PERBAIKAN TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH BAWANG MERAH (Allium cepa L.) MELALUI PENGATURAN JARAK TANAM DAN PEMUPUKAN KALIUM | Mariawan, Ichwan S. Madauna, Adrianton | AGROTEKBIS 5031 16443 1 PB

e-J. Agrotekbis 3 (2) : 149 - 157 , April 2015

ISSN : 2338 -3011

PERBAIKAN TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH BAWANG MERAH
(Allium cepa L.) MELALUI PENGATURAN JARAK TANAM DAN
PEMUPUKAN KALIUM
Improve Onion (Allium cepa L.) Seed Production Technology Through Planting
distance and Potassium fertilization
I Made Mariawan1), Ichwan S. Madauna2), Adrianton2)
1)
2)

Mahasiswa Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu
Staf Dosen Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu
Email : mademariawan89@gmail.com
Email : i.madauna@yahoo.com
Email : Andrianton78@yahoo.co.id

ABSTRACT
The Study was aimed to observe optimal planting distance and potassium fertilizer to produce

shallot in palu valley. The factorial Randomized Block Design (RAK) with two treatments was
used. The first factor was the dosage of K fertilizer namelywithout KCl (control), 20 g KCl/m2, and
30 g KCl m-2. The second factor was planting distance with 3 standards: 15 x 10 cm, 15 x 15 cm,
and 15 x 20 cm. The result of the study showed that the application of potassium fertilizer gave
significant effects on plant height, number of leaves, number of tillers, number of tuber per clump,
tuber weight per clump, and tuber weight per hectare. The highest amounts of plant height, number
of tillers, number of tuber per clump, tuber weight per clump, and tuber weight per hectare were
affected by the application of 20 g KCl m-2 ; 29.09 cm, 7.40 cloves, 32.22 g, and 11.35 ton ha-1, yet
they did not give any significant effect on bulb diameter. On the other hand, planting distance
treatment significantly affected plant height in 60 days after planting, number of tillers in 30 days
after planting, bulb diameter, and tuber weight per clump, yet it did not give any significant effect
on number of leaves, number of tuber per clump, and tuber weight per hectare. The interaction of
potassium fertilizer application and planting distance did not give any significant effect on all the
observed variables.
Key words: onion, planting distance and potassium fertilizer

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jarak tanam dan kebutuhan pupuk kalium yang optimal
untuk produksi umbi bawang merah varietas “lembah palu”. Penelitian ini menggunakan rancangan
acak kelompok (RAK) faktorial dengan dua faktor perlakuan. Faktor pertama adalah dosis pupuk

K dengan 3 taraf, yaitu: tanpa KCl (kontrol), 20 g KCl/m2, dan 30 g KCl/m2. Faktor kedua adalah
jarak tanam dengan 3 taraf, yaitu: 15 x 10 cm, 15 x 15 cm, dan 15 x 20 cm. Hasil penelitian
menunjukkan pemberian pupuk kalium berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun,
jumlah anakan, jumlah umbi per rumpun, berat umbi per rumpun, dan berat umbi per hektar. Hasil
penelitian menunjukkan tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah umbi per rumpun, berat umbi per
rumpun, dan berat umbi per hektar tertinggi dihasilkan pada perlakuan dosis pupuk 20 g KCl/m2
yaitu masing-masing sebesar 29,09 cm, 7,40 siung, 32,22 g, dan 11,35 ton/ha, tetapi berpengaruh
tidak nyata terhadap diameter umbi. Sedangkan perlakuan jarak tanam berpengaruh nyata terhadap
tinggi tanaman pada umur 60 HST, jumlah anakan pada umur 30 HST, diameter umbi, dan berat
umbi per rumpun, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun, dan jumlah umbi per
149

rumpun, berat umbi per hektar. Interaksi pemberian pupuk kalium dan jarak tanam tidak
berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati.
Kata Kunci : bawang merah, jarak tanam, dan pupuk kalium

PENDAHULUAN
Di Indonesia, bawang merah
merupakan salah satu tanaman yang sering
digunakan sebagai penyedap makanan.

