TAUHID DALAM SURAT AL-IKHLAS PERSPEKTIF HAMKA DAN AL-ALUSI : STUDI KOMPARATIF ANTARA TAFSIR AL-AZHAR DAN RUHUL MA’ANI.

(1)

TAUHID DALAM SURAT AL-IKHLAS PERSPEKTIF

HAMKA DAN AL-ALUSI

( Studi komparatif antara Tafsir al-Azhar dan Ruhul

Ma’ani)

SKRIPSI

Oleh:

HABIB JAELANI NIM : E03211056

JURUSAN ILMU HADIS DAN ILMU ALQURAN FAKULTAS USHULUDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2015


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Habib Jaelani, Kalimat Tauhid Dalam Al-Ikhlas Perspektif Hamka Dan Al-Alusi ( Studi komparatif antara Tafsir al-Azhar dan ruhul Ma’ani).

Permasalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah Pertama apa perbedaan dan kesamaa penafsiran Hamka dan al-Alusi tentang kalimat Tauhid dalam surat Al-Ikhlas ? kedua bagaimana releven penafsiran mereka berdua tentang kalimat Tauhid dengan konteks sekarang ?

Adapun tujuan dalam peneliti ini adalah untuk memaparkan dan menjelaskan data penafsiran Hamka dan al-Alusi sebagai salah satu wacana bagi umat islam terkait dengan berbagai penafsiran yang muncul pada zaman dahulu sampai sekarang. agar masyarakat untuk dirasionalkan. kemudian dalam penafsiranya tidak mengabaikan kaidah-kaidah yang berlaku dalam ilmu tafsir yang telah disepakati oleh para ulama tafsir.

Dalam menjawab permasalahan di atas, peneliti ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan ( ribrary research ) dengan metode penyajian data secara

Deskritif dan Analitis . Deskriptif Analitis adalah memaparkan bagaimana kedua mufasir menafsirkan kalimat tauhid dalam al-Qur‟an kemudian membandingkan pendapat keduanya dalam menafsirkan kata tersebut.

Penelitian ini dilakukan karena melihat fenomena yang terjadi di zaman sekarang banyak orang yang menuhankan selain Allah sehingga tidak terasa merasa melakukan kesyirikan terhadap dirinya. Bahwa al-Qur’an memberikan

gambaran mengenai kalimat Tauhid terutama surat Ikhlas, banyak didalam al-Qur’an yang membicarakan tentang tauhid, hampir sepertiga al-Qur’an membicarakan tentang tauhid, Hamka dalam konsepnya ketauhitan yaitu mengesakan Allah/ menunggalkan Allah dari semua kepercayannya. dan al-Alusi dalam konsepnya Dia yang maha esa dalam Dzat, sifat dan perbuatan Nya, tiada Tuhan yang berhak di sembah kecuali Dia. Hamka dalam menafsirkan ayat-ayat di dalam surat al-Ikhlas mengenai tauhid, hamka menafsirkan logika dengan kehidupan masyarakat sehingga dapat di pahami oleh masyarakat. lain halnya al-Alusi kalau menafsirkan ayat-ayat tentang tauhid di dalam surat al-Ikhlas selalu

megunakan unsur balaghoh dan mengutip pendapat ulama‟ terdahulu.

Kesimpulan dari peneliti ini adalah banyak orang yang syirik kepada Allah sehingga hatinya buta dengan urusan dunia. Tauhid dalam islam adalah keyakinan yang mutlak di miliki oleh setiap Muslim. Hendaklah jangan sekali-sekali syirik kepada Allah. Dia yang maha tunggal tidak ada yang dapat menduakannya, agama islam melarang seorang muslim untuk syirik kepada Allah.


(6)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifiksai Masalah dan Batasan Masalah ... 9

C. Rumusan Masalah ... 10

D. Tujuan Penelitian ... 10

E. Kajian Pustaka ... 11

F. Kerangka Teori... . 12

G. Metode Penelitian ... 13

H. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TAUHID A. Pengertian Tauhid ... 18

1. Pengertian secara Etimologi ... 18

2. Pengertian secara Termonologi ... 24


(7)

BAB III : PENAFSIRAN HAMKA DAN AL-ALUSI TERHADAP KALIMAT TAUHID

A. Ayat Dan Terjemah ... 42

B. Penafsiran Hamka... 44

a. Biografi Hamka... 44

b. Deskripsi al-Azhar... 49

c. Metode dan corak al-Azhar... 50

d. Penafsiran hamka tentang kalimat Tauhid ... 52

C. Penafsiran al-alusi ...69

a. Biografi Hamka... 69

b. Deskripsi Ruhul Ma‟ani... 70

c. Metode dan corak Ruhul Ma‟ani... 72

d. Penafsiran al-Alusi tentang kalimat Tauhid ... 76

BAB IV : ANALISIS TERHADAP KEDUA MUFASIR TENTANG TAUHID A. Perbedaan penafsiran kalimat Tauhid antara Hamka dan al-Alusi ... 86

B. Analisis pandangan Hamka dan al-Alusi kedua penafsir tentang kalimat Tauhid ... 87

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... .... 90

B. Saran ... .... 91


(8)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Semenjak zaman dahulu manusia sering jatuh ke dalam lubang syirik.

Syirik adalah kesalahan yang sangat besar. Dengan demikian, hal pertama yang

dibutuhkan oleh manusia adalah Tauhid. Dengan Tauhid lah Allah mengutus para

nabi dan menurunkan kitab suci.1

Kesesatan yang sering dilakukan manusia bukanlah tidak percayah

kebenaran Allah, tetapi syirik kepada-Nya. Mereka berpendapat bahwa

tuhan-tuhan tersebut bisa mendekatkan mereka kepada Allah atau memberi syafa‟at kepada mereka.2

Banyak orang yang mengaku Islam. Namun jika kita tanyakan kepada

mereka, apa itu tauhid, bagaimana tauhid yang benar, maka sedikit sekali orang

yang dapat menjawabnya. Sungguh ironis melihat realita orang-orang yang

mengidolakan artis-artis atau pemain sepakbola saja begitu hafal dengan nama,

hobi, alamat, sifat, bahkan keadaan mereka sehari-hari. Di sisi lain seseorang

mengaku menyembah Allah namun ia tidak mengenal Allah yang disembahnya. Ia

tidak tahu bagaimana sifat-sifat Allah, tidak tahu nama-nama Allah, tidak

mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib dipenuhinya. Yang akibatnya, ia tidak

mentauhidkan Allah dengan benar dan terjerumus dalam perbuatan syirik.

Wal‟iyydzubillah. Maka sangat penting dan urgen bagi setiap muslim

1

Hasbi Ash- Shidiqiey, Sejarah dan Pengantar Tauhid (Jakarta : t.p., 1973), 42

2


(9)

2

mempelajari tauhid yang benar, bahkan inilah ilmu yang paling utama. Syaikh

Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Sesungguhnya ilmu tauhid adalah

ilmu yang paling mulia dan paling agung kedudukannya. Setiap muslim wajib

mempelajari, mengetahui, dan memahami ilmu tersebut, karena merupakan ilmu

tentang Allah Subhanahu wa Ta‟ala, tentang nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas hamba-Nya”.3

Seluruh umat manusia mengenal Tauhid jenis ini, termasuk orang-orang

musyrik bangsa di zaman Jahiliyah. Mereka bukanlah orang-orang yang

mengingkari Allah atau penciptaan-Nya terhadap dunia Allah, banyak bentuk

Tauhid yang harus mereka ketahui antara lain :













4

Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."











5

Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah; dan Sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana

3

Syarh Ushulil Iman, 4

4

Al-Qur‟an dan terjemah surat al-Ikhlas Ayat 1-4

5


(10)

3































Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam Keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), Maka ia menyeru dalam Keadaan yang sangat gelap : "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau, Sesungguhnya aku adalah Termasuk orang-orang yang zalim."







6

Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya.7

Dan ada juga di dalam Alquran surat Thaahaa ayat 14



















8

Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku. Segungguhnya hari kiamat itu akan datang aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan.

Tiap-tiap manusia mempunyai i‟tiqod sedikit ataupun banyak semakin banyak pengalamanya semakin subur ma‟rifatnya. Semakin tambah ilmunya

semakin bertambaah pula i‟itoqodnya dan lapanganya.9

Orang yang berpandangan Atheis hanya sedikit, bahkan bahkan sangat

jarang . sepanjang sejarah, keyakinan tersebut dianggap sebagai sebuah

penyimpanan. Adapun kepercayaan melainkan selain Allah yang dipercaya

melalui gaib, sering ditakuti dan diminta doa, adalah hal yang sering dilakukan

mayoritas umat manusia. Baik oleh bagsa berperadapan, Mundur, Kulit putih, atau

6

Alquran dan terjemah surat Al-„Arof ayat 02

7

Maksudnya : Allah mengatur langit dan bumi serta seisinya.

