KONSEP CINTA KEPADA ALLAH DALAM AL-QURAN : TELAAH ATAS PEMIKIRAN AL-ALUSI DALAM TAFSIR RUHUL MA’ANI Q.S AL-IMRAN31.

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAKSI

Peran cinta dalam kehidupan cukup berperan penting. seoalh tidak habis habisnya menjadi perbincangan publik, baik dikalangan mufasisir ataupun pemikir islam. Skripsi ini berangkat atas keprihatinan penulis tentang cinta yang terjadi saat ini. Pada saat ini cinta di maknai sebagai bentuk pelampiasan nafsu dan seakan-akan ketika kita mencintai lawan jenisnya kita di butai oleh cinta, di setiap waktu hanya ada bayangan orang yang di cintai. Kesalahaan berpikir ini akan menjadi bomerang dalam hati manusia serta melukai citra pemahaman cinta.

Al Alusi merupakan mufassir yang lebih menghususkan dirinya pada aliran tasawwuf. Seakan tidak heran, jika di setiap tafsirnya harus memeras otak. Sebab, memahami pola tafsir corak sufi, kajian yang paling sulit, misalkan dalam membahas cinta. Begitupula dengan Al Alusi yang memberikan deskripsi khusus mengenai penafsiran cinta di QS, ayat 31 hakikat cinta adalah berhubungan dengan dzat Allah. Dan orang yang sempurna imannya hendaknya mencintai Alah murni karena dzat-Nya. Dan adapun cinta karena pahala-Nya maka baginya

derajat yang rendah , Cinta yang ada saat ini se akan keluar dari rii nya. Sebab, terkadang cinta

yang d bangunn saat ini adalah cinta yang di bangun atas dasar nafsu bukan ilahiyah.

Ketika seorang hamba mengaku cinta kepada Allah di dalam al-Qur’an itu ditunjukkan

dengan meninggalkan semua hal yang bersifat duniawi yang menjadi penghalang bermahabbah kepada Allah guna untuk meraih cinta yang sempurna. Artinya mencintai sesuatu yang bersifat keduniawian itu diperbolehkan karena itu adalah naluri manusia, akan tetapi kecintaannya itu jangan sampai melebihi cintanya kepada Allah Swt., dan Rasulullah Saw. Jadikanlah kecintaan terhadap keduniawian itu sebagai sarana untuk meraih cinta yang murni yaitu Cinta kepada Allah

semata. Al-Qur’an juga telah menyindir tentang “kecintaan kepada makhluk itu jangan sampai

melebihi cintanya kepada dzat yang Maha Pencipta (al-Khăliq).” Yang tercantum dalam surat at

-Taubah ayat 24.

Mengenai konsep cinta yang di bangun oleh Al ALusi adalah cinta yag benar benar menyatukan diri denggan Allah tetapi tanpa melupakan tugas dirinya sebagai makhluk sosial. Cinta kepada manusia menjadi bukti kecintaan terhadap Tuhan yang Maha Kuasa. Sebab, cinta dalam pemahaman sufi ketika kita mencintai ciptaan tuhan , maka harus berlandaskan cinta karna Allah, bumi dan seisinya hanya milik Allah SAW. Al Alusi juga memberikan satu konsep bahwa cinta kepada Allah tidak harus menafikan cinta kepada manusia, karena cinta kepada manusia adalah sebagian dari kekuaasaan Tuhan kepada manusia.

Hasil pemikiran Al Alusi mengenai cinta seolah menjadi jawaban atas polemik cinta. Sesungguhnya cinta yang ideal adalah penyatuan diri dari seseorang yang mencintai dan orang yang di cintai. tapi cinta kepada Allah yang paling utama, sementara cinta kepada sesama manusianya harus berlandaskan cinta karena Tuhan.


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... ii

HALAMAN PENGAJUAN. ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PENGESAHAN ... v

MOTTO ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

TRANSLITERASI ... xv

ABSTRAK ... xviii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Tujuan Masalah... 9

E. Kegunaan Penelitian ... 10

F. Telaah Pustaka ... 11


(7)

H. Metode Penelitian ... 13

I. Sistematika Pembahasan ... 16

BAB II CINTA DALAM AL-QUR’AN A. Cinta Dalam Berbagai Perspektif ... 17

B. Pengertian Cinta Dalam Al-Qur’an ... 24

C. Hakikat Cinta dan Perspektif Tasauwuf ... 29

1. Cinta Hamba Kepada Allah. ... 29

2. Tingkatan Cinta ... 31

D. Pengertian Mahkomad ... 33

E. Pengertian Ahwal ... 41

BAB III FIGUR AL ALUSI A. Biografi Al Alusi... 47

1. Latar Belakang pendidikan Al Alusi... 47

2. Karya karya Al Alusi... 49

B. Biografi Kitab Tafsir Ruhul Ma’ani ... 51

1. Latar Belakang Tafsir Ruhul Ma’ani ... 51

2. Metodologi Penafsiran Kitab Tafsir Ruhul Ma’ani ... 52


(8)

BAB IV ANALISIS

A. Penafsiran Q.S Al Imran 31 Dalam Kitab Tafsir Ruhul Ma’ani... 61

1. Terjemah Ayat ... 61

2. Tafsir Ayat ... 61

3. Azbabul Nuzul Ayat ... 66

B. Analisis Penafsiran... 66

C. Analisis Konsep ... 80

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 91


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diskursus mengenai cinta dan kasih, bukan merupakan hal yang usang dalam kajian ilmiah ataupun sastra. Cinta menjadi persoalan krusial di tatanan kehidupan manusia, dengan cinta manusia akan merasakan kehidupan yang

eksotis. Kata Mahabbah berasal dari kata Ahabba-Yuhibbu-Mahabbatan, yang

secara harfiah berarti mencintai atau kecintaan yang mendalam1. Selanjutnya,

cinta adalah satu jenis perasaan yang pasti dimiliki oleh semua manusia. Hal itu merupakan satu karunia terbesar yang Allah berikan kepada setiap manusia.

Dengan cinta manusia bisa menjadi orang paling bahagia dan juga orang paling menderita. Hal itu tergantung bagaimana manusia memaknai dan mengatur rasa itu. Banyak manusia modern salah mengartikan dan memaknai mengenai arti

cinta. Sebagaimana yang dikutip oleh jalaludin rakhmat Dalam buku The Art of

Loving, atau seni mencintai yang ditulis oleh Erich Fromm bahwa manusia modern sesungguhya adalah orang-orang menderita. Penderitaan tersebut diakibatkan kehausan mereka untuk dicintai oleh orang lain. Mereka berusaha

melakukan apa saja agar dapat dicintai.2 Seorang istri akan berusaha untuk

dicintai oleh suaminya, seorang guru akan berusaha dicintai oleh murid-muridnya.

1Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya:Pustaka Progressif, 1997), 229

2Jalaluddin Rakhmat, The Road to Allah, (Bandung: Mizan, 2007), 33.


(10)

2

Ketika perasaan itu berkembang secara wajar maka dampaknya akan biasa saja, tetapi ketika perasaan tersebut berkembang secara berlebihan, maka dampaknya akan luar biasa. Jika seorang kekasih ditinggal oleh kekasih yang dicintainya, dengan perasaan kehilangan yang sangat dalam ia bisa sampai bunuh diri. Saat ini sudah banyak kasus terjadi di berbagai belahan bumi, orang-orang meninggal sia-sia karena ditinggalkan oleh kekasih yang dicintainya, karena dikhianati oleh kekasih atau sahabat yang disayanginya atau karena tidak mendapatkan impian yang ia cintai.

Selanjutnya, Erick Fromm memberikan argumintasi untuk dapat

mengatasi perasaan menderita karena ingin dicintai oleh banyak orang, manusia harus belajar untuk mencintai. Untuk dapat mencintai, manusia harus belajar untuk mencintai mahluk Allah. Dengan mencintai pasangan dan anak-anak, harta benda, dan hal lain yang bersifat kongkrit atau lahiriyah. Hal tersebut merupakan pelajaran cinta tahap awal setelah itu kita akan mempelajari untuk mencintai hal yang lebih tinggi, yaitu hal-hal yang abstrak. Seperti mencintai agama kita, mencintai Rasulullah dan mencintai Allah SWT.

Hakikatnya, cinta memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, sebab cinta merupakan landasan hubungan yang erat di masyarakat dan hubungan manusiawi yang akrab. Demikian pula cinta adalah pengikat yang kokoh antara manusia dengan Tuhannya, sehingga manusia menyembah Tuhannya dengan ikhlas, mengikuti perintah-Nya dan berpegang teguh pada syariah-Nya. Apabila


(11)

3

cinta seseorang telah tumbuh berarti cinta itu mengandung hakekat yang menuntut

dirinya kepada kebenaran, kebajikan dan pengorbanan.3

Berkenaan dengan Mahabbah, Suhrawardi menjelaskan dalam buku Mukhtar Sholihin, Ilmu Tasawwuf, sesungguhnya Mahabbah (cinta) adalah suatu mata rantai keselarasan yang mengikat sang pecinta kepada kekasihnya, suatu ketertarikan kepada kekasih, yang menarik Sang pecinta kepadanya, dan melenyapkan suatu dari wujudnya, sehingga pertama-tama ia menguasai seluruh sifat dalam dirinya, kemudian menangkap zatnya, dalam genggaman qudrah (Allah).4

Ketika Allah mencintai hamba-Nya mengandung arti bahwa Allah telah membukakan mata hati manusia supaya dapat mendekatkan diri dan melihat Tuhan dengan mata batinnya. Cinta Allah kepada hamba-Nya berarti dekatnya Tuhan terhadap jiwa seorang hamba yang telah di jauhkan dari maksiat, dan

dibersihkan jiwanya dari kotoran-kotoran duniawi5. Cinta hamba kepada Tuhan

seharusnya merupakan cinta yang melebihi dari segalanya. Seperti Rabi’ah al -Adawiyyah, yang karena terlalu cintanya kepada Tuhannya sehingga tidak ada

lagi ruang dihatinya untuk mencintai selain Allah6

Penelitian mengenai cinta telah banyak di lakukan, lebih lebih cinta dalam

persepektif kajian sufistik. Robi’ah Al-Adawiyah memberikan argumentasi

negatif terhadap keadaan cinta, khususnya cinta kepada manusia. Menurutnya,

3M. Muanandar Sulaiman, Ilmu Budaya Dasar, (Bandung: ERISCO, 1995), 49. 4

Rosihon Anwar, Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2000),.74 5Margareth Smith, Rabi’ah Pergaulatan Spiritual Perem

puan, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999),.122

6

Noer Iskandar Al-Barsany, Tasawuf Tarekat dan Para Sufi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), Cet. I, . 143


(12)

4

cinta kepada manusia hanya sebagai tabir kedekatan dirinya dengan Tuhan. Namun berbeda halnya dengan Ibnu Qoyim Al Jauziah yang memberikan terminologi, bahwasanya cinta kepada manusia adalah sebagai tangga menuju Ilahi 7.

