REPRESENTASI WARIA SEBAGAI FIGUR AYAH DALAM FILM LOVELY MAN KARYA TEDDY SOERIAATMADJA - FISIP Untirta Repository

  

REPRESENTASI WARIA SEBAGAI FIGUR

AYAH DALAM FILM LOVELY MAN KARYA

TEDDY SOERIAATMADJA

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai

Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S1)

  

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Oleh

Hendika Sekti Pratama

  

NIM 6662101747

KONSENTRASI JURNALISTIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

  

ABSTRAK

Hendika Sekti Pratama. NIM 6662101747/2015. Skripsi. Representasi Waria

Sebagai Figur Ayah Dalam Film “Lovely Man” Karya Teddy

Soeriaatmadja. Isti Nursih, M.I.kom; Husnan Nurjuman, M.Si.

  Penelitian ini didasari oleh anggapan masyarakat heteroseksual bahwa laki-laki haruslah maskulin dengan ciri laki-laki haruslah gagah, kuat dan mandiri sehingga laki-laki yang tidak dapat menunjukan kemaskulinan tersebut (feminis) akan dianggap abnormal oleh masyarakat heterogen. Film lovely man mengambarkan bagaimana figur laki

  • – laki yang memiliki karakter feminis atau biasa disebut waria hidup ditengah-tengah terpaan hegemoni masyarakat heteroseksual. Dimana masyarakat hetero mendiskriminasikan kaum waria baik secara verbal maupun non verbal. Melihat fenomena yang terjadi di Indonesia terhadap waria. Maka, film lovely man menjadi perwakilan tentang kehidupan waria dimasyarakat. Dengan menggunakan analisis Charles Sanders Pierce mengenai tanda menunjukan bahwa waria dalam film lovely man mendapatkan perlakuan diskriminatif dari masyarakat meskipun waria tersebut memiliki keluarga, figur ayah yang dibangun dalam film Lovely Man, direpresentasikan dengan melakukan pemisahan dikotomis antara laki-laki dan perempuan dengan melekatkan sifat dan perilaku tertentu yang seharusnya mereka lakukan. Lebih jauh film ini juga merepresentasikan bagaimana transgender, sebagai gender non- normatif, menjalani kehidupan yang akrab dengan dunia malam serta bagaimana identitas mereka ditolak masyarakat. film ini juga mencoba untuk keluar dari nilai-nilai heteronormatif. Bagaimana seorang transgender bisa memiliki pasangan dan anak seperti pasangan heteroseksual pada umumnya dan jika dilihat secara ideologis ataupun kepentingan, film ini memperjuangkan gagasan mengenai kesetaraan gender. Kata kunci : Representasi, Heteroseksual, keluarga, waria, Patriarki

  

ABSTRACT

Hendika Sekti Pratama. NIM 6662101747/2015. Undergraduate Thesis.

  

Transgender representation as father figure in “Lovely Man”, a film directed by

Teddy Soeriaatmadja. Isti Nursih, M.I.Kom; Husnan Nurjuman, M.Si.

  This Study is base d on heterogeneous community‟s belief that men must be manly,

strong and independent. Any male who fails to show his masculinity traits would

be considered as abnormal by heterogeneous society. The Lovely Man film

represents a male figure with feminine characters, also know as transgender, lives

in the middle of the exposure to the hegemony of heterosexuals community. In

which heterogeneous community discriminates transgenders verbally and non-

verbally. Reflecting social phenomenon occurs to transgenders in Indonesia,

Lovely Man is a suitable representative of transgender in society.Analysis using

Peirce‟s theory of signs show that the transgender in Lovely Man is disriminated

by society. Father figure shaped in the Lovely Man film is dichotomically

separting between males and females by embedding specific traits and behavior to

each gender. Furthermore the film represents how transgender,as non-normative

gender, living a nightlife and how their identity bring rejected by community. This

film seeks to go out of the heteronormative values. How transgender is able to

have partner and children as heterosexual couple in general. Ideologically, this

film fights for the idea of gender equality.

  Keywords: representation, heterosexual, family, transgender, patriarchy

   Lembar Persembahan

Skripsi ini kupersembahkan untuk dua malaikat saya

Ibu Sunarsih & Mayabela Rengganis

KATA PENGANTAR

  Segala puji dan syukur bagi ALLAH SWT atas rahmat dan hidayah-Nya yang tidak terkira dan tidak terbatas, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.

  Dalam melakukan penelitian ini, peneliti telah berupaya semaksimal mungkin

sesuai dengan kemampuan peneliti untuk mendapat hasil yang terbaik dalam

menyelesaikan skripsi ini.