8

Alquran dan terjemah surat Thaaha ayat 14 9


(11)

4

Kulit hitam. Inilah hal yang diakui sendiri oleh orang-orang yang selama ini

meneliti agama dan sejarah.10

Salah seorang sejarah ada yang berkata, “ dalam sejarah, bisa didapatkan

negeri tanpa benteng, sekolah, dan istana, tetapi tidak pernah didapatkan negeri

tanpa rumah ibadah.11

Tulisan ini mengaji tema “Tauhid” dalam tafsir al-Azhar dan ruhul

Ma‟ani karya hamka dan al-Alusi yang sangat menarik untuk di bahas dan dianalisis tentu saja setelah memperhatikan latar belakang masalah berikit ini.

untuk lebih jelas pembahasan settidaknya perlu diberikan suatu gambaran sebagai

penegasan istilah atas tema yang diangkat dalam tulisan ini. kalimat “Tauhid”

setidaknya telah menjadi bentuk simbol ydimasyarakat. di setiap negara dan

setiap zaman sering didapatkan rumah ibadah. Namun, yang jadi persoalan adalah

siapa yang disembah di dalam tempat ibadah tersebut ?12

didalam dalam Alquran banyak yang menyinggung tentang tauhid di

antaranya yaitu surat al-ikhlas mengandung salah dari tiga ma‟rifat di atas, yaitu

ma‟rifatullah, dengan membersikan-Nya, mensucikan fikiran terhadap-Nya dengan mentauhidkan-Nya dari pada jenis dan macam. itulah yang dimaksud

bahwa Allah bukanlah bapak yang menghendaki anak, laksana pohon. bukan

diperanakan, naksana dahan yang berasal dari pohon, dan bukan pula mempunyai

tandingan, dandingan dan gandingan.13

10

Yusuf Al Qaradhawi, Akidah dan Shalaf ( Jakarta : Pustaka Al-kausar, 2006), 8 11

Ibid,.. 12

Ibid,.. 13


(12)

5

Surat al-Ikhlas Dari segi jumlah ayat, surat ini tergolong singkat, hanya

terdiri empat ayat. kendati begitu, kandungan isinya amat padat. Keimanan

kepada Allah SWT. yang menjadi perkara mendasar dalam Islam dijelaskan

dengan gamblang. tidak mengherankan jika rasulullah SAW. Menyebut surat ini

setara dengan Tsuluts Al-Qur‟an (sepertiga al-Qur‟an)

Mengenai seruan Tauhid, Al-Jailani pada bagian pertama dari konsepsi

wacananya sudah memberi wawasan bahwa tiga hal mutlak yang harus dimiliki

oleh orang Mukmin adalah menjaga perintah Allah, menghindari segala yang

haram, dan rela dengan takdir. Dalam wacana dua ia menuturkan.14

“ Ikutilah sunnah rosul dengan keimanan, jangan membuat bid‟ah, patuhilah selalu Allah dan Rosul-Nya, jangan melanggar, junjung tinggilah Tauhid, dan jangan menyekutukan-Nya, sucikanlah senantiasa...”15

Sebagaimana tokoh besar lainya, Al-Jailani juga mempunyai karya besar

yang terhimpun dalam wacana – wacana. Futuh Al-Ghoib adalah salah satu karyanya di samping Fath Ar-Rabbani, Gunyat Ath-Tholibin, dan Qosidah Al-Gautsiyah. Semua karya tersebut merupakan karya monumental sufistik yang besar nilainya dan tinggi sastranya, diwariskan kepada para putra dan muridnya.16

Pokok pembicaraan ilmu Tauhid ialah yang diterangkan dalil - dalilnya.

Dimaksud dengan aqidah ialah pendapat dan fikiran atau anutan yang

mempengaruhi jiwa manusia, lalu menjadi sebagai suatu suku dari manusia

14

Ahmad Zainuddin, Qulhu Sewu ( Pasuruan : SMP Alam Alas Welingan (SAAWI), 60

15

Abdul Qodir Jailani, Futuh Al-Ghoib, Syamsul Baharuddin Dan Ilyas Hasan(Penerjemah) (Bandung : Mizan, 1985), 43

16

M. Zainuddin, Karomah Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani (Yogyakarta : PT. LKiS Group, 2001), 57


(13)

6

sendiri , dibela, dipertahankan dan di‟itiqodkan bahwa hal itu adalah benar harus

dipertahankan dan diperkembangkan.17

Belakangan ini sering terdengar golongan yang tidak percaya adanya Allah

sebut saja orang-orang Atheis, orang yang mengingkari tauhid ini sedikit sekali.

Orang-orang Atheis mengatakan bahwa pendapat Allah telah menciptakan

manusia tidak benar, karena yang benar adalah manusia yang telah menciptakan

Allah !dengan kata lain , manusialah yang telah menciptakan pemikiran tentang

Tuhan.18

Tafsir al-Azhar, bila kita tinjau dari sisi sumber rujukan penafsiran yang

dipergunakan, Hamka juga menempuh Manhaj Naqli (Tafsir Bil Al-Ma‟sur/Bi

Ra‟wayah) itu terlihat misalnya ketika ia menukil riwayah dari abu hurairah ra.

tatkala membahas arti taqwa dalam kerangak penafsiran ayat Hudan Li Al-Muttaqin.19

Tafsir ruh al-Ma‟ani dinilai sebagaian ulama sebagai tafsir yang bercorak Isyari ( tafsir yang mencoba menguak dimensi makna batin berdasarkan isyarat

atau Ilham dan Ta‟wil Sufi) sebagaimana tafsir al-naisaburi. Namun anggapan ini di bantah oleh al-Dzahabi dengan menyatakan bahwa tafsir Ruh al-Ma‟ani bukan tafsir rujukan tafsir Isyari, maka tidak dikatagorikan sebagai tafsir Isyari. Al-Dzahabi memasukkan tafsir al-alusi ke dalam Bil al-Ra‟yi al-Mahmud ( tafsir berdasarkan ijtihad yang terpuji).20

17

Hasbi Ash- Shidiqieqy, Sejarah dan Pengantar Tauhid (Jakarta : Tp, 1973), 42

18

Yusuf Al Qaradhawi, Akidah dan Shalaf ( Jakarta : Pustaka Al-kausar, 2006), 8

19

http://semangatbelajar. com/biografi-buya-hamka/kamis : 06-08-2015 jam 14.00 Wib 20


(14)

7

Menurut al-Dzahabi dan Abu Syuhbah, tafsir Ruh al-Ma'ani merupakan kitab tafsir yang dapat menghimpun sebagian besar pendapat para mufassir

dengan disertai kritik yang tajam dan pentarjih terhadap pendapat-pendapat yang

beliau kutip. Di samping itu, sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab, Rasyid

Rida juga menilai bahwa al-Alusi sebagai mufassir yang terbaik di kalangan ulama Muta'akhkhirin karena keluasan pengetahuannya menyangkut pendapat-pendapat Muta‟Akhkhirin dan Mutaqaddimin. Namun, al-Alusi tidak luput dari kritikan. seperti, dia dituduh sebagai penjiplak pendapat ulama-ulama

sebelumnya, bahkan tanpa merubah redaksi-redaksi yang dijiplaknya.140

Sedangkan pendekatan yang dipakai dalam menafsirkan salah satunya adalah pendekatan sufistik, meskipun ia juga tidak mengesampingkan pendekatan bahasa, seperti nahwu-.saraf balagah dan sebagainya. Bahkan sebagaimana

penilaian al-Zahabi, porsi sufistiknya relatif lebih sedikit.141

Batasan makna “Al-Tauhid” menurut bahasa adalah menyakini keesahan Tuhan. Atau menganggap hanya ada satu, tidak ada yang lain. 21 Dalam

hubunganya dengan agama islam, menurut istilah, ia bermakna bahwa di dunia ini

hanya ada satu tuhan, yaitu Allah Rabbul „alamin. Tidak ada yang disebut tuhan atau dianggap sebagai tuhan, atau dinobatkan sebagai tuhan , selain Allah SWT.

Jadi semua yang ada di alam semesta ini adalah makhaluk belaka. Lain tidak,

Tidak ada kepercayaan yang menyelinap dalam hati, bahwa selain-Nya ada yang

pantas atau patut buat dipertuhankan. Pula nama tuhan selain Allah, harus dikikis

21

Muhammad Thahir Badrie, Syarah Kitab Al-Tauhid Muhammad Bin Abdul Wahab, (Jakarta : Panjimas, 1984), 24 - 25


(15)

8

habis. Inilah yang disebut kepercayaan monoteisme. Hanya percaya pada “ Satu Tuhan”22 Keesahan Allah sebagai Tuhan (Rabbun) bukanlah seperti sebuah sapu lidi, yang kenyataanya terdiri dari beberapa batang lidi yang di ikat menjadi satu,

sedangkan antara satu dengan yang lain, masih terpisah sendiri-sendiri. Tidak.

Juga tidak sama dengan sebatang rokok yang kenyataanya terdiri dari selembar

kertas, tembakau dan cengkeh, yang kalau dipisahkan satu dengan lain tidak lagi

bernama sebagi rokok. Masing-masing mempunyai sifat tersendiri. Pula tidak

sama dengan selembar kertas yang diolah dari beberapa unsur menjadi satu dan

berpadu. Jadi, keesahan Allah tidak terdiri dari beberapa benda yang disatukan,

baik bisa diuraikan lepas kembali atau tidak. Dan tidak sama dengan air yang bisa

dibagi bagi atau sebatang lidi yang dapat dipotong-potong. Di sinilah kelainan

Allah dengan semua makhaluk yang terdapat di alam ini. Dalam ilmu Aqoid, sifat

itu dikenal dengan istilah “ Mukhalafah lil hawadisi- berbeda dengan sesuatu

yang bersifat baru”.23

Pengakuan atas kesatuan, atau keesaan, atau tunggal-Nya tuhan dan

nama-Nya ialah Allah, kepercayaan itulah yang dinamai Tauhid. berarti menyusun

fikiran yang suci murni, tulus ikhlas bahwa tidak mungkin Tuhan itu lebih dari

satu. sebab pusat kepercayaan di dalam pertimbangan akal yang sehat dan berfikir

teratur hanya sampai kepada satu.24

22

Muhammad Thahir Badrie, Syarah Kitab Al-Tauhid Muhammad Bin Abdul Wahab, (Jakarta : Panjimas, 1984), 24 - 25

23

Ibid,..25

24

Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar Jus XXX, (Jakarta : Pustaka Panji Mas, 1987), 302


(16)

9

Tidak ada yang menyamai-Nya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak

pula ada teman hidup-Nya. karena mustahillah kalau dia lebih dari satu. karena

kalau dia berbilang, terbahagilah kekuasaan-Nya. kekuasaan yang terbagi, artinya

sama-sama kurang berkuasa. dan inilah alasan menggapa penulis mengangkat

kedua kitab diatas sebagai bahan referensi dan perbandingan dalam penyusunan

Skripsi.25

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah di atas, agar pembahasan lebih

terarah dan mudah untuk dipahami, penulis mengidentifikasi masalah sebagai

berikut:

1. Kalimat Tauhid setidaknya menjadi pondasi keimanan seseorang muslim

sejak zaman dahulu sampai sekarang dan memiliki nilai positif

2. Al-Qur‟an harus dipahami dan ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman, tetapi tidak boleh memaksakan kehendak zaman terhadap al-Qur‟an 3. perkembanganya pemahaman kalimat Tauhid dan berfariasi serta

kompleksnya difinisi tentang Tauhid

4. Penafsiran kalimat tauhid hanya terbatas pada penafsiran dalam tafsir al-azhar

dan Ruh al-Ma‟ani.

5. Hal-hal yang digambarkan oleh tafsir al-azhar dan ruh al-ma‟ani tentang kalimat Tauhid.

25

Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar Jus XXX, (Jakarta : Pustaka Panji Mas, 1987), 302


(17)

10

Disini penulis tidak akan membahas semua yang disebutkan di atas,

melainkan penulis hanya memfokuskan permasalahan pada perbandingan

penafsiran Hamka dan Al-Alusi dalam menafsirkan kalimat Tauhid . Selain itu,

penulis juga mengangkat permasalahan tentang apakah hakikat kalimat Tauhid

terhadap kehidupan sehari-hari kita.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, perlu adanya perumusan masalah

agar pembahasan dapat lebih terarah dan tidak melebar sangat jauh dari tujuan

awal yang ingin dicapai dari penelitian ini. Adapun rumusan masalah tersebut

adalah sebagai berikut:

1. Apa perbedaan dan kesamaan tafsiran Hamka dan al-Alusi tentang kalimat

Tauhid di dalam surat al-Ikhlas ayat 1- 4 ?

2. Bagaimana relevensi penafsiran mereka berdua tentang tauhid dengan

konteks sekarang?

D. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui perbedaan penafsir Tauhid menurut Hamka dan Al-alusi !

2. untuk mengetahui bagaimana relevansi penafsiran mereka berdua tentang


(18)

11

E. Kajian Pustaka

Sejauh ini penulis belum menemukan penelitian yang berfokus pada

Makna Kalimat Tauhid Menurut Penafsiran Hamka dan Al-Alusi. Adapun penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya adalah sebagai berikut :

1. Eksistensi Tuhan Menurut Muhammad Abduh Dalam Risalah Tauhid,

yang di tulis oleh Lulis setyawati Mahasiswa Ushuluddin jurusan Aqidah

Filsafat IAIN Sunan Ampel tahun 1998. Penelitian ini merupakan

penelitian yang berfokus pada pemikiran muhammad Abduh tentang

Tuhan yang termaktub dalam karyanya Risalah Tauhid, tentang bagaimana

sifat dan zat Allah. Dengan mengutamakan akal dalam memahami

keberadaan Tuhan. Dalam hal ini Abduh berusaha membebaskan aqidah

umat Islam dari faham Jabariyah. Menurut Jabariyah Manusia mutlak bergantung pada kekuasaan dan kehendak Tuhan.

Pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan

refleksi yaitu dengan mengangkat kembali pemikiran-pemikiran

Muhammad Abduh melalui teknik library researh.

Dalam penelitian tersebut tidak membicarakan penafsiran sama

sekali, hanya berfokus pada bagaimana metode Abduh dalam memahami

keberadaan Tuhan. Hal ini Sangat berbeda jauh dengan penelitian yang

akan penulis teliti karena penelitian yang akan penulis teliti berfokus pada

penafsiran seorang tokoh terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang


(19)

12

2. Tauhid dalam Al-Qu‟ran yang ditulis oleh Masduri mahasiswa Ushuluddin jurusan Tafsir Hadis angkatan tahun 1998. Titik fokus dalam penelitian

ini adalah pemikiran Ibnu „Arabi tentang eksistensi Tauhid.

Pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan

refleksi yaitu dengan mengangkat kembali pemikiran-pemikiran

Muhammad Abduh melalui teknik library researh.

Tanpa menyentuh penafsiran ayat-ayat Alquran sang peneliti ingin

menunjukkan metode yang dipakai Hamka dan Al-Alusi dalam

memahami makna Tauhid.

F. Kerangka Berfikir

kerangka berfikir dapat berupa kerangka teori dan dapat pula berbentuk

kerangka penalaran logis. kerangka logis itu merupkan uraian ringkas tentang

teori yang digunakan dan cara mengunakan teori itu dalam menjawab pertanyaan

penelitian. kerangka penalaran logis merupakan urutan berfikir logis, sebagai

suatu ciri cara berfikir ilmiah yang akan digunakan, dan cara menggunakan logika

tersebut dalam pemecahan masalah. kerangka berfikir itu persifat operasional,

yang diturunkan dari satu atau beberapa teori, atau pertanyaan-pertanyaan yang

logis. ia berhubungan dengan masalah penelitian dan menjadi pedoman dalam


(20)

13

G. Metodologi Penelitian

1. Model Penelitian

Dalam penelitian ini, model yang digunakan adalah penelitian Kualitatif,

yaitu suatu pendekatan penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Inkuiri

naturalistik adalah pertanyaan dari diri penulis terkait persoalan yang sedang

diteliti, yaitu tentang indikasi adanya pemahaman secara implisit dalam surat

Al-Baqarah: 163 yang terkait mengenai Tauhid.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian non-empirik yang menggunakan

metode kepustakaan (library research). Dimana sumber-sumber datanya diperoleh dari buku, jurnal, penelitian terdahulu dan literatur-literatur lain

yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.26

3. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari dokumen

perpustakaan yang terdiri dari dua jenis sumber, yaitu sumber data primer dan

sekunder.27

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah rujukan utama yang akan dipakai, yaitu

al-Qur‟a>n al-Kari>m, Tafsir Al-Azhar karya Hamka , dan Ruh al-ma‟ani

karya Al-Alusi . Karena, objek utama dalam penelitian ini adalah teks

26

M.Amirin Tatang, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 94


(21)

14

Alquran surat thaaha dan perbandingan penafsiran antara dua tokoh tafsir

tersebut.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber sekunder yang merupakan sebagai pelengkap dalam

penelitian ini diantaranya:

1) Maba>h}ith fi> „Ulu>m al-Qur‟a>n karya Manna>„ al-Qat}t}a>n.

2) Memahami Al-Qur‟an; Perspektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin

karya M. Ridlwan Nasir.

3) Wawasan Baru Ilmu Tafsir karya Nashruddin Baidan.

4) Dan karya-karya-karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan objek

penelitian.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode

dokumentasi, yaitu mencari dan mengumpulkan berbagai data berupa catatan,

buku, kitab, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan hal-hal atau

variable terkait penelitian berdasarkan konsep - konsep kerangka penulisan

yang sebelumnya telah dipersiapkan.

5. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan dalam menganalisis data


(22)

15

1. Metode deskriptif, yaitu merasakan makna kalimat Tauhid . Maksudnya

adalah menggambarkan bagaimana para ahli tafsir menafsirkan kalimat

Tauhid dalam Alquran.28

2. Metode Komparatif, yaitu membandingkan persamaan dan perbedaan

pandangan orang terhadap makna, hakikat , pendapat seseorang atau

dalam hal ini membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam

menafsirkan Alquran. Terutama antara penafsiran makna kalimat Tauhid

menurut penafsiran Hamka dan Al-Alusi terhadap Alquran.29

Metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat Alquran

yang di tulis oleh sejumlah para penafsir. disini seorang penafsir

menghimpun sejumlah ayat-ayat Alquran, kemudian ia mengkaji dan

meneliti penafsiran sejumlah penafsiran mengenai ayat tersebut mulai

kitab-kitab tafis mereka, apakah mereka itu penafsir dari generasi salaf

maupun kholaf, apakah tafsir itu Tafsir Bi Al-Ma‟sur maupun al-Tafsir bi

Ra‟yu.30

Dalam hal ini, seorang peneliti juga berusaha memperbandingkan

arah dan kecenderungan masing-masing penafsir, dan menganalisis

tentang apa gerangan yang melatar belakangi seorang penafsir menuju

arah dan memiliki kecenderungan tertentu, sehingga peneliti dapat

melihat dengan jelas siapa di antara penafsir tersebut yang dipengaruhi

28

M.Amirin Tatang, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 94

29M.Amirin Tatang, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta : PT. Raja Grafindo

Persada, 1995), 94

30

Abdul al-Hary al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu‟iy, Terjemah Surya A. Jamrah (Jakarta :PT Rajagrafindo, 1994), 30


(23)

16

oleh perbedaan mazhab, dan siapa yang bertendensi untuk memperkuat

suatu mazhab.31

Selanjutnya, peneliti juga akan menejaskan bahwa diantara para

Mufasir tersebut ada yang dipengaruhi oleh spesialisasi ilmunya, sehingga

kecenderungan masing-masing penafsir tampak jelas. bagaimana seorang

penafsir itu, misalnya ada yang cenderung mengemukakan pembahasan

tentang aspek i‟rob dan balaghah, ada yang gemar mengemukakan kisah

dan peristiwa yang tidak rasional dan tidak didukung oleh dalil naqli dan

bagaimana pula sebagai penafsir itu ada yang dipengaruhi oleh semangat

keasyariahnya dan bagaimana pula suatu penafsiran itu sangat dengan

ide-ide, teori-teori ilmiah, dan ide-ide falsafah.32

3. Setelah semua data terkumpul, baik primer maupun sekunder

diklasifikasikan dan di analisis sesuai dengan sub-bahasan masing-masing

secara objektif.33

31

Abdul al-Hary al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu‟iy, Terjemah Surya A. Jamrah (Jakarta :PT Rajagrafindo, 1994), 30

32

Abdul al-Hary al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu‟iy, Penerjemah Surya A. Jamrah (Jakarta : PT Rajagrafindo, 1994), 31

33M.Amirin Tatang, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta : PT. Raja Grafindo


(24)

17

H. SISTEMATIKA

BAB I : Pendahuluhan, meliputi Latar Belakang Masalah, Identifiksai Masalah dan Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan

Penelitian, Kajian Pustaka, Kerangka Teoritik, Metode Penelitian.

BAB II : Dalam bab ini Berisi tentang pengertian Tauhid, dalam kajian keislaman yakni, kajian pembagian kalimat Tauhid dan

bentuk-bentuk tauhid dalam kajian keislaman, dalam hal ini berpedoman

pada pendapat para ulama mutakalimin.

