DAYA BAHASA DALAM GAYA BAHASA PADA NOVEL AROK DEDES KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER SKRIPSI

  

DAYA BAHASA DALAM GAYA BAHASA

PADA NOVEL AROK DEDES

KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

  

Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah

  Disusun oleh: Angelina Mellissa Yuliyanto

  091224014

  

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

HALAMAN PENGESAHAN

  

Persembahan

  Skripsi ini kupersembahkan kepada:  Tuhan Yesus Kristus yang selalu setia menjadi sahabat setiaku.

   Kedua orangtuaku: Yuliana Haryati dan Paulus Soejanto atas segala doa, semangat, dan kasih sayang yang tiada henti- hentinya.  Kedua adikku: Kevin dan Metta yang selalu memberi semangat dan keceriaan.  Fajar Nugroho yang setia menemani dan memberiku motivasi.  Seluruh keluarga besar dan teman-teman yang turut serta memberikan doa dan semangatdalam menyelesaikan skripsi ini.

  

MOTTO

  Sebab itu janganlah kamu khawatir akan hari besok karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.(Matius 6: 34)

  Hidupku adalah perjuanganku Hidupku untuk hidup yang lebih baik

  Dan hidup yang menghidupkan (Penulis)

  .1 , PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  "

  . .

  , Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas rahmat kehidupan, penyertaan serta cinta kasihNya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul “Daya Bahasa dalam Gaya Bahasa pada Novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer” yang telah selesai disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah.

  Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat dukungan, nasihat, bimbingan, dan bantuan baik secara moril dan materi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

  1. Bapak Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

  2. Ibu Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Sanata Dharma Yogyakarta.

  3. Bapak Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing yang sangat sabar membimbing dan mengarahkan penulis selama menyusun skripsi ini hingga selesai.

  4. Tim penguji yang telah memberi kritik dan saran demi penyempurnaan skripsi ini.

  5. Seluruh dosen program studi PBSID yang telah mendidik dan mendampingi penulis selama belajar di program studi PBSID.

  6. Bapak Robertus Marsidiq, karyawan sekretariat program studi PBSID yang memberikan pelayanan selama penulis berproses belajar di program studi PBSID.

  7. Karyawan perpustakaan USD yang telah banyak membantu dalam memberikan pinjaman buku bagi penulis.

  

ABSTRAK

  Yuliyanto, Angelina Mellissa. 2013. Daya Bahasa dalam Gaya Bahasa pada

  Novel Arok Dedes Karya Pramoedya Ananta Toer. Skripsi. Yogyakarta:

  Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan daya bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta

  Toer. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan yang berusaha mendeskripsikan data yang berupa kata-kata dalam suatu dokumen. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik baca dan catat. Sumber data penelitian adalah novel

  

Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. Sedangkan data penelitian ini adalah

  kalimat dan tuturan yang terdapat dalam novel yang menggunakan gaya bahasa yang diduga mengandung daya bahasa.

  Penelitian ini menggunakan dasar teori Pragmatik yang menekankan pada fungsi komunikatif bahasa, terutama daya bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa. Hasil penelitian ini adalah (1) daya bahasa yang terdapat dalam novel

  

Arok Dedes yaitu daya bahasa yang terungkap dari data berupa kalimat meliputi

  daya jelas, daya rangsang, daya simbol, daya seremoni. Sedangkan, daya bahasa yang terungkap dari data yang berupa tuturan meliputi daya puji, daya optimis, daya ancam, daya protes, daya cemooh, daya nasihat, daya saran, daya klaim, daya deklarasi, daya sesal, daya keluh, daya pinta, daya harap, daya perintah, daya dogma, daya magi, daya provokasi, daya persuasi,daya sumpah, daya janji; (2) majas yang terdapat dalam novel kebanyakan adalah majas pertentangan yang terungkap melalui berbagai bentuk gaya bahasa, seperti gaya bahasa hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, zeugma, silepsis, paradoks, klimaks, antiklimaks, apostrof, apofasis, sarkasme, dan sinisme; majas perbandingan meliputi gaya bahasa simile, metafora, personifikasi, alegori, antitesis, dan perifrasis; majas pertautan meliputi gaya bahasa metonimia, sinekdok, alusi, eufemisme, eponim, epitet, erotesis, asidenton, dan polisidenton; majas perulangan meliputi gaya bahasa asonansi, kiasmus, epizeukis, anafora, epistofora, epanalepsis, dan anadiplosis.

  Berdasarkan temuan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa daya bahasa dapat muncul dalam berbagai jenis gaya bahasa. Hal ini karena pengarang ingin mengungkapkan imajinasi agar seakan-akan dunia fiksi itu benar-benar nyata.

  

ABSTRACT

  Yuliyanto, Angelina Mellissa. 2013. The Power of Languages Seen from

  Figurative Languages in Pramoedya Ananta T oer’s Arok Dedes.

  Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Education of Indonesian Language and Literature Study Programme, Faculty of Education, Sanata Dharma University. The purpose of this study is to describe the power of language that is revealed through t he figurative languages in Pramoedya Ananta Toer’s Arok

  

Dedes . This study is a library research that describes the data in the form of words

in one document. The collection of the data is done by read and write technique.

  The source of the data is the novel of Arok Dedes written by Pramoedya Ananta Toer. While the data itself consists of the sentences and utterances containing the power of language found in the novel.