  Skripsi ini juga dapat terselesaikan berkat bantuan dan dukungan dari berbagai

pihak. Semoga Allah SWT membalas kebaikan mereka semua. Dalam kesempatan kali ini

peneliti ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya terutama kepada orangtua

yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan sampai terselesaikannya skripsi ini.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada :

  1. Prof. Dr. Soleh Hidayat, M.Pd selaku Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

  2. Dr. Agus Sjafari, S.Sos M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

  3. Neka Fitriyah, S.Sos M.Si selaku Ketua Jurusan Program Studi Ilmu Komunikasi.

  4. Puspita Asri Praceka, S.Sos M.Ikom selaku Sekretaris Jurusan Program Studi Ilmu Komunikasi.

  5. Rangga Galura,Dipl.Ing (FH)., M.Si selaku dosen pembimbing akademik sejak peneliti kuliah semester pertama hingga selesai. memberikan bimbingan dan arahan kepada peneliti untuk menyelesaikan skripsi.

  7. Husnan Nurjuman., S.Ag.,M.Si selaku dosen pembimbing II yang dengan sabar mentrasfer khazanah ilmu pengetahuan serta membimbing peneliti untuk menyelesaikan skripsi.

  8. Seluruh dosen Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada peneliti.

  9. Seluruh Staf Jurusan Program Studi Ilmu Komunikasi yang telah membantu peneliti melancarkan penyelesaian administratif selama berkuliah disini.

  10. Mayabela Rengganis S.Sos yang menjadi pengingat, fasilitator dan partner sampai saat ini.

  11. Terima kasih juga untuk Azy Syahrial Fauzi S.Pd yang telah terlebih dahulu menjadi penggerak pendidikan di desa tertinggal, Ade Wira Sakti S.Pd yang menjadi motivasi peneliti bahwa hidup harus berdo‟a dan berusaha, Mamduh Jamaludin S,pd, Reza Trisandi, Ahmad Fauzan S.Pd yang kembali mengejar gelar keduanya, Ansorul Hidayat S.pd yang akhirnya berhasil menyelesaikan pendidikannya dan seluruh kawan-kawan D12 baik yang pernah berkunjung untuk sekedar bertukar pikiran atau sekedar bersenda gurau.

  12. Teman-teman Komunikasi Jurnalistik 2010, Mardi, Rangga, Ucup, Iqbal (Nying-nying), Galuh, Agung, Romi, Putut, Alif (Black), Vicy (Lacuk), dan kawan kawan Humas baik dikelas F ataupun kelas lainnya.

  13. Kawan-kawan Organisasi UMC (Nanis, Fawas, Madan, Irfie, Wahyu, Timbul, dan seluruh dewan penuh pertimbangan), Kawan-kawan

  • – kawan Lab.TV, Pers Orange yang merelakan tempatnya dijadikan arena singgah sebelum memulai perkuliahan.

  14. Terima Kasih juga teruntuk kawan

  • –Kawan Redaksi Detik.com khususnya Divisi News DetikHealth Mbak Vita, Mas Uyung, Bang Reza, Mbak Rahma, Mbak Ajeng, Mbak Herni, Anwar dan Ghea yang telah memberi kesempatan peneliti untuk belajar menjadi jurnalis kilat.

  15. Terima Kkasih juga untuk rekan-rekan Redaksi Warta Ekonomi (Mas Hatta, Mas Hendra, Mbak Childa, Mas Haikal, Mas Wijil, Aldi, Aries, Mas Pandu, Mamanya Dastan, dll) terima kasih pengalaman berharga bisa bekerja di media dengan penuh tantangan dan kendalanya.

  16. Tidak lupa kawan-kawan KKM 15 tahun 2013 Desa. Rancailat Kab.

  Tangerang (Abah Didin, Syahnez, Marlin, Sopyan, Solihin, Nila, Linda, Risca,dll ) Terima kasih atas pengalaman dan shareing ilmunya.

  Dan seluruh kawan-kawan yang tidak dapat peneliti sebut satu persatu yang

telah membantu peneliti menyelesaikan penelitian ini ataupun pemberi saran dan

masukan bermanfaat, Insya Allah seluruh kebaikan kalian menjadi ladang pahala dan

dimuliakan oleh Allah SWT, Aamiin.

  

DAFTAR ISI

  BAB I PENDAHULUAN

  1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1

  1.2 Identifikasi Masalah ....................................................................................... 13

  1.3 Rumusan Masalah .......................................................................................... 13

  1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................................14

  1.5 Manfaat Penelitian ..........................................................................................14

  1.5.1 Manfaat Teoritis ............................................................................. 14

  1.5.2 Manfaat Praktis ............................................................................... 15

  1.5.3 Manfaat Sosial ................................................................................. 15

  BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Tinjauan Teoritis ............................................................................................ 16

