Geometri Metrik - USD Repository
GEOMETRI METRIK
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Matematika
Oleh:
Monica Lili Megawati
NIM: 043114015
PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
METRIC GEOMETRY
Thesis
Presented as Partial Fulfillment of the Requirements
To Obtain the SARJANA SAINS Degree
In Mathematics
By:
Monica Lili Megawati
Student Number: 043114015
MATHEMATICS STUDY PROGRAM MATHEMATICS DEPARTMENT
SCIENCE AND TECHNOLOGY FACULTY
SANATA DHARMA UNIVERSITY
YOGYAKARTA
ABSTRAK
Geometri Abstrak merupakan himpunan dari titik dan garis yang memenuhi aksioma
tertentu. Sebuah Geometri Abstrak dikatakan Geometri Insidensi jika memenuhi
sistem aksioma yang mengandung ketunggalan garis. Geometri Metrik merupakan
konsep Geometri Abstrak yang menyatukan berbagai konsep geometri yang sudah
ada seperti Geometri Euklides dan Geometri Non Euklides dengan menggunakan
sistem aksioma. Konsep yang digunakan dalam Geometri Metrik yaitu konsep
mengenai jarak. “Jarak” adalah fungsi yang menentukan sebuah bilangan d(P, Q)
untuk setiap pasangan titik P, Q. Dalam skripsi ini akan dibicarakan tiga model yang
muncul dalam Geometri Metrik, yaitu Bidang Euklidean, Bidang Poincarè, dan
Bidang Taxicab. Penggabungan model-model yang muncul dengan suatu fungsi jarak
akan menghasilkan suatu Geometri Metrik. Penggunaan vektor dalam Bidang
Kartesian yaitu untuk menentukan sifat keantaraan dalam Geometri Metrik yang
menentukan tiga titik kolinier artinya terletak di antara dan .A − B − C B A C
ABSTRACT
Abstract Geometry is a set of points and lines that meet a certain axiom. The Abstract
Geometry is an Incidence Geometry if it meets an axiom system that contains the
uniqueness of lines. Metric Geometry is a concept of Abstract Geometry that unifies
the previous geometry concepts like Euclidean Geometry and Non Euclidean
Geometry that use the axiom system. The concept used in Metric Geometry is a
distance concept. The ”distance” is the function that determines the number d ( P , Q )
for every pair of points P , . This thesis will discuss three models of the Metric QGeometry, they are: Euclidean Plane, Poincarè Plane, and Taxicab Plane. The grouping of the models that set in context with a distance function will produce a Metric Geometry. The use of vectors on Cartesian Plane is to determine betweeness on the Metric Geometry that establishes three colinear lines of . It means
A − B − C that B is between A and C.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Berkat dukungan dan bantuan dari banyak pihak, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Herry Pribawanto Suryawan, S.Si.,M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan selama penyusunan skripsi ini.
2. Bapak Yosef Agung Cahyanta, S.T.,M.T. selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi yang telah mendukung penulis selama penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Lusia Krismiyati Budiasih, S.Si.,M.Si. selaku Kaprodi Matematika dan Dosen Pembimbing Akademik angkatan 2004 yang telah memberikan nasehat, saran dan dukungan kepada penulis.
4. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis.
5. Bapak Tukijo dan Ibu Linda yang telah memberikan pelayanan administrasi kepada penulis selama masa perkuliahan.
6. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma dan staf yang telah menyediakan fasilitas dan memberikan kemudahan kepada penulis selama masa perkuliahan.
7. Kedua orang tuaku tercinta: Bapak Andreas Leonardus Pardiyo dan Ibu Maria Magdalena Lasmiyati yang dengan penuh cinta kasih telah memberikan nasehat, semangat, saran dan dukungan kepada penulis dalam segala hal.
8. Kedua kakakku tersayang, FX. Budi Ari Wibowo dan Paulus Janu Rahprobo, adikku tersayang Agatha Viti Anggraini, serta kekasihku tercinta Yulius Libralvo Junischrisye, dan semua keluarga besar yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis.
9. Teman-teman angkatan 2004: Nancy Hartono, Theodora, Fransiska, Eni, Retno, Ratna, Dwi, Lina, dan Yohanes, serta Ridwan Rahadiyanto dan Septi juga bapak-ibu kost dan teman-teman Majus Community yang telah memberikan semangat, saran dan nasehat kepada penulis.
10. Teman-teman KKN: Devita, Dewi, Silvia, Dita, Lilik, Lusia, Lucky, Hardian, dan Udjo, juga Estiningsih yang telah memberikan semangat, saran, dan nasehat kepada penulis.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu- persatu di sini.