  This study applies the basic theory of Pragmatics that is stressed on the communicative function of language, especially the power of language that is revealed through figurative language. The result of the study are (1) the power of languages that can be found in Arok Dedes are the power of language that are conveyed through the data in the form of setences consist of the power of explanation, the power of stimulation, the power of symbol, the power of ceremony. Meanwhile, the power of language that are conveyed through the data in the form of speech consist of the power of complimentary, the power of optimism, the power of threat, the power of protest, the power of mockery, the power of advice, the power of suggestion, the power of claiming, the power of declaration, the power of regret, the power of complain, the power of vowing, the power of request, the power of hope, the power of command, the power of dogma, the power of magi, the power of provocative, the power of persuasion, and the power of promis; (2) the figurative languages that are contained in the novel are contradictory figurative language that is represented by various kind of figurative languages such as hyperbole, litotes, irony, oxymoron, zeugma, syllepsis, paradox, climax, anticlimax, apostrophe, apophasis, sarcasm, and cynicism; comparing figurative languages such as simile, metaphor, personification, allegory, antithesis, pleonasm, and periphrasis; attaching figurative language covers metonymy, synecdoche, allusion, euphemism, eponymy, antonymy, eroticism, asyndeton, and polysyndeton; reiterative figurative languages such as assonance, chiasmus, epizeuxis, anaphora, episthopora, epanalepsis, and anadiplosis.

  Based on the findings of the research above, it can be concluded that the power of language can be found in various figurative languages. This happens because the author wants to deliver the imaginations so that the world of fiction will be seems like a real world.

  

DAFTAR ISI

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

  

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sastra merupakan wadah komunikasi kreatif dan imajinatif. Sastra

  bukan hanya cerita khayal semata tetapi salah satu media menjembatani hubungan realita dan fiksi, hal ini mendukung kecenderungan manusia yang menyukai realita dan fiksi. Dalam kenyataannya, karya sastra bukan hanya berdasarkan imajinasi saja. Karya sastra terinspirasi dari kenyataan dan imajinasi. Sebagai sebuah karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkan kembali melalui sarana fiksi menurut pandangannya.

  Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri dan Tuhan.

  Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Selain itu, fiksi juga merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni (Nurgiyantoro, 2007: 2-3).

  Novel sebagai salah satu bentuk karya fiksi yang memegang peranan penting dalam memberikan pandangan untuk menyikapi hidup secara artistik dan imajinatif. Persoalan yang dibicarakan dalam novel ialah persoalan tentang manusia. Hal ini sejalan dengan pendapat Sayuti (2000: 6) jika novel biasanya memungkinkan adanya penyajian secara meluas tentang tempat atau ruang, sehingga tidak mengherankan jika keberadaan manusia dalam masyarakat selalu menjadi topik utama.

  Bukti dari pendapat di atas ada dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. Novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer ini, ia buat selama di penjara di Pulau Buru dan selesai pada tanggal 24 Desember 1976. Novel ini menceritakan kisah kudeta pertama ala Jawa dalam sejarah Indonesia. Dalam novel ini, ia tidak memotret fakta sejarah melainkan berkeinginan menghidupkan sejarah dengan pendapat dan pengalaman pribadi yang ia alami. Selain itu, Pram hendak mempersoalkan keabsahan perpindahan kekuasaan pemerintahan dari Orde Soekarno ke Orde Soeharto selepas peristiwa yang terjadi tahun 1965. Ia menceritakan kudeta Arok yang berbelit- belit terhadap Akuwu Tumapel (Hun, 2011: 304).

  Selain itu, Kisah Arok Dedes yang merupakan sejarah abad 13 ini yang diceritakan Pramoedya jauh dari versi asli yang diceritakan dalam Kitab Pararaton ataupun Nagarakertagama karena menolak seluruh dongeng, aroma mistik, dan hal yang irasional. Joesoef Ishak melalui Hun (2011: 304) mengatakan ba hwa “tidak mengherankan bila pembaca setelah mengikuti kisah

  

Arok Dedes walau tidak disuruh asosiasi mereka dengan sendirinya pindah dari

abad 13 langsung ke abad 20 di tahun 1965-an.

  Untuk menyampaikan seluruh ide dalam novel, pengarang juga tidak bisa lepas dari penggunaan dan pengolahan bahasa untuk menghasilkan novel yang bagus. Bahasa merupakan salah satu unsur terpenting dalam sebuah karya sastra. Bahasa dalam karya mengandung unsur keindahan. Keindahan dalam novel dibangun oleh pengarang melalui seni kata. Seni bahasa berupa kata-kata yang indah terwujud dalam ekspresi jiwa. Hal tersebut senada dengan pendapat Nurgiyantoro (2005: 272), yaitu bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat warna. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, dan sarana yang mengandung nilai lebih baik untuk dijadikan sebuah karya. Sebagai salah satu unsur terpenting, maka bahasa berperan sebagai sarana pengungkapan dan penyampaian pesan dalam sastra. Dengan demikian, sebuah novel dikatakan menarik apabila informasi yang diungkapkan, disajikan, dengan bahasa yang menarik dan mengandung nilai estetik.

  Begitu pula dengan gaya bahasa yang merupakan salah satu unsur menarik dalam sebuah bacaan. Pengarang memiliki gaya yang berbeda-beda dalam menuangkan setiap ide tulisannya. Setiap tulisan yang dihasilkan nantinya mempunyai gaya yang dipengaruhi oleh penulisnya, sehingga dapat dikatakan, watak seorang penulis sangat mempengaruhi sebuah karya yang dihasilkan. Bahasa sastra memiliki pesan keindahan dan sekaligus pembawa makna. Tanpa keindahan bahasa, karya sastra menjadi hambar. Keindahan karya sastra, hampir sebagian besar dipengaruhi oleh pengarang dalam memainkan bahasa.

  Gaya berbahasa dan cara pandang pengarang satu dengan pengarang lainnya berbeda. Sebab gaya bahasa merupakan bagian dari ciri khas seorang pengarang. Sesuai dengan pendapat Keraf (2010: 113) yang menyatakan gaya bahasa sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa.

  Begitu pula dengan Pramoedya Toer salah satu sastrawan terbaik Indonesia yang berhasil mengisahkan keadaan Indonesia yang berlatar belakang sejarah dalam bentuk fiksi. Pram termasuk sastrawan yang menganut paham realisme sosialis di mana pada setiap kreativitas karya berdasar kenyataan (Riffai, 2010). Ia tetap menggunakan media bahasa sebagai kekuatan dengan tetap berada di wilayah sastra, meski kisah yang dibawakannya sarat muatan politik. Dari cara pandang dan paham yang ia anut, pastinya setiap karya yang ia hasilkan menunjukkan jiwa dan kepribadiannya. Tentu saja hal tersebut berpengaruh terhadap pemilihan kata dan penggunaan gaya bahasa dalam setiap karyanya.

  Setiap penggunaan gaya bahasa tak bisa lepas dari makna apa yang terkandung di dalamnya karena makna yang terkandung di dalam gaya bahasa memiliki kekuatan atau daya tersendiri yang mampu menghipnotis pembacanya. Ciri khas yang dimiliki Pramodya Ananta Toer dalam setiap karyanya melalui untaian kata yang ia rangkai memiliki daya pikat tersendiri bagi penikmat karyanya sehingga dapat mempengaruhi dan menginspirasi bagi pembacanya. Kekuatan seorang pengarang ada di dalam bahasa yang digunakan. Setiap bahasa yang digunakan pengarang memiliki daya tersendiri.

  Daya yang dimiliki oleh bahasa atau yang biasa disebut dengan daya bahasa merupakan bagian dari ilmu pragmatik. Pragmatik merupakan studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca) (Yule, 2006: 3). Dalam hal ini pragmatik mengkaji mengenai bagaimana bahasa dipakai untuk berkomunikasi, terutama hubungan antara kalimat dengan konteks dan situasi pemakaiannya.

  Menurut Rahardi (2006: 20) konteks tuturan dapat pula diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang diasumsikan sama-sama dimiliki dan dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur, serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan oleh si penutur itu di dalam keseluruhan proses bertutur. Konteks memiliki fungsi yang penting dan memang harus ada untuk membuat sebuah tuturan benar-benar bermakna. Lebih dari itu, salah satu kajian pragmatik adalah mengupas mengenai daya bahasa. Oleh karena itu, daya bahasa itu sendiri merupakan kekuatan bagi sastrawan untuk menyampaikan makna, informasi, maksud melalui fungsi komunikatif bahasa sehingga pendengar atau pembaca mampu menangkap segala informasi yang ingin disampaikan (Yuni, 2009).

  Dengan memanfaatkan segala daya atau kekuatan yang dimiliki oleh bahasa serta mengambil sesuatu atau nilai yang dapat dipetik dari kekuatan yang terdapat di dalam bahasa yang digunakan oleh para pengarang maupun sastrawan khususnya novel pasti terkandung kekuatan di dalamnya di mana kekuatan daya bahasa itu bisa mempengaruhi pembacanya. Dengan adanya penggunaan gaya bahasa, diharapkan dapat memperkuat daya bahasa dalam sastra, serta memperindah sastra itu sendiri.

  Penelitian mengenai daya bahasa ini tergolong jenis penelitian baru di bidang pragmatik. Peneliti memilih jenis penelitian tentang daya bahasa yang terungkap melalui gaya bahasa pada novel karena penelitian mengenai daya bahasa yang sudah ada sampai sejauh ini baru meneliti tentang daya bahasa yang terungkap pada seni retorika di panggung politik. Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Anderson (1990), Quanita (2009), Baryadi (2012) tentang

  Bahasa, Kekuasaan, dan Kekerasan, serta Ari Subagyo (2012) tentang Bahasa dan Kepempimpinan Soegija Pranata dan Abdulrahman Wahid. Di dalam

  penelitian ini, peneliti ingin mendeskripsikan daya bahasa apa saja yang terungkap melalui gaya bahasa dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer. Peneliti memilih novel ini karena novel ini sangat menarik dan gaya bahasa yang dituliskan Pram lebih kurang sesuai dengan keadaan masyarakat zaman tersebut dan novel ini sangat kental dengan budaya Hindu. Dengan demikian, dengan adanya penelitian ini akan dapat diketahui daya bahasa apa saja yang terdapat dalam novel tersebut melalui gaya bahasa.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah “Daya bahasa apa sajakah yang terungkap melalui gaya bahasa dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer?”

C. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah ingin mendeskripsikan daya bahasa apa saja yang terungkap melalui gaya bahasa dalam novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer.

D. Manfaat Penelitian

  1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk memberi masukan pada kajian pragmatik terutama mengenai pengaruh daya bahasa dalam gaya bahasa khususnya pada bidang kesastraan (novel).

  2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk memberi pengetahuan kepada pembaca karya sastra khususnya tentang pengaruh kekuatan daya bahasa sebuah novel untuk mempengaruhi pembacanya.

E. Ruang Lingkup Penelitian

  Ruang lingkup penelitian ini adalah penggunaan daya bahasa dalam gaya bahasa pada novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer.

F. Sistematika Penyajian

  Sistematika penyajian penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I merupakan pendahuluan. Dalam bab ini dipaparkan enam hal , yaitu: (1) latar belakang masalah, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) ruang lingkup penelitian, (6) sistematika penyajian. Bab II studi kepustakaan berisi: (1) tinjauan pustaka dan kajian teori. Bab III adalah metodologi penelitian berisi (1) jenis penelitian, (2) sumber data, (3) teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) teknik analisis data, (6) Trianggulasi hasil analisis data. Pada bab IV berisi (1) hasil analisis data, (2) pembahasan. Bab V berisi (1) kesimpulan, (2) implikasi, dan (3) saran untuk peneliti selanjutnya.

lain. Dengan adanya kehadiran orang lain timbullah sebuah komunikasi. Di mana komunikasi adalah wujud dari penggunaan bahasa. Dari interaksi inilah, muncul berbagai fungsi komunikatif bahasa. Menurut Austin dan Searle (Pranowo, 1996: 92) mengklasifikasikan fungsi bahasa menjadi lima, yaitu (1) fungsi direktif (bahasa digunakan untuk memerintah secara halus, misalnya menggunakan kata tolong ketika memerintah seseorang “Tolong buatkan kopi untuk saya!”), (2) fungsi komisif (bahasa digunakan untuk membuat janji atau penolakan untuk berbuat sesuatu, misalnya “Saya berjanji setia padamu sampa i akhir hidupku”, “Maaf, saya tidak membantumu kali ini”), (3) fungsi representasional (bahasa digunakan untuk menyatakan kebenaran, misalnya “Menunjuk dia sebagai ketua panitia ada benarnya juga”), (4) fungsi deklaratif atau performatif (bahasa digunakan untuk mendeklarasikan atau menyatakan sesuatu, misalnya “Dengan ini saya nyatakan Raffi Ahmad tidak bersalah dan bebas dari penyalahgunaan narkoba”), (5) fungsi ekspresif (bahasa digunakan untuk mengungkapkan perasaan kecewa, senang, sedih, puas, dan lain-lain secara

  Klasifikasi fungsi bahasa menurut Leech (Pranowo, 2012: 8) ada lima, yaitu (1) fungsi informasional (bahasa digunakan untuk mengungkapkan informasi berupa makna konseptual), (2) fungsi ekspresif (bahasa digunakan untuk mengungkapkan perasaan dan sikap penutur terhadap suatu objek), (3) fungsi direktif (bahasa dipergunakan untuk mempengaruhi perilaku penutur), (4) fungsi estetik (bahasa digunakan untuk mengungkapkan rasa keindahan seperti dalam karya sastra), (5) fungsi fatis (bahasa digunakan untuk menjaga komunikasi tetap terbuka dan menjalin relasi sosial secara baik).

  Menurut Halliday (dalam Pranowo, 1996: 93), membagi fungsi komunikatif bahasa menjadi tujuh, yaitu (1) fungsi instrumental (bahasa digunakan untuk memanipulasi lingkungan sehingga menimbulkan keadaan tertentu, misalnya seorang bayi menangis meminta makan, susu, atau mainan kesukaannya), (2) fungsi regulatori (bahasa digunakan untuk mengontrol sebuah peristiwa, memberikan persetujuan, penolakan, menyuruh, dan sebagainya, contohnya “Keluar dari kelas sekarang!”), (3)

  fungsi representasional (bahasa digunakan untuk membuat pernyataan,

  menyajikan fakta, misalnya “Bumi itu bulat, itulah faktanya”), (4) fungsi

  interaksional (bahasa digunakan untuk menjaga hubungan agar komunikasi

  tetap berjalan lancar, seperti menggunakan lelucon, idiom khusus, jargon), (5) fungsi heuristik (bahasa digunakan untuk memperoleh pengetahuan agar dapat mengenal lingkungan, seperti bertanya tentang sesuatu), (6) fungsi

  personal (bahasa digunakan untuk menyatakan perasaan, emosi, kepribadian, dll.), (7) fungsi imajinatif (bahasa digunakan untuk menciptakan sistem atau ide yang bersifat imajinatif, menulis puisi, atau karya sastra yang lain).

  Guy Cook (Pranowo, 2012: 7) mengklasifikasikan fungsi bahasa menjadi 2, yaitu fungsi mikro dan fungsi makro. Fungsi makro dibagi menjadi tujuh, yaitu (1) fungsi emotif (bahasa digunakan untuk menyatakan perasaan secara spontan, misalnya “Asem ik!”), (2) fungsi direktif (untuk memerintah, seperti “Maju jalan!”), (3) fungsi phatic (bahasa digunakan untuk memulai pembicaraan, misalnya “Selamat pagi!”), (4) fungsi

  referensial (bahasa digunakan untuk menyampaikan informasi, misalnya

  “Warung ayam gepuk Bu Made enak lho.”), (5) fungsi metalinguitik (bahasa digunakan untuk memfokuskan diri pada kode itu sendiri. Sayangnya fungsi ini tidak memiliki penjelasan beserta contohnya), (6) fungsi poetik (bahasa digunakan untuk mengungkapkan esensi pesan, misalnya:

  Tino : “Bu, kenapa rokok tidak baik untuk kesehatan?”

  Ibu : “Karena rokok bisa menyebabkan banyak penyakit.

  Misalnya kanker paru- paru.” (7) fungsi kontekstual (bahasa digunakan untuk menciptakan konteks pembicaraan, misalnya “Sepertinya hujan akan turun, mari kita bergegas pulang). Sedangkan fungsi mikro sendiri merupakan rincian dari kategori fungsi makro, seperti fungsi direktif memiliki subfungsi (a) untuk mengajukan pertanyaan, (b) untuk menanyakan urutan, (c) untuk berdoa, (d) untuk mempersilakan, (e) untuk mengajukan permintaan, dan sebagainya. Dari berbagai pendapat beberapa ahli yang telah dipaparkan di atas tentang klasifikasi fungsi-fungsi komunikatif bahasa dapat disimpulkan ada persamaan fungsi komunikatif, yaitu sama-sama untuk mengungkapkan perasaan dan memberi perintah. Fungsi-fungsi yang lain , yaitu untuk mengagumi keindahan, menyatakan kebenaran, memulai sebuah pembicaraan, menciptakan konteks pembicaraan, mengusahakan komunikasi tetap terbuka, menolak, menyampaikan informasi, dan memperoleh pengetahuan.

  Pada dasarnya di dalam penggunaan bahasa sehari-hari terdapat unsur penting yang memengaruhi pemakaian bahasa itu. Unsur penting yang dimaksud adalah konteks. Konteks sangat memengaruhi bentuk bahasa yang digunakan oleh seorang penutur. Adanya teori mengenai konteks merupakan angin segar bagi para peneliti bahasa karena konteks dapat menjawab sebuah fenomena yang berhubungan dengan mengapa dan bagaimana sebuah tuturan atau kalimat itu muncul. Seperti yang diketahui, dahulu konteks belum terlalu diperhatikan oleh ahli bahasa sehingga penelitian mereka hanya mengkaji bahasa dari segi fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Hasil penelitian tersebut lazimnya berupa sistem bahasa yang bentuknya gramatikal saja. Oleh karena itu, sejak permulaan tahun 1970-an para ahli linguistik menyadari pentingnya konteks dalam penafsirkan kalimat atau tuturan itu.

  Konteks situasi tuturan menunjuk pada aneka macam kemungkinan latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang muncul dan dimiliki bersama-sama baik oleh si penutur maupun mitra tutur, serta aspek non-kebahasaan lainnya yang menyertai, mewadahi, serta melatarbelakangi hadirnya sebuah tuturan. Maka dengan mendasarkan pada gagasan Leech tersebut, Wijana (1996) dengan tegas menyatakan bahwa konteks yang semacam itu dapat disebut juga konteks situasi pertuturan (speech situasional context) (Rahardi, 2003: 18).

  Pemaparan berikutnya terkait konteks, dipaparkan secara lebih mendalam oleh Leech (1983). Leech menyebut konteks tuturan dengan sebutan aspek-aspek situasi ujar. Berikut pemaparan Leech (1993:19) mengenai aspek-aspek situasi ujar yang meliputi lima hal.

  Leech memberikan simbol bahwa orang yang menyapa atau ‘penutur’ dengan n dan orang yang disapa atau ‘petutur’ dengan t.

  Simbol- simbol ini merupakan singkatan untuk ‘penutur/penulis’ dan ‘petutur/pembaca’. Jadi, penggunaan n dan t tidak membatasi pragmatik pada bahasa lisan saja, melainkan juga dapat mencakup ragam bahasa tulis. Wijana (melalui Rahardi, 2007: 19) menekankan bahwa aspek-aspek yang mesti dicermati pada diri penutur maupun mitra tutur di antaranya ialah jenis kelamin, umur, daerah asal, dan latar belakang keluarga serta latar belakang sosial-budaya lainnya yang dimungkinkan akan menjadi penentu hadirnya makna sebuah pertuturan.

  Aspek situasi ujar yang dipaparkan Leech (1983) mengenai penutur dan lawan tutur sejalan dengan pendapat Verschueren yang disebut dengan ‘speaker’ and hearer’ atau ada yang menyebutnya ‘speaker and interlocutor’, atau dalam istilah Verschueren (dalam Kunjana 1998) disebutkan ‘utterer and interpreter’, akan sangat berdekatan pula dengan dimensi usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, latar belakang kultur, latar belakang sosial, latar belakang ekonomi, dan juga latar belakang fisik, psikis atau mentalnya, atau yang juga diistilahkan dalam Verschueren (1998) sebagai ‘physical world’, ‘social world’, dan ‘mental world’. Selain hadirnya ‘penutur’ dan ‘mitra tutur’ atau ‘lawan tutur’ dalam aspek konteks, sesungguhnya masih dimungkinkan hadirnya sebuah pertuturan itu bisa lebih dari semuanya itu.

  Selanjutnya Verschueren (1998: 85) menggambarkan secara skematik sebagai ‘interpreter’, atau yang banyak dipahami sebagai ‘hearer’ atau ‘interlocutor’ atau ‘mitra tutur’ atau ‘lawan tutur’. Dalam pandangannya, ‘hearer’ atau ‘interlocutor’ masih dapat dibedakan menjadi ‘interpreter’ yang berperan sebagai ‘participant’ dan ‘non- participant’. Selanjutnya ‘participant’ dalam pandangan Verschueren dibedakan menjadi ‘adressee’ dan ‘side-participant’, sedangkan untuk ‘non-participant’ masih dapat dibedakan menjadi ‘bystander’, yakni orang yang semata-mata hadir, dan tidak mengambil peran apapun, dan yang terakhir sebagai ‘overhearer’. Peran ‘overhearer’ masih dapat dibedakan lagi menjadi ‘listener-in’ dan‘eavesdropper’. Dengan demikian, apabila semuanya itu diperhitungkan sebagai salah satu dimensi dalam konteks situasi, tentu saja dimensi ‘hearer’ itu akan menjadi kompleks karena jatidiri ‘hearer’ sesungguhnya tidaklah sesederhana yang selama ini banyak dipahami oleh sejumlah kalangan.

  Lebih lanjut dijelaskan di dalam Verschueren (1998: 76) bahwa bagi sebuah pesan (message), untuk dapat sampai kepada ‘interpreter’ (I) dari seorang ‘utterer’ (U), selain akan ditentukan oleh keberadaan konteks linguistiknya (linguistic context), juga oleh konteks dalam pengertian yang sangat luas, yang mencakup latar belakang fisik tuturan (physical world of the utterance), latar belakang sosial dari tuturan (social world of the utterance), dan latar belakang mental penuturnya (mental world of the utterance). Jadi setidaknya, Verschueren menyebut empat dimensi konteks yang sangat mendasar dalam memahami makna sebuah tuturan. Berikut akan dijelaskan secara lebih rinci.

  Sejauh ini, setidaknya telah terdapat tiga macam konteks yang telah dibahas yaitu mencakup dimensi-dimensi linguistik atau yang sifatnya tekstual, atau yang sering pula disebut sebagai co-text, konteks yang sifatnya sosial-kultural, dan konteks pragmatik. Konteks linguistik lazimnya berdimensi fisik, sedangkan konteks sosiolinguistik lazimnya berupa seting sebuah sosio-kultural yang mewadahi kehadiran sebuah tuturan. Adapun konteks dalam pragmatic dijelaskan oleh Leech.

  Leech (1993: 20) mengatakan bahwa konteks sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh n (penutur) dan t (mitra tutur) yang membantu t menafsirkan makna tuturan. Penjelasan yang agak panjang terkait dengan konteks dikemukakan

Leech adalah mengenai‘setting’, yang dapat mencakup setting waktu dan setting tempat (spatio-temporal settings) bagi terjadinya sebuah

  pertuturan. Aspek waktu dan tempat di dalam setting itu tentu saja tidak dapat dilepaskan dari aspek-aspek fisik dan aspek sosial-kultural lainnya, yang menjadi penentu makna bagi sebuah tuturan.

  Pada prinsipnya, di dalam pragmatik sesungguhnya titik berat dari konteks itu lebih mengarah pada fakta adanya kesamaan latar belakang pengetahuan (the same background knowledge) yang dipahami bersama penutur dan lawan tutur. Hal tersebut dapat dikatakan demikian karena sebuah proses komunikasi akan berhasil apabila hal-hal yang dibicarakan sama-sama dipahami oleh penutur dan mitra tutur, begitu pula sebaliknya. Pemikiran ini sejalan dengan pendapat Pranowo (2009: 12) bahwa komunikasi akan berhasil apabila didukung oleh beberapa faktor seperti ada kesepahaman topik yang dibicarakan antara penutur dengan mitra tutur.

  Leech memiliki preferensi untuk menggunakan istilah tujuan tutur, bukan istilah maksud tutur. Tujuan tutur lebih netral dan lebih umum sifatnya, tidak berkait dengan kemauan atau motivasi tertentu yang sering kali dicuatkan secara sadar oleh penuturnya. Tujuan itu memang lebih konkret, lebih nyata, karena memang keluar berbarengan dengan tuturan yang dilafalkan atau diungkapkannya itu.

  Akan tetapi, maksud, tidak serta merta sama dengan tujuan karena cenderung hadir sebelum tujuan itu dinyatakan. Artinya maksud itu belum berupa tindakan, masih berada dalam pikiran dan angan-angan, sedangkan tujuan itu sudah berupa tindakan, karena memang tujuan hadir bersama-sama dengan keluarnya sebuah tuturan dari mulut seseorang.

  Tujuan tutur berkaitan erat dengan bentuk-bentuk tuturan yang digunakan seseorang. Pada dasarnya, tuturan dari seseorang akan dapat muncul karena dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tutur yang sudah jelas dan amat tertentu sifatnya. Oleh karena itu, harus ditegaskan bahwa dalam pragmatik, bertutur itu selalu berorientasi pada tujuan, pada maksud, maka dikatakan sebagai ‘goal-oriented activity’. Bentuk kebahasaan itu, secara pragmatik selalu didasarkan pada fungsi (function), bukan semata-mata bentuk (forms), karena setiap bentuk kebahasaan sesungguhnya sekaligus merupakan bentuk tindak verbal, yang secara fungsional selalu memiliki maksud dan tujuan. Jadi, dalam pragmatik pandangan yang dijadikan dasar selalu berfokus pada ‘fungsi’ pada ‘kegunaan’ atau ‘use’, dan semuanya selalu harus didasarkan pada maksud atau tujuan.

  Contohnya, ketika kita masuk gang-gang tertentu di Yogyakarta atau mungkin daerah lainnya di Jawa, Anda akan mendapati peringatan seperti, ‘NGEBUT, BENJUT. Secara fungsional pula, bentuk kebahasaan ‘NGEBUT, BENJUT’ digunakan untuk memberikan peringatan pada semua saja, khususnya para pengendara motor yang melewati gang atau lorong tertentu tersebut untuk ‘ekstrahati-hati’, kalau misalnya saja sampai terjadi kecelakaan dan semacamnya di tempat itu. Dengan demikian, jelas bahwa setiap tuturan

  —bukan kalimat karena kalau sebutannya kalimat pasti berdimensi nonpragmatik —pasti berorientasi pada fungsi, bukan pada bentuk. Oleh karena itu, terlihat sekali pragmatik itu menggunakan paradigma fungsionalisme yang menitikberatkan pada fungsi, bukan paradigma formalisme seperti yang lazimnya dianut dalam gramatika.

  Hal tersebut sejalan dengan pendapat beberapa ahli seperti Mathesius (1975), Danes (1974), Halliday (1994), dan Givon (1995) yang mengemukakan bahwa pragmatik berorientasi pada teori linguistik fungsional (Baryadi, 2007:61).

  2.4 Tuturan Sebagai Bentuk Tindakan atau Kegiatan: Tindak Ujar

  Tuturan sebagai bentuk tindakan atau wujud dari sebuah aktivitas linguistik, merupakan bidang pokok yang dikaji di dalam pragmatik karena pragmatik mempelajari tindak verbal yang sungguh- sungguh terdapat dalam situasi dan suasana pertuturan tertentu. Lebih lanjut, tuturan sebagai bentuk tindakan ialah maujud-maujud atau entitas-entitas kebahasaan yang sifatnya tidak dinamis dan selalu tetap saja keberadaannya. Leech (1983) menegaskan bahwa tuturan itu harus selalu dianggap sebagai tindak verbal. Tindak-tindak verbal (verbal acts) inilah yang menjadi titik fokus kajian pragmatik. Hal ini juga yang membedakan antara pragmatik yang memfokuskan kajiannya pada tindak-tindak verbal (verbal acts) dengan semantik yang berorientasi pokok pada proposisi atau ‘proposisition’, dan entitas-entitas kebahasaan, khususnya frasa dan kalimat dalam sintaksis.

  2.5 Tuturan Sebagai Produk Tindak Verbal

  Tuturan dapat dikatakan sebagai produk dari tindak verbal di dalam aktivitas bertutur sapa karena pada dasarnya tuturan yang muncul di dalam sebuah proses pertuturan itu adalah hasil atau produk dari tindakan verbal dari para pelibat tuturnya, dengan segala macam pertimbangan konteks situasi sosio-kultural dan aneka macam kendala konteks yang melingkupi dan mewadahinya. Jadi jelas, bahwa sebenarnya tuturan atau ujaran itu tidak dapat disamakan dengan kalimat. Kalimat pada hakikatnya adalah entitas produk struktural atau produk gramatikal, sedangkan tuturan atau ujaran itu merupakan hasil atau produk dari tindakan verbal yang hadir dalam proses pertuturan. Berkaitan dengan kenyataan ini maka sesungguhnya sebuah tuturan dapat dianggap sebagai maujud tindak tutur, atau sebagai manifestasi dari tindak ujar, tetapi pada sisi lain dapat juga dianggap sebagai produk dari tindak ujar itu sendiri (Rahardi, 2007: 22).

  Sebagai contoh saja sebagai seorang dosen di dalam kelas Anda mengatakan, ‘Papan tulisnya kotor!’ kepada para mahasiswa, maka sesungguhnya produk tindak verbal yang diharapkan dari tuturan itu adalah supaya ada tindakan membersihkan papan tulis itu oleh salah seorang mahasiswa. Sebenarnya itulah sesungguhnya tuturan yang berdimensi produk tindak verbal.

  Dari sudut pandang pragmatik, bahasa merupakan tindakan, yang disebut tindakan verbal (Wijana 1996: 12). Tindakan verbal adalah tindakan yang khas menggunakan bahasa. Searle (1969) menyebut tindakan verbal dengan istilah tindak tutur atau tindak ujar (speech act). Tuturan dapat berupa tuturan lisan dan tuturan tulis. Dalam tuturan lisan, kita dapat menemukannya dalam kehidupan sehari-hari saat kita berkomunikasi dengan orang lain. Sedangkan tuturan tulis adalah tuturan yang berupa tulisan. Khusus dalam penelitian ini, tuturan yang akan dianalisis adalah tuturan tulisan. Teori ini berfungsi untuk menunjukkan apakah tuturan tulisan yang berupa dialog antar tokoh yang terdapat dalam novel Arok

  Dedes mengandung unsur tindakan bahasa atau tidak.

  Tindak tutur menurut Yule (2006: 82) adalah tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan. Istilah deskriptif untuk tindak tutur yang berlainan digunakan untuk maksud komunikatif penutur dalam menghasilkan tuturan. Penutur berharap maksud komunikatifnya dimengerti oleh pendengarnya. Keadaan semacam ini disebut dengan peristiwa tutur.

  Teori tindak tutur atau speech act yang dikemukakan oleh Austin (1978 dalam Pranowo, 2009:

  34) dalam bukunya yang berjudul “How to do

  things with words” melihat setiap ujaran dalam tindak komunikasi selalu

  mengandung tiga unsur, yaitu (1) tindak lokusi (berupa ujaran yang dihasilkan oleh seorang penutur, (2) tindak ilokusi (berupa maksud yang terkandung dalam ujaran, (3) tindak perlokusi (efek yang ditimbulkan oleh ujaran). Tindak tutur ilokusi sering menjadi kajian utama dalam bidang pragmatik (Rahardi, 2009: 17). Searle (1983, dalam Rahardi: Ibid. dan Rahardi: 2005: 36-37) menggolongkan tindak tutur ilokusi dalam lima macam bentuk tuturan, yakni

  (1) Asertif (assertives) atau representatif, yaitu bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan (stating), menyarankan (suggeting), membual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming).