  2.1.1 Komunikasi Massa .......................................................................... 16

  2.1.1.1 Karakteristik Komunikasi Massa .................................... 18

  2.1.1.2 Fungsi Komunikasi Massa ................................................19

  2.1.2 Pengertian Film ............................................................................... 22

  2.1.2.1 Unsur Pembentuk Film ................................................... 26

  2.1.3 Representasi ................................................................................... 27

  2.1.4 Pengertian Waria ............................................................................. 30

  2.1.5 Pengertian Ayah ............................................................................. 32

  2.1.5.1 Peran Ayah ...................................................................... 33

  2.1.6 Budaya Patriarki .............................................................................. 36

  2.1.7 Hegemoni .........................................................................................37

  2.1.8 Heteronormativitas........................................................................... 40

  2.3 Penelitian Terdahulu ...................................................................................... 51

  BAB III METODOLOGI PENELITIAN

  3.1 Paradigma Penelitian ..................................................................................... 55

  3.2 Pendekatan Penelitian .................................................................................... 57

  3.3 Jenis Penelitian............................................................................................... 58

  3.4 Unit Analisis.................................................................................................. 59

  3.5 Satuan Pengamatan........................................................................................ 63

  3.6 Teknik Pengumpulan Data............................................................................. 65

  3.6.1 Dokumentasi .................................................................................. 66

  3.6.2 Studi Pustaka ................................................................................... 66

  3.7 Teknik Analisis Data ...................................................................................... 67

  3.8 Jadual Penelitian ..............................................................................................72

  BAB IV HASIL PENELITIAN

  4.1 Deskripsi Subjek Penelitian ........................................................................... 73

  4.1.1 Investasi Film Indonesia dan Karuna Pictures ................................ 74

  4.1.2 Karya ................................................................................................75

  4.1.3 Teddy Soeriaatmadja ....................................................................... 76

  4.1.4 Deskripsi Film Lovely Man .............................................................77

  4.1.5 Sinopsis Film Lovely Man ............................................................. 79

  4.1.6 Penokohan ....................................................................................... 80

  4.1.6.1 Karakter Syaiful/Ipuy (Dony Damara) ..............................80

  4.1.6.2 Karakter Cahaya (Raihannun)........................................... 81

  Sanders Peirce ................................................................................. 83

  4.3 Pembahasan.................................................................................................... 96

  4.3.1 Perlawanan Budaya Patriaki Melalui Representasi Waria Sebagai Figur Ayah dalam Film Lovely Man ................................................. 96

  4.3.2 Hegemoni Masyarakat Heteronormativitas Melalui Representasi Waria Sebagai Figur Ayah dalam Film Lovely Man .................. 99

  BAB V PENUTUP

  5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 102

  5.2 Saran ............................................................................................................ 104

  

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 ......................................................................................................... 29Tabel 2.2 ......................................................................................................... 50Tabel 2.3 ......................................................................................................... 51Tabel 2.4 .......................................................................................................... 54Tabel 3.1 ......................................................................................................... 62Tabel 3.2 ......................................................................................................... 64Tabel 3.3 ......................................................................................................... 65Tabel 3.4 ......................................................................................................... 72

  DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 ....................................................................................................46Gambar 4.2 ....................................................................................................80Gambar 4.3 ......................................................................................................81Gambar 4.4 ....................................................................................................83Gambar 4.5 ....................................................................................................85Gambar 4.6 .....................................................................................................87Gambar 4.7 ....................................................................................................89Gambar 4.8 ....................................................................................................92Gambar 4.9 ...................................................................................................94

  

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Waria adalah istilah baku dalam tata bahasa Indonesia yang berarti wanita pria atau pria yang memiliki perasaan seperti wanita. Namun masyarakat Indonesia lebih akrab dengan istilah “Banci” atau “Bencong” yang merupakan bagian dari bahasa Indonesia informal untuk menyebut seorang laki-laki yang berpakaian atau berbicara sebaliknya atau tidak sesuai dengan kelaminnya.

  Pada budaya patriarki, masyarakat yang menggunakan sistem patriaki lebih mementingkan garis keturunan bapak/laki-laki sebagai sosok panutan atau pemimpin dibanding dengan garis keturunan Ibu/perempuan dalam sebuah kelompok sosial masyarakat. Patriaki juga dapat dijelaskan dimana keadaan masyarakat menempatkan kedudukan dan posisi laki-laki jauh lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya dan

  1 ekonomi.

  Laki-laki dewasa selalu diidentikkan dengan sifat maskulin yang tegas,

  2

  gagah, mandiri, tidak menangis (cengeng) dan bertanggung jawab terhadap kelompok ataupun keluargaaanya. Didalam keluarga, laki-laki dewasa dibebankan tanggung jawab lebih dibanding perempuan dengan sebutan ayah. 1 Selaku kepala keluarga seorang ayah dijadikan sebagai figur panutan karena

  Saroha Pinem. 2009. Kesehatan Reproduksi & Kontrasepsi. Jakarta: Trans Media

  Namun bagaimana jika predikat Ayah yang memiliki sifat maskulin tersebut dimiliki oleh seorang laki-laki dewasa yang memiliki kepribadian ganda, tidak hanya menjadi sosok maskulin melainkan memiliki sosok feminis. Hal ini yang kemudian bertolak belakang dengan sistem patriarki dimana Laki-laki haruslah maskulin, Sehingga laki-laki yang memiliki sifat feminis bagi masyarakat partriarki dianggap abnormal dan menyalahi norma yang berlaku.

