SEJARAH PERJUANGAN RADEN MAS SAID (MANGKUNEGARA I) DALAM MENDIRIKAN KADIPATEN MANGKUNEGARAN TAHUN 1741-1757 M.

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh :

Ririn Nur Lisdiana Putri NIM: A82212160

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul" Sejarah Perjuangan Raden Mas Said (Mangkunegara ) Dalam Mendirikan Kadipaten Mangkunegaran Tahun 1741-1757 M”, yang difokuskan pada Perjuangan Raden Mas Said (Mangkunegara I) Dalam Mendirikan Kadipaten Mangkunegaran yang dilakukan selama 16 tahun. Permasalahan dalam skripsi ini adalah (1) Siapakah Raden Mas Said tersebut, (2) Bagaimana perjuangan Raden Mas Said Dalam Mendirikan Kadipaten Mangkunegaran,(3) Bagaimana kondisi Kadipaten Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara I.

Skripsi ini menggunakan pendekatan historis dan metode historis yang mengacu pada Babad Kemalon (Pakunagara) sehingga dapat mendeskripsikan Perjuangan Raden Mas Said (Mangkunegara I) dalam mendirikan Kadipaten Mangkunegaran. Dalam penelitian ini juga menggunakan teori kekuasaan Max Weber dengan pengaplikasiannya terhadap upaya-upaya perlawanan yang timbul dalam perjuangan Raden Mas Said untuk mendapatkan hak kekuasaan mendirikan Kadipaten Mangkunegaran.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa (1) Raden Mas Said lahir di Keraton Kartasura pada tanggal 7 April 1725 dan wafat pada 28 Desember 1795 M. Raden Mas Said adalah cucu dari Raja Amangkurat IV dan lahir dari pasangan Pangeran Arya Mangkunegara dengan Mas Ayu Senowati.(2) Perjuangan Raden Mas Said dalam 16 tahun terbagi menjadi 3 periode yang pertama perjuangan melawan Paku Buwono II dengan pemerintah kolonial Belanda, yang kedua melawan Pangeran Mangkubumi dan yang ketiga melawan Paku Buwono III, Hamengku Buwono I dan pemerintah kolonial Belanda. (3) Pemerintahannya selama 40 tahun membawa kemajuan Kadipaten Mangkunegaran dalam berbagai bidang yang diantaranya pertahanan dan keamanan, ekonomi, budaya, dan agama.


(7)

ABSTRACT

Thesis entitled "History of the Struggle Raden Mas Said (Mangkunegara I) In the Duchy Found Mangkunegaran Year 1741-1757 M", which focused on the struggle of Raden Mas Said (Mangkunegara I) In the Duchy Found Mangkunegaran done for 16 years. The problem in this thesis is (1) Who is the Raden Mas Said, (2) how the struggle of Raden Mas Said Found Duchy In Mangkunegaran, (3) how the condition of the Duchy of Mangkunegaran In the Reign Mangkunegara I.

This thesis takes a historical approach and the historical method which refers to the Babad Kemalon (Pakunagara) so as to describe the struggle of Raden Mas Said (Mangkunegara I) in setting up the Duchy Mangkunegaran. In this study also uses Max Weber's theory of power with its application for the efforts of resistance arising in the struggle of Raden Mas Said to get the right set up the Duchy Mangkunegaran power.

From the research that has been done, it can be concluded that (1) Raden Mas Said was the grandson of King Amangkurat IV and was born to Prince Arya Mangkunegara by Mas Ayu Senowati. (2) The struggle Raden Mas Said in 16 years divided into 3 periods of the first fight against Paku Buwono II with the Dutch government, the second against Mangkubumi and the third against Paku Buwono III, lane I and the Dutch colonial government. (3) 40-year reign over the Duchy Mangkunegaran bring progress in various fields, including defense and security, economy, culture, and religion.


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah ... 7

C.Tujuan Penelitian ... 8

D.Kegunaan Penelitian... 8

E. Pendekatan dan KerangkaTeori ... 9

F. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 10

G.Metode Penelitian... 12


(9)

BAB II : MASA PEMERINTAHAN PAKU BUWONO II DI KERATON KARTASURA HINGGA KASUNANAN SURAKARTA

A.

Masa Awal Pemerintahan PakuBuwono II

Di Keraton Kartasura (1726 – 1742 M) ... 19

B.

Masa Pemerintahan PakuBuwono II

Periode Kedua dan Perpindahan Pusat Pemerintahan

Keraton Kartasura ke Surakarta 1745 M ... 29

BAB III : PERJUANGAN RADEN MAS SAID DALAM MENDIRIKAN KADIPATEN MANGKUNEGARAN

A.Biografi Raden Mas Said (Mangkunegara I) ... 33 B.Upaya Perlawanan Raden Mas Said

Pada Tahun 1741-1742 M (Periode Pertama) ... 36 C.Upaya Perlawanan Raden Mas Said

Pada Tahun 1743-1752 M (Periode Kedua)... 40 D.Upaya Perlawanan Raden Mas Said


(10)

BAB IV : PENDIRIAN KADIPATEN MANGKUNEGARAN DAN PEMERINTAHAN MANGKUNEGARA I

A.Latar Belakang Sosial Pendirian Kadipaten Mangkunegaran ... 72 B.Kondisi dan Kemajuan Kadipaten Mangkunegaran

Pada Masa Pemerintahan Raden Mas Said

(Mangkunegara I) ... 73 BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 82 B. Saran-saran ... 85 DAFTAR PUSTAKA


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Perlawanan Raden Mas Said dilakukan karena adanya keterkaitan dengan peristiwa-peristiwa sejarah sebelumnya yang terjadi di Kerajaan Mataram, dalam hal ini berkaitan dengan masuknya pemerintah kolonial di wilayah pemerintahan Kerajaan Mataram.

Kedatangan pemerintah kolonial Belanda di Nusantara saat itu telah diketahui oleh para penguasa kerajaan.Keadaan demikian tentu membahayakan wilayah kekuasaan serta penduduk daerah kekuasaan Mataram. Sultan Agung yang saat itu menjabat sebagai raja tunggal Mataram sudah memperkirakan maksud dan tujuan kedatangan pemerintah kolonial dan akibatnya Sultan Agung mengadakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda di Batavia pada tahun 1628 hingga 1629.Ketika Sultan Agung mangkat pada tahun 1645, kedudukan raja digantikan oleh Amangkurat I, keadaan Mataram semakin jatuh dalam perpecahan.Sejak Amangkurat I sampai Amangkurat IV, Kerajaan Mataram mengalami kemunduran karena krisis kepemimpinan.

Masa Amangkurat IV (1719-1726) merupakan masa dimana seorang raja ditinggalkan oleh rakyatnya, bahkan seluruh wilayah Jawa memusuhinya.1

1


(12)

Banyak kerabat istana yang memusuhi Amangkurat IV, hal itu dibuktikan dengan pemberontakan pada tahun 1719 yang dilakukan oleh Pangeran Balitar dan Pangeran Purbaya, dimana kedua pangeran tersebut merupakan adik dari Amangkurat IV. Pada tahun 1726, Amangkurat IV mangkat dan digantikan oeh putranya yaitu Paku Buwono II hingga tahun 1749. Melalui ide-ide politik antara pemerintah kolonial, Patih Danureja dan Ratu Ageng (Ratu Amangkurat), maka Pangeran Arya Anom berhasil dinobatkan sebagai raja Mataram menggantikan kedudukan ayahnya dengan gelar Sunan Paku Buwono II yang belum berusia dewasa sehingga menyebabkan Patih Danureja memegang peranan penting di Kartasura, apalagi sebagian besar bupati di Jawa memiliki ikatan keluarga dengan patih.2

Satu abad setelah usaha Sultan Agung melawan kolonial Belanda di Batavia gagal, jabatan raja kemudian digantikan oleh Paku Buwono II dan pihak pemerintah kolonial Belanda mendapat kedaulatan atas seluruh pemerintahan di Mataram.3Kondisi yang sedemikian kacau menyebabkan terhambatnya pencapaian perdamaian dengan pemerintah kolonial yang sangat diperlukan bagi perdagangan.4Di sisi yang berlainan, pengangkatan Paku Buwono II

2

WillemGH. Remmelink, Babak Pertama Pemerintahan Paku Buwono II Menurut Sumber

VOC danSumber Babad (Yogyakarta: Proyek Javanologi, 1983), 17

3

Pringgadigda, Dhoemadhos Saha Ngrembakanipoen Pradja Mangkoenegaran

(Surakarta:1935),79 4

MC. Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792 Sejarah Pembagian Jawa(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), 30


(13)

menimbulkan perpecahan di wilayah keraton. Pangeran Arya Mangkunegara (saudara laki-laki raja) merasa sangat tidak senang dengan Paku Buwono II karena telah dikendalikan dan dipermainkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan Patih Danureja.5

Sementara itu, pengangkatan Paku Buwono II bagi pemerintah kolonial dimaksudkan untuk menjaga eksistensi dan pengaruhnya di wilayah Mataram. Di sisi yang belainan, Paku Buwono II juga berjanji pada pemerintah kolonial akan melunasi seluruh hutang-hutang kerajaan pada masa raja yang sebelumnya. Paku Buwono II menepati janjinya kepada pemerintah kolonial dengan membayar keseluruhan hutang kerajaan dari raja sebelumnya berdasarkan perjanjian raja-raja yang sebelumnya.Pembayaran hutang tersebut berdampak besar di Keraja-rajaan Mataram. Tindakan tersebut menyebabkan para pejabat daerah semakin enggan untuk mengakui kekuasaan raja. Namun pihak pemerintah kolonial percaya bahwa mereka dapat mengambil hati raja.6

Keberadaan Pangeran Arya Mangkunegara (ayah Raden Mas Said atau Mangkunegara I) yang merupakan saudara laki-laki Paku Buwono II dianggap sebagai hal yang sangat membahayakan Mataram dan pemerintah kolonial Belanda. Akibatnya disusunlah strategi untuk menyingkirkan Pangeran Arya Mangkunegara dari Mataram.

5

Remmelink, Babak Pertama Pemerintahan Paku Buwono II Menurut Sumber VOC dan

SumberBabad, 23

6

Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), 56


(14)

Pada tahun 1728, Patih Danureja memfitnah Pangeran Arya Mangkunegara yang telah melakukan perselingkuhan dengan salah satu selir Paku Buwono II yaitu Mas Ayu Larasati. Pemerintah kolonial Belanda tidak percaya akan hal tersebut,namun pemerintah kolonial terpaksa mengasingkan Pangeran Arya Mangkunegara ke Batavia dan kemudian dipindah ke Srilanka dan berlanjut ke Tanjung Harapan.7

Pada akhirnya tindakan yang oportunis dilakukan oleh Patih Danureja dengan cara memusuhi pemerintah kolonial dan berhubungan dengan keturunan Untung Suropati yang masih beraa di daerah Jawa Timur. Untung Suropati merupakan pemberontak yang sangat dibenci oleh pemerintah kolonial dan bahkan telah membunuh Kapten Tack yang merupakan anggota militer pemerintah kolonial pada masa Amangkurat II.

