Perempuan dalam tradisi tafsir kontemporer di Indonesia: studi perbandingan pemikiran Hamka dalam tafsir Al-Azhar dan Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah

(1)

LAPORAN PENELITIAN

PEREMPUAN DALAM TRADISI TAFSIR KONTEMPORER DI INDONESIA (Studi Perbandingan Pemikiran Hamka dalam Tafsir Al-Azhar Dan

Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah)

Oleh:

Faizah Ali Syibromalisi

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah dengan izin-Nya dan dengan bantuan berbagai fihak akhirnya penelitian ini dapat diselesaikan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan pemahaman terhadap pesan-pesan Al-Quran. Penulis juga berharap hasil penelitian ini bisa memberi pencerahan kepada perempuan mengenai posisi dan perannya sebagai mitra sejajar kaum laki-laki.

Sebagai Kitab suci yang berfungsi sebagai petunjuk dan ajaran moral universal bagi umat manusia, Al-Quran diyakini akan senantiasa relevan untuk setiap waktu dan tempat (shalih li kulli zaman wa al-makan). Asumsi ini membawa implikasi bahwa Al-Quran harus terus di tafsirkan, sehingga dapat menyelesaikan berbagai problem sosial di era kontemporer ini.

Banyak hal yang harus diluruskan dari persepsi masyarakat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama atau yang dipengaruhi oleh penafsiran yang dianggap diskriminatif terhadap masalah-masalah perempuan. Misalnya anggapan laki-laki lebih utama daripada kaum perempun yang dikenal dengan paham patriakhal, yang mengakibatkan peran perempuan terpinggirkan, perempuan tidak punya peluang untuk berkarir di dalam atau pun di luar rumah dan lain-lain. Kenyataan ini telah memunculkan ide-ide pembaharuan dalam penafsiran.

Corak adabi ijtima‟i atau sosial budaya yang digagas, telah mengaitkan penafsiran dengan berbagai problematika yang terjadi di masyarakat untuk dicarikan solusinya. Pembarauan ternyata membawa pengaruh terhadap penafsiran sehingga kajian tafsir semakin meluas. Tuntutan keadilan dan kesetaraan perempuan dengan laki-laki memunculkan kajian-kajian tafsir yang berorientasi sosial. Tema-tema terkait masalah perempuan banyak digagas dan disosialisasikan sebagai bentuk kepedulian agama terhadap perempuan.

Dalam hal ini, karya dua orang mufasir Indonesia terkemuka, Hamka dan M. Quraish Shihab, menjadi menarik untuk dikaji. karena Hamka dan Quraish telah menulis berbagai kajian yang menyentuh permasalahan kehidupan perempuan, tentu dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Hamka dan Quraish telah melakukan kajian kritis atas realitas sosial perempuan yang terjadi pada saat tafsir itu ditulis, sebagai upaya membimbing dan meluruskan pemahaman keagamaan yang dianggap melenceng dari ajaran Al-Quran. Semangat untuk melakukan perubahan sosial dan pembaharuaan melalui rekonstruksi pemahaman teks-teks keagamaan nampak dari motivasi Hamka dan Quraish dalam menafsirkan. Ia ingin menghadirkan Al-Quran sebagai sumber hidayah dan petunjuk dalam memecahkan berbagai persoalan dalam konteks ke- Indonesia-an. Banyak kita temukan dalam tafsir Hamka bahasan beberapa isu kontemporer yang menggelisahkan umat. Ia juga melakukan perombakan terhadap praktek-praktek bid‟ah dan adat istiadat, terutama perlakuan masyarakat terhadap perempuan di Sumatra Barat, yang dianggapnya tidak sesuai dengan ajaran agama. Quraish juga tidak bisa dipisahkan dari konteks pembaharuan, disamping semangatnya untuk menghadirkan karya tafsir Al-Quran kepada masyarakat secara normatif,


(3)

karya-karyanya seputar masalah perempuan telah menjadi bukti kepeduliannya terhadap masalah perempuan

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah melalui Kementrian Agama yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada Universitas Islam Negeri Jakarta untuk melakukan penelitian dalam bidang ilmu tafsir dan kesediaannya membiayai penelitian ini. Penulis telah memilih judul Perempuan Dalam Tradisi Tafsir Kntemporer Di Indonesia. Studi Perbandingan Pemikiran Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar Dan Quraish Dalam Tafsir al-Misbah. berkat penelitian ini penulis bisa memaparkan cara pandang dan kandungan penafsiran yang di tulis oleh Hamka dan Quraish terkait masalah cerai, karir dan jilbab. Dengan penelitian ini penulis juga bisa mengungkap darinpenafsiran Hamka dan Quraish lokalitas tafsir atau nuansa ke Indonesiaan dan notentisitas tafsirnya.

Sebagai hasil karya manusia penelitian ini jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang menjadikan buku ini lebih baik lagi. Hanya kepada Allah penulis mengangkat kedua tangan, berdoa, memohon semoga hasil penelitian ini sedikit banyaknya dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang ilmu tafsir dan penafsiran.