Yogyakarta, Februari 2009 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i HALAMAN JUDUL DALAM BAHASA INGGRIS .......................................... ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA.......................................... vi HALAMAN ABSTRAK ...................................................................................... vii HALAMAN ABSTRACT .................................................................................... viii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ............................................................. ix KATA PENGANTAR .......................................................................................... x DAFTAR ISI......................................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................
1 1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................................
1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................
3 1.3 Batasan Masalah ..................................................................................
4 1.4 Tujuan Penulisan..................................................................................
4 1.5 Metode Penulisan.................................................................................
4 1.6 Manfaat Penulisan................................................................................
4
1.7 Sistematika Penulisan ..........................................................................
4 BAB II HIMPUNAN, RELASI EKUIVALENSI, DAN FUNGSI ......................
7 2.1 Aksioma dan Model ...........................................................................
7 2.2 Himpunan dan Relasi Ekuivalensi .....................................................
8 2.3 Fungsi.................................................................................................
15 BAB III GEOMETRI ABSTRAK DAN GEOMETRI INSIDENSI ....................
25 3.1 Geometri Abstrak..............................................................................
25 3.2 Geometri Insidensi ............................................................................
38 BAB IV GEOMETRI METRIK ...........................................................................
48 4.1 Geometri Metrik................................................................................
48 4.2 Sistem Koordinat Khusus .................................................................
75 4.3 Keantaraan di dalam Geometri Metrik..............................................
80 BAB V PENUTUP ............................................................................................... 101
5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 101
5.2 Saran .................................................................................................. 102 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 104
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada awalnya Geometri merupakan kumpulan rumus yang digunakan untuk menghitung jarak, luas, dan volume. Geometri sebagai ilmu praktis sebetulnya sudah dikenal sejak 3000 tahun sebelum Masehi. Semula geometri lahir dari kebutuhan untuk mempermudah kehidupan dan kemudian berkembang secara alami. Peninggalan sejarah memperlihatkan bahwa sudah ada usaha mengembangkan di Babilon (2000-1600 SM), di Mesir (1800-1600 SM), di Siria, Mesopotamia, Asia Kecil dan di Arab yang biasanya masih tercampur dengan ilmu berhitung aljabar dan astronomi. Kata geometri (pengukuran tanah) pun timbul dari perhitungan luas tanah di Mesir untuk menentukan besar pajak. Pada abad 6 SM orang-orang Yunani menjelajah ke Mesir, Asia Kecil dan sekitar Laut Tengah. Tokohnya Thales membawa bahan-bahan geometri ke negaranya dan mengadakan penjabaran-penjabaran antara lain mengenai lingkaran. Diperkirakan mungkin kerja Thales ini merupakan usaha pertama yang orang-orang Yunani lakukan dalam pembuktian sifat-sifat geometri lewat penalaran dan bukannya dengan intuisi atau eksperimen. Tokoh-tokoh yang menyusul ialah Pythagoras (± 572 SM) yang memperumum (generalize) sifat segitiga siku-siku, Euclides (± 325 SM) dari Iskandaria (Alexandria) yang untuk pertamakalinya meletakkan dasar-dasar geometri aksiomatik, serta masih ada beberapa tokoh lain. Pada masa Euclides (abad 3 SM) geometri sudah berbentuk sebagai cabang ilmu tersendiri dan mendapatkan wajah sebagai ilmu yang abstrak dalam bentuk sistem deduktif/aksiomatik, dilandasi oleh logika Yunani. Pada waktunya dahulu Euclides berhasil menyusun geometri sebagai sistem aksiomatik material, kini timbul sistem aksiomatik yang formal. Ini ditandai dengan timbulnya manifold dengan unsur yang tidak harus berupa titik geometris (Plucker 1829) dan juga ruang abstrak (Frechet 1906), sedemikian sehingga geometri menjadi semakin abstrak.
Ada dua pendekatan mendasar dalam Geometri Abstrak. Pendekatan pertama disebut pendekatan sintetik, yang digunakan oleh Euclides dalam bukunya yang berjudul Elements (sekitar 300 SM) dan dilengkapi oleh seorang matematikawan Jerman David Hilbert (1862-1943) dalam bukunya yang berjudul
. Pendekatan kedua disebut pendekatan metrik, yang
Grundlagen der Geometrie
ditemukan oleh seorang matematikawan Amerika yang bernama George David Birkhoff (1884-1944) dalam makalahnya “A Set of Postulates for Plane
” [1932]. Dalam pendekatan ini, konsep
Geometry Based on Scale and Protractor
mengenai jarak dan pengukuran sudut ditambahkan untuk geometri insidensi untuk mendapatkan ide dasar mengenai keantaraan, segmen garis, kongruensi, dan lain sebagainya.
