Perbandingan Sistem Pemerintahan Khilafah dengan Sistem Pemerintahan Demokrasi di Indonesia.

(1)

PERBANDINGAN SISTEM PEMERINTAHAN KHILAFAH DENGAN SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan kebudayaan Islam (SKI)

Oleh:

AGUNG CAHYA KURNIAWAN NIM: A82210071

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2015


(2)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Perbandingan Sistem Pemerintahan Khilafah Dengan Sistem pemerintahan Demokrasi. Fokus masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah : 1) Bagaimana sistem pemerintahan khilafah. 2) Bagaimana sistem pemerintahan Demokrasi. 3) Bagaimana perbandingan antara sistem Khilafah dengan sistem Demokrasi.

Untuk mengidentifikasi permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan historis, maksudnya dalam mendiskripsikan masalah ini penulis menggambarkan pemerintahan Khilafah dan pemerintahan Demokrasi. Untuk itu penulis menggunakan kerangka teori Abul A’la Al-Maududi tentang tujuan diselenggarakannya Negara. Penelitian ini merupakan studi kepustakaan yang dilakukan dengan cara menelaah buku-buku yang berhubungan dengan Khilafah dan Demokrasi.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa : 1) Khilafah berasal dari bahasa arab yang berarti pemerintahan. Dari segi epistemologi, khilafah adalah suatu sistem pemerintahan yang dipimpin oleh seorang khalifah yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam sistem khilafah, kedaulatan tertinggi berada di tangan Tuhan, dalam hal ini syara’, dan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. 2) Kata

demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan cratein yang berarti

pemerintahan. Secara sederhana, arti demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat. Dalam teori demokrasi, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. 3) Kedua sistem antara sistem Khilafah dan Demokrasi memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Dalam sistem Khilafah kedaulatan tertinggi berada ditangan Tuhan (Allah SWT) sedangkan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Namun dalam sistem demokrasi yang berslogan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Terlihat bahwa dalam sistem demokrasi rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem pemerintahan.


(3)

ABSTRACT

This thesis titled Comparative Government System of caliphate With Democratic governance system. The focus of the issues examined in this thesis are: 1) How does the system of government caliphate. 2) How is the government system of Democracy. 3) What is the ratio between the caliphate system with democratic system. To identify these problems, this study takes a historical approach, meaning in describing these problems and the authors describe the Caliphate ruling Democratic administration. To the authors use a theoretical framework Abul A'la Al-Maududi on the objective of the State. This study is a literature study that was done by reviewing the books related to the Caliphate and Democracy.

This study concludes that: 1) the Caliphate derived from Arabic which means government. In terms of epistemology, the caliphate was a system of government headed by a caliph who cling to the Qur'an and Sunnah. In the caliphate system, supreme sovereignty in the hands of God, in this case the Personality ', and the highest

power in the hands of the people. 2) The word democracy comes from the word demos

meaning people and cratein which means government. Simply put, the meaning of

democracy is government by the people. In democratic theory, supreme sovereignty vested in the people. 3) Both systems between the Caliphate and Democracy has advantages and disadvantages of each. In the caliphate supreme sovereignty in the hands of God (Allah) while the highest power in the hands of the people. But in a democratic system that slogan power of the people, by the people and for the people. Seen that in a democratic system the people are sovereign supreme in the government system.


(4)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM

PERNYATAAN KEASLIAN ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

MOTTO... iv

PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

TRANSLITERASI ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kegunaan Penelitian ... 5

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik ... 6

F. Penelitian Terdahulu ... 7

G. Metode Penelitian ... 8

H. Sistematika Pembahasan ... 10

BAB II SISTEM PEMERINTAHAN KHILAFAH A. Pengertian Pemerintahan Khilafah ... 12


(5)

C. Kebijakan-Kebijakan Dalam Sistem Khilafah ... 32

BAB III SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI

A. Pengertian Pemerintahan Demokrasi ... 39

B. Sistem pemerintahan Demokrasi di Indonesia ... 45

C. Kebijakan-Kebijakan Dalam Sistem Demokrasi ... 60

BAB IV PERBANDINGAN SISTEM KHILAFAH dan DEMOKRASI

A. Keunggulan dan Kelemahan Sistem Khilafah ... 66

B. Keunggulan dan Kelemahan Sistem Demokrasi ... 72

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 80 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA ... 82


(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem pemerintahan yang diterapkan dalam suatu Negara memiliki perbedaan oleh latar belakang Negara yang berbeda. Penggunaan sistem pemerintahan dalam suatu Negara terkadang merupakan suatu proses trial dan juga termasuk didalamnya persaingan untuk mendapatkan pengaruh, kekuasaan, dan faktor kepentingan.

Sistem pemerintahan Islam yang ada pada masa awal perkembangan Islam (Masa Nabi Muhammad) dapat menciptakan masyarakat yang

berkeadaban yang pada mulanya berpola pikir jahiliyyah. Nabi Muhammad

SAW berperan sebagai pemimpin yang tidak dapat di bantah (Unguestionable

Leader) bagi NegaraIslam yang baru lahir pada masa itu. Sebagai Nabi, beliau meletakkan prinsip-prinsip Agama (Islam) seperti: Memimpin shalat, menyampaikan berabagai khotbah. Sebagai negarawan, beliau mengutus duta keluar negeri untuk membentuk angkatan perang, dan membagikan rampasan perang secara adil dan bijaksana. Dalam masa pemerintahannya, beliau membentuk piagam Madinah yang dianggap sebagai dokumen HAM, yang berisi tentang persaudaraan dengan ikatan iman yang bersifat ideologis dan


(7)

landasan bagi prinsip saling menghormati dan menghargai di antara muslim dan yang bukan muslim.

Pada masa Khulafaurrasyidin yang berlangsung selama 30 tahun, pemerintahan Islam sudah mulai mengalami berbagai perubahan yang menimbulkan berbagai konflik yang mulai tampak tajam pada masa Kholifah ke 3 ( Usman Bin Affan ra). Pada masa itu muncullah bermacam-macam ideologis seperti Favoritisme dan Nepotisme yang dilakukan oleh sekelompok pejabat pemerintahan, yang pada akhirnya mengakibatkan terbunuhnya Utsman itu sendiri.

Pada masa Ali pemerintahan Islam mengalami gejolak yang lebih dahsyat. Saat itu muncul berbagai ragam faksi politik, yang membentuk spektrum pemikiran politik Islam, yaitu kaum Khawarij, Syiah, dan Sunni. Yang setiap kelompok ini mempunyai pemikiran yang saling berseberangan

dan kaum-kaum tersebut dan membentuk ideologinya masing-masing.1 Pada

masa-masa berikutnya sistem pemerintahan Islam lebih cenderung ke sistem warisan yang dimulai ketika masa Muawiyah pada pemerintahan Dinasti

Umayah.2

Indonesia hingga saat masih ini menggunakan sistem demokrasi dalam menjalankan ke pemerintahannya. Demokrasi dianggap efektif bagi perkembangan Indonesia karena pada masa sebelumnya, beberapa macam

1

Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), 98-99.

2


(8)

sistem pernah diaplikasikan di Negara ini. Sistem demokrasi di Indonesia mengandung nilai-nilai keislaman karena sebagian besar penduduk dan pemimpin berasal dari umat Islam. Keadaan ini dapat juga disebut pemerintahan Islami atau sistem pemerintahan yang mengakomodasi nilai-nilai keIslaman. Dalam sistem pemerintahan demokrasi Indonesia, dibentuk daerah-daerah otonom untuk menjalankan proses demokrasi, agar dapat memperkecil tekanan pemerintahan, meningkatkan kebebasan politik dan tingkat kesejahteraan manusia.

Menurut Robet A. Dahl: "Otonom akan menimbulkan peluang-peluang untuk melancarkan destruksi. Setiap daerah otonom dapat berpeluang untuk mengabadikan ketidakadilan, melestarikan egoisme sempit dan juga untuk

menghancurkan demokrasi itu sendiri".3 Sehingga menurutnya setiap daerah

otonom harus memiliki kualitas dan pengawasan tertentu. Selain itu, pada sistem demokrasi di Negeri ini yang menggunakan pemilu dengan sistem multipartai, dalam pemilihan wakil-wakil rakyat saja masih terdapat banyak kekurangan, seperti operasional yang besar tapi tidak efektif, sebagai contoh adalah lambatnya perhitungan suara dan kondisi IT yang amburadul, padahal biaya IT sangatlah besar, sehingga mensinyalir ada unsur KKN. Dilihat dari tendernya saja, pengadaan IT pemilu tidak melalui lelang, tetapi melalui penunjukan langsung. Ini menjadi tanggung jawab bagi para pemimpin dan

3

Robert A. Dahl. Dilema Demokrasi pluralis: Antara Otonomi dan Control (Jakarta: Rajawali,1985.), 53.


(9)

yang dipimpin (rakyat), dan juga kita sebagai mahasiswa sebagai generasi masa depan.

Kita harus bisa membuat suatu perubahan ke arah yang lebih baik dan harus bersikap lebih dewasa dalam segala hal. Karena salah satu bentuk ketidakdewasaan adalah melakukan hal yang sama secara berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda. Ironis memang, jika kita melihat masalah-masalah yang terjadi dalam pemilu yang berskala nasional saat ini, Jika melihat realita yang terjadi ketika diadakan pesta demokrasi skala kecil seperti di sekolah atau di tingkat perguruan tinggi, kita masih merasa kesulitan dalam menghadapi masalah yang muncul.

Sebagai solusi kita harus bisa mengatasi penyebab runtuhnya umat Islam pada masa ini. Kita juga harus bisa meneladani dan mengambil hikmah kisah yang terjadi pada zaman khalifah Ali ra. Ketika ada seorang sahabat yang bertanya kepada beliau, "Ya.. Ali…!!, Pada masa khalifah Abu Bakar keadaan umat Islam tidak kacau seperti ini, begitu juga pada masa khalifah Umar dan Utsman ". Kemudian Ali menjawab: "Dulu ketika masa pemerintahan Abu Bakar, Umar dan Usman, mereka memimpin orang-orang seperti aku dan sekarang aku memimpin orang-orang seperti kamu". Artinya adalah Keberhasilan seorang pemimpin bukan hanya di tentukan oleh pemimpin itu sendiri, tetapi lebih dari itu oleh orang-orang yang dipimpinnya.