  Dikarena menyalahi norma yang berlaku dimasyarakat menyebabkan laki-laki feminis atau biasa disebut waria,banci atau bencong mendapatkan perlakuaan diskriminatif dari masyarakat.

  Berangkat dari logika tersebut, maka perlakuan diskriminatif yang ditujukan kepada waria baik dalam bentuk verbal maupun non verbal akan membentuk stigma negatif dimasyarakat hetero. Stigma negatif tersebut yang kemudian membentuk pola pikir baru yang mendeskripsikan seseorang maskulin atau feminim hanya berdasarkan tindakan heteroseksis atau disebut dengan heteronormatif.

  Heteronormatif sendiri merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan sebuah norma yang meyakini bahwa manusia dibedakan menjadi dua gender yang berbeda (laki-laki dan perempuan), bersifat saling melengkapi, dan memiliki peran alamiahnya masing-masing dalam kehidupan yang kemudian lahir istilah oposisi biner. Saskia Wieringa, Nursyahbani Katjasungkana, Irwan M Hidayana dalam buku Membongkar

  3 dari konstruksi sosial masyarakat itu sendiri.

  Heteronormatif sendiri tidak akan terjadi bila tidak adanya hegemoni yang dibangun oleh masyarakat dominan. Seperti yang di utarakan Gramsci dalam Nezar Patria, Hegemoni adalah Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial,

  4 khususnya dalam makna intelektual dan moral.

  Berdasarkan pemikiran Gramsci tersebut dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi.

  Dengan demikian mekanisme yang digunakan masyarakat dominan dalam hal ini masyarakat hetero dilakukan dengan penguasaan kepada kelas bawah (non-hetero) menggunakan ideologi yang akhirnya masyarakat hetero merekayasa kesadaran masyarakat non-hetero sehingga tanpa disadari, mereka 3 rela dan mendukung kekuasaan kelas dari masyarakat yang dominan.

  Saskia E Wieringa, Nursyahbani katjasungkana, Irwan M Hidayana.2007. membongkar mulai dari status sosial, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan dan lain sebagainya. Perbedaan inilah yang seharusnya saling dihargai oleh satu sama lain. Perbedaan tersebut diharapkan dapat mempersatukan semua lapisan masyarakat dan dipandang secara positif. Masyarakat yang menganut pola pikir heteronormatif sebagai ideologi seksual (nilai dasar yang menuntun seseorang atau sekelompok orang dalam seksualitas), akan menganggap bahwa seks diluar heteroseks adalah tidak normal.

  Berdasarkan latar belakang tersebut kemudian heteronormatif berkembang menjadi sebuah ideologi yang disebut Heteronormativitas.

  Heteronormativitas dalam sebuah jurnal yang di tulis oleh Dr. Argyo Demartoto, M.Si. berjudul Seks, Gender, Seksualitas Gay dan Lesbian Secara sederhana dapat didefinisikan sebagai Ideologi tentang keharusan untuk menjadi heteroseksual, yang didasarkan pada penindasan orientasi seksual lain yang tidak berorientasi reproduksi keturunan seperti onani, masturbasi atau homoseksualitas. Juga keharusan akan kesesuaian antara identitas gender dan identitas seksual dimana jika beranatomi laki-laki harus maskulin, dan

  5 sebaliknya bila beranatomi perempuan maka harus feminim.

  Gayle Rubin melalui bukunya yang berjudul Thinking About Sex (1984) menyatakan bahwa pada masyarakat yang heteronormatif, relasi yang terbaik dan diharapkan adalah relasi heteroseksual, marital dan prokreatif.

  Ideologi heteronormativitas pula yang secara hegemoni mengajarkan maskulin dan feminin. Waria dengan status gender dan orientasi seksual di luar dari dikotomi tersebut dianggap „abnormal‟ dan lekat dengan kesan menyimpang.

  Koeswarno dalam bukunya yang berjudul Hidup Sebagai Waria, menjelaskan bahwa waria secara fisik adalah laki-laki normal, memiliki kelamin yang normal, namun mereka merasa dirinya perempuan dan

  6

  berpenampilan tidak ubahnya seperti perempuan lainnya. Waria oleh masyarakat hetero dikelompokan sebagai bagian dari kelompok “Abnormal” karena tidak sejalan dengan aturan heteroseks seperti halnya LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) akhirnya mendapatkan diskriminasi sosial dan mengkonstruksikan makna waria dimasyarakat.