Pada tahun 1732 Paku Buwono II berbalik melawan Patih Danureja dan meminta bantuan pemerintah kolonial untuk menyingkirkan Patih Danureja serta menunjuk patuh yang baru yaitu Patih Natakusuma. Namun Patih Natakusuma juga mengalami nasib yang sama seperti Pangeran Arya Mangkunagara yaitu di asingkan ke Srilanka, pengasingan tersebut dilakukan karena pemerintah kolonial menganggap behwa Patih Natakusuma terlibat dalam peristiwa Geger Pacinan yang terjadi pada tahun 1741. Pengasingan Pangeran Arya Mangkunegara ini

7


(15)

memberikan bukti bahwaMataram berada dibawah pimpinan raja yang impulsive

dan seorang patih yang berbahaya.8

Pada tahun 1728 ketika pangeran Arya mangkunegara diasingkan ke Srilanka, ketika itu Pangeran Arya Mangkunegara meninggalkan seorang putra yang masih berusia 2 tahun yang bernama Raden Mas Said (Mangkunegara I) yang kelak mendapat sebutan sebagai Pangeran Samber Nyawa.9

Selepas wafatnya ayahanda, Raden Mas Said yang saat itu telah berusia 16 tahun memilih untuk meninggalkan keraton atas dasar ketidak setujuan dengan pemerintahan yang ada di keraton dan atas niatnya untuk memberontak dan mengembalikan kekuasaan Mataram yang telah dicampuri oleh kepentingan pemerintah kolonial Belanda beserta Paku Buwono II yang selalu tunduk terhadap aturan pemerintah kolonial. Perjuangan Raden Mas Said bersama kerabat ketika melawan pemerintah kolonial dilakukan dengan menggunakan taktik wewelutan (welut, ikan belut), dedemitan (demit, setan) dan jejemblungan

(jemblung, gila, edan).

Pada tahun 1741 hingga 1742, merupakan periode awal perjuangan Raden Mas Said yang diawali dengan bergabung bersama Raden Mas Garendi (Sunan Kuning) dalam peristiwa geger pacinan yang berpuncak di kartasura dan menjadi awal perjuangan Raden Mas Said yang dilakukan secara terang-terangan

8

Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792 Sejarah Pembagian Jawa, 40

9

Iwan Santosa, Legiuan Mangkunegaran (1808 – 1942) Tentara Jawa-Perancis Warisan


(16)

memberontak adanya pemerintahan kolonial Belanda dan melawan pemerintahan Paku Buwono II yang dengan sengaja memanfaatkan keadaan perang geger pacinan tersebut untuk melepaskan kekuasaan dominasi Belanda di Kartasura.

Pada tahun 1743 hingga 1752 yang merupakan periode kedua dari perjuangan Raden Mas Said untuk mewujudkan cita-citanya dan mengembalikan kekuasaan kerajaan Mataram yang sebenarnya dengan bergabung bersama pamannya, yaitu Pangeran Mangkubumi untuk melawan pemerintahan Paku Buwono II hingga akhirnya menyebabkan perselisihan antara keduanya antara Raden Mas Said dengan Pangeran Mangkubumi. Dalam periode ini diakhiri dengan adanya perjanjian Giyanti yang dilakukan antara Pangeran Mangkubumi dengan paku Buwono III dan menjadi bukti terpecahnya kekuasaan Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Pada tahun 1752 hingga 1757 merupakan periode terakhir dari perjuangan Raden Mas Said melawan tiga kekuatan yaitu pemerintahan kolonial Belanda, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pada tahun 1755hingga 1756 setelah perjanjian Giyanti, Raden Mas Said merasa iri dan kecewa atas hak dan kekuasaan yang didapatkan Pangeran Mangkubumi. Sehingga niat Raden Mas Said untuk menyerang Kasultanan Yogyakarta semakin kuat tanpa menghiraukan saran dari kerabat lain. Berbagai jalan untuk mengakhiri peperangan telah dilakukan oleh kedua kekuasaan, namun hasilnya nihil. Hingga akhirnya kedua kekuatan melakukan jalan perdamaian antara Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta dan Raden Mas Said untuk mengakhiri pertumpahan darah.Pada


(17)

tahun 1756 Raden Mas Said mengajukan syarat-syarat kepada Paku Buwono III sehingga Raden Mas Said bersedia kembali ke Kasunanan Surakarta. Pada tahun 1757 Raden Mas Said mendapatkan sebagian hak dan kekuasaan dari wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram yang dibuktikan melalui penandatanganan perjanjian salatiga oleh Paku Buwono III, Hamengku Buwono I yang diwakili oleh Patih Danureja dan Raden Mas Said.

Lebih kurang selama 16 tahun berperang untuk mengembalikan kekuasaan Mataram, Raden Mas Said akhirnya membangun Istana Mangkunegara di Surakarta dan berdiri dengan sebutan “Dinasti

Mangkunegaran”.10

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan diatas, patutnya mengkaji tentang “Peranan Raden Mas Said (Mangkunegara I) Dalam Pendirian Kadipaten Mangkunegaran Surakarta 1741 - 1757” untuk mengetahui sejarah awal dari Mendirikan Kadipaten Mangkunegaran. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini, peneliti melakukan batasan batasan masalah terhadap Peranan Raden Mas Said (Mangkunegara I) pada tahun 1741 hingga keadaan masa pemerintahan Raden Mas Said (Mangkunegara I).

10


(18)

B. Rumusan Masalah

1. Siapakah Raden Mas Said tersebut?

2. Bagaimana Peranan Raden Mas Said dalam mendirikan Kadipaten Mangkunegaran tahun 1741-1757?

3. Bagaimana kehidupan Kadipaten Mangkunegaran masa pemerintahan Raden Mas Said pada tahun 1757?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui biografi Raden Mas Said.

2. Untuk mengetahui Perjuangan Raden Mas Said (Mangkunegara I) Dalam Mendirikan Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta pada tahun 1741-1757 M. 3. Untuk mengetahui kondisi kehidupan Kadipaten Mangkunegaran saat awal

berdiri dan pada masa Raden Mas Said (Mangkunegaran I) tahun 1757. D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan ilmiah bagi para peneliti sejarah dan masyarakat secara umum mengenai peranan Raden Mas Said (Mangkunegara I) ketika mengadakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial dan berhasil mendirikan Kadipaten Mangkunegaran.Dengan demikian, masyarakat dapat lebih tertarik untuk


(19)

melakukan penelitian-penelitian sejarah, baik itu sejarah lokal maupun sejarah nasional.

2. Kegunaan Praktis

a. Untuk memenuhi syarat dalam meraih gelar Sarjana Humaniora dalam Program Strata Satu (S-1) pada jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam di UIN Sunan Ampel Surabaya.

b. Merupakan sumber referensi bagi mahasiswa Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam yang akan meneliti lebih lanjut mengenai Perjuangan Raden Mas Said (Mangkunegara I) dalam Mendirikan Kadipaten Mangkunegaran.

c. Dapat memberikan motivasi kepada sejarawan untuk melakukan penelitian ilmiah.

E. Pendekatan dan Kerangka Teori

Pembahasan dalamskripsi ini, penulis lebih menggunakan pada pendekatan historis, yang mana pendekatan historis dimaksudkan adalah memandang suatu peristiwa yang berhubungan dengan masa lampau.11Dengan pendekatan ini penulis mengharapkan dapat mengungkapkan secara jelas tentang latar belakang peranan Raden Mas Said dalam Mendirikan Kadipaten Mangkunegaran.Hal ini juga termasuk mengenaiperjuangan Raden Mas Said dan MendirikanKadipaten Mangkunegaran.

11

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: PT GramediaPustaka Utama, 1993), 4


(20)

Selain pendekatan historis tersebut, dalam penulisan skripsi ini penulis memakai teori kekuasaan Max Weber. Kekuasaan menurut Max Weber adalah suatu kesempatan bagi seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang atau golongan tertentu. Kekuasaan juga meliputi pada kemampuan untuk memerintah agar yang diperintah patuh dan juga untuk memberi suatu keputusan-keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung, yang kemudian hal ini digunakan untuk mempengaruhi tindakan pihak-pihak lain.12Teori ini diharapkan dapat mengungkapkan upaya-upaya dalam perjuangan Raden Mas Said serta kondisi kehidupan di Kadipaten Mangkunegaran pada masa pemerintahannya.

F. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Tema Peranan Raden Mas Said dalam Mendirikan Kadipaten Mangkunegaran Pada Tahun 1741-1757 yang difokuskan pada peranan Raden Mas Said saat akan mendirikan Kadipaten Mangkunegara dan peranan Raden Mas Said dalam memimpin Kadipaten Mangkunegaran sebagai objek penelitian skripsi ini betul-betul relevan dan menarik. Namun belum juga dikaji serta di teliti oleh penulis lain. Meski banyak penulis temui beberapa literatur yang membahas tentang Raden Mas Said dalam mendirikan Kadipaten Mangkunegaran, di antaranya:

12


(21)

1. Anton Satyo Hendriatmo dalam buku “Babad Giyanti 1755 Perang Perebutan Mahkota III dan Terpecahnya Kerajaan Mataram Menjadi Surakarta dan

Yogyakarta”. Dalam buku ini menjabarkan tentang situasi Kerajaan Mataram

kuno hingga sampai pada situasi terpecahnya Kerajaan Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta yang berahir dalam sebuah perjanjian yang disebut

dengan “perjanjian Giyanti tahun 1755”.

2. Dr. H.J. De Graaf dalam buku “Runtuhnya Kerajaan Mataram”. Dalam buku

ini menjabarkan awal berdirinya Kerajaan Mataram dengan Sultan pertama yaitu Sultan Agung Hanyakrakusuma hingga masa keruntuhan kekuasaan Mataram yang akhirnya dibagi menjadi 2 pusat kepemerintahan.

3. Iwan Santosa dalam buku “ Legiun Mangkunegaran (1808-1942) Tentara

Jawa-Perancis Warisan Napoleon Bonaparte”. Dalam buku ini menjabarkan sepenggal masa Raden Mas Said setelah Mendirikan Kadipaten Mangkunegaran hingga kisah Legiun Mangkunegaran yang setia menjaga keutuhan Kadipaten Mangkunegaran. Namun dalam buku ini lebih berfokus pada kisah perjuangan para Legiun Mangkunegaran.

4. M.C Ricklefs dalam buku “ Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi 1749

-1792,A History of The Divisionof Java (Terjemah)”. Dalam buku ini

menjabarkan sejarah awal Jogjakarta dan perselisihan antara Mangkubumi dengan Raden Mas Said. Namun buku ini lebih berfokus pada konflik, keadaan masa pemerintahan Sultan Mangkubumi.


(22)

5. Prof. A.K. Pringgadigda dalam buku “Dhoemadhos Saha Ngrembakanipoen

Pradja Mangkoenegaran”. Dalam buku ini lebih berfokus pada Mendirikan

Pradja Mangkunegaran yang didirikan oleh Raden Mas Said sebagai jalan berdirinya Kadipaten Mangkunegaran.

Selain buku-buku yang telah disebutkan diatas, tentu masih banyak buku-buku atau tulisan lain yang membahas Raden Mas Said (Mangkunegara I), namun buku tersebut tidak memiliki ruang signifikan dalam membahas perjuangan Raden Mas Said.