(10)

Dari bebrapa hal tersebut di atas penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Perbandingan sitem pemerintahan Khilafah dan sistem pemerintahan Demokrasi”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pokok masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ; “ Perbandingan Sistem Pemerintahan Khilafah dan Demokrasi”.

Untuk menjabarkan pokok masalah tersebut, penulis mengemukakan beberapa sub masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sistem pemerintahan Khilafah ?

2. Bagaimana sistem pemerintahan Demokrasi ?

3. Bagaimana perbandingan sistem pemerintahan Khilafah dan Demokrasi ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sistem dan kebijakan dalam pemerintahan Khilafah

khususnya pada masa Muawiyah.

2. Untuk mengetahui sistem dan kebijakan pemerintahan Demokrasi

khusunya di Indonesia.

3. Untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan dalam kedua sistem Khilafah

dan Demokrasi.


(11)

1. Diharapkan dapat memberikan kontribusi intelektual guna menambah

khasanah ilmiah dibidang Sejarah Kebudayaan Islam, khususnya di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.

2. Diharapkan dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi kalangan

Akademis, terutama menyikapi kebradaan sejarah masa lampau untuk pelajaran di masa kini dan yang akan datang.

3. Diharapkan dapat memberi manfaat bagi kalangan mahasiswa yang

bergelut dalam bidang sejarah dan kebudayaan Islam.

E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

1. Pendekatan

Dalam penelitian tentang perbandingan sistem pemerintahan Khilafah dan sistem pemerintahan Demokrasi penulis menggunakan pendekatan histories, maksudnya didalam mendiskripsikan masalah ini penulis menggambarkan pemerintahan Khilafah Umayyah dan pemerintahan Demokrasi di Indonesia.

Melakukan pendekatan politik, dimana pendekatan ini digunakan untuk

mengetahui politik Umayyah dan sistem Demokrasi di Indonesia mengenai kebijakan-kebijakan yang berlaku dalam sistem tersebut.


(12)

2. Kerangka Teori

Secara umum penelitian ini adalah tentang histories, selain itu penulisan

dalam skripsi ini juga menggunakan teori max weber tentang kepemimpinan, menurutnya ada 3 tipe kepemimpinan yang dimilki oleh

para pemimpin agama yaitu pertama, tipe kepemimpinan kharismatik

bahwa keparuhan diberikan kepada pemimpin yang diakui karena sifat-sifat

keteladanan pribadi yang dimilikinya. Kedua, kepemimpinan tradisional

bahwa tugas mereka adalah mempertahankan aturan-aturan yang telah

berlaku dalam agama, dan ketiga, kepemimpinan legal bahwa kekuasaan

bersumber dan dibatasi oleh hukum.4

Selain teori tersebut penulis juga menggunakan teori Abul A’la

Al-Maududi tentang tujuan diselenggarakannya Negara yaitu pertama untuk

mengelakkan terjadinya eksploitasi manusia, kelompok, atau

antar-kelas dalam masyarakat. Kedua untuk memelihara kebebasan (ekonomi,

politik, pendidikan dan agama) para warga Negara dan melindungi seluruh

warga Negara dari invasi asing. Ketiga untuk menegakkan sistem keadilan

sosial yang seimbang sebagaimana di kehendaki oleh Al-qur’an. Keempat

untuk memberantas setiap kejahatan dan mendorong setiap kebijakan. Kelima

menjadikan Negara itu sebagai tempat tinggal yang teduh dan mengayomi bagi

setiap warga Negara dengan jalan pemberlakuan hukum tanpa diskriminasi.5

4

S. Riberu, Dasar-Dasar Kepemimpinan (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992),5.

5


(13)

Dari teori ini penulis berharap dapat meneliti kelebihan dan kelemahan apa dalam perbandingn sistem pemerintahan Khilafah dan sistem pemerintahan Demokrasi.

F. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu merupakan usaha untuk menunjukkan sumber-sumber yang terkait dengan judul skripsi ini, sekaligus menelusuri tulisan atau penelitian tentang masalah yang dipilih dan juga untuk membantu penulisan dalam menemukan data sebagai bahan perbandingan, supaya data yang dikaji itu lebih jelas.

Dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan beberapa literatur sebagai bahan bacaan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Di antara literatur

yang penulis pergunakan dalam menyusun skripsi ini, antara lain; Khilafah dan

Kerajaan karangan Abul A’ala Al-maududi, membahas antara lain sejarah pemerintahan Islam, hanya beberapa dasawarsa setelah sepeninggal Rosulullah s.a.w.

Buku Sejarah Peradaban Islam karangan Dedi Supriyadi membahas

tentang peradaban Islam semenjak sejarah pra-Islam sampai peradaban modern Islam di Asia tenggara termasuk Indonesia.

Skripsi dengan judul Kebijakan Politik Muawiyah: Khilafah Pertama


(14)

G. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah

Nugroho Noto Susanto,6 dimana langkah-langkah dapat dijabar meliputi

beberapa pokok:

1. Heuristik, yaitu proses mencari untuk menemukan sumber-sumbernya.

Maksudnya adalah kegiatan mengumpulan buku-buku yang ada hubungannya dengan pembahasan dalam skripsi ini. Sedangkan data dari pembahasan ini hanyalah melalui sumber kepustakaan, yang bisa dipakai untuk bahan rujukan yang sesuai dengan pembahasan dalam sekripsi berjudul “Perbandingan sistem pemerintahan Khilafah dan sistem pemerintahan Demokrasi.

2. Pengolahan data, yaitu untuk memperoleh fakta yang valid sesuai dengan

penulisan skripsi ini, maka data-data itu diolah melalui:

a. Selektif data, yaitu memilih data yang dianggap sesuai dengan

penulisan skripsi berjudul “Perbandingan sistem pemerintahan Khilafah sistem pemerintahan Demokrasi.

b. Komparatif, yaitu membandingkan fakta-fakta dari

fenomena-fenomena sejenis pada periode masa lampau untuk memudahkan dalam skripsi berjudul “Perbandingan sistem pemerintahan Khilafah dan sistem pemerintahan Demokrasi.

6

Nugroho Notosusanto, Masalah penelitian Sejarah Kontemporer (Jakarta: Yayasan Idayu, 1978), 11-12.


(15)

3. Interpretasi, yaitu menetapkan makna yang saling berhubungan dari

fakta-fakta yang telah diperoleh.

4. Historiografi, yaitu langkah untuk menyajikan hasil penafsiran fakta sejarah

ke dalam bentuk-bentuk tulisna menjadi kisah.7 Artinya: dari

sumber-sumber yang ada disusun menjadi suatu kisah dalam hal ini yaitu “Perbandingan sistem pemerintahan Khilafah dan sistem pemerintahan Demokrasi.

Setelah pengolahan data dan interpretasi terhadap data tentang penulisan sistem Khilafah dan sistem Demokrasi Indonesia , selanjutnya penulis menyajikan dalam bentuk tulisan Perbandingan sistem pemerintahan Khilafah dan Demokrasi.

H. Sistematika Pembahasan

Dalam penulisan skripsi ini pembahasannya dibagi menjadi lima bab, yang antara satu dan yang lainnya berkaitan.

Pada bab pertama berisi pendahuluan yang terdidri dari sub bab antara lain : Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Pendekatan dan Kerangka Teotik, Penelitian Terdahulu, Metode Penelitian, Sistematika Pembahsan, dan Daftar Pustaka.

7


(16)

Setelah membahas pendahuluan, penulis menguraikan mengenai definisi sistem pemerintahan Khilafah, serta kebijakan-kebijakan di dalam sistem tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran umum tentang bagaimana sistem khilafah tersebut berjalan.

Bab ketiga ini penulis mengemukakan tentang bagaimana sistem Demokrasi dan kebijakan-kebijakan apa yang terdapat dalam sistem tersebut. Setelah pembahsan ini, baru menginjak pembahsan mengenai bab keempat yaitu perbandingan sistem Khilafah dan sistem Demokrasi.

Dalam bab keempat ini penulis mengemukakan tentang perbandingan sistem Khilafah dan sistem Demokrasi meliputi kelebihan dan kelemahan apa saja yang terdapat pada kedua sistem tersebut.

Setelah bab demi bab dibahas, berikutnya penulis mengemukakan kesimpulan dari uraian yang telah dijabarkan pada bab terdahulu dan juga serangkain saran sebagai sumbangan pemikiran dari penulis.


(17)

BAB II

SISTEM PEMERINTAHAN KHILAFAH

A. Pengertian Pemerintahan Khilafah

Istilah khilafah memiliki beberapa pengertian yaitu perwakilan, pergantian, atau jabatan khalifah. Istilah ini sebenarnya berawal dari kata Arab “khalf” yang berarti wakil, pengganti dan penguasa, ada juga yang mengemukakan bahwa kata “kh-l-f” dalam berbagai bentuknya mengandung makna yang menyempit yaitu berselisih, menyalahi janji, yang kemudian

melahirkan kata khilafah dan khalifah.8

Dalam sejarah Islam istilah khilafah pertama kali digunakan ketika Abu Bakar menjabat sebagai khalifah pertama setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia. Dalam pidato pelantikannya Abu Bakar menyebut dirinya sebagai khalifah Rasulillah dalam pengertian pengganti Rasulullah dalam mengurusi bidang keNegaraan.

Dalam perkembangannya, konsep khilafah menjadi ciri dari golongan

sunni. Rukun utama dalam pengangkatannya adalah ijma’ yaitu consensus atau

kesepakatan bersama dan bay’ah atau sumpah setia umat kepada khalifah agar

berpegang teguh kepada syariah.

8Ahmad Warison Munawwir, Kamus Al-munawwi, Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif,


(18)

Menurut Dawam Raharjo, khalifah yakni kepala Negara dalam pemerintahan Islam, memang merupakan istilah Quran. Tetapi dalam al-Quran istilah ini memiliki banyak arti atau interpretasi. Oleh karenanya kata-kata yang mengandung istilah pengertian khalifah tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum mengenai wajibnya mendirikan suatu khilafah atau kekuasaan politik. Menurut Dawam, Allah telah mengisyaratkan satu konsep tentang manusia, yaitu sebagai khalifah. Khalifah adalah suatu fungsi yang di emban manusia berdasarkan amanat yang diterimanya dari Allah SWT. Amanat ini pada intinya adalah tugas mengelola bumi secara bertanggung jawab, dengan

menggunakan akal yang telah dianugrahkan Allah kepadanya.9

Abu A’-la Al-Maududi yang menggagas teori teodemokrasi dalam Islam memandang kekhilafahan menuntut adanya ketaatan antara yang diberi (manusia) dengan yang member (Tuhan).

