisiplinan sangat penting diterapkan di sekolah, karena kedisiplinan memiliki tujuan. Komensky dalam (Koesoema, 2010: 235) yaitu sebagai berikut: 1) Kedisiplinan hanya diterapkan bagi siswa yang melanggar keteraturan. Namun itu diterapkan bukan karena siswa melanggarnya, sebab apa yang sudah terjadi tetaplah terjadi melainkan agar para pelanggar itu tidak lagi mengulangnya.

  2) Materi bagi kedisiplinan bukanlah hal-hal yang berkaitan dengan pembelajaran atau hal-hal yang berkaitan dengan sekolah, melainkan kebiasaan-kebiasaan buruk siswa sehingga pembelajaran dan sekolah itu tertata dengan baik. Kedisiplinan akan memikat hati siswa yang memiliki kebiasaan buruk yang merugikan belajarnya.

  3) Kedisiplinan mulai menampakkan pertumbuhannya, sama seperti biji tanaman yang tumbuh.

  Pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa tujuan disiplin adalah mengetahui dan menyadari mengenai hak milik orang lain, mengerti larangan dan segera menurut untuk menjalankan kewajiban, mengerti tingkah laku yang baik dan buruk. Tujuan disiplin lainnya adalah kedisiplinan hanya diterapkan bagi siswa yang melanggar keteraturan, materi bagi sikap disiplin bukanlah hal-hal yang berkaitan dengan pembelajaran melainkan kebiasaan-kebiasaan buruk siswa sehingga pembelajaran tertata dengan baik. c. Fungsi Disiplin Disiplin sangat perlu diterapkan kepada siswa pada saat proses pembelajaran di sekolah. Wijaya (2014: 98) disiplin berfungsi untuk menata kehidupan bersama, membangun kepribadian, melatih kepribadian, memaksa, hukuman, serta menciptakan lingkungan yang kondusif.

  d. Indikator Disiplin Disiplin terdiri dari beberapa indikator sebagai acuan membuat skala sikap tentang kedisiplinan. Hasan, H.A., dkk (2011:33) indikator-indikator disiplin untuk kelas 4, 5, dan 6 adalah sebagai berikut: 1) Menyelesaikan tugas tepat pada waktunya. 2) Saling menjaga antar teman agar semua tugas-tugas kelas terlaksana dengan baik.

  3) Selalu mengajak teman menjaga ketertiban kelas. 4) Mengingatkan teman yang melanggar peraturan dengan kata-kata yang sopan dan tidak menyinggung perasaan.

  5) Berpakaian sopan dan rapi. 6) Mematuhi aturan sekolah.

  e. Aspek Disiplin Sikap disiplin mengalir dari kebiasaan-kebiasaan siswa sejak dini. Pelaksanaan disiplin di sekolah bukan tiruan dari disiplin di rumah, melainkan memberikan makna dibalik setiap pembiasaan yang yang baik kepada siswa. Wijaya (2014: 99) mengatakan bahwa ada tiga aspek disiplin, antara lain sebagai berikut: 1) Sikap mental, yaitu sikap tata tertib, sebagai hasil latihan pengendalian pikiran dan pengendalian watak.

  2) Pemahaman baik mengenai sistem aturan tingkah laku, sehingga menumbuhkan kesadaran untuk memahami disiplin sebagai aturan yang membimbing perilaku. 3) Sikap dan tingkah laku yang secara wajar menunjukkan kesungguhan hati untuk menaati segala hal secara cermat.

  Pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa aspek disiplin yaitu sikap mental, pemahaman baik mengenai pemahaman sistem aturan tingkah laku, pemahaman sikap dan pemahaman tingkah laku. Aspek disiplin ini diterapkan pada siswa bukan hanya sebagai kebiasaan hidup melainkan menyangkut ketaatan dari pemahaman mengenai pemahaman sistem aturan tingkah laku, pemahaman sikap dan pemahaman tingkah laku.

  f. Ciri-ciri Orang yang Disiplin Memiliki sikap disiplin bukan dari bakat melainkan dari pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan secara terus menerus. Wijaya

  (2014: 100) beberapa ciri khusus yang dapat menunjuk pada sikap disiplin antara lain: 1) Ketaatan dan kepatuhan. Kita harus menaati aturan, norma, dan etika yang berlaku dalam masyarakat, sekolah, rumah, maupun di mana saja. Sebagai pelajar, siswa taat pada jam masuk sekolah, mengikuti pelajaran secara teratur, mengerjakan pekerjaan rumah dan tugas lainnya dengan yang diberikan oleh guru, serta memberi salam pada guru dan berlaku sopan melalui kata-kata maupun perbuatan. 2) Loyal terhadap norma dan aturan. Orang yang ingin menanamkan disiplin di dalam dirinya adalah orang yang setia dalam menjalankan norma dan aturan yang berlaku di sekolah, rumah, dan masyarakat. Sebagai pelajar, siswa menaati peraturan sekolah seperti tidak pulang setelah pelajaran selesai, tidak berkata kotor, dan tidak berkelahi.

  3) Mampu membedakan tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Siswa memahami tindakan yang sesuai dan tidak sesuai dengan aturan. Sebagai pelajar, siswa masuk sekolah pada jam 07.00 pagi, kecuali terjadi peristiwa tertentu yang tidak terencana.

  4) Mampu mengendalikan diri. Siswa harus mengendalikan kemarahan, keinginan diri yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang ada dalam agama maupun budaya masyarakat. Sebagai pelajar, ketika melihat banyak teman yang mencontek, siswa mampu mengendalikan diri untuk tidak mencontek. 5) Terus melatih dan membiasakan diri mengikuti aturan, norma serta tata tertib. Guru hanya membentuk diri siswa sebagai pribadi yang disiplin jika kita terus melatih diri untuk melakukannya setiap saat kapan dan dimana saja. Siswa harus melakukan hal itu secara konsisten atau terus menerus. Sebagai pelajar, siswa harus datang tepat waktu serta menyeimbangkan waktu untuk belajar dan bermain.

  g. Akibat Tidak Disiplin di Sekolah Ketidakdisiplinan berakibat berbahaya untuk individu yang mengalaminya. Wijaya (2014: 103) bahwa ketidakdisiplinan disebut dengan indisipliner. Akibat tidak disiplin siswa akan berpengaruh pada prestasi siswa yang rendah dan perilaku yang menyimpang.

  h. Poin yang di Langgar Siswa Siswa sering melakukan pelanggaran-pelanggaran sekolah dengan sengaja maupun tidak sengaja. Wijaya (2014: 107 ) beberapa poin yang sering kali dilanggar oleh siswa antara lain, sebagai berikut: 1) Terlambat masuk kelas.

  2) Keluar kelas saat ada pelajaran di kelas atau tidak mengikuti salah satu pelajaran.

  3) Tidak mengerjakan tugas atau PR. 4) Tidak masuk sekolah tanpa alasan yang jelas atau membolos. 5) Membawa barang-barang ke sekolah yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran.

  6) Membuat gaduh saat proses belajar mengajar di kelas. 7) Suka iseng mencorat-coret tembok atau bangku di sekolah. 8) Memakai seragam yang tidak sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh sekolah.

  9) Merokok di lingkungan sekolah.

  Siswa melanggar aturan sekolah karena malas, tidak semangat mengikuti aturan yang bisa menumbuhkan sikap positif di dalam dirinya. Siswa tidak mau berdisiplin diri sendiri atau mungkin juga siswa yang hanya cari muka dengan cara yang salah. Jika siswa masih malas dan tidak disiplin, sejak saat itu mereka merasa tidak nyaman dengan peraturan sekolah. Jika siswa mau meninggalkan sifat-sifat buruk tersebut, mereka tidak akan merasa berat dengan peraturan sekolah.

  Peraturan sekolah memberikan dampak positif untuk prestasi belajar siswa meningkat dan mereka menjadi remaja berdisiplin tinggi serta menghargai waktu. Siswa perlu mengetahui bahwa peraturan sekolah melatih mereka seterusnya sampai mereka menjadi mandiri karena ketika mereka memasuki dunia kampus, lingkungan tempat tinggal, serta dunia kerja, mereka tidak akan pernah lepas dari yang namanya peraturan sekolah sehingga ketika mereka dewasa akan terbiasa dan merasa bahwa peraturan di sekeliling bukan beban. i. Pembinaan Disiplin di Sekolah

  Mendisiplinkan siswa dalam pembelajaran harus dilakukan dengan kasih sayang dengan menimbulkan situasi yang menyenangkan bagi kegiatan pembelajaran. Guru memberikan situasi menyenangkan agar siswa mau menaati peraturan atau tata tertib yang berlaku di sekolah pada saat pembelajaran. Mulyasa (2011; 172) mengungkapkan cara untuk mendisiplinkan siswa dengan berbagai strategi, oleh karena itu guru perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Mempelajari pengalaman siswa di sekolah melalui catatan komulatif; 2) Mempelajari nama-nama siswa secara langsung, misalnya melalui daftar hadir di kelas; 3) Mempertimbangkan lingkungan sekolah dan lingkungan siswa; 4) Memberikan tugas yang jelas, dapat dipahami, sederhana dan tidak bertele-tele; 5) Menyiapkan kegiatan sehari-hari agar apa yang dilakukan dalam pembelajaran sesuai dengan yang direncanakan, tidak terjadi banyak penyimpangan;

  6) Berdiri di dekat pintu pada waktu mulai pergantian pelajaran agar siswa tetap berada dalam posisinya sampai pelajaran berikutnya dilaksanakan;

  7) Bergairah dan semangat dalam melakukan pembelajaran, agar dijadikan teladan oleh siswa; 8) Berbuat sesuatu yang bervariasi, jangan monoton, sehingga membantu disiplin dan gairan belajar siswa; 9) Menyesuaikan ilustrasi dan argumentasi dengan kemampuan siswa, jangan memaksakan siswa sesuai pemahaman guru, atau mengukur siswa dari kemampuan siswa ;

  10) Membuat peraturan yang jelas dan tegas agar bias dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh siswa.

  2. Prestasi Belajar

  a) Pengertian Belajar Belajar merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh seseorang agar mengalami perubahan kearah yang lebih baik. Slameto dalam

  (Djamarah, 2008: 13) menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Slameto dalam (Hadis dan Nurhayati, 2010: 60) belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi individu dengan lingkungannya. Bruner dalam (Al-Tabany, 2014: 17) bahwa belajar adalah suatu proses aktif dimana siswa membangun pengetahuan baru berdasarkan pada pengalaman atau pengetahuan yang sudah dimilikinya. Al-Tabany (2014: 18) belajar secara umum diartikan sebagai perubahan individu yang terjadi melalui pengalaman, bukan karena pertumbuhan atau perkembangan tubuhnya atau karakteristik seseorang sejak lahir.