Dengan demikian, dari uraian diatas tidak ditemukan pembahasan tentang perjuangan Raden Mas Said secara rinci dan lengkap serta situasi kehidupan Kadipaten Mangkunegaran semasa pemerintahan Raden Mas Said tersebut.Selain buku-buku tersebut di atas, juga tidak ditemukan pembahasan tentang perjuangan Raden Mas Said (Mangkunegara I) yang dilakukan beberapa mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

G. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian sejarah. Metode penelitian sejarah ini berfungsi untuk mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa masa lampau.Dengan pemilihan

judul “Perjuangan Raden Mas Said (Mangkunegara I) Dalam Mendirikan

Kadipaten Mangkunegaran Surakarta 1741-1757 M” yang terfokuskan pada perjuangan Raden Mas Said dalam mendirikan Kadipaten Mangkunegaran tersebut, namun hanya sampai pada berdirinya Kadipaten Mangkunegaran


(23)

tersebut. Pemilihan judul tersebut karena belum terdapat adanya pembahasan yang memfokuskan pada perjuangan Raden Mas Said.Dalam metode penelitian judul tersebut terdapat beberapa tahap yang harus dilalui dalam yaitu pengumpulan data sebagai sumber (heuristik), kritik sejarah atau keabsahan sumber (Verifikasi), interpretasi, historiografi.13 Aplikasi dari metode tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan data sebagai sumber (Heuristik). Pengumpulan sumber di sini adalah pengumpulan sumber yang sesuai dengan jenis sejarah yang akan ditulis. Untuk memperoleh sumber-sumber yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini, penulis mengumpulkan berbagai data yang ada hubungannya dengan penulisan skripsi. Data penulisan ini diperoleh melalui naskah asli Babad Kemalon (Pakunagara) yang ditulis dalam aksara Jawa oleh pemilik asli yaitu Kanjeng Raden Tumenggung Sumadiningrat beserta naskah yang sudah ditulis ulang oleh Ki Himodigdoyo dan Ki Soeharto tahun 1981 dalam huruf Latin dan menggunakan bahasa Jawa dan naskah Perjanjian Giyanti yang bertuliskan aksara Jawa.

Untuk melengkapi informasi tentang “Perjuangan Raden Mas Said

(Mangkunegara I) Dalam Mendirikan Kadipaten Mangkunegaran Surakarta 1741-1757 M” di dapatkan dari berbagai sumber pustaka yaitu:

13


(24)

a. Babad Giyanti 1755 Perang Perebutan Mahkota III dan Terpecahnya Kerajaan Mataram Menjadi Surakarta dan Yogyakarta (Terj) oleh Anton Satyo Hendriatmo.

b. Legiun Mangkunegaran (1808-1942) Tentara Jawa-Perancis Warisan Napoleon Bonaparte oleh Iwan Santosa.

c. Mangkunegara (Pangeran Samber Nyawa) 1725-1795 oleh M. Zairul Haq.

2. Kritik sejarah atau keabsahan sumber (verifikasi), yaitu untuk membuktikan apakah sumber-sumber tersebut memang yang dibutuhkan atau tidak.14Dalam hal ini penulis melakukan kritik terhadap sumber, baik intern maupun ekstern

karena telah diketemukannya sumber primer yang berupa naskah asli “Babad Kemalon (Pakunagara)” dalam penulisan skripsi ini.

Kritik intern dilakukan untuk meneliti keaslian data, sedangkan kritik ekstern dilakukan dengan cara memperlihatkan aspek fisik sumber tertulis, yaitu dilihat dari kertasnya, tintanya, gaya tulisan, bahasanya, ungkapannya, kata-katanya, huruf-hurufnya dan segi penampilan luarnya. Untuk dapat menilai apakah sumber yang penulis peroleh memang yang diperlukan atau tidak, maka yang penulis lakukan adalah:

a. Membaca babad tersebut yang menceritakan perjuangan Raden Mas Said bersama prajuritnya di Bukit Kemalon dari tahun 1741 hingga 1757.

14

Nugroho Noto Susanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer ( Jakarta: Yayasan Idayu, 1978),36


(25)

“ Hanenggih kang ginupita

Jeng Pangeran mangkunegari Kalanira habedhama Ing kang rama Sri Narpati

Jeng Sunan Mangkubumi Kabanaran kang kedhatun

Semana jeng Pangeran Dipati apacak baris Neng Kemalon yun-ayunan lan welanda

Wadya kumpeni semana Wong Bugis kalawan Bali Ambon kalawan wong Ngusar

Kemalon dennya miranti Hajejagang kumpeni Mung let ing simping sadhusun

Lan ingkang pamondhokan Pangeran Dipati ing Candi

Tan winarna ing dalu, enjang ngayuda” (Pupuh ke 1 Sinom)

b. Menterjemahkan isi babad tersebut (alih bahasa).

“Syahdan dikesahkanlah kanjeng Pangeran Mangkunegara, sewaktu

mengadakan pembicaraan dengan ayahanda Sri Narpati, Kanjeng Sunan Mangkubumi, yang bertahta di Kabanaran.Waktu itu Kanjeng Pangeran Adipati bersama balatentaranya, berperang melawan Belanda di Kemalon.

Balatentara Kumpeni waktu itu, terdiri atas suku Bugis dan Bali, Ambon serta Ngusar, siap-siaga di Kemalon, membentengi Kumpeni, dan berjarak hanya satu desa, denga tempat berkemah Pangeran Adipati di Candi, tidak

dikisahkan malam itu, kemudian pagi harinya berperang”. (Pupuh ke 1

Sinom) c. Menafsirkan isi babad tersebut.

Dalam pupuh ke 1 Sinom babad kemalon (Pakunagara) diceritakannya perjuangan Pangeran Adipati atau yang dimaksud adalah Raden Mas Said yang saat itu memanglah masih menjabat sebagai Pangeran Adipati di Kerajaan Kartasura, namun kemudian beliau keluar dari kerajaan karena


(26)

ketidak setujuan beliau atas pemerintahan Paku Buwono II yang selalu memihak kepada Belanda.

Sekitar tahun 1742 Raden Mas Said melakukan perang dalam periode kedua perjuangan Raden Mas Said yang bergabung dengan Pangeran Mangkubumi yang juga sebagai mertuanya bersama beberapa prajurit setianya yang terdiri dari berbagai suku di Nusantara untuk melakukan serangan kepada kompeni Belanda. Beliau bersama prajuritnya dan Pangeran Mangkubumi bermarkas di Candi yang dirasa letaknya lebih dekat dengan markas kompeni Belanda tersebut.Setiap pagi harinya beliau bersama seluruh prajuritnya yang juga bersama Pangeran Mangkubumi melakukan serangan kepada kompeni Belanda di Bukit Kemalon dengan menggunakan strategi pengepungan terhadap markas kompeni tersebut.

Agar mendapatkan sumber yang benar-benar sesuai dan diperlukan, karena tidak semua sumber yang penulis dapatkan tersebut sesuai dengan kebutuhan penulis untuk menyusun skripsi ini.

3. Interpretasi atau penafsiran sejarah.

Analisis seringkali disebut juga dengan analisis sejarah.Analisis sejarah berarti menguraikan data-data sejarah setelah datanya terkumpul kemudian dibandingkan lalu disimpulkan untuk ditafsirkan.15Analisis yang penulis gunakan untuk interpretasi adalah analisis isi (content analysis) yang

15


(27)

sering didefinisikan sebagai analisis yang berusaha mendeskripsikan sesuatu secara obyektif dan sistematis yang terdapat dalam isi tulisan.Dalam hal ini penulis mengaitkan data-data yang penulis peroleh dengan pembahasan dalam judul skripsi.Untuk menganalisis sumber sejarah yang penulis peroleh adalah dengan menyusun dan mendaftar sumber sejarah yang diperoleh, selanjutnya penulis menganalisis sumber tersebut sesuai dnegan judul skripsi yaitu

“Perjuangan Raden Mas Said (Mangkunegara I) Dalam Mendirikan Kadipaten

Mangkunegaran Surakarta 1741-1757M”.

4. Historiografi yaitu penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian.Layaknya laporan-laporan penelitian ilmiah, penulis mencoba menuangkan penelitian sejarah ke dalam satu karya skripsi yang berjudul

“Perjuangan Raden Mas Said (Mangkunegara I) Dalam Mendirikan Kadipaten

Mangkunegaran pada tahun 1741-1757 M. Penulisan ini diharapkan memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian dari awal hingga akhir.

H. Sistematika Pembahasan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan memberikan suatu sistematika pembahasan yang terdiri dari lima bab, yaitu:

Bab I :Pendahuluan. Pada bab ini menguraikan latar belakang, rumusan masalah, pendekatan dan kerangka teori, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan penelitian terdahulu, bahan sumber, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.


(28)

Bab II :Masa Pemerintahan Paku Buwono II di Keraton Kartasura Hingga Kasunanan Surakarta. Pada bab ini menguraikan tentang Pemerintahan Paku Buwono II di Kartasura Hingga Kasunanan Surakarta, yang diantaranya masa pemerintahan Paku Buwono II di Keraton Kartasura pada tahun 1726 – 1742dan masa pemerintahan Paku Buwono II periode kedua hingga perpindahan Keraton Kartasura ke Surakarta pada tahun 1745

Bab III :Perjuangan Raden Mas Said Dalam Mendirikan Kadipaten Mangkunegaran tahun 1741-1757 M. Pada bab ini menguraikan tentang Peranan Raden Mas Said pada tahun 1741 hingga berdirinya Kadipaten Mangkunegaran, yang diantaranya biografi Raden Mas Said dan upaya perlawanan Raden Mas said pada tahun 1741-1757.

Bab IV :Pendirian Kadipaten Mangkunegaran dan Pemerintahan Raden Mas Said (Mangkunegara I). Pada bab ini menguraikan awal pendirian Kadipaten Mangkunegaran dan kondisi kehidupan dalam berbagai bidang (ekonomi, politik, sosial, budaya) pada masa pemerintahan Raden Mas Said, yaitu latar belakang sosial Pendirian Kadipaten Mangkunegaran dan kondisi hingga kemajuan kehidupan Kadipaten Mangkunegaran pada masa kepemimpinan Raden Mas Said (Mangkunegara I).

Bab V : Penutup. Pada bab ini menguraikan kesimpulan dari keseluruhan isi dari skripsi tersebut. Selain kesimpulan, dalam bab ini juga akan di isi dengan saran-saran.


(29)

BAB II

MASA PEMERINTAHAN PAKU BUWONO II DI KERATON KARTASURA HINGGA KASUNANAN SURAKARTA

A. Masa Awal Pemerintahan Paku Buwono II di Keraton Kartasura (1726 – 1742 M)

Sunan Paku Buwono II adalah putera Sunan Hamangkurat IV dari salah satu permaisurinya yang bernama Gusti Kanjeng Ratu Hamangkurat. Dilahirkan pada tahun 1710 dengan nama Raden Mas Prabasuyasa, yang sat menginjak dewasa dianugerahkan gelar Pangeran Adipati Anom atau lebih lengkapnya adalah Sampeyan Dalem Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengku Negoro Sudibyo Raja Putero Narendro Mataram sebagai tanda putera mahkota pewaris kerajaan selanjutnya.

Dari urutan kelahiran, Pangeran Adipati Anom adalah putera ketiga dan anak keempat setelah Pangeran Mangkunegara, Raden Ayu Dewi, Raden Ayu Sakiyah dan Pangeran Loringpasar, keempatnya adalah puteran susuhunan dari selir.1

Pada saat menjelang usianya yang ke-16 tahun, tepat pada tanggal 22 April 1726 ayahandanya, yaitu sunan Hamangkurat IV wafat dan selang beberapa hari kemudian pada tanggal 29 April 1726, Pangeran Adipati Anom

1

Willem. G.J. Remmelink, Perang China dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-1743


(30)

dinobatkan sebagai pengganti ayahnya yaitu menjadi Susuhunan dengan gelar Paku Buwono II dan secara lengkapnya adalah Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah. Hari penobatannya dihormati dengan tembakan

meriam dan senapan oleh pemerintah kolonial dan ditutup dengan do’a penutup

oleh Kyai Penghulu Keraton Kartasura.2

Dalam pelaksanaan tugas pemerintahannya, Susuhunan Paku Buwono II yang saat itu masih sangat muda untuk melaksanakan tugas-tugas berat pemerintahan tersebut dibantu oleh seorang Patih Dalem, yaitu Patih Danureja.Sementara hal-hal yang menyangkut dengan penataan kekerabatan dalam keraton, Susuhunan Paku Buwono II juga dibantu oleh Kakanda Sulungnya yaitu Pangeran Mangkunegara.Hingga dimasa-masa selanjutnya, peranan seorang Pangeran Mangkunegara dirasa cukup berpengaruh dalam membantu Susuhunan Paku Buwono II untuk dapat menentukan arah kebijaksanaan keraton.3

Pangeran Mangkunegara tersebut adalah putera sulung dari Susuhunan Hamangkurat IV dari selir Mas Ayu Sumarsa dilahirkan dengan nama Raden Mas Sura dan kemudian diangkat sebagai putera angat Pangeran Purbaya yang merupakan adik dari Susuhunan Hamangkurat IV yang sedang menjabat sebagai

2

Pekempalan Pengarang Serat Ing Mangkunegaran, Babad KGPA Mangkunegara I

(Yogyakarta:Yayasan Mangadeg Surakarta dan Yayasan Centhini Yogyakarta, 1993), 23 3


(31)

Pangeran Adipati Anom dengan nama Raden Mas Damar dan bergelar Pangeran Riya.