Maududi juga menekankan bahwa kekhalifahan harus berisi kepatuhan, dan kepatuhan itu tidak lain adalah kepada sang pencipta dan sistem pemerintahan yang memalingkan diri dari Allah SWT menjadi sistem yang lepas dan bebas memerintah dengan dan untuk dirinya sendiri adalah

pemberontakan atau kudeta melawan sang pencipta.10

9M Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep

Kunci(Jakarta: Paramadina, 1996), 363-364.

10Abdul A’la al-Maududi, Al-Khilafah Wa-al Mulk, (tej) Khilafah dan Kerajaan (Bandung: Mizan


(19)

Sementara Muhammad Rasyid Ridha seorang ulama dan politikus kenamaan mendefinisikan Khalifah, Imamah, dan imarah sebagai tiga kalimat yang bermakna satu, yaitu kepemimpinan NegaraIslam yang meliputi

kemaslahatan dunia dan agama.11

Letak perbedaan dari jenis-jenis pemerintahan yang satu dan yang lainnya adalah perbedaan undang-undang. Jenis undang-undang akan menjelaskan suatu karakter pemerintahan. Undang-undang adalah ruh bagi

setiap sistem atau tatanan sosial dan menjadi dasar eksistensi.12 Sebagai contoh

suatu pemerintahan yang menganut sistem kerajaan umumnya memiliki tabiat natural yakni insting, yakni kecenderungan dan keinginan insting yang tersusun dalam satu individu: seperti egoisme dan keinginan untuk menjadi arogan dan despotis. Jenis pemerintahan yang demikian itu dapat menjadi sebuah pemerintahan yang otoriter, individualis, otokrasi, dan dikhawatirkan lagi pemerintahan itu dapat menghasilkan suatu kondisi perpecahan dan kehancuran suatu Negara.

Jika suatu perundang-undangan diputuskan oleh para intelektual dan pembesar Negara, kebijakan politiknya disebut rasional: dan jika aturan-aturan itu berasal dari Allah yang memutuskan dan mensyariatkannya, maka orientasi politiknya adalah religious, bermanfaat dalam kehidupan keduniaan dan keakhiratan. Adapun model pemerintahan yang berorientasikan kekerasan,

11Al-Hasjmy, Dimana Letaknya NegaraIslam (Bina Ilmu, 1984), 153. 12M Dhiaudin Rais, Teori politik Islam (Jakarta: Gema Insani Pres, 2001), 87.


(20)

penindasan, dan mengesampingkan potensi kemarahan rakyatnya pastilah akan

menimbulkan kerusakan dan permusuhan. Model seperti ini tidaklah terpuji.13

Mengenai keimamhan atau kekhilafahan maka pemerintahan yang demikian itu adalah pemerintahan yang menjadikan syariat Islam sebagai

undang-undang, yaitu prinsip-prinsip bersumber dari al-Qur’an, al-Sunnah.

Selain itu hukum-hukumnya dapat berpegang dan bercabang kepada empat

sumber hukum: al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Dengan demikian

menurut Dhiauddin Ra’is, di dalam undang-undang Islam tersebut, terhimpun

hikmah logika individu dan kolektif, bimbingan Nabawi, serta tujuan Ilahi.14

Menurut Ibnu Khaldun, untuk menciptakan suatu Negara yang bisa tegak dan kuat, maka dibutuhkan suatu ketetapan hukum politik yang bisa diterima dan diikuti oleh rakyat. Namun, hukum tersebut tidak semata didasarkan kepada akal, sebagaimana hukum itu dibuat oleh para terkemuka, bijaksana, cerdik, pandai melainkan ditentukan oleh Allah melalui perantara Rasul, maka pemerintahan yang demikian disebut berdasarkan agama. Dalam hal ini Ibnu Khaldun sebagai ilmuwan yang religious memandang pentingnya

sebuah pemerintahan yang mengedepankan orientasi dunia dan

akhirat.Menurutnya manusia tidak diciptakan hanya untuk di dunia ini saja yang penuh dengan kehampaan dan kejahatan yang akhirnya hanyalah mati dan

13Ibid., hal 88.


(21)

kesirnaan belaka. Dan Allah berfirman; “Apakah kamu mengira bahwa kami

menjadikan kamu dengan sia-sia.”15

Dalam pandangan Ibnu Khaldun suatu hukum politik dibuat hanya untuk mengatur manusia tentang barang-barang lahir, kepentingan duniawi. Sedangkan hukum-hukum Allah bertujuan mengatur perbuatan manusia dalam segala hal, ibadah mereka, tata cara hidup mereka, dan juga berhubungan dengan Negara.

Maka tidaklah dibenarkan suatu Negara yang didasarkan kepada penaklukan dan paksaan pemuasan dorongan kemarahan karena hal tersebut dianggap sebagai sebuah penindasan dan penyerangan, dan merupakan perbuatan tercela, baik di sisi Allah, pemberi hukum, maupun dalam pandangan

kebijaksanaan politik.16

Dari beberapa pengertian tentang khilafah yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang dipimpin oleh khalifah yang menaungi seluruh umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan seperti ketatanegaraan, muamalah (jual beli, hubungan antar manusia, dll). Khilafah disebut juga imamah yang artinya

kepemimpinan. Hukum yang digunakan khilafah adalah Al-Qur’an, As

Sunnah, dan Ijma’ sahabat.

15Al-Qur’an, surat 23 : ayat 115.


(22)

B. Sejarah Perkembangan Kekhilafahan

1. Pada Masa Khulafaur Rasyidin

a. Proses pengangkatan Abu Bakar ra. Sebagai Khalifah

Abu Bakar menjadi khalifah sejak 11-13 Hijriyah / 632-634M. Proses pengangkatan Abu Bakar Ra, sebagai khalifah berlangsung dramatis. Setelah Rasulullah wafat, kaum muslim di Madinah, berusaha utuk mencari penggantinya. Ketika kaum Muhajirin dan Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah terjadi perdebatan tentang calon khalifah. Masing-masing mengajukan argumentasinya tentang siapa yang berhak sebagai khalifah. Kaum Anshar mencalonkan Said bin Ubaidillah, seorang pemuka dari suku al-Khajraj sebagai pengganti nabi. Dalam kondisi tersebut Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah bergegas menyampaikan pendirian kaum muhajirin, yaitu agar menetapkan pemimpin dari kalangan Quraisy. Akan tetapi hal tersebut mendapat perlawanan keras dari al-Hubab bin munzir (kaum Anshar). Di tengah perdebatan tersebut Abu Bakar mengajukan dua calon khalifah yaitu Abu Ubaidah bin Zahrah dan Umar bin Khattab, namun

kedua tokoh ini menolak usulan tersebut.17

Akan tetapi Umar bin Khattab tidak membiarkan proses tersebut semakin rumit, maka dengan suara yang lantang beliau membaiat Abu

17 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1990),


(23)

Bakar sebagai khalifah yang diikuti oleh Abu Ubaidah. Kemudian proses pembaiatanpun terus berlanjut seperti yang dilakukan oleh Basyir bin Saad beserta pengikutnya yang hadir dalam pertemuan

tersebut.18

Proses pengangkatan Abu Bakar ra, sebagai khalifah pertama, menunjukkan betapa seriusnya masalah suksesi kepemimpinan dalam masyarakat Islam pada saat itu, dikarenakan suku-suku Arab kepemimpinan mereka didasarkan pada sistem senioritas dan prestasi, tidak diwariskan secara turun temurun.

b. Proses Pengangkatan Umar bin Khattab Sebagai Khalifah

Berbeda dengan proses pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah. Abu Bakar terpilih secara demokratis melalui proses perdebatan yang cukup panjang, hingga akhirnya ia terpilih sebagai khalifah yang sah. Sementara Umar Bin Khattab diangkat melalui penunjukan yang dilakukan khalifah Abu Bakar setelah mendapatkan persetujuan dari para sahabat besar. Hal itu dilakukan khalifah guna menghindari pertikaian politik antara umat Islam sendiri.

Ketika Abu Bakar jatuh sakit pada musim panas tahun 634 M dan selama 15 hari tidak kunjung sembuh, ia memanggil para sahabat

18 Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta: Akbar Media


(24)

besar dan mengemukakan keinginannya. Beliau menginginkan sebelum

meninggal, kekuasaa sudah berada ditangan pengganti yang benar.19

Setelah mendengar penjelasan khalifah, Usman sangat setuju dengan pendapat khalifah mengenai penunjukan Umar bin Khattab sebagai penggantinya kelak. Karena menurut Usman Bin Affan, Umar adalah orang yang sangat tegas dan bijaksana. Mendengar hal ini, beberapa sahabat terkemuka, yang dikepalai oleh Thalhah, mengirim delegasi menemui Abu bakar, dan berusaha meyakinkannya supaya tidak menunjuk Umar untuk menggantikan sebagai khalifah.

Tidak lama setelah proses penyaringan pendapat tersebut, khalifah Abu Bakar meninggal dunia. Jenazah Abu Bakar Ash-Shiddiq kemudian dimakamkan dirumah Siti Aisyah berdampingan dengan makam Nabi Muhammad SAW. Dengan meninggalnya khalifah Abu Bakar, maka pemerintahan dipegang oleh khalifah baru yaitu Umar Bin

Khattab.20

c. Proses Pengangkatan Ustman bin Affan ra. Menjadi Khalifah

Umar ra menetapkan perkara pengangkatan khalifah di bawah Majelis Syura yang beranggotakan enam orang, mereka adalah: Utsman bin Affan ra., Ali bin Abi Thalib ra., Thalhah bin ‘Ubaidillah ra, Az-Zubair bin Awwam ra, Sa’ad bin Abi Waqqash ra. Dan Abdur Rahman

19 Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, 155-156. 20 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, 24.


(25)

bin ‘Auf ra. Umar ra.merasa berat untuk memilih salah seorang di antara

mereka. Beliau berkata, ” Aku tidak sanggup untuk bertanggung jawab

tentang perkara ini baik ketika aku hidup maupun setelah aku mati. Jika Allah SWT menghendaki kebaikan terhadap kalian maka Dia akan membuat kalian bersepakat untuk menunjuk seorang yang terbaik di antara kalian sebagaimana telah membuat kalian sepakat atas penunjukan orang yang terbaik setelah nabi kalian.

Ketika Umar meninggal dunia, para sahabat berkumpul di rumah Aisyah RA, kecuali Thalhah yang sedang berada di luar kota. Mereka pun bermusyawarah, siapa sebaiknya yang patut menggantikan Umar. Di tengah membicarakan mekanismenya, Abdurrahman angkat bicara, “Siapa di antara kalian yang mengundurkan diri dari pencalonan ini, maka dia berhak menentukan siapa pengganti Khalifah Umar.” Tak seorang pun yang berkomentar. Maka, Abdurrahman berinisiatif mengundurkan diri. Yang lain berjanji akan tetap bersama Abdurrahman, dan menerima apa yang akan diputuskannya.

Meski sudah mendapat mandat dari para calon ahli surga, Abdurrahman tak mau gegabah untuk memutuskan siapa yang mesti dipilih sebagai khalifah. Selama tiga hari tiga malam Abdurrahman

mendatangi berbagai komponen masyarakat untuk didengar

aspirasinya. Pada hari ketiga, barulah Abdurrahman memutuskan Utsman sebagai pengganti Umar. Abdurrahman membaiat Utsman,


(26)

diikuti oleh para sahabat lainnya, termasuk mereka yang disebut-sebut

oleh Rasulullah SAW sebagai ahli surga.21

d. Proses Pengangkatan Ali bin Abi Thalib ra. Menjadi Khalifah

Akhir hayat Utsman juga sama dengan yang dialami oleh Umar bin Khaththab, dibunuh oleh seseorang yang tak menyukai Islam terus berjaya. Sepeninggal Utsman, Ali didatangi oleh kaum Anshar dan Muhajirin. Mereka bersepakat untuk membaiat Ali. Tapi Ali menolaknya, karena ia memang tidak berambisi untuk menduduki jabatan duniawi. Tak ada pilihan, tak ada tokoh sekaliber dia. Umat pun terus mendesak. Akhirnya Ali luluh, dan berucap, “Baiklah, kalau begitu kita lakukan di masjid saja.” Dan Ali, dibaiat di dalam masjid.

2. Pada Masa Mu’awiyah a. Biografi Mu’awiyah

Mu’awiyah bin Abu Sufyan lahir di kota Makah pada Rajab 60/April 603M dan meninggal dunia pada tahun 60 H/680M adalah seorang bangsawan Quraisy. Pendiri dan khalifah pertama Bani

Umayyah (41-61H/April 680M).22 Nama Bani Umayyah berasal dari

nama Umayyah ibnu ‘Abdi Manaf, yaitu salah seorang pemimpin kabilah Quraisi di zaman jahiliyah. Umayyah berasal dari keluarga

21 Ibid, 25.

22Dewan redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, Jilid II (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,


(27)

bangsawan serta mempunyai cukup kekayaan dan memiliki 10 orang

putra yang terhormat dalam masyarakat.23 Nama lengkap Mu’awiyah

adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Manaf. Sebagai keturunan Abdi Manaf, Mu’awiyah mempunyai hubungan keluarga dengan Nabi Muhammad SAW. Mu’awiyah bin Abu Sufyan lahir di zaman jahiliyah. Ia menganut agama Islam di hari penaklukan kota Makkah pada tahun 629M bersama-sama dengan tokoh-tokoh Quraisy lainnya.

Dengan demikian teranglah bahwa Mu’awiyah biu Abu Sufyan termasuk orang yang terakhir masuk agama Islam, dan diantara Bani Umayyah banyak yang dahulunya merupakan musuh-musuh Islam. Tetapi setelah ia masuk Islam mereka dengan segera memperlihatkan semangat kepahlawanan yang jarang tandingannya, seolah-olah mereka ingin mengimbangi keterlambatan mereka itu dengan berbuat jasa-jasa yang besar terhadap agama Islam, dan agar orang lupa terhadap sikap dan perlawanan mereka terhadap agam Islam sebelum mereka memasukinya. Mereka benar-benar telah mencatat prestasi yang baik dalam peperangan yang dilancarkan terhadap orang-orang yang murtad


(28)

dan orang-orang yang mengaku menjadi Nabi, serta orang-orang yang

tidak membayar zakat.24

Ambisi politik Mu’awiyah bin Abu Sufyan sudah terlihat ketika

ia baru masuk Islam ia selalu bersaing dengan pamannya Hasyim. Wibawanya di mata kaum Quraisy memang tidak pernah rendah. Selain keturunan bangsawan ia juga kaya dan memiliki pengaruh luas di dalam masyarakat. Atas dasar itulah Mu’awiyah binAbu Sufyan pantas menjadi pemimpin di Dunia Islam.

Pengangkatan dirinya sebagai pemegang pucuk pemerintah berlangsung melalui proses yang panjang, bermula dari terbunuhnya Khalifah Utsmman bin Affan dan digantikan oleh Ali bin Abu Thalib. Mu’awiyah mempunyai ambisi untuk menggantikan Utsman karena Ali telah dibaiat. Meskipun demikian, Mu’awiyah bin Abu Sufyan tidak kehabisan akal dalam merongrong pemerintahan Khalifah keempat ini. Ia menuntut balas atas kematian Utsman, yang mengakibatkan meletusnya suatu pertempuran dahsyat yang dikenal dalam sejarah dengan perang siffin. Ketika Ali sudah hampir memenangi peperangan tersebut, Mu’awiyah bin Abu Sufyan bersama kelompok mengusulkan

24Ahmad Al-usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta: Akbar Media


(29)

gencatan senjata dan menyelesaikan persoalan dengan tahkim (

menggunakan hakim).25

Semenjak terjadinya peristiwa tahkim itu sebagian pasukan Ali memisahkan diri karena tidak setuju dengan tahkim tersebut.Kelompok yang memisahkan diri ini menamakan dirinya kelompok Khawarij.

Sebaliknya, tentara Mu’awiyah bin Abu Sufyan masih kuat tetap utuh.

Akhirnya kemenangan jatuh ditangan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, terutama karena kematian Ali ditangan salah seorang kaum Khawarij, yang bernama Abdur Rahman bin Muljam pada januari 661. Mu’awiyah menggunakan kesempatan ini untuk menyusun strategi dengan baik dalam rangka mengambil alih kekosongan pemerintahan.

b. Pertumbuhan awal Bani Umayyah

Periode Negara Madinah berakhir dengan wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Dengan wafatnya Ali bin Abi Thalib, maka

dianggap berakhirnya satu era yakni era Khulafaur Rasyidin.26

Tidak lama setelah Ali wafat, kemudian Hasan putra tertua Ali dinobatkan sebagai Khalifah dari Kufah oleh pengikut setia Ali. Sementara di Syam, kedudukan Mu’awiyah semakin kokoh didukung oleh penduduknya. Dalam kondisi transisi tersebut, Mu’awiyah tidak

25Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, 248.

26 M Hasbi Aminuddin, Konsep Agama Islam Menurut Fazhur Rohman (Yogyakarta: UI Press, 2000),


(30)

menyia-nyiakan kesempatan dengan melancarkan serbuan ke Irak.Hasan pun menggerakkan pasukannya yang dipimpin oleh Qays untuk menghadapi gerakan Mu’awiyah.Secara cerdik Mu’awiyah menyebarkan isu tentang kematian Qays di tengah peperangan yang sedang berlangsung.Isu ini cukup efektif untuk mengendorkan

semangat pertempuran, sehingga pasukan Hasan terkalahkan.27

Semenjak berkuasa, Mu’awiyah (661-680) memulai langkah-langkah baru untuk merekontruksi otoritas dan sekaligus kekuasaan khalifah, dan menerapkan paham golongan bersama dengan elite pemerintahan.Ia memperkuat barisan militer dan memperluas kekuasaan administrative Negara dan merancang alas an-alasan moral dan politis yang baru demi kesetian terhadap Khalifah. Pertama, ia berusaha menertibkan kebijakan militer dengan tetap mempertahankan panglima-panglima Arab yang mengepalai kesukuan Arab. Selanjutnya, ia berusaha memantapkan pendapatan Negara dan hasil pribadi, dan lahan pertanian yang diambil alih dari Bizantium dan sasania dan dari investasi pembukaan tanah baru dan irigasi. Kebijakan politik dan kekuasaan financial yang ditempuhnya bersasal dari nilai-nilai tradisi Arab, konsiliasi, kedermawanan dan penghormatan terhadap


(31)

bentuk tradisi kesukuan.Sifat-sifat dan kemampuan mu’awiyah sebagai

sebuah pribadi adalah lebih berarti dari pada institusi manapun.28

Setelah teguh kekuasaanya, Mu’awiyah mulai membuat berbagai kebijaksanaan dan keputusan politik dalam dan luar negeri. Pertama, pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus, keputusan ini didasarkan pada pertimbangan politis dan alasan keamanan.Karena letaknya jauh dari Kufah pusat kaum Syi’ah pendukung Ali dan jauh dari Hijaz tempat tinggal mayoritas Bani Hsyim dalam merebutkan kekuasaan. Selain itu juga Damaskus yang terletak di wilayah Syam (suria) adalah daerah yang berada di bawah genggaman pengaruh Mu’awiyah selama 20 tahun sejak dia diangkat

menjadi gubernur oleh Umar bin Khatab. Kedua, menumpas

orangorang-orang yang berposisi, yang dianggap berbahaya, jika tidak dibujuk dengan harta dan kedudukan, serta menumpas kaum

pemberontak. Ketiga, membangun kekuatan militer yang terdiri dari

tiga angkatan, yaitu darat, laut, dan kepolisisan yang tangguh dan loyal. Ketiga angkatan ini bertugas menjamin stabilitas keamanan dalam negeri dan mendukung kebijaksanaan politik luar negeri yakni

memperluas wilayah kekuasaan. Keempat meneruskan perluasan

wilayah kekuasaan Islam baik ke timur maupun ke barat. Kelima, baik

28Ira M Lapidus, Sejarah Islam Umat Islam Bagian ke Satu dan Dua (Jakarta: Raja Grafindo, 1999),


(32)

Mu’awiyah maupun para penggantinya membuat kebijaksanaan dengan merekrut orang-orang muslim sebagai penjabat pemerintahan, sebagai penasehat, administrator, dokter dan kesatuan-kesatuan tentara. Keenam,Mu’awiyah mengadakan pembaharuan dibidang administrasi pemerintahan dan melengkapinya dengan jabatan-jabatan baru yang

dipengaruhi oleh kebudayaan Bizantium. Ketujuh, kebijaksanaan dan

keputusan yang terpenting yang dibuat oleh Khalifah Mu’awiyah adalah mengubah sistem pemerintahan dari bentuk Khilafah bercorak

demokratis menjadi sistem mulk (kerajaan) dengan mengangkat

putranya Yazid menjadi putra mahkota untuk menggantikannya sebagai

Khalifah sepeninggalnya nanti.29

c. Konsolidasi Pemerintahan

Pemerintah Bani Umayyah berdiri setelah Khalifah Rasyidin yang berakhir yang ditandai dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib pada tahun 40H/661M.