  Pendapat dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah serangkaian kegiatan individu untuk memperoleh sebuah perubahan tingkah laku dari pengalaman-pengalaman dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif dan psikomotor. Belajar sebaiknya dilakukan individu untuk memperoleh pengetahuan baru yang dapat diterapkan dalam kehidupan dalam bermasyarakat. b) Ciri-Ciri Belajar Hakikat belajar adalah perubahan tingkah laku, maka ada beberapa perubahan tertentu yang dimasukkan ke dalam ciri-ciri belajar. Djamarah (2008: 15) ciri-ciri belajar antara lain sebagai berikut: 1) Perubahan yang Terjadi Secara Sadar

  Perubahan yang terjadi secara sadar berarti individu yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan itu atau sekurang- kurangnya individu merasa telah terjadi adanya suatu perubahan dalam dirinya. Misalnya siswa menyadari bahwa pengetahuannya bertambah, kecakapannya bertambah, kebiasaannya bertambah. 2) Perubahan dalam Belajar Bersifat Fungsional

  Perubahan yang terjadi dalam diri individu berlangsung secara terus menerus dan berubah keadaan. Suatu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan atau proses belajar berikutnya misalnya, jika seorang anak belajar menulis, maka siswa akan mengalami perubahan dari tidak bisa menulis menjadi dapat menulis.

  Perubahan itu berlangsung terus menerus hingga kecakapan menulisnya menjadi lebih baik dan sempurna. Siswa dapat menulis dengan kapur, dan sebagainya. Kecakapan menulis yang telah dimilikinya, siswa dapat memperoleh kecakapan-kecakapan lain.

  Misalnya, dapat menulis surat, menyalin catatan-catatan, mengerjakan soal-soal dan sebagainya.

  3) Perubahan dalam Belajar Bersifat Positif dan Aktif Perubahan belajar bersifat positif selalu bertambah dan tertuju untuk memperoleh suatu yang lebih baik dari sebelumnya, makin banyak usaha belajar itu dilakukan, makin banyak dan makin baik perubahan yang diperoleh. Perubahan yang bersifat aktif artinya bahwa perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan karena usaha individu sendiri misalnya, perubahan tingkah laku karena proses kematangan yang terjadi dengan sendirinya karena dorongan dari dalam, tidak termasuk perubahan dalam pengertian belajar. 4) Perubahan dalam Belajar Bukan Bersifat Sementara

  Perubahan yang bersifat sementara yang terjadi hanya untuk beberapa saat saja, seperti berkeringat, keluar air mata, menangis tidak dapat digolongkan sebagai perubahan dalam pengertian belajar. Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat menetap atau permanen, ini berati bahwa tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap, misalnya “kecakapan seorang anak dalam memainkan piano setelah belajar”, tidak akan hilang, melainkan akan terus dimiliki dan bahkan semakin berkembang bila terus dipergunakan atau dilatih. 5) Perubahan dalam Belajar Bertujuan atau Terarah

  Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah berarti bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai. Perubahan belajar terarah pada perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari, misalnya

  “seseorang yang belajar mengetik dapat mencapai dengan belajar mengetik, atau tingkat kecakapan mana yang dicapai ”. Perbuatan belajar yang dilakukan senantiasa terarah pada tingkah laku yang telah ditetapkan.

  6) Perubahan Mencakup Seluruh Aspek Tingkah Laku Perubahan yang diperoleh individu setelah melalui suatu proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Jika seseorang belajar sesuatu, sebagai hasilnya siswa akan mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap kebiasaan, keterampilan, dan pengetahuan, miisalnya

  “jika seorang anak telah belajar naik sepeda ”, maka perubahan yang paling tampak adalah dalam ketrampilan naik sepeda itu, akan tetapi anak telah mengalami perubahan-perubahan lainnya seperti pemahaman tentang cara kerja sepeda, pengetahuan tentang jenis-jenis sepeda, pengetahuan tentang alat-alat sepeda, cita-cita untuk memiliki sepeda yang lebih bagus, kebiasaan membersihkan sepeda, dan sebagainya. Jadi, aspek perubahan yang satu berhubugan erat dengan aspek lainnya.

  Pendapat dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri belajar adalah perubahan yang terjadi secara sadar, perubahan dalam belajar bersifat fungsional, perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif, perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara, perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah, perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku. Ciri-ciri belajar tersebut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kerangka pemahaman terhadap masalah belajar. c) Pengertian Prestasi Belajar Prestasi belajar pada umumnya berkenaan dengan aspek pengetahuan siswa.

  Arifin (2011: 12) kata “prestasi “ berasal dari bahasa Belanda yaitu prestatie. Kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi “prestasi” yang berarti ”hasil usaha”. Istilah “prestasi belajar” (achievement ) berbeda dengan “hasil belajar” (learning outcome). Arifin (2011: 12) mengungkapkan prestasi belajar merupakan suatu masalah yang bersifat perenial dalam sejarah kehidupan manusia, karena sepanjang rentang kehidupanya manusia selalu mengejar prestasi menurut bidang dan kemampuan masing-masing. Ahmadi dan Supriyono (2013: 138) mengatakan prestasi belajar yang dicapai seseorang merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri (faktor eksternal) individu. Pengenalan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar penting sekali artinya dalam rangka membantu siswa dalam mencapai prestasi belajar yang sebaik- baiknya.