Jakarta, 28 November 2014 Penulis

ttd


(4)

PEDOMAN TRANSLITERASI

Dalam penulisan hasil penelitian ini, penulis menggunakan pedoman transliterasi sebagai berikut:

A. Konsonan

Arab Latin Arab Latin

أ a th

b ظ zh

t ع „

ث ts gh

ج j ف f

ح h q

kh k

د d l

dz m

r n

z w

س s h

ش sy ء „

sh y

dh

B. Vokal Pendek C. Vokal Panjang

a Contoh َأرق ditulis qara‟a â Contoh ا اق ditulisَ qâmâ i Cotoh َحر ditulis rahima î Contoh يحر ditulis rahîm u Contohَبتك ditulis kutub û Contoh و عditulis „ûlûm


(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Telah menjadi suatu kenyataan bahwa penafsiran dan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran mempunyai peranan yang sangat besar bagi perkembangan umat. Prinsip-prinsip Al-Quran telah dijadikan pijakan untuk menjawab tuntutan perkembangan zaman yang bersifat temporal dan partikular. Berbagai penafsiran Al-Quran sepanjang sejarahnya telah mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran masyarakatnya. 1

Salah satu kegelisahan umat terkait penafsiran Al-Quran adalah adanya kesenjangan antara produk tafsir yang hadir dan dikonsumsi oleh masyarakat dengan problematika sosial yang dihadapinya. Kebutuhan masyarakat terhadap Al-Quran saat ini tidak hanya pada kandungan makna dan hukum-hukumnya saja sebagaimana yang biasa mewarnai tafsir-tafsir klasik, tetapi lebih pada penafsirannya yang realistis dan aplikatif.2 Perkembangan zaman yang terus berubah dihadapkan dengan penafsiran teks yang monoton inilah yang melahirkan sebuah kesenjangan. Kesenjangan antara teks dengan persoalan-persoalan kemanusian dapat diartikan sebagai kegagapan atau ketidakmampuan umat Islam untuk mengaitkan ajaran-ajaran Islam dalam Al-Quran dengan isu-isu kemanusiaan.

Disinilah urgensinya upaya mendialogkan ayat-ayat Al-Quran dengan realitas sosial yang dinamis. Upaya yang dilakukan tentunya membutuhkan sebuah pembaharuan dalam tafsir, karena setiap muslim harus meyakini bahwa Al-Quran bukan sekedar dibaca secara lafdziah tetapi harus selalu direnungkan kandungan maknanya sehingga Al-Quran benar-benar berfungsi sebagai ppetunjuk kehidupan.

Kajian Al-Quran yang menjadi fokus utama studi ke Islaman, bisa menjadi inspirator bagi pengembangan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia.

1

Abdul Mustaqim, Epistemologi TafsirKontemporer: (Yogyakarta: LKIS Salakan Baru no 1 Sewon Bantul Cet ke III 2012 ) hal 54.

2 Nasr Hamid Abu Zaid , al-Imam asy-Syafi‟i wa ta‟sis al-aidologiah al-wasathiyah, ( Cairo: Sina‟ li an-Nasyr , 1992), h. 4


(6)

Al-Quran tidak hanya berfungsi sebagai sumber ritual belaka, melainkan ia mampu dihadirkan dalam kehidupan sehari-hari untuk menjadi pedoman dan pijakan dalam merumuskan tatanan masyarakat Indonesia yang modern dan beradab. Al-Quran sebagai sumber keilmuan ke-Islam-an merupakan sesuatu yang menjadi bagian dari pertumbuhan dan perkembangan peradaban Islam di Indonesia. Oleh sebab itu tafsir yang dikembangkan harus memiliki ciri khas pembeda dengan yang sudah ada, diantaranya adalah pengayaan perspektif serta pemuatan budaya nlokal dalam corak penafsirannya.

Konteks ke Indonesiaan menjadi penting dalam kajian Islam di Indonesia karena beberapa alasan. Diantaranya pertama institusi pendidikan Islam di Indonesia baik perguruan tinggi maupun pesantren dan madrasah sangat banyak bahkan mencapai ribuan. Banyaknya jumlah institusi pendidikan Islam meniscayakan model kajian Islam yang berwawasan ke Indonesiaan sebagai salah satu pilar pembangunan peradaban Islam yang sejatinya memiliki ciri khas ke Nusantaraan yang bisa dibandingkan dengan pusat Islam yakni Timur Tengah. Kedua nuansa kajian Islam yang dikembangkan baik di pesantren, madrasah maupun perguruan tinggi masih bernuansa budaya Arab. Ketiga persoalan sosial kemasyarakatan di Indonesia juga membutuhkan kontribusi kajian keagamaan, tidak terkecuali kajian tentangtafsir Al-Quran. Dengan demikian Islam tidak saja menjadi bahan perbincangan dari sudut pandang ritual semata, melainkan bisa memberikan kontribusinya dalam bentuk perspektif dalam membantu menjawab permasalahan sosial kemasyarakatan dan kebangsaan.3

Beberapa hal yang dianggap menjadi problem dalam penafsiran adalah soal misogini stereotype perempuan dalam berbagai permasalahan seperti perceraian, karir perempuan dan keharusan menutup kepala atau berjilbab. Pembahasan masalah-masalah tersebut dalam kitab-kitab tafsir klasik sangat dianggap diskriminatif. Persepsi masyarakat tentang masalah-masalah perempuan yang dipengaruhi oleh penafsiran yang dianggap diskriminatif tersebut harus diluruskan. Anggapan laki-laki lebih utama daripada kaum perempuan yang dikenal dengan paham patriakhal, mengakibatkan peran perempuan terpinggirkan baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam bidang pekerjaan. Ajaran Islam sendiri tidak sejalan dengan paham patriakhal yang tidak memberikan peluang bagi perempuan untuk berkarya di dalam ataupun di luar rumah.

3

M Nur Kholis setiawan, Pribumisasi Al-Quran Tafsir berwawasan ke Indonesiaan Penerbit Kaukaba Dipantara YOGYAKARTA Cet I Mai 2012, hal12-13


(7)

Bila terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan itu adalah akibat fungsi dan peran yang diemban masing-masing, yang dimaksudkan untuk mendukung misi pokok Al-Quran, yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang.

Penelitian ini mengetengahkan dua orang mufasir Indonesia Hamka dan Quraish shihab, keduanya telah melakukan kajian kritis yang dibingkai dalam pendekatan tafsir. Tafsir Al-Azhar karya Hamka dan Tafsir Al-Mishbah karya Quraish adalah manifestasi model tafsir yang mencoba memahami ayat-ayat Al-Quran secara tahlili dan tematik dengan corak dan pendekatan konteks sosial kemasyarakatan.4 Tujuannya adalah membimbing dan meluruskan pemahaman keagamaan masyarakat yang dianggap melenceng dari ajaran Al-Quran. Keduanya bersemangat untuk melakukan perubahan sosial dan pembaharuaan melalui rekonstruksi pemahaman teks-teks keagamaan. keduanya ingin menghadirkan Al-Quran sebagai sumber hidayah dan petunjuk dalam memecahkan berbagai persoalan dalam konteks ke Indonesiaan.

Tafsir karya Hamka dan Quraish merupakan karya tafsir yang mengisi kekurangan kajian Al-Quran tafsir yang didasari oleh kebutuhan konteks ke Indonesiaan kontemporer. Rujukan kajian tafsir yang banyak digunakan di kalangan perguruan tinggi Islam, pesantren dan lembaga pendidikan keIslaman, masih didominasi oleh karya-karya tafsir klasik dan menengah yang tidak banyak menyentuh konteks ke Indonesiaan tersebut.

Penafsiran Al-Quran yang dilakukan Hamka dan Quraish ini akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini secara komprehensif, untuk melihat cara pandang dua tokoh tafsir ini terhadap isu-isu perempuan, berdasarkan semangat lokalitas ke Indonesiaan. Masalah-masalah perempuan seperti perceraian yang jumlahnya terus meningkat belakangan ini yang dampaknya berimbas pada anak-anak, hukum memakai jilbab yang menjadi masalah yang ramai diperdebatkan. Masalah lain yang tetap menarik adalah seputar hak perempuan untuk berkarir diluar rumah. Untuk itu penelitian ini mengambil

judul” Perempuan Dalam Tradisi Tafsir Kntemporer Di Indonesia. Studi Comparative

Pemikiran Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar Dan Quraish Dalam Tafsir al-Misbah

4

corak sosial kemasyarakatan atau adabi ijtima‟i. Adabi Ijtimai yaitu suatu corak tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang mengungkapkan dari segi balaghah, dan kemukjizatannya, menjelaskan makna-makna dan susunan yang dituju oleh Al-Quran mengungkapkan hukum-hukum alam dan tatanan-tatanan masyarakat yang dikandung didalamnya. Sayyid Agil Husain al-Munawar, “I‟jaz Al-Quran dan Metodologi Tafsir”, (Semarang: Dina Utama, 1994), Cetakan ke-1, hal: 37.


(8)

B. Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah

Dari latar belakang yang diuraikan diatas, dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut :

1. Apa rujukan terpenting yang dipakai Hamka dan Quraish dalam menafsirkan 2. Sejauh mana pandangan Hamka dan Quraish tentang isu-isu perempuan seperti

perceraian, jilbab dan karir perempuan.

3. Sejauh mana Hamka dan Quraish meletakkan cara pandangnya dalam tafsîr konteks ke-Indonesiaan.

4. Sejauh mana tafsîr Hamka dan Quraish otentik dan khas Indonesia.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui sejauh mana pandangan Hamka dan Quraish tentang kasus perempuan seperti perceraian, jilbab dan karir perempuan.

2. Untuk mengetahui sejauh mana Hamka dan Quraish meletakkan cara pandangnya dalam tafsîr kontek ke-Indonesiaan

3. Untuk mengetahui apa rujukan terpenting yang dipakai Hamka dan Quraish dalam menafsirkan.

4. Untuk mengetahui sejauh mana tafsîr Hamka dan Quraish otentik dan khas Indonesia.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dilakukannya penelitian ini secara teoritis adalah:

1. Sebagai upaya pengembangan wawasan ilmu pengetahuan tafsîr perempuan di Indonesia.

2. Untuk meningkatkan kesadaran sosial perempuan seputar masalah perceraian, pemakaian jilbab dan hak perempuan untuk berkarya.

3. Untuk mendapatkan data yang utuh tentang tafsîr perempuan di Indonesia. 4. Untuk mengetahui sejauh mana Hamka dan Quraish mampu mempengaruhi


(9)

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Kajian Pustaka

Adapun penelitian yang meneliti pemikiran Hamka dan Quraish dengan berbagai pendekatan-pendekatan ilmu banyak dilakukan, seperti M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsîr Al-Azhar, 2004. Telaah Kritis Tafsîr al-Misbâh Muhammad Quraish Shihab; Tentang Muka Masamnya Nabi saw, oleh Shaleh Andishmand, 18 Februari 2007. Artikel ini mengungkapkan komentar penulis terhadap penafsiran Muhammad Quraish Shihab terhadap ayat dalam surat „Abasa. Kemudian sebuah disertasi dengan judul Metodologi Muhammad Quraish Shihab dalam menafsirkan Al-Quran : Kajian Terhadap Buku Membumikan Al-Quran yang ditulis oleh Abdul Haris Zaini dan dipublikasikan pada tahun 2006. Dalam disertasi ini yang menjadi fokus dalam penelitiannya adalah metode tafsîr Muhammad Quraish Shihab

dalam karyanya yang berjudul “Membumikan Al-Quran”. Kemudian disertasi dengan judul Penafsiran Ayat-ayat Gender menurut Quraish Shihab yang ditulis oleh Anshari dan telah diterbitkan. Dalam disertasi ini yang menjadi fokus dalam penelitiannya adalah menjelaskan ayat-ayat gender. Akan tetapi dalam pembahasannya hanya bersifat umum. Selanjutnya sebuah buku dengan judul Berguru Kepada Sang Mahaguru: Catatan Kecil Tentang Karya-Karya Pemikiran Quraish Shihab yang ditulis oleh Mukhlis Hanafi yang diterbitkan pada tahun 2014. Dalam buku ini yang menjadi focus penelitiannya adalah pandangan Quraish Shihab terhadap jilbab.

Selain empat pendekatan di atas, ada pula yang langsung meneliti pemikiran beliau dari dua sisi sekaligus, sisi fiqh dan ilmu tafsîr, yakni tulisan Danang Fatihurrahman dari IAIN Sunan Ampel dengan judul “Studi Terhadap Pemikiran M.

Quraish Shihab Tentang Adil Dalam Poligami”. Dalam hal ini ia menyimpulkan bahwa metode pemikiran M. Quraish Shihab tentang adil dalam poligami ini menggunakan dua

metode. Yakni, dari segi metode ushul fiqh “sadd li al-dzâri‟ah”, mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan (jika seseorang tidak yakin dapat adil maka poligami dilarang baginya) dan penafsiran Al-Quran “maudhû‟i (tematik)”, yang mana beliau


(10)

memahami kandungan Al-Quran dengan topik tertentu yang berkaitan dengan poligami, yang kemudian dikorelasikan dengan konsep keadilan dalam Al-Quran.

Terdapat pula sebuah artikel oleh Adian Husaini pada Minggu 21 April 2006 yang mengkaji pendapat Muhammad Quraish Shihab tentang Jilbab Pakaian Wanita Muslimah. Ia mengkritisi bahwa kesimpulan Quraish Shihab (bahwa jilbab adalah masalah khilafiyyah) seyogyanya diklarifikasi, karena yang menjadi masalah khilafiyyah di antara para ulama ‟tidak jauh-jauh dari masalah „sebagian tangan, wajah, dan

sebagian kaki‟; tidak ada perbedaan di antara para ulama” tentang wajibnya menutup dada, perut, punggung, paha, dan pantat wanita, misalnya.5

Berdasarkan beberapa kajian terdahulu yang penulis rangkum maka perbedaan dengan fokus telaah di dalam buku ini adalah pada pemetaan pola pikir Hamka dan Quraish di bidang tafsîr. Khususnya mengenai penafsiran beliau yang membahas tentang perceraian, jilbab dan karir perempuan.

B. Kerangka Berfikir

Kerangka teori penelitian ini adalah ilmu tafsir Al-Quran, khususnya yang terkait dengan tafsir Al-Azhar karya Hamka dan tafsir Al-Misbah karya Quraish.

Al-Quran adalah sumber ajaran Islam, kitab suci yang menempati posisi sentral bukan hanya dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu ke-Islam-an tapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan ummat Islam sepanjang sejarah perkembangannya6. Jika demikian halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran melalui penafsirannya mempunyai peran yang sangat besar dalam maju-mundurnya ummat, sekaligus penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.

Jika pada masa Nabi setiap persoalan yang muncul bisa ditanyakan langsung

pada Rasul, maka pasca wafatnya beliau, para sahabat, tabi‟in, tabi-tabi‟in, bahkan ummat Islam berijtihad menggali pesan-pesan yang dikandung Al-Quran. Sehingga aktivitas tafsir menjadi kegiatan yang paling banyak digeluti kaum muslimin. Tafsir menjadi sesuatu yang mendapat perhatian besar sebagai upaya menemukan solusi

5

Adian Husaini, “Mendiskusikan Jilbab di Pusat Studi Al-Quran” dalam http://www.hidayatullah.com, 1 November 2009

6


(11)

Quran bagi setiap problem kemanusiaan di segala tempat dan waktu, karena sifat Al-Quran yang diyakini sholeh likuli zaman wa makan.

Sebagian mufasir lebih condong kepada sumber tafsir bil ma‟tsur yaitu tafsir yang mengandalkan penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran dan penafsiran Al-Quran dengan riwayat-riwayat Nabi dan sahabat serta tabi‟in. Sebagian lainnya lebih condong

kepada tafsir bil ra‟yi yaitu tafsir yang mengandalkan penalaran

Sejarah Al-Quran dan tafsirnya di Indonesia sejalan dengan masuknya Islam ke Indonesia. Secara singkat, kajian penafsiran Al-Quran di Indonesia dirintis oleh Abdul

Ra‟uf Singkle yang menerjemahkan Al-Quran dalam bahasa Melayu pada abad ke-17. Beliau belajar di Saudi Arabia sejak 1640 dan baru kembali tahun 1661. Tafsirnya

“Turjuman al-Mustafid”. Tafsir ini merupakan terjemahan ringkas dari tafsir Jalalain, meskipun ada juga saduran dari Tafsir Al-Baidhawi dan Tafsir Al-Khazin. Karya Singkle ini telah dijadikan rujukan oleh seluruh pesantren di nusantara karena Tafsir Jalalain telah menjadi tafsir standar bagi pemula. Tafsir ini bertahan selama tiga abad.

Upaya Singkel merintis penafsiran Al-Quran di Nusantara berhasil menggugah ulama-ulama lainnya untuk mengikuti jejaknya apalagi perkembangan selanjutnya ditandai dengan banyaknya generasi muda nusantara yang mengembara ke pusat peradaban Islam di Timur Tengah untuk belajar Islam. Ketika mereka kembali, mereka tentu saja membawa info-info tentang perkembangan aktual di Timur Tengah yang selanjutnya mempengaruhi perkembangan Islam di Indonesia. Maka munculah nama-nama ulama tafsir seperti, A. Hasan Bandung (Al-Furqan, 1928), Mahmud Yunus

(Tafsir Qur‟an di Indonesia, 1935), Munawar Khalil (Tafsir Al-Quran Hidayah al-Rahman, 1952), Halim Hasan (Tafsir Al-Quran al-Karim, 1955), Zainuddin Hamidi (Tafsir Al-Quran, 1959), Iskandar Idris dan Qosim Bakri (Tafsir Al-Quran al-Hakim, 1960), Bisri Mustafa Rembang (Al-Idris, 1960), Hasbi Asyiddiqi (Tafsir al-Bayan, 1966), KH R Mohamad Adnan Quran Suci basa Jawi, 1969), Bakri Syahid (Al-Huda, 1972), Hamka (Tafsir Al-Azhar, 1962-1973), Tafsir Depag pada tahun 1975, Surin Bakhtiar (Terjemah dan Tafsir Al-Quran, Huruf Arab dan Latin, 1978), Quraish Syihab (Tafsir Al-Misbah, 2004).

Mengenai sumber rujukan utama tafsir Nusantara, berasal dari karya-karya ulama Timur Tengah. Di antara tafsir klasik yang mencapai reputasi internasional


(12)

di Cairo, Mekkah, Bombay, Pineng, Singapura, dan Jakarta, bahkan sampi Afrika Selatan. Ia mewarani ke-Islam-an penduduk nusantara utamaanya kawasan Melayu, Sumatera.

Materi tafsir punpun berkembang menjadi lebih luas, mereka telah mengutip karya-karya bahasa Arab secara selektif, berbeda dengan periode sebelumnya yang lebih banyak merupakan hasil saduran. Beberapa karya pada periode modern mampu menggapai popularitas tinggi di dunia muslim, misalnya “Tafsir al-Furqan” karya Ahmad Hasan, tafsir M. Yunus yang telah mencapai cetak ulang sampai tujuh puluh kali.

Seiring dengan perkembangan tafsir, metodologi tafsir juga berkembang. Dari sisi penulisan dikenal metode tahlili/analisa, global, muqoron dan maudhu‟i atau tematik. sedangkan corak tafsir juga terus bertambah, maka munculah corak tafsir kebahasaan, balaghi, fiqh, sufi, falsafi, ilmi, adabi ijtimai hida‟ dan tarbawi.

Perkembangan penafsiran di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pembaharuan yang berlangsung di Timur tengah, Di sisi lain, pengiriman dosen-dosen ke Barat telah mempengaruhi penafsiran. Berbagai karya muslim di Barat telah diterjemahkan ke

bahasa Indonesia seperti Tafsir Shahrur dan karya Fazlul Rahman “Tema-tema

Al-Quran” tafsir-tafsir tentang kajian wanita, tafsir emansipatoris, hermeneutik dan lain-lain. Semua karya-karya ini mempengaruhi isi penafsiran Al-Quran.

Pembaharuan telah membawa pengaruh terhadap penafsiran sat kajian tafsir semakin meluas. Tuntutan keadilan dan kesetaraan perempuan dengan laki-laki memunculkan kajian-kajian yang berorientasi sosial. Tema-tema terkait masalah perempuan banyak digagas dan disosialisasikan sebagai bentuk kepedulian agama terhadap perempuan. Metode adabi ijtima‟i atau sosial budaya telah mengaitkan penafsiran dengan berbagai problematika yang terjadi di masyarakat untuk mencari solusinya. Maka munculah tafsir dengan nuansa pembaharuan dengan ciri lokalitas masing-masing, sesuai dengan waktu dan tempat dimana mufasir hidup dan berada.

Berdasarkan paparan diatas, penelitian ini dapat dirumuskan, dan dari tema penelitian perempuan dalam tafsir Al-Azhar karya Hamka dan tafsir Al-Misbah karya Quraish. Akan memunculkan kenyataan adanya hubungan yang kental antara tafsir, feomena masyarakat dan problematikanya serta ciri lokalitas penafsiran.


(13)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian dilakukan di perpustakaan, karena data-data yang dicari berupa dokumen dan buku-buku yang terkait dengan perempuan, baik yang berbentuk primer maupun sekunder. Waktu penelitian dilkakukan dari bulan April-Oktober 2014

B. Teknik Pengumpulan Data

Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah perempuan dalam tradisi penafsiran kontemporer di Indonesia yakni Tafsir Al-Azhar karya Hamka dan Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab. Untuk mendapatkan data dan fakta yang akurat dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library research). Karena studi ini menyangkut penafsiran Hamka dan Quraish Shihab, maka sumber data primernya adalah buku Tafsir Al-Azhar karya Hamka dan Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab. Sedangkan data sekundernya (pendukungnya) adalah karya-karya yang berkaitan dengan perempuan, yaitu:

1. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1999

2. M. Quraish Shihab, Jilbab, Jakarta: Lentera Hati, 2004 3. M. Quraish Shihab, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati, 2005

4. M. Quraish Shihab, Menabur pesan Ilahi, Al-Quran dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Lentera Hati , 2006

5. Anshori, Penafsiran Ayat-ayat Gender menurut Quraish Shihab, disertasi yang telah diterbitkan

6. Mukhlis Hanafi, Berguru Kepada Sang Mahaguru: Catatan Kecil Tentang Karya-Karya Pemikiran Quraish Shihab, Jakarta: Lentera Hati, 2014

7. M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsîr Al-Azhar, Jakarta: Penamadani, 2004

8. Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1999


(14)

9. Al-Farmawi, Muqoddimah fî Tafsîr al-Maudhû‟i, Kairo: Hadhoroh al-Arabiyah, 1977

10.Muhammad Rasyid Ridha, Nidâ‟ Li al-Jins al-Lathîf, terjemahan, Bandung: Perpustakaan Salman Institut Teknologi, 1986

11.Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dar al-Fikri, 1998

12.Shobahussurur, Buya Hamka Tokoh Modernis Karismatik, Dinukil dari jurnal Refleksi, vol. XI, No. I, 2009.

13.Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Al-Quran dan Realitas Umat, Jakarta: Penerbit Republika, 2010

14.Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsîr Kontemporer, Yogyakarta: LKIS Salakan Baru Sewon Bantul, 2012

C. Teknik Analisa Data

Penelitian tentang “Perempuan dalam Tradisi Tafsir Kontemporer Indonesia dengan Perbandingan Pemikiran Hamka dalam Tafsir Azhar dan Quraish dalam Tafsir Al-Misbah dilakukan melalui tiga tahap, yaitu:

1. Mengumpulkan semua penafsiran Hamka dan Quraish terkait dengan perceraian, karir dan jilbab. Tentu yang menjadi sumber utamanya atau sumber primernya adalah tafsir Al-Quran Al-Azhar dan tafsir Quraish al-Misbah. sedangkan sumber sekundernya adalah buku-buku hasil karya Hamka dan Quraish yang membahas masalah yang menjadi topik penelitian ini seperti buku-buku ulum Al-Quran, wawasan Al-Quran dan buku-buku makolah-makolah ilmiyah baik hasil karya Hamka dan Quraish maupun karya-kaya ulama dan intelektual lainnya.

2. Setelah dikumpulkan, data akan di klasifikasikan berdasarkan dua kategori yaitu penafsiran terkait dengan hasil penafsiran Hamka dan penafsiran-penafsiran hasil penafsiran-penafsiran Quraish.

3. Setelah data diklasifikasikan berdasarkan dua kategori di atas, penulis mengamati dan mengklasifikasikan kembali data dari penafsiran Hamka dan juga data dari Quraish. Kemudian masing-masing data ini diklasifikasikan kembali menjadi tiga kategori, yaitu penafsiran Hamka yang terkait dengan masalah perceraian, karir dan jilbab. Begitu juga dengan penafsiran Quraish, penulis klasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu perceraian, karir dan jilbab.


(15)

4. Pada langkah ini penulis membaca, menganalisa, membandingkan, menafsirkan dan mengambil kesimpulan. Tentu ketika melakukan langkah-langkah ini penulis merujuk pada buku-buku tafsir dan buku-buku lainnya dari hasil karya kedua mufasir tersebut untuk melihat dan membandingkan penafsiran keduanya. Penulis juga menelusuri penafsiran Hamka dan Quraish untuk melihat cara pandang keduanya dalam menafsirkan masalah perceraian, karir dan jilbab. Dengan langkah-langkah ini penulis mengharapkan bisa menelusuri ide-ide pembaharuan Hamka dan Quraish dalam usaha keduanya menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan masalah perempuan. Ide- ide ini pada gilirannya akan memunculkan ciri lokalitas penafsiran keduanya yang bernuansa ke Indonesiaan.

D. Metodologi Penelitian

Selanjutnya, kajian ini ditulis dengan model penelitian kualitatif, dengan cara mengadakan penelusuran atas kitab Tafsir Al-Azhar karya Hamka dan Tafsir Al-Misbah karya Quraish, juga hasil karya-karya ilmiah keduanya yang berkenaan dengan tafsir dan isu-isu perempuan. Dengan kata lain, jenis penelitian ini adalah “library research”

Metodologi yang juga dipakai dalam penelitian ini adalah studi komparatif dengan membandingkan ayat-ayat yang ditafsirkan Hamka dalam tafsir Al-Azhar dan Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah. Kemudian membandingkan tafsir keduanya dengan tafsir-tafsir lain yang berasal dari negara yang berbeda untuk melihat sejauh mana ciri lokalitas tafsirnya dan otentisitasnya


(16)

BAB IV

BIOGRAFI HAMKA DAN QURAISH SHIHAB

A. Biografi Hamka dan Penulisan Tafsîr Al-Azhar

1. Biografi Hamka

Ia adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, dikenal dengan nama Buya Hamka seorang ulama dan mufasir asal Maninjau Sumatra Barat. Berkat karyanya yang fenomenal yaitu tafsîr Al-Azhar, yang ditulisnya saat berada dalam penjara, membuatnya terkenal sampai ke manca negara. Ia dilahirkan tanggal 17 Februari 1908,7 berasal dari keluarga yang agamis karena ayahnya H. Abdul Karim Amrullah (1879-1945M) adalah seorang ulama dan pelopor pembaharuan agama di Sumatra Barat.8 Pendidikan sekolah dasar dan agamanya hanya sempat berlangsung selama tiga tahun, karena perceraian ibu dan ayahnya sehingga sekolahnya terbengkalai, namun hobi membaca, belajar otodidak dan kecerdasannya membuat ia mampu mengusai bahasa Arab dan literatur asing lainnya.9

Di tahun 1924 Hamka berangkat ke Yogyakarta untuk belajar berorganisasi dan pergerakan Islam. Ia belajar kepada H.O.S Tyokroaminoto, H. Fakhruddin, R.M Suryopranoto dan iparnya sendiri AR Sutan Mansur. Di Yogya ini pula Hamka bertemu dan belajar tafsîr dengan Ki Bagus Hadikusumo.10

7

Hamka dilahirkan ketika gerakan pembaharuan keagamaan Paderi ditanah Minang sedang bergolak dan menggelora di tahun kelahiran Hamka. Gerakan itu dimotori oleh kalangan muda, termasuk ayah Hamka (H.Abdul Karim Amrullah) mereka mengadakan pembaharuan keagamaan, membersihkan dan memurnikaan ajaran Islam dari praktik-pratik menyimpang dan bertentangan dengan Al-Quran dan al-Sunnah.

8

Gerakan Paderi adalah gerakan pembaharuan keagamaan abad 19 di Sumatra Barat yang mengawali berbagai gerakan pembaruan di ndonesia. Gerakan ni dilanjutkaan oleh generasi berikutnya termasuk yang dilakukan oleh Hamka. Meskipun secara politis penjajah Belanda mampu menghancurkan gerakan Paderi hingga tahun 1838, namun gerakan Paderi tersebut melanjutkan perjuangannya. Ide besarnya tak dapat dibendung dalam darah daging orang awak. Tokoh-tokoh pembaru Minangkabau masa berikutnya seperti Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Thahir Jalaluddin, Syaikh Muhammad Jamil Jambek, H. Abdulllah Ahmad dan H.Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka) dan lain lain adalah kaum revivalis penerus ide besar gerakan Paderi, meskipun dengan bentuk gerakan yang berbeda. Gerakan pedidikan Thawalib, al-Irsyad, Persatuan Islam dan Muhammadiyah, meskipun dengan metode yang berbeda, Merupakan gerakan purifikasi dan pembaharuan serupa yang terbentuk berikutnya. Dinukil dari jurnal Refleksi Buya Hamka Tokoh Modernis Karismatik Shobahussurur vol. XI, No. I, 2009. Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta; Lp3ES, 1980), h. 38-40 dan Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, 1966, h. 298.

9

M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsîr Al-Azhar, (Jakarta: Penamadani, 2004), Cet. ke-III, h. 42.

10


(17)

Pada usia 17 tahun tepatnya tahun 1925, Hamka kembali ke kampung halamannya ke surau jembatan besi. Pada usia ini Hamka mulai berkiprah sebagai seorang pengajar dan penceramah, bahkan di usia ini pula ia mulai menulis.11 Di awal tahun 1927 Hamka berangkat ketanah suci Makkah, selain untuk beribadah haji ia juga sempat membaca beberapa literatur disana. Enam bulan kemudian ia kembali ke tanah air.

Ketika kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukit Tinggi tahun 1930, Hamka tampil sebagi narasumber dengan makalah berjudul “Agama Islam dan Adat

Minangkabau”. Ketika menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Semarang tahun 1943, Hamka diangkat menjadi anggota tetap majelis konsul Muhammadiyah Sumatera Tengah. Pada tahun 1946 Hamka terpilih sebagai ketuanya. Posisi sebagai ketua membuat Hamka sering bepergian ke berbagai daerah untuk menggalang persatuan.12

Pada tahun 1958 Hamka berangkat ke Lahore Pakistan untuk menghadiri undangan seminar dari Universitas Punjab, beliau kemudian melanjutkan pelajaran ke Mesir, untuk menghadiri undangan Muktamar Islami disana. Hamka sempat memberi ceramah dihadapan anggota jamaah „Syubbanul Muslimin‟ dengan tema “Pengaruh

Paham M. Abduh di Indonesia dan Malaysia”.13 Pada tahun yang sama Hamka mendapat gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar. Gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang kesusastraan juga diperoleh Hamka dari Universitas di Malaysia, tepatnya pada hari Sabtu 6 Juni tahun 1974.14

Hamka sempat mendekam dipenjara dizaman orde lama selama dua tahun, tepatnya dari tanggal 27 Januari 1964 sampai tahun 1966. Saat dipenjara inilah ia berhasil menyelesaikan karya tafsîrnya yang fenomenal yaitu tafsîr Al-Azhar.15

Pada tanggal 26 Juli tahun 1975 Hamka diangkat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia namun dua bulan sebelum wafat ia mengundurkan diri.16 Pada tanggal 24 Juli tahun 1981 Hamka wafat dalam usia 73 tahun.17

11 Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Al-Quran dan Realitas Umat, (Jakarta: Penerbit Republika), 2010, h 143.

12

.Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsîr Al-Azhar, h. 50... 13

Hamka, Tafsîr Al-Azhar, ( Pustaka Panjimas,2001), jilid I, h. 58. 14

Hamka, Tafsîr Al-Azhar, ( Pustaka Panjimas,2001), jilid IV, h. 11. 15

Hamka, Tafsîr Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), jilid IV, h. 70. 16

M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsîr Al-Azhar, (Jakarta: Penamadani, 2004), Cet. ke-III, h. 42.

17


(18)

2. Karya-Karya Hamka

Hamka sebagai salah seorang tokoh yang lahir dari latar belakang lingkungan pembaharu dan berpikiran maju dalam pemahaman keagamaan telah banyak melahirkan karya tulis tentang Islam. Karya tulisnya tersebar dan memasuki berbagi bidang ilmu, yaitu tafsîr, tasawuf, teologi, sejarah Islam dan tak terkecuali sastra.

Karangan Hamka di bidang sastra, yaitu: Di Bawah Lindungan Ka‟bah (1935), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau di Deli, Di dalam Lembah Kehidupan (1939), Dijemput Mamaknya (1939), Keadilan Ilahi (1939), Tuan Direktur (1939), Terusir (1939) dan Margaretta Gauthier (1940). Dalam bidang keagamaan: Pedoman Muballigh Islam (1937), Agama dan Perempuan (1939), Tasawuf Modern (1939), Falsafah Hidup (1939), Lembaga Hidup (1940) dan Lembaga Budi (1946). Kemudian pada tahun 1945, Hamka menerbitkan karya-karyanya di bidang politik dan budaya yaitu: Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau menghadapi Revolusi dan Dari Lembah Cita-cita.

Hamka Hijrah dari Minangkabau ke Jakarta pada tahun 1949, dan diterima sebagi Koresponden surat kabar Merdeka, majalah Pemandangan. Dan pada saat itu juga Hamka menulis autobiografinya Kenang-kenangan hidup, dan sekembalinya dari Amerika, Hamka menerbitkan buku perjalanannya selama empat bulan di Amerika, sebanyak dua jilid.18

Mengenai komentar orang terhadap Hamka adalah tentang keberaniannya – mengikuti jejak ayahandanya– mengkritik pemahaman dan sikap keberagamaan yang berlaku ditengah masyarakat. Ia giat menyuarakan keberpihakannya kepada nasib perempuan. Karena ia menyadari adanya ketidaksesuaian antara adat dan ajaran agama Islam terhadap penafsiran. Sikapnya ini menjadi ciri dari pembaharuannya.19 Hamka juga berani bertentangan dengan pemerintah, seperti sikapnya mengeluarkan fatwa haramnya ucapan selamat Natal oleh umat Islam kepada kelompok yang merayakannya ketika ia menjadi ketua Majlis Ulama Indonesia yaitu pada tanggal 7 Maret 1981. Sikap

18

M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsîr Al-Azhar (Jakarta: Penamadani, 2003), Cet. ke-II, h. 48-50

19

Hamka banyak mengkritisi pandangan dan perlakuan masyarakat terhadap perempuan yang selalu disalahkan dan disuruh menanggung resiko ketika terjadi perceraian. Perempuan hanya dituntut taat dan patuh kepada suaminya tetapi ia tidak boleh supaya suaminya menjaga perasaannya. Mungkin perceraian orang tuanya menyadarkan Hamka adanya ketidaksesