basri putra mengelak dari jebakan penghasilan menengah di indonesia

Mengelak dari Jebakan
Penghasilan Menengah di Indonesia
Analisa Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional
Oleh: Faisal Basri, Gatot Arya Putra
• Untuk menghindar dari perangkap pendapatan rendah dan menengah solusinya hanya melalui
penguatan sektor industri. Untuk itu peran kepemimpinan nasional dalam hal ini presiden sangatlah
vital dan sangat menentukan. Nawacita harus digunakan untuk menyukseskan kebijakan industri.
Indonesia selama ini tidak memiliki fundamental perekonomian yang menjamin bahwa perekonomian
Indonesia akan selamat dari perangkap pendapatan menengah. Lemah dalam sumber daya manusia
baik dalam konteks kesehatan dan pendidikan serta tak memiliki visi kebijakan industri yang tegas.
Di tambah adanya ketimpangan kekayaan yang semakin meninggi dan secara absolut nilainya sudah
sangat tinggi. Padahal kekuatan sumber daya manusia dan harmonisasi sosial adalah persyaratan
penting dalam menyukseskan kebijakan industri.
• Sumber daya manusia Indonesia sangatlah lemah terutama dalam konteks kualitas. Lemahnya
kemampuan kognitif pelajar Indonesia harus segera diperbaiki agar transformasi perekonomian
Indonesia mampu bergerak mulus dari ketergantungan kepada industri berbasis upah murah menuju
basis produksi dengan keahlian yang lebih tinggi. Sementara itu rasio pendaftaran sekolah untuk
tingkat menengah dan universitas (tingkat tinggi) harus juga segera ditingkatkan. Keberhasilan
pendidikan harus diukur dari output pendidikan dengan menggunakan barometer internasional
seperti yang dilakukan oleh PISA.
• Struktur ekspor Indonesia masih belum memperlihatkan perbaikan dalam meningkatkan peran dari

ekspor berbasis teknologi tinggi dengan nilai kontribusinya dalam ekspor yang sangat rendah dan
semakin menurun. Sementara itu, kinerja sektor manufaktur juga lemah.
• Untuk memacu pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkelanjutan semakin mustahil dapat dilakukan
oleh Indonesia karena perkembangan stok modal (dan produktivitas faktor total juga tidak dapat
mengimbangi kecepatan pertumbuhan ekonomi negara yang berada pada frontier teknologi.
• Kinerja ekonomi Indonesia juga sangat sensitif terhadap krisis yang bersifat eksternal dan memerlukan
waktu yang lama untuk kembali pulih padahal perekonomian Indonesia dibandingkan tahun 1960
relatif menjadi semakin agak tertutup perekonomiannya jika diukur dari peran ekspor barang
terhadap produk domestik bruto secara Paritas Daya Beli (Purchasing Power Purity – PPP) Peluang
perekonomian Indonesia terperangkap dalam pendapatan rendah adalah 80%, peluang untuk
menjadi pendapatan menengah hanya sebesar 16%, sedangkan peluang Indonesia untuk masuk
menjadi negara berpendapatan tinggi kecil sekali yaitu hanya 3% .

Mengelak dari Jebakan
Penghasilan Menengah di Indonesia
Analisa Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional
Oleh:
Faisal Basri dan Gatot Arya Putra
Dicetak :
Friedrich-Ebert-Stiftung Indonesia Office

Jalan Kemang Selatan II No. 2 A | Jakarta 12730 | Indonesia
Phone : +62-21-7193711 | Fax: +62-21-71791358
Email :info@fes.or.id | Website: www.fes.or.id
Penangungjawab:
Sergio Grassi, Country Director
ISBN No: 978-602-8866-17-0
Semua publikasi terbitan Friedrich-Ebert-Stiftung (FES)
tidak diperbolehkan untuk penggunaan komersil dan harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari FES.

Faisal Basri, Gatot Arya Putra

Mengelak dari Jebakan Pendapatan Menengah di Indonesia
Analisis Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional

DAFTAR ISI
Pendahuluan

5


Motor Pertumbuhan Ekonomi yang Tak Meyakinkan

7

Sumber Daya Manusia Dalam Kondisi Kritis

10

Kinerja Ekspor Manufaktur Mendorong Indonesia Masuk Perangkap

15

Ancaman Serius Kepincangan Pendapatan dan Kondisi Kesejahteraan Perkerja

22

Pekerjaan Rumah Pemerintah versus Kegagalan Pasar

33


Kesimpulan

39

Tabel

43

Daftar Pustaka

50

Daftar Singkatan

53

Tentang Penulis

54
3


Faisal Basri, Gatot Arya Putra

Mengelak dari Jebakan Pendapatan Menengah di Indonesia
Analisis Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional

Mengelak dari Jebakan
Pendapatan Menengah di Indonesia
Analisis Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional
Pada tahun 2011 berdasarkan Tabel Penn World 8.1 (Feenstra, Inklaar and Timmer 2015),
Indonesia telah berada pada urutan keenambelas perekonomian terbesar dunia berdasarkan
Paritas Daya Beli mencatat Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita sebesar 4725, India
3917, dan China 8919. Dibandingkan dengan nilainya pada tahun 2000, PDB per kapita China,
Indonesia dan India pada tahun 2011 masing-masing telah berubah menjadi 2,3 kali, 1,6 kali dan
2,1 kali. Indonesia yang paling lamban perubahannya. Agar tidak tertinggal dari China dan India
maka Indonesia paling tidak harus tumbuh lebih pesat lagi. Kecepatan dan keberkelanjutan dari
pembangunan ekonomi adalah kata kuncinya. Masih dalam ParitasDayaBeli tiga perekonomian
terbesar dunia pada tahun 2011 adalah Amerika Serikat, China dan India. Pada tahun 2011
Produktivitas Faktor Total (Total Factor Productivity – TFP) China adalah 0.4066, India sebesar
0.4835 dan Indonesia adalah 0.4193. Pada tahun 2005, PDB per kapita Indonesia, India dan

China masing-masing sebesar 3485, 2606,3 dan 5854,8.
Pada tahun 2014, pendapatan nasional bruto per kapita Indonesia berdasarkan Paritas
Daya Beli adalah 10,517 berdasarkan internasional dolarpada harga berlaku (lihat http://
data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.PCAP.PP.CD). IMF dalam World Economic Outlook
Database 2015 menyebutkan produk domestik bruto berdasarkan Paritas Daya Beli dalam
internasional dolar perkapita Indonesia adalah 10.651. Berdasarkan penelitian spektakuler dari
Eichengreen, Park, and Shin (2012, 2013) batas bawah pendapatan (produk domestik bruto
perkapita) berdasarkan Paritas Daya Beli bagi negara berpendapatan menengah adalah 10.000.
Dengan demikian Indonesia sudah masuk kedalam kategori negara berpendapatan menengah
berdasarkan data Bank Dunia dan IMF. Tentu ini merupakan momen yang sangat penting
bagi bangsa Indonesia apakah Indonesia akan berhasil menghindari perangkap pendapatan
kelas menengah? Apakah kalaupun masuk perangkap kemudian dapat keluar lagi? Tantangan
yang dihadapi Indonesia sangatlah berat karena terdapat perangkap. Saat ini paling tidak ada
penelitian yang secara nyata mengatakan bahwa perangkap pendapatan kelas menengah dapat
terjadi dua kali. Eichengreen, Park dan Shin (2013) mengatakan bahwa perekonomian negara
berpendapatan menengah akan dihadang oleh dua ancaman perangkap yaitu perangkap
pertama antara pendapatan per kapita 10 ribu hingga 11 ribu dan perangkap kedua antara
15 ribu hingga 16 ribu. (lihat Eichengreen, Barry, Donghyung Park and Kwanho Shin (2013),
“Growth Slowdowns Redux: New Evidence on the Middle-Income Trap”, NBER Working Paper,
18673, January.)

Berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, Paul Romer mengingatkan dengan dua pertanyaan
penting yang berkaitan dengan model pertumbuhan ekonomi yaitu, pertama, mengapa tingkat
5

Mengelak dari Jebakan Pendapatan Menengah di Indonesia
Analisis Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional

Faisal Basri, Gatot Arya Putra

pertumbuhan ekonomi pada perekonomian yang menjadi ujung depan teknologi dunia semakin
tinggi dengan berjalannya waktu? Konsekuensinya jika Indonesia ingin menjadi negara dengan
pendapatan tinggi maka pertumbuhan ekonomi Indonesia harus lebih tinggi dari pertumbuhan
ekonomi China, India dan Korea Selatan. Kedua, mengapa begitu banyak negara yang memulai
pertumbuhan ekonomi yang jauh dari belakang frontier gagal mencapai pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dalam rangka berhasil mengejar ketertinggalannya? Lebih jelasnya dapat dilihat pada
http://paulromer.net/speeding-up-and-missed-opportunities-evidence/. Pertanyaan pertama
Romer berkaitan dengan perlunya tingkat pertumbuhan per kapita yang semakin tinggi bagi
Indonesia agar mencapai frontier pertumbuhan tertinggi pada jamannya untuk mampu tumbuh
secara berkelanjutan.
Perlu diingat bahwa berdasarkan Tabel Penn World Indonesia hanya naik satu tingkat dalam

besarnya perekonomian dari tahun 2005 hingga 2011 meningkat dari 17 besar dunia menjadi 16
besar dunia. Sementara itu menurut Romer, target tingkat pertumbuhan ekonomi juga semakin
tinggi dengan berjalannya waktu. Tingkat pertumbuhan ekonomi masa depan menjadi target
bergerak yang bergerak juga semakin cepat. Dengan bergeraknya perekonomian Indonesia
selama tahun 2005 hingga 2015 yang relatif tidak terlalu cepat maka potensi perekonomian
Indonesia untuk masuk pada frontier atau batas pertumbuhan ekonomi tinggi masihlah belum
terlihat.
Pertanyaan kedua Romer berkaitan dengan mencari jawaban mengapa banyak negara
gagal mencapai tingkat pertumbuhan yang memadai untuk mencapai ketertinggalannya yang
menurut Romer tidak dapat disalahkan kepada negara tersebut hanya semata-mata memiliki
kelembagaan yang buruk, sangat korup, langka akan modal sosial atau karena budaya yang tidak
maju.Pernyataan Romer ini juga relevan untuk Indonesia. Jika dikatakan kelembagaan di Indonesia
paska reformasi lebih baik ketimbang sebelum krisis 1997 mengapa kinerja perekonomian paska
reformasi secara relatif juga tidak lebih baik?Tampaknya belum ada perbaikan kelembagaan
yang memadai buktinya korupsi saat ini juga tidak kalah maraknya. Menurut Romer, besarnya
negara menentukan.Pada masa lalu negara dengan perekonomian kecil (small economy) seperti
Taiwan, Korea Selatan, Singapura dan Hong Kong-lah yang memiliki kemampuan untuk tumbuh
cepat padateknologi tercanggih (frontier technology), namun pada saat ini China dan India yang
merupakan perekonomian besar (big economy) ternyata lebih memiliki peluang untuk tumbuh
cepat. Pada gilirannya kedua pertanyaan tersebut akan berimplikasi kepada pertanyaan berikut:

Adakah peluang bagi Indonesiasebagai small open economy untuk tumbuh secara relatif lebih
cepat dari negara-negara tersebut dan tentunya juga secara berkelanjutan?

6

Faisal Basri, Gatot Arya Putra

Mengelak dari Jebakan Pendapatan Menengah di Indonesia
Analisis Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional

Motor Pertumbuhan Ekonomi Yang Tak Meyakinkan
Untuk menjawab pertanyaan Romer yang pertama adalah mencari tahu tingkat kecepatan
pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini agar dapat mengetahui apakah perekonomian
Indonesia bisa berlari kencang di masa depan? Hal ini penting agar supaya perencana ekonomi
dan politisi Indonesia tidak lagi menjual bualan yang membodohi rakyat Indonesia.
Ancaman paling nyata dari lambannya pembangunan perekonomian Indonesia akan
semakin jelas jika dibandingkan dengan negara lain yang pada tahun 1960-an kondisinya
mungkin secara relatif lebih buruk dari Indonesia tetapi saat ini sudah mampu melewati secara
luar biasa kinerja ekonomi Indonesia untuk menghindar dari parangkap pertumbuhan ekonomi.
Cara paling sederhana lainnya untuk melihat relatif melambannya motor pertumbuhan ekonomi

Indonesia adalah dengan membandingkannya terhadap negara yang saat ini mampu melewati
perangkappendapatan menengah seperti Korea Selatan. Padahal, seperti halnya Indonesia,
Korea Selatan juga menghadapi alam politik yang tidak demokratis paling tidak sebelum krisis
Asia tahun 1998 yaitu sebelum 1987.
Berdasarkan Tabel Penn World (Tabel Penn World 8.1 (Feenstra, Inklaar and Timmer 2015),
pada tahun 1960, Stok modal Indonesia jauh lebih besar dari Korea Selatan dengan rasio stok
modal Indonesia terhadap Korea Selatan sebesar 2,57, namun pada tahun 2011 angka rasio itu
menjadi mengkerut menjadi 0,59. Indonesia jelas keteteran dalam hal ini dalam mengimbangi
Korea Selatan. Perkembangan rasio ini secara nyata memperlihatkan bahwa rejim politik di
Indonesia dari Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi gagal membangun Stok modal secara
relatif! Target Indonesia ke depan agar tidak tertinggal dari Korea Selatan adalah membawa
rasio ini ke pantas angka satu. Jika hal itu dapat dilakukan maka akan ada harapan bahwa
perekonomian Indonesia akan mampu melewati perangkap pendapatan menengah. Stok
Modal dihitung dengan paritas daya beli berlaku berdasarkan dolar tahun 2005. Korea Selatan
memacu stok modalnya sehingga pada tahun 1974 mampu melewati stok modal Indonesia.
Memasuki tahun 1990-an, stok modal Indonesia secara relatif hanya setengah dari stok modal
Korea Selatan. Pada tahun 1991 stok modal Indonesia 0,64 kali stok modal Korea Selatan,
dan pada tahun 2000 nilai stok modal Indonesia 0,59 kali stok modal Korea Selatan. Indonesia
tenggelam!
Sementara share of gross capital formation at current paritas daya beli di Indonesia