  (2) Direktif (direcitives) yakni bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya memesan (ordering), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasihati (advising), dan merokomendasi (recommeding). (3) Ekspresif (expressives) yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih (thinking), memberi selamat (congrangtulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blaming), memuji (praising), dan berbelasungkawa (condoling).

  (4) Komisif (cummissives) yaitu bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji (promosing), bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering).

  (5) Deklarasi (declarations) yaitu bentuk tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataannya, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing), membaptis (christening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan (excommuningcating), dan menghukum (sentencing).

  Kelima fungsi umum tindak tutur beserta sifat-sifat kuncinya ini terangkum dalam tabel berikut. Tabel : Lima Fungsi umum tindak tutur (menurut Searle, dalam Yule, 2006: 95)

  

Tipe tindak tutur Arah penyesuaian P = penutur; X = situasi

  Deklarasi Kata mengubah dunia P menyebabkan X Representatif Kata disesuaikan dengan dunia P meyakini X Ekspresif Kata disesuaikan dengan dunia P merasakan X Direktif Dunia disesuaikan dengan kata P menginginkan X Komisif Dunia disesuaikan dengan kata P memaksudkan X

  Contoh: “Bu, uang saya sudah menipis, kemarin uangnya saya

  pakai untuk membeli buku” merupakan tuturan lokusi. Tujuan dari kalimat

  tersebut adalah si penutur ingin menyampaikan kepada ibunya kalau uangnya menipis dan meminta kiriman uang. Pengaruh dari kalimat tersebut adalah si Ibu penutur akan mengirimkan uang untuk anaknya.

  Sejalan dengan pendapat Austin, Searle (1979 dalam Pranowo, 2009: 35) menyatakan dalam satu tindak tutur terkandung tiga macam tindakan, yaitu (1) pengujaran yang berupa kata atau kalimat, (2) tindak proposisional yang berupa acuan dan prediksi, (3) tindak ilokusi dapat berupa pernyataan, janji, dan sebagainya. Efek komunikatif (perlokusi atau tindak proposisional) yang terkadang memiliki dampak terhadap perilaku masyarakat. Hal-hal yang bersifat perlokutif inilah biasanya muncul dari maksud yang berada di balik tuturan atau implikatur. Implikatur bisa dikatakan makna tersirat ya ng berada di dalam tuturan. Misalnya, “Dek,

  minum secangkir cokelat lebih enak ya” maksud dari tuturan tersebut adalah si pacar minta dibuatkan secangkir cokelat.

  Dalam berkomunikasi juga diperlukan sebuah kesantunan dalam berbahasa. Bahasa yang santun adalah bahasa yang diterima mitra tutur dengan baik. Ada tujuh prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech (1983 dalam Pranowo, 2009: 35) yang dikenal dengan istilah maksim, yaitu (1) maksim kebijaksanaan (memberi keuntungan bagi mitra tutur), (2) maksim kedermawanan (memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri), (3) maksim pujian (memaksimalkan pujian kepada mitra tutur), (4) maksim kerendahan hati (meminimalkan pujian terhadap diri sendiri), (5) maksim kesetujuan (memaksimalkan kesetujuan terhadap mitra tutur), (6) maksim simpati (memaksimalkan ungkapan simpati kepada mitra tutur) , (7) maksim pertimbangan (meminimalkan rasa tidak senang pada mitra tutur dan memaksimalkan rasa senang pada mitra tutur).

  Dari uraian di atas menunjukkan bahwa suatu tindak tutur memiliki makna lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Berdasarkan substansi linguistik, tindak tutur memiliki komponen dasar, yaitu

  a. tindak bertutur: penutur mengutarakan tuturan dari bahasa kepada mitra tutur di dalam konteks, b. tindak lokusi: penutur mengatakan kepada mitra tutur adanya informasi, c. tindak ilokusi: penutur berbuat fungsi tertentu dalam konteks, d. tindak perlokusi: penutur mempengaruhi mitra tutur dalam cara tertentu sesuai konteks.

  Meminjam istilah Van Peursen (1998, melalui Baryadi 2012: 17), dapat dikatakan bahwa tuturan itu seperti manusia, yaitu memiliki tubuh, jiwa, dan roh. Tubuh tuturan adalah bentuk, jiwa tuturan adalah makna dan informasi, sedangkan roh tuturan adalah maksud. Di samping itu, tuturan juga memiliki roh. Roh yang dimaksud adalah roh budaya, roh budaya, roh politik, roh jahat, roh halus, roh kebenaran, dan sebagainya. Karena mengandung roh, tuturan memiliki daya sehingga mampu berperan dalam berbagai bidang dan berbagai konteks. Dengan demikian, tuturan adalah bahasa yang tidak hanya hidup karena memiliki tubuh dan jiwa, tetapi juga berkarya karena memiliki roh atau daya.

  Perjumpaan antara manusia dalam komunikasi dapat menimbulkan efek positif seperti kerja sama, suasana penuh cinta kasih, kerja sama, saling tenggang rasa dan dapat mengakibatkan efek negatif, seperti konflik psikologis maupun fisik seperti salah paham, bertengkar, mengumpat, dll.