Pemerintahan Bani Umayyah dihitung sejak Hasan bin Ali menyerahkan kekuasaan kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada tanggal 25 Rabi’ul awwal 41H/661M. pemerintahan Bani Umayyah berakhir dengan kekalahan khalifah Marwan bin Muhammad di perang Zab pada bulan Jumadil Ula tahun 132H/749M. dengan demikian,

29J Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran Sejarah dan pemikiran, Edisi 5 ( Jakarta: Raja Grafindo Persada,1999), 166.


(33)

pemerintahan Bani Umayyah berlangsung selama 92 tahun, menurut tanggal Hijriah atau 90 tahun menurut tanggal Masehi. Pemerintahan Bani Umayyah dikuasai oleh dua keluarga yaitu keluarga dari Abu Sufyan dan dari keluarga Bani Marwan dan diperintah oleh 14 khalifah

dengan Damaskus sebagai ibu kota.30

Nama-nama ke empat belas khalifah dari dua keluarga tersebut adalah :

a. Dari Keluarga Abu Sufyan

Mu’awiyah bin Abu Sufyan (41-60 H / 661-679 M).

 Yazid bin Mu’awiyah (60-64 H / 679-683 M).

 Mu’awiyah bin Yazid (64 / 683 M, hanya 40 hari saja).

b. Dari Keluarga Bani Marwan

 Marwan bin Hakam (64-65 H / 683-684 M).

 Abdul Malik bin Marwan bin Hakam (65-86H/684-705M).

 Walid bin Abdul Malik (86-96 H / 705-714 M).

 Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H / 714-717 M).

 Umar bin Abdul Aziz bin Marwan (99-101H/717-719M).

 Yazid bin Abdul Malik (101-105 H / 719-723 M).

 Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H / 723-742 M).

 Walid bin Yazid bin Abdul Malik (125-126 H/742-743 M).

30Ahmad Al-usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX (Jakarta: Akbar Media


(34)

 Yazid bin Walid bin Abdul Malik (126 H / 743 M).

 Ibrahim bin Walid bin Abdul Malik (126-127 H /

743-744M).

 Marwan bin Muhammad bin Marwan (127-132 H /

744-749M).31

Setelah itu Khalifah Mu’awiyah mendirikan suatu pemerintahan yang terorganisir dengan baik, situasi ketika Mu’awiyah menjadi penguasa mengandung banyak kesulitan.Mu’aawiyah melakukan perubahan-perubahan besar dan menonjol di dalam negeri itu.Dasar yang sebenarnya dari pemerintahannya terdapat dalam angkatan daratnya yang kuat dan efisien.Mu’awiyah dapat mengandalkan pasukan orang-orang syiria yang kuat dan seti, yang tetap berdiri di sampingnya dalam keadaan paling berbahaya sekalipun. Dengan

bantuan orang-orang syiria yang setia, Mu’awiyah bin Abu Sufyan

berusaha mendirikan pemerintahan yang stabil menururt garis-garis pemerintahan Bizantium. Dia bekerja keras bagi kelancaran sistem yang untuk pertama kalinya digunakan.

Dalam lembaran sejarah Islamakan tetap tercatat bahwa Mu’awiyah telah menimbulkan perubahan besar dalam ketataNegaraan Islam, yang menyimpang dari peraturan-peraturan (konvensi) yang

31Ibid.,184-185.


(35)

berlaku semenjak Nabi Muhammad SAW wafat. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah bertitik pada perluasan wilayah, pembangunan fisik besar-besaran, menjamin keamanan bagi kelancaran hubungan dagang antara dunia belahan timur dengan dunia belahan

barat, baik melalui Silk road (jalan sutera) maupun Sea Routers (jalan

laut) hingga kebutuhan akan rempah-rempah terjamin.32

Mu’awiyah menjabat sebagai Khalifah dalam waktu yang cukup panjang, banyak mengadakan perubahan atau kebijakan-kebijakan yaitu :

a. Sebagai Khalifah yang pertama kali meniru sikap hidup asing yang

penuh dengan kemewahan dan keagungan.

b. Khalifah yang pertama mengadakan atau menetapkan adanya

pasukan pengawal pada gerbang istana kediamannya.

c. Menciptakan pasukan istana yang dilengkapi dengan alat senjata.

d. Membuat alat khusus bagi dirinya dalam masjid besar di kota

Damaskus untuk tempat beribadah.

e. Menertibkan administrasi pemerintahan dengan menggunakan

sistem administrasi imperium Persia untuk wilayah bagian timur, sedangkan untuk wilayah bagian barat meniru administrasi imperium Romawi.


(36)

f. Menciptakan sistem komunikasi yang tertib guna menyampaikan

berita secara cepat ke segenap penjuru wilayah Islam.

g. Khalifah yang pertama kali membentuk sebuah lembaga Negara

dengan penjabat-penjabat yang khusus.

h. Khalifah yang pertama kali melancarkan celaan terhadap Khalifah

Ali bin Abi Thalib di atas mimbar di setiap shalat Jum’at.

i. Khalifah yang pertama kali membiasakan hidup dalam kemewahan.

j. Khalifah yang pertama kali menjadikan jabatan khalifah itu menjadi

sebuah jabatan warisan.

k. Khalifah yang pertama kali membangun armada di lautan di dalam

sejarah Islam.33

Masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan adalah yang paling cemerlang di antara khulafah Islamiyah seluruhnya,, di mana keamanan dalam negeri begitu baiknya dan segala anasir-anasir yang bersikap permusuhan terhadap Mu’awiyah bin Abu Sufyan telah dapat dibasmi, berkat moral Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang tinggi, dan pedangnya yang tajam. Masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan adalah masa kemakmuran dan kekayaan yang berlimpah-limpah. Mu’awiyah bin Abu Sufyan berhasil melakukan penaklukan -penaklukan disemua medan dan diwarnai dengan


(37)

kemenangan. Selain itu, masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan bukan saja satu masa yang panjang, bahkan juga luas, penuh dengan faktor-faktor yang memungkinkan terbentuknya suatu Negara yang besar dan suatu bangsa yang sukses.

C. Kebijakan-Kebijakan Dalam Sistem Khilafah

Perlu diketahui fungsi religius syari’at agama, seperti shalat, jabatan mufti, jabatan hakim, jihad, dan pengawasan pasar termasuk ke dalam imamah besar yaitu khilafah. Khilafah itu seakan-akan pohon besar dan dasar yang menyeluruh. Semua fungsi mencabanginya dan membawahinya, baik duniawi maupun agamawi. Kekuatannya menyeluruh dalam melaksanakan hukum

agama maupun dunia.34 Berikut akan dijelaskan beberapa fungsi yang khusus

untuk khilafah :

1. Imamah Shalat, telah diketahui bahwa pada masa khalifah-khalifah

yang pertama, mereka tidak pernah menyerahkan tugas imam shalat kepada orang lain. Hal ini disebabkan karena imamah shalat adalah yang paling tinggi diantara fungsi jabatan khilafah. Hal ini dibuktikan ketika para sahabat menarik kesimpulan dari fakta bahwa Abu Bakar telah ditunjuk oleh Nabi Muhammad menjadi imam shalat, satu fakta bahwa dia juga ditunjuk sebagai penggantinya dalam mengurusi masalah-masalah duniawi.


(38)

2. Jabatan Mufti. Dalam hal ini, tugas khalifah adalah menguji para ulama

dan guru, dan hanya mempercayakannya kepada orang-orang yang teruji untuk jabatan itu. Jabatan mufti adalah salah satu kepentingan keagamaan kaum muslimin. Khalifah harus memperhatikannya.

3. Jabatan Hakim. Di masa permulaan Islam, para khalifah melaksanakan

sendiri jabatan hakim. Khalifah pertama yang menyuruh seseorang untuk menjalankan jabatan ini adalah Umar. Beliau menunjuk Abu Darda’ untuk menjadi hakim di Madinah, memilih syuraih untuk tugas

hakim di Bashrah dan Abu Musa al-asy’ari di Kufah.

4. Polisi. Pengawasan terhadap tindakan kriminal serta penentuan

hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh syari’at agama merupakan

tugas khusus, dan diserahkan kepada kepala polisi. Lapangannya sedikit lebih luas dibandingkan dengan jabatan hakim. Ia memutusan hukuman

pencegahan sebelum tindak criminal dilakukan. Ia melaksanakan

hadd-hadd yang telah ditetapkan oleh syari’at agama dengan semestinya, serta menetapkan kemungkinan pembanding jika seorang merasa dirugikan oleh orang lain sesuai dengan hukum yang berlaku.

5. Keadilan atau kedudukan saksi resmi. Prasarat tugas ini ialah, bahwa

orang yang melaksanakanya harus bersifat adil, sesuai dengan ketentuan agama, dan bebas dari cacat. Dia harus memiliki pengetahuan tentang jurisprudensi sesuai dengan kebutuhan jabatan itu. Hal ini disebabkan dia harus mengisi catatan-catatan di dalam pengadilan, mengerti


(39)

perjanjian dalam bentuknya yang benar, urutannya yang tepat dan dengan sebaik-baiknya, serta melihat kondisi dan syarat yang melingkunginya berdasar titik penglihatan hukum agama.

6. Pengawasan Pasar. Jabatan ini adalah termasuk bagian dari kewajiban

amar ma’ruf nahi mungkar. Akan tetapi dia tidak mempunyai kekuasaan untuk mengurusi klaim hukum secara mutlak, kecuali terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan penipuan dan perlakuan curang dalam maslah timbang-menimbang dan ukur-mengukur. Ia juga berusaha membuat orang menunda hutang supaya membayarkan dengan apa yang dimilikinya. Konsekuensi jabatan ini adalah ia berada di bawah jabatan hakim.

7. Pencentakan Uang Logam. Pengawasan terhadap pencetakan uang

merupakan tugas yang bersifat religius, dan berada di bawah khalifah.

Ia dijadikan sebagai bawahan dari juridiksi hakim.35

Demikian pembicaraan mengenai kedudukan kekhilafahan. Secara menyeluruh dapat disimpulkan bahwa fungsi kedudukan khalifah tidak hanya mengurusi masalah agama saja, akan tetapi persoalan duniawi pun tidak ditinggalkan begitu saja. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa khilafah itu

35Ibid.,265-275.


(40)

seakan-akan pohon besar dan dasar yang menyeluruh.Semua fungsi mencabanginya dan membawahinya, baik agamawi maupun duniawi.

Mengenai kehendak Allah akan terwujudnya khilafah, bahwa hal tersebut tidak banyak yang bisa kita ketahui. Namun yang jelas bahwa Allah telah menjadikan khalifah-Nya sebagai wakil-Nya di dalam mengurusi persoalan-persoalan hidup hamba-Nyadengan tujuan dapat memenuhi kepentingan dan melepaskan kesukaran yang mereka miliki.

Setelah menjelaskan bahwa lembaga imamah wajib menurut ijma’ dan

mengenai mekanisme pengangkatannya diserahkan kepada pemuka-pemuka

muslim yang terbentuk dalam suatu wadah yakni ahl al-aqd wa al-hilli,

kewajiban mereka adalah berusaha agar imamah berdiri, dan setiap orang wajib taat sesuai dengan firman Allah: “Taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada

Rasul, dan orang-orang yang berkuasa diantara kamu.36

Tidak boleh menunjuk dua orang untuk menduduki imam pada waktu yang sama. Adapun prasyarat untuk mendirikan lembaga imamah itu, setidaknya ada

empat yaitu: al-‘ilmu, al-adalah, al-kifayah, salamatu al-hawas wa al-a’do’.

Adapun syarat yang kelima ada banyak perbedaan pendapat yakni nasb

al-quraisy.37

36Al-Qur’an Al-Karim, Surat 4, Ayat 59. 37Ibnu Khaldun, Muqaddimah terj, 193.


(41)

a. Syarat pertama al-ilmu, kiranya sangat jelas bahwa seorang imam harus

menguasai hukum-hukum syari’at agar dapat melaksananakan hukum

-hukum Allah secara benar, dan terhindar dari sifat taqlid buta yang

merupakan kekurangan seorang imam. Di lain sisi dengan pengetahuannya tersebut ia dapat memberikan keputusan yang memuaskan masyarakat, Negara, dan agama.

b. Keadilan al-‘adalah dianggap perlu disebabkan imamah merupakan

lembaga yang mengawasi lembaga lain. Tempat keadilan juga menjadi prasyarat. Akan tetapi ada perbedaan pendapat mengenai apakah keadilan itu akan lenyap oleh sikap imam yang memasukkan

inovasi-inovasi baru ke dalam I’tiqad umat.

c. Kesanggaupan al-kifayah berarti, bahwa seorang imam bersedia

melaksanakan hukum yang ditetapkan oleh undang-undang dan sedia pergi berperang. Dia harus mengerti cara berperang, dan sanggup bertanggungjawab untuk mengerahkan umat menuju peperangan. Dia

juga harus tau tentang ashabiyah dan diplomasi. Dia harus kuat

melaksanakan tugas politik. Semua hal tersebut harus dia miliki agar mampu melaksanakan fungsinya melindungi agama, berjihad melawan musuh, menegakkan hukum, dan mengatur kepentingan umum.

d. Bebasnya pancaindra dan badan dari cacat atau kelemahan seperti gila,

buta, bisu atau tuli, dan kehilangan anggota badan, semua itu dijadikan


(42)

kemampuan bertindak. Kekurangan tersebut dapat dibagi dua. Satu diantaranya disebabkan keadaan terpaka, misalnya tidak mampu bertindak karena dipenjara. Kemerdekaan bertindak adalah salah satu syarat yang sama pentingnya sebagaimana syarat bebas dari cacat badan.

e. Setelah menunjuk imamah dengan beberapa syarat yang telah disebut

di atas. Maka yang tidak kalah penting dan merupakan salah satu cirri

dari khilafah adalah gelar Amir al-Mu’minin. Gelar itu merupakan

kreasi periode para khalifah al-rasyidun, ketika Abu Bakar dibai’at,

para sahabat dan kaum muslim menyebutnya khalifah Rasulillah, lalu

bai’at diberikan kepada Umar atas pilihan Abu Bakar, dan merekapun

memanggilnya khalifah khalifati Rasulillah. Namun, akhirnya mereka

menganggap bahwa gelar tersebut tidak praktis karena panjangnya. Demikian gelar tersebut akan semakin panjang sesuai dengan bertambahnya pergantian khalifah.

Awalnya para pemimpin militer muslim dipanggil dengan gelar “amir.”Pada masa jahiliyyah, orang-orang memanggil Nabi Muhammad “amir mekah” dan “amir Hijaz.” Ketika memimpin pasukan muslim dalam perang Qadisyiah Sa’adibn Abi Waqqas pun dipanggil dengan gelar “amir al -mu’minin.”


(43)

Pada masa pemerintahan Umar sebagian sahabat menyebutnya sebagai “amir al-mu’minin.”Orang-orang pun menyenangi dan menyetujui gelar tersebut.Orang yang pertama kali memanggil dengan gelar tersebut adalah

Abdullah ibn Jahsy, atau Umar ibn al-‘Ash, atau Mughirah ibn Syu’bah.Para

khalifah yang datang sesudahUmar juga mewarisi gelar ini sebagai suatu ciri, yang mana tak seorang pun dari seluruh daulah Bani Umayah menggunakannya.


(44)

BAB III

SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI

A. Pengertian Demokrasi

Selama beberapa waktu setelah perang dunia ke –II berlangsung,

perdebatan diantara para penganut aliran klasik yang berkeras mendefinisikan demokrasi berdasarkan sumber dan tujuannya dengan para teoritikus penganut konsep demokrasi ala Schumpeter berdasarkan prosedur, jumlahnya semakin banyak. Semakin banyak teoritikus menarik garis perbedaan yang tajam antara definisi-definisi demokrasi yang rasional, utopis, idealistis disatu pihak, dengan definisi-definisi demokrasi yang empiris, deskriptif, institusional dan prosedural dipihak lain, yang menyimpulkan bahwa hanya definisi terakhir yang memberikan analisis dan acuan empiris yang membuat konsep itu bermanfaat.

Dengan mengikuti tradisi Schumpeterian, studi ini mendefinisikan sistem politik abad XX sebagai demokrasi sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala. Dan di dalam sistem itu para calon secara bebasbersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk yang telah dewasa berhak memberikan suara.Dengan demikian menurut definisi ini,


(45)

demokrasi mengandung dua dimensi yaitu dimensi kontes dan dimensi partisipasi, yang menurut Robert Dahl merupakan hal yang menentukan bagi

demokrasi atau politik.38

Demokrasi merupakan faham dan sistem politik yang didasarkan pada doktrin “power of the people”, yakni kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem pemerintahan.Demokrasi baik sebagai doktrin atau faham maupun sebagai sistem politik dipandang sebagai alternatif yang lebih baik daripada sistem politik lainnya yang terdapat dihampir setiap bangsa dan Negara.Demikian kuatnya faham demokrasi, sampai-sampai konsepnya telah menjadi keyakinan

politik (political belief) kebanyakan bangsa, yang pada gilirannya kemudian

berkembang menjadi isme, bahkan berkembang menjadi mitos yang dipandang

dapat membawa berkah bagi kehidupan bangsa-bangsa beradab.39

Sedangkan pengertian demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti

rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti

kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau

demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan Negara di mana dalam sistem

38

Samuel P.Huntington, Gelombang Demokrasi Ketiga (Jakarta: Grafiti, 1995),5.

39


(46)

pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat

dan kekuasaan oleh rakyat.40

Dalam hal ini, demokrasi juga dapat diartikan sebagai suatu bentuk atau pola pemerintahan yang mengikutsertakan secara aktif semua anggota masyarakat dalam keputusan yang diambil oleh mereka yang telah diberi

wewenang.41 Demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat yang

mengandung pengertian bahwa semua manusia mempunyai kebebasan dan kewajiban yang sama.

Sementara itu, pengertian demokrasi secara istilah sebagaimana dikemukakan para ahli sebagai berikut, menurut Joseph A. Schmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat; Affan Gaffar memaknai demokrasi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara normatif (demokrasi normatif) dan empirik (demokrasi empirik). Demokrasi normatif adalah demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh sebuah Negara.

40Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Jakarta,

2000), 110.


(47)

Sedangkan demokrasi empirik adalah demokrasi dalam perwujudannya pada

dunia politik praktis.42

Dengan demikian makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan dalam maslah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan Negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan kehidupan rakyat. Dengan demikian Negara yang menganut sistem demokrasi adalah Negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Dari sudut organisasi, demokrasi berarti pengorganisasian Negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada ditangan rakyat.

Sementara di sisi lain Ulf Sundhausen mensyaratkan demokrasi sebagai

suatu sistem politik yang menjalankan tiga kriteria, yaitu pertama, dijaminnya

hak-hak semua warga Negara untuk memilih dan dipilih, kedua, semua warga

Negara menikmati kebebasan berbicara, berorganisasi dan memperoleh

informasi dan beragama serta ketiga, dijaminnya hak yang sama di depan

hukum.

Demokrasi adalah sebuah paradok. Dimana disatu sisi ia mensyaratkan adanya jaminan kebebasan serta peluang berkompetisi dan berkonflik, namun


(48)

di sisi lain ia juga mensyaratkan adanya keteraturan, kesetabilan dan konsensus. Kunci untuk mendamaikan paradok dalam demokrasi terletak pada cara kita memperlakukan demokrasi. Demokrasi seyogyanya juga diperlakukan semata-mata sebagai sebuah cara atau proses dan bukan sebuah tujuan apalagi disakralkan. Dengan demikian keteraturan, kesetabilan dan konsesnsus yang dicita-citakan dan dibentuk pun diposisikan sebagai hasil bentukan dari suatu

proses yang penuh kebebasan, persuasi dan dialog yang bersifat konsensual.43

Dari bebrapa pendapat di atas diperoleh kesimpulan bahwa hakikat demokrasi sebagai suatu sistem bermsyarakat dan bernegara serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaaan ditangan rakyat baik

dalam penyelenggaraan Negara maupun pemerintahan. Kekuasaan

pemerintahan berada ditangan rakyat mengandung pengertian tiga hal :

pertama, pemerintah dari rakyat (government of the people); kedua,

pemerintahan oleh rakyat (government by people); ketiga, pemerintahan untuk

rakyat (government for people). Jadi hakikat suatu pemerintahan yang

demokratis bila ketiga hal di atas dapat dijalankan dan ditegakkan dalam tata pemerintahan.