lebih kecil dibandingkan Korea Selatan sepanjang sejarah. Kemampuan Indonesia melakukan
akumulasi pembentukan modal bruto dalam perekonomian juga selalu dibawah Korea Selatan.
Artinya peluang Indonesia untuk memiliki kinerja ekonomi yang sukses untuk menjadi negara
berpendapatan maju juga secara relatif tidaklah besar. Pada tahun 1960, pangsa pembentukan
modal bruto Indonesia 0.046 jauh lebih kecil ketimbang Korea Selatan yang pangsanya adalah
0.11. Pada tahun 2011 nilai Indonesia juga lebih kecil dari Korea Selatan, dimana nilai Indonesia
7

Mengelak dari Jebakan Pendapatan Menengah di Indonesia
Analisis Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional

Faisal Basri, Gatot Arya Putra

0.22 sedangkan Korea Selatan adalah 0.33. Lemahnya pangsa pembentukan modal bruto
di Indonesia menyebabkan modal saham Indonesia yang pada tahun 1960 lebih besar dari
Korea Selatan menjadi lebih kecil pada periode paska 1974. Pada saat krisis 1998, pangsa
pembentukan modal bruto Indonesia turun mernjadi 0.18 dari 0.23 di tahun 1997. Nilai ini
turun pada tahun 1999 hingga 2002 dengan pangsa di bawah 20% secara berurutan nilai
pangsa masing-masing tahun tersebut adalah 0.15, 0.17, 0.19 dan 0.19. Sementara Korea
Selatan pada tahun 1998 turun menjadi 0.26 dari 0.36 di tahun 1997. Kemudian pada tahun
1999 naik menjadi 0.29. Mulai tahun 2000 Korea Selatan sudah memiliki pangsa di atas 30%
yaitu 0.31. Korea Selatan sudah menembus pangsa 30 semenjak tahun 1977 yang pada tahun
tersebut kontribusinya adalah 0.33. Belajar dari Korea Selatan, jika Indonesia ingin selamat dari
perangkap pendapatan menengah maka perekonomian Indonesia sebaiknya juga harus dapat
mencapai pangsa pembentukan modal bruto di atas 30% secepatnya dan tentunya juga harus
berkelanjutan. Bukan hal yang mudah karena nilai rasio 30% tersebut belum pernah dimiliki
oleh Indonesia, selain pangsa ini juga sangat sensitif terhadap krisis.Pentingnya investasi tetap
bagi suksesnya industrialisasi dinyatakan oleh Arias dan Wen (2015): “For one thing, technology
isnot free; so, fixed investment is necessary for adopting newtechnologies.The implication is that
policies that help attract foreign direct investment and promote domestic saving and exports
of manufactured goods are more likely to overcome the barriers of technology transfers, as the
experiences of Mexico and Ireland showed”.
Namun dari sisi sumber daya manusia berdasarkan Tabel Penn World 8.1 (Feenstra, Inklaar
and Timmer 2015), dalam sejarahnya hingga saat ini Indonesia juga selalu kalah jika dibandingkan
dengan Korea Selatan. Padahal data sumber daya manusia dihitung dengan indeks per orang
berdasarkan lamanya tahun sekolah dan bukan kemampuan kognitif. Pada tahun 1960, rasio
sumber daya manusia Indonesia dibandingkan Korea Selatan ini adalah 0,70 dan pada tahun
2011 nilai rasio ini menjadi 0,62. Sepanjang periode ini rasio terendah adalah 0,59-an yang
terjadi selama 1993 hingga 1999. Jelas sekali bahwa pemerintah Indonesia semenjak Orde Lama,
Orde Baru dan Orde Reformasi tidak menjalankan tugasnya dengan baik dalam membangun
sumber daya manusia.
Begitu pula dengan Produktivitas Total Faktor (TFP) berdasarkan Tabel Penn World 8.1
(Feenstra, Inklaar and Timmer 2015), dimana pada tahun 1960, Indonesia memiliki TFP sebesar
0,48 relatif terhadap Amerika Serikat yang bernilai satu, sementara Korea Selatan adalah 0,31
(dan Amerika Serikat sebesar satu). Nilai TFP ini dihitung secara relatif terhadap Amerika Serikat.
Dengan berjalannya waktu nilai TFP Indonesia pada tahun 2011 menjadi 0,41, Korea Selatan
meningkat menjadi 0,69 (Amerika Serikat adalah satu). Selama periode ini Indonesia mencapai
nilai tertinggi sebesar 0,65 pada tahun 1995 menjadi 0,61 pada tahun 1997 dan turun drastis
menjadi 0,44 pada 1998. Sementara Korea Selatan pada saat yang sama 0,76 pada tahun 1995,
pada tahun 1997 sebesar 0,74 dan 0,70 pada tahun 1998. Krisis ekonomi Asia pada tahun
1998 menghantam TFP Indonesia secara besar-besaran, namun Korea Selatan mampu menjaga
8

Faisal Basri, Gatot Arya Putra

Mengelak dari Jebakan Pendapatan Menengah di Indonesia
Analisis Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional

nilai TFP nya pada angka di atas 0,70. Dengan kinerja TFP yang relatif rendah dan rentan turun
karena ancaman krisis maka perekonomian Indonesia juga semakin rentan dalam kesiapannya
menghindari perangkap pendapatan menengah.
Dari sisi konsumsi riil dari rumah tangga dan pemerintah berdasarkan Tabel Penn World 8.1
(Feenstra, Inklaar and Timmer 2015) yang juga berdasarkan paritas daya beli harga dolar 2005,
pada tahun 1960 konsumsi Indonesia 2,53 kali konsumsi Korea Selatan. Di satu pihak, pangsa
konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto Indonesia adalah 0.53, sementara
Korea Selatan 0.79. Pada tahun 2011, besarnya konsumsi Indonesia menjadi 0,99 kali konsumsi
Korea Selatan. Pangsa konsumsi rumah tangga Indonesia dan Korea Selatan pada tahun ini
masing-masing adalah 0.62 dan 0.49. Dengan kata lain perekonomian Indonesia semakin
tergantung kepada konsumsi rumah tangga ketimbang perekonomian Korea Selatan, namun
besarnya konsumsi tersebut hampir sama besarnya. Korea Selatan secara sistematis melakukan
transformasi perekonomian yang menurunkan peran konsumsi rumah tangganya sementara
Indonesia justru meningkatkan peran tersebut. Bagaimana dengan peran konsumsi pemerintah?
Pada tahun 2011, pangsa konsumsi pemerintah Indonesia dan Korea Selatan masing-masing
adalah 0.12 dan 0.13. Sementara pangsa konsumsi pemerintah Indonesia dan Korea Selatan
pada tahun 1960 masing-masing adalah 0.09 dan 0.18. Seperti dalam halnya konsumsi rumah
tangga, perekonomian Korea Selatan secara sistematis menurunkan peran konsumsi pemerintah
dalam perekonomiannya sementara itu Indonesia mengalami hal yang sebaliknya.
Pada saat krisis Asia tahun 1998, berdasarkan paritas daya beli rasio konsumsi antara
Indonesia dan Korea Selatanini mencapai angka satu dan kemudian turun menjadi 0,81 pada
tahun 2002. Krisis ekonomi Asia tahun 1998 tampaknya lebih berdampak serius bagi Indonesia
dari sisi konsumsi ketimbang Korea Selatan. Upaya Indonesia menjadikan pasar domestik sebagai
alternatif pasar luar negeri sangat beresiko mengingat rentannya penurunan konsumsi domestik
akibat guncangan eksternal .
Ukuran lainnya adalah daya absorpsi ekonomi domestik, dimana pada tahun 1960
berdasarkan Tabel Penn World 8.1 (Feenstra, Inklaar and Timmer 2015) daya absorpsi ekonomi
domestik Indonesia 2,43 kali Korea Selatan, namun pada tahun 2011 menjadi 0,84. Daya
absorpsi ekonomi domestik memasukkan juga investasi. Pada saat krisis tahun 1998, nilai rasio
ini adalah 0,92 dan turun menjadi 0,77 tahun 1999. Jelas sekali daya serap perekonomian
Indonesia bukan saja menjadi lebih rendah dari Korea Selatan tetapi juga sangat sensitif
terhadap krisis ekonomi. Sekali lagi, upaya menjadi pasar domestik sebagai alternatif utama
dalam pembangunan ekonomi Indonesia di tengah krisis ekonomi akan menghadapi resiko
yang tinggi.
Berdasarkan PDB per kapita dari sisi pengeluaran berdasarkan rantai paritas daya beli pada
dolar 2005 dari Tabel Penn World 8.1 (Feenstra, Inklaar and Timmer 2015) (PPP Converted GDP
9

Mengelak dari Jebakan Pendapatan Menengah di Indonesia
Analisis Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional

Faisal Basri, Gatot Arya Putra

Per Capita (Chain Series), at 2005 constant prices), pada tahun 1960 produk domestik bruto
per kapita Indonesia sebesar 0,73 PDB per kapita Korea Selatan. Sementara itu pada tahun
2011, rasio itu menjadi 0,17. Indonesia semakin jauh tertinggal. Jelas sekali bahwa tetangga
kita Korea Selatan telah “berlari” sangat cepat dibandingkan Indonesia. Dengan data tersebut
masihkah ada optimisme bahwa Indonesia akan mampu terbebas dari perangkap pendapatan
menengah mengingat kecepatan pertumbuhan dalam pembangunan ekonominya tidaklah
istimewa? Rasanya memang berat. Berkaitan dengan pertanyaan Romer, hal pertama tampak
sekali bahwa kecepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia belum mencapai tahap istimewa.
Jangankan membalap kinerja Korea Selatan, tanda-tanda bahwa kinerja perekonomian Indonesia
mampu mendekati kinerja Korea Selatan saja jauh panggang dari pada api.
Tentu hal ini bukan kesalahan pemerintahan Joko Widodo karena buruknya kinerja
ekonomi Indonesia dihasilkan tumpukan kesalahan yang dihasilkan oleh pemerintahan Orde
Lama, Orde Baru hingga pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Harus diakui bahwa
tugas pemerintahan presiden Joko Widodo sangatlah berat untuk menjamin bahwa Indonesia
terbebas dari parangkap pendapatan menengah.

Sumber Daya Manusia Dalam Kondisi Kritis
Menurut Eichengreen, Park dan Shin (2013) untuk menghindari perangkap ini maka
resepnya adalah: “That a large share of high-tech exports is negatively associated with the
likelihood of a slowdown points to the same conclusion. Intuitively, the inherited stock of human
capital shapes a country’s ability to move up the technology ladder and its capacity export
products embodying advanced technology. As they reach middle income status, emerging
markets typically import advanced technology from more advanced countries. Taking the next
step, which involves adapting imported technology to local conditions and embodying it in
exports with high local content, requires a pool of highly skilled workers. (Page 13).”
Selanjutnya mereka mengatakan, “Other variables, from political regime changes and
financial instability to trade openness and terms-of-trade shocks, also show some association
with growth slowdowns. But compared to educational attainment and the structure of exports,
they are less robustly related. (Page 13)”.
Menarik untuk mencermati kualitas pendidikan di Indonesia. Di atas sudah dibahas
sumber daya manusia berdasarkan lamanya sekolah. Bagaimana dengan kualitas sumber daya
manusia Indonesia dari kemampuan kognitifnya? Hasilnya juga sangat tidak menggembirakan.
Pertama, kinerja kemampuan kognitif pelajar Indonesia jika dibandingkan dengan sesama
negara berkembang juga melempem. Paling efektif jika dibandingkan dengan Thailand sebagai
sesama negara berkembang yang kebetulan juga merupakan negara ASEAN. Berdasarkan studi
yang dilakukan oleh PISA dari tahun 2003 hingga 2012 terbukti bahwa kinerja kemampuan
10

Faisal Basri, Gatot Arya Putra

Mengelak dari Jebakan Pendapatan Menengah di Indonesia
Analisis Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional

matematika pelajar sekolah dasar Indonesia mengalami perlambatan. Lebih jelasnya lihat OECD
(2013) PISA 2012 Results: What Students Know and Can Do. Student Performance in Reading,
Mathematics and Bidang sains (Volume I), Paris. Perlambatan artinya terjadi penurunan skor
dalam nilai matematika dalam periode hampir sepuluh tahun. Ini menunjukkan pelajar menjadi
bertambah bodoh dalam matematika. Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi pada periode
tersebut namun pelajarnya dalam hal matematika bertambah bodoh. Semantara Thailand pelajar
sekolah dasarnya menjadi lebih pintar dalam matematika dalam periode yang sama. Indonesia
mengalami pembodohan sebesar 0,7 dalam matematika dan Thailand menjadi pemintaran
sebesar 0,2. Negara perekonomian kecil mampu melewati perangkap pendapatan menengah
seperti Taiwan, pelajar sekolah dasarnya mengalami proses bertambah pintar dalam matematika
dengan kecepatan yang sangat tinggi yaitu 1,3. Lebih jelasnya lihat Tabel 1. Perlu diingat bahwa
ada korelasi positif antara pendapatan dan kemampuan ber-matematika. Pada tahun 2012,
posisi Indonesia berada pada nomor dua terakhir di atas Argentina dalam persentase pelajar
yang mencapai tingkat kemampuan matematika yang baik (level 5 dan 6) dengan jumlah 0,3%
dari keseluruhan pelajar. Persentase pelajar yang sangat rendah kemampuan matematikanya
mencapai 75,7% (di bawah level 2)
Kecenderungan semakin bodoh atau semakin pintar dalam matematika juga berlaku
dalam membaca. Pada tahun 2012, Indonesia memiliki persentase pelajar dalam membaca pada
tingkat pandai (level 5 dan 6) nomor dua dari negara yang diobeservasi dengan nilai persentase
0,1% dari total pelajar, sementara yang berada pada tingkat bodoh mencapai 55,2% (di
bawah level 2). PISA dengan persentase pelajar di bawah 1%. Pelajar sekolah dasar di Indonesia
juga megalami proses pembodohan dalam membaca dalam periode observasi tersebut dengan
tingkat pembodohan sebesar 0,4. Proses pembodohan di matematika terjadi hampir dua kali
lebih buruk ketimbang proses pembodohan di membaca. Sementara pelajar sekolah dasar
Thailand mengalami proses pemintaran dalam membaca sebesar 0,7. Artinya, pelajar sekolah
dasar Thailand dalam hal membaca menjadi proses pemintaran yang lebih cepat ketimbang
proses pemintaran di bidang matematika dengan kecepatan pemintaran lebih dari tiga kalinya
matematika. Bagaimana dengan Taiwan? Mengagumkan, Taiwan mengalami proses pemintaran
dalam membaca sebesar 1,6. Lihat Tabel 2. Lagi seperti halnya prestasi dalam matematika,
pelajar sekolah dasar Taiwan memiliki skor pemintaran membaca yang juga di atas satu. Artinya
proses belajar di Taiwan sangatlah efektif.
Bagaimana dengan bidang sains? Menurut PISA pada tahun 2012, Indonesia menempati
posisi juru kunci dalam persentase pelajar yang mencapai pintar membaca (level 5 dan 6) di
bawah 0,1%, sedangkan yang sangat bodoh 66,6% (di bawah level 2). PISA juga meneliti
perkembangan ini dari tahun 2006 hingga 2012 (lihat Tabel 3). Dalam periode ini pelajar sekolah
dasar Indonesia mengalami proses pembodohan tahunan dengan nilai pembodohan sebesar
1,9. Pelajar sekolah dasar Thailand selama periode ini mengalami proses pemintaran tahunan
dalam bidang sains sebesar 3,9. Sebuah kemajuan yang spektakuler. Singapura mencatat skor
11

Mengelak dari Jebakan Pendapatan Menengah di Indonesia
Analisis Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional

Faisal Basri, Gatot Arya Putra

3,3. Sementara pelajar Malaysia juga mengalami pembodohan sebesar 1,4. Bagaimana dengan
Taiwan? Taiwan memang mengalami kemunduran dalam skor bidang sains dengan kemunduran
tahunan sebesar 1,5. Namun harus diingat Taiwan memiliki nilai rata-rata skor dalam bidang
sains yang lebih tinggi dari rata-rata nilai pelajar OECD (lihat Tabel 4). Tahun 2009, nilai rata-rata
skor bidang sains Taiwan adalah 520 sementara Indonesia dan Thailand masing-masing adalah
383 dan 425. Rata-rata skor pelajar OECD, Singapura dan Malaysia pada tahun 2009 adalah
501, 542 dan 422.
Menarik untuk melihat sejauhmana pendidikan dasar di Indonesia mampu mengurangi
kesenjangannya terhadap pelajar OECD. Dalam bidang bidang sains kesenjangan tersebut justru
semakin melebar (lihat Tabel 4). Skor pelajar Indonesia dalam bidang sains justru terus menurun
dari dalam PISA 2006 dan PISA 2009 dengan skor masing-masing 393 dan 383. Sementara
dalam bidang yang sama, skor rata-rata pelajar OECD pada tahun 2006 dan 2009 masingmasing adalah 498 dan 501. Dengan kata lain dari sisi sumberdaya manusia, Indonesia justru
semakin tertinggal dari OECD.
Pada tahun 2003, dalam bidang matematika mencapai skor 360 sementara rata-rata
OECD adalah 500 (lihat tabel 5), tahun 2006, skor rata-rata pelajar Indonesia dalam matematika
adalah 391 sementara rata-rata OECD adalah 498. Artinya kesenjangan mengecil karena skor
Indonesia membaik dan OECD menurun. Tahun 2009, skor rata-rata pelajar Indonesia menjadi
371 sementara OECD menjadi 496. Dibandingkan dengan tahun 2006 terjadi pelebaran
kesenjangan. Namun dibandingkan dengan tahun 2003 terjadi penurunan kesenjangan.
Dalam hal membaca, kesenjangan menurun namun masih dalam jumlah kesenjangan yang
cukup lebar (lihat Tabel 6). Dari tahun 2000 hingga 2009, rata-rata nilai pelajaran membaca
pelajar sekolah dasar OECD menurun dari 496 ke 494. Sementara rata-rata nilai membaca
pelajar Indonesia membaik nilainya dari 371 ke 402. Sayang pada tahun 2012 skor Indonesia
turun menjadi 396.
Semakin sempurna sudah ketertinggalan Indonesia dalam sumber daya manusia.
Berdasarkan prestasi belajar pelajar sekolah dasar dalam matematika, membaca dan ilmu
pengetahuan alam tampak jelas bahwa percepatan pertumbuhan ekonomi tinggi dari akumulasi
sumber daya manusia di Indonesia dari sisi kognitif sebagaimana juga dari sisi lamanya sekolah
belum bisa dijadikan pijakan bagi terciptanya pertumbuhan tinggi dalam perekonomian
Indonesia pada perekonomian dengan frontier teknologi. Berdasarkan Indikator Pembangunan
Dunia (World Development Indicator) 2012 rasio persyaratan masuk sekolah untuk pendidikan
sekunder di Indonesia pada tahun 2011 adalah 74,8%, sementara Korea Selatan adalah 95,6%.
Sementara itu untuk pendidikan tinggi pada tahun 2011, Indonesia mencapai 27,2% dan Korea
Selatan sudah mencapai 100% .

12

Faisal Basri, Gatot Arya Putra

Mengelak dari Jebakan Pendapatan Menengah di Indonesia
Analisis Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional

Rasio ketergantungan di kedua negara menurun, namun Korea Selatan mengalami
penurunan yang lebih cepat dari Indonesia. Lihat Grafik 1. Dengan demikian, dengan kualitas
sumber daya manusia Indonesia yang secara relatif lebih buruk dari Korea Selatan, usia produktif
(15 tahun hingga 64 tahun) di Indonesia juga harus menanggung beban yang lebih berat
ketimbang usia produktif di Korea Selatan.
Berdasarkan Tabel Penn World 8.1 (Feenstra, Inklaar and Timmer 2015), rendahnya kualitas
sumber daya manusia di Indonesia juga tercermin dari pangsa kompensasi pekerja dalam
produk domestik bruto yang lebih rendah dari Korea Selatan. Pada tahun 1960, kontribusi balas
jasa pekerja terhadap PDB di Indonesia dan Korea Selatan masing-masing adalah 46,3% dan
66%. Sedangkan pada tahun 2011, masing-masing adalah 46,7% dan 54,5%. Di Indonesia,
kontribusi nilai tambah pekerja selalu di bawah 50% PDB sementara di Korea Selatan selalu di
atas 50% PDB. Pekerja di Indonesia menikmati pembagian “kue” pembangunan yang lebih
kecil secara relatif dibandingkan dengan pekerja di Korea Selatan dari tahun 1960 hingga 2011.