  Budaya Patriarki serta dogma agama juga mengambil peran penting untuk membentuk seperangkat sistem, dimana laki-laki dipusatkan dengan maskulinitasnya dan perempuan dengan feminimitasnya. Pada budaya patriarki feminitas yang identik dengan perempuan dijadikan sebagai The

  second sex atau jenis kelamin kedua yang yang cenderung tunduk dibawah

  kontrol laki-laki hal ini kemudian berimplikasi pada waria atau sebagai laki- laki feminim yang kemudian turut mendapat tekanan dan kekerasan atas feminitas yang dimilikinya. Ketidaksetaraan dan ketidakadilan berbasis gender maupun seksualitas yang menimpa waria inilah yang kemudian dilanggengkan masyarakat untuk mendiskriminasi. langsung akan terdiskriminasi dari kehidupan sosial dan mendapat penolakan dari masyarakat dominan dikarenakan pola pikir dikotomis tersebut. Hal-hal inilah yang nanti akan menimbulkan diskriminasi sosial. Padahal dalam pasal 1 butir 3 Undang-Undang No.39/1999 Tentang HAM telah disebutkan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan, yang langsung ataupun tak langsung, didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik,ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan

  7 sosial lainnya.

  Untuk menekan diskriminasi tersebut semakin meluas berbagai cara dilakukan agar waria mendapat pengakuan atas keberadaan mereka, diantaranya adalah munculnya berbagai penyelenggaraan kegiatan yang melibatkan waria didalamnya. Selain itu munculnya berbagai figur waria saat ini seperti Dorce Gamalama yang mengeksistensikan dirinya dibidang hiburan, Solena Chaniago dengan profesinya sebagai Master Barber di Amerika Serikat dengan salah satu prestasinya sebagai pencukur rambut Bill Clinton yang merupakan Presiden ke 42 Amerika Serikat. Ataupun Dena Rachman mantan artis cilik yang beralih profesi menjadi seorang Desainer di lingkungan masyarakat. Selain itu penggunaan media massa digunakan sebagai salah satu cara mereka untuk mendapat pengakuan, Salah satunya adalah program yang ditayangkan disalah satu televisi swasta yang berjudul

  Be A Man pada tahun 2008, dimana dalam tayangan tersebut kehidupan

  seorang waria dibentuk agar menjadi laki-laki maskulin dengan pelatihan dan pendidikan bergaya militer yang dilatih oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia). Pengangkatan tokoh waria dalam film-film layar lebar oleh para sineas seperti film Taman Lawang, Lovely Man, Betty Bencong Slebor, Madam X dll. Menjadi cara lain waria mendapatkan legalitas dimasyarakat

  Saat ini masyarakat Indonesia sangat antusias terhadap film-film dalam negeri dan jumlah film tersebut semakin meningkat setiap tahunnya. Apalagi film-film yang memunculkan tokoh waria. Pada bulan Mei 2013 Mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Marie Pangestu dalam syukuran dan puncak perayaan Hari Film Nasional ke-63 di Balaiurang Soesilo Soedarman, mengatakan dari periode Januari hingga pertengahan Mei 2013, terdapat 44 judul film Indonesia yang dirilis, jumlah tersebut meningkat dari

  8 tahun lalu yang hanya 40 judul film Indonesia.

  Pada dasarnya film berperan sebagai sarana hiburan namun menurut Denis McQuail, Film adalah sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebisaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat

  9

  moral maupun makna-makna tertentu. Secara denotasi film dipahami sebagaimana adanya dan penikmat film tidak perlu berusaha banyak untuk lebih menggali dan memahami secara mendalam. Inilah yang menjadi kekuatan sebuah film sebab lebih mudah memberikan sesuatu yang mirip dengan kenyataan serta mengkomunikasikan sesuatu dengan teliti yang jarang dilakukan oleh bahasa tulisan maupun lisan. Sistem bahasa mungkin lebih berkemampuan untuk mengemukakan dunia ide secara imaginatif, tapi sistem bahasa tidak begitu sanggup untuk menyampaikan informasi terperinci tentang realita-realita fisik.

  Film adalah pesan komunikasi yang membutuhkan interpretasi lebih dalam untuk mendeskripsikan gambaran akan makna. Lebih lanjut, film menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit, yaitu sistem kode yang tandanya bermuatan makna-makna tersembunyi.

  Kekuatan makna bukan terletak pada apa yang dilihat tapi justru apa yang tidak dilihat. Kehadiran sebuah imajinasi dalam film tidak sekedar karena bacaan visual pola pikiran namun film memberikan pengalaman mental yang merupakan stock of knowledge untuk menyediakan kerangka referensi dan rujukan bagi individu dalam kesatuan tindakannya.

  Film sendiri mempunyai makna yang unik diantara media komunikasi lainnya. Selain sebagai media komunikasi yang efektif dalam penyebarluasan ide dan gagasan, film juga merupakan media ekspresi seni yang memberikan kehidupan manusia dan kepribadian suatu bangsa. Perpaduan kedua hal tersebut menjadikan film sebagai media yang mempunyai peranan penting dimasyarakat. Sobur mengatakan bahwa kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, lantas membuat para ahli berpendapat

  10

  bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya. Lain halnya dengan Marcel Danesi dalam bukunya Pengantar Memahami Semiotika Media mengatakan bahwa film telah menjadi obat yang sempurna untuk melawan kebosanan, akibatnya medium film telah menjadi kekuatan besar dalam perkembangan budaya pop yaitu budaya yang karakteristik pendefenisiannya adalah pembauran dan percampuran seni serta pengalih

  11 perhatian secara beragam.