  Pendapat beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan prestasi belajar adalah hasil usaha seseorang yang mempengaruhi baik dari dalam diri (faktor internal) maupun dari luar (faktor eksternal) karena manusia selalu mengejar prestasi menurut bidang dan kemampuan masing-masing. Prestasi belajar penting dimiliki untuk mengetahui kemampuan yang ada pada diri siswa. Arifin (2011: 12) prestasi belajar (achievement) semakin terasa penting untuk dibahas, karena mempunyai beberapa fungsi utama antara lain: 1) Prestasi belajar sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai siswa.

  2) Prestasi belajar sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu. Para ahli psikologi biasanya menyebut hal ini sebagai “tendensi keingintahuan (couriosity) dan merupakan kebutuhan umum manusia.

  ” 3) Prestasi belajar sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan.

  Asumsinya adalah prestasi belajar dapat dijadikan pendorong bagi siswa dalam meningkatkan ilmu pengetahuan dan berperan sebagai umpan balik (feedback) dalam meningkatkan mutu pendidikan. 4) Prestasi belajar sebagai indikator intern dan ekstern dari institusi pendidikan. Indikator intern dalam arti bahwa prestasi belajar dapat dijadikan indikator tingkat produktivitas suatu institusi pendidikan. Asumsinya adalah kurikulum yang digunakan bersangkut-paut dengan kebutuhan masyarakat dan siswa. Indikator ekstern dalam arti bahwa tinggi rendahnya prestasi belajar dapat dijadikan indikator tingkat kesuksesan siswa di masyarakat. Asumsinya adalah kurikulum yang digunakan bersangkut-paut pula dengan kebutuhan masyarakat.

  5) Siswa dapat dijadikan indikator daya serap (kecerdasan) siswa.

  Proses pembelajaran, siswa menjadi fokus utama yang harus diperhatikan, karena siswa yang diharapkan dapat menyerap seluruh materi pelajaran.

  Beberapa fungsi di atas, maka pentingnya guru mengetahui dan memahami prestasi belajar siswa, baik secara perseorangan maupun secara kelompok , karena fungsi prestasi tidak hanya sebagai indikator kualitas institusi pendidikan. Fungsi prestasi belajar tetapi juga bermanfaat sebagai umpan balik bagi guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Menurut Ahmadi dan Supriyono (2013: 138) faktor

  internal yang mempengaruhi prestasi belajar siswa sebagai berikut:

  1) Faktor jasmaniah (fisiologi) baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh, yang termasuk faktor ini misalnya penglihatan, pendengaran, struktur tubuh, dan sebagainya. 2) Faktor psikologis baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh terdiri atas: a) Faktor intelektif yang meliputi:

  (1) Faktor potensial yaitu kecerdasan dan bakat (2) Faktor kecakapan nyata yaitu prestasi yang telah dimiliki.

  b) Faktor non-intelektif, yaitu unsur-unsur kepribadian tertentu seperti sikap, kebiasaan, minat, kebutuhan, motivasi, emosi, penyesuaian diri. 3) Faktor kematangan fisik maupun psikis.

  Prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal. Beberapa faktor eksternal yaitu sebagai berikut (Ahmadi dan Supriyono, 2013: 138):

  a) Faktor sosial yang terdiri atas: (1) Lingkungan keluarga;

  (2) Lingkungan sekolah; (3) Lingkungan masyarakat; (4) Lingkungan kelompok;

  b) Faktor budaya seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian.

  c) Faktor lingkungan fisik seperti fasilitas rumah, fasilitas belajar, iklim.

  d) Faktor lingkungan spiritual atau keamanan.

  Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi secara langsung ataupun tidak langsung dalam mencapai prestasi belajar.

  3. Kajian tentang Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

  a. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Pembelajaran merupakan suatu kegiatan belajar mengajar.

  Dimyati dalam (Susanto, 2013: 186) pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain intruksional, untuk membuat siswa aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Pembelajaran berarti aktivitas guru dalam merancang bahan pengajaran agar proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif, yakni dapat belajar aktif dan bermakna. Susanto (2013: 185) pembelajaran merupakan komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh siswa. Pembelajaran didalamnya mengandung makna belajar dan mengajar, atau merupakan kegiatan belajar mengajar. Belajar terarah kepada guru yang harus dilakukan oleh seseorang sebagai subjek yang menerima pelajaran, sedangkan mengajar berorientasi pada kegiatan proses pembelajaran yang harus dilakukan oleh guru sebagai pemberi pelajaran. Kedua aspek ini akan berkolaborasi secara terpadu menjadi suatu kegiatan pada saat terjadi interaksi antara guru dengan siswa, serta antara siswa dengan siswa di dalam pembelajaran matematika sedang berlangsung.

  Pendapat para ahli di atas, pembelajaran dapat disimpulkan yaitu komunikasi yang terjadi antara guru dengan siswa yang terkolaborasi menjadi satu kegiatan yang sudah terprogram oleh guru. Pembelajaran ini hendaknya membuat siswa aktif dan bermakna yang menekankan pada penyediaan sumber belajar.