Kaum sufi selalu berusaha mensucikan diri, guna lebih mendekatkan diri pada Illahi. Berbagai tingkatan (maqam) dilalui, untuk mencapai tingkatan tertinggi, yaitu ma`rifatullah. Dengan berbagai macam usaha pensucian diri, maka bertambahlah cerahnya mata batin dalam melihat kemakhlukan diri serta kesadarannya yang tinggi akan kasih sayang Illahi yang selalu dirasakannya tiada pernah henti. Bagi seorang mukmin, cinta memiliki kedudukan dan rasa yang tiada tara, seorang mukmin tidak akan merasakan manisnya iman, sehingga ia tidak merasakan hangatnya cinta. Ia harus memiliki cinta sebagai syarat kesempurnaan iman.

Lantas, bagaimana Al-Qur’a>n memandang problematika cinta tersebut ?

jika pengertian cinta sampai saat ini masih mempunyai makna yang anbiguitas.

Maka dari itu penulis mengambil atau memilih judul Konsep Cinta Dalam

Al-Qur’a>n Telaah Atas Pemikiran Al-Alu>si Dalam Tafsi>r Ru>h} al-Ma‘a>niQ.S

Al Imran 31” karna untuk mengetaui cinta yang sebenarnya yang di terapkan

dalam Al-Qur’a>n dan tokoh ulama’ mufassi>r Al-Alu>si yang di pilih oleh

penulis karna ketika becara cinta dalam Al-Qur’a>n tidak lepas dari kajian

sufistik, Al-Alu>si sebagai mufassir sufi yang sangat pantas untuk di jadikan

7Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, 13 Pengaruh Maksiat, TERJ. Jumaidi Sofandi Jakarta: Pustaka Azzam.2001.


(13)

5

peduman cinta karna konsep cinta yang di terapkan Al-Alu>si tidak memunafikan cinta kita kepada sesama ciptaan tuhan asal cinta kita berlandasan cinta karna Allah semata. Q.S Al Imran 31 sebagai contoh penafsiran ayat karna isi dari ayat itu ketika kita mengaku cinta kepada maka kita harus mengikutinya dalam artian menjahui larangannya dan menjalankan perintahnya. Jadi sangat pas dengan cinta yang di terapkan Al-Alu>si yaitu cinta karna Allah.

Sementara cinta (hubb) menurut Al-Alu>si adalah secara bahasa di pinjam dari istilah habbah al-qalb (biji hati) dan warna ke hitam hitamannya yang terpecah darinya cinta. Cinta ilahi menurut Al-Alu>si adalah cinta yang autentik kepada Tuhan tanpa di dasari dengan cinta yang lain serta mengagungkan dan meluliakannya. Sementara cinta Allah adalah adalah cinta yang paling utama, sementara cinta kepada manusia harus berlandaskan cinta karena Tuhan. Cinta yang di konsepsikan Al-Alu>si bagi orang muslim adalah dalam aspek spritualisme dan moralitas. Ruhani manusia dalam hiruk pikuknya modernitas mengalami kehampaan karena kehilangan orentasi dan makna dalam kehidupannya. Sebangai pelampiasan kehampaan ruhani itu, manusia cendrung larut dalam gaya hidup hedonis dan tindak kekerasan dalam menghadapi gemerlap materi duniawi.

Gaya hidup ini mengakibatkan degradasi moral. Pendapat Al-Alu>si bahwa kecintaan hamba kepada allah suatu kecintaan yang murni di tujukan hanya kepadanya memberikan makna ruhani dengan adanya tujuan hidup di tengah pegapnya hiruk-pikuk modernitas. Dia juga menawarkan pembebasan manusia dari pemujaan materi. Kehidupan dunia di bolehkan selama tidak menjrumuskan


(14)

6

manusia pada penghambaan selain allah. Selain itu Al-Alu>si juga berdendapat bahwa untuk mendapatkan ridha Allah seorang mukmin harus senatiasa berakhlak mulia. Dengan menghudupkan sikap-sikap mulia yang di cintai Allah dan memasung sikap-sikap tidak terpuji yang tidak di cintai Allah niscaya, dengan ketetapan iman, godaan-godaan nafsu duniawi yang bersifat negatif dapat di tanggulangi. Kepribadian mulia yang tertanam dalam jiwa seorang muslim akan dapat dijadikan bekal dalam menghadapi kenyataan hidup.

Adapun contoh dari penafsiran Al-Alusi mengenai mahabbah diantaranya pada QS. Al-Imran ayat 31.

ُنُذ ْمُكَل ْرِفْغَ يَو ُهللا ُمُكْبِبُُْ ِِوُعِبتاَف َهللا َنوبُُِ ْمُتْنُك ْنِإ ْلُق

ٌميِحَر ٌروُفَغ ُهللاَو ْمُكَبو

.



"Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah, 'Taatilah Allah dan RasulNya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir." (Ali Imran: 31-32).8

Adapun Dalam tafsir Ruhul Ma’ani Q.S Al Imron 31 yang di tulis oleh

Al-Alu>si adalah (Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku). Para ahli ilmu kalam secara umum mengatakan bahwa Mahabbah merupakan salah satu bentuk keinginan yang berhubungan dengan makna dan manfaat, sehingga mustahil untuk menghubungkannya dengan Dzat dan Sifat Allah. Selain itu Mahabbah diartikan juga sebagai satu kecenderungan pecinta kepada yang dicintainya tanpa menoleh


(15)

7

kepada selain yang dicintainya.

Ayat ini juga dimaknai jika kamu mencintai dengan mentaati Allah atau menginginkan pahala dari Nya maka ikutilah aku (Rasulullah) dalam hal-hal yang

diperintahkan atau dilarang.9 Berbeda dengan para ahli ilmu kalam, kelompok

ahlu sunnah wa al-Jamag’ah mengaitkan Mahabbah ini kepada Dzat Allah.

Manusia diwajibkan untuk mencintai Allah dengan sempurna, sedangkan jika manusia menginginkan pahala sebagai imbalan maka derajat kecintaan ini akan turun. (Niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu) sebagai Jawab

Sharti dari ‚Jika kamu mencintai Allah.

Di riwayatkan oleh Abu Hatim, maksudnya adalah Allah akan meridhai dan mengampuni dosa-dosa jika kamu mencintai Allah dengan mentaati Rasulullah. Dengan contoh penafsiran di atas, maka penulis berpendapat bahwa kitab tafsir ini sangat sesuai dengan keinginan penulis. tidak hanya mengedepankan makna batin tetapi juga memperhatikan makna dhahirnya. Pada penelitian kali ini penulis akan

mengajukan judul Konsep Cinta Dalam Al-Qur’a>n Telaah Atas Pemikiran

Al-Alu>si Dalam Tafsi>r Ru>h} al-Ma‘a>niQ.S Al Imran 31”

Ketika perasaan itu berkembang secara wajar maka dampaknya akan biasa saja, tetapi ketika perasaan tersebut berkembang secara berlebihan, maka dampaknya akan luar biasa. Jika seorang kekasih ditinggal oleh kekasih yang dicintainya, dengan perasaan kehilangan yang sangat dalam ia bisa sampai bunuh

9 Al-Alu>si>, Ru>h} al-Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa Sab‘i Matha>ni>, juz 3 (Beirut: Da>r al-Ih}ya>, tth), 129.


(16)

8

diri. Saat ini sudah banyak kasus terjadi di berbagai belahan bumi, orang-orang meninggal sia-sia karena ditinggalkan oleh kekasih yang dicintainya, karena dikhianati oleh kekasih atau sahabat yang disayanginya atau karena tidak mendapatkan impian yang ia cintai. Jika kita memiliki impian untuk dicintai oleh semua manusia maka kita akan selalu mendapatkan kekecewaan, hal itu disebabkan karena kecintaan manusia bersifat temporer atau sementara.

Dengan mencintai Allah kita akan mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat. Karena Allah Maha Kuasa, Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha segalanya. al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah puncak dari

seluruh maqa>m spiritual dengan derajat atau level yang tinggi.10

B. Identifikasi Masalah

Deskripsi di atas sedikit menjelaskan mengenai Al Hubb menurut beberapa

pakar, salah satunya di tinjau dari segi sufistik, Al-Alu>si dalam kitabnya Ru>h}

al-Ma‘a>ni. Tulisan ini berfokus pada tinjauan Al Hubbi dalam persepektif sufistik. Namun, masalah yang teridentifikasi begitu banyak, yakni;

1. Bagaimana pengertian cinta ?

2. Bagaimana cinta yang ideal dalam Al-Qur’a>n?

3. Bagaimana terminology cinta dalam persepektif sufistik ?

4. Bagaiamana cinta menurut Al-Alu>si dalam kitab Ru>h} al-Ma‘a>ni?

5. Dan bagaimana penasiran Al-Alu>si terhadap Q.S Al Imron 31 dalam kitab

Tafsir Ru>h} al-Ma‘a>ni?

10


(17)

9

Mengingat begitu banyaknya permasalahan yang teridentifikasi serta untuk efisiensi waktu dan tenaga, maka dalam kajian ini akan ada pembatasan masalah. Pembatasan masalah dilakukan agar kajian ini dapat memenuhi target

dengan hasil yang maksimal. Pembatasan masalah yang dalam Al-Qur’a>n;

dimaksud, yaitu akan difokuskan pada Konsep Cinta Dalam Al-Qur’a>n Telaah

Atas Pemikiran Al-Alu>si Dalam Tafsir Ru>h} al-Ma‘a>ni Q.S Al Imran 31. Dan

membatasi permasalahan sebagai berikut;

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penafsiran Q.S Al Imran 31 menurut Al-Alu>si dalam kitab

Tafsir Ru>h} al-Ma‘a>ni?