Hubungan Pangeran Mangkunegara dengan adiknya yaitu Paku Buwono II dimasa-masa awal pemerintahannya cukuplah baik sebagai seorang adik dan kakak. Sikap hormat ditunjukkan oleh Paku Buwono II kepada kakandanya dengan selalu mengikutsertakannya dalam menentukan kebijaksanaan yang akan diambilnya untuk kehidupan di keraton. Namun kedekatan adik kakak tersebut kurang disukai oleh Patih Danureja dan pengikutnya, sehingga sering kali terjadi usaha-usaha dengan niat untuk memisahkan dan merenggangkan hubungan kedekatan adik kakak tersebut. Hal ini disebabkan adanya kekhawatiran akan ancaman kedudukan Patih Danureja dan adanya ambisi Pangeran Mangkunegara untuk menjadi raja. Hingga akhirnya timbullah fitnah kedekatan antara Pangeran Mangkunegara dengan seorang selir Paku Buwono II yang bernama Mas Ayu Larasati dan fitnah tersebut akhirnya membuat Paku Buwono II murka terhadap Pangeran Mangkunegara dan atas usul dari Patih danureja, Paku Buwono II memerintahkan penangkapan terhadap Pangeran Mangkunegara beserta seluruh harta dan putera-puteranya. Atas perintah Paku Buwono II, Pangeran Mangkunegara diasingkan ke Tanjung Harapan dan diizinkan untuk membawa dua orang selirnya, dua orang abdi dalem dan seorang puteranya. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 31 Januari 1728. Oleh para bangsawan dan masyarakat lainnya kurang menyetujui atas tindakan yang dilakukan oleh Paku Buwono II terhadap kakak sulungnya tersebut dan dianggapnya bahwa tindakan


(32)

yang dilakukan Paku Buwono II tersebut akan menjadi sumber malapetaka bagi keraton nantinya.

Sikap dan pendirian Paku Buwono II yang sangat mudah terpengaruh dan berubah-ubah serta ambisi dan peran Patih Danureja yang menjadi semakin sering untuk mencampuri permasalahan para bangsawan keraton, sehingga menyebabkan ketidak stabilan perpolitikan di keraton terus menerus jatuh.Hingga akhirnya Paku Buwono II semakin tumbuh dewasa dan mengerti kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Patih Danureja yang telah melampaui batas.

Dalam tahapan dewasa Paku Buwono II, penggantian pejabat-pejabat penting keraton mulai dilakukan dengan mengganti para pejabat lama yang memiliki hubungan kedekatan dengan Patih Danureja.Pengangkatan Tumenggung Suradiningrat yang dilakukan oleh Paku Buwono II secara diam-diam tanpa sepengetahuan Patih Dalem tela mendapatkan kecaman keras dari para Patih Dalem dan masalah ini menjadi awal pertikaian Paku Buwono II dengan para Patih Dalem Keraton.

Pada tahun 1733, Paku Buwono II mengirimkan surat kepada Gubernur Jenderal di Batavia melalui wakil dari pemerintah kolonial yang ada di Kartasura, yaitu Frederik Julius Coyett dan surat tersebut berisikan bentuk permohonan kepada pemerintah kolonial untuk dapat segera membantu memisahkan diri dari para Patih Dalem yang bertikai dengannya. Tepat pada tanggal 9 Juli 1933 Patih Danureja ditangkap oleh pemerintah kolonial atas


(33)

permohonan Paku Buwono II dan atas perintah Gubernur Jenderal pemerintah kolonial, Patih Danureja diasingkan pula ke Tanjung Harapan, namun masih diperlakukan sebagaimana layaknya seorang bangsawan. Pada tanggal 3 Agustus 1733, Tumenggung Natawijaya dilantik oleh Paku Buwono II menjadi Patih Dalem dengan gelar Raden Adipati Natakusuma.4

Dengan kondisi keraton yang semakin lemah serta hutang terhadap pemerintah kolonial yang semakin menumpuk akibat ketidak mampuannya dalam menepati isi perjanjian raja sebelumnya, memaksa Paku Buwono II harus menandatangani kontrak perjanjian selanjutnya dengan pemerintah kolonial yang berisikan tentang pelunasan hutang keraton. Dalam keadaan dibawah tekanan dan ancaman pemerintah kolonial untuk tetap menempatkan pasukannya di Siti Hinggil serta akan mendudukkan Pangeran Mangkunegara sebagai raja dan menggantikannya, akhirnya Paku Buwono menerima permintaan pemerintah kolonial tersebut yang tertuang dalam perjanjian pada tanggal 8 November 1733 tersebut. Dalam perjanjian tersebut, sebagai ganti rugi atas hutang-hutang keraton, maka disebutkanlah sebagai berikut:

1. Hak pemerintah kolonial untuk menentukan harga jual hasil penebangan kayu. 2. Hak pemerintah kolonial untuk menentukan harga jual kapas, harga bahan

makanan serta harga bahan bangunan.

4

Remmelink, Babak Pertama Pemerintahan Paku Buwono II Menurut Sumber VOC dan


(34)

3. Paku Buwono II diharuskan memerintahkan penebangan seluruh pohon kopi yang merupakan ekspor unggulan keraton dan juga melarang pertanian lada di wilayahnya.

Sebagaimana raja-raja sebelumnya, Paku Buwono II pula menyimpan rasa benci yang cukup mendalam terhadap pemerintah kolonial.Keterusikan harga dirinya sebagai seorang raja dikerenakan tekanan-tekanan yang terus menerus diberikan pemerintah kolonial kepadanya, ditambah dengan dukungan dari para bangsawan yang tidak menyukai sepak terjang pemerintah kolonial terhadap kedaulatan Mataram, semakin menambah ketidak simpatikannya kepada pemerintah kolonial. Hanya rasa gentar terhadap kekuatan militer pemerintah kolonial membuatnya untuk hanya dapat menyimpan rasa kebenciannya yang cukup mendalam dan menunggu hingga saat yang tepat untuk menyalurkan hasrat kebenciannya tersebut.

Pada tahun 1740 terjadilah pemberontakan Cina di Batavia akibat diperlakukannya peraturan mengenai pengenaan pajak dan pembatasan lingkup usaha serta perizinan tinggal di wilayah pemerintah kolonial bagi orang Cina yang dinilai sangat diskriminatif dan memberatkan. Pemberontakan tersebut meluas ke seluruh pelosok Jawa, orang-orang Cina yang terdesak di Batavia mulai mengundurkan diri ke pelosok pedalaman dan ke arah Jawa Timur.


(35)

Pertengahan tahun 1741, pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur mulai bergolak.5 Kekhawatiran pemerintah kolonial akan terjadinya kemungkinan rentetan pemberontakan pada bandar-bandar utama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga membuat Bartholomeus Visscher wakil dari pemerintah kolonial memohon bantuan kepada para susuhunan untuk memberikan bantuan militer kerajaan apabila terjadi kerusuhan dan pemberontakan orang-orang Cina di wilayahnya. Paku Buwono II yang mendengar berita tersebut merasa terkejut akan keberanian orang-orang Cina untuk mengangkat senjata melawan pemerintah kolonial karena menurutnya, orang-orang Cina hanyalah bangsa pedagang dan bukan bangsa ksatria.6

Namun di tahun yang sama, saat gerombolan pemberontak Cina melakukan pengepungan di Bandar utama Semarang, ternyata para susuhunan tidak mengirimkan bantuan militernya sebagaimana yag telah dijanjikannya kepada pemerintah kolonial. Kondisi di lapangan bahkan terlihat bahwa para penduduk kerajaan bekerjasama dengan gerombolan pemberontak Cina dan atas pernyataan Nicolaas Crul, Patih Natakusuma dan Raden Harya Pringgalaya ditangkap atas tuduhan terlibat dalam persekongkolan antara kerajaan dengan para pemberontak Cina.

5

Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900, Dari Emporium sampai

ImperiumCet. Ketiga (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), 167

6

Remmelink, Babak Pertama Pemerintahan Paku Buwono II Menurut Sumber VOC dan


(36)

Pengepungan Semarang ditambah dengan mengalirnya pasukan tambahan di pihak pemberontak yang dipimpin oleh Que Panjang dan dibantu oleh pasukan para pangeran Cirebon semakin membuat kedudukan pemerintah kolonial melemah. Bandar Rembang pun ikut dikepung dan akhirnya jatuh ke tangan pemberontak pada tanggal 27 Juli di tahun yang sama. Pada tanggal 31 Juli di tahun yang sama pula, Jepara terkepung, namun dapat terselamatkan atas bantuan gerak cepat pasukan Pangeran Cakraningrat penguasa Madura, namun bantuan tersebut tanpa seizin Susuhunan.

Keterlibatan susuhunan semakin terlihat dengan adanya orang-orang Jawa bersenjata yang menggabungkan diri dengan para pemberontak. Sementara itu kondisi di sekitar Keraton Kartasura telah ada Kapten Johannes Van Velsen yang merupakan komandan pemerintah kolonial yang terkenal kejam mencoba melakukan maneuver politik dengan usahanya untuk mengganti susuhunan yang menurutnya telah terlibat terlalu jauh dengan pemberontakan orang Cina dengan salah seorang putera dari Susuhunan Hamangkurat III yaitu Pangeran Hangabei atau Pangeran Tepasana. Pada tanggal 1 Agustus 1741 pasukan pemberontak Cian mulai berdatangan ke Kartasura dan pada tanggal 5 Agustus 1741 dimulainya duel artileri antara meriam pemerintah kolonial yang sudah siap di Benteng Kartasura. Tanggal 10 Agustus di tahun yang sama, pasukan keraton melakukan penyerangan ke benteng pemerintah kolonial hingga akhirnya Van Velsen pun terbunuh dan sisa-sisa prajurit pemerintah kolonial yang masih hidup


(37)

diperintahkan untuk segera masuk Islam dan menjadi pengawal para bangsawan keraton.

Pada awal September, Paku Buwono II memerintahkan pengiriman pasukan keraton di bawah pimpinan Patih Natakusuma dan beberapa bangsawan keraton untuk membantu para pemberontak Cina melakukan pengepungan dan usaha perebutan Bandar utama kerajaan Semarang.Tumenggung Yudanegara diperintahkan untuk memimpin ekspedisi militer agar merebut kembali Priangan dari tangan pemerintah kolonial. Pada tanggal 7 November, ekspedisi militer pemerintah kolonial dapat memenangkan pertempuran yang sangat menentukan di Kaligawe dan dilanjutkan dengan rentetan pertempuran di seputar Semarang yang juga dimenangkan oleh pihak pemerintah kolonial hingga pada tanggal 13 November 1741, Semarang pun berhasil dibebaskan dari kepungan pasukan Mataram dan pemberontak Cina.7

Untuk sementara, gerak pasukan ekspedisi Mataram kearah Priangan terhambat karena adanya barisan pasukan pemerintah kolonial yang dirasa sangat kuat dan sudah dipersiapkan terlebih dahulu di beberapa pelosok wilayah Priangan.Pada tanggal 25 November 1741 ekspedisi militer berlanjut melakukan pengepungan terhadap Jepara yang telah dikuasai oleh gabungan pasukan orang-orang Cina.Hingga akhirnya, Paku Buwono II mulai bimbang melihat pulihnya

7


(38)

kekuatan militer pemerintah kolonial kemudian memutuskan untukberbalik haluan.