  Matematika merupakan bidang studi yang diajarkan di SD. Russeffendi ET dalam (Suwaningsih dan Tiurlina, 2006: 3) kata matematika berasal dari perkataan Latin mathematika yang mulanya diambil dari perkataan Yunani mathematike yang berarti mempelajari. Perkataan itu mempunyai asal katanya mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Kata mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu

  mathein atau mathenein yang artinya belajar (berfikir). Jadi,

  berdasarkan asal katanya, maka perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan berfikir (bernalar). Matematika lebih menekankan kegiatan dalam dunia rasio (penalaran), bukan menekankan dari hasil eksperimen atau hasil observasi matematika terbentuk karena pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan idea, proses dan penalaran. James dan James dalam (Suwaningsih dan Tiurlina, 2006: 4) adalah ilmu tentang logika, mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan lainnya. Matematika terbagi dalam tiga bagian besar yaitu aljabar, analisis dan geometri, tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa matematika terbagi menjadi empat bagian yaitu aritmatika, aljabar, geometris dan analisis dengan aritmatika mencakup teori bilangan dan statistika.

  Pengertian tentang matematika belum ada kepastian karena pengetahuan dan pandangan para ahli berbeda-beda. Susanto (2013:185) mengemukakan bahwa matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir dan beragumentasi, memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari dan dalam dunia kerja, serta memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

  Beberapa pendapat dari para ahli, matematika dapat disimpulkan yaitu ilmu tentang hubungan karena konsep-konsep matematika satu dengan yang lainnya saling berhubungan. Matematika diajarkan mulai dari jenjang Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.

  Matematika penting diajarkan untuk meningkatkan kemampuan berfikir dan beragumentasi, memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari dan dalam dunia kerja, serta memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

  Pembelajaran matematika sangat penting dipelajari oleh siswa di jenjang pendidikan. Susanto (2013: 186) pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangankan kreativitas berfikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan membangun pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasa yang baik terhadap materi matematika.

  Pendapat dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika merupakan suatu proses belajar yang terjadi antara guru dan siswa untuk meningkatkan kemampuan siswa pada saat belajar matematika. Pembelajaran matematika dipelajari siswa agar dapat menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan matematika.

  b. Teori Pembelajaran Matematika Pembelajaran di tingkat SD, diharapkan pembelajaran penemuan kembali. Heruman (2010: 4) penemuan kembali adalah menemukan suatu cara penyelesaian secara informal dalam pembelajaran di kelas. Walaupun penemuan tersebut sederhana dan bukan hal baru bagi orang yang telah mengetahui sebelumnya, tetapi bagi siswa SD penemuan tersebut merupakan suatu hal yang baru.

  Bruner dalam (Heruman, 2010: 4) metode penemuannya mengungkapkan bahwa dalam pembelajaran matematika, siswa harus menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang diperlukannya. „Menemukan‟ disini terutama adalah „menemukan lagi‟ (discovery) atau dapat juga menemukan yang sama sekali baru (invention). Oleh karena itu, kepada siswa materi disajikan bukan dalam bentuk akhir dan tidak diberitahukan cara penyelesaiannya. Pembelajaran matematika, guru harus lebih banyak berperan sebagai pembimbing dibandingkan sebagai pemberi tahu. Tujuan dari metode penemuan adalah untuk memperoleh pengetahuan dengan suatu cara yang dapat melatih berbagai kemampuan kecerdasan siswa, merangsang keingintahuan dan memotivasi kemampuan mereka. Tujuan mengajar hanya dapat diuraikan secara garis besar, dan dapat dicapai dengan cara yang tidak perlu sama bagi setiap siswa.

  Pembelajaran matematika harus terdapat keterkaitan antara pengalaman belajar siswa sebelumnya dengan konsep yang akan diajarkan. Matematika menjelaskan bahwa setiap konsep berkaitan dengan konsep lain, maka siswa harus lebih banyak diberi kesempatan untuk melakukan keterkaitan tersebut.

  Berdasarkan keterkaitan antarkonsep dalam teori belajar

Ausubel, „belajar dapat diklasifikasikan dalam dua dimensi. Pertama, berhubungan dengan cara informasi atau konsep pelajaran yang

  disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Kedua, menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada (telah dimiliki dan diingat siswa tersebut).

  Siswa harus dapat menghubungkan apa yang telah dimiliki dalam struktur berfikirnya yang berupa konsep matematika, dengan permasalahan yang siswa hadapi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suparno dalam (Heruman, 2010: 5) tentang belajar bermakna, yaitu

  kegiatan siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan berupa konsep-konsep yang telah dimilikinya

  ”. Siswa

  juga akan mencoba-coba menghafalkan informasi baru tersebut, tanpa menghubungkan pada konsep-konsep yang ada dalam struktur kognitifnya. Hal ini terjadi belajar hafalan.

  Belajar merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh individu untuk mendapatkan pengetahuan baru. Rusffendi dalam (Heruman, 2010: 5) membedakan belajar menghafal dengan belajar bermakna. Belajar menghafal, siswa dapat belajar dengan menghafalkan apa yang sudah diperolehnya. Belajar bermakna adalah belajar memahami apa yang sudah diperolehnya, dan dikaitkan dengan keadaan lain sehingga apa yang siswa pelajari akan lebih dimengerti. Suparno dalam (Heruman, 2010: 5) menyatakan bahwa belajar bermakna terjadi apabila siswa mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka dalam setiap penyelesaian masalah.