2. Serta bagaimana syarat- syarat cinta kepada Allah ?

D. Tujuan Masalah

Sebagaiman telah diuraikan dalam rumusan masalah maka tujuan yang diharapkan penulis di dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana penafsiran Q.S Al Imron 31 menurut Al-Alu>si

dalam kitab Tafsir Ru>h} al-Ma‘a>ni

2. Untuk mengetahui syarat- syarat cinta kepada Allah

E. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk hal-hal sebagaimana berikut:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini dapat memperkaya wawasan khazanah kajian keilmuan tafsir hadis yang radikal, khususnya mengenai tawaran metodologis untuk


(18)

10

menafisrkan Al-Qur’a>n. Kembali pada kaidah awal, bahwasanya

Al-Qur’a>n adalah kitab yang sesuai dengan zaman. Secara tidak langsung

kaidah tersebut memberikan legitimasi khusus, bahwasanya Al-Qur’a>n bisa

di tafsir dalam perspektif apapun, selagi tidak keluar dari norma norma dan

karakteristik mufassir. Penelitian ini mendeskripsikan bagaimana Al-Qur’a>n

menjawab permasalah terkait cinta, yang orientasinya adalah kemashlahatan umat.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan, serta pemahaman radikal mengenai polarisasi isi kandungan dalam ayat-ayat

yang ada dalam Al-Qur’a>n. Konsep cinta dalam Al-Qur’a>n yang nantinya

akan menjadi jawaban terkaiat permasalahn cinta yang di terabkan robiatul adwiyah dengan penerapan cinta manusia moderen karna penulis merasa ada ke janggalan yang terkait cinta yang di terapkan robiatul adawiyah dan manusia moderen. Dengan permasalahn seperti ini lantas bagaiamana konsep

cinta yang sebenarnya dalam Al-Qur’a>n, maka dari itu penulis mengangkat

konsep cinta dalam al qur’an yang menggunakan penafsiran al alusi dalam kitab Tafsi>rnya Ru>h} al-Ma‘a>ni. inilah yang nantinya akan menjadi

pokok deskripsi untuk memahami Al-Qur’a>n secara ideal dan realitas.

F. Telaah Pustaka

Pembahasan masalah cinta Mahabbah telah banyak dikaji oleh

tokoh-tokoh Islam dengan berbagai sudut pandang, hal ini menunjukkan bahwa eksistensi cinta manusia sangatlah menarik untuk ditelaah dan dikaji, baik


(19)

11

dipandang dari segi penafsiran ayat, filsafat maupun tasawuf. Untuk mengetahui kekhasan skripsi ini, berikut disampaikan beberapa penelitian sebelumnya yang memiliki masalah serupa cinta, diantaranya yaitu

1. “Cinta Kepada Allah Dalam Kajian Tafsir Tematik”. Lilik Habibah, Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadits tahun 2001. Dalam skripsi tersebut memaparkan bahwa cinta seorang hamba kepada Allah disebabkan karena kecenderungan manusia suka pada keindahan, karena Allah adalah yang Maha Indah. Dengan kata lain bahwa skripsi tersebut hanya membahas cinta seorang hamba kepada Sang Khaliq saja, bukan sebaliknya.

2. “Konsep Cinta Dalam Pemikiran Ibn ‘Arabi”. Muhammad Hanafi, Fakultas Ushuluddin, jurusan Aqidah Filsafat tahun 2003. Dalam skripsi tersebut

memaparkan tiga konsep cinta dalam pemikiran Ibnu ‘Arabi yaitu : cinta

alami, cinta spiritual dan cinta kudus. Dari sini dapat diketahui bahwa dalam skripsi tersebut hanya menjelaskan konsep cinta Ibnu Arabi dan lebih cenderung pada pendekatan filsafat.

3. “Konsep Cinta Dalam Pemikiran Ibn Qayyim Al-Jauziyyah”. Ismail Hasan, Fakultas Ushuluddin, jurusan Aqidah Filsafat tahun 2005. Dalam skripsi tersebut membahas tentang konsep cinta Ibn Qayyim Al-Jauziyyah yang menempatkan cinta sebagai dasar bertaqarrub (beribadah) kepada Allah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa skripsi tersebut lebih dekat pada telaah filsafat.

4. “Cinta Ilahi Dalam Tafsir Sufi” Nanang Masrur Habibi, Fakultas Ushuludin Sunan Kali Jaga 2003. Dalam skripsi ini menjelaskan bagaimana perasaan


(20)

12

ketika manusia dalam keadaan menghadirkan Tuhan atau puncak merasakan kehadiran Tuhan.

Berdasarkan beberapa skripsi yang telah penulis paparkan di atas, penulis akan menegaskan bahwa skripsi yang akan penulis bahas tidak ada kesamaan yang mendasar dengan beberapa skripsi diatas. Dalam penelitian ini, sedikit mirip dengan pembahasan skripsi yang di tulis oleh Nanang Masrur Habibi sama sama menjelaskan mengenai esensi cinta. Hanya saja, dalam penelitian ini fokus pada terminologi bukan pada puncak perasaan cinta.

G. Sumber Data

Untuk menulis skripsi ini penyusun menggunakan sumber data yang terbagi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data skunder. Adapun data tersebut adalah:

1. Sumber data primer

a. Al-Qur’a>n al-Karim

b. Al-Alu>si, Abu al Sana Syihabuddin al Sayyid Mahmud, Ru>h}

al-Ma‘a>ni Fi Tafsi>r al

c. Ru>h} al-Ma‘a>ni, karya Sayyid Mahmud al-Alusi al-Baghdadi

2. Sumber data skunder

a. Tafsir al-Misbah, M. Quraish Shihab

b. Tafsir al-Azhar, Hamka


(21)

13

H. Metodologi Penelitian

Untuk mengumpulkan bahan-bahan materi yang akan dibahas dalam skripsi ini digunakan metode Library reseach, yaitu suatu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengutip beberapa bahan materi yang diuraikan dalam buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini.:

1. Model dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif, sebuah metode penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiah, perspektif ke dalam

dan interpretatif.11 yang bertujuan untuk memahami (to understand)

fenomena atau gejala sosial dengan lebih menitik beratkan pada gambaran yang lengkap tentang fenomena yang dikaji dan memerincinya menjadi variabel-variabel yang saling terkait. Harapannya ialah untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang fenomena untuk selanjutnya dihasilkan dari sebuah teori. Dalam kajian ini, metode kualitatif digunakan untuk

mengetahui tentang tawaran metodologis untuk menafsirkan Al-Qur’a>n,

khususnya terkait cinta dalam Al-Qur’a>n.

Jenis Penelitian ini adalah library research (penelitian pustaka) karena

sasaran penelitian ini adalah literatur-literatur yang berkaitan dengan objek penelitian. Karena jenis penelitian ini merupakan library research, maka teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan metode

11 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002), 2


(22)

14

dokumentasi. Artinya data-data diperoleh dari benda-benda tertulis,seperti

buku, majalah, jurnal dan lain sebagainya.12

2. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Dalam penelitian kepustakaan, pengumpulan data-datanya diolah melalui penggalian dan penelusuran terhadap kitab-kitab, buku-buku dan catatan lainnya yang memiliki hubungan dan dapat mendukung penelitian.

3. Metode penelitian

Adapun untuk memperoleh wacana tentang Penerapan cinta dalam

Al-Qur’a>n dengan menggunakan kitab tafsir ruhul ma’ani sebagai metodologi

penafsiran Al-Qur’a>n dan dapat pula menggunakan metode-metode

penelitian sebagai berikut:

a. Deskriptif, adalah bersifat menggambarkan, menguraikan sesuatu

hal menurut apa adanya atau karangan yang melukiskan sesuatu. Pendeskripsian ini digunakan oleh penulis dalam memaparkan hasil data-data yang diperoleh dari literatur kepustakaan.

b. Analitis (tahlili>), adalah penafsiran ayat-ayat Al-Qur’a>n dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-makna yang tercakup


(23)

15

didalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir

yang menafsirkan ayat-ayat tersebut13.

4. Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah dengan dengan menggunakan metode dokumentasi. Mencari data mengenai hal-hal atau variable berupa catatan, buku, kitab, dan lain sebagainya. melalui metode dokumentasi, diperoleh data-data yang berkaitan dengan penelitian berdasarkan konsep-konsep kerangka penulisan yang telah dupersiapkan sebelumnya.

5. Pengolahan data

a. Editing, yaitu memeriksa kembali secara cermat data-data yang

diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kejelasan, kesesuaian, relevansi, dan keragamannya.

b. Pengorganisasian data, yaitu menyusun dan mensistematikakan

data-data yang diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah direncanakan sebelumnya sesuai dengan rumusan masalah.

6. Teknik analisis data

Dalam penelitian ini, tehnik analisa data memakai pendekatan metode deskriptif-analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif-analitis memaparkan

data-data yang diperoleh dari kepustakaan.14

13Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 31

14Ibnu Hajar, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif Dalam Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), 274.


(24)

16

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pembahasan, skipsi di bagi menjadi lima bab sebagai berikut:

Bab I dalam Bab I ini akam menjelaskan Pendahuluan, Latar Belakang, Identifikasi Masalah dan Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian, Penegasan Judul, Kajian Pustaka, Sumber Data, Metode Penelitian, Sistematika Pembahasan.

Bab II dalam Bab II ini akan menjelaskan cinta dalm berbagai persepektif ,

pengertian cinta dalm Al-Qur’a>n, hakikat cinta dan persepektif tasawuf dan

pedekat penafsirannya. Bab ini juga pengantar sebelum kita membahas inti

pembahasan tentang cinta ulama’ sufi dalam al qur’an menurut al- alusi.

Bab III daalam Bab III ini akan menjelaskan biografi Alu>si, penafsiran Al-Alu>si terhadap Q.S Al Imron 31 dalam kitab Tafsi>r Ru>h} al-Ma‘a>ni, konsep cinta menurut Al-Alu>si dan pendekat penafsiran Al-Alu>si.

Bab IV dalam bab IV ini akan menjelaskan analisis penafsiran Al-Alu>si terhadap Q.S Al Imron, konsep cinta yang di bangun oleh Al-Alu>si serta pendekatan penafsirannya.


(25)

BAB II

CINTA DALAM AL QURAN

A. Cinta Dalam Berbagai Persepektif

Mengenai cinta atau yang dalam bahasa Arab dikenal Mahabbah berasal

dari kata Ahabba-Yuhibbu-Mahabbatan, yang secara bahasa berarti mencintai

secara mendalam, kecintaan, atau cinta yang mendalam.1

Al-Alusi menjelaskan bahwa maksud dari kalimat yuhibbunahu adalah

mereka selalu berusaha mendekatkan diri kepada-Nya dengan mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Demikian pula seperti yang disebutkan dalam QS. Ali Imran 3/31, kata al-hub dimaknai khususnya di kalangan ulama sufi sebagai sebuah perasaan yang terkait dengan zat Tuhan dan semestinya seorang pencinta mencintai Tuhan karena zat-Nya bukan karena pahala-Nya atau kebaikan-Nya karena cinta tersebut karena kebaikan-Nya menempati derajat yang

lebih rendah dibandingkan dengan cinta karena Zat-Nya.2

Menurut al-Qusyairi dalam kitab Al-Kasyfu wal Bayan, menjelaskan

bahwa cinta adalah suatu hal yang mulia. Allah Yang Maha Suci yang menyaksikan cinta hamba-Nya dan Allah pun memberitahukan cinta-Nya kepada hamba itu. Allah menerangkan bahwa Dia mencintainya. Demikian juga hamba itu menerangkan cintanya kepada Allah Yang Maha Suci.