BAB III : Dalam bab ini berisi tentang penafsiran,Biografi Hamka dan al-Alusi dari riwayat hidup, perjalanan pendidikannya serta karir

beliau, serta mengulas tentang kitab tafsir karya beliau yakni Tafsir al-Azhar dan Ruh al-Ma‟ani baik metode, kecenderungan dan keunggulan serta kelemahan dari tafsir tersebut.

BAB IV : Dalam bab ini berisi tentang analisi tentang perbedaan dan kesamaan Hamka dan al-Alusi terhadap kalimat tauhid yang ada

dalam surat al-Ikhlas serta menganalisis terhapat penafsirannya.

BAB V : Dalam Bab ini berupa penutup yang berisi tentang kesimpulan dari pembahasan yang telah diteliti serta saran dan kritikan


(25)

18

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TAUHID

A. Pengertian

1. Pengertian Secara Etimologi

Tauhid, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata tauhid merupakan kata benda yang berarti keesaan Allah; kuat kepercayaan bahwa Allah hanya satu.

Perkataan tauhid berasal dari bahasa Arab, masdar dari

kata Wahhada (دحو) Yuwahhidu( دحوي).Tauhidan (ادحوت ).1

Secara etimologis, tauhid berarti keesaan. Maksudnya, keyakinan bahwa

Allah SWT adalah Esa, Tunggal, satu. Pengertian ini sejalan dengan pengertian

tauhid yang digunakan dalam bahasa Indonesia, yaitu ―keesaan Allah‖; mentauhidkan berarti ―mengakui akan keesaan Allah mengeesakan Allah‖.2

Jubaran Mas’ud menulis bahwa tauhid bermakna ―beriman kepada Allah, Tuhan yang Esa‖, juga sering disamakan dengan―ه اا هلاا‖―tiada Tuhan Selain Allah‖.3

Fuad Iframi Al-Bustani juga menulis hal yang sama. Menurutnya tauhid

adalah Keyakinan bahwa Allah itu bersifat ―Esa‖.4

Jadi tauhid berasal dari kata “wahhada” (دحو) ―yuwahhidu‖ (دحوي) ―

Tauhidan‖ (اديحوت), yang berarti mengesakan Allah SWT.5

1

M.Yusran Asmuni dari Tim penyusun kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Departemen P & K, Jakarta,1989. dalam bukunya ―Ilmu Tauhid‖ Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,1993),1

2 Ibid,.. 3

Jubaran Mas’ud,Raid Ath-Thullab( Beirut : Dar Al’ilmi Lilmalayyini, 1967), 973.

4

Fuad Iqrami Al-bustani, Munjid Ath-Thullab( Beirut: Dar Al-Masyriqi, 1986), 905.

5


(26)

19

Menurut Syeikh Muhammad Abduh tauhid ialah : suatu ilmu yang

membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat

yang boleh disifatkan kepada-Nya, dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib

dilenyapkan pada-Nya.Juga membahas tentang rasul-rasul Allah, meyakinkan

kerasulan mereka, apa yang boleh dihubungkan (dinisbatkan) kepada mereka, dan

apa yang terlarang menghubungkannya kepada diri mereka.6

Menurut Zainuddin, Tauhid berasal dari kata ―wahid‖(دحاو) yang artinya

―satu‖. Dalam istilah Agama Islam, tauhid ialah keyakinan tentang satu atau Esanya Allah, maka segala pikiran dan teori berikut argumentasinya yang mengarah kepada kesimpulan bahwa Tuhan itu satu disebut dengan Ilmu Tauhid.7

Ada beberapa istilah lain yang semakna atau hampir sama dengan tauhid yakni :

a. Iman. Menurut Asy ‘ariyah iman hanyalah membenarkan dalam hati. Senada dengan ini Imam Abu Hanifah mengatakn bahwa iman hanyalah „itiqad. Sedangkan amal adalah bukti iman. Namun tidak dinamai iman. Ulama Salaf di

antaranya Imam Ahmad, Malik, dan Syafi’i, iman adalah :

اكرااب ل عو اسللاب قط و ا جلاب داقتعا

Iman adalah sesuatu yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota tubuh.8

b. Aqidah. Menurut bahasa ialah keyakinan yang tersimpul kokoh di

dalam hati, mengikat, dan merngandung perjanjian. Sedangkan menurut

terminologis di antaranya pendapat Hasan al-Banna mengatakan bahwa aqidah

ialah beberapa hal yang harus diyakini kebenarannya oleh hati, sehingga dapat

6

Yusron Asmuni, Op.cit., 2. 7

Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 1. 8


(27)

20

mendatangkan ketenteraman, keyakinan yang tidak bercampur dengan

keragu-raguan.9Penyusun cenderung kepada pendapat Yunahar Ilyas yang

mengidentikkan antara tauhid, iman, dan aqidah. Tauhid merupakan tema sentral

aqidah dan iman.10

Hakeem Hameed mengartikan tauhid sebagai sebuah kepercayaan

ritualistik dan perilaku seremonial yang mengajak manusia menyembah realitas

hakiki (Allah); dan menerima segala pesan-Nya yang disampaikan lewat

kitabkitab suci dan para Nabi untuk diwujudkan dalam sikap yang adil, kasih

sayang, serta menjaga diri dari perbuatan maksiat dan sewenang-wenang demi

mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.11

Tauhid menurut Abu al-A’la al-Maududi adalah kalimat deklarasi seorang muslim, kalimat pembeda seorang muslim dengan orang kafir, ateis dan musyrik.

Sebuah perbedaan yang lebih terletak pada peresapan makna tauhid dan

meyakininya dengan sungguh-sungguh kebenaran-Nya dengan mewujudkannya.

dalam perbuatan agar tidak menyimpang dari ketetapan Ilahi.12

Lain halnya Muhammad Taqi, Tauhid berarti meyakini keesaan Allah.

Keyakinan ini berarti meyakini bahwa Allah adalah satu dalam hal wujud,

penciptaan, pengatur, pemerintah, penyembahan, meminta pertolongan, merasa

9

Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta : LPPI, 2004), 4. 10

Ibid,

1 Hakeem Abdul Hameed, Aspek-aspek Pokok Agama Islam, terj. Ruslan Shiddieq, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983), Cet. 1, 36.

12

Abul A’la al-Maududi, Prinsip-prinsip Islam, terj. Abdullah Suhaili, (Bandung:


(28)

21

Takut, berharap, dan tempat pelabuhan cinta. Intinya tauhid menghendaki agar

seorang muslim menyerahkan segala urusan dan hatinya hanya kepada Allah.13

Maka nampak bahwa secara umum, Tauhid lebih sering diartikan dengan

teoantroposentris; yang mana pembahasannya masih berkutat pada pemusatan

pada Allah dan bahwa manusia mesti mengabdi pada-Nya. Belum ada

pembahasan secara rinci tentang tauhid sebagai prinsip kehidupan, prinsip pokok

yang menjadi prinsip atas aspek-aspek kehidupan. Aspek keluarga, negara,

ekonomi, sosial, politik, sosial, pengetahuan dan sebagainya selengkap yang

dilakukan oleh Ismail Raji al-Faruqi.14

Kata Tauhid terdiri dari perkataan ―Theos‖ artinya Tuhan, dan ―logos

yang berarti ilmu (science, study, discourse). Jadi Theologi berarti ilmu tentang Tuhan atau ilmu ketuhanan. Definisi theologi yang diberikan oleh para ahli-ahli

ilmu agama antara lain dari Fergilius Ferm, yaitu: The discipline which concerns

God (or the Divine Reality) and God‟s relation to the world (Tauhid ialah

pemikiran sistematis yang berhubungan dengan alam semesta).15

Al-Qusyairi, lengkapnya Abul-Qasim Abdul-Karim al-Qasyairi adalah sufi

terkemuka dari abad ke-11 (5 H). la lahir pada 986 (376 H) di Istiwa, dekat

dengan salah satu pusat pengajaran ilmu-ilmu agama, kota Nisyapur (di Iran).

Sebelum menyelami dan mengamalkan ilmu tasawuf, terlebih dahulu ia

mendalami fikih, ilmu kalam, usul fikih, sastra Arab, dan lain-lain. la belajar dan

13

Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Filsafat Tauhid, terj. M. Ha bin Wicaksana, (Bandung: Mizan, 2003), 61-64.

14

Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988), Cet. 1, seluruh isi buku.

15


(29)

22

bergaul dengan banyak ulama, antara lain dengan Abu Bakar Muhammad bin Abu

Bakar at-Tusi (w. 1014/405 H), ahli fikih, dengan Abu Bakar bin Faurak (w.

1016/407 H), ahli usul fikih dan ilmu kalam, dengan Abu Ishaq al-Isfarayaini (w.

1027/418 H), dan lain-lain.16

Setelah matang menyelami ilmu lahir, sehingga ia pantas disebut ahli

fikih, yang menganut mazhab Syafi'i, dan ahli ilmu kalam, yang menganut aliran

Asy’ariyah atau Ahlus Sunnah wal-Jamaah, ia melanjutkan studinya pada seorang sufi terkenal di Nisyapur yaitu Syekh Abu Ali ad-Daqqaq (w. 1023/412 H). Syekh

ini mempunyai pengaruh yang besar atas pribadi al-Qusyairi, dan hasil

membimbingnya menjadi bagian dari kelompok murid-murid yang istimewa

(khawas). Al-Qusyairi bahkan dikawinkan dengan putri Syekh Ali ad-Daqqaq.17

Dengan latar belakang kematangan dalam ilmu lahir (syariat), tidak

mengherankan bahwa tasawuf yang dianut dan diajarkan oleh al-Qusyairi adalah

tasawuf yang sejalan dengan ajaran syariat. Dari tulisan-tulisannya yang

dijumpai, terlihat bahwa ia berupaya menyadarkan orang bahwa tasawuf yang

benar itu adalah tasawuf yang bersandarkan pada akidah yang benar, seperti yang

dianut oleh para salaf atau ahlus sunnah, dan tidak menyalahi ketentuan syariat.18

Sebagai pengikut Tauhid Asy'ariyah, ia juga aktif membela.akidah Ahlus

Sunnah wal-Jamaah, dan menyerang aliran-aliran lain, seperti Syi'ah, Mu'tazilah,

dan lain-lain. Karena aktivitas demikian, ia pernah dipenjarakan pada 1055 (445

H), selama lebih sebulan, oleh pihak penguasa (Tugrul Bek), berdasarkan saran

16

A. Hanafi, Pengantar Tauhid Islam (Jakarta : Pustaka al-Husna Baru, 2003), 1. 17

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, EnsiklopediIslamIndonesia, Jakarta: IKAPI 1992), 796-798.

18 Ibid,...


(30)

23

menterinya yang berpaham Syi'ah. Dua puluh tahun kemudian, ia wafat dan

dikuburkan di Nisyapur (pada 1075/465 H).

Karya al-Qusyairi yang amat berharga bagi sejarah kesufian adalah karya

tulisnya yang bernama ar-Risalat al-Qusyairiyyat, karena dengan karya tulis tersebut ia telah berhasil mengabadikan warisan rohaniah kaum sufi abad ke-3 dan

4 Hijrah, berupa keterangan-keterangan tentang perjalanan hidup dan

wejangan-wejangan para tokoh sufi. Karya tulisnya yang lain, yang cukup penting pula

adalah Lataifal-Isyarat, sebuah kitab tafsir al-Quran dengan penafsiran kesufian. Selain dari kedua karyatulis di atas (sudah dicetak), masih ada 13 buah judul lagi

karya tulisnya, sebagian sudah diterbitkan dan yang lain masih berupa manuskrip

(tulisan tangan).19

Dalam konsepnya tentang Tauhid, Al-Qusyairi membagi Tauhid dalam

tiga kategori : Pertama, Tauhid Allah untuk Allah, yakni mengetahui bahwa

Allah itu Esa. Kedua, mengesakan Allah untuk makhluk, yaitu keputusan Allah

bahwa seorang hamba adalah yang mengesakan-Nya dan Allah menciptakannya

sebagai hamba yang mempunyai tauhid. Ketiga, Tauhid makhluk untuk Allah,

yaitu seorang hamba yang mengetahui bahwa Allah adalah Esa. Dia memutuskan

sekaligus menyampaikan bahwa Allah itu Esa. Uraian ini merupakan penjelasan

singkat tentang makna tauhid.20

19

Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, Abul, Risalah Qusyairiyah (Jakarta : Pustaka amani, 2002), 4.

20 Ibid...


(31)

24

2. Pengertian Secara Terminologi

Kalimat ―Tauhid‖ secara bahasa arab merupakan bentuk masdar dari fi’il

Wahhada-Yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: ―Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain

sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya‖ 21

Secara istilah syar’i, makna Tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya. Dari makna ini

sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh

manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan

makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah

sebagai satu-satunya sesembahan saja.22

Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil Tauhid yang dilakukan para

ulama sejak dahulu hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid

terbagi menjadi tiga: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Al Asma

Was Shifat.

Tauhid (bahasa Arab: ديحوت) merupakan konsep monoteisme Islam yang mempercayai bahawa Tuhan itu hanya satu. Tauhid ialah asas Aqidah. Dalam

bahasa Arab, "Tauhid" bermaksud "penyatuan", sedangkan dalam Islam, "Tauhid"

bermaksud "menegaskan penyatuan dengan Allah". Lawan untuk Tauhid ialah

21

Syarh Tsalatsatil Ushul,... 39.

22


(32)

25

"mengelak daripada membuat", dan dalam bahasa Arab bermaksud

"pembahagian" dan merujuk kepada "penyembahan berhala".23

Tauhid menurut bahasa artinya mengetahui dengan sebenarnya Allah itu

Ada lagi Esa. Menurut istilah, tauhid ialah satu ilmu yang membentangkan

tentang wujudullah (adanya Allah) dengan sifat-Nya yang wajib, mustahil dan jaiz

(harus), dan membuktikan kerasulan para rasul-Nya dengan sifat-sifat mereka

yang wajib, mustahil dan jaiz, serta membahas segala hujah terhadap keimanan

yang berhubung dengan perkara-perkara sam’iyat, iaitu perkara yang diambil dari al-Quran dan Hadis dengan yakin.24

Dinamakan ilmu ini dengan Tauhid, adalah karena pembahasan – pembahasanya yang paling menonjol, Ialah pembahasan tentang ke-Esahan Allah

yang menjadi sendi asasi agama Islam, Bahkan sendi asasi bagi segala agama

yang benar yang telah dibawakan oleh para Rosul yang diutus Allah.25

Kemudian ditegaskan oleh Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqadimah

bahwa kata Tauhid mengandung makna keesaan Tuhan.26 telah dipahami bersama

bahwa setiap cabang ilmu pengetahuan itu telah mempunyai obyek dan tujuan

tertentu karena itu setiap cabang ilmu pengetahuan juga masing-masing

mempunyai batasan-batasan tertentu pula. Demi batasan-batasan tertentu

pengaruhnya adalah sangat besar bagi para ilmuan dan cendikiawan di dalam

23

Wikipedia, ensiklopedia bebas.

24

Ibid,..

25

Ibid,..

26

Ibnu Khaldun, Muqoddimah, Terj. Ahmadie Thoha (Jakarta : Pustaka Firdaus, Cetakan Pertama, 1986), 589


(33)

26

membahas, mengkaji, dan menelaah obyek garapan dari suatu cabang ilmu

pengetahuan. Begitu juga halnya kajian ilmu Tauhid yang telah di paparkan oleh

para ahli sebagai berikut.27

a. Syekh Muhammad Abduh mengatakan bahwa :

ilmu tauhid ialah ilmu yang membahas tentang wujud Allah dan sifat

wajib ada pada-Nya dan sifat yang tidak halus pada-Nya (Mustahil), ia

juga membahas tentang para rasul untuk menegaskan risalahnya,

sifat-sifat yang wajib ada padanya yang boleh ada padanya (Jaiz) dan yang

tidak boleh ada padanya ( Mustahil).28

b. Syekh Husain Affandi Al-Jisr AL-Tharablusy menta’rifkan sebagai berikut : Ilmu Tauhid ialah ilmu yang membahas atau membicarakan

bagaimana menetabkan aqidah (agama Islam) dengan mengunakan

dalil dalil yang menyakinkan. 29

Dengan demikian ilmu Tauhid adalah salah satu cabang ilmu studi

keislaman yang lebih memfokuskan pada pembahasan wujud Allah dengan segala

sifatnya serta para Rosul-Nya, sifat-sifat dan segala perbuatanya dengan berbagi

pendekatan.30

Batasan makna ― Al-Tauhid‖ menurut bahasa adalah menyakini ke-Esa-an Tuhan. Atau menganggap hanya ada satu, tidak ada yang lain. Dalam

27

Mulyono dan Bashori, Studi Ilmu Tauhid/Kalam (Malang : UIN-Maliki Press,2010),14

28

Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Terj. KH. firdaus (Jakarta : AN-PN Bulan Bintang, Cetakan pertama, 1963),33

29

Husain Affandi Al-Jish, Al-Hushusnul Hamidiyah, terj. Ahmad Nabhan (Surabaya : t.p., 1970), 6

30


(34)

27

hubungannya dengan agama Islam, Menurut istilah, Ia bermakna bahwa di dunia

ini hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah Rabbul „alamin. tidak ada yang disebut Tuhan, atau di anggap sebagai Tuhan, atau di nobatkan sebagai Tuhan, selain

Allah Swt. Jadi semua yang ada disemesta ini, adalah makhaluk belaka. Tidak

ada boleh ada kepercayaan yang menginap dalam hati, bahwa selain-Nya ada

yang pantas atau patut buat dipertuhan. Pula nama Tuhan selain Allah, Wajib

tidak ada . Jika masih ada sedikit aja kepercayaan selain-Nya, harus dikikis habis.

Inilah yang disebut monoteisme. yakni hanya percaya pada ―Satu Tuhan‖.31

Tauhid mengetahui dan menyaakinkan bahwa Allah itu tunggal tidak ada

sekutunya. Sejarah menunjukan, bahwa pengertian manusia terhadap terhadap

Tauhid itu sudah tua sekali, yaitu sejak utusannya nabi adam kepada anak

cucunya. Tegasnya sejak permulaan manusia mendiami bumi ini, sejak itu telah

diketahui dan diyakini adanya dan esanya Allah ta’ala, pencipta alam ini32.

Ke-Esa-an Allah sebagai Tuhan (Rabbun) bukanlah seperti sebuah sapu

lidi, yang kenyataanya terdiri dari beberapa batang lidi yang diikat menjadi satu,

sedang antara satu dengan yang lain, masih terpisah sendiri-sendiri. Tidak, juga

tidak sama dengan sebatang rokok yang kenyataanya terdiri dari selembar kertas,

tembakau atau cengkeh, Yang kalau dipisahkan satu dengan yang lain tidak lagi

bernama sebagai rokok. Masing-masing mempunyai sifat tersendiri. Pula tidak

sama dengan selembar kertas yang diolah dari beberapa unsur menjadi satu dan

terpadu. Jadi, Ke-Esa-an Allah tidak terdiri dari beberapa benda yang disatukan,

31

Moehamad Thahir Badsrie, Syarah Kitab Al-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahab (Jakarta : PT. Pustaka Manjimas, 1984), 24-25

32


(35)

28

baik bisa diuraikan lepas kembali atau tidak. Dan tidak sama dengan air yang bisa

dibagi-bagi atau sebatang lidi yang dapat di potong-potong. di sinilah selain Allah

dengan semua makhaluk yang terdapat di alam ini. dalam ilmu Aqoid, sifat itu

dikenal dengan istilah ―Mukhalafah Lil Al-Hawadisi – berbeda dengan sesuatu

yang bersifat baru‖33

Ilmu Tauhid sebagaimana diketahui adalah ilmu yang membahas ajaran

dari suatu Agama. Bagi setiap orang yang ingin menyelami seluk-beluknya secara

mendalam, Maka perlu mempelajari imu Tauhid yang terdapat pada agama yang

di anut.34

Kerasulan nabi Muhammad saw. adalah untuk mengembalikan dan

kepemimpinan kepada tauhid, mengakui ke-esaaan Allah swt. dengan ikhlas dan

dengan semurni-murninya, sebagai yang di bawa dan diajarkan nabi Ibrahim

dahulu, agama sebenarnya tidak asing lagi bagi bangsa arab. Tauhid yang

diajarkan Muhammad ini adalah sebagai yang digariskan dalam Alquran dan

Hadis.35

Karena segala sifat-sifat Allah, telah terkandung dalam alquran, maka

tidak perna orang dimana itu menanyakan sifat-sifat Allah kepada nabi. mereka

hanya menanyakan soal-soal yang mengenai ibadah (sembayang, puasa, haji, dan

lain-lain amal sholeh).36

33

Moehamad Thahir Badsrie, Syarah Kitab Al-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahab (Jakarta : PT. Pustaka Manjimas, 1984), 24 - 25

34

Mulyono dan Bashori, Studi Ilmu Tauhid/Kalam (Malang : UIN Maliki Press, 2010), 35 35

M. Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam (Jakarta : Bumirestu, 1986), 16

36


(36)

29

Tidak terdapat dalam hadis atau astar-astar yang membuktikan di antara

sahabat yang menyelidiki kepada rosul tentang sifat-sifat Allah atau kedudukan

sifat-sifat Allah, adakah ia sifat zat atau sifat fi‟il. mereka semua semufakat menetabkan bahwa sifat-sifat Allah ta‟ala itu azali. yaitu : ilmu, qudrat, hayat,

iradah, sama’ basar, kalam atau sebagainya. dimasa sahaba, ketauhitan sedikit pun

tidak ada bedanya dengan dizaman nabi. sampai akhir abad pertama hijriyah,

barulah mulai ada kegoncangan-kegoncangan, karen munculnya seorang yang

bernama : jaham ibnu shofyan di negeri persia yang tidak mengakui adanya

sifat-sifat Allah Ta‟ala seperti : Ilmu, Qodrat dan sebagainya. banyak diantara kaum muslimin yang terpengaruh oleh ajaran itu, bahkan ada yang menguatkanya.37

Adapun kaum muslimin yang tetap murni ketauhitannya, bangun

menentang pendapat jaham, dan menyatakan bahwa pendapat itu ― sesat‖

beberapa tokoh tampil mengyangal alasan-alasan dan pendapat jaham ibnu

Shofyan.38

Dikala ulama-ulama sibuk membicarakan dalil untuk menolak pendapat

Jaham, tiba-tiba timbul suatu aliran yang bernama mu’tazilah yang dicetuskan oleh Wasil Ibnu Atha‟ seorang murid dari al hasan Ibnul Husin al-Bisrhri, yang menguatkan atau membenarkan pikiran jaham yaitu : menafikat sifat-sifat Allah

swt.39

37

M. Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam (Jakarta : Bumirestu, 1986), 16 38

Ibid,.. 39


(37)

30

Kita mengetahui, bahwa setelah nabi wafat, pemerintahan dipegang oleh

khulafaurrasyidin semenjak tahun 11-40 H. Kemudian oleh kholifah umawiyah

semenjak tahun 40-132 H. Setelah itu oleh daulah Abbasyah semenjak 132 H.40

Sejak akhir pemerintahan umawyah, dunia islam mulai (jebol) kemasukan

budayaan-kebudayaan asing yang datang dari Persia, Yunani, India, dan

sebagainya. dikala pemerintahan abbasiyah, yaitu masa kholifah makmun, ummat

islam telah sampai kepuncak kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang

tinggi.41

Segala kitab-kitab ilmu pengetahuan, kebudayaan dan falsafah, terutama

yang datang dari yunani diterjemahkan dalam bahasa arab. ilmu mantiq atau ilmu

logika, adalah yang perna kali diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.42

Dari sejak masuknya kebudayaan asing itu, lahirlah perbedaan-perbedaan

pandangan dalam ilmu Tauhid. Dimasa itu timbul golongan-golongan : Jahamiah,

Karomyah, Murjiah, Khawarij, dan Mu’tazilah. Golongan-golongan ini senantiasa berdebat tunduk menundukkan, kafir mengkafirkan. Terutama ahli sunnah, yang

banyak musuhnya, semua ribak menjadi lawanya. 43

Akan tetapi dizaman kholifah Makmun semua aliran-aliran itu boleh

dikatakan lenyap atau tak berpengaruh lagi, demikian pula ahli sunnah

40M. Taib Thahir Abdul Mu’in,

Ilmu Kalam (Jakarta : Bumirestu, 1986), 18

41

Ibid,.. 42

Ibid,.. 43


(38)

31

waljama’ah. Mu’tazilah sajalah yang subur hidupnya sebab dikosong dan

dilindungi oleh kholifah Makmun.44

Setelah kholifah Makmun wafat, di bawah kholifah-kholifah pengantinya

mulai timbul kembali aliran-aliran yang dahulunya tertekan dan tak berpengaruh.

Mu’tazilah tidak mendapat lindungan dan pembelaan lagi, bahkan mengalami

serangan-serangan dan kemunduran.45

Dimasa itulah tumbuh mazhab yang hanya berpegang pada hadis-hadis

rasul saja, yang dinamakan mazhab Mahadistin. Golongan Mu’tazilah terus

menerus mengalami kemunduran sehingga muncul seorang pemimpin golongan

ahli sunnah, yang benama imam Asy’ary.46

Dizaman imam Asy’ari ini semua mazhab dikatakan lumpuh tak berdaya,

apalagi setelah timbul musuh baru yang lebih kuat, yaitu golongan ahli falsafah

yang kemudian golongan falsafah ini dihancurkan oleh seorang pendekar islam

yang bernama imam Ghozali.47

Imam Ghozali bukan melarang orang berfalsafah, tetapi janganlah orang

mencampur-baurkan falsafah dengan agama, terutama ketauhitan. dan supaya itu

jangan mempengaruhi agama, apalagi falsafah yang mungkin bertentangan

dengan agama.48

44

M. Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam (Jakarta : Bumirestu, 1986), 18 45

Ibid,.. 46

Ibid,.. 47

Ibid,.. 48


(39)

32

Yang menentang pencampur-adukkan agama dengan falsafah itu, bukan

imam Ghozali saja, tetapi banyak tokoh-tokoh dibelakangnya yang hendak

membendung pengaruh falsafah terhadap agama. Diantaranya ialah Fakhruddin

ar-Rozi dan ibnu Taimyah dan lain-lain.49

Dengan demikian, manusia membutuhkan Tauhid yang lain, yaitu Tauhid

ibadah atau Tauhid ilahiyah. Tauhid tersebut menjadikan Allah sebagai Tuhan

yang harus di sembah dan di mintak pertolongan. Tidak ada yang berhak

disembah dan dimintak pertolongan kecuali dia.50 Allah Subhanahu Wa Ta‟ala berfirman :

اَيإ

دبْع

اَيإ و

يع تْس

)

٥

(

Hanya Engkaulah yang Kami sembah51, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.52

Oleh karena itu, tugas pertama para Nabi adalah mengajak manusia kepada

ajaran Tauhid (terutama Tauhid ibadah), Bukan mengakui tentang keberadaan

Allah. karena, pengakuan tentang keberadaan Allah adalah hal yang tidak

diragukan bagi seluruh umat manusia. tugas yang di bawah oleh para nabi adalah

memerangi kemusyrikan, bukan Atheisme.53

49

M. Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam (Jakarta : Bumirestu, 1986), 18

50

Yusuf Al-Qaradhawi, Akidah Salaf dan Kholaf (Jakarta : Pustaka Al-Kausar, 2006), 13

51

Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.

52

Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri

53


(40)

33

Seruan pertama yang dilakukan oleh para Nabi adalah ― Wahai Kaumku,

Sembalah Allah Yang Maha Esa.‖ Setuan tersebut dilakukan oleh Nuh, Hud,

Saleh, Shuaib, dan seluruh Nabi lainya.54

Ketika berfirman kepada nabi Muhammad, Allah Subhanahu Wa Ta‟ala

berfirman, ―Dan kami tidak mengutus seorang rosul sebelum kamu melaikan kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidk ada tuhan melaikanku,maka sembahlah aku oleh kamu semua.‖ (Al-Anbiya’ : 25).55

                    

Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut.56

Dua kalimat ―Allah dan jauhilah Thagut‖ adalah dasar pembebasan

manusia untuk menyembah selain Allah baik menyembah kepada diri sendiri,

Hawa nafsu, Alam, Benda mati, Angan-angan, Kebatilan, Maupun pemuka

agama. ketika mensifati ahli kitab, Allah Subhanahu Wata‟ala berfirman : ―

mereka menjadikan orang-orang Alim, Rahib-rahib, dan Al-Masih putra Mariyam sebagai tuhan-tuhan selain Allah. padahal, mereka hanya disuruh untuk menyembah Allah yang maha Esa. tidak ada Tuhan – yang berhak disembah-melainkan Dia. Maha suci Allah dari hal yang mereka sekutukan.” (At-Taubah :

31).57

Akidah ketiga yang di ajarkan dalam dasar ini adalah mensucikan Allah

Subhanahu Wata‟ala. Dari hal yang tidak layak dengan sifatnya yang maha

54

Yusuf Al-Qaradhawi, Akidah Salaf Dan Kholaf (Jakarta : Pustaka Al-Kausar, 2006),13 55

Ibid,..

56

Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.