Kebutuhan masyarakat terhadap bawang
merah akan terus meningkat seiring dengan
penambahan jumlah penduduk dan daya
belinya. Selain itu, dengan berkembangnya
industri makanan jadi, maka akan
berpengaruh pula terhadap peningkatan
kebutuhan bawang merah yang digunakan
sebagai salah satu bahan penyedap dalam
suatu produk. Banyaknya kegunaan dari
bawang merah ini, maka dapat dipastikan
bahwa kebutuhan masyarakat pada bawang
merah akan terus meningkat setiap
tahunnya.
Menurut Maskar et al. (1999)
produktivitas bawang merah “Lembah Palu”
masih sangat rendah yakni rata-rata hanya
3,5 - 4,5 ton/ha sedangkan potensi hasilnya
dapat mencapai 10 -12ton/ha. Rendahnya
produksi yang dihasilkan diduga sebagai
akibat dari penggunaan bibit yang tidak

bermutu (Maemunah dan Saleh, 2007).
Pada umumnya petani bawang merah dalam
memproduksi benih di wilayah Lembah
Palu masih menggunakan benih yang
berasal dari umbi komsumsi (umur panen
benih disamakan dengan komsumsi), benih
tidak diseleksi (benih mahal), dan
penggunaan umbi secara terus menerus
(degradasi produksi) serta beragamnya
pengetahuan perbenihan yang berkembang
serta lokasi penanaman benih yang tersebar
diwilayah Lembah Palu, sehingga dengan
sistem tersebut menyebabkan terjadinya
variasi mutu benih (Maemunah,2012).
Produksi bawang merah tidak dapat
dilepaskan dari peranan bibit.
Secara
umum petani bawang merah menggunakan
bibit yang berasal dari umbi bawang merah.
Pada musim tanam raya bawang merah,

petani sering mengalami kekurangan benih

umbi bawang merah. Permintaan bibit
bawang merah dari umbi di Indonesia
sebesar 125.146 ton (Deptan, 2005).
Menurut Rollit (2009) bahwa tahun 2009
kebutuhan benih bawang merah di
Indonesia mencapai 120.020 ton, namun
benih bawang merah yang tersedia sampai
Agustus 2009 hanya 16,47% atau 19.770
ton. Kekurangan benih bawang merah
disebabkan beberapa faktor antara lain: (1)
petani
tidak
menyediakan
atau
mempersiapkan lahan khusus produksi
benih, tetapi benih digunakan dari hasil
panen umbi konsumsi, (2) penyusutan
bobot umbi dan penurunan kualitas umbi

selama penyimpanan mencapai 31,4458,36% (Djafar et al.,2004). Ketersediaan
benih bermutu merupakan salah satu
masalah besar dalam mencapai peningkatan
produksi pertanian. Benih memiliki peranan
yang strategis dalam meningkatkan
produksi dan nilai tambah produk pertanian.
Benih bermutu akan berpengaruh terhadap
produktivitas, mutu hasil dan efisiensi
produk agribisnis tanaman.
Peran benih sebagai sarana produksi
tidak dapat digantikan oleh sarana lain,
sehingga upaya pengembangan sangat
ditentukan oleh mutu benihnya. Upaya
untuk meningkatkan ketersediaan benih
bawang merah perlu dilakukan dengan cara
meningkatkan ketersediaan benih sumber
dan memperbaiki penerapan teknologi
produksinya. Dalam budidaya bawang
merah, bagian yang sangat menarik
perhatian adalah bagian umbi, karena

bagian ini memiliki banyak kegunaan dan
bernilai ekonomis. Untuk menghasilkan
bawang merah secara optimal dengan
kualitas yang baik, maka diperlukan teknik
budidaya yang tepat. Salah satu usaha yang
dapat dilakukan yaitu dengan memodifikasi
lingkungan tempat tanaman ini tumbuh.
Kemampuan
petani
untuk
150

memproduksi benih dengan kualitas yang
baik perlu terus ditingkatkan. Keberhasilan
petani untuk dapat meningkatkan hasil
ditentukan oleh seberapa jauh petani dapat
memahami hal – hal yang diuraikan diatas
dan dalam hubungan ini implementasinya
sangat tergantung oleh kualitas sumber
daya manusia dan modal yang dimiliki oleh

petani.
Namun demikian dalam proses
produksi bawang merah masih ditemui
berbagai kendala, baik kendala yang
bersifat
teknis
maupun
ekonomis,
diantaranya ialah ketersediaan benih
bermutu belum mencukupi secara tepat baik
waktu, jumlah, maupun mutu Soetiarso
2009). Mahalnya harga benih sebagai
komponen produksi tertinggi kedua setelah
tenaga kerja sekitar 30,47% (Adiyoga, et al.
2009), juga merupakan keluhan utama dari
petani bawang merah, sehingga petani
mengantisipasinya dengan cara membuat
benih sendiri dengan cara menyisihkan
sebagian hasil produksi konsumsi untuk
benih pada saat tanam berikutnya