1Lihat Kamus Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 96. 2 Al-Alu>si>, Ru>h} al-Ma‘a>ni fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa Sab‘i


(26)

18

ُها بَحَأ اَذِإ : ََاَق ُهنَأ : َملَسَو ِهمَلَع ُها لَص ِها َِوُسَر ْنَع ِةَرْ يَرُ َِِأ ْنَع

اَي : ِلْمِئَرْ بِِْ ََاَق َدْبَعْلا

َها نِإ : ِءاَمسلا ِلَْأ ِِ يِداَنُ ي م ُلمِئاَرْ بِج ُهبِحُمَ ف ، ُهُبِحَأَف ًان ََُف ُتْبَبْحَأ ْدَق َلْمِئَرْ بِج

ْدَق لَجَو زَع

َضَي ُم ِءاَمسلا ِلَْأ ُهبِحُمَ ف ، ُوبِحَأَف ًان ََُف بَحَأ

كِلاَم ََاَق ، َدْبَعْلا ُضَغْ بَأ اَذِإَو ِضْرَْْا ِِ ُةبَحَما ُهَل ُع

َكِلَذ َلْثِم ِضْغُ بْلا ِِ ََاَق َََِإ ُهَبَسْحَأ ََ :

.

Jika Allah telah mencintai hamba-Nya, Allah berkata kepada jibrîl a.s.

‘Wahai Jibrîl, sesungguhnya Aku mencintai fulan, maka cintailah dia.’ Maka Jibrîl pun mencintainya, kemudian menyeru kepada penduduk langit. ‘Sesungguhnya Allah telah mencintai fulan, maka cintailah dia!’ Maka penduduk langit pun mencintainya. Kemudian allah memberikan pengabulan kepadanya di bumi. Dan jika Allah membenci seorang hamba, maka Malăikat Mălik berkata, ‘Saya tidak menganggapnya kecuali saya membencinya seperti kebencian Allah kepadanya.’”3

Dalam kitab al-Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba juga mengatakan,

Mahabbah (cinta) adalah lawan dari kata al-Baghd (benci).4 Al Mahabbah dapat

pula berarti al Wadud, yakni yang sangat pengasih atau penyayang.5 Mahabbah

adalah kecenderungan hati kepada sesuatu yang menyenangkan. Jika

kecenderungan itu semakin menguat, maka namanya bukan lagi mahabbah, tetapi

berupa menjadi ‘isyaq (asyik-masyuk). Dalam definisi al-Muhasibi, mahabbah

diartikan sebagai “kecenderungan hati secara total pada sesuatu, perhatian terhadapnya itu melebihi perhatian pada diri sendiri, jiwa dan harta, sikap diri

3Abu Ishak Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim Atsa’labi an-Naisaburi, Al-Kasyfu wal

Bayan, Cet.VI, (Bairut: Darul Ihya’ Turats al-‘Arabi, 2002) h.233.

4Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-Falsafi, Jilid 2, (Mesir: Dar al-Kairo, 1978), h. 439. 5Ibid., h. 349.


(27)

19

dalam menerima baik secara lahiriah maupun batiniah, perintah dan larangannya; dan pengakuan diri akan kurangnya cinta yang diberikan padanya.”6

Menurut al-Hujwairi al-mahabbah/al-hubb terambil dari kata al-hibbah, merupakan benih-benih yang jatuh ke bumi di padang pasir. Kata ini ditujukan kepada benih-benih di padang pasir tersebut (al hubb), karena cinta itu sebagai sumber kehidupan sebagaimana benih-benih itu merupakan asal mula tanaman. Tokoh lain menyatakan, al-mahabbah itu diambil dari al-hubb, yang berarti sebuah tempayan penuh dengan air tenang, karena jika cinta itu berpadu dan memenuhi hati, maka tak ada ruang bagi pikiran tentang selain yang dicintai. Kata asy-Syibli cinta itu dinamakan al-mahabbah, karena ia menghapus dari hati, segala sesuatu kecuali yang dicintainya. Kata tokoh lain, al-mahabbah diturunkan dari al-habb, jamak al-habbah, dan al-habbah itu relung hati di mana cinta bersemayam. Sumber lain menuturkan, kata itu diturunkan dari al-habab, yaitu gelembung-gelembung air dan luapan-luapannya waktu hujan lebat, karena cinta itu luapan hati yang merindukan persatuan dengan kekasih. Ini sebagaimana badan bisa hidup, karena ada ruh, begitu pula hati dapat hidup karena ada cinta,

dan cinta bisa hidup, karena melihat dan bersatu dengan kekasih.7

Dalam pandangan al-Junaid, mahabbah didefinisikan sebagai

“kecenderungan hati pada Allah swt., kecenderungan hati pada sesuatu karena mengharap ridlo Allah tanpa merasa diri terbebani, atau menaati semua yang

6Abdul Fatah Muhammad Sayyid Ahmad, Tasawuf antara al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, terj. M. Muchson Anasy, (Jakarta Selatan: khalifa, 2005), h. 141.

7Abul Qasîm Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi An-Naisaburi, Risalah Qusyairiyah:

Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, penyunting: Umar Faruq, (Jakarta: Pustaka Amani, 1998), h. 477-478.


(28)

20

diperintahkan atau dilarang oleh Allah, dan rela menerima apa yang telah ditetapkan dan ditakdirkan Allah.”8

Mengenai pendapat-pendapat para ulama’ sufi tentang cinta, sebagian dari

mereka mengatakan bahwa cinta adalah kecenderungan yang abadi dalam hati yang dimabuk rindu. Dikatakan bahwa cinta mendahulukan kekasihnya dari pada semua yang menyertainya. Dikatakan pula bahwa cinta setia kepada kekasih, baik

ketika berhadapan dengannya atau tidak.9

Al-Junaid pernah ditanya tentang cinta, lalu dijawab, “cinta adalah

masuknya sifat-sifat kekasih pada sifat-sifat yang mencintainya.” Maksudnya,

orang yang mencintai itu selalu memuji-muji yang dicintainya, sehingga orang yang mencintai tenggelam dalam ingatan sifat-sifat yang dicintainya dan melupakan sifat-sifat dirinya sendiri dan perasaannya pada sifat-sifat yang dimilikinya.10

Mahabbah menurut al-Qusyairi dalam tasawuf yaitu merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah Swt. oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta

kepada yang dikasihani-Nya.11Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang

mencintai-Nya itu selanjutnya dapat mengambil bentuk irădah dan rahmah Allah

yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang

8Abdul fatah Muhammad Sayyid Ahmad, Tasawuf antara al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, terj. M. Muchson Anasy, (Jakarta Selatan: khalifa, 2005), h. 141. Sebagai bahan perbandingan, dapat juga dilihat tulisan Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Cet. IV, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 208.

9Abul Qasim ‘Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, Risalah Qusyairiyah:

Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, terj. ‘Umar Faruq, (Jakarta: Pustaka Amani, 1998), h. 478. 10Ibid., h. 479.


(29)

21

melimpah.12 Mahabbah berbeda dengan al-Raghbah. Mahabbah adalah cinta yang

tidak dibarengi dengan harapan pada hhal yang bersifat duniawi, sedangkan al-Raghbah adalah cinta yang disertai dengan keinginan yang kuat untuk

mendapatkan sesuatu, meskipun harus mengorbankan segalanya.13

Abu ‘Ali Ahmad ar Rudzabari berkata, “Cinta adalah kesetiaan.” Abul Hasan Samnŭn bin Hamzah al-Khawwash berkata, “Orang-orang yang mencintai

Allah telah pergi dengan kemuliaan dunia dan akhirat.14 Hal ini dikarenakan Nabi

Saw., pernah bersabda:

بَحَأ ْنَم َعَم ُءْرَمْلا

15

Seseorang akan bersama yang dicintainya”

Abu Bakar Muhammad al-Kattani berkata, “Pernah terjadi dialog cinta di

Makkah al-Mukarramah di waktu musim haji. Para syaikh (guru besar) menyampaikan pendapatnya, sedangkan al-Junaid pada saat itu adalah yang

paling muda usianya. Mereka berkata kepada al-Junaid, “Sampaikanlah

pendapatmu wahai orang iraq. ‘maka al-Junaid menundukkan kepalanya, dan kedua matanya mencucurkan air mata, kemudian berkata, “Seorang hamba yang telah meninggalkan dirinya untuk mengingat Tuhannya, berdiri menunaikan hak-hak Tuhannya, memandangnya dengan mata hatinya sampai hatinya membakar identitas dirinya, meminum kejernihan minuman dari gelas cintanya, sehingga tersingkaplah tabir Tuhan Yang Maha Perkasa dari kegaiban-Nya. Jika hamba ini

12Ibid., h. 319.

13Jamil Saliba, Al-Mu’jam al-Falsafi..., h. 617. 14Ibid., h. 480.

15Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz XIX, h. 147.


(30)

22

berbicara, maka ia berbicara dengan nama Allah. Jika menyampaikan suatu pendapat, maka ia mengambilnya dari Allah. Jika bergerak, maka itu karena perintah Allah. Jika diam, maka ia selalu bersama Allah. Dia selalu dengan nama Allah dan untuk Allah serta selalu bersama Allah.’ Maka menangislah para syeikh seraya mengatakan, ‘Tiadalah ucapan yang lebih baik dari ucapanmu, semoga

Allah memberikan mahkota kepada orang-orang arif.16

Rabi’ah al-Adawiyah berkata dalam munajatnya, “Wahai Tuhanku, apakah

Engkau akan membakar hati yang mencintai-Mu?” Kemudian ada suara yang

menyahut, “Kami tidaklah memperlakukan demikian, maka janganlah kamu punya prasangka buruk terhadap kami.”17

Dalam munajat sucinya, Rabi’ah al-‘Adawiyah mengatakan, Aku mencintaimu dengan dua cinta, pertama adalah cinta berahi, dan kedua, cinta yang disebabkan karena engkau berhak untuk cinta itu. Adapun cintaku yang pertama, yakni cinta birahi, adalah dzikir-ku kepada-Mu, yang memalingkanku dari selain-Mu. Sedangkan cintaku yang disebabkan karena engkau berhak untuk cinta itu adalah terbentangnya rahasia-Mu di hadapanku, hingga aku melihat-Mu. Tidak ada sanjungan untukku dalam cinta yang pertama, tidak juga yang kedua. Justru

segala puji untuk-Mu dalam cintaku yang pertama dan yang kedua.18

16

Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi, Risalah Qusyairiyah:

Sumber…, h. 488. Maksud dari orang arif, yaitu “Orang yang tahu betul akan Allah Swt

yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai,” dan ini termasuk tingkatan ke tiga dalam kitab Luma’karangan syeikh Nasr ‘Abdillah bin ‘Ali as-Sarraj al-Tusi.

17Ibid., h. 489. Hal ini adalah suatu peringatan agar tidak berburuk sangka kepada Allah. Sesungguhnya Allah tidak pernah menyulayai janji. Seandainya Allah ingin menyiksa orang yang mencintai-Nya, mengapa Allah menciptakan cinta dalam hatinya.

18An-Nabawi Jaber Siraj dan ‘Abdussalam A. Halim Mahmud, Rabi’ah Sang Obor Cinta


(31)

23

Margaret Smith mengatakan, al-Qusyayri mendefinisikan cinta sebagai kecenderungan hati yang telah diracuni cinta, kehamonisan dengan Sang Kekasih, penghapusan semua kualitas pecinta, penegakan esensi Sang Kekasih (Allah), dan akhirnya terjalinlah hati sang pecinta itu dengan kehendak Ilahi. Sedang bagi al-Junaid, cinta itu sebagai peleburan di dalam keagungan Sang Kekasih dalam wahana kekuatan sang pecinta. Kata Abu `Abdullah, cinta itu berarti memberikan semua yang engkau miliki kepada Allah yang sangat engkau cintai, sehingga tidak ada lagi sisa dalam dirimu. Sedang kata asy-Syibli hal itu disebut cinta, sebab ia menghapuskan semua kecuali Sang Kekasih dan cinta adalah api yang akan melalap semua kecuali Kehendak Ilăhi.19

Berkata Abu ‘Utsman, “Fasiknya orang-orang arif terjadi jika melepaskan pandangan mata, lisan, dan telinga kepada hal-hal yang menjurus kepada dunia dan kepentingan-kepentingan dunia. Sedangkan khianatnya muhibbin (orang-orang yang mencintai Allah) terjadi jika memilih hawa nafsunya dari pada ridlo Allah ‘Azza wa Jalla dalam menghadapi masa depan mereka. Adapun bohongnya murid terjadi apabila urusan makhluk dan kepentingan mereka mengalahkan

dzikir kepada Allah dan kepentingan Allah.”20

Menurut Harun Nasution, pengertian mahabbah adalah:

a. Patuh kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.

b. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.

19Margareth Smith, Rabi’ah: Pergulatan Spiritual Perempuan, terj. Jamilah Baraja, Cet. IV, (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), h. 107.


(32)

24

c. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu

Tuhan.21

Dari semua pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa mahabbah adalah mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya, serta mengikuti ajaran yang dibawa Rosŭlullah dengan hati yang ikhlas dan dengan

akhlaq orang yang mencintai Allah. Allah berfirman dalam Surat al-‘Imran ayat

31-32:

ْمُكَل ْرِفْغَ يَو ُهللا ُمُكْبِبُُْ ِِوُعِبتاَف َهللا َنوبُُِ ْمُتْنُك ْنِإ ْلُق

ٌممِحَر ٌروُفَغ ُهللاَو ْمُكَبوُنُذ

.

اوُعمِطَأ ْلُق

َنيِرِفاَكْلا بُُِ ََ َهللا نِإَف اْولَوَ ت ْنِإَف ََوُسرلاَو َهللا

.

22

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kăfir".

B. Pengertian Cinta dalam Al Qur’an

Mengenai cinta dalam Al-Quran , Al-Qur’an mengarahkan kita untuk

mencintai segala sesuatu yang tidak disukai hawa nafsu dan menghindari dari sesuatu yang memperbudaknya. Oleh karena itu menjelaskan dan menulis tentang

21Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 70.


(33)

25

apa yang ditetapkan dan dianjurkan oleh al-Qur’an ini merupakan sesuatu yang

sulit untuk dilaksanakan.23

Sebagaimana firman Allah swt. dalam al-Qur’an surat al-‘Imrăn ayat 31

-32:

ِحَر ٌروُفَغ ُهللاَو ْمُكَبوُنُذ ْمُكَل ْرِفْغَ يَو ُهللا ُمُكْبِبُُْ ِِوُعِبتاَف َهللا َنوبُُِ ْمُتْنُك ْنِإ ْلُق

ٌمم

.



َنيِرِفاَكْلا بُُِ ََ َهللا نِإَف اْولَوَ ت ْنِإَف ََوُسرلاَو َهللا اوُعمِطَأ ْلُق



31. Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 32. Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".

Sesungguhnya cinta kepada Allah itu bukan hanya pengakuan mulut bukan pula khayalan dalam angan-angan saja. Tetapi harus disertai sikap mengikuti Rasŭlullah saw., melaksanakan petunjuknya, dan melaksanakan manhaj-Nya dalam kehidupan.

Imam Ibnu Katsîr menafsirkan ayat 31 mengatakan “ayat yang mulia ini

menghukumi atas setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah, tetapi dia tidak mengikuti jalan hidup yang diajarkan Nabi Muhammad saw. Maka orang yang seperti itu adalah berdusta, sehingga ia mengikuti syarî’at Nabi Muhammad dan agama yang dibawanya dalam semua perkataan dan perbuatannya, sebagaimana

yang disebutkan dalam as Shahih dari Rasŭlullah saw. Bersabda:

ْتَلاَق اَهْ نَع ها ِضَر َةَشِئاَع ْنَع

ِهْمَلَع َسْمَل ًََمَع َلِمَع ْنَم ََاَق َملَسَو ِهْمَلَع ُهللا لَص ِهللا ََوُسَر نَأ

ٌدَر َوُهَ ف اَنُرْمَأ

24

23Said Ramadlan al-Buthi, Al-Qur’an Kitab Cinta, terj. Bakrun Syafi’I, Cet. I, (Jakarta Selatan: Hikmah, 2010), h. 3.


(34)

26

Dari ‘ isyah radliyallohu ‘anhă, ia berkata bahwasanya Rasŭlullah saw., bersabda: Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya maka amal itu di tolak (H.R. Muslim)

Mengenai ayat yang kedua, Imam Ibnu Katsir berkata: “maksudnya, jika kamu menyelisihi perintah-Nya, maka ayat ini menunjukkan bahwa menyelisihi Allah (dan Rasŭl-Nya) dalam menempuh jalan hidup adalah kufur. Allah tidak menyukai orang yang bersifat demikian, meskipun dia mengaku dan menyatakan dirinya cinta kepada Allah.”25

Menurut penulis dari perkataan Ibnu Katsîr yang mengatakan bahwa orang yang mengaku cinta kepada Allah, tetapi tidak mengikuti jalan hidup yang diajarkan Nabi Muhammad itu di katakan berdusta, dan dari perkataan yang mengatakan Kufur, dari kedua kata dusta dan kufur ini maksudnya adalah sama, yaitu orang yang mengatakan dirinya cinta kepada Allah swt. akan tetapi dia tidak mengikuti syari’at yang di bawa Nabi Muhamad SAW.

Ketahuilah bahwa mencintai sesuatu tanpa disandarkan pada sang Khălik

maka dikatakan bodoh. Alangkah meruginya pecinta yang menjual dirinya dengan harga sangat murah kepada selain yang seharusnya ia cintai pertama kali, juga kepada syahwat sesaat, yang cepat hilang kenikmatannya dan tinggal resikonya, cepat lenyap manfaatnya dan tetap mengendap madharatnya. Syahwatnya itu sirna dan yang tinggal hanya celaka, mabuknya hilang dan yang tinggal kerugian.

Sungguh amat ironi manakala dua kerugian itu bersatu pada diri seseorang, kerugian hilangnya kecintaan kepada Dzat tertinggi yang nikmat dan abadi, serta

24Muslim bin al-Hajăj Abul Hasan al-Qusyaîrî an-naîsăbŭrî, Shahîh Muslim, Juz 9, (t.t.p.: t.p., t.t.), h. 119. dalam Maktabah Syamilah.

25Sayyid Quthub, Tafsir Dhilal al-Qur’an, Juz III, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 57.


(35)

27

kerugian yang dirasakannya dari berbagai derita karena siksaan yang pedih. Dan di sanalah orang yang tertipu itu mengetahui apa yang hilang dari padanya. Dan sungguh orang yang memiliki jiwa dan hatinya tak patut menjadi budak dan pengikut (nafsunya).

Allah Swt. Berfirman dalam surat hŭd ayat 116:

َو

َعَب تا

َنيِذلا

اوُمَلَظ

اَم

اوُفِرْتُأ

ِهمِف

اوُناَكَو

َِْمِرُُْ



116. ….dan orang-orang yang dhalim hanya mementingkan keni’matan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.

Dalam roda kehidupan kata “mahabbah” tak pernah ketinggalan, karena rasa kasih sayang, damai adalah tujuan utamanya. Untuk mempersatukan hubungan antar manusia satu dengan lainnya, baik itu dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Namun dalam pelaksanaannya, semua itu tak semudah pengakuan dan angan-angan.

Sebagaimana menurut penafsiran Imam Ibnu Katsîr di atas, seseorang yang mengaku cinta tetapi tidak mengikuti apa yang telah di perintahkan oleh yang di cintainya maka cintanya itu adalah dusta. Sebaliknya jika seseorang mencintai sesuatu yang ia cintai maka semua apa yang diperintahkan dan dilarangnya akan ia patuhi. Karena, jika ia tidak mematuhinya maka sesuatu yang ia sukai akan menjauh. Akan tetapi hal seperti itu tidak hanya di ucapkan di bibir saja, ia membutuhkan implementasi pengorbanan, dan pengorbanan orang yang mencintai Allah nilainya tidak dapat disamakan dengan pengorbanan yang dilakukan seorang manusia kepada kekasihnya.


(36)

28

Allah telah berfirman dalam surat al-‘Imrăn ayat 31 seperti di atas, dan juga

seperti perkataan orang A’răbi:

َِاَقَمْلا ِناَسِل ْنِم ُحَصْفَأ َِاَْْا ُناَسِل

Semua kecintaan tersebut adalah bathil kecuali kecintaan kepada Allah dan konsekwensi dari kecintaan pada-Nya, yaitu cinta kepada rasul, kitab, agama dan para kekasih-Nya. Berbagai kecintaan inilah yang abadi, dan abadi pula buah serta keni’matannya sesuai dengan abadinya ketergantungan orang tersebut pada-Nya. Dan keutamaan cinta ini atas kecintaan kepada yang lain sama dengan keutamaan orang yang bergantung pada-Nya atas orang yang bergantung pada yang lain. Jika hubungan para pecinta itu terputus, juga terputus pula sebab-sebab cintanya, maka cinta kepada-Nya akan tetap langgeng abadi.

Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 166:

ُباَبْسَْْا ُمِِِ ْتَعطَقَ تَو َباَذَعْلا اُوَأَرَو اوُعَ ب تا َنيِذلا َنِم اوُعِبتا َنيِذلا َأرَ بَ ت ْذِإ



26

166. (yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.

Al-Asbăb dalam ayat di atas menurut ‘Atha', berdasarkan keterangan Ibnu Abbăs Radliyallahu ‘Anhumă berarti kecintaan. Mujahid berkata, "Artinya hubungan antar mereka di dunia." Ad-Dahaq berkata, "Hubungan kekeluargaan mereka terputus dan tempat mereka di neraka berpencar di mana-mana." Abu Shalih berkata, "Artinya amal perbuatan."

Semua pendapat di atas adalah benar, sebab al-asbăb berarti hubungan antar

mereka di dunia, dan sesuatu yang amat mereka butuhkan kemudian terputus.


(37)

29

Adapun orang-orang ahli taŭhid dan mereka yang ikhlas kepada Allah, maka

hubungan mereka itu akan tetap tersambung, ia akan kekal sekekal Dzat yang disembah dan dicintainya. Sebab hubungan itu tergantung kepada yang

dijadikannya sandaran, baik dalam kekekalan maupun keterputusan.27

C. Hakikat Cinta dan Persepektif Tasawuf

1. Cinta Hamba Kepada Allah

Al-Qur’an banyak menyinggung tentang cinta manusia kepada Allah. Adapun yang dimaksud disini adalah cinta yang tumbuh kepada Allah Swt.,

bersamaan dengan ketaatan, dzikrullah, dan merasa diawasi oleh Allah. Di antara

ayat yang menceritakan adanya cinta hamba kepada Allah adalah firman-Nya:

بُح دَشَأ اوُنَمآ َنيِذلاَو ِهللا ِبُحَك ْمُهَ نوبُُِ اًداَدْنَأ ِهللا ِنوُد ْنِم ُذِختَ ي ْنَم ِسانلا َنِمَو

ْوَلَو ِهلِل ا

ِدَش َهللا نَأَو اًعمََِ ِهلِل َةوُقْلا نَأ َباَذَعْلا َنْوَرَ ي ْذِإ اوُمَلَظ َنيِذلا ىَرَ ي

ُدي

ِباَذَعْلا



Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat dhalim itu28 mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).

27

Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Manajemen Qolbu Melumpuhkan Senjata Syaîthan, terj. Ainul Haris ‘Umar ‘Arifîn Tayyib, (Jakarta: Darul Falah, 2005), h. 346-347.

28

Yang dimaksud dengan orang yang zalim di sini ialah orang-orang yang menyembah selain Allah.


(38)

30

Lalu, apa yang dimaksud dengan cinta manusia kepada Allah? Lalu

bagaiman hamba bisa mencintai Rabb-nya? Sebagian manusia berpendapat bahwa

cinta dalam arti yang sebenarnya hanya terjadi antara dua manusia yang berlainan jenis. Manusia hanya bisa mencintai jenis manusia atau mencintai sesuatu yang bisa dilihat oleh indra dan di nikmati oleh manusia, seperti kagum terhadap sesuatu yang ia lihat, suara yang ia dengar, atau bau-bauan yang tercium di hidungnya karena hubungan antara orang yang mencintai dan yang dicintai dibangun dengan pandangan mata, pendengaran, ataupun penciuman. Perlu diketahui juga bahwa Allah Swt. Tidak dapat dirasakan oleh salah satu indra manusia. Oleh karena itu, cinta manusia kepada Allah dalam pemahaman seperti di atas jelas salah kaprah.

Analogi seperti inilah yang dipergunakan oleh sebagian orang dalam memahami cinta kepada Allah sebagaimana yang disebutkan dalam al Qur’an maupun sunah Rasulullah Saw., yaitu dengan arti mengikuti semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya.

Menurut penafsiran Sayyid Qutub pada surat al-Baqarah ayat 165 bahwasanya ada sebagaian manusia yang menjadikan Tuhan tandingan selain Allah. Pada masa turunnya ayat ini Tuhan tandingan itu berupa batu-batu,

pohon-pohon, bintang-bintang, malăikat, syaîthan, dan lain-lainnya. Benda-benda

tersebut sangat dicintai29 sehingga melebihi cintanya pada Tuhan yang

menciptakan langit dan bumi. Semua itu adalah syirîk, baik tingkatan yang samar

maupun yang jelas. Orang yang beriman lebih mencintai Allah dari pada apapun.

29Sayyid Quthub, Tafsir Dhilal al-Qur’an, Juz II, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), h. 182.


(39)

31

Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad Ibnul Qoyyim al-Jauziyah

berkata dalam kitabnya, Zădul Ma’ăd fî Hadyî Khaîril ‘Ibăd, “barang siapa yang

merenungkan sejarah dan informasi-informasi yang shahih mengenai persaksian

(pengakuan) banyak kalangan Ahli Khitan dan kaum musyrikîn akan kerasŭlan

beliau dan bahwa beliau adalah benar, namun persaksian ini tidak juga memasukkan mereka ke dalam islăm (tidak menjadikan mereka secara otomatis

menjadi muslim), maka dapatlah diketahui bahwa islăm adalah sesuatu dibelakang

itu semua. Islam adalah pengertian, pengakuan, ketundukan, kepatuhan, dan ketaatan kepada Allah dan agama-Nya secara lahir dan bathin.

2. Tingkatan Cinta

Menurut Abu Nashr ‘Abdillah bin ‘Ali as-Sarrăj at-Tŭsi,30 menyebutkan bahwa tingkat mahabbah itu telah disebutkan dalam kitabullah:

Pertama ; 31

ُهَنوبَُُِو ْمُه بُُِ ٍمْوَقِب ُهللا ِِْأَي َفْوَسَف

Kedua : 32

ُهللا ُمُكْبِبُُْ ِِوُعِبتاَف َهللا َنوبُُِ ْمُتْنُك ْنِإ ْلُق

Ketiga : 33

ِهلِل ابُح دَشَأ اوُنَمآ َنيِذلاَو ِهللا

ِبُحَك ْمُهَ نوب

حُي

Adapun tingkat mahabbah bagi seorang hamba, yaitu; melihat semua nikmat yang telah di berikan Allah kepadanya dengan mata dhahirnya dan melihat dengan mata hatinya seraya untuk mendekatkan diri kepada Allah dari ni'mat tersebut dan memperoleh perhatian, penjagaan serta perlindungan dari-Nya,

30Abu Nashr ‘Abdillah bin ‘Ali as-Sarraj at-Tŭsi, Al-Luma’ fî Tarîkhi at-Tashawufi

al-Islami, (t.t.p.: Darul kutub al-‘Ilmiyyah, 1971), h. 53. 31Al-Qur’an al-Karim, Surat al-Măidah, Ayat 54. 32Al-Qur’an al-Karim, Surat al-‘Imrăn, Ayat 31. 33Al-Qur’an al-Karim, Surat al-Baqarah, Ayat 165.


(40)

32

kemudian hamba dengan keimanan, dan keyakinannya bisa mendapatkan inayah dan hidăyah serta hubb Allah.

Menurut Ahlul Mahabbah, mahabbah mempunyai tiga tingkat:

a) Cinta orang biasa, yaitu selalu mengingat Allah Swt dengan dzikir, suka

menyebut nama-nama Allah Swt dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan-Nya serta senantiasa memuji-Nya.

َءاَسَأ نَم َضْغُ بَو اَهمَلِإ َنَسْحَأ ْنَم ِبُح َلَع ُبوُلُقْلا ِتَلِبُج

اَهمَلِإ

34

Dan dari tingkatan mahabbah ini syaratnya adalah sebagaimana yang dikatakan Samnŭn Rahimahumullah, yaitu; rasa kasih sayang serta melanggengkan dzikir, karena seseorang yang cinta terhadap sesuatu banyak disebut-sebutnya.

b) Cinta orang shidîq (jujur, benar), yaitu orang yang kenal kepada Allah

Swt, seperti kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, dan ilmu-Nya. Cinta ini dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Allah Swt, sehingga ia dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Allah Swt. Ia mengadakan dialog dengan Allah Swt dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat orang sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifat-Nya sendiri, sementara hatinya penuh dengan perasaan cinta dan selalu rindu kepada Allah Swt.

c) Cinta orang ‘arîf, yaitu cinta orang yang tahu betul akan Allah Swt yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai. Cinta pada tingkat

34Muhammad bin Salamah bin Ja’far Abu ‘Abdillah al-Qadlo’I, Musnad as-Syihab, Jus I, (Bairut: Muasas ar Risalah, 1986), h. 350.


(41)

33

ketiga inilah yang menyebabkan seorang hamba (sufi) dapat berdialog dan

menyatu dengan kehendak Allah Swt.35

Penggolongan mahabbah seperti halnya klasifikasi terhadap tingkatan mahabbah

yang dilakukan as-Sirrăj sulit untuk dilakukan, hanya orang yang memiliki

pemahaman yang mendalam yang bisa melakukannya, atas dasar ini apa yang

dilakukan oleh as-Sirăj ini sepatutnya mendapatkan apresiasi besar karena telah

memberikan pencerahan terhadap pembaca dalam memahami mahabbah, hanya saja dalam pengklasifikasian ini tardapat beberapa hal yang membuat kami melakukan koreksi dan kritikan namun hal ini tidak mengurangi dalam memberikan apresiasi setinggi-tingginya pada beliau, beberapa hal tesebut adalah bentuk ketidak samaan persepsi dengan beliau dan keluhan terhadap apa yang

tertulis dalam kitab al-Lumă’, namun yang kami temukan ini bisa saja karena

keterbatasan kami dalam memahami teks atau kekurang pahaman kami pada konsep.

D. Pegertian Maqomat

Secara harfiah maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti

tempat berpijak atau pangkat mulia.36 Dalam bahasa inggris maqamat dikenal

35Abu Nashr ‘Abdillah bin ‘Ali as-Sarrăj at-Tusi, Al-Lŭma’ fî Tarikhi at-Tasawufi

al-Islami, (Darul kutub al-‘Ilmiyah, 1971), h. 53-55, lihat juga PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Ensiklopedi Islăm 3, (Jakarta: t.t.), h. 109.


(42)

34

dengan istilah stages yang bererti tangga.37 Sedangkan dalam ilmu tasawuf

maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan allah berdasarkan apa yang telah diusahakannya, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Disamping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase fase yang harus ditempuh

oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah.38 Maqam dilalui

oleh seorang hamba melalui usaha ang sungguh sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidk akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.