Grafik 1. Rasio Ketergantungan (Dependency Ratio)

Sumber: World Development Indicator 2015

Pendidikan tidak akan berhasil jika manusia yang didik tidak sehat. Reformasi jaminan
sosial merupakan persyaratan penting dalam menjamin kualitas sumber daya manusia Indonesia
yang lebih baik dalam rangka meningkatkan kapasitas absorpsi akan teknologi. Anders Isaksson
(July 2007), “By absorptive capacity is meant a wide range of capacities, from the most basic
skills in reading, writing and mathematics to scientific and other advanced capabilities. Empirical
indicators usually only include R&D and human capital, the latter in a very broad sense so that
13

Mengelak dari Jebakan Pendapatan Menengah di Indonesia
Analisis Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional

Faisal Basri, Gatot Arya Putra

it includes health and experience in addition to education. Viewing these indicators in terms of
absorptive capacity, it is suggested that the effect on TFP is direct”.
Padahal untuk menjaga pekerja tetap produktif dan juga agar mereka dapat belajar
melalui pendidikan formal dan training yang baik kesehatan merupakan syarat utama. Dengan
menurunnya kesejahteraan pekerja maka peran negara wajib hukumnya untuk memberikan
jaminan kesehatan. Sungguh ironis jika Indonesia yang kesejahteraan masyarakatnya lebih
rendah dari masyarakat negara maju, masyarakatnya harus menanggung biaya kesehatan.
Sementara itu di negara maju, mayoritas biaya kesehatan ditanggung oleh sektor publik dan
bukan sektor swasta. Di Indonesia hanya 40% dari pengeluaran kesehatan ditanggung oleh
sektor publik sementara di negara maju rata-ratanya mencapai 72%. Bagaimana Indonesia
mampu mengejar ketertinggalannya dalam sumber daya manusia? Jelas harus ada kemauan
politik (political will). Menurut OECD (2014) dalam laporannya mengenai statistik kesehatan
Indonesia mengatakan: “Total health spending accounted for only 3.0% of GDP in Indonesia
in 2012, three times less than the OECD average of 9.3%. Health spending as a share of GDP
among OECD countries is highest in the United States, which spent 16.9% of its GDP on health
in 2012. Health spending tends to rise with incomes, and generally countries with higher GDP
per capita also tend to spend more on health. It is not surprising, therefore, that Indonesia ranks
well below the OECD average in terms of health expenditure per capita, with spending of only
USD 150 in 2012 (adjusted for purchasing power parity), compared with an OECD average of
USD 3484.The public sector is the main source of health funding in nearly all OECD countries.
In Indonesia, 40% of health spending was funded by public sources in 2012, much lower than
the average of 72% in OECD countries”.
Selain sisi permintaan akan kesehatan yang lemah, sistem kesehatan di Indonesia juga
menghadapi lemahnya sistem penawaran akan kesehatan. OECD (2014): “With an estimated
0.3 physicians per 1000 population in 2012, Indonesia had much fewer doctors per capita than
the OECD average of 3.2. Indonesia only had 1 nurse per 1000 population in 2012, also a much
lower number than the OECD average (8.8 nurses)”.
Dengan kondisi sisi penawaran yang seperti ini maka sekalipun sistem asuransi kesehatan
untuk semua berjalan maka masyarakat tetap akan menghadapi sulitnya akses terhadap fasilitas
kesehatan. Artinya kondisi “leher botol” akan terjadi. Dengan demikian, perbaikan dari sisi
penawaran juga harus diperbaiki secepatnya.
Masalah lain yang mendasar dari kesehatan publik adalah lemahnya kualias sumber
daya manusia Indonesia karena tidak memadainya imunisasi. Tanpa kesehatan sangatlah sulit
mengharapkan pelajar dapat belajar dengan baik dan pekerja dapat bekerja secara produktif.
OECD (2014): “There continues to be gaps in the vaccination rates of children in Indonesia: 64%
only of childrenwere vaccinated against diphtheria, tetanus and pertussis (DTP) in 2012, while
14

Faisal Basri, Gatot Arya Putra

Mengelak dari Jebakan Pendapatan Menengah di Indonesia
Analisis Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional

the coverage rate was higher for measles at 80%. This is lower than the coverage rate in most
OECD countries which is close to 100%”.
Tanpa keseriusan pemerintah membenahi sektor kesehatan publik maka keinginan
Indonesia menciptakan sumber daya manusiayang berkualitas untuk mengejar kualitas sumber
daya manusianegara OECD semakin jauh panggang dari api.
Pemerintah juga berani memberikan subsidi bagi pendidikan dokter dan perawat. Idealnya
pendidikan menjadi dokter dan perawat adalah gratis di Indonesia mengingat kesehatan adalah
persyaratan utama dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas di manapun.
Kebutuhan ini sangat mendesak. Langkah solusi dalam jangka pendek adalah memberikan
akses kemudahan bagi dokter dan perawat asing untuk melakukan praktek di Indonesia.

Kinerja Ekspor Manufaktur Mendorong Indonesia Masuk Perangkap
Maddison (2001) mengingatkan pentingnya sektor manufatur khususnya di Amerika
Serikat sebagai motor inovasi yang meningkatkan produktivitas Amerika Serikat sehingga
mampu menyalip Inggris dimana sektor manufaktur menghasilkan lembaga-lembaga penelitian
yang berhubungan positif dengan berinterakasi dengan penelitian di universitas.
Maddison (2001 page 101) mengatakan: “The leading role in developing these twentieth
century technologies was played by the United States, which had become the world leader in
terms of productivity and per capita income. The driving forces of innovation had changed from
the nineteenth century, with a reduced role for the individual inventor, and greater emphasis
on applied scientific research of a type which the United States pioneered. It institutionalised
innovation in a way the United Kingdom had never done. In 1913, there were about 370
research units in US manufacturing employing 3500 people. By 1946 there were 2300 units
employing 118 000. In 1946 there were four scientific workers in US manufacturing per 1 000
wage earners, five times the ratio in the United Kingdom. US government–sponsored research
played a much more important role in agriculture and mining than in the United Kingdom, and
the link between business firms and universities was closer (see Mowery and Rosenberg, 1989).”
Kontribusi nilai tambah sektor manufaktur dalam PDB Indonesia pada tahun 1966 lebih
rendah dari Korea Selatan, namun pada tahun 1996 hingga 2006 nilai rasio Indonesia beberapa
tahun mengungguli Korea Selatan. Namun, mulai tahun 2001, rasio Indonesia mengalami
penurunan secara sistematis sementara itu Korea Selatan terus memperlihatkan kecenderungan
peningkatan ( lihat Grafik 2). Rasio tertinggi Indonesia adalah pada tahun 2001 dengan nilai
29,1 % . Ini juga merupakan era dimana Indonesia mulai mengandalkan ekspor komoditas
tambang dan pertanian. Perekonomian Indonesia justru semakin tidak bersahabat dengan
sektor manufaktur.
15