Pertama, pemerintahan dari rakyat (government of the people) mengandung pengertian yang berhubungan dengan pemerintahan yang sah dan

43Saefullah Fatah, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia (Jakarta: GhaliaIndonesia, 1994),


(49)

diakui (legitimate government) dan pemerintahan yang tidak sah dan tidak

diakui (unligitimate government) dimata rakyat. Pemerintahan yang sah dan

diakui (legitimate government) berarti suatu pemerintahan yang mendapat

pengakuan dan dukungan yang diberikan oleh rakyat. Sebaliknya pemerintahan

yang tidak sah dan tidak diakui (unligitimate government) berarti suatu

pemerintahan yang sedang memegang kendali kekuasaan tidak mendapat pengakuan dan dukungan dari rakyat. Legimitasi bagi suatu pemerintahan sangat penting karena dengan legitimasi tersebut, pemerintahan dapat menjalankan roda birokrasi dan progam-progamnya sebagai wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat kepadanya. Pemerintahan dari rakyat memberikan gambaran bahwa pemerintah yang sedang memegang kekuasaan dituntut kesadarannya bahwa pemerintahan tersebut diperoleh melalui pemilihan dari rakyat bukan dari pemberian wangsit atau kekuasaan supranatural.

Kedua, pemerintahan oleh rakyat (government by the people). Pemerintahan oleh rakyat berarti bahwa suatu pemerintahan menjalankan kekuasaan atas nama rakyat bukan atas dorongan diri dan keinginannya sendiri. Selain itu juga mengandung pengertian bahwa dalam menjalankan

kekuasaannya, pemerintah berada dalam pengawasan rakyat (social control).

Pengawasan rakyat dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun tidak langsung yaitu melalui perwakilannya di parlemen (DPR). Dengan adanya


(50)

pengawasan oleh rakyat (social control) akan menghilangkan ambisi

otoriterianisme para penyelenggara Negara (pemerintah dan DPR).

Ketiga, pemerintahan untuk rakyat (government for the people) mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah itu dijalankan untuk kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat harus didahulukan dan diutamakan di atas segalanya. Untuk itu pemerintah harus mendengarkan dan mengakomodasi kepentingan rakyat dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan dan progam-progamnya, bukan sebaliknya hanya menjalankan aspirasi keinginan diri, keluarga dan kelompoknya.Oleh karena itu pemerintah harus membuka kanal-kanal (saluran) dan ruang kebebasan serta menjamin adanya kebebasan seluas-luasnya kepada rakyat dalam menyampaikan aspirasinya baik melalui media pers maupun secara langsung.

B. Sistem Pemerintahan Demokrasi di Indonesia

1. Sejarah dan Perkembangan Demokrasi di Indonesia.

Dalam sejarah Negara Republik Indonesia, perkembangan demokrasi telah mengalami pasang surut. Masalah pokok yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah bagaimana meningkatkan kehidupan ekonomi dan membangun kehidupan sosial dan politik yang demokratis dalam masyarakat.Masalah ini berkisar pada penyusunan suatu sistem politik


(51)

dengan kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan

ekonomi serta character and nation building dengan partisipasi rakyat

sekaligus menghindarkan timbulnya diktator perorangan, partai atau militer. Perkembangan demokrasi di Indonesia dibagi dalam 4 periode: pertama, periode 1945 - 1959; kedua, periode 1959 - 1965; ketiga, periode

1965 - 1998; keempat, periode 1998 - sekarang.

a. Periode 1945-1959 (Masa Demokrasi Parlementer)

Demokrasi parlementer menonjolkan peranan parlementer serta partai-partai. Akibatnya, persatuan yang digalang selama perjuangan melawan musuh bersama menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan. Sistem parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan dan kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan 1950, ternyata kurang cocok untuk Indonesia. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer member peluang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Undang-Undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer di mana badan eksekutif terdiri dari presiden sebagai kepala Negara konstitusional beserta mentri-mentrinya yang


(52)

mempunyai tanggung jawab politik. Karena fragmentasi partai-partai politik usia kabinet pada pada masa ini jarang dapat bertahan cukup lama. Koalisi yang dibangun dengan sangat gampang pecah. Hal ini mengakibatkan destabilisasi politik nasional.

Faktor-faktor semacam ini, ditambah dengan tidak mampunya anggota-anggota partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar Negara untuk undang-undang dasar baru, mendorong Ir. Soekarno sebagai presiden mengeluarkan dekrit presiden 5 juli yang menentukan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian dasar demokrasi

berdasarkan sistem parlementer berakhir.44

b. Periode 1959-1965 (Masa Demokrasi Terpimpin)

Demokrasi terpimpin ini telah menyimpang dari demokrasi konstitusional dan lebih menampilkan beberapa aspek dari demokrasi rakyat. Masa ini ditandai dengan dominasi presiden, terbatasnya peran partai politik, perkembangan pengaruh komunis dan peran ABRI sebagai unsure sosial-politik semakin meluas.


(53)

Undang-Undang dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir.Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar. Selain itu banyak sekali tindakan yang menyimpang atau menyeleweng terhadap ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam tahun 1960 Ir.Soekarno sebagai presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang dasar 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.

Selainperundang-undangan dimana berbagai tindakan

pemerintah dilaksanakan melalui penetapan presiden (penpres) yang memakai dekrit presiden sebagai sumber hukum. Partai politik

dan pers yang sedikit menyimpang dari “rel revolusi” tidak

dibenarkan, sedangkan politik mercusuar dibidang hubungan luar negeri dan ekonomi dalam negeri telah mnyebabkan keasaan ekonomi menjadi tambah seram. G 30 S/PKI telah mengakhiri periode ini dan membuka peluang untuk dimulainya masa demokrasi pancasila


(54)

c. Periode 1966-1998 (Masa Demokrasi Pancasila Era Orde Baru)

Demokrasi pancasila merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial. Landasan formal periode ini adalah pancasila, UUD 1945 dan Tap MPRS/MPR dalam rangka untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD 1945

yang terjadi di masa Demokrasi Terpimpin, dalam

perkembangannya, peran presiden semakin dominant terhadap lembaga-lembaga Negara yang lain. Melihat praktek demokrasi pada masa ini, nama pancasila hanya digunakan sebagai legitimasi politik penguasa saat itu sebab kenyataannya yang dilaksanakan tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila.

Pada tahun 1966 pemerintahan Soeharto yang lebih dikenal dengan pemerintahan Orde Baru bangkit sebagai reaksi atas pemerintahan Soekarno. Pada awal pemerintahan orde hampir seluruh kekuatan demokrasi mendukungnya karena Orde Baru diharapkan melenyapkan rezim lama. Soeharto kemudian melakukan eksperimen dengan menerapkan demokrasi Pancasila. Inti demokrasi pancasila adalah menegakkan kembali azas Negara hukum dirasakan oleh segenap warga Negara, hak azasi manusia


(55)

baik dalam aspek kolektif maupun aspek perseorangan dijamin dan penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara institusional.

Sekitar 3 sampai 4 tahun setelah berdirinya Orde Baru menunjukkan gejala-gejala yang menyimpang dari cita-citanya

semula. Kekuatan – kekuatan sosial-politik yang bebas dan

benar-benar memperjuangkan demokrasi disingkirkan. Kekuatan politik dijinakkan sehingga menjadi kekuatan yang tidak lagi mempunyai komitmen sebagai kontrol sosial. Pada masa orde baru budaya feodalistik dan paternalistik tumbuh sangat subur. Kedua sikap ini menganggap pemimpin paling tahu dan paling benar sedangkan rakyat hanya patuh dengan sang pemimpin. Sikap mental seperti ini telah melahirkan stratifikasi sosial, pelapisan sosial dan pelapisan budaya yang pada akhirnya memberikan berbagai fasilitas khusus, sedangkan rakyat lapisan bawah tidak mempunyai peranan sama sekali. Berbagai tekanan yang diterima rakyat dan cita-cita mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang tidak pernah tercapai, mengakibatkan pemerintahan Orde Baru mengalami krisis kepercayaan dan kahirnya mengalami keruntuhan.

Menurut M Rusli Karim rezim Orde Baru ditandai oleh :


(56)

 Birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan

politik.

 Pengembirian peran dan fungsi partai politik.

 Campur tangan pemerintah dalam berbagai urusan partai

politik dan publik.

 Masa mengambang.

 Monolitisasi ideologi Negara.

 Inkorporasi lembaga non pemerintah.

Tujuh cirri tersebut menjadikan hubungan Negara dengan masyarakat secara berhadapan-hadapan, dimana Negara atau pemerintah sangat mendominasi.Dengan demikian nilai-nilai demokrasi juga belum ditegakkan dalam demokrasi Pancasila

Soeharto.45

d. Periode 1999- sekarang (Masa Demokrasi Pancasila Era Reformasi)

Pada masa ini, peran partai politik kembali menonjol sehingga demokrasi dapat berkembang. Pelaksanaan demokrasi setelah Pemilu banyak kebijakan yang tidak mendasarkan pada kepentingan rakyat, melainkan lebih ke arah pembagian kekuasaan antara presiden dan partai politik dalam DPR. Dengan kata lain, model


(57)

demokrasi era reformasi dewasa ini kurang mendasarkan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Melalui gerakan reformasi, mahasiswa dan rakyat indonesia berjuang menumbangkan rezim Soeharto. Pemerintahan soeharto digantikan pemerintahan transisi presiden Habibie yang didukung sepenuhnya oleh TNI. Orde Baru juga meninggalkan warisan berupa krisis nasional yang meliputi krisis ekonomi, sosial dan politik. Agaknya pemerintahan “Orde Reformasi” Habibie mecoba mengoreksi pelaksanaan demokrasi yang selama ini dikebiri oleh pemerintahan Orde baru. Pemerintahan habibie menyuburkan kembali alam demokrasi di indonesia dengan jalan kebebasan pers (freedom of press) dan kebebasan berbicara (freedom of speech). Keduanya dapat berfungsi sebagai check and balances serta memberikan kritik supaya kekuasaan yang dijalankan tidak menyeleweng terlalu jauh. Dalam perkembanganya Demokrasi di indonesia setelah rezim Habibie diteruskan oleh Presiden Abdurahman wahid sampai dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat signifikan sekali dampaknya, dimana aspirasi-aspirasi rakyat dapat bebas diutarakan dan dihsampaikan ke pemerintahan pusat. Ada satu hal yang membuat indonesia dianggap Negara demokrasi oleh dunia Internasional walaupun


(58)

Negara ini masih jauh dikatakan lebih baik dari Negara maju lainnya adalah Pemilihan Langsung Presiden maupun Kepala Daerah yang dilakukan secara langsung. Mungkin rakyat indonesia masih menunggu hasil dari demokrasi yang yang membawa masyarakat adil dan makmur secara keseluruhan.