Pada Januari 1742, Paku Buwono II mengajukan permohonan penempatan kembali pasukan pemerintah kolonial di Loji Kartasura.Namun sikap Paku Buwono II ini mendapat kecaman keras dari para pangeran dan bangsawan serta para petinggi keraton yang sangat tidak menyetujui perubahan sikap Paku Buwono II tersebut kepada pemerintah kolonial. Sementara itu di belahan Timur, Pasukan Cakraningrat terus bererak maju menumpas habis setiap gerombolan pemberontak dan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya. Pada tanggal 6 April 1742, salah seorang pemimpin pemberontak di dukung oleh Martapura dan Patih Natakusuma dna menobatkan Raden Mas Garendi menjadi raja dnegan gelar Susuhunan Hamangkurat V.

Penobatan Raden Mas Garendi disambut dengan dukungan para bupati dan bangsawan yang sangat kecewa dengan sikap Paku Buwono II.Gerakan pasukan Sunan Hamangkurat V menuju Kartasura dan membuat kekhawatiran Paku Buwono II dan kemudian Paku Buwono II segera mengharapkan bantuan dari pemerintah kolonial maupun Cakraningrat. Verijsel, perwakilan dari pemerintah kolonial menyanggupi permintaan bantuan tersebut namun dengan mengajukan tuntutan untuk diserahkannya Pangeran Adipati Anom, Pangeran Ngabehi Loring Pasar dan putera sulung Patih Natakusuma beserta Raden Harya Pringgalaya sebagai jaminannya. Pada tanggal 17 Juni 1742, Patih Natakusuma


(39)

ditangkap oleh pemerintah kolonial atas dukungan Paku Buwono II dan kemudian pemerintah kolonial mengirimkan bantuan militernya ke Kartasura.

Namun penyerbuan yang intensif dari Pasukan Sunan Hamangkurat V akhirnya mampu mengalahkan pasukan keraton yang di pimpin oleh Raden Harya Pringgalaya dalam pertempuran di Salatiga.Pada tanggal 29 Juni Kartasura dilanda suasana kepanikan dan Paku Buwono II segera mengosongkan keraton atas usul Van Hohendorff. Pada tanggal 30 Juni 1742, Kartasura jatuh di tangan Sunan Hamangkurat V dan para pemberontak segera menaiki Siti Hinggil dan menguasai keraton yang sudah dikosongkan dan saat itu pula Paku Buwono II segera mengungsi ke Ponorogo dan meninggalkan keraton untuk sementara waktu.

B. Masa Pemerintahan Paku Buwono II Periode Kedua dan Perpindahan Pusat Pemerintahan Keraton Kartasura ke Surakarta 1745 M.

Sunan Hamangkurat V yang biasa disebut Sunan Kuning telah berhasil merebut Kartasura dari Paku Buwono II dan kemudian melantik Raden Mas Suryakusuma menjadi senopati dengan gelar Pangeran Prangwedana dan Tumenggung Mangunoneng sebagai Patih Dalem. Sejak Kartasura dikuasai oleh Sunan Kuning, Pangeran Buminata dan Pangeran Singasari menggabungkan diri dengan barisan Sunan Kuning.8

8


(40)

Di tempat pengungsian di Ponorogo, Paku Buwono II masih dalam keadaan terhimpit dan dihadapkan pada satu-satunya pilihan dengan mengandalkan bantuan dari pemerintah kolonial untuk mengembalikan tahta Kartasuranya kembali.Pemerintah kolonial segera mengumpulkan kekuatan pasukannya dan meminta bantuan pula dari Panglima Steinmets untuk persiapannya menghancurkan barisan pemberontak dan membant Paku Buwono II merebut kembali Kartasura. Gabungan pasukan pemerintah kolonial dan Madura kembali bergerak menumpas setiap posisi pemberontak. Kemenangan mulai diraih oleh pemerintah kolonial.9 Pada pertempuran di Kali Tuntang, salah seorang pemimpin Cina tewas terbunuh dan pemimpin pemberontak lainnya tewas setelah pertempuran di Rembang pada tanggal 15 Oktober 1742. Hingga pada akhirnya, tanggal 26 November 1742, Cakraningrat dan seluruh pasukannya memasuki Kartasura yang telah ditinggalkan oleh Sunan Kuning dan seluruh pengikutnya. Pada tanggal 21 Desember 1742, dengan diiringi oleh simbol kebesaran dan pukulan tambur, Paku Buwono II kembali di Kartasura dan disambut oleh Van Hohendurff dan Toutlemonde di Paseban yang telah menerima penyerahan keraton dari Cakraningrat melalui perundingan dan negosiasi panjang.

Peperangan terus berlanjut, namun kemenangan terus berpihak pada pasukan pemerintah kolonial.Sementara itu, pada tanggal 2 Oktober 1743 di

9


(41)

Surabaya, Sunan Kuning menyerahkan diri karena posisi pemberontak yang semakin melemah. Setelah Paku Buwono II menerima kembali tahta Kartasura, pemerintah kolonial segera meminta penggantian biaya perang dan juga dalam bantuannya mengembalikan tahta Kartasura kepadanya. Tuntutan tersebut disetujui oleh Paku Buwono II dan tertulis dalam perjanjian pada tahun 1743 yang memuat beberapa pasal berikut:

1. Penentuan, pengangkatan dan pemberhentian Patih Dalem harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah kolonial.

2. Seluruh daerah pantai utara Jawa dengan kota-kota pentingnya, terkecuali Semarang, diserahkan kepada pemerintah kolonial.

Dengan adanya perjanjian tersebut, hubungan Kartasura dengan daerah-daerah di seberang lautan terhambat.Satu-satunya pilihan untuk mempertahankan Kartasura adalah dengan menjual seluruh hasil produksinya kepada pemerintah kolonial karena keraton sudah tidak lagi memiliki akses ke laut.Selain itu, kemampuan di bidang perdagangan maupun armada laut dan seluruh pelabuhan telah dikuasai oleh pemerintah kolonial. Dalam bidang pemerintahan, pemerintah kolonial pun semakin menjadi dalam keterlibatannya untuk menentukan Patih Dalem yang merupakan pelaksana roda pemerintahan keraton.

Perjanjian tersebut mendapatkan banyak tantangan dari para bangsawan keraton. Paku Buwono II yang telah duduk kembali di singgasana keraton harus menerima kenyataan bahwa kondisi keraton telah melemah.Penyerbuan dan


(42)

kependudukan oleh barisan pemberontak telah merubah wajah dan tatanan keraton Kartasura yang telah menjadi pusat pemerintahan sejak tahun1680.Untuk itu Paku Buwono II segera memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan Keraton Kartasura.

Sunan Paku Buwono II mengirim utusan yang terdiri dari ahli negara, pujangga dan ahli kebatinan untuk mencari tempat yang cocok bagi pembangunan keraton baru ke daerah sekitar Lembah Bengawan Solo tersebut.Para utusan tersebut diberi wewenang dan kekuasaan untuk bersama-sama mencari dan memilih tempat yang cocok untuk keraton baru nantinya, baik secara lahiriah maupun batiniah. Utusan tersebut adalah:

1. Patih Pringgalaya 2. Adipati Sindurejo 3. Kyai Hanggawangsa

4. Raden Tumenggung Mangkuyuda 5. Raden Tumenggung Puspanegara

Setelah berjalan lama, mereka mendapatkan tiga tempat yang dianggap cocok untuk dibangun keraton.Ketiga tempat tersebut adalah Desa Kadipala, Desa Solo, dan Desa Sana Sewu. Sesudah diadakan permusyawaratan panjang dengan seluruh utusan, Abdi Dalem dan Paku Buwono II, akhirnya mereka memutuskan untuk membangun keraton di Desa Solo di tepi Bengawan Solo dan keraton tersebut dinamai Keraton Surakarta Hadiningrat. Pembangunan tersebut tepat pada hari Rabu Pahing, 17 Sura Tahun Je 1670 atau 1745 Masehi.


(43)

BAB III

PERJUANGAN RADEN MAS SAID

DALAMMENDIRIKAN KADIPATEN MANGKUNEGARAN

A. Biografi Raden Mas Said (Mangkunegara I)

Dilahirkan dari rahim seorang wanita bernama Mas Ayu Senowati.1 Pada tanggal 4 Ruwah, Jimakir 1650 Jawa atau 1725 Masehi, lahirlah seorang putra dari Pangeran Harya Prabu Mangkunegara ini oleh Sunan Prabu Hamangkurat diberi nama Raden Mas Said.2

Pengasingan ayahandanya yaitu Pangeran Mangkunegara atas perintah Sunan Paku Buwono II ke Tanjung Harapan telah membuat Raden Mas Said tetap tumbuh remaja hingga dewasa namun tanpa peran dan kasih sayang dari orang tuanya. Kehidupannya dan saudaranya dilukiskan sangat menyedihkan.Hidup terlantar serta makan dan tidur tanpa memiliki tempat yangnyaman dan kerap kali bercampur dengan para panakawan yaitu suatu tingkatan abdi dalem kerajaan yang paling rendah.

Setelah usianya menginjak dewasa, Raden Mas Said dan kedua saudaranya yaitu Raden Mas Ambiya dan Raden Mas Sabar kemudian diberikan anugerah kedudukan dan hak-hak mereka sebagai wayah dalem (cucu raja) oleh Sunan Paku Buwono II. Untuk Raden Mas Said diberi nama Suryakusuma dan tanah seluas 50 jung. Untuk Raden Mas Ambiya diberi

1

RM. S.H. Soemardjo Nitinegoro, The Founding of Yogyakarta(Yogyakarta: 1982), 48 2


(44)

namaMartakusuma dan tanah seluas 25 jung. Sedangkan untuk Raden Mas Sabar diberi nama Wirya Kikusuma dan tanah seluas 25 jung pula.

Pada suatu saat terjadi peristiwa yang membuat Raden Mas Said resah karena di kraton telah terjadi ketidak adilan yang dilakukan oleh Paku Buwono II yang hanya menempatkan Raden Mas Said sebagai Gandhek Anom.Padahal kedudukan Raden Mas Said seharusnya sebagai Pangeran Sentana. Atas perlakuan ketidak adilan tersebut selalu dan terus menerus ditanggapi dingin oleh sang Patih Kartasura, hingga akhirnya Raden Mas Said memutuskan untuk pergi dan keluar dari kraton dan berniat untuk segera melakukan pemberontakan kepada Sunan Paku Buwono II atas sikap ketidak adilan tersebut.

Selama kurang lebih 16 tahun berjuang melakukan pemberontakan dan perlawanan terhadap kekuasaan Pemerintah Kolonial, Kasunanan Surakarta, dan Kasultanan Yogyakarta, akhirnya Raden Mas Said mendapatkan haknya sebagai cucu seorang raja Mataram lalu. Tepat pada tahun 1757 Raden Mas Said mendirikan sebuah Kadipaten Mangkunegaran dan mendapat gelar sebagai raja pertama Kadipaten Mangkunegaran dengan gelar Mangkunegara I. Raden Mas Said juga dikenal dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati Haryo Mangkunegara Senopati Ngayudo Lelono Joyoamiseno Satriyo Tomo Mentaram dan juga gelar dari pihak pemerintah kolonial yaitu Pangeran Samber Nyawa karena sepanjang pertempurannya selalu menewaskan lawannya.