Mengelak dari Jebakan Pendapatan Menengah di Indonesia
Analisis Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional

Faisal Basri, Gatot Arya Putra

Korea Selatan mampu menghindari jebakan pendapatan menengah (middle income trap)
dengan mempertahankan kinerja sektor manufaktur yang konsisten dalam perekonomiannya.
Resep keberhasilan Korea Selatan ini tidak dimiliki oleh Indonesia. Penurunan kontribusi
nilai tambah sektor manufaktur dalam perekonomian Indonesia juga mengindikasikan
bahwa perekonomian Indonesia gagal bersaing dengan sektor manufaktur negara lain yang
mengandalkan upah murah dan sementara itu juga gagal bersaing dengan sektor manufaktur
negara maju yang mengandalkan sumber daya manusia yang memiliki keahlian yang tinggi
dan mampu melakukan inovasi. Indonesia tidak dapat mengelola transformasi perubahan dari
pertumbuhan yang didorong oleh sumber daya alam, dengan upah murah, menuju pertumbuhan
ekonomi yang berbasis teknologi yang lebih tinggi!

Grafik 2. Pangsa Nilai Tambah Manufaktur Terhadap Produk Domestik Bruto

Sumber: World Development Indicator 2015

Kontribusi ekspor manufaktur dalam ekspor barang di Korea Selatan bukan hanya di atas
80% tetapi juga memperlihatkan perkembangan yang stabil, sementara di Indonesia akhir-akhir
ini masih di bawah 40% dengan tren yang fluktuatif dengan kecenderungan yang menurun.
Lebih jelasnya lihat Grafik 3. Yang dimaksud manufaktur di sini adalah commodities in SITC
sections 5 (Kimia), 6 (manufaktur dasar), 7 (mesin dan alat transportasi), and 8 (miscellaneous
manufactured goods), excluding division 68 (non-ferrous metals). Krisis ekonomi Asia tahun
1998 berpengaruh kepada kedua negara dimana terjadi tren penurunan kontribusi ekspor
manufaktur, namun pengaruhnya lebih besar di Indonesia yang turun dari rasio 50% menjadi di
16

Faisal Basri, Gatot Arya Putra

Mengelak dari Jebakan Pendapatan Menengah di Indonesia
Analisis Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional

bawah 40% . Di Korea Selatan sekalipun terjadi penurunan rasionya masih berada pada 80%an. Jelas sekali guncangan eksternal menyebabkan sektor manufaktur Indonesia menjadi tidak
berkelanjutan perkembangannya. Krisis yang bermula dari guncangan eksternal merupakan
ancaman serius bagi Indonesia jika ingin menghindar dari perangkap pendapatan menengah.
Dari sisi share of merchandise exports terhadap PDB pada paritas daya beli terkini, pada
tahun 1960 kontribusinya di Indonesia dan Korea Selatan masing-masing adalah 0,39 dan 0,009.
Artinya pada mulanya perekonomian Indonesia sudah berbentuk small open economy sementara
Korea Selatan merupakan small and relatively closed economy. Transformasi perekonomian di
kedua negara selanjutnya memperlihatkan bahwa tingkat keterbukaan ekonomi di Korea Selatan
terus membesar, sementara di Indonesia cenderung semakin mengecil. Indonesia selama Orde
baru mengadopsi strategi substitusi impor dan Korea Selatan pada periode tersebut mengadopsi
strategi promosi ekspor. Pada tahun 1973 nilainya di Indonesia menurun dan di Korea Selatan
meningkat masing-masing menjadi 0,24 dan 0,14. Pada tahun 1980, nilai Indonesia dan Korea
Selatan masing-masing adalah 0,23 dan 0,25. Terlihat peran ekspor barang terhadap PDB di
Indonesia terus turun sementara Korea Selatan meningkat terus. Nilainya pada tahun 1988 yang
merupakan era substitusi impor terparah di Indonesia dimana nilai Indonesia dan Korea Selatan
masing-masing adalah 0,095 dan 0,26. Saat krisis ekonomi tahun 1998, rasio untuk Indonesia
adalah 0,14 dan untuk Korea Selatan adalah 0,28. Tahun 2011, nilai Indonesia adalah 0,19 dan
Korea Selatan sudah mencapai 0,46.

Grafik 3. Pangsa Ekspor Manufaktur terhadap Ekspor Merchandise

Sumber: World Development Indicator 2015

17

Mengelak dari Jebakan Pendapatan Menengah di Indonesia
Analisis Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional

Faisal Basri, Gatot Arya Putra

High-technology exports are products with high R&D intensity, such as in aerospace,
computers, pharmaceuticals, scientific instruments, and electrical machinery. Dari Grafik 4
terlihat jelas bahwa kontribusi ekspor teknologi tinggi terhadap ekspor dari Korea Selatan sudah
tinggi dari tahun 1960-an dan memiliki kecenderungan yang terus meninggi hingga akhirnya
melewati batas rasio 30%. Sementara Indonesia memiliki rasio di bawah 5% pada tahun 1960an dan trennya meningkat di awal tahun 1990-an yang kemudian mencapai puncaknya di awal
tahun 2000-an dengan rasio tertinggi 16%. Rasio ini kemudian mengalami penurunan yang
sistematis pada pertengahan tahun 2000-an menuju rasio 5% .

Grafik 4. High-Technology Exports (percentage of manufactured exports)

Sumber: World Development Indicator 2015

Eichengreen, Park, and Shin (2012, 2013) sudah mewanti-wanti bahwa lemahnya rasio
ini merupakan ancaman yang sangat serius bagi negara berpendapatan menengah manapun
untuk mampu melewati perangkap pendapatan menengah yang mengerikan itu. Ini juga secara
implisit memperlihatkan bahwa secara relatif Indonesia belum berlimpah akan tenaga kerja yang
memiliki pendidikan tertiery dalam industri aerospace, computers, pharmaceuticals, scientific
instruments, and electrical machinery. Dipastikan jumlahnya di Indonesia terus meningkat tetapi
kalah cepat dengan peningkatan jumlah yang terjadi di Korea Selatan. Secara kualitas juga
dipastikan masih tertinggal. Hal ini juga tercermin dari school enrollment ratio untuk tertiery
education di Indonesia yang jauh tertinggal dari Korea Selatan. Dari sisi perkembangan nilai
ekspor terlihat bahwa kesenjangan kinerja ekspor teknologi tinggi antara Korea Selatan dan
Indonesia terus semakin melebar. Secara nilai ekspor kinerja ekspor teknologi tinggi Indonesia
boleh dikatakan berjalan di tempat pada kinerja ekspor yang sangat rendah sekali (Grafik 5).
18