  Dalam berbagai macam penelitian mengenai efek film terhadap masyarakat, hubungan antara film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (isi) dibaliknya tanpa ada balasan (feedback).

  Untuk menggugah kesadaran kritis atas fenomena-fenomena yang terhadap waria salah satu sineas berbakat Indonesia Tedy Soeriaaatmadja pada tahun 2011 mengangkat fenomena waria ini dalam sebuah film yang berjudul

  Lovely Man produksi Investasi Film Indonesia dan Karuna Pictures. Sebagai

  gambaran singkat film ini menceritakan seorang anak bernama Cahaya berumur 19 tahun yang diperankan oleh Raihaanun, Ia merupakan seorang

  Saiful yang diperankan Dony Damara, meninggalkan mereka pada saat Cahaya berumur 4 tahun. Oleh sang ibu, Cahaya dibesarkan dengan nilai-nilai keislaman. Dimana dalam film tersebut Cahaya diceritakan bersekolah di sebuah pesantren. Setelah dewasa, Cahaya memiliki sebuah masalah yang cukup sulit hingga ia memutuskan untuk mencari dan bertemu ayahnya berharap dapat menyelesaikan masalahnya. Berbekal sebuah alamat yang ia ambil dari ibunya. Serta sebuah foto dirinya ketika bersama sang ayah dahulu, Cahaya memberanikan diri pergi ke Jakarta untuk pertama kalinya. Dengan penuh harapan akan bertemu sang ayah. Sesampainya di Jakarta, ternyata mencariayahnya tidaklah semudah yang Ia bayangkan. Hingga akhirnya Cahaya mencari sang ayah ke sebuah tempat prostitusi transgender, Taman Lawang. Betapa terkejutnya dan kecewanya Cahaya, ketika melihat dan mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang transgender. Pertemuan itu sendiri tidak hanya mengejutkan Cahaya melainkan Syaiful sama terkejutnya dengan kehadiran Cahaya, Bahkan pada awalnya Ipuy sapaan akrab syaiful menolak kehadiran gadis tersebut. Namun jiwa kebapakan Syaiful tidak lantas hilang. Dalam kepekatan malam Jakarta Syaiful akhirnya memilih untuk menemani Cahaya dan berusaha mengisi kerinduan Cahaya pada sosok ayah yang telah lama Ia rindukan.

  Film yang digarap oleh Tedy Soeriaatmadja ini berhasil meraih tujuh penghargan pada tahun 2012. Dua penghargaan pertama untuk kategori aktor Film dan sutradara terbaik, Sedangkan di Tel- Aviv LGBT International Film Festival mendapatkan penghargaan Best International Narative Feature.

  Selain itu pada tahun 2013 Lovely Man juga mendapatkan penghargaan Jati Emas untuk kategori Sutradara terbaik dan Skenario terbaik dipenghargaan Akademi Film Indonesia.

  Dalam penelitian ini peneliti membahas bagaimana waria direpresentasikan sebagai figur ayah untuk melawan stigma negatif masyarakat terhadap hegemoni heteronormativias tersebut melalui simbol, tanda atau lambang pada setiap scene yang mewakili dalam film Lovely Man.

  Representasi sendiri adalah proses mengkodekan (encoding) dan memperlihatkan (display) bentuk-bentuk simbolik yang mencerminkan posisi ideologis. Tim O'Sullivan dalam Saiful Totona, membedakan istilah representasi pada dua pengertian, pertama, representasi sebagai suatu proses dari representing. Kedua, representasi sebagai produk dari proses sosial representing. Sehingga pada tatanan pertama merujuk kepada proses, sedangkan yang kedua merujuk kepada produk dari pembuatan tanda yang

  12 mengacu pada sebuah makna.

  Oleh karena itu untuk menganalisis bagaimana proses representasi tersebut terjadi peneliti akan menggunakan analisis semiotik dari Charles Sanders Peirce. Charles Sanders Peirce dalam elemen makna peircesan atau biasa disebut dengan Triangle of meaning membagi tanda menjadi tiga. indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri atau disebut dengan Sign. Kedua adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda atau biasa disebut dengan Object. Ketiga adalah pemberian kesan, pendapat atau pandangan teoritis terhadap sesuatu atau konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada didalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk pada sebuah tanda atau disebut dengan Interpretant.