(Baswarsiati 2004, Sumiati et al. 2004).
Dalam hal ini petani tidak membedakan
antara teknologi produksi benih dan
teknologi produksi konsumsi (Suwandi et
al. 2012), sehingga berpengaruh terhadap
mutu benih yang dihasilkan. Walaupun
demikian teknologi perbanyakan secara
konvensional masih disukai petani karena
caranya mudah dilakukan.
Mengacu pada kenyataan tersebut,
terdapat indikasi bahwa program alih
teknologi belum dapat berjalan dengan baik.
Teknologi - teknologi perbenihan guna
peningkatan produktivitas yang sudah
banyak dihasilkan belum mampu diadopsi
oleh petani secara progresif (Soetiarso
2009). Oleh karena itu perlu dirumuskan
suatu teknologi yang mudah untuk
diaplikasikan oleh petani, diantaranya
melalui pengaturan jarak tanam dan

pemupukan yang tepat dalam produksi
umbi benih bawang merah. Sesuai dengan
penelitian Sumarni & Hidayat (2005),
perbedaan produktivitas dari setiap varietas
tidak hanya ditentukan oleh faktor genetik
tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan, diantaranya pemupukan dan
jarak tanam. Selain membutuhkan jarak
tanam yang optimal, untuk dapat tumbuh
dan berproduksi secara optimal tanaman bawang
merah juga memerlukan ketersediaan hara

dalam jumlah yang cukup dan berimbang
terutama unsur kalium (K).
Berdasarkan uraian diatas, maka telah
dilakukan penelitian mengenai perbaikan
teknologi produksi benih bawang merah
yang bertujuan untuk mendapatkan jarak
tanam dan kebutuhan pupuk kalium yang
optimal untuk produksi umbi bawang merah

varietas “Lembah Palu”.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Desa
Sidera, Kecamatan Biromaru, Kabupaten
Sigi. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan
pada bulan Agustus sampai dengan Oktober
2014. Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah bibit bawang merah
varietas lembah palu, pupuk organik (pupuk
kandang kambing 10 ton/ha), Urea, SP-36,
KCl, pestisida sevin dan herbisida gold.
Adapun alat yang digunakan adalah cangkul,
traktor, meteran, penggaris, timbangan
analitik, sprinkel, talirafia, jangka sorong, kater,
kamera (alat dokumentasi) dan alat tulis
menulis.
Penelitian
ini
menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola
faktorial dengan dua faktor perlakuan, yaitu
: faktor pertama : Dosis pupuk K (KCl)
terdiri atas 3 taraf, yaitu K0= Tanpa pupuk
kalium (kontrol), K1= 20 g KCl/m2 (200
kg/ha), K2= 30 g KCl/m2 (300 kg/ha).
Faktor kedua: Jarak tanam dengan 3 taraf,
yaitu : J1= 15 cm x 10 cm, J2= 15 cm x 15
cm dan J3=15 cm x 20 cm.
Pelaksanaan penelitian dilakukan
seperti pembuatan areal penanaman yang
akan digunakan terlebih dahulu dibersihkan
dari gulma yang tumbuh diareal tersebut.
Kemudian lahan diolah dan digemburkan
menggunakan traktor. Setelah itu dibuat
bedengan dengan ukuran 1 x 3 cm dengan
jarak antar bedengan 30 cm. Seminggu
sebelum penanaman, tanah bedengan diberi
pupuk dasar, yaitu pupuk kandang. Tanah
pada bedengan dicampur dengan pupuk dan
diratakan. Sehari sebelum penanaman,
lahan diairi secukupnya, dan siap ditanami.
Bibit yang digunakan adalah
bawang merah varietas “Lembah Palu”
yang diperoleh dari penangkar benih dan
151

bibit yang telah berumur simpan 2 bulan.
Sebelum ditanam, umbi yang telah diseleksi
sesuai ukurannya dipotong sepertiga bagian
pada bagian atasnya. Penanaman dilakukan
tidak terlalu dalam, diusahakan agar
permukaan umbi bibit sama dengan
permukaan tanah, dan cukup ditutup dengan
tanah yang tipis.
Untuk memenuhi kebutuhan unsur
hara dilakukan pemupukan dengan dosis
masing - masing :250 kg/ha SP-36, 300
kg/ha Urea, KCl 200 kg/ha (20g/m2), dan
300 kg/ha (30g/m2) serta pupuk kandang
kambing 10 ton/ha. Pupuk kandang
diberikan seminggu sebelum tanam dengan
cara sebar merata pada permukaan plot.
Pupuk P (SP-36) dengan dosis 250 kg/ha
(90 kg P2O5/ha) dan pupuk N (Urea)
dengan dosis 300 kg/ha (135 kg N/ha), yang
diaplikasikan 2 hari sebelum tanam dengan
cara disebar lalu diaduk secara merata
dengan tanah.
Penyiraman dilakukan satu kali
dalam satu hari dengan menggunakan
sprinkel. Pada fase ertumbuhan penyiraman
dilakukan secara rutin, terutama bila
keadaan media kering. Penyulaman
dilakukan tujuh hari setelah tanam, terhadap
tanaman yang mati atau tidak tumbuh
dengan menggunakan bibit cadangan, yang
ditanam pada petak cadangan. Penyiangan
dilakukan pada saat pertumbuhan gulma
telah mengganggu pertumbuhan tanaman
bawang merah dan penyiangan disesuaikan
dengan tumbuhnya gulma dipertanaman.
Pemanenan dilakukan saat cuaca
cerah, tanah kering dan tanaman telah
berumur 70 HST, dengan cara mencabut
seluruh bagian tanaman. Adapun ciri –ciri
umum tanaman bawang merah siap panen
adalah:60% - 70% daun sudah terkulai dan
daun menguning, umbi atas sudah kelihatan
penuh atau padat berisi dan tersembul
sebagian diatas tanah, warna kulit umbi
mengkilap. Peubah yang diamati adalah
tinggi tanaman, jumlah daun pada umur 15,
30, 45, dan 60 HST, jumlah anakan pada
umur 30, 45, dan 60 HST, berat umbi segar
per rumpun, diameter umbi, jumlah umbi,
produksi per hektar.
Analisis data dilakukan untuk mengetahui
pengaruh perlakuan terhadap parameter

pengamatan menggunakan analisis ragam
(uji F) dan jika berpengaruh nyata
dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur taraf
5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tinggi Tanaman. Hasil analisis keragaman
menunjukan bahwa pemberian pupuk
kalium berpengaruh sangat nyata pada umur
15, 30, 45, dan 60 HST. Sedangkan
perlakuan jarak tanam berpengaruh tidak
nyata pada umur 15, 30, dan 45 HST, tetapi
berpengaruh nyata pada umur 60 HST.
Interaksi antara pemberian pupuk kalium
dan jarak tanam berpengaruh tidak nyata
terhadap tinggi tanaman bawang merah
pada semua umur pengamatan.
Hasil uji BNJ (Tabel 1) menunjukan
bahwa perlakuan dosis kalium 200 kg/ha
menghasilkan tinggi tanaman bawang
merah lebih tinggi dan berbeda dengan
perlakuan tanpa pupuk kalium tetapi tidak
berbeda pada dosis 300 kg/ha pada umur 60
HST.
Tabel 1 juga menunjukan bahwa
perlakuan jarak tanam berpengaruh nyata
terhadap tinggi tanaman pada umur 60
HST. Tanaman tertinggi terdapat pada
perlakuan 15x10 cm berbeda nyata dengan
15x15 cm dan 15x20 cm. Sedangkan tinggi
tanaman antara perlakuan 15x15 cm dengan
15x20 cm tidak berbeda nyata.
Tabel 1. Rata – rata Tinggi Tanaman
Bawang Merah pada Berbagai
Dosis Pupuk Kalium dan Jarak
Tanam.
Perlakuan
K0
K1
K2
BNJ 5%
J1
J2
J3
BNJ 5%

15
HST
7,18a
13,72b
14,31b
0,86
12,02
11,52
11,68
-

Tinggi Tanaman (cm)
45
30 HST
HST
12,45a
20,99a
b
22,47
28,06b
b
23,41
27,88b
1,48
1,36
19,34
26,16
19,32
25,73
19,67
25,04
-

60
HST
25,26a
29,09b
28,44b
0,85
28,22b
27,33a
27,24a
0,85

Ket: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom
yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ
5%.

152

Jumlah Daun. Hasil analisis ragam
menunjukan bahwa pemberian pupuk
kalium berpengaruh sangat nyata terhadap
jumlah daun pada umur 15, 30, 45, dan 60
HST, sedangkan perlakuan jarak tanam
berpengaruh tidak nyata serta interaksi
antara keduanya tidak berpengaruh nyata.
Hasil uji BNJ (Tabel 2) menunjukan
bahwa perlakuan dosis kalium 300 kg/ha
menghasilkan jumlah daun lebih banyak
dan berbeda dengan perlakuan lainnya
(umur 30 HST) tetapi tidak berbeda pada
dosis 200 kg/ha dan 300 kg/ha pada umur
60 HST, berbeda dengan perlakuan tanpa
pupuk kalium.
Tabel 2. Rata – rata Jumlah Daun Tanaman
Bawang Merah pada Berbagai
Dosis Pupuk Kalium dan Jarak
Tanam.
Perlakuan

K0
K1
K2
BNJ 5%

Jumlah Daun (helai)
15HST 30HST 45HST 60HST

4,6a
5,86b
6,35b
0,68

15,77a
20,06b
22,86c
1,72

23,76a
27,25b
28,68b
2,21

24,46a
28,2b
29,41b
2,05

Ket: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom
yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji BNJ 5%.