Berkaitan dengan macam macam maqamat yang harus ditempuh oleh seorang salik untuk berada sedekat mungkin dengan Allah, para sufi memiliki pendapat yang berbeda beda. Menurut al Ghazali yang diuraikan dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin, maqamat terdiri dari delapan tingkat yaitu taubat, sabar, zuhud, tawakkal, mahabbah, ridha dan ma’rifat.39

Menurut As Sarraj ath – Thusi,

maqamat terdiri dari tujuh tingkatan yaitu taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, ridha

dan tawakal.40 Sedangkan menurut Muhammad al Kalabazy, maqamat terdiri dari

sepuluh tingkatan, yaitu taubat, zuhud, sabar, faqr, tawadhu’, takwa, tawakal, ridha, mahabbah, dan ma’rifat. Penjelasan semua tingkatan itu adalah sebagai berikut:

36 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia (Yogyakarta: Pondok Pesantren Krapyak,1996), 1786; Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung. 1990), 362

37 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1988), 550.

3838 M. Solihin dan Rasihan Anwar, Kamus Tasawuf ( Bandung; Remaja Rosdakarya, 2002), 126;

39Imam Al Ghazali, Ihya’ Ulum ad Din jilid III (Beirut: Dar al Fikr), 162 – 178

..


(43)

35

1. Taubat

Taubat berasal dari bahasa Arab taba – yatubu – taubatan yang bererti

“kembali” dan “penyesalan”.41

Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan

kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.42

Taubat menurut Dzun Nun al Misri dibedakan menjadi tiga tingkatan: (1) orang yang bertaubat dari dosa dan keburukan, (2) orang yang bertaubat dari kelalaian mengingat Allah dan (3) orang yang bertaubat

karena memandang kebaikan dan ketaatanya.43 Dari ketiga tingkatan

taubat tersebut, yang dimaksud sebagi maqam dalam tasawuf adalah upaya taubat, karena mmerasakan kenikmatan batin.

Bagi orang awam, taubat dilakukan dengan membaca astaghfirullahwa atubu ilaihi. Sedangkan bagi orang khawash taubat dilakukan dengan riyadhah dan mujahadah dalam rangka membuka hijab yang membatasi dirinya dengan Allah swt. Taubat ini dilakukan para sufi hingga mampu menggapai maqam yang lebih tinggi.

2. Zuhud

41 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer, 607; Hans Wehl, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed.J. Milton Cowan (Beirut: Maktabah Lubnan, 1980) 98;Mahmud Yunus, Kamus Arab, 79.

42 Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 58


(44)

36

Zuhud secara harfiah berarti meninggalkan kesenangan dunia, atau

tidak ingin kepada sesuatu yangbersifat keduniawian.44 Menurut

pandangan para sufi, zuhud secara umum diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dan rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi

dengan mengutamakan kehidupan ukhrawi.45 Zuhud dibagi menjadi

tiga tingkatan. Pertama yaitu menjauhkan dunia agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua yaitu menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga, mengucilkan dunia bukan karena takut atau

karena berharap, tetapi karena cinta kepada Allah semata.46

Zuhud merupakan sarana untuk mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang berzuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi daripada mengejar kebahagiaan dunia yang fana’ dan hanya sepintas.

3. Sabar

44 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer, 1023;Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written, 383; Mahmud Yunus, kamus Arab, 158

45 M. Solihin dan Rosihan Anwar, Kamus Tasawuf, 270. 46 Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, 72


(45)

37

Sabar secara harfiah berarti tabah hati.47 Secara terminology sabar

adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil, dan konsekuen

dalam pendirian.48 Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al

Misri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal hal yang bertenntangan dengan kehendak Allah, tetap tenang ketika mendapatan cobaan dan menampakkan sikap cukup, walaupun

sebenarnya berada dalam kefakiran.49 Berdasarkan pengertian

diatas, maka sabar erat kaitannya dengan pengendalian diri, pengendalian sikap dan pengendalian emosi. Ole sebab itu, sikap sabar tidak bisa terwujut begitu saja, akan tetapi harus melalui latian yang sungguh sungguh.

4. Wara’

Wara’ secara harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan

dosa atau maksiat.50Sedangkan pengertian wara’ dalam pandangan

sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumya, baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan

lainnya. 51Menurut qamar kailani yang dikutip oleh Rivay A.

Siregar, wara’dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan, sedangkan

47 Mahmud Yunus, Kamus Arab, 183.

48 M. Solihin dan Rosihan Anwar, Kamus Tasawuf, 185.

49 Al Qusyairi an Naisabury, ar risalah al qusyairi (Mesir; Dar al Khair), 184 50 Mahmud Yunus, Kamus Arab, 497

51 Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufi Klasik ke Neo- Sufisme (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2000), 118


(46)

38

wara’ bathiniyah adalah tidak menempatkan atau mengisi hati

kecuali dengan mengingat Allah.52Dalam kitab al luma’ dijelaskan

bahwa orang orang wara’ dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama wara’ orang yang menjauhkan diri dari syubhat. Kedua wara’ yang menjauhkan dri dari sesuatu yang menjadi keraguan hati dan ganjalan di dada. Ketiga wara’ orang arif yang sanngup

menghayati dengan hati nurani.53

5. Faqr

faqr mengandung makna seseorang yang penghasilannya setelah bekerja tidak mencukupi kebutuhannya. Dinamakan faqr karena masih membutuhkan bantuan untuk meningkatkan taraf hidup. sedangkan dalam konteks eksistensi manusia , faqr mengandung makna bahwa semua manusia secara universal membutuhkan

Allah.54 Dalam pandangan sufi, faqr diartikan tidak menuntut lebih

banyak dari apa yang telah dimiliki dan merasa puas dengan apa

yang dimiliki sehingga tidak menginginkan sesuatu yang lain.55

Sikap faqr merupakan pondasi yang kuat dalam menghadapi pengaruh kemewahan hidup di dunia. Seseorang yang memiliki sikap faqr terhindar dari keserakahan, karena sikap ini merupakan rentetan dari sikap zuhud.

6. Tawakal

52 Ibid

53Abd. Nashr as Sarraj ath Thusi, al Luma’, 93-94.

54 M. Sholihin dan Rosihan Anwar, Kamus Tasawuf, 49 50. 55 Ibid


(47)

39

dan menyerahkan segalanya kepada Allah setelah melakukan suatu

recana atau usaha.56 Sikap ini erat kaitanyya dengan amal dan

keiklasan hati, yaitu iklas semata mata karena Allah dan menyerahkan segalanya sepada Allah. Menurut Al Qusyairi, tawakal tempatnya dihati dan terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan kepada ketentuan Allah.

Semuanya adalah takdir Allah.57 Sementara Al Misri

mendefinisikan tawakal yaitu berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa tidak memiliki daya dan kekuatan. Intinya adalah pemyerahan diri sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan tidak

memiliki kekuatan apapun. 58

7. Ridha

Ridha secara harfiah, berarti rela, senang dan suka.59 Sedangkan pengeriannya secara umum adalah tidak menentang qadha dan qadhar Allah, menerima qadha dan qadhar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal didalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surge dari Allah dan tidak meminta

dijauhkan dari neraka.60 Sikap ridha ini merupakan kelanjutan dari

56 A. Riva Siregar, Tasawuf, 121.

57 Al Qusyairi an Naisabury, ar Risalah, 163

58Abd. Nasrh as sarraj ath Thusi, al Luma’ (Mesir: Dar al kutub al Haditsah, 1960), 78 59 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer, 976; Muhammad Yunus,

kamus Arab, 142.


(48)

40

rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Rasa cita yang diperkuat dengan ketabahan akan menimbulkan kelapangan hati dan kesediaan yang tulus untuk berorban dan berbuat apa saja yang diperitahkan oleh Allah swt.

8. Mahabbah

berasal dari kata ahabbah- yuhibbu- mhabbatan yang berarti emcintai secara mendalam. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan Sesutu usaha sunguh sungguh dari seseorang untuk mencaai tingkatan rohaniah tertinggi denga terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah. Berkaitan dengan konsep mahabbah rabiah al adawiyah adalah peletak dasar mahabbah ini. Mahabbah dalam pandangan rabiah adalah cinta abadi kepada Allah yang melebihi cinta kepada siapapun dan apapun. Cinta abadi yang tidak takut kepada apa saja, bahkan neraka sekalipun, sebagaimana dalam syi’ir Rabi’ah yang berbunyi:

“ kujadikan engkau teman percakapan hatiku,

Tubuh kasaru biar bercapak dengan insane Jasadku biar bercengkrama tulangku

Isi hatiku tetap pada –Mu jua”


(49)

41

rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat pada umumnya, dan merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal hal yang bersifat dzahir, tetapi bersifat bathin yaitu pengetahuan mengenai rahasia rahasia Tuhan melalui pancaran cahaya ilahi. Adapun alat untuk memperoleh ma’rofat bersandar pada sir, qalb, dan ruh. Qalb yang telah suci akan dipancari cahaya ilahi dan akan dapat mengetahui segala rahasia Tuhan. Pada saat itulah seorang sufi sampai pada tingkatan ma’rifat. Dengan demikian ma’rift berhubungan dengan nur ilahi dan berkaitan dengan nur ilahi. Dalam al Qur’a terdapat beberapa kata nur yang diubungkan dengan Allah, di antaranya adalah:

Artinya: “…dan barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh

Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.”

E. Pengertian Ahwal

Secara bahasa ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan sesuatu (keadaan rohani). Menurut syeh abu Nashr as Sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak dapat bertahan secara lama. Sedangkan menurut al Ghazali hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa


(50)

42

atau sebagai pemberian semata61. Sehubungan dengan ini, Harun Nasution

mendefinisikan hal sebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan

sedih, perasan takut, dan sebagainya.62

Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi diatas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, hal adalah kkeadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih. Jika maqam diperoleh melalui usaha, akan tetapi hal bukan diperoleh melalui usaha, akan tetapi anugerah dan rahmad dari Tuhan. Maqam sifatnya permanen, sedangkan hal sifatnya temporer sesuai tingkatan maqamnya. Sebagaimana hal nya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat dikalangan sufi. Adapun al hal yang paling banyak disepakati adalah al muqarrabah, al khauf, ar raja’, ath thuma’ninah, al musyahadah dan al yakin. Penjelasan tentang ahwal adalah sebagai berikut:

1. Al Muraqobah

Mmuraqobah dalah kesadaran diri bahwa kita selalu berhadapan dengan Allah dalam kkeadaan apa pun dan Dialah yang selalu mengawasi segala apa pun yang kita lakukan. Muraqabah ini merupakan keadaan hati yang dihasilkan oleh pengealan terhadap Allah. Keadaan ini akan membuahkan amal perbuatan, baik yang

61Imam Al Ghazali, Ihya’ Ulum ad Din jilid III (Beirut: Dar al Fikr), 162 – 178

..