  Melalui analisis semiotik Charles Sanders Peirce inilah metode yang akan digunakan untuk meneliti makna semiotik dibalik setiap scene-scene film

  Lovely Man melalui bidang suara dan visual. Film Lovely Man sendiri

  menyajikan fenomena seorang transgender yang memiliki pasangan dan anak seperti pasangan heteroseksual pada umumnya dan masih tetap bertanggung jawab terhadap keluarganya dengan memberikan nafkah terhadap anaknya Meskipun stigma yang dibangun masyarakat beranggapan bahwa waria belum tentu memiliki pasangan seperti masyarakat heteroseks terlebih memiliki anak dikarena hegemoni heteronormatif tersebut. Karena film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian

  13

  memproyeksikannya ke atas layar. Membuat peneliti semakin tertarik untuk meneliti lebih lanjut dalam sebuah skripsi berjudul :

  “Representasi waria sebagai figur ayah dalam Film Lovely Man

Karya Tedy Soeriaatmadja

  1.2. Identifikasi Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka, permasalahan yang dapat di identifikasi untuk diteliti lebih lanjut adalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana tanda (sign) merepresentasikan waria sebagai figur ayah pada film Lovely Man karya Tedy Soeriaatmadja ?

  2. Bagaimana objek (object) merepresentasikan dirinya sebagai figur ayah?

  3. Bagaimana Interpretan (interpretasi) figur ayah digambarkan pada film Lovely Man?

  1.3. Rumusan Masalah

  Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan, maka peneliti tertarik untuk menganalisis dengan menggunakan Semiotik Peirce tentang :

  “ Bagaimana waria dalam film lovely man direpresentasikan sebagai figur ayah untuk melawan hegemoni heteronormativitas masyarakat ”

  Dalam sebuah penelitian pastilah memiliki tujuan, dimana tujuan dalam penelitian ini adalah :

  1. Untuk menemukan tanda (sign) representasi waria digambarkan sebagai figur ayah dalam film Lovely Man karya Tedy Soeriaatmadja

  2. Untuk menemukan Objek (Object) merepresentasikan dirinya sebagai figur ayah ?

  3. Untuk menemukan Interpretan (interpretasi) waria dalm film

  Lovely Man digambarkan sebagai figur ayah untuk melawan

  hegemoni heteronormativitas masyarakat ?

1.5.Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis a.

   Dapat memberikan sumbangan teoritis bagi disiplin ilmu

  Komunikasi, khususnya komunikasi massa mengenai penggunaan semiotik Charles Sander Peirce dalam sebuah film.

  b.

   Dapat memberikan sumbangan informasi bagi peneliti lain yang

  ingin mengadakan penelitian-penelitian lanjutan mengenai dunia perfilman, terutama yang berkaitan dengan pemaknaan waria dimasyarakat.

  a.

   Sebagai bahan referensi bagi kalangan pembuat film untuk mengangkat realitas sosial masyarakat melalui media massa.

b. Sebagai bahan referensi atau acuan bagi penggiat seni bagaimana

  merepresentasikan sesuatu yang dianggap tabu dimasyarkat ke dalam sebuah bentuk karya seni.

1.5.3 Manfaat Sosial

a. Untuk memberikan gambaran bagi masyarakat tentang waria yang memilki keluarga.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Komunikasi massa

  Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner. Komunikasi massa merupakan pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang. Tapi menurut Gerbner definisi komunikasi massa adalah :

  “Mass communication is the technologically and instituationlly based production and distribution of the broadly shared continious flow of message in industrial societies"

  Produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam

  14

  masyarakat industri. Sedangkan menurut Rakhmat komunikasi massa adalah jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik

  15 sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.

  Dengan demikian komunikasi massa atau komunikasi melalui media massa sifatnya "satu arah" (One way traffic). Begitu pesan disebarkan oleh komunikator, tidak diketahui apakan pesan tersebut diterima, dimengerti, 14 atau dilakukan oleh komunikan. Komunikasi massa berbeda dengan

  Elvinaro Ardianto dan lukiyati komala Erdiyana. 2004. Komunikasi massa suatu pengantar: Bandung: Simbiosa rekatama media. hal 3-4 terdapat pada komponen-komponen yang terlibat didalamnya, dan proses berlangsungnya komunikasi tersebut. Komunikasi massa memiliki karakteristik seperti komunikator yang terlembagakan, pesannya bersifat umum, komunikannya anonim dan heterogen, media massa menimbulkan keserempakan dimana mengutamakan isi ketimbang hubungan, komunikasi yang bersifat satu arah memiliki batasan terhadap indra sehingga umpan balik (feedback) mengalami ketertundaan (delayed) atau bahkan tidak langsung (inderect).

  Michael W. Gamble dan Teri Kwal Gamble (1986) dalam Nurudin mendefinisikan sesuatu yang disebut komunikasi massa dapat mencakup hal-hal sebagai berikut: 1.

   Komunikator dalam komunikasi massa mengandalkan

  peralatan modern untuk menyebarkan atau memancarkan pesan secara cepat kepada khalayak yang luas dan tersebar. Pesan itu disebarkan melalui media modern pula, antara lain surat kabar, majalah, televisi, film, ataupun gabungan di antara media tersebut.