57


(41)

34

Sempurna. Dia adalah Tuhan yang memiliki kesempurnaan dan jauh dari

kekurangan.58 Al-Qur’an menyebutkan sifat kesempurnaan-Nya dngan bahasa‖ dia memiliki nama-nama yang paling indah .‖ Dalam awal surat Thaha. Allah berfirman:













 

Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai Al asmaaul husna (nama-nama yang baik),

A. Hanafi dalam bukunya teologi Islam menyatakan Tauhid sebagai ilmu

yang berdiri sendiri belum dikenal pada masa Nabi Muhammad Saw. maupun

pada masa sahabat-sahabatnya. Melainkan baru dikenal jauh setelah kewafatan

Nabi Muhammad Saw atau dikemudiannya setelah ilmu-ilmu keislaman yang lain

satu-persatu muncul, dibarengi dengan tumbuhnya kecenderungan umat Islam

mendalami masalah-masalah alam Ghaib/ Metafisika.59

Masa Nabi Saw adalah masa hukum penetapan Aqidah, Beliau berusaha

untuk mempersatukan bagsa Arab yang sebelem Islam datang selalu timbul

perpecahan bahkan sampai pertumpahan darah di antara suku-suku Bangsa, di

samping itu dimasa Nabi Saw. Umatnya senantiasa berusaha menemui beliau

untuk mengetahui pokok-pokok hukum Agama, sehingga apabila terdapat sedikit

persoalan mereka segera mendapatkan penyelesaiannya.60

Lebih lanjut Ibnu Kholdun menegaskan dalam bukunya Muqodimah,

Agama pada mulanya belum memerlukan ilmu dan kecenderungan, melainkan

agama masih merupakan hukum-hukum syar’i dalam bentuk perintah dan

58

Yusuf Al-Qaradhawi, Akidah Salaf Dan Kholaf (Jakarta : Pustaka Al-Kausar, 2006),14

59

A. Hanafi MA, Teologi Islam Ilmu Kalam (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), Cet. III, 13

60


(42)

35

larangan Tuhan, dan kebanyakan orang Islam hafal akan hukum-hukum tersebut

serta tahu sumbernya ialah Quran dan Hadis. Waktu itu orang islam masih terdiri

dari orang-orang arab Jahili yang tidak kenal pengajaran, karang mengarang dan

pembukuan ilmu. Mereka belum ada keinginan untuk itu, Karena memang belum

dibutuhkan kecuali pencatatan terhadap ayat-ayat Quran. Jadi orang Islam pada

saat itu masih besikap Sami‟na Wa Atha‟na.61

Namun setalah Nabi SAW. wafat tampaknya orang-orang yang akan

mengatas namakan golongan memecahkan masalah, siapa yang berhak

mengantikan jabatannya dan bagaimana pula syarat-syaratnya. Inilah yang

merupakan suatu aspek mulai pertama kali timbul pemikiran di kalangan umat

Islam. Dari golongan Muhajirin menghendaki pengantian Nabi SAW harus dari

golongan mereka. Sebaliknya Anshor pun begitu, dan keluarga Nabi SAW.

menuntut atau dari golongan syi’ah menghendaki agar Ali Ra. sebagai penganti Nabi SAW. sedangkan Khawarij dan Mu’tazilah berpendapat yang berhak memegang jabatan adalah orang yang terbaik dan cakap meskipun bukan orang

Arab Quraisy. selain itu, Mayoritas umat Islam berpendapat bahwa yang berhak

memangku jabatan Imamah adalah orang yang paling cakap dari golongan

Quraisy. Hal ini berdasarkan penyataan Nabi SAW. sendiri.62

Dengan demikian prinsip Sami‟na Wa Atha‟na di masa Nabi SAW. Rusak tengelam dalam lembah perdebatan dan perselisihan. Orang-orang kemudian

61

Mulyono dan Bashori, Studi Ilmu Tauhid/Kalam (Malang : UIN Maliki Press, 2010), 35

62


(43)

36

mulai mencari ayat-ayat Quran dan Hadis diperalat sebagai penunjang pendirian

pendapat mereka untuk mendapatkan simpatisan dari penduduknya.63

Dan setelah faktor politis tersebut mulai muncak hingga peristiwa

pembunuhan di kalangan umat Islam atas diri Kholifah Usman Ra. Tahun 661 H.

oleh Muh. Ibn Bakar dan Ali Ra. Tahun 661 H. Oleh Abdurrahman Ibn Maljam.

kemudian timbullah aspek lain yang dijadikan bahan perdebatan dan berselisih

yang akhirnya menjelma jadi wujud berbagai-bagai cabang ilmu pengetahuan

keislaman, yang didukung oleh berbagai sekte/aliran yang timbul menyertainya.

aspek yang dimaksud di sini adalah ke-Tuhan-an, Mistik, Falsafah, Hukum,

sejarah kebudayaan, dan sebagainya yang kesemuanya diorentasikan kepada

Islam. Ilmu-ilmu tersebut tidaklah sekaligus muncul dalam bentuk jadi dalam

artian belum jelas dasar-dasarnya.64

Baru setelah kaum muslimin sekitar 3 Abad melakukan berbagai

perdebatan baik sesama kaum Muslimin maupun dengan pemeluk-pemeluk agama

lain, hingga kaum Muslimin sampai pada suatu ilmu yang menjelaskan

dasar-dasar aqidahnya juga perincian perinciannya.65

Dari keterangan tersebut di atas dapat dipahami bahwa sebagai perintis

utama faktor-faktor yang membidani atau mempengaruhi lahirnya Tauhid adalah

kejadian-kejadian Politis dan Historis, walau di sampingnya itu banyak

sebab-sebab lain. Dengan demikian secara garis besar faktor-faktor tersebut dapat

63

Mulyono Dan Bashori, Studi Ilmu Tauhid/Kalam (Malang : UIN Maliki Press, 2010), 64

Ibid,.. 36-37

65


(44)

37

disimpulkan menjadi 2 (dua) bagian baik bersifat agamis maupun non agamis (

kebudayaaan).66

3. Obyek-obyek pembahasan ilmu Tauhid di dalam al-Qur’an

Obyekpembahasanatau yang menjadi lapangan bahasan ilmu Tauhid pada

garis besarnya dibagi menjadi kepada tiga bagian utama di dalam al-Qur’an yaitu : 1. Tauhid Ilahiyah (Ketuhanan)

2. Tauhid Nubuwwah (Kenabian)

3. Tauhid Sam’iyyat, yaitu sesuatu yang diperolah lewat pendengaran dari sember yang menyakinkan yakni Quran dan Al-Hadis , misalnya

tentang alam Kubur, Azab Kubur, Hari kebangkitan di padanga

Mahsyar, Alam Akhirat, tentang ‘Arsy, Lauh Mahfudz dan lain .67 1. Tauhid Ilahiyah, yaitu bagian dari ilmu Tauhid yang membahas masalah

ketuhanan. hal ini terdiri dari :

a. Tauhid Uluhiyah yaitu adalah kepercayaan untuk menetabkan bahwa

sifat ketuhanan itu hanyalah milik Allah belaka dengan penyaksikan

bahwa tiada Tuhan selain Allah yang dilahirkan dengan mengucapkan

kalimah thayibah “ Laa Ilaaha Illahllah‖ selain itu ia hanya berbakti kepadanya saja, jika ia mendapat musibah, ia lari, mengadu dan

berserah diri Cuma kepanya saja. kalau mengerjakan suatu amalan,

maka tujuan utamanya hanyalah dia semata. singkatnya adalah ―

66

Mulyono Dan Bashori, Studi Ilmu Tauhid/Kalam (Malang : UIN Maliki Press, 2010), 36-37

67

Abd. Jabbar Adlan Et, Al, Teks book, Dirosat Islamiyah, Pengantar Ilmu Tauhid dan Pemikiran Islam (Surabaya : CV. Aneka Bahagia, 1995), 37


(45)

38

kepercayaan bahwa Tuhan yang menciptakan alam semesta ialah Allah

dan hanya berbakti kepada-Nya saja.‖68

b. Tauhid Rububiyah, adalah mengesakan Allah ta’ala di dalam segala perbuatan-Nya, dialah satu-satunya yang menciptakan sekaligus

memiliki, dan mengatur makhaluk-Nya. dadil yang menunjukkan

bahwa Allah SWT. yang menciptakan adalah firman-Nya :69













Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.

Allah ta’ala juga menyatakan dengan tegas keesaan-Nya dalam rububiyah atas segala ciptaan-Nya, dia berfirman :70



 

 

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam

yaitu pembahasan tentang Allah sebagai Ar-Rabbu, yaitu Esa dalam menciptakan, pemeliharaan dan pengaturan semua makhaluk-Nya.

Sebagai mana firman Allah yang menjelaskan siapakah yang memberi

rezeki pada manusia ? dalam surat Yunus ayat 31 :

68

Sebagian mufassirin memberi misal untuk ayat ini dengan mengeluarkan anak ayam dari telur, dan telur dari ayam. dan dapat juga diartikan bahwa pergiliran kekuasaan diantara bangsa-bangsa dan timbul tenggelamnya sesuatu umat adalah menurut hukum Allah.

69

Shahih Bin Fauzan Bin Al-Fauzan, At-Tauhid Li Ash-Shaf Al-Awwal Al-„Ali,Kitab Tauhid (jilid 1),Penerjemah Zaini (Solo : Pustaka Arofah, 2015), 36

70


(46)

39                                                    

Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup71 dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka Katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?"

Allah ta’alah setelah menetapkan seluruh makhluk untuk mengakui rububiyah-Nya. bahkan orang-orang musyrik yang membuat tandingan

bagi Allah di dalam ibadah pun juga mengakui keesahan-Nya dalam

Rububiyah, sebagai firman Allah :

                                                          

Katakanlah: "Siapakah yang Empunya langit yang tujuh dan yang Empunya 'Arsy yang besar?"Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka Apakah kamu tidak bertakwa?". Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?"Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka dari jalan manakah kamu ditipu?"

Tauhid semacam ini, tidak pernah dikenal satu golongan pun dari

anak cucu adam yang mempunyai keyakinan yang berlawanan

71

Sebagian mufassirin memberi misal untuk ayat ini dengan mengeluarkan anak ayam dari telur, dan telur dari ayam. dan dapat juga diartikan bahwa pergiliran kekuasaan diantara bangsa-bangsa dan timbul tenggelamnya sesuatu umat adalah menurut hukum Allah.


(47)

40

c. Tauhid Dzat, sifat –sifat dan nama-nama-Nya yaitu pembahasan tentang sifat-sifat dan nama-nama yang disebut sendiri oleh Allah dan Rosul-Nya yang tidak sama dengan makhaluk-Nya, sifat dan nama-Nya adalah agung dan sempurna. kita tidak boleh memberikan nama dan sifat yang dapat mengurangi keagungan dan kesempurnaan-Nya, atau menyesuaikan nama-nama dan sifat-sifat itu dengan yang lain seperti membagaimanakan, Menggambarkan, Mentasybihkan,

menta’wilkan, Memtafsirkan, atau menta’thilkannya sebagai firman Allah dalam surat Al-Ana’raf ayat 180 :

                           

Hanya milik Allah asmaa-ul husna,72Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya73. nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.