Runtuhnya rezim otoriter Orde Baru telah membawa harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Bergulirnya reformasi yang mengiringi keruntuhan rezim tersebut menandakan tahap awal bagi transisi demokrasi Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang kritis, karena dalam fase ini akan ditentukan kemana arah demokrasi yang akan dibangun. Selain itu dalam fase ini pula bias saja pembalikan arah perjalanan bangsa dan Negara yang akan menghantar Indonesia kembali memasuki masa otoriter sebagaimana yang terjadi pada periode orde lama dan orde baru.

Sukses atau gagalnya suatu transisi demokrasi sangat bergantung pada empat faktor kunci yakni : (a) komposisi elit politik, (b) desain institusi politik, (c) kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik dikalangan elite dan non elite, dan (d) peran civil society (masyarakat madani). Keempat faktor tersebut harus


(59)

berjalan sinergis sebagai modal untuk mengonsolidasikan demokrasi.Karena itu seperti yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra langkah yang harus dilakukan adalah dalam transisi Indonesia menuju demokrasi sekurang-kurangnya mencakup reformasi dalam

tiga bidang besar.Pertama, reformasi sistem (constitutional reform)

yang menyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar, dan

perangkat legal sistem politik.Kedua, reformasi kelembagaan

(constitutional reform empowerment) yang menyangkut

pengembangan dan pemberdayaan lembaga-lembaga politik.Ketiga,

pengembangan kultur atau budaya politik (political culture) yang

lebih demokratis.46

Demokratisasi di Indonesia agaknya tidak dapat dimundurkan lagi. Proses suksesi kepresidenan dengan jelas menandai berlangsungnya proses transisi ke arah demokrasi, setelah demokrasi terpenjarakan sekitar 32 tahun pada rezim Soeharto dengan “demokrasi Pancasilanya” dan 10 tahun pada masa rezim Soekarno dengan “demokrasi terpimpinnya”. Dengan demikian secara jelas demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia belum dapat


(60)

terwujud.Karena itu membangun demokrasi merupakan pekerjaan rumah (PR) dan agenda yang sangat berat bagi pemerintah.

Dalam kerangka itu upaya membangun demokrasi (Indonesia) dapat terwujud dalam tatanan Negara pemerintahan Indonesia bila tersedia delapan faktor pendukung yakni : (1) Keterbukaan sistem politik, (2) Budaya politik yang jujur dan baik, (3) Kepemimpinan politik yang berorientasi kerakyatan, (4) Rakyat yang terdidik, cerdas dan berkepedulian, (5) Partai politik yang tumbuh dari bawah, (6) Penghargaan terhadap hukum, (7) Masyarakat sipil (masyarakat madani) yang tanggap dan bertanggung jawab, dan (8) Dukungan dari pihak asing dan pemihakan pada golongan

mayoritas.47

2. Implementasi Demokrasi Pancasila Era Reformasi Sebagai

Perwujudan Kedaulatan Rakyat

Salah satu implementasi demokrasi Pancasila sebagai perwujudan kedaulatan rakyat adalah dengan diadakannya Pemilihan Umum. Pemilihan Umum atau yang biasa disingkat Pemilu merupakan suatu ajang aspirasi

47Ibid., 139.


(61)

rakyat sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat. Masalah Pemilu diatur dalam UUD 1945 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi:

a. Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.

b. Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

c. Peserta Pemilihan Umum untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai Politik.

d. Peserta Pemilihan Umum untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah adalah perseorangan.

e. Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan

umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.

f. Ketentuan lebih lanjut tentang Pemilu diatur dengan

Undang-Undang.48

Tujuan diselenggaraknnya Pemilu adalah untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis,

48


(62)

kuat dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mencapai tujuan nasional sesuai dengan UUD 1945.

Pemilu diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Komisi ini bertanggung jawab dalam penyelenggaraan Pemilu dan dalam pelaksanannya menyampaikan laporan kepada Presiden dan DPR. Tugas dan wewenang KPU adalah:

a. Merencanakan penyelenggaraan KPU.

b. Menetapkan organisasi dan tata cara semua tahapan pelaksanaan

Pemilu.

c. Mengkoordinasikan, menyelenggarakan dan mengendalikan semua

tahapan pelaksanaan Pemilu.

d. Menetapkan peserta pemilu.

e. Menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi, dan calon anggota DPR,

DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota.

f. Menetapkan tanggal,waktu dan tata cara pelaksanaan kampanye dan

pemungutan suara.

g. Menetapkan hasil pemilu dan mengumumkan calon terpilih anggota

DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota.


(1)

kehidupan rakyat. kerja sama berarti semua pihak bersedia untuk

menyumbangkan kemampuan terbaiknya dalam mewujudkan cita-cita

bersama. Kompromi berarti ada komitmen untuk mencari titik temu di

antara berbagai macam pandangan dan perbedaan pendapat guna

mencari pemecahan untuk kebaiakn bersama.55

3. Asas Pokok Demokrasi

Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi

adalah pengakuanhakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia

mempunyai kemampuan yang sama dalamhubungan sosial. Berdasarkan

gagasan dasar tersebut terdapat 2 (dua) asas pokok demokrasi, yaitu:

a. Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan

wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara

langsung, umum, bebas, dan rahasiaserta adil; dan

b. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan

pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan

bersama.


(2)

BAB V PENUTUP A. Keimpulan

Dari semua uraian pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat

menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Dari segi terminologi, khilafah adalah suatu sistem pemerintahan yang

dipimpin oleh seorang khalifah yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an

dan As-Sunnah. Dalam sistem khilafah, kedaulatan tertinggi berada di

tangan Tuhan, dalam hal ini syara’, dan kekuasaan tertinggi berada di

tangan rakyat.

2. Kata demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan cratein

yang berarti pemerintahan. Secara sederhana, arti demokrasi adalah

pemerintahan oleh rakyat. Dalam teori demokrasi, kedaulatan tertinggi

berada di tangan rakyat. Ciri utama demokrasi adalah persamaan hak politik

setiap warga Negara baik untuk memilih pemimpin, mengatur

undang-undang maupun kebebasan berpendapat dan adanya persamaan derajat

setiap warga Negara di hadapan hukum.


(3)

demokrasi rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem

pemerintahan.

B. Saran

Sebenarnya tidak ada satu sistem pemerintahan apapun yang sempurna.

Setiap masyarakat memiliki masalah yang berbeda serta kondisi sosial dan

budaya yang juga beragam. Semua faktor ini sangat mempengaruhi tingkat

kemungkinan berhasilnya suatu sistem di daerah tersebut. Suatu sistem

mungkin saja bisa sukses di suatu masyarakat namun gagal total di tempat lain.

Kita analogikan Negara sebagai kacamata dan kondisi masyarakat

sebagai kondisi mata si pemakai. Jika orang yang mengidap rabun dekat

dipakaikan kacamata berlensa cembung, orang tersebut akan dapat melihat

secara normal, tapi bila kacamata tersebut berlensa cekung malah justru akan

semakin memperburuk penglihatan si pemakai. Begitu juga untuk penderita

rabun jauh, diperlukan kacamata berlensa cekung. Bahkan untuk masyarakat

yang sehat bukan tidak mungkin mereka hidup tanpa harus memakai kacamata

sama sekali. Begitu juga dengan dua sistem yang telah dibahas di atas setiap

sistem memiliki ciri tersendiri untuk dijalankan disuatu daerah tertentu. Bahkan


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hasjmy. Dimana Letaknya Negara Islam. Jakarta: Bina Ilmu, 1984.

Ali, K. Sejarah Islam (TarikPra modern). Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Al-Maududi, AbulA’la. Khilafah dan Kerajaan. Bandung: Mizan, 1988.

Al-Usairy. Ahmad. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX. Jakarta:

Akbar Media Eka Sarana, 2003. Al-Qur’an CV. Jumanatul Ali-ART. 2006.

Aminuddin, M. Hasbi. Konsep Agama Menurut Fathur Rohman. Yogyakarta: UI

Press, 2000.

Azra, Azyumardi. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani. Jakarta:

ICCE UIN Jakarta, 2000.

Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Al-Lu’lu Wal Manjan. Semarang: Al-Ridho, 1993.

Dahl, A. Robert. Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol. Jakarta:

Rajawali, 1985.

_______________. Globalisasi dan Krisis Demokrasi. Jakarta: CV Rajawali, 2007.

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam Jilid II. Jakarta: Ichtiar Baru

Van Hoeve, 1999.

Fatah, Saefullah. Masalahdan Prospek Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1994.

Huntington, Samuel P. Gelombang Demokrasike Tiga. Jakarta: Grafiti, 1995.

Harjanto, Nicolaus Teguh Budi. Memajukan Demokrasi Mencegah Disintregasi.

Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998.


(5)

Munawwir, Ahmad Warison. Kamus Al-Munawwir, Arab Indonesia. Surabaya:

Pustaka Progresif, 1997.

Nasir, Haedar. Pragmatisme Politik Kaum Elite. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Notosusanto, Nugroho. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: Yayasan

Idayu, 1978.

Prayitno, Budi. Apakah Demokrasi Itu ?. Jakarta: LIPI, 1991.

Pulungan, J. Suyuti. Fiqh Siyasah Ajaran Sejarah dan Pemikiran Edisi 5. Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 1999.

Raharjo, M. Dawam. Ensiklopedia Al-quran :Tafsir Sosial Berdasarkan

Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1997.

Rais, M. Dhiaudin. Teori Politik Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Ribeu, S. Dasar-Dasar Kepemimpinan. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992.

Salabi, A. Sejarah Kebudayaan Islam 2. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003.

Sjadzali, Munnir. Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran. Jakarta:

UI-Press, 1990.

Sou’yb, yoesoef. Sejarah Daulah Bani Umayah I di Damaskus. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Supriyadi, Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2008.

Suryabrata, Sumardi. Metode Penelitian. Jakarta: PT Grafindo, Cet XI, 1998.

Taufan, M. Demokrasi Pancasila. Jakarat: Sinar Grafika, 1989.


(6)