(45)

Raden Mas Said meninggal pada tahun 1795 tepat setelah 40 tahun memerintah Kadipaten Mangkunegaran.

Beliau meninggalkan seorang permaisuri yaitu Raden Ayu Patahati (Retno Rubiyah), 7 orang Selir yang diantaranya:

1. Nyi Ageng Megatsari 2. Nyi Ageng Wiratsari 3. Nyi Ageng Kertosari 4. Nyi Ageng Wongosari 5. Nyi Ageng Purposari 6. Nyi Ageng Marliyah

Dan 25 putera – Puteri yag diantaranya: 1. GK Ratu Sekar Kedaton

2. KPH Prabumidjaya I 3. KPH Padmanagara 4. KPH Natakusuma 5. GBRAY Prangundana 6. BRAY Purposari 7. BRAY Hanggodirjo

8. BRAY Wiryonagaro Lasem 9. BRAY Purwanagara

10.BRAY Hanggron

Raden Mas Said dimakamkan di tempat dimana dulu beliau pernah bertapa yaitu di Desa Mangadeg, di Bukit Bangun Lereng Gunung Lawu antara


(46)

Matesih dan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, 35 Km sebelah timur kota Solo.

B. Upaya Perlawanan Raden Mas Said Pada Tahun 1741-1742 M (Periode Pertama)

Perlawanan pada periode pertama merupakan perlawanan yang dilakukan oleh Raden Mas Said ketika bergabung dengan Raden Mas Garendi atau yang biasa disebut Sunan Kuning dalam peristiwa Geger Pacinan. Geger Pacinan merupakan puncak peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang cina terhadap kolonial yang berpuncak di Kartasura.

Pemberontakan orang-orang cina sebenarnya bermula dari kejadian yang ada di Batavia, kemudian meluas ke berbagai daerah di Pulau Jawa, seperti Semarang, Rembang dan memuncak di Kartasura. Pada awalnya hubungan antara kolonial dan orang cina di Batavia sangatlah harmonis, namun kemudian berubah menjadi rasa saling curiga diantara kedua kelompok tersebut. Berdasarkan bukti yang ada pemerintah kolonial menganggap bahwa orang cina di Batavia sedang menyusun sebuah pemberontakan kepada kolonial, sedangkan orang cina meyakini bahwa pemerintah kolonial akan mengirim orang-orang cina keluar Batavia karena dianggap sudah melebihi kuota bahkan terdapat kabar bahwa orang cina tersebut akan dibuang ke laut.

Diantara kedua kelompok tersebut akhirnya terjadi tindakan saling serang yang diawali pada tanggal 7 Oktober 1740, dimana orang-orang cina melakukan pembunuhan terhadap warga Eropa dan kemudian dari pihak


(47)

pemerintah kolonial membalas tindakan tersebut dengan melakukan pembunuhan secara besar-besaran terhadap orang-orang cina.3

Pemberontakan orang-orang cina berakhir sampai di Kartasura. Pemberontakan tersebut juga didukung oleh sebagian bangsawan dan rakyat Kerajaan Mataram yang sangat anti terhadap adanya pemerintahan kolonial. Kejadian tersebut menjadi awal dari peperangan yang ada di Kartasura, termasuk menjadi mulainya perlawanan Raden Mas Said yang dilakukan secara terang-terangan menentang adanya pemerintahan kolonial dan ikut serta mendukung peristiwa Geger Pacinan di Kartasura.

Kondisi yang sedang bergolek di Kartasura juga telah dimanfaatkan oleh Paku Buwono II dan Patih Natakusuma untuk melepaskan dominasi kekuasaan pemerintah kolonial terhadap kekuasaan Kerajaan Mataram. Pada bulan Juli 1741, Paku Buwono II memerintahkan pasukan Prajurit Mataram untuk segera menyerang Pos Garnisun yang merupakan benteng milik pemerintah kolonial, sehingga mengakibatkan pemerintah kolonial tidak akan mampu menghadapi serangan dari gabungan orang-orang cina dan prajurit Mataram.

Untuk menghadapi kondisi yang demikian, akhirnya pemerintah kolonial seperti biasa menggunakan taktik adu domba dengan meminta bantuan kepada Cakraningrat IV. Pemerintah kolonial dan pasukan dari Madura kemudian bergabung untuk menghadapi pemberontak hingga akhirnya berhasil mengalahkan pasukan Mataram dan orang-orang cina.

3


(48)

Akhirnya Paku Buwono II merasa sangat tertekan dan kemudian meminta maaf kepada pemerintah kolonial serta bersedia kembali memberi loyalitas penuh terhadap pemerintah kolonial.

Perlawanan terhadap pemerintah kolonial masih tetap dilakukan dengan kekuatan utama bukan orang-orang cina, melainkan pemberontak dari kerajaan Mataram. Para bangsawan Kartasura yang mendukung pemberontakan mengangkat Raden Mas Garendi (Sunan Kuning) sebagai pemimpin pemberontakan. Raden Mas Said akhirnya keluar dari istana dan bergabung bersama pasukan pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi (Sunan Kuning) tersebut.

Pasukan pemberontak akhirnya berhasil menduduki Kartasura pada bulan Juni 1742. Ketika Kartasura telah dikuasai oleh pasukan pemberontak, Paku Buwono II beserta Patih Pringgoloyo (pengganti Patih Natakusuma) beserta para pengikut mengungsi sementara ke Magetan, kemudian dilanjutkan ke Ponorogo.4Pada tahun 1742 Kerajaan Mataram berada dalam kondisi yang sangat lemah disebabkan oleh adanya pemberontakan yang didukung oleh Raden Mas Said, kondisi tersebut juga dibuktikan dengan jatuhnya eksistensi Kartasura. Raden Mas Said semakin yakin akan cita-citanya untuk menegakkan, mengembalikan kedaulatan Kerajaan Mataram

4

Radjiman, Sejarah Mataram Kartasura – Surakarta Hadiningrat (Surakarta: Krida, 1984), 20


(49)

dan menghapus dominasi kekuatan pemerintah kolonial di Kerajaan Mataram.5

Kartasura akhirnya jatuh ke tangan pemberontak. Paku Buwono II yang sedang mengungsi keluar dari Kartasura beserta pengikutnya, akhirnya meminta bantuan kepada pemerintah kolonial untuk merebut kembali tahta kerajaan dan sebagai imbalannya, raja memberikan sebagian kekuasaan kerajaan terhadap pemerintah kolonial untuk menentukan pejabat patih serta memberikan kekuasaan penuh di wilayah pesisir Kerajaan Kartasura.6

Pemerintah kolonial akhirnya menerima tawaran Paku Buwono II dengan senang hati, namun pemerintah kolonial juga merasa tidak sanggup lagi untuk menghadapi pemberontak di Kartasura.Sebagai solusinya, pemerintah kolonial mengajak pasukan Cakraningrat IV untuk bergabung bersama melawan pemberontak di Kartasura. Pada tanggal 24 Desember 1742, Kartasura akhirnya dapat direbut kembali dari pemberontak, salah satu pimpinan pemberontak yaitu Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning dengan sangat terpaksa menyerahkan diri kepada pemerintah kolonial yang kemudian diasingkan ke Sailan, sedangkan Raden Mas Said menolak untuk

5

Yayasan Mangadeg, Pangeran Sambernyawa: Ringkasan Perjuangannya (Surakarta: Rekso pustaka, 1988), 15

6

Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792 Sejarah Pembagian Jawa, 32


(50)

menyerahkan diri karena tekad Raden Mas Said harus tetap memperjuangkan cita-cita yang diimpikan.7

C. Upaya Perlawanan Raden Mas Said Pada Tahun 1743-1752 M (Periode Kedua)

Perjuangan periode kedua merupakan masa perjuangan Raden Mas Said ketika bergabung dengan pamannya yaitu Pangeran Mangkubumi untuk bersama-sama melawan kekuatan Paku Buwono II dan pemerintah kolonial.Pada periode ini juga timbul suatu perselisihan yang terjadi antara Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi.Perselisihan tersebut menimbulkan suatu akibat yang dimana Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi sama-sama memutuskan untuk berpisah dan berjuang masing-masing pada tahun 1752.

Pada tahun 1743, Paku Buwono II memutuskan untuk segera memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram yang pada awalnya berada di Kartasura menuju kira-kira 12 Km kearah sebelah timur di dekat Sungai Solo.Paku Buwono II kemudian mendirikan sebuah istana baru Surakarta.8Perpindahan pusat pemerintahan tersebut pada akhirnya tidak memberikan hasil keadaan yang stabil dari sebelumnya di Kerajaan Mataram, dikarenakan masih adanya bentuk pemberontakan yang dilakukan oleh 2 kubu kekuatan sekaligus yaitu kubu Pangeran Mangkubumi dan kubu Raden Mas Said.

7

Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 – 1900 Dari Imperium Sampai

Emperium, Cet. Ketiga, 98bn

8


(51)

Paku Buwono II kemudian dengan sigap membuat dan menyusun suatu strategi dengan inisiatif mengadakan suatu sayembara yang dimana sayembara tersebut berisi bahwa siapa saja yang dapat segera mengusir mundur Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said dari wilayah Sukowati akan diberi hadiah berupa tanah seluas 3000 karya oleh Raja Paku Buwono II.9Secara tiba-tiba Paku Buwono II mendapatkan kabar bahwa Pangeran Mangkubumi telah menyanggupi sayembara tersebut dan bekerjasama dengan Patih Pringgoloyo.Pada akhirnya terjadilah suatu pertempuran besar antara Pangeran Mangkubumi dengan Raden Mas Said dan dalam pertempuran tersebut Raden Mas Said bersama pasukannya terpaksa mundur dan kemudian melarikan diri ke sekitar daerah Matesih.10Kini Pangeran Mangkubumi telah berhasil menyingkirkan Raden Mas Said dan mendapatkan hadiah berupa tanah yang telah dijanjikan oleh Paku Buwono II di daerah Grobogan.