2. Tauhid Nubuwwah yaitu bagian ilmu Tauhid yang membahas masalah

kenabian, kedudukan dan peranan serta sifat-sifat dan keistimewaanya.

sebagai mana firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 43.

                            

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan74 jika kamu tidak mengetahui

72

Maksudnya : Nama-nama yang Agung yang sesuai dengan sifat-sifat Allah

73

Maksudnya: janganlah dihiraukan orang-orang yang menyembah Allah dengan Nama-nama yang tidak sesuai dengan sifat-sifat dan keagungan Allah, atau dengan memakai ul husna, tetapi dengan maksud menodai nama Allah atau mempergunakan asmaa-ul husna untuk Nama-nama selain Allah.

74


(1)

89

tertentu. karena kecenderungan tersebut dapat mempersempit kandungan

al-Qur’an yang bersifat universal, maka dari itu penulis kurang sependapat terhadap

corak tafsir yang corak tafsirnya itu lebih cenderung pada bidang studi dalam keilmuan, dengan mengabaikan bidang-bidang studi lainnya.

Al-Alusi bercorak isyari (tafsir yang mencoba menguak dimensi makna batin

berdasar isyarat atau ilham dan ta'wil sufi). Metode yang dipakai oleh al-Alusi

dalam menafsirkan al-Quran adalah metode Tahlili dan Metode Tafsir Manhaj

yang ditempuh tafsir Al-Azhar adalah Tahlili juga. Salah satu yang menonjol dalam tahlili (analisis) adalah bahwa seorang mufassir akan berusaha menganalisis berbagai dimensi yang terdapat dalam ayat yang ditafsirkan. Maka biasanya mufassir akan menganalisis dari segi bahasa, asbab al-nuzul,nasikh-mansukhnya dan lain-lain. Namun biasanya metode tahlili tidak mampu menyajikan sebuah tafsir komprehensif, sehingga seringkali terkesan parsial.

Hamka juga menempuh manhaj naqlî (tafsîr bi al-ma`tsûr/bi al-riwâyah). Itu terlihat misalnya ketika ia menukil riwayat dari Abu Hurairah ra. tatkala

membahas arti takwa dalam kerangka penafsiran ayat hudan li al-muttaqîn.

Dalam arti menafsir ayat demi ayat sesuai urutannya dalam mushhaf serta menganalisis begitu rupa hal-hal penting yang terkait langsung dengan ayat, baik

dari segi makna atau aspek-aspek lain yang dapat memperkaya wawasan pembaca


(2)

90

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Menurut penafsiran Hamka tauhid di dalam surat al-Ikhlas adalah

Pengakuan atas kesatuan kesatuan, atau keesaan, atau tunggal-Nya Tuhan

nama-Nya ia Allah, kepercayaan itulah yang dinanamakan Tauhid berarti menyusun

fikiran yang suci murni, tulus Ikhlas bahwa tidak mungkin Tuhan itu lebih dari

satu. Dan kebanyakan Hamka dalam penafsiranya Tauhid mengunakan unsur

logika di hubungkan dengan kenyatakan kehidupan masyarakat.

Dan menurut penafsiran al-Alusi tentang menjelaskan Tauhid dalam surat

al-Ikhlas , bahwa Allah SWT adalah Dzat yang patut disembah, yaitu Dzat yang

tidak ada sesuatu kecuali Dia. Dzat yang tidak ada sesuatu yang keluar dari-Nya

al-alusi dalam menafsirkannya mengunakan unsur Balaghoh kaidah-kaidah

Nahwu dan shorof dan dengan mengutip-mengutip pendapat ulama’ ulama’ terdahu.

Dan kesaamaan dari kedua penafsiran tersebut bahwa mereka berdua

menafsirkan tauhid di dalam surat al-Ikhlas sama-sama membicarakan tentang

tauhid.

2. Tauhid dalam relevansi sekarang memang sangat di butuhkan antara tokoh

Hamka dan al-Alusi terhadap Tauhid.Di sekitar kita pasti menemukan orang yang

percaya dengan sesuatu hal yang membuat mereka bangga dengan hal itu, maka

dari itu Tauhid harus dibutuhakan semua orang. Hamka ingin mengungkapkan


(3)

91

Alusi dalam releven kehidupan ini ingin menguak ke dalam dimensi keilhaman

yang diwujudkan dengan perbuatan sehingga antara dimensi kehidup dapat

berjalan dengan sempurna.

B. Saran

1. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak sekali kekurangannya.

Saran dari pembaca selalu penulis harapkan demi tercapainya penulisan dan

isi penelitian yang lebih baik lagi.

2. Penulis berharap tulisan ini dapat membantu seseorang untuk mengenal Allah

agar lebih mantap keimanan terhadap Allah. Dan dengan mengenal Allah


(4)

DAFTAR PUSTAKA

HAMKA. Tafsir Al-Azhar. Jakarta : Pustaka Panji Mas, 1987.

Al Alusi, Abu al Sana Shihab al Din al Sayyid Mahmud. Ruh al Ma’ani Fi Tafsir al Qur’an al Azim wa al Sab’ al Masani, Juz 1 . Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah. 994.

Ash- Shidiqiey, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Tauhid. Jakarta : t.p., 1973.

Al-Qaradhawi, Yusuf . Akidah Salaf dan Kholaf. Jakarta Timur : Pustaka Al-Kausar.

Nuh, Muhammad .Mahkota Sufi. TP: Mitrapress, 2008.

Jailani, Qodir, Abdul. Terjemah Baharuddin, Syamsul Dan Hasan, Ilyas. Futuh Al-Ghoib Bandung : Mizan,1985.

Zainuddin, M. Karomah Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani. Yogyakarta : PT. LKiS Group. 2001

Badrie, Thahir. Muhammad. Syarah Kitab Al-Tauhid Muhammad Bin Abdul Wahab. Jakarta : Panjimas, 1984.

Amrullah, Karim, Malik, Abdul Tafsir Al-Azhar Jus XXX. Jakarta : Pustaka Panji Mas, 1987

Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Yogyakarta: Pustaka Pelajar, t.t.

Nasir, Ridlwan, M. Memahami Al-Qur’an Perspektif Baru Metodologi Tafsir Muqarin. Surabaya: Indra Media, 2003.

J. Moloeng,. Lihat Lexy Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Losdakarya, 2009.

Tatang, Amirin, M. . Menyusun Rencana Penelitian . Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Al-Farmawi, Abdul al-Hary. Terjemah Jamrah, A, Surya. Metode Tafsir

Mawdhu’iy. Jakarta : PT Rajagrafindo, 1994. Al-Kumy, Al-Sayyid, Ahmad. Al-Tafsir Al-Mawdhu’iy


(5)

Munawir, Warson, Ahmad. Al Munawir Kamus Bahasa Arab – Indonesia.

Yogyakarta : Ponpes Al-Munawir, 1984.

Khaldun, Ibnu. Muqoddimah, Terj. Ahmadie Thoha. Jakarta : Pustaka Firdaus. Cetakan Pertama, 1986.

Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid /Kalam. Jakarta : t.p., 1975.

Abduh, Muhammad, Syekh. Terj. KH. firdaus Risalah Tauhid. Jakarta : AN-PN Bulan Bintang, 1963.

Al-Jish, Affandi, Husain. Terj. Nabhan, Ahmad. Al-Hushusnul Hamidiyah.

Surabaya : t.p., 1970.

Bashori dan Mulyono Studi Ilmu Tauhid/Kalam. Malang : UIN-Maliki Press, 2010.

Thahir, Badsrie, Moehamad. Syarah Kitab Al-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahab. Jakarta : PT. Pustaka Manjimas, 1984.

Mu’in, Abdul, Thahir dan Taib, M. Ilmu Kalam. Jakarta : Bumirestu, 1986. Jabbar, Adlan Et, Al, Abd. Teks book, Dirosat Islamiyah. Pengantar Ilmu Tauhid

dan Pemikiran Islam. Surabaya : CV. Aneka Bahagi, 2015.

Shahih Bin Fauzan Bin Al-Fauzan. Penerjemah Zaini. At-Tauhid Li Ash-Shaf Al-Awwal Al-‘Ali,Kitab Tauhid (jilid 1). Solo : Pustaka Arofah, 2015

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jilid I. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.

Qadir, Abd, Ali, Jam’ah. Zad al Raghibin fi Manahij al Mufassirin. Kairo : Jami’ah al Azhar, 1986.

Al-Arid, Ali Hasan. ter. Akrom, Ahmad. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1994.

AS Hornbay. Oxford Advanced Leavers Dictionary of Current English. Oxford University Press, 1963.


(6)

AS Hornbay. Oxford Advanced Leavers Dictionary of Current English. Oxford University Press, 1963.

Dalam Jam’ah, Zad al Raghibin

Jam’ah, Zad al Raghibin,....

http://arjonson-abd.blogspot.com/2009/08/tafsir-ruh-al-maani.html. 05-07-2015, 12. 30 wib. lebih jelas lihatM. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar,

, Pustaka Hidayah, Bandung

Zainuddin, Ahmad. Qulhu Sewu. Pasuruan : SMP Alam Alas Welingan (SAAWI), 2015.

Misbah, Yazdi, Taqi , Muhammad. Filsafat Tauhid, terj. M. Ha bin Wicaksana. Bandung: Mizan, 2003.

al-Faruqi, Ismail Raji. Tauhid terj. Rahmani Astuti. Bandung: Pustaka, 1988. A. Hanafi, Pengantar Tauhid Islam. Jakarta : Pustaka al-Husna Baru, 2003.

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: IKAPI 1992.

An-Naisaburi, Abul, Abdul, Hawazin, Karim, Qasim, al-Qusyairi. Risalah Qusyairiyah, Jakarta : Pustaka amani, 2002

Ibnu Khaldun. Muqoddimah Terj. Ahmadie Thoha. Jakarta : Pustaka Firdaus, Cetakan Pertama, 1986