Jumlah Anakan. Hasil analisis keragaman
menunjukan bahwa pemberian dosis pupuk
kalium berpengaruh sangat nyata pada umur
30, 45, dan 60 HST, perlakuan jarak tanam
berpengaruh nyata pada umur 30 HST.
Sedangkan interaksi keduanya berpengaruh
tidak nyata terhadap jumlah anakan.
Hasil
uji
BNJ
(Tabel
3)
menunjukkan bahwa perlakuan dosis
kalium 200 kg/ha menghasilkan jumlah
anakan lebih banyak dan berbeda dengan
perlakuan tanpa pupuk kalium tetapi tidak
berbeda pada dosis kalium 300 kg/ha pada
umur 45 dan 60 HST. Tabel 3 juga
menunjukan bahwa perlakuan jarak tanam
berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan
pada umur 30 HST. Jumlah anakan
terbanyak terdapat pada perlakuan 15x20
cm berbeda nyata dengan 15x10 cm, tetapi

berbeda tidak nyata dengan 15x15 cm,
sedangkan jumlah anakan antara perlakuan
15x10 cm dengan 15x15 cm tidak berbeda
nyata.
Tabel 3. Rata – rata Jumlah Anakan
Tanaman Bawang Merah pada
Berbagai Dosis Pupuk Kalium
dan Jarak Tanam.
Perlakuan
K0
K1
K2
BNJ 5%
J1
J2
J3
BNJ 5%

Jumlah Anakan
30 HST
45 HST
4,94a
5,99a
b
5,89
7,25b
b
6,11
6,92b
0,49
0,84
a
5,35
6,36
5,61ab
6,87
5,99b
6,92
0,49
-

60 HST
6,06a
7,40b
7,10b
0,75
6,46
7,02
7,08
-

Ket: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom
yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji BNJ 5%.

Diameter Umbi. Hasil analisis keragaman
menunjukan bahwa pemberian pupuk
kalium berpengaruh tidak nyata dan jarak
tanam berpengaruh sangat nyata, sedangkan
interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata
terhadap diameter umbi.
Hasil
uji
BNJ
(Tabel
4)
menunjukan bahwa perlakuan jarak
tanam 15x20cm menghasilkan diameter
umbi lebih tinggi dan berbeda dengan
perlakuan
15x10cm
dan
15x15cm,
sedangkan pada perlakuan 15x10cm
berbeda dengan perlakuan 15x15cm.
Tabel 4. Rata – rata Diameter Umbi
Tanaman Bawang Merah pada
Berbagai Dosis Pupuk Kalium
dan Jarak Tanam.
Perlakuan
Dosis
pupuk
K0
K1
K2
Rata-rata
BNJ 5%

Jarak tanam
J1

J2

J3

1,38
1,37
1,39
1,38a

1,46
1,45
1,47
1,46b

1,52
1,59
1,5
1,54c

Ratarata
1,45
1,47
1,45

0,07

Ket: Angka yang diikuti huruf sama pada baris yang
sama tidak berbeda nyata pada taraf uji
BNJ 5%.

153

Jumlah Umbi per Rumpun. Hasil analisis
keragaman menunjukan bahwa pemberian
pupuk kalium dan jarak tanam berpengaruh
sangat nyata, sedangkan interaksi antara
keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap
jumlah umbi per rumpun.
Hasil uji BNJ (Tabel 5) menunjukan
bahwa perlakuan dosis kalium 200 kg/ha
menghasilkan jumlah umbi per rumpun
lebih banyak dan berbeda dengan perlakuan
tanpa pupuk kalium, tetapi tidak berbeda
pada dosis kalium 300 kg/ha.
Tabel 5. Rata – rata Jumlah Umbi per
Rumpun
Tanaman
Bawang
Merah pada Berbagai Dosis
Pupuk Kalium dan Jarak Tanam.
Perlakuan

Jarak tanam
J1

J2

J3

Ratarata

K0

5,25

6,13

6,79

6,06a

K1

7,63

7,5

7,08

7,40b

K2

6,5

7,42

7,38

7,10b

Rata-rata

6,46

7,02

7,08

Dosis
pupuk

BNJ 5%

0,75

Ket: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom
yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf uji BNJ 5%.

Berat Umbi per Rumpun. Analisis
keragaman menunjukan bahwa pemberian
pupuk kalium dan jarak tanam berpengaruh
sangat nyata, sedangkan interaksi antara
keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap
berat umbi per rumpun.
Hasil uji BNJ (Tabel 6) menunjukan
bahwa perlakuan dosis kalium 200 kg/ha
menghasilkan berat umbi per rumpun lebih
tinggi dan berbeda dengan tanpa pupuk
kalium, tetapi tidak berbeda dengan
perlakuan dosis kalium 300 kg/ha.
Tabel 6 juga menunjukan bahwa
perlakuan 15x20cm menghasilkan berat
umbi per rumpun lebih tinggi dan berbeda
nyata dengan perlakuan 15x10cm dan 15x15
cm, sedangkan perlakuan 15x10 cm berbeda
nyata dengan perlakuan 15x15cm.

Tabel 6. Rata – rata Berat Umbi per
Rumpun Tanaman Bawang
Merah pada Berbagai Dosis
Pupuk Kalium dan Jarak
Tanam.
Perlakuan
Dosis
Pupuk
K0
K1
K2
Rata-rata
BNJ 5%

Jarak tanam
J1

J2

J3

16,42
21,76
21,82
20,00

24,95
30,79
33,28
29,67

29,33
44,12
39,27
37,57

a

b

c

Ratarata
23,57a
32,22b
31,46b

3,70

Ket: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom dan
baris yang sama masing- masing
perlakuan berbeda tidak nyata pada
taraf uji BNJ 5%.

Berat Umbi per Hektar. Analisis
keragaman menunjukan bahwa pemberian
pupuk kalium berpengaruh sangat nyata
terhadap berat umbi per hektar sedangkan
jarak tanam dan interaksi antara keduanya
tidak berpengaruh nyata terhadap berat
umbi per hektar.
Hasil uji BNJ (Tabel 7) menunjukan
bahwa perlakuan dosis pupuk 200 kg/ha
menghasilkan berat umbi perhektar lebih
tinggi dan berbeda dengan tanpa pupuk
kalium, tetapi tidak berbeda nyata dengan
perlakuan dosis kalium 300 kg/ha.
Tabel 7. Rata–rata Berat Umbi per Hektar
Tanaman Bawang Merah pada
Berbagai Dosis Pupuk Kalium dan
Jarak Tanam.
Perlakuan
Pupuk KCl
K0
K1
K2

Jarak tanam
J1
J2
J3
8,73 8,78
7,74
11,58 10,84 11,64
11,61 11,71 10,36

Rata-rata

10,64 10,44

BNJ 5%

2,38

Rata-rata
8,42a
11,35b
11,23b

9,91

Ket: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom
yang sama masing - masing perlakuan
tidak berbeda nyata pada taraf uji BNJ
5%.

154

Pemberian pupuk kalium dosis 200
kg/ha menghasilkan pertumbuhan dan hasil
yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pemberian pupuk kalium dosis 300 kg/ha
dan tanpa pupuk kalium. Hal ini diduga
bahwa unsur hara yang diberikan melalui
pupuk kalium pada dosis 200 kg/ha berada
pada kondisi dan jumlah hara yang tepat sehingga
mampu meningkatkan pertumbuhan dan
produksi tanaman. Kalium berfungsi
sebagai katalisator fotosintesis yang
berpengaruh terhadap peningkatan hasil.
Pemberian K2O sebesar 200kg/ha mampu
meningkatkan hasil (Akhtar et al.,2002).
Menurut Woldetsadik (2003) pemberian K
mempengaruhi pertumbuhan, hasil dan
kualitas umbi. Oleh sebab itu, bawang
merah membutuhkan penambahan hara dari
luar untuk dapat hidup optimal. Hal ini sejalan
dengan
penelitian
Vachhani
dan
Patel(1996)dalam Napitupulu dan Winarto (2010)
menyatakan bahwa pemberian pupuk K
mampu
meningkatkan
pertumbuhan
vegetatif
tanaman
bawang
merah.
Defisiensi K pada bawang merah akan
menghambat pertumbuhan, penurunan
ketahanan dari penyakit, dan menurunkan
hasil (Singh dan Venna, 2001).
Pemberian pupuk kalium dosis 300
kg/ha tidak memberikan perbedaan yang
nyata terhadap pertumbuhan dan hasil
bawang merah. Sejalan dengan peneliti
terdahulu yang menurut Asandhi dan
Koestoni (1990) serta Hilman dan Asgar
(1993), pemupukan dengan dosis tinggi
tidak selamanya memberikan manfaat
terhadap pertumbuhan dan hasil bawang
merah, bahkan ada kecenderungan
meningkatkan susut bobot umbi. Sistem
pemupukan dosis tinggi juga dapat
mendorong terjadinya lingkungan yang
cocok untuk perkembangan penyakit
Fusarium oxysporum dan Alternaria porii
(Suryaningsih dan Asandhi 1992).
Jarak tanam 15 x 20cm memberikan
hasil
tanaman
yang
lebih
tinggi
dibandingkan
dengan
jarak
tanam
15 x 10cm dan 15 x 15cm. Hal ini diduga
bahwa kerapatan tanam selain dapat