  Selain belajar penemuan dan belajar bermakna, pada pembelajaran matematika harus terjadi pula belajar secara “kontruktivisme” Piaget, dalam kontruktivisme, kontruksi pengetahuan dilakukan sendiri oleh siswa, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan menciptakan iklim yang kondusif.

  c. Tujuan Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Pembelajaran matematika merupakan suatu kegiatan belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk meningkatkan kemampuan siswa. Susanto (2013: 189) secara umum tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar adalah agar siswa mampu dan terampil menggunakan matematika. Susanto (2013: 190) menyatakan secara khusus, tujuan pembelajaran matematika di SD, sebagaimana yang disajikan oleh Depdiknas, sebagai berikut: 1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep, dan mengaplikasikan konsep atau alogaritme.

  2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami 4) Masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

  5) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk menjelaskan keadaan atau masalah.

  6) Memiliki sikap menghargai penggunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

  d. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Kelas IV Salah satu Standar Kompetensi mata pelajaran matematika di Sekolah Dasar kelas IV yaitu pada Standar Kompetensi 6.

  Menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah. Kompetensi Dasar yang tercakup pada Standar Kompetensi tersebut antara lain: 6.1 Menjelaskan arti pecahan dan urutannya, 6.2 Menyederhanakan berbagai bentuk pecahan,

  6.3 Menjumlahkan pecahan

  6.4 Mengurangkan pecahan, 6.5 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pecahan. Kompetensi Dasar yang dikaji oleh peneliti adalah

  6.3 Menjumlahkan pecahan dan 6.4 Mengurangkan pecahan, dengan penjabaran indikator:

Tabel 2.1 Penjabaran Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Matematika Kelas IV

  Standar Kompetensi Indikator

  Kompetensi Dasar

  6.Menggunakan

  6.3Menjumlah-

  6.3.1 Siswa menjumlahkan dua pecahan kan pecahan biasa berpenyebut dalam pecahan sama melalui benda konkret pemecahan

  6.3.2 Siswa menjumlahkan dua masalah pecahan biasa berpenyebut sama melalui gambar

  6.3.3 Siswa menjumlahkan dua pecahan biasa berpenyebut sama tanpa gambar

  6.3.4 Siswa menjumlahkan dua pecahan biasa berpenyebut tidak sama melalui benda konkret

  6.3.5 Siswa menjumlahkan dua pecahan biasa berpenyebut tidak sama melalui gambar

  6.3.6 Siswa menjumlahkan dua pecahan biasa berpenyebut tidak sama tanpa gambar

  6.4Mengurang-

  6.4.1Siswa mengurangkan dua kan pecahan biasa berpenyebut pecahan sama melalui benda konkret.

  6.4.2Siswa mengurangkan dua pecahan biasa berpenyebut sama melalui gambar

  6.4.3Siswa mengurangkan dua pecahan biasa berpenyebut sama tanpa gambar

  6.4.4Siswa mengurangkan dua pecahan biasa berpenyebut tidak sama melalui benda konkret

  6.4.5Siswa mengurangkan dua pecahan biasa berpenyebut tidak sama melalui gambar

  6.4.6Siswa mengurangkan dua pecahan biasa berpenyebut tidak sama tanpa gambar

  4. Bilangan Pecahan Kelas IV Pecahan merupakan salah satu materi matematika yang diajarkan kepada siswa. Heruman (2010: 43) pecahan dapat diartikan sebagai bagian dari sesuatu yang utuh. Ilustrasi gambar, bagian yang dimaksud adalah bagian yang diperhatikan, yang biasanya ditandai dengan arsiran. Bagian ini yang dinamakan pembilang, adapun bagian yang utuh adalah bagian yang dianggap satuan, dan dinamakan penyebut.

  Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Depdikbud dalam (Heruman, 2010: 43) menyatakan bahwa pecahan merupakan salah satu topik yang sulit untuk diajarkan. Kesulitan itu terlihat dari kurang bermaknanya kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru, dan sulitnya pengadaan media pembelajaran. Akibatnya, guru biasanya berlangsung mengajarkan pengenalan angka, seperti pada pecahan , 1 disebut pembilang dan 2 disebut penyebut.

  5. Model Pembelajaran Bruner Model pembelajaran Bruner sangat cocok diterapkan untuk siswa

  Sekolah Dasar. Bruner (dalam Budiningsih, 2005: 41) perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh cara melihat lingkungan yaitu: enaktif (enactive), ikonik (iconi)c, dan simbolik (symbolic).

  a. Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya: melalui gigitan, sentuhan, pegangan dan sebagainya.

  b. Tahap ikonik, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).

  c. Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Siswa dalam memahami dunia sekitarnya siswa belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berfikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun begitu, tidak berarti guru tidak lagi menggunakan sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti masih diperlukannya sistem enaktif dan ikonik dalam proses belajar.