Kita menggunakan pendekatan metrik karena konsep tentang jarak adalah
(P, Q) untuk setiap pasangan titik P, Q. Hal itu mestinya tidak berarti apakah
d
kita ukur dari P ke Q atau dari Q ke P (ditulis d(P, Q)). Selanjutnya, jarak antara dua titik adalah nol dapat terjadi ketika kedua titik itu sama.
Pada keseluruhannya dalam skripsi ini penulis akan mengilustrasikan berbagai macam aksioma, definisi-definisi, dan teorema-teorema dengan model- model dari Bidang Kartesian yang umum dikenal hingga separuh dari bagian atas Bidang Poincarè, dan Bidang Taxicab. Penulis berharap bahwa melalui sebuah gambaran dengan contoh, pembaca akan memperoleh pemikiran nyata dan intuisi untuk geometri non-Euklides. Ada tiga model yang utama dari geometri dengan pendekatan metrik yang akan muncul, yaitu Bidang Euklidean , Bidang Poincarè
, dan Bidang Taxicab . Serta akan dibahas pula sifat keantaraan di dalam Geometri Metrik.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasar atas uraian yang dikemukakan dalam latar belakang, pokok permasalahan dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Geometri Abstrak, Geometri Insidensi, dan Geometri Metrik?
2. Apa saja model-model yang muncul dari setiap Geometri di atas?
3. Apa sifat dari masing-masing Geometri?
4. Apa yang dimaksud keantaraan di dalam Geometri Metrik?
1.3 Batasan Masalah 1. Geometri Abstrak yang dibahas hanya dalam pendekatan metrik saja.
2. Dalam penulisan skripsi ini yang dibahas hanya definisi dari Geometri Abstrak, Insidensi dan Metrik, serta model-model yang muncul di dalamnya dan sifat keantaraan dalam Geometri Metrik.
1.4 Tujuan Penulisan
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mempelajari Geometri dengan pendekatan metrik serta mempelajari model-model yang muncul di dalamnya.
1.5 Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode studi pustaka.
1.6 Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui definisi dari Geometri Metrik serta untuk mengetahui model-model yang muncul di dalam Geometri Metrik.
1.7 Sistematika Penulisan
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Batasan Masalah
1.4 Tujuan Penulisan
1.5 Metode Penulisan
1.6 Manfaat Penulisan
1.7 Sistematika Penulisan
BAB II HIMPUNAN, RELASI EKUIVALENSI DAN FUNGSI
2.1 Aksioma dan Model
2.2 Himpunan dan Relasi Ekuivalensi
2.3 Fungsi
BAB III GEOMETRI ABSTRAK DAN GEOMETRI INSIDENSI
3.1 Geometri Abstrak
3.2 Geometri Insidensi
BAB IV GEOMETRI METRIK
4.1 Geometri Metrik
4.2 Sistem Koordinat Khusus
4.3 Keantaraan di dalam Geometri Metrik
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
BAB II HIMPUNAN, RELASI EKUIVALENSI, DAN FUNGSI
2.1 Aksioma dan Model
Studi tentang geometri diawali dengan dua konsep dasar, yaitu pengertian tentang titik dan garis. Pengertian tersebut kemudian dihubungkan dengan kumpulan aksioma, atau prinsip utama. Sebagai contoh, ketika kita mendiskusikan tentang awal munculnya geometri, prinsip utama yang mungkin kita asumsikan yaitu jika A dan B adalah dua titik yang berbeda maka ada tepat satu garis yang dapat ditarik melalui titik A dan B.
Aksioma-aksioma dinyatakan sebagai “kebenaran dasar”. Aksioma adalah pernyataan dari sifat yang sangat diperlukan untuk dipelajari tetapi tidak dibuktikan. Aksioma-aksioma yang demikian akan “terbukti dengan sendirinya”. Pandangan modernnya bahwa aksioma adalah sebuah pernyataan tentang sifat yang sangat berguna. Pemilihan aksioma ditentukan oleh tiga prinsip dasar.