mempengaruhi pertumbuhan dan hasil
tanaman juga berpengaruh terhadap
penyerapan unsur hara, memperoleh cahaya
matahari, dan juga berpengaruh terhadap
penggunaan lahan. Menurut Loveless
(1987) persaingan antar individu tanaman
terjadi akibat adanya kesamaan keperluan
faktor-faktor tumbuh seperti cahaya, air dan
unsur hara yang diserap dari dalam tanah,
sehingga menyebabkan proses pertumbuhan
cenderung menjadi lambat dan tertekan.
Kerapatan
tanaman
sangat
menentukan pertumbuhan dan hasil
tanaman,
juga
menentukan
dalam
penggunaan lahan dan pupuk. Jarak tanam
berhubungan erat dengan populasi tanaman
per satuan luas, dan persaingan antar
tanaman dalam penggunaan cahaya, air,
unsur hara dan ruang sehingga dapat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
hasil umbi (Brewster dan Salter 1980).
Kebutuhan pupuk yang optimal juga
dipengaruhi oleh kerapatan tanaman
(Singh et al. 1988).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pemberian pupuk kalium dosis 200300 kg/ha nyata meningkatkan tinggi
tanaman, jumlah daun, jumlah anakan,
jumlah umbi per rumpun, dan berat umbi
per rumpun serta berat umbi per hektar,
tetapi tidak nyata meningkatkan diameter
umbi.
Jarak tanam 15cm x 20cm nyata
meningkatkan tinggi tanaman pada umur 60
HST, jumlah anakan pada umur 30 HST,
diameter umbi, dan berat umbi per rumpun,
tetapi tidak nyata meningkatkan jumlah
daun, jumlah umbi, dan berat umbi per
hektar.
Tidak terdapat interaksi yang nyata
antara perlakuan pupuk kalium dan jarak
tanam terhadap semua peubah yang diamati.
Saran
Dari hasil penelitian ini dapat
disarankan untuk memperoleh hasil bawang
155

merah yang tinggi dengan umbi yang besar
digunakan jarak tanam 15cm x 20cm dan
memberikan pupuk kalium dengan dosis
200-300 kg/ha.
DAFTAR PUSTAKA
Adiyoga, W, Soetiarso, TA, Ameriana, M dan
Setiawati, W. 2009. Pengkajian ex ante
manfaat potensial adopsi varietas unggul
bawang merah di indonesia. J. Hort., vol. 19,
no. 3, hlm.356-70.
Akhtar, M.E., K. Bashir, M.Z.Khan dan
K.M.Khokhau. 2002. Effect of Potash
Application on Yield of Different Varieties of
Onion (Allium cepa L.).
Asandhi, A.A. dan T. Koestoni. 1990. Efisiensi
pemupukan pada pertanaman tumpang gilir
bawang merah-cabai merah. Bul. Penel.
Hort. 19(1):1-6.
Baswarsiati. 2004. Menuntaskan masalah benih
bawang merah, Tabloid Sinar Tani, Edisi 6
Februari 2004.
Brewster, JL dan Salter, PJ. 1980. A Comparison of
the effect of regular versus random within
row spacing on the yield and uniformity of
size of spring sown bulb onion. J. Hort.
Sci.,vol.55, no 3, pp.235-38.
Departemen Pertanian. 2005. Arah Pengembangan
Bawang Merah. Departemen pertanian.
http://www.deptan.go.id. Diakses tanggal 7
januari 2006.
Djafar T. F., S. Rahayu, Murwati, dan R. Hendrata.
2004. Karakteristik umbi bawang merah tiron
selama penyimpanan hasil pengembangan
lahan pasir pantai selatan daerah istimewa
yogyakarta.
Pros.
Seminar
teknologi
pertanian untuk mendukung agribisnis dalam
pengembangan ekonomi wilayah dan
ketahanan pangan, Yogyakarta No.23 tahun
2000. IP2TP, PSE kerja sama dengan
UNWAMA Yogyakarta dan UPN “Veteran”
Yogyakarta.
Hilman, Y. dan A. Asgar. 1993. Pengaruh umur
panen pada dua macam paket pemupukan
terhadap kuantitas hasil bawang merah
kultivar kuning di dataran rendah. Bul.
Penel. Hort. 27(4):40-50.
Loveless, A.R. 1987. Prinsip-prinsip biologi
tumbuhan untuk daerah tropis (Terjemahan
Kartawinata, D. Miharja dan Soetisna).
PT.Gramedia, Jakarta. 408 hlm.
Maemunah dan M.S.Saleh. 2007. Potensi

