CETAKAN BARU KADER MUDA PERSYARIKATAN

CETAKAN BARU KADER MUDA PERSYARIKATAN
Oleh: lwan Setiawan
Muhammadiyah dalam usianya yang ke 94 tahun telah menunjukkan vitalitasnya yang
mengagumkan, dan sebuah gagasan tentang sebuah segolongan umat yang saling sepaham dalam
memajukan Islam yang dipimpin oleh Kiai Dahlan sampai akhirnya menjadi salah satu
organisasi sosial agama terbesar di muka bumi ini.
Pada akhirnya kader persyarikatan inilah yang menjadi tulang punggung dan penerus
Muhammadiyah, karena salah satu daya hidup persyarikatan Muhamadiyah adalah kader-kader
yang mengurusi dan menghidupi amal usaha yang beribu jumlahnya yang ditopang oleh tradisi
amal usaha yang kokoh, sehingga Muhammadiyah identik dengan jalur amaliah daripada alur
ilmiah.
Pada masa sekarang terjadi pergeseran pada sosok kader dalam persyarikatan Muhammadiyah.
Pada masa lain, kader Muhammadiyah adalah para pemuda dan pemudi
yang aktif dalam lingkup kampung, seperti contoh di Yogyakarta dimana kampung Kauman,
Karangkajen dan Kotagede menjadi basis pengkaderan aktifis Muhammadiyah dan dari tiga
kampung inilah Muhammadiyah mendapat bahan bakar berupa kader-kader yang mumpuni.
Mitsuo Nakamura dalam disertasinya tentang Muhammadiyah di Kotagede dan diterbitkan
dalam Bulan Sabit Muncul Dari Balik Pohon Beringin yang menggambarkan aktifitas kaderkader Muda Muhammadiyah di kecamatan Kotagede tahun 1970-1972, dimana posisi mudamudi kampung yang berafiliasi ke Pemuda Muhammadiyah (PM) dan Nasyiatul Aisyiyah (NA)
menjadi ujung tombak kegiatan-kegiatan Muhammadiyah dan pemuda-pemuda kampung inilah
yang menjadi pembela keberadaan persyarikan Muhammadiyah.
Tetapi dengan kemodernan kehidupan dan bergesernya kehidupan sosial dari masyarakat, kaderkader muda Muhammadiyah di kampung seperti di Kotagede ini telah surut dan kader-kader

Muhammadiyah pada awal 90 lebih banyak terkonsentrasi di dalam sekolah dan kampus.
Dalam hal ini ada beberapa pergeseran yang bisa dijadikan faktor-faktor yang menyebabkan
kader Muhammadiyah di kampung mulai berkurang, beberapa faktor tersebut adalah:
Dari Kampung ke Kampus
Dalam kata pengantar buku Reformasi Pendidikan Muhammadiyah, Drs Said Tuhuleley selaku
editor secara rinci memaparkan betapa sukses dan luar biasanya pencapaian Muhammadiyah
dalam bidang pendidikan dengan pendirian sekolah dan Perguruan Tingginya (FTM). Sekolah
Muhammadiyah SD persentase 10.98%, tingkat SLTP II, 14%, tingkat SMU 9.90% dan jumlah
sekolah swasta di Indonesia dan untuk PTM 10,48% dan prosentase Perguruan Tmggi Swasta
( PTS ) di Indonesia.
Sehingga dengan basis pendidikan di lingkungan Muhammadiyah ini juga membawa perubahan
pada pola pengkaderan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) dari lingkungan kampung ke
lingkungan kampus (sekolah) dan pada wilayah kampus ini ortom lkatan Remaja
Muhammadiyah (IRM) dan lkatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) mempunyai momentum
dan peranan yang besar dalam pengelolaan anggota dan kader mereka, menjadi penerus
Muhammadiyah.
Dengan beralihnya pengkaderan AMM ke dalam lingkungan kampus, maka beralih pula tematema dan gaya pengkaderan dan pengorganisasian, dimana tema-tema amaliah, pergerakan massa
dan mobilisasi masyarakat berubah ke dalam tema-tema ilmiah seperti pengembangan SDM,
peningkatan kwalitas individu dan isu-isu wacana intelektual.


Dari Pedagang ke Guru
Begitu juga dalam lingkup pengurus ranting sampai PP Muhammadiyah, terjadi pergeseran
kepemimpinan, dimana guru (Dosen, Prof) yang dibekali dengan kemampuan berorganisasi dan
kepemimpinan memegang kendali dalam Muhammadiyah dan juga merubah isu-isu dalam
Muhammadiyah.
Pergeseran pola pengurus Muhammadiyah dari tipe pedangan ke guru dapat dimungkinkan
karena dalam pengkaderan di tingkat kampus, seperti IMM dan IRM memberikan sumbangan
yang besar terhadap tertanamnya jiwa ke-Muhammadiyah-an para aktifisnya, sehingga setelah
mereka menempuh jenjang karir dalam organisasi maupun dalam pendidikan yang kebanyakan
menjadi guru atau dosen, maka posisi-posisi pengurus Muhammadiyah juga banyak dipegang
oleh mantan aktifis IRM dan IMM.
Hal ini berkebalikan dengan aktifitas AMM di lingkup kampung, dimana PM dan NA yang
memegang peranan yang penting yaitu sebagai ujung tombak dan penggerak aktifis muda
Muhammadiyah, dalam tataran yang langsung bersentuhan dengan masyarakat dan kerja
samanya dengan anggota Muhammadiyah dalam tingkat ranting dan cabang.
Pengkaderan di PM dan NA, aktifisnya terdiri dalam banyak profesi, sehingga sering dalam
beberapa waktu terjadi keluar masuk anggota sehingga membuat terhambatnya gerak organisasi
maupun dalam jenjang karir secara struktural, sehingga sulit sekali menemukan kader dan PM
maupun NA yang aktif secara kontinyu mulai dari ranting sampai pimpinan pusat.
Juga dalam realitasnya PM merupakan basis kader Muhammadiyah di akar rumput, sehingga

dengan dalih berada di akar rumput, sebagian besar pengurusnya mulai "Demam menjadi caleg"
dan mulai terjun ke dalam politik praktis, sebuah pilihan yang tentu akan menyita waktu dan juga
membelah idealisme dalam mengurusi organisasi.
Dari Amaliah ke Ilmiah
Perubahan pola kepemimpinan dari tipe Kiai ke intelektual dimulai pada periode Prof Dr Amein
Rais (1997-1999) juga berubahnya tipe-tipe kader Muhammadiyah yang mengutamakan ilmiah
daripada amaliah ditandai dengan munculnya generasi Muda Muhammadiyah post-puritanisme
dalam ungkapan Zuly Qodir (SM No 18 Sep 2003) dimana teologi praxis mulai digugat karena
membawa "kejumudan" dalam pola pemikiran dan pergerakan.
Juga dengan kemunculan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) hadirnya Pusat
Studi Agama dan Peradaban (PSAP) lewat jurnal TANWIR, Maarif Institut for Culture and
Humanity milik Prof Dr Syafii Maarif MA yang juga ketua PP Muhammadiyah merupakan
indikasi perubahan pola-pola "Visi dan Misi" kader-kader unggulan Muhammadiyah dalam
mengelola Muhammadiyah masa datang.
Sehingga ada sebuah kontradiksi dalam perubahan pengkaderan dalam Muhammadiyah. Di satu
sisi dalam pengkaderan di IRM dan IMM lebih berorientasi dalam garis kultural dan lebih
mengedepankan sisi ilmiah, di sisi lain tetapi dalam tubuh PM dan NA lebih ke jalur amaliah,
tetapi aktifitasnya banyak yang terbelah pada urusan politik dan melupakan sisi pengabdian
kepada masyarakat.
Adanya Keseimbangan Dalam Perubahan

Dalam berubahnya wilayah pengkaderan Muhammadiyah, maka berubah pula metode, visi dan
misi pengkaderan Muhammadiyah, dimana wilayah ilmiah lebih mendominasi daripada wilayah
amaliah. Hal ini menjadikan IRM dan IMM menjadi tulang punggung adanya stock terhadap
kader masa mendatang.

Juga harus menjadi renungan. Meminjam judul bukunya Mustofa W Hasyim Ranting ltu
Penting, dimana ranting Muhammadiyah yang berjumlah ribuan di Indonesia dan merupakan
ujung tombak dalam kerja amaliah dan membutuhkan "Stock-Stock" kader yang mampu
menghidup-hidupi amal-usahanya.
Menghidup-hidupi amal usaha Muhammadiyah inilah yang harus dipikirkan dalam membina
kader-kader Muhammadiyah. Maka, siapkah PM dan NA yang merupakan kader yang sudah
teruji dalam mengurusi masyarakat menjadi penerus amal usaha Muhamamdiyah dalam wilayah
kampung ini? Maka inilah pentingnya keberadaan PM dan NA yang mengkader dalam tataran
amaliah, dimana tugas praktis untuk mengurusi Muhammadiyah dalam wilayah kampung
menjadi salah satu aspek kerja mereka.
Dalam wilayah kader ini, dalam usianya yang ke 94 tahun, Muhammadiyah diharapkan mulai
menata ulang wilayah-wilayah pengkaderannya. Dimana posisi Angkatan Muda Muhammadiyah
(AMM) yaitu IRM, IMM, PM dam NA harus mengerti posisi masing-masing, baik dalam
wilayah amaliah maupun ilmiah tetapi tidak terjebak pada sekat-sekat politik minded dan ilmiah
minded yang dapat menghilangkan arah dan dinamika persyarikatan Muhamadiyah dalam

menjaga keseimbangan antara jalur ilmiah dan amaliah.
Adalah Mahasiswa Fak Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga dan Aktifis Pemuda Muhammadiyah
Cabang Umbulharjo Yogyakarta.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 14 2004