Pertama, aksioma harus “layak” atau “menarik”. Kedua, aksioma akan berguna dan berperan penting untuk bermacam-macam teorema dan bermacam struktur matematika. Ketiga, aksioma harus konsisten. Sistem aksioma adalah sistem yang didasarkan pada penalaran deduktif. Sistem deduktif terdiri dari empat komponen, antara lain :
1. Hal-hal yang tak terdefinisi ( undefined terms )
3. Hal-hal yang terdefinisi ( defined terms )
4. Teorema Terdapat beberapa sifat sistem aksioma :
1. Konsisten yang artinya tidak ada dua pernyataan ( dua aksioma, aksioma dengan teorema, atau dua teorema yang bertentangan satu sama lain ).
2. Independen artinya jika sebuah aksioma tidak dapat dibuktikan / diturunkan dari aksioma yang lain.
3. Lengkap artinya jika tidak mungkin menambahkan sebuah aksioma yang konsisten dan independen ke dalam sistem tersebut.
Setiap model dalam geometri ditentukan dari pemberian sebuah himpunan yang anggotanya disebut “titik” dan kumpulan himpunan bagian dari himpunan ini yang disebut “garis”. Jika kita menggunakan beberapa model khusus, maka model-model tersebut harus memenuhi aksioma-aksioma yang ada.
2.2 Himpunan dan Relasi Ekuivalensi
Misalkan ada sebuah himpunan yang disimbolkan S. Himpunan S terdiri dari obyek-obyek yang disebut anggota. Kumpulan obyek ini harus digambarkan dengan menggunakan aturan khusus. Misalkan kita menuliskan a ∈ S yang berarti a berada dalam S, dan dibaca “a adalah anggota dari S”. Sama halnya dengan kita menulis S a ∉ yang berarti bahwa a tidak berada dalam S, yaitu a bukan anggota dari S.
Definisi 2.2.1
a) Himpunan T adalah himpunan bagian dari S, ditulis T ⊂ S, jika setiap anggota T juga merupakan anggota S.
b) Himpunan T dikatakan sama dengan himpunan S, ditulis T=S, jika setiap anggota T berada di S, dan setiap anggota S berada di T. Karena itu T=S jika dan hanya jika T ⊂ S dan S ⊂ T.
c) Himpunan kosong adalah himpunan yang tidak memiliki anggota dan diberi lambang φ .
Notasi T = { x ∈ S | … } berarti bahwa anggota T merupakan anggota dari S yang memenuhi sifat setelah tanda “|”.
Definisi 2.2.2
a) Gabungan dari dua himpunan A dan B adalah himpunan A ∪ B = { x | x ∈ A atau x ∈ B }.
b) Irisan dari dua himpunan A dan B adalah himpunan A ∩ B = { x | x∈A dan x ∈ B }.
Jika φ = ∩ B A maka A dan B dikatakan saling asing. c) Selisih dari himpunan A dan B adalah himpunan = { x | x ∈ A dan x }.
A-B ∉ B Di bawah ini akan diberikan contoh agar dapat lebih memahami definisi di atas.
Ingat bahwa untuk menunjukkan dua himpunan S dan T sama dilakukan dengan menunjukkan bahwa dan .
S ⊂ T T ⊂ S Contoh 2.2.1
Akan ditunjukkan bahwa
A ∩ ( B ∪ C ) ( = A ∩ B ) ( ∪ A ∩ C ) Penyelesaian :
Pertama kita tunjukkan bahwa . Misalkan
A ∩ ( B ∪ C ) ( ⊂ A ∩ B ) ( ∪ A ∩ C )
, maka dan . Karena maka
x ∈ A ∩ ( B ∪ C ) x ∈ A x ∈ ( B ∪ C ) x ∈ ( B ∪ C ) x ∈ B
atau (atau di keduanya). Jika maka . Jika maka
x ∈ C x ∈ B x ∈ ( A ∩ B ) x ∈ C
x ∈ A ∩ C . Hal ini berarti x ∈ A ∩ B ∪ A ∩ C . Jadi
( ) ( ) ( ) A ∩ B ∪ C ⊂ A ∩ B ∪ A ∩ C .
( ) ( ) ( )
Kemudian kita tunjukkan bahwa ( A ∩ B ) ( ∪ A ∩ C ) ⊂ A ∩ ( B ∪ C ) . Misalkan . Jika maka dan . Karena itu
x ∈ ( A ∩ B ) ( ∪ A ∩ C ) x ∈ ( A ∩ B ) x ∈ A x ∈ B
dan . Demikian juga, jika maka
x ∈ ( B ∪ C ) x ∈ A ∩ ( B ∪ C ) x ∈ ( A ∩ C ) x ∈ A
dan x ∈ C . Karena itu, x ∈ B ∪ C dan x ∈ A ∩ B ∪ C . Dalam salah satu hal,
( ) ( ) x ∈ A ∩ B ∪ C . Jadi A ∩ B ∪ A ∩ C ⊂ A ∩ B ∪ C . ( ) ( ) ( ) ( ) Karena A ∩ ( B ∪ C ) ( ⊂ A ∩ B ) ( ∪ A ∩ C ) dan ( A ∩ B ) ( ∪ A ∩ C ) ⊂ A ∩ ( B ∪ C ) , jadi kita dapatkan .
A ∩ ( B ∪ C ) ( = A ∩ B ) ( ∪ A ∩ C ) Definisi 2.2.3
Misalkan A dan B adalah himpunan. Sebuah pasangan terurut adalah simbol ,
( a b )
di mana dan . Dua pasangan terurut , dan , dikatakan sama
a ∈ A b ∈ B ( a b ) ( c d )
jika dan . Hasilkali Kartesius dari A dan B adalah himpunan
a = c b = d {(a,b)| dan }.
A × B = a ∈ A b ∈ B
2 Catatan bahwa R = R × R . Sebagai contoh grafik pertidaksamaan x < y
2
2
dalam R memuat semua pasangan terurut a , b ∈ R sedemikian sehingga
( ) a < . b
Definisi 2.2.4
Sebuah relasi biner R pada himpunan S adalah himpunan bagian dari
S × . Jika S s , t ∈ R maka kita katakan bahwa s berelasi dengan t.
( )
Kita seringkali menggunakan simbol untuk relasi seperti , , , ||, ~ daripada huruf. Kemudian kita mengindikasikan bahwa dua
≤ ≡ ≈ atau anggota yang berelasi dengan menempatkan nama relasinya di antara anggota misalkan
3 , 5 menjadi 3 , 5 , yang menjadi 3 ≤ . Jadi kita mungkin
5
( ) ∈ C ( ) ∈≤ membuat pernyataan tentang “relasi ~” dan menulis pernyataannya seperti “a ~ b”. Jika dua anggota a, b tidak berelasi, maka kita tulis a ~/ b.
Gagasan mengenai relasi bergantung pada pasangan terurut. Untuk beberapa relasi khusus urutan tidaklah penting – relasi bersifat simetris. Catatan bahwa jika ~ adalah sebuah relasi pada S dan a ∈ S , maka di dalamnya mungkin tidak ada anggota b dengan a ~ b . Sebagai contoh, jika S adalah himpunan bilangan bulat positif, dan jika relasinya “>” ( lebih besar dari ) maka tidak ada dengan 1>b. Dalam hal ini 1 tidak berelasi dengan apapun.
b ∈ S Definisi 2.2.5
Sebuah relasi biner “~” pada S adalah relasi ekuivalensi jika untuk setiap , , berlaku :
a b c ∈ S
i. ~ ( refleksif )
a a
ii. Jika ~ maka ~ ( simetris )
a b b a
iii. Jika ~ dan ~ , maka a ~ c ( transitif )
a b b c Contoh 2.2.2
Misalkan adalah himpunan semua bilangan bulat dan didefinisikan ~ jika
a b a − habis dibagi 2. Akan ditunjukkan bahwa “~” adalah relasi ekuivalensi. b Untuk mengatakan bahwa b a − habis dibagi 2 artinya bahwa ada bilangan bulat k sedemikian sehingga k b a − 2 = . Jadi b a ~ jika dan hanya jika ada Z k ∈ sehingga k b a
− 2 = . i. Misalkan Z a ∈ , maka . = 2 0 = − a a sehingga a a ~ dan “~” refleksif. ii. Misalkan Z b a ∈ , dan b a ~ , maka ada Z k ∈ dengan k b a . − 2 = . Ini berarti bahwa ) .(
dan b adalah bilangan bulat maka
1
dan kemudian c a ~ . Jadi “~” bersifat transitif.
Oleh karena itu “~” adalah relasi ekuivalensi.
Definisi 2.2.6
Jika
a
a
1 = 2 k k c a + − , dengan Z k k ∈ +
ekuivalen dengan b modulo
n
jika
= kn b a −
untuk suatu bilangan bulat k. Ditulis
( ) ≡ n b a dan artinya bahwa
2
2
= 2 k a b − − . Karena Z k ∈ − , kita peroleh a b ~ . Jadi “~” bersifat simetris. iii. Jika
dan
b a
~ dan
c b
~ maka ada bilangan
Z k ∈
1
Z k ∈
( )
2
dengan , .
2
1 = k b a − dan
2 . 2 k c b = − . Dengan menjumlahkan kedua persamaan kita
peroleh
− b a habis dibagi n.
Definisi 2.2.7
Jika “~” adalah relasi ekuivalensi pada himpunan S dan
s ∈ , maka kelas S
ekuivalensi adalah himpunan bagian dari dengan definisi
s S s = x ∈ S | x ~ s = x ∈ S | s ~ x .
[ ] { } { } Contoh 2.2.3
Dalam Contoh 2.2.2 kelas ekuivalensi dari 3 adalah himpunan bilangan bulat ganjil, dan kelas ekuivalensi dari 2 adalah himpunan bilangan bulat genap.
Catatan pada kasus ini adalah jika , ∈ maka x = y atau x ∩ y = .
x y Z [ ] [ ] [ ] [ ] φ Teorema 2.2.1
Jika “~” adalah relasi ekuivalensi pada S dan jika , maka s ∩ t = atau
s t ∈ S [ ] [ ] φ s = t .
[ ] [ ] Bukti :
Kita akan menunjukkan bahwa jika pernyataan pertama tidak benar ,
( s ∩ t ≠ φ ) [ ] [ ]
maka pernyataan kedua benar. Asumsikan bahwa s ∩ t ≠ , maka ada
[ ] [ ] φ
x ∈ s ∩ t . Karena itu x ∈ s dan x ∈ t . Jadi x~s dan x~t. Dari simetri s~x,
[ ] [ ] [ ] [ ]
dan maka dari transitif s~x dan x~t berakibat bahwa s~t. Kita gunakan ini untuk menunjukkan .
s ⊂ t [ ] [ ] Misalkan y ∈ s , maka y~s dan, karena s~t, kita juga mempunyai y~t dari sifat
[ ]
transitif. Jadi . Karena itu . Sama halnya t~s, dapat kita tunjukkan
y ∈ t s ⊂ t [ ] [ ] [ ] . Karena itu . t ⊂ s s = t
[ ] [ ] [ ] [ ]
2.3 Fungsi
Pada subbab ini kita akan membicarakan fungsi dan bijeksi. Di sini kita akan terus menggunakan R untuk menotasikan himpunan semua bilangan real dan untuk himpunan semua bilangan bulat.
Z Definisi 2.3.1
Jika S dan T adalah himpunan, maka sebuah fungsi f : S adalah sebuah
→ T
himpunan bagian sehingga untuk setiap
f ⊂ S × T s ∈ ada tepat satu S t ∈ T
dengan , . Elemen tunggal t ini biasanya dinotasikan f(s). Himpunan S
( ) s t ∈ f disebut daerah asal (domain) dari f dan T disebut daerah hasil (range) dari f.
Contoh 2.3.1
2 Misalkan f : R → dengan persamaan f(x) = x . Misalkan g : Z → dengan R
R
2
- + persamaan g(x) = x . Catat bahwa f tidak sama dengan g – masing-masing memiliki daerah asal yang berbeda. Sekarang misalkan | dan
R = { x ∈ R x ≥ } 2 +
misalkan : dengan persamaan . Catat bahwa f dan h tidak
h R → R h ( ) x = x
Definisi 2.3.2
Jika : adalah sebuah fungsi maka peta adalah
f S → T f Im { | ( ) untuk suatu } .
( ) f = t ∈ T t = f s s ∈ S
Im(f ) memuat elemen dari T yang benar-benar “dipetakan” oleh f. Tentu saja, Im(f) ⊂ daerah hasil (f ), tetapi himpunannya tidak harus sama.
Definisi 2.3.3
Fungsi f : S → T adalah surjektif jika untuk setiap t ∈ T ada s ∈ dengan S .
f ( ) s = t
Sebuah elemen mungkin dapat dioperasikan lebih dari sekali, yaitu mungkin ada beberapa s ∈ sehingga S f s = t . Hal ini umum digunakan untuk
( )
menyatakan bahwa sebuah fungsi adalah “pada” sebagai ganti dari “surjektif”.Contoh 2.3.2
3 Akan ditunjukkan bahwa f : R oleh
1 adalah surjektif sedangkan
R f ( ) x = x −
2
oleh 1 tidak surjektif.
g : R R g ( ) x = x −
Untuk menunjukkan bahwa f adalah surjektif kita harus memperlihatkan bahwa
t daerah hasil ( ) f = R ada s ∈ daerah asal ( ) f sehingga f ( ) s = t ,
untuk setiap ∈ yaitu kita harus menunjukkan bahwa persamaan
3
− 1 = . . .( 1 )
s t mempunyai penyelesaian untuk setiap nilai t. Karena setiap bilangan real
3
mempunyai akar pangkat tiga, kita tuliskan 1 . Maka
s = t +
3
3
1
1
1
1
- f ( ) = + s t − = t − = t
( ) Karena itu f adalah surjektif.