Pengembangan dan Hasil Penelitian Bawang
Merah Unggulan SulawesiTengah. Prosiding
Hasil-Hasil Penelitian dan Pengembangan di
SulawesiTengah.
Maemunah dan Nurhayati. 2012.Vigor Kekuatan
Tumbuh
(VKT)Benih BawangGoreng
LokalPalu
TerhadapKekeringan.J.Agrivigor11(1):8–16.
Maskar, Sumarni, A. Kadir, dan Chatijah. 1999.
Pengaruh Ukuran Bibitdan Jarak Tanam
Terhadap Hasil Panen Bawang Merah
Varietas Lokal Palu. Prosiding Seminar
Nasional. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sulawesi Tengah.
Napitupulu, D dan Winarno, L. 2010. Pengaruh
pemberian pupuk N dan K terhadap
pertumbuhan dan produksi bawang merah.
J.Hort.vol. 201. Hlm 27-35.
Rollit. 2009. Stok benih bawang merah tidak
mencukupi kebutuhan. Does.google.com
diakses tanggal 1 februari 2010.
Singh, S.P. dan Venna, A.B. 2001. Response of
onion (Allium cepa) to potassium application.
Indian Journal of Agronomy 46, 182-185.
Singh, KP., Kirti Singh, Jaiswal dan Singh, RC.
1988. Effect of various levels of nitrogen,
spacing, and their interaction on seed crop of
onion (Allium cepa L.) variety Red’,
Vegetable Science, vol.5,no.2,pp.120-25.
Soetiarso, TA. 2009. Teknologi inovatif bawang
merah dan pengembangannya. Prosiding
Seminar Nasional Pengembangan Inovasi
Pertanian Lahan Marginal, hlm 293 - 324,
diunduh 26 Desember 2009, http: // sulteng.
litbang. deptan. go. id/ind/ images/ stories/
bptp/ Prosiding%2007/2-33pdf.
Sumarni, N. dan A. Hidayat. 2005. Panduan Teknis
Budidaya Bawang Merah. Balai Penelitian
Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. 20 Hlm.
Sumiati, E, Sumarni, N dan Hidayat, A. 2004.
Perbaikan teknologi produksi umbi benih
bawang merah dengan ukuran umbi benih,
aplikasi zat pengatur tumbuh, dan unsur hara
mikroelemen. J.Hort., vol.14,no.1,hlm.25-32.
Suryaningsih, E. dan A.A. Asandhi. 1992. Pengaruh
pemupukan sistem petani dan sistem
berimbang terhadap intensitas serangan
penyakit cendawan pada bawang merah
varietas bima. Bul. Penel. Hort. 24(2):19-26.
Suwandi, R, Sutarya, Firmansyah, I dan Adiyoga,
W. 2012. Perbaikan teknologi produksi

156

bawang merah untuk meningkatkan kuantitas
dan kualitas umbi bawang merah, Laporan
akhir, Balai Penelitian Tanaman Sayuran,
Kementrian Pertanian Republik Indonesia,
Jakarta.
Vachhani,M.U.and Z.G. Patel.1996.GrowthandYield
ofOnion (Allium cepa L.)asInfluenced byLevelsof
Nitrogen, Phosphorus, and Potash Under South
Gujarat Conditions. Progressive Horticulture.
25:166-167.
Woldetsadik, Kebede. 2003. Shallot (Allium cepa
var. ascolonium) Response to Plant Nutrients
and soil Moisture a Sub-humid Tropical
Climate. Thesis Doctoral Swedish University
of Agricultural Science Alnarp. 28P

157