2. Komunikator dalam komunikasi massa dalam menyebarkan

  pesan-pesannya bermaksud mencoba berbagi pengertian dengan jutaan orang yang tidak saling mengenal atau mengetahui satu sama lain. Anonimitas audience dalam komunikasi massa inilah yang membedakan pula dengan jenis komunikasi yang lain. sama lain.

  3. Pesan adalah milik publik. Artinya bahwa pesan ini bisa

  didapatkan dan diterima oleh banyak orang. Karena itu diartikan milik publik.

  4. Sebagai sumber, komunikator massa biasanya organisasi

  formal seperti jaringan, ikatan, atau perkumpulan. Dengan kata lain, komunikatornya tidak berasal dari seseorang, tetapi lembaga.

  Lembaga ini pun biasanya berorientasi pada keuntungan, bukan organisasi suka rela atau nirlaba.

  Komunikasi massa juga dikontrol oleh gatekeeper (penapis informasi). Artinya, pesan-pesan yang disebarkan atau dipancarkan dikontrol oleh sejumlah individu dalam lembaga tersebut sebelum disiarkan lewat media massa.

2.1.1.1 Karakteristik Komunikasi Massa

  Komunikasi massa pada dasarnya memiliki beberapa karakteristik yang dikemukakan oleh para ahli seperti menurut Wright dalam Ardianto komunikasi dapat dibedakan dari corak-corak yang lama karena memiliki

  16

  karakteristik utama yaitu: anonim. 2) Pesan disampaikan secara terbuka. 3) Pesan diterima secara serentak pada waktu yang sama dan bersifat sekilas (khusus untuk media elektronik).

  Pada komunikasi massa, pesan ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu dikarenakan sifatnya yang heterogen dan anonim. Meskipun pesan tersebut diterima secara serentak pada waktu yang relatif bersamaan. Pesan tersebut akan terpilah dengan sendirinya berdasarkan dengan fungsi dari pesan tersebut. Sehingga pesan komunikasi massa biasanya bersifat umum atau terbuka yang dapat berupa fakta maupun opini.

2.1.1.2 Fungsi Komunikasi Massa

  Terdapat beberapa fungsi komunikasi massa, salah satunya yang dikemukakan oleh Effendy dalam Ardianto, secara umum yaitu:

  17 1.

   Fungsi Informasi Fungsi memberikan informasi ini diartikan

  bahwa media massa adalah penyebar informasi bagi pembaca, pendengar atau pemirsa. Berbagai informasi dibutuhkan oleh khalayak media massa yang bersangkutan sesuai dengan kepentingannya. yang sifatnya mendidik seperti melalui pengajaran nilai, etika, serta aturan-aturan yang berlaku kepada pemirsa, pendengar atau pembaca.

3. Fungsi Mempengaruhi Media massa dapat mempengaruhi

  khalayaknya baik yang bersifat pengetahuan (cognitive), perasaan

  (affective) , maupun tingkah laku (conative).

  Dalam sebuah film fungsi komunikasi massa terlihat begitu jelas dimana film tidak hanya dijadikan sebagai media hiburan melainkan memberikan nilai-nilai informasi yang edukatif bagi khalayak. Selain itu pesan yang disampaikan melalui film akan jauh mudah diterima ketimbang dengan pesan yang disampaikan secara konvensional atau langsung dikarenakan pesan yang disampaikan pada sebuah film dikemas dengan gaya yang berbeda dan mengikuti konteks sosial yang diangkat dalam film tersebut.

  Pendapat lain mengenai fungsi komunikasi massa juga dikemukakan oleh Dominick dalam Ardianto, yaitu terdiri dari :

  18

1. Surveillance (Pengawasan) Fungsi ini menunjuk pada

  pengumpulan dan penyebaran informasi mengenai kejadian- kejadian dalam lingkungan maupun yang dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari. atau pemirsa untuk memperluas wawasan dan membahasnya lebih lanjut dalam komunikasi antarpesona atau komunikasi kelompok.

  3. Linkage (Pertalian) Fungsi ini bertujuan dimana media massa

  dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam, sehingga membentuk linkage (pertalian) berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu.

  4. Transmission of values (Penyebaran nilai-nilai) Fungsi ini

  artinya bahwa media massa yang mewakili gambaran masyarakat itu ditonton, didengar, dan dibaca. Media massa memperlihatkan kepada kita bagaimana mereka bertindak dan apa yang mereka harapkan.

  5. Entertainment (Hiburan) Fungsi ini bertujuan untuk mengurangi

  ketegangan pikiran halayak, karena dengan membaca berita-berita ringan atau melihat tayangan hiburan di televisi dapat membuat pikiran khalayak segar kembali.

  Dari beberapa fungsi yang dikemukakan oleh para ahli terdapat benang merah yang sama bahwa komunikasi massa selain memberikan unsur hiburan juga memiliki fungsi untuk memberikan informasi yang memiliki nilai edukatif serta fungsi mempengaruhi melalui isi pesan yang