Untuk menunjukkan bahwa g tidak surjektif kita hanya perlu menentukan satu nilai t sehingga persamaan
2
s − 1 = t . . . ( 2 )
tidak mempunyai penyelesaian. Misalkan t = - 2. maka penyelesaian dari persamaan ( 2 ) harus memenuhi
2
2
1
2
1
s − = − atau s = −
untuk sembarang bilangan real s. Karena itu g tidak surjektif.Contoh 2.3.2 mengilustrasikan bagaimana kita mencoba membuktikan sebuah fungsi surjektif. Konsep mengenai sebuah fungsi yang surjektif memberi kita penjelasan apakah sebuah persamaan mempunyai penyelesaian atau tidak. Gagasan penting lain adalah dugaan mengenai fungsi injektif, yang terkait banyaknya penyelesaian untuk sebuah persamaan.
Definisi 2.3.4
Fungsi f : S → T adalah injektif jika untuk setiap s , s ∈ S dengan
1
2 Hal ini merupakan cara umum untuk menggunakan terminologi “satu- satu” untuk arti injektif. Cara lain untuk mendefinisikan fungsi injektif adalah : f injektif jika s ≠ s berakibat f s ≠ f s .
( ) ( )
1
2
1
2
Contoh 2.3.3 + +2 Akan ditunjukkan bahwa h : R → R oleh h x = x adalah injektif.
( )
2
2 Asumsikan bahwa h ( ) s = h ( ) s yaitu s = s . Kemudian dengan menarik akar
1
2
1
2
2
kuadrat kita peroleh . Karena elemen dari tidak negatif, keduanya
s = ± s R
1
2
dari dan harus lebih besar dari atau sama dengan nol. Karena itu
s s s ≠ − s
1
2
1
2 (kecuali jika keduanya adalah 0) dan kemudian s = s . Jadi h adalah injektif.
1
2 Kata “injektif “ dan “surjektif” adalah kata sifat. Jika kita mempunyai
sebuah kata benda maka ini adalah umum untuk mengatakan “injeksi” untuk “fungsi injektif” dan “surjeksi” untuk “fungsi surjektif”.
Definisi 2.3.5
Fungsi : adalah bijeksi jika f adalah sebuah injeksi dan sekaligus
f S → T surjeksi. Contoh 2.3.3 adalah bijeksi. Istilah lain untuk bijeksi adalah korespondensi satu-satu.
Definisi 2.3.6
Jika diberikan fungsi-fungsi : → , : → , dan Im f ⊂ U , maka
f S T g U
V ( )komposisi dari f dan g adalah fungsi : yang diperoleh dari
g f S →
V g f s = g f s untuk setiap s ∈ . S
( )( ) ( ( ) )
Catat bahwa daerah asal g harus memuat peta dari f dalam komposisi f dan g agar terdefinisi.
Teorema 2.3.1
Jika : dan : keduanya adalah surjeksi maka juga
f S → T g T → V g f merupakan sebuah surjeksi.
Bukti :
Ambil sebarang . Kita harus menunjukkan bahwa ada
v ∈
V s ∈ sehingga S
. Karena g adalah surjektif, ada sehingga . Karena f
( g f )( ) s = v t ∈ T g ( ) t = v
adalah surjektif ada s ∈ dengan S f s = t . Sekarang berlaku
( )
g f s = g f s = g t = v .
( )( ) ( ( ) ) ( ) Jadi g f adalah surjeksi.Teorema 2.3.2
Jika : dan : keduanya adalah injeksi maka :
f S → T g T → V g f S →
V adalah sebuah injeksi.
Bukti :
Akan dibuktikan : g f : S → V adalah sebuah injeksi. Definisi dari dua fungsi yang injektif : Untuk setiap x , x ∈ daerah asal (f ) jika g f x = g f x , maka x = x
( ( )( ) ( )( ) )
1
2
1
2
1
2 Asumsikan : g f x = g f x .
( )( ) ( )( )
1
2 Untuk sebarang , x berada di daerah asal (f ), maka
x
1
2
, sehingga
g ( f ( ) x ) = g ( f ( ) x )
1
2 ( g adalah injeksi ). f ( ) x = f ( ) x
1
2 Jadi, x = x ( f adalah injeksi )
1
2 Jadi terbukti bahwa adalah sebuah injeksi, jika f dan g keduanya adalah
g f injeksi.