62 126; Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), 62


(51)

43

dilakukan ole anggota badan maupun hati. Menumbuhkan sikap selalu siap da waspada bahwa dalam keadaan apapun akan selalu diawasi oleh Allah swt.memandang bahwa Allah selalu dekat bersama kita dan mengetahui apa yang dilakukan oleh hamba Nya.63

2. Al khauf

Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut al Ghazali khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenangi dimasa mendatang.

Orang yang selalu merasa takut maka timbullah sikap untuk selalu berusaha agar prilakunya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah swt. Dan mendorong seseorang untuk melakukan hal hal yang positif dan terpuji serta menjauhi perbuatan tercela. Perasaan khauf timbul karena pengenalan dan kecintaan kpada Allah sudah mendalam dan sikap khauf selalu dibarengi dengan raja’.64

3. Raja

Raja’ adalah berharap atau perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang diinginkan tau disenangi, sebagaimana al Ghazali mendefinisikannya dengan suatu keadaan dimana hati

63Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, 72


(1)

91

yang Maha Pencipta (al-Khăliq).” Yang tercantum dalam surat at -Taubah ayat 24.

Usaha mendekatkan diri kepada Tuhan yang Mulia dengan menyucikan jiwa dari berbagai macam kotoran yang melekat pada

setiap jiwa seperti perbuatan riya’ atau syirîk dan perbuatan tercela lainya yang menjadi penghalang untuk meraih cinta yang sejati. Cinta yang didasari dengan penuh ketulusan dan keikhlasan serta perilaku orang yang mencintai Allah sehingga hidup menjadi indah dan jauh lebih bermakna.

B. Saran

Semoga dalam penelitian yang berjudul Konsep Cinta Dalam

Al-Quran Telaah Atas Pemikiran Al Alusi Dalam Tafsir Ruhul Ma’ani Q.S Al

Imran 31 ini berguna bagi semua pembaca, Khushushnya bagi semua shabat-shabat (Mahasiswa/Mahasiswi) UIN Sunan Ampel Surabaya, untuk membantu memahami makna-makna cinta yang terkandung dalam Al-Qur’an. Sehingga dapat menambah kecintaan, menjahui sumua larangan tuhan dan menjalankan semua perintah tuhan. Pada akhirnya menjadi seorang muslim yang tunduk dan patuh hanya kepada Allah dan menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah. Dan tidak merasa disakiti oleh cinta karna ketika kita mencintai karana Allah rasa cinta akan lebih indah.


(2)

92

Ayat-ayat yang terkait dengan cinta sangat banyak, dan begitu pula

ulama’-ulamak yang menjelaskan masalah cinta juga sangat banyak tapi di dalam penelitian ini penulis masih menjelaskannya secara global dan sederhana. Oleh karena itu, penulis berharap nantinya ada dari adek-adek tafsir hadis UIN Sunan Ampel Surabaya bisa penelitian tarkait cinta yang lebih luas dan mendalam dengan ayat-ayat cinta dalam al- Qur’an.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Aziz Musthafa, Abd. Mahabbatullah Tangga Menuju Cinta Sang Khaliq, Wacana Ibn Qayyim al-Jauziyyah, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996)

Djalal, Abdul. ‘Ulu>m al Qur’an (Surabaya:Dunia Ilmu, 2000)

Alusi (al), Ruh al-Ma‘ani fi Tafsir al-Qur’an al-‘Azim wa Sab‘i Mathani, juz 3 (Beirut: Dar al-Ihya, tth)

Ghazali (al), Mukhta}ar I}ya ‘Ulum al-Din (Kairo: Da>r al-Fikr, 1993)

Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim Atsa’labi an-Naisaburi, Abu Ishak. Al-Kasyfu wal Bayan, Cet.VI, (Bairut: Darul Ihya’ Turats al-‘Arabi, 2002)

Fatah Muhammad Sayyid Ahmad, Abdul. Tasawuf antara al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, terj. M. Muchson Anasy, (Jakarta Selatan: khalifa, 2005) Qasîm Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi An-Naisaburi, Abul. Risalah

Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, penyunting: Umar Faruq, (Jakarta: Pustaka Amani, 1998)

fatah Muhammad Sayyid Ahmad, Abdul. Tasawuf antara al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, terj. M. Muchson Anasy, (Jakarta Selatan: khalifa, 2005) Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf, Cet. IV, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) Qusyairi al-Naisaburi (al), Al-Risalah al-Qusyairiyah, (Mesir: Dar al-Kahir, t.t.) Nabawi Jaber Siraj (al) dan ‘Abdussalam A. Halim Mahmud, Rabi’ah Sang Obor

Cinta Sketsa Sufisme Wali Perempuan, (Sabda Persada: Yogyakarta, 2003)

Al-Qur’an al-Karim, Surat al-Baqarah, Ayat 166.

Nashr ‘Abdillah bin ‘Ali as-Sarraj at-Tŭsi, Abu. Al-Luma’ fî Tarîkhi at-Tashawufi al-Islami, (t.t.p.: Darul kutub al-‘Ilmiyyah, 1971)

Al-Qur’an al-Karim, Surat al-Măidah, Ayat 54. ..., Surat al-‘Imrăn, Ayat 31. ..., Surat al-Baqarah, Ayat 165.


(4)

Sayyid Muhammad Ali Iyazi (al), Al-Mufassirun Hayatuhum wa

Manhajuhu,Wizarahal-Tsaqafah wa al-Irsyad al- Islami, (Teheran, 1212H)

Alusi, Abu al Sana Shihab al Din al Sayyid Mahmud (al), Ruh al Ma’ani Fi Tafsir al Qur’an al Azim wa al Sab’ al Masani, Juz 1 (Beirut: Dar al Kutub al

‘Ilmiyah, 1994)

Dimasyqi (al), Kasir Ibnu Isma’il, Fida Abul Al-Imam, Penerjemah Bakar Abu Bahrun, Tafsir Ibnu Katsir Juz III Ali Imbran, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004)

..., Surat al-Baqarah, Ayat 195

Bin Hambal, Ahmad. Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Juz 5, (t.t.p.: Dar al-Fikr, t.t)

..., Surat Yŭnus, Ayat 62.

Departemen Agama RI, Al-Qurg’an dan Terjemah 03-31 (Bandung: Syamil, tth)

Ahmad Al-Bunny, Djamaluddin. Menelusuri Taman-taman Mahabbah

Shufiyyah,Yogyakarta: Mitra Pustaka 2002)

Depag Republik Indonesia, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: IAIN, 1993) Ensiklopedi Islam, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Cet 4 (Jakarta: Ichtiar Baru

Van Heve, 1997 jilid 5)

Hakam Chozin, Fadjrul. Cara Mudah Menulis Karya Ilmiah, (tk: Alpha,1997) Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,

1983)

Ilyas, Hamim. Studi Kitab Tafsir (Jogjakarta: Teras, 2004)

Hamka, Tafsir Al Ahzar Jus III, (Jakarta: PT. Serumpun Padi, 2003)

Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu. Pengaruh Maksiat, TERJ. Jumaidi Sofandi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001)

Hajar, Ibnu. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif Dalam Pendidikan

(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999),

Qayyim al-Jauziyah, Ibnu. Manajemen Qolbu Melumpuhkan Senjata Syaîthan, terj. Ainul Haris ‘Umar ‘Arifîn Tayyib, (Jakarta: Darul Falah, 2005) Rakhmat, Jalaluddin. The Road to Allah, (Bandung: Mizan, 2007)


(5)

Shaliba, Jamil. Al-Mu’jam al-Falsafi, Jilid 2, (Mesir: Dar al-Kairo, 1978)

Ali Abd Qadir, Jam’ah. Zad al Raghibin fi Manahij al Mufassirin (Kairo:Jami’ah al Azhar, Kuliah Ushul al Din, 1986)

Kementrian Agama RI, Al Quran dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan), (Jakata; Widya Cahaya,2011)

J. Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2002)

Ali as-Shabuni, M. Al-Tibyan fi Ulum al-Qur'an, Terj, M. Khudori Umar dan Mustofa, H.S, (Bandung: al-Ma'arif, 1996)

Bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukhari, Muhammad. Shahih Bukhari, Juz XIX

Bin al-Hajăj Abul Hasan al-Qusyaîrî an-naîsăbŭrî, Muslim. Shahîh Muslim, Juz 9, (t.t.p.: t.p., t.t.)

Muanandar Sulaiman, M. Ilmu Budaya Dasar, (Bandung: ERISCO, 1995)

Khalil al Qattan, Manna‘. Mabahith fi ‘Ulum al Qur’an (Riyad: Manshurat al

g’A}r al Hadith 1973)

Smith, Margareth. Rabi’ah Pergaulatan Spiritual Perempuan, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999)

Bakr Isma‘il, Muhammad. Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Dar al-Fikr 1991)

Fuad ‘Abdul Baqi, Muhammad. Mu’jam al-Mufahras li al-Fadhi al-Qur’an, (Kairo: Darul Kutub Misriyah, t.t.),

Bin Salamah bin Ja’far Abu ‘Abdillah al-Qadlo’I, Muhammad. Musnad as-Syihab, Jus I, (Bairut: Muasas ar Risalah, 1986)

Husain al-Dzahabi, Muhammad. Al-Tafsir Wa al-Mufassirun, Juz I, (Dar

al-Ma’arif, t. t, 1976)

Iskandar Al-Barsany, Noer. Tasawuf Tarekat dan Para Sufi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001)

Baidan, Nasruddin. Metodologi Penafsiran al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998)

Shihab, Quraish. Membumikan al-Qur’an, Mizan, (Bandung, 1992)


(6)

Nasir, Ridlwan. Diktat Mata Kuliah Studi al Qur’an(Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2004)

hadi, Sutrisno. Metodologi Riset, (Yogyakarta, PT. Psikologi UGM, 1983) Surat al-‘Imrăn, Ayat 31-32.

Ramadlan al-Buthi, Said. Al-Qur’an Kitab Cinta, terj. Bakrun Syafi’I, Cet. I,

(Jakarta Selatan: Hikmah, 2010)

Quthub, Sayyid. Tafsir Dhilal al-Qur’an, Juz II, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004)

Shihab, tafsir al-mishbah juz III, (lentera hati jl. Kertmukti no 63) 2009

Muhammad Mahdi al-Ashify, Syaikh. Al-Hubb al-Ilahi fi Ad’iyah Ahlu al-Bait, (t.t.p.: t.p., 1995)

Tafsir Ibnu Katsir (1/477).

Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990)

Ilyas, Yunahar. Feminisme Dalam Kajian Tafsir al-Qur’an Klasik dan Kontemporer,Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998