Pejabat pemerintah kolonial yaitu Jenderal Van Imhoff bersama dengan Patih Pringgoloyo memiliki siasat untuk segera mempengaruhi Paku Buwono II supaya tanah yang telah dijanjikan dalam sayembara tersebut dan yang akan diberikan kepada Pangeran Mangkubumi untuk dikurangi luasnya. Jenderal Van Imhoff terus meyakinkan Paku Buwono II bahwa tanah yang akan diberikan kepada Pangeran Mangkubumi terlalu besar luasnya dan kemudian Jenderal Van Imhoff juga membujuk Paku Buwono II agar hadiah tanah tersebut tidak jadi diberikan. Pada suatu pertempuran yang terjadi di

9

Ibid, 62 10


(52)

istana setelah itu, Jenderal Van Imhoff menegur Pangeran Mangkubumi sebagai seorang yang sangat ambisius.11 Jenderal Van Imhoff yang sangat kurang mengerti tata adat Jawa kemudian langsung menegur Pangeran Mangkubumi di depan umum bahwa tanah seluas 3000 karya yang telah dijanjikan oleh Paku Buwono II dalam sayembara tersebut dirasa terlalu luas dan melampaui batas dan harus dikurangi menjadi 1000 karya saja.12

Rasa kekecewaan Pangeran Mangkubumi terhadap keadaan tersebut pada akhirnya membuat Pangeran Mangkubumi memutuskan untuk keluar dari istana dan kemudian bergabung bersama dengan Raden Mas Said dengan tujuan untuk bersama-sama melawan kekuatan pemerintah kolonial dan Paku Buwono II. Strategi yang akan dilakukan untuk memperkuat ikatan antara Pangeran Mangkubumi dengan Raden Mas Said yaitu melalui pernikahan antara Raden Mas Said dengan seorang putri dari Pangeran Mangkubumi yang bernama Raden Ajeng Inten atau yang biasa disebut Kanjeng Ratu Bendara. Acara pernikahan tersebut kemudian diadakan pada tanggal 15 Besar, taun Be, 1672 Jawa atau sekitar 1747 Masehi.13

Pertempuran demi pertempuran melawan kekuatan pemerintah kolonial terus dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi bersama Raden Mas Said. Kekuatan kedua Pangeran tersebut sangat berpengaruh terhadap semangat para pengikut setia keduanya, sehingga timbullah banyak dukungan

11

Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 147 12

Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 – 1900 Dari Imperium

SampaiEmperium, Cet. Ketiga, 108

13


(53)

dari rakyat yang masih setia kepada mereka dan beberapa kerabat keraton khusus diberikan kepada kedua pangeran tersebut untuk terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial demi cita-cita bersama.Pasukan perlawanan dari kedua kekuatan pangeran tersebut pada ahun 1747 diperkirakan berjumlah 13.000 orang prajurit. Sedangkan pada saat itu pasukan yang dimiliki oleh pemerintah kolonial sangat lemah dan bahkan pada tahun 1748 Pangeran Mangkubumi dengan Raden Mas Said menyerang Istana Surakarta dan serangan tersebut sangat membahayakan keadaan istana.14

Sejak terjadinya pemberontakan di Kartasura, Paku Buwono II seringjatuh sakit dan pada tanggal 11 Desember 1749 terjadi penyerahan atas seluruh kedaulatan Kerajaan Mataram kepada pemerintah kolonial. Selisih beberapa hari kemudian, Paku Buwono II wafat dan dimakamkan di Laweyan sebelah barat Keraton Surakarta.Kemudian sebagai pengganti Paku Buwono II adalah putra mahkota sebagai Paku Buwono III.Pengangkatan Paku Buwono III disaksikan langsung oleh Ideller penasehat pemerintah kolonial dari Semarang. Pada saat yang bersamaan pula Pangeran Mangkubumi juga diangkat sebagai Raja Mataram di markasnya wilayah Yogyakarta dengan gelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurakhman Panatagama Kalifatullah.15

Pada tahun 1750 pertempuran yang semula dilakukan bergerilya berubah menjadi pertempuran yang terbuka dan terang-terangan.Pangeran

14

Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 152 15


(54)

Mangkubumi dengan Raden Mas Said semakin memperluaskan wilayah kekuasaan.Pangeran Mangkubumi berhasil menaklukkan wilayah bagian barat yaitu terdiri dari wilayah Bagelen, Pekalongan, Batang, dan Pemalang.Sedangkan Raden Mas Said juga berhasil menaklukkan wilayah bagian timur yaitu yang terdiri dari wilayah Madiun, Magetan, dan Ponorogo. Penaklukkan wilayah-wilayah tersebut tercantum dalam Babad Kemalon (Pakunagara) Jilid I pupuh ke-10 Mijil dan pupuh ke-11 Durma, yang isinya sebagai berikut:

“ Sabab ingkang rama Sri Bupati

Lamine rawoh

Saking Pakalongan sawadyane Sanget dennya angowah-owahi

Mring Pangran Dipati

Sanes adatipun”.

(Pupuh ke-10 Mijil, 1981: 333)

“ Jeng Pangeran Dipati Mangkunegara

Sabalane miranti Atengara budhal Ngetan marang Kaduwang

Sipeng kalih dalu margi Prapta Kaduwang Kitha kapanggih sepi

Ki Tumenggung Suradirja ka Magetan Munggeng elor bibiting

Gunung pan dhinungkar Jurang Lamuk wastanya Madiun Pangeran kakalih

Rama Saputra

Martalaya satunggil”.

(Pupuh ke-11 Durma, 1981: 343-345)

Kerukunan yang terjalin antara Pangeran Mangkubumi dengan Raden Mas Said berubah menjadi suatu perselisihan.Perselisihan tersebut disebabkan oleh dua persoalan yang amat kecil yaitu Raden Mas Said telah


(55)

berperilaku tidak sopan dan tidak mematuhi perintah Pangeran Mangkubumi.Hal tersebut bermula ketika Raden Mas Said telah berhasil menaklukkan wilayah Ponorogo dan berhasil memenggal kepala Bupati Ponorogo yaitu Suradiningrat.Sebagai bukti untuk ditunjukkan kepada ayah mertua bahwa Raden Mas Said telah menaklukkan wilayah Ponorogo, Raden Mas Said kemudian mengirimkan bingkisan berupa penggalan kepala bupati Suradiningrat kepada Pangeran Mangkubumi.Pangeran Mangkubumi merasa hal tersebut kurang sopan, hingga akhirnya Pangeran Mangkubumi memutuskan untuk segera menyusul Raden Mas Said di Ponorogo. Setelah sampai di Ponorogo, Pangeran Mangkubumi disambut hangat oleh Raen Mas Said, semua hasil jarahan berupa barang-barang perhiasan, emas, dan intan dipersembahkan kepada Pangeran Mangkubumi tidak ketinggalan pula anak peninggalan Bupati Suradiningrat sebanyak 70 orang. Kesalahan kembali dilakukan oleh Raden Mas Said, hal itu dikarenakan Raden Mas Said telah menyembunyikan dua orang wanita penari bedaya yang bernama Srimpi dan Sampet.Setelah Pangeran Mangkubumi mendengar bahwa Raden Mas Said menyembunyikan dua orang penari bedaya dan tidak dihaturkan, Pangeran Mangkubumi sangatah marah terhadap Raden Mas Said. Kemudian Raden Mas Said dipanggil oleh Pangeran Mangkubumi, akan tetapi Raden Mas Said tidak segera menghadap beliau. Kemarahan Pangeran Mangkubumi ditanggapi dengan serius oleh Raden Mas Said, Raden Mas Said merasa kecewa dan sejak saat itu berniat untuk memisahkan diri dari Pangeran Mangkubumi. Keputusan untuk memisahkan diri dengan Pangeran


(56)

Mangkubumi membuat sedih Raden Mas Said. Perpisahan tersebut dilakukan dengan cara mengutus Mas Rangga untuk menyampaikan surat kepada Pangeran Mangkubumi. Peristiwa tersebut dituangkan dalam Babad Kemalon (Pakunagara) Jilid I dalam pupuh ke-11 Durma dan pupuh ke-12 Asmaradana, yaitu sebagai berikut:

“ Wong Panaraga wus lumayu sasaran

Sedaya sampun gusis Lancang-linancang Samya arebut gesang Sarta binereg turanggi

Dipatinira Suradiningrat neggih

Pan kacandhak tinigas mustakanira Katur Pangran Dipati

Lawan kang atmaja Kacandhak wonten ngrana

Kacepeng gesang Kalawan wonten malih Kala aprang bedhahe ing Panaraga

Ing Sebtu Wage Uni Salikur kang wulan Ing Sasi Dulkangidah Tunggil Jimawal kang warsi

Sengkala Swara Turonggon Bahing Jalmi Sirahipun Dipati Surodiningrat

Katuaken Nerpati Srta kabandhangan Katur keng Rama Nata Rereb Pangeran Dipati

Neng ngara-ara

Injingipun lumaris”.


(57)

“ Pangeran Dipati nyalingkuhaken bedhaya

Ngendhak bedhaya kalih Pun Srimpi westanya Lan pun Sampet semana

Sarta dipun karemeni Kakalih pisan

Mring Pangeran Dipati “.

(Pupuh ke-11 Durma,1981: 351)

“ Semana Pangeran Dipati

Wuwuh awon mring kang rama Nanging sanget panlangsane

Wali-wali aputusan Serat dhateng Mas Rangga

Bebolehi purwanipun

Katura marang kang rama “.

(Pupuh ke-12 Asmaradana, 1981: 367)

Konflik yang terjadi di Mataram semakin berkepanjangan ketika Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said berpisah.Pada tanggal 11 April 1754, Baron van Hohendorff digantikan oleh Ideller Nicolash Harting.Harting merupakan sosok yang pandai adat istiadat Jawa, Harting mengambil strategi untuk melakukan perdamaian dalam mengatasi konflik-konflik yang terjadi, namun juga tetap mengambil keuntungan dari strategi tersebut.Strategi adu domba kembali dilakukan oleh pemerintah kolonial dan kali ini strategi tersebut dianggap sangat efektif untuk dilakukan kepada Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said yang sedang mengalami perselisihan.Pemerintah kolonial juga mengusulkan kepada Paku Buwono III supaya Pangeran Mangkubumi diberi wilayah dan Mataram dibagi menjadi


(58)

dua kerajaan.16Paku Buwono III akhirnya menyetujui usulan tersebut dan bahkan sebenarnya Pangeran Mangkubumi telah berali-kali dihubungi untuk diangkat menjadi sultan dan mendapat sebagian tanah kerajaan, akan tetapi Pangeran Mangkubumi belum bersedia dikarenakan masih menaruh kecurigaan terhadap pemerintah kolonial.17

Perundingan segera dilakukan antara Ideller Harting dengan Pangeran Mangkubumi, perundingan dilakukan pada tanggal 22 April 1754 di daerah Padangan, lebih tepatnya terletak diantara Demak dan Grobogan. Peristiwa tersebut tercantum dalam Babad Kemalon (Pakunagara) Jilid II Pupuh ke-19 Pangkur, yang isinya sebagai berikut:

“ Sigegen datan kang winarna

Kacarita Susunan Mangkubumi Manggihi tetamunipun

Ideller ing Semarang

Aprajanji abadhami ingkang rambug Pan wonten ing pasanggrahan

Katong padagangan nenggih “.

(Pupuh ke-19 Pangkur, 1981: 27-28)

Perundingan tersebut menghasilkan keputusan yang cukup memuaskan untuk kedua belah pihak yaitu Sunan Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi. Pada hari Kamis, 1 Sapar, taun Jimakir, 1681 Jawa atau 13 Februari 1755 di Desa Giyanti (sebelah timur Karanganyar) hasil perundingan ditandatangani oleh kedua belah pihak yaitu Sunan Paku

16

Pringgodigdo, Lahir Serta Tumbuhnya Kerajaan Mangkunegaran (Batavia: De Unie, 1938), 34

17


(59)

Buwono III dan Pangeran Mangkubumi, serta disaksikan oleh Ideller Harting. Peristiwa tersebut tercantum dalam Babad Kemalon (Pakunagara) Jilid II Pupuh ke-20 Dhandhanggula yang berisi sebagai berikut:

“ Henengana gentiya winarni

Ing Giyanti Susunan winarna Lan Kumpeni sabalane

Suka-suka kalangkung Andrawina siyang lan latri

Anata prajuritan Mantra punggawa gung Kang badhe Jumeneng Sultan Ingkang antuk negari Jawi sepalih

Kumpeni ingkang ngangkat Saking panjunjungira Kumpeni

Arsa pinalih negari Jawa Susunan Mangkubumine

Kalangkung raketipun Lan Kumpeni wonten Giyanti

Nulya kang kawarna Kumpeni kang rawuh Ideller saking Semarang

Prapteng Sala pra upeksi sang angering Wong pasisir binekta

Arsa ngatutaken ratu kalih Sunan Sala lan kang paman Sultan

Sunan lan Ideller rembug Tansah pikir Ideller lan Aji

Tumenggung Arungbinang Kang aris ing Marbung Katimbalan dhateng Sala Pirembagan Rungbinang tinari-nari

Mring sang Nata ing Sala “.

(Pupuh ke-20 Dhandhanggula, 1981: 55-56)

Perundingan berisi Pangeran Mangkubumi ditetapkan menjadi Sultan dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I di Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I memperoleh tanah seluas 53.100 karja (dalam wilayah Kerajaan Agung), serta 33.990 karja di dalam daerah Mancapraja atau di luar


(60)

Surakarta.18 Beberapa daerah yang menjadi hak Kraton Kasunanan Surakarta yaitu daerah Blitar, Brebeg, Nganjuk, Pace, Srengat, Kertasana, Tulungagung, Trenggalek, Kediri, Majarata, Basuki, Rembang, Blora, Wirasaba, Jagaraga, dan Magetan. Sedangkan daerah yang menjadi kekuasaan Kraton Kasultanan Yogyakarta meliputi daerah Madiun, Ponorogo, Samarata, Maespati, Sidayu, Pasuruan, Pacitan, Kalangbret, dan sepanjang pesisir Gresik.19

Perjanjian Giyanti merupakan bukti bahwa kekuatan Mataram kini terpecah menjadi dua kerajaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, namun disisi lain juga membuktikan bahwa kedua Kerajaan Mataram telah bersekutu dengan pihak pemerintah kolonial. Perjuangan yang harus dilakukan oleh Raden Mas Said kini bertambah berat.Raden Mas Said tidak hanya harus menghadapi kekuatan Kasunanan Surakarta dan pemerintah kolonial, tetapi juga harus menghadapi kekuatan Kasultanan Yogyakarta. D. Upaya Perlawanan Raden Mas Said Pada Tahun 1752-1757 M (Periode

Ketiga)

Perjuangan pada periode ketiga ini merupakan masa dimana perjuangan Raden Mas Said melawan tiga kekuatan gabungan sekaligus yaitu pasukan pemerintah kolonial, pasukan dari Kasunanan Surakarta dan pasukan dari Kasultanan Yogyakarta.

18

Sastradihardja, Harsana, dan Dwidjasusana, Sejarah Perjaungan R.M. Said(Surakarta: K.S Solo, 1972), 24

19


(61)

Pada tahun 1752, Raden Mas Said memutuskan untuk memisahkan diri dengan Pangeran Mangkubumi dan sejak saat itu Raden Mas Said harus berjuang melawan musuh tanpa dibantu oleh prajurit dari Pangeran Mangkubumi.Pertempuran demi pertempuran melawan pemerintah kolonial dan pasukan Kasunanan juga terusdilakukan oleh Raden Mas Said, bahkan pada akhirnya pasukan Raden Mas Said juga harus melawan pasukan Pangeran Mangkubumi yang merupakan masih mertuanya.

Perlawanan terus dilakukan oleh Raden Mas Said hingga akhirnya Raden Mas Said berhasil menaklukkan daerah Madiun dan membunuh Bupati Purwanegara.Pangeran Mangkubumi mengetahui bahwa Madiun telah berhasil dikuasai oleh Raden Mas Said maka Pangeran Mangkubumi segera memutuskan untuk menyerang Raden Mas Said dan pada akhirnya terjadilah pertempuran hebat antara Raden Mas Said dengan Pangeran Mangkubumi.Raden Mas Said kemudian mendapat dukungan dari para bupati daerah Bangwetan, sehingga Pangeran Mangkubumi dengan terpaksa menarik mundur pada prajuritnya. Para prajurit Pangeran Mangkubumi banyak yang tewas dan terluka parah. Raden Mas Said beserta rombongannya kemudian melanjutkan perjalanan ke Sukowati, dan di sepnjang perjalanan rombongan Raden Mas Said sering mendapat serangan tiba-tiba dari pemerintah kolonial dan juga dari para prajurit Pangeran Mangkubumi, namun serangan tersebut akhirnya dapat dikalahkan oleh Raden Mas Said beserta para rombongannya. Dalam Babad Kemalon (Pakunagara) Jilid I,


(1)

83

yang sama pula dan mendapat gelar menjadi “Kanjeng Gusti Adipati Arya

Mangkunegara (Mangkunegara I)”. pada tanggal 28 Desember 1795, Raden

Mas Said meninggalkan seorang permaisuri, 7 selir dan 25 putra setelah beliau memerintah selama 40 tahun di kadipaten.

2. Perjuangan Raden Mas Said dilakukan selam 16 tahun, perjuangan yang dilakukan dapat dibagai menjadi 3 periode, yaitu periode pertama, Tahun 1741 sampai 1742, periode kedua, Tahun 1743 sampai 1752 dan periode ketiga, Tahun 1752 sampai 1757. Perjuangan pada periode pertama

merupakan perjuangan yang dilakukan oleh Raden Mas Said ketika bergabung bersama dengan Raden Mas Garendi atau yang biasa disebut Sunan Kuning dalam peristiwa Geger Pacinan. Perjuangan pada periode kedua merupakan masa perjuangan Raden Mas Said ketika bergabung dengan pamannya yaitu Pangeran Mangkubumi untuk melawan kekuatan Paku Buwono II dan pemerintah kolonial dan pada perjuangan periode ini pula timbul suatu perselisihan yang terjadi antara Raden Mas Said dengan Pangeran Mangkubumi. Perselisihan tersebut mengakibatkan Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi berpisah pada ujung Tahun 1752. Pada perjuangan periode ketiga merupakan masa perjuangan Raden Mas Said melawan tiga kekuatan gabungan yaitu pemerintah kolonial, pasukan dari Kasunanan Surakarta dan pasukan dari Kasultanan Yogyakarta. Perjuangan Raden Mas Said diakhiri dengan perjanjian perdamaian yang dilaksanakan pada hari Sabtu Legi tangal 5 Jumadilawal Tahun Alip Windu Kuntara 1683


(2)

84

atau 17 Maret 1757. Pada tanggal tersebut dilakukan penandatanganan surat perjanjian antara Paku Buwono III, Hamengku Buwono I yang diwakili oleh Patih Danureja dan Raden Mas Said. Penandatanganansurat perjanjian tersebut dilakukan di daerah Kali Cacing, Salatiga dan disebut pula dengan Perjanjian Salatiga. Berdasarkan perjanjian Salatiga tersebut, Raden Mas Said berhak atas tanah seluas 4000 karya yang meliputi daerah Kaduwang, Nglaroh, Matesih, Wiroko, Hariboyo, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah Utara dan Selatan dari jalan post Kartasura-Solo, Mataram (ditengah-tengah kota Yogyakarta), dan Kedu.

3. Perjanjian perdamaian di Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757 merupakan awal dari masa kepemimpinan Raden Mas Said dan awal pendirian Kadipaten Mangkunegaran dengan dibangun sebuah Istana Mangkunegaran

yang disebut “Pura Mangkunegaran” dan penerimaan gelar nama untuk

Raden Mas Said menjadi Kanjeng Gusti Adipati Arya Mangkunegara I. Istana Mangkunegaran dibangun bukan hanya sebagai istana, melainkan sebagai pusat pemerintahan, kegiatan politik, kebudayaan, kemiliteran, serta keagamaan. Selama kurang lebih 40 tahun memimpin Kadipaten Mangkunegaran, Mangkunegara I behasil memajukan Kadipaten Mangkunegaran dalam berbagai bidang, yang diantaranya: bidang pertahanan dan keamanan, ekonomi, karya seni, serta keagamaan.


(3)

85

B. Saran-saran

Dengan terselesaikannya penulisan skripsi ini, maka penulis mempunyai saran-saran sebagai berikut:

1. Bagi Mahasiswa Sejarah Fakultas Adab dan Humaniora, bila mana nantinya akan ada yang tertarik untuk melakukan penelitian tentang Raden Mas Said (Mangkunegara I), hendaknya memiliki motivasi baru. Misalnya tentang nilai-nilai kepahlawanan yang terkandung dalam perjuangan Raden Mas Said.

2. Bagi pembaca umum, diharapkan akan memiliki semangat dan jiwa nasionalisme dan patriotisme yang dimiliki oleh Raden Mas Said (Mangkunegara I) untuk kesejahteraan rakyatnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, M.T. Kebudayaan Keraton dan Perubahan Masyarakat: Perspektif KGPAA Mangkunegara I. Simposium Nasional Pangeran Sambernyawa (KGPAA Mangkunegara I). Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1989

Bastomi, Suwaji. Karya Budaya KGPAA Mangkunegara I-VIII. Semarang: IKIP Semarang Press, 1996

Ciptoprawiro. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1986

De Graaf, H.J. Runtuhnya Istana Mataram. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti dan KITLV, 1990

_________ . Terbunuhnya Kapten Tack,Kemelut di Kartasura Abad XVII. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989

Fananie, Z. dan Sastronaryatmo, M. Konsep dan Sosok Kesenian Keraton: Perspektif KGPAA Mangkunegara I. Simposium Nasional Pangeran Sambernyawa. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1989

Hadiwijono. Konsepsi Tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan, 1983

Hendriatmo, Anton Satyo. Giyanti 1755.Tangerang: Cahaya Sahabat, 2006

Houben, Vincent J.H. Keraton dan Kompeni, Surakarta dan Yogyakarta, 1830-1870. Yogyakarta: Bnetang Budaya, 2002

Julianto, Kansil C.S.T. Sejarah Perjuangan Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta: Erlangga, 1977

Jong. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Kanisius, 1985

Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 500-1900, Dari Imperium sampai Emperium. Jakarta: Gramedia, 1992


(5)

Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia, 1986

_________ . Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah.Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya, 1995 Moedjanto, G. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya Oleh Raja-raja Mataram.

Yogyakarta: Kanisius, 1987

Nasution. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung: Tarsito, 1996

Nugroho, Notosusanto. Norma-norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah. Jakarta: Departemen Pertahanan Pusat Sejarah, 1971

Ngemron dan Maryadi. Ajaran-ajaran, Sikap dan Perilaku Keagamaan (Islam) KGPAA Mangkunegara I dan Relevansinya dalam Menghadapi Perkembangan Dunia Modern.Simposium Nasional Pangeran Sambernyawa. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1989 Pakempalan Pengarang Sera ing Mangkunegaran.Babad KGPAA Mangkunegara I.

Yogyakarta: Yayasan Mangadeg dan Yayasan Chentini, 1993

Pringgodigdo, A.K. Dhoemadhos Saha Ngrembakanipoen Pradja Mangkoenegaran. Surakarta,1935

_________ . Lahir serta Tumbuhnya Kerajaan Mangkunegaran (Terj. Soeroyo Taruswardjo). Batavia: De Unie, 1978

Radjiman. Sejarah Mataram Kartasura – Surakarta Hadiningrat. Surakarta: Krida, 1984

Remmelink, Willem. G.J. Perang China dan Runtuhnya Negara Jawa 1725-1743. Yogyakarta: Jendela, 2001


(6)

Ricklef, M.C. Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi 1794-1792, A History of The Divisionof Java. London: Oxford University Press, 1974

_________ . Sejarah Indonesia Modern (Terj. Dharmono Hardjowidjono). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991

_________ , M.C. Yogyakarta Dbawah Sultan Mangkubumi 1749-1792 Sejarah Pembagian Jawa (Terj. Hartono Hadikusumo dan E. Setiyawati Alkhatab). Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002

_________ . Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Terj. Satriyo Wahono, dkk). Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005

Santosa, Iwan. Legiun Mangkunegaran (1808-1942). Jakarta: Kompas, 2011 Soekanto. Sekitar Djokjakarta. Jakarta: Kinta, 1952

Soeratman, Darsiti. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta (1830-1939). Yogyakarta: Taman Siswa, 1984

Susanto, Nugroho Noto. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: Yayasan Idayu, 1978

Yasadipura. Serat Babad Giyanti. Jakarta: Balai Pustaka, 1920

Yayasan Mangadeg. Pangeran Sambernyawa: Ringkasan Sejarah Perjuangannya. Surakarta: Rekso Pustaka, 1998