Teorema 2.3.3
Jika f : S → T dan g : T →
V keduanya adalah bijeksi maka g f : S →
V adalah sebuah bijeksi.
Bukti : Dari Teorema 2.3.1 dan Teorema 2.3.2.
Jika f : S → T adalah bijeksi maka untuk setiap t ∈ T terdapat dengan tunggal . Hal ini mengijinkan kita untuk mengatakan bahwa untuk
s ∈ dengan S f ( ) s = t
setiap t ∈ T berkorespondensi dengan tepat satu s ∈ . S
Definisi 2.3.7
Jika f : S → T adalah sebuah bijeksi, maka invers dari f adalah fungsi g : T → S yang didefinisikan oleh , di mana s adalah elemen tunggal dari S dengan . . . ( 3 )
g ( ) t = s − f ( ) s = t
1 Fungsi g sering dinotasikan dengan . f
Jika f adalah fungsi logaritma natural yang diberikan oleh ln ,
f ( ) s = ( ) s t
maka invers dari f adalah fungsi eksponensial g yang diberikan oleh
g ( ) t = e ln ( ) x karena . e = s
Definisi 2.3.8
Jika S adalah sebuah himpunan, maka fungsi identitas : diberikan oleh
id S → S s
id s = . s
S( )
Teorema 2.3.4
Jika : , maka f adalah bijeksi jika dan hanya jika = dan
f S → T g f id S
f g = id untuk suatu fungsi : → . Lebih jelas, pada kasus ini invers dari f
T g T S adalah g.Bukti :
Pertama kita akan menunjukkan bahwa jika ada sebuah fungsi : dengan
g T → S f g = id dan = maka f adalah bijeksi dan g adalah inversnya. T S g f id
Asumsikan bahwa ada fungsi g : T → S dengan f g = id dan g f = id . Jika T S
Im
t ∈ T maka g ( ) t ∈ S dan f ( g ( ) t ) = id ( ) t = t . Oleh karena itu t ∈ ( ) f dan f
Tadalah surjeksi. Jika untuk , , maka
f ( ) s = f ( ) s s s ∈ S
1
2
1
2
. Jadi f adalah injeksi dan
g ( f ( ) s ) = g ( f ( ) s ) atau id ( ) s = id ( ) s atau s = s S S
1
2
1
2
1
2
karenanya adalah sebuah bijeksi. Akhirnya jika t = f (s) maka . Jadi g adalah invers dari f.
g ( ) t = g ( f ( ) s ) = id ( ) s = s S
Kemudian kita akan menunjukkan bahwa jika f adalah sebuah bijeksi maka ada fungsi : → dengan f g = id dan = . Karena f adalah bijeksi
g T S g f id T S
yang mempunyai invers. Sebut saja invers ini g : T → S . Maka g t = s apabila
( ) . f ( ) s = t
Dalam kasus tertentu, jika t ∈ T maka untuk semua
f ( g ( ) t ) = f ( ) s = t t ∈ T kemudian bahwa . Juga jika misalkan . Maka dari
f g = id s ∈ T t = f ( ) s T
persamaan ( 3 ),
g ( ) t = s
Kemudian
g f s = s untuk semua s ∈ S
( ( ) ) Jadi = . g f id SContoh 2.3.4
- + +
Misalkan diberikan himpunan | > dan fungsi : dengan s − +
P = { t ∈ R t } f R → P
1 . Akan ditentukan : . f ( ) s = e f P → R
Persamaan (3) menyebutkan bahwa kita harus menemukan sebuah fungsi − + s
1 g = f : P → R dengan sifat bahwa g t = s apabila kapan saja e = . Fungsi t
( ) ini adalah ln . g ( ) t = t
Karena t s
ln
e = t dan ln e = s .
Teorema 2.3.4 memberi bukti bahwa penyelesaian kita benar.
Teorema 2.3.5 − 1 − −
1
1 Jika : dan : adalah bijeksi maka . f S → T h T → V ( h f ) = f h
Bukti : −1
−1 ( h f ) ( h f ) = id −1
T
Jika : maka
f S → T f = T → S −1
Jika : maka
h T → V h = V → T
Kemudian kita amati −1
( h f ) ( h f ) = id s
Juga, −
1 − 1 − 1 −
1
f h h f = f h h f ( komposisi bersifat asosiatif )
( ) ( ) ( ) − − [ ]
1
1