  Pada proses pembelajaran sebaiknya siswa dihadapkan dengan benda-benda konkret yang sering siswa jumpai. Bruner (dalam Aisyah, dkk, 2008: 6) melalui teorinya mengungkapkan bahwa dalam proses belajar, anak sebaiknya di beri kesempatan memanipulasi benda-benda atau alat peraga yang dirancang secara khusus dan dapat diubah-ubah oleh siswa dalam memahami suatu konsep matematika. Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, siswa akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan sifat yang telah melekat pada dirinya. Peran guru dalam penyelenggaraan pelajaran tersebut yaitu: a. perlu memahami struktur mata pelajaran

  b. pentingnya belajar aktif supaya seorang dapat menemukan sendiri konsep-konsep sebagai dasar untuk memahami dengan benar c. pentingnya nilai berfikir induktif. Bila dikaji ketiga model penyajian yang dikenal dengan teori Bruner, dapat diuraikan sebagai berikut:

  1) Model Tahap Enaktif Tahap enaktif ini penyajian, yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung terlibat dalam memanipulasi

  (mengotak-atik) objek. Pada tahap ini anak belajar sesuatu pengetahuan dimana pengetahuan itu dipelajari secara aktif dengan menggunakan benda-benda konkret atau menggunakan situasi nyata, pada penyajian ini siswa tanpa menggunakan imajinasinya atau kata-kata. Siswa akan memahami sesuatu dari berbuat atau melakukan sesuatu.

  2) Model Tahap Ikonik Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan dimana pengetahuan itu diwujudkan dalam bentuk bayangan visual, gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan konkret atau situasi konkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas. Bahasa menjadi lebih penting sebagai suatu media berpikir, kemudian seseorang mencapai masa peralihan dan menggunakan penyajian ikonik yang didasarkan pada pengindraan kepenyajian simbolik yang didasarkan pada pemikiran abstrak (membayangkan). 3) Model tahap Simbolik

  Tahap simbolik bahasa adalah pola dasar simbolik, siswa memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu.

  Tahap simbolik tidak lagi terikat dengan objek-obek seperti pada tahap sebelumnya. Siswa pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa keterkaitan pada objek nyata. Pada tahap simbolik ini, pembelajaran diwakilkan dalam bentuk-bentuk simbol-simbol abstrak yaitu simbol-simbol yang disepakati dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol verbal (misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak yang lain.

  Sebagai contoh, dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah, pembelajaran akan terjadi secara optimal.

  Langkah-langkah pembelajaran dalam model pembelajaran Bruner adalah sebagai berikut:

  1. Mula-mula siswa mempelajari hal itu dengan menggunakan benda-benda konkret (misalnya menggabungkan 3 kelereng dengan 2 kelereng, dan kemudian menghitung banyaknya kelereng semua ini merupakan tahap enaktif).

  2. Kemudian, kegiatan belajar dilanjutkan dengan menggunakan gambar atau diagram yang mewakili 3 kelereng dan 2 kelereng yang digabungkan tersebut (dan kemudian dihitung banyaknya kelereng semuanya, dengan menggunakan gambar atau diagram tersebut/ tahap yang kedua ikonik, siswa bisa melakukan penjumlahan itu dengan menggunakan pembayangan visual (visual magenary) dari kelereng tersebut.

  3. Pada tahap berikutnya yaitu tahap simbolik, siswa melakukan penjumlahan kedua bilangan itu dengan menggunakan lambang-lambang bilangan, yaitu 3 + 2 = 5. Pendapat Bruner dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran

  Bruner melalui tiga tahap yaitu enaktif (menggunakan benda nyata), ikonik (menggunakan gambar yang mewakili benda nyata tersebut), dan simbolik (menggunakan simbol-simbol matematika yang telah disepakati). Model Bruner sangat cocok diterapkan untuk jenjang Sekolah Dasar karena melibatkan dengan benda-benda konkret yang sering dijumpai oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari.

B. Hasil Penelelitian yang Relevan

  Penelitian yang dilakukan oleh Sagala, Agnes Fransisca (2014) dalam jurnal penelitiannya dengan judu l “Penerapan Teori Belajar Bruner dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa

Pada Materi Pecahan Di Kelas VII SMP Negeri 3 Medan” mengatakan bahwa objek penelitian ini adalah pembelajaran dengan menerapkan teori

  pembelajaran Bruner untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Data yang dikumpulkan dengan menggunakan tes dan observasi. Tes yang di berikan siswa berupa tes uraian. Observasi yang di lakukan untuk mengetahui aktivitas siswa selama pembelajaran. Penelitian ini di lakukan II siklus. Hasil penelitian tersebut bahwa penerapan teori Bruner dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa, serta aktivitas aktif siswa dalam proses belajar mengajar pada materi operasi hitung pecahan di kelas VII Negeri 23 Medan T.A 2011/ 2012 sehingga pembelajaran dengan teori belajar Bruner ini dapat dijadikan salah satu altenatif pembelajaran.

  Penelitian yang dilakukan oleh Lestari, Dewi dalam jurnal penelitiannya dengan judul “Penerapan Teori Bruner Untuk Meningkatkan

Hasil Belajar”. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas yang bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar simetri lipat pada siswa kelas IV

  Sekolah Dasar Negeri 02 Makmur Jaya dengan menerapkan teori Bruner, dimana isi teori Bruner adalah pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa dengan (1) tahap enaktif; pembelajaran dengan menggunakan benda- benda konkret atau situasi nyata, (2) tahap ikonik; dipresentasikan dalam bentuk bayangan visual atau gambar dan (3) tahap simbolik; menuliskan simbol- simbol yang berkaitan dengan simetri bangun datar, yang diorganisasi sedemikian rupa agar siswa berperan aktif dalam pembelajaran. Penelitian ini dilakukan dengan subyek 22 siswa. Penerapan teori Bruner melalui tahap enaktif, ikonik, dan simbolik dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV. Hal ini dapat dilihat pada peningkatan hasil belajar siswa untuk ketuntasan klasikal pada siklus I sebesar 73% dan pada siklus II sebesar 95%, untuk daya serap klasikal pada siklus I sebesar 72% dan pada siklus II sebesar 84%. Aktivitas guru pada siklus I diperoleh rata-rata presentase sebesar 79% berada pada kategori cukup dan pada siklus II diperoleh rata-rata presentase 98% berada pada kategori sangat baik. Aktifitas siswa pada siklus I diperoleh rata- rata presentase sebesar 77% berada pada kategori cukup dan pada siklus II diperoleh rata-rata presentase sebesar 97% berada pada kategori sangat baik. Berdasarkan hasil belajar siswa, penerapan teori Bruner dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada pembelajaran simetri lipat di kelas IV Sekolah Dasar

  02 Makmur Jaya.

  Penelitian yang telah dilakukan oleh Sagala, Agnes Fransisca (2014) yang berjud ul “Penerapan Teori Belajar Bruner dalam Upaya Meningkatkan

  Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Pada Materi Pecahan Di Kelas VII SMP Negeri 3 Medan” perbedaan dengan penelitian yang saya lakukan yang berjudul “ Upaya Meningkatkan Disiplin dan Prestasi Belajar Matematika Materi Pecahan Melalui Model Pembelajaran Bruner Di Kelas IV SD Negri 2 Lesmana” yaitu terletak pada karakter yang ditingkatkan, kemampuampuan pemecahan masalah dengan prestasi belajar siswa yang ditingkatkan, dan jenjang SD dan SMP yatu kelas IV dan VII.

  Penelitian yang telah dilakukan oleh Lestari, Dewi yang berjudul “Penerapan Teori Belajar Bruner Untuk Meningkatkan Kemampuan Hasil Belajar” perbedaan dengan penelitian yang saya lakukan yang berjudul “ Upaya Meningkatkan Disiplin dan Prestasi Belajar Matematika Materi Pecahan Melalui Model Pembelajaran Bruner Di Kelas IV SD Negri 2 Lesmana” yaitu terletak pada hasil belajar dengan prestasi yang ditingkatkan pada pembelajaran. Hasil belajar meliputi ranah afektif, kognitif, dan psikomotor, sedangkan prestasi belajar meliputi aspek kognitif. Perbedaan lainnya terletak pada materi yang diajarkan yaitu pecahan dengan simetri lipat.

  Penelitian yang telah dilakukan oleh Sagala, Agnes Fransisca (2014) yang berjud ul “Penerapan Teori Belajar Bruner dalam Upaya Meningkatkan

  Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Pada Materi Pecahan Di Kelas VII SMP Negeri 3 Medan” persamaan dengan penelitian yang di lakukan yang berjudul “ Upaya Meningkatkan Disiplin dan Prestasi Belajar

  Matematika Materi Pecahan Melalui Model Pembelajaran Bruner Di Kelas IV SD Negri 2 Lesmana” yaitu terletak pada model yang diterapkan pada saat proses pembelajaran yaitu model pembelajaran Bruner atau teori Bruner, dan materi yang diajarkan yaitu materi Pecahan.

  Penelitian yang telah dilakukan oleh Lestari, Dewi yang berjudul “Penerapan Teori Belajar Bruner Untuk Meningkatkan Kemampuan Hasil Belajar” persamaan dengan penelitian yang dilakukan berjudul “ Upaya Meningkatkan Disiplin dan Prestasi Belajar Matematika Materi Pecahan Melalui Model Pembelajaran Bruner

  Di Kelas IV SD Negri 2 Lesmana” yaitu terletak pada model yang diterapkan pada proses pembelajaran yaitu model pembelajaran Bruner/ teori Bruner dan kelas yang untuk penelitian yaitu kelas IV.

Dokumen yang terkait

PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA MELALUI METODE DISKUSI KELOMPOK DI KELAS IV SD NEGERI 2 PELITA BANDAR LAMPUNG

0 8 114

PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA MELALUI METODE DISKUSI KELOMPOK DI KELAS IV SD NEGERI 2 PELITA BANDAR LAMPUNG

0 7 30

PENERAPAN MODEL PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MATERI PECAHAN BERBANTUAN BLOK PECAHAN SISWA KELAS IV SD 2 PIJI

0 0 24

PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION MATERI PECAHAN SISWA KELAS IV SD 2 TUMPANGKRASAK KUDUS

0 0 22

PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MATERI PECAHAN MELALUI MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING PADA SISWA KELAS IV SD 2 BACIN SKRIPSI

0 1 19

UPAYA MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 6 KEBUMEN

0 0 8

PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MATERI PENJUMLAHAN PECAHAN MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW PADA SISWA KELAS IV SD 2 JURANG

0 1 24

MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA MATERI BILANGAN BULAT PADA SISWA KELAS VI SD NEGERI 2 DURENAN TRENGGALEK TAHUN 20142015

0 1 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Aktivitas Belajar - PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LEARNING CYCLE 7E BERBASIS INKUIRI SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR DAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA KELAS VIII F SMP NEGERI 14 SUR

0 0 25

PENERAPAN TEORI BRUNER DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA TENTANG PECAHAN PADA SISWA KELAS IV SD NEGERI MADURETNO TAHUN AJARAN 2017/2018 - UNS Institutional Repository

0 1 19