Faisal Basri, Gatot Arya Putra

Mengelak dari Jebakan Pendapatan Menengah di Indonesia
Analisis Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional

Daya saing yang tinggi dari perekonomian Korea Selatan dan lemahnya daya saing
perekonomian Indonesia juga tercermin dari perkembangan current account balance-nya (lihat
Grafik 6 dan 6.a) dimana Korea Selatan semakin mencetak angka surplus dan Indonesia semakin
mencetak angka defisit. Kondisi ini semakin memperlihatkan bahwa strategi pembangunan
ekonomi Indonesia harus berputar 180 derajat untuk menghindar dari perangkap pendapatan
menengah. Indonesia harus mampu melakukan transformasi perekonomian menuju sektor
manufaktur yang berbasis keahlian yang tinggi dan kreatifitas yang juga merubah neraca
berjalan (current account balance) Indonesia menjadi positif.
Salah satu faktor lain yang berpotensi membuat negara berpendapatan rendah terperangkap
dalam pendapatan menengah adalah jika negara tersebut terlalu sering melakukan depresiasi
mata uangnya dalam rangka meningkatkan daya saing ekspor produk dengan upah murah
karena gagal melakukan transformasi pembangunan dengan menciptakan produk eskpor yang
berbasis keahlian yang tinggi (Eichengreen, Park, and Shin (2012, 2013)). Indonesia melakukan
depresiasi mata uangnya (rupiah) baik selama Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Pada
tahun 1960 nilai rupiah terhadap dolar Amerika adalah 0,075, kemudian melemah menjadi 4
pada tahun 1965. Pada tahun 1998 nilainya menjadi 10.013 rupiah per dolar yang menguat
menjadi 8.770,4 rupiah per dolar pada tahun 2011. Mata uang Korea Selatan juga mengalami
pelemahan dalam periode observasi yang sama. Namun secara netto, pelemahan rupiah terjadi
secara masif jika dibandingkan dengan won. Dengan menggunakan rasio nilai tukar rupiah
terhadap dolar dibandingkan dengan won terhadap dolar maka akan diperoleh nilai rupiah
terhadap won yang memperlihatkan pelemahan rupiah secara sistematis dari 0,005738731
rupiah per won di tahun 1964 menjadi 7,91345212 di tahun 2011. Lihat Grafik7.Won sendiri
mengalami depresiasi terhadap dolar Amerika dari 63,13 won per dolar di tahun 1960 menjadi
1.108,3 won per dolar di tahun 2011.
Peluang Indonesia masih ada karena struktur penduduk Indonesia belum membuat
penduduk tua menjadi beban pembangunan (lihat Grafik 8). Bahkan dibandingkan Korea
Selatan yang sudah cenderung menjadi populasi dengan penduduk tuanya yang meningkat
hampir mencapai 18% , Indonesia baru akan mencapai 8% . Namun tentunya hal ini juga harus
disertai dengan kualitas sumber daya manusia yang semakin tinggi. Jika kualitas sumber daya
manusia tidak dapat diperbaiki dalam tempo yang secepatnya maka peluang ini akan menguap.

19

Mengelak dari Jebakan Pendapatan Menengah di Indonesia
Analisis Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional

Grafik 5. High-Technology Exports (current US$)

Sumber: World Development Indicator 2015

Grafik 6. Current Account Balance (current US$)

Sumber: World Development Indicator 2015

20

Faisal Basri, Gatot Arya Putra

Faisal Basri, Gatot Arya Putra

Mengelak dari Jebakan Pendapatan Menengah di Indonesia
Analisis Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional

Grafik 6a. Current Account per GDP (in Percent).

Sumber: World Economic Outlook 2015 Data Base.

Grafik 7. Perkembangan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Won

Sumber: Diolah dari data Tabel Penn World (PWT) 8.1
(Feenstra, Inklaar and Timmer 2015)

21

Mengelak dari Jebakan Pendapatan Menengah di Indonesia
Analisis Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional

Faisal Basri, Gatot Arya Putra

Grafik 8. Age Dependency Ratio, Old (% of working-age population)

Sumber: World Development Indicator 2015

Ancaman Serius Kepincangan Pendapatan dan
Kondisi Kesejahteraan Perkerja
Ketimpangan pendapatan merupakan indikator yang sangat serius untuk melihat apakah
Indonesia akan mampu melewati perangkap pendapatan memengah ataupun rendah. Taiwan
dan Korea Selatan secara relatif merupakan negara yang ketimpangan kekayaannya tidak
buruk. Rodrik (1994) mengatakan: “In Korea and Taiwan, unlike in so many other developing
countries, these additional requirements were present. Why? One important factor was clearly
the availability of relatively skilled labour, enabling the formation of a competent bureaucracy.
In addition, an exceptionally high degree of equality in income and wealth - one of the other
initial conditions mentioned earlier - was important as well. How exacdy did the latter help? The
absence of large inequities meant several things (Page 91-92).
Ia melanjutkan dengan manfaat pertama dari negara yang perekonomiannya tidak
pincang: “First, neither govemment had to contend with powerfiil industrial orlanded interest
groups. Such powerful groups had been decimated by the Japanese occupation (Korea), the
settlement by the mainland Chinese (Taiwan), and land reform (both countries). Therefore,
policy making and implementation could be insulated from pressure group politics. In both
countries, the implementation of growth-oriented policies required a number of institutional
reforms, including the centralization of functions previously distributed among multitudes of
ministries and agencies, and the creation of new bureaucracies. These institutional reforms
22

Faisal Basri, Gatot Arya Putra

Mengelak dari Jebakan Pendapatan Menengah di Indonesia
Analisis Resiko, Pemecahan Masalah dan Karakteristik Nasional

Grafik 9. Kepincangan Gini Rasio di Indonesia

Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat 2015. BPS.

could be undertaken relatively autonomously, and with litde pressure from the push and pull of
daily politics. Economic laws and regulations could be written by technocratic elites, with litde
concern for their effect on organized pressure groups.”
Selanjutnya ia menambahkan: “Second, the absence of large-scale inequities meant that
governments felt no immediate need to undertake redistributive policies. The analytical literature
on the political economy of growth suggests that regimes which inherit large inequalities are
constandy under pressure to implement growth-retarding policies An example is the pursuit of
populist fiscal and microeconomic policies (as in much of Latin America) which engender high
inflation, stop)—go cycles and low growth. The political leadership in Taiwan and Korea could
concentrate on expanding the pie instead.”
Terakhir ia mengakhiri pentingnya perekonomian yang tidak pincang kesejahteraannya
bagi suksesnya kebijakan industri: “Third, and related to the above, the fact that the top political
leaders were free tofocus on economic goals meant that they could supervise the bureaucracy
closely. This is important because interventionist regimes are prone to two fatal problems having
their origin in the bureaucracy. The first is that interventions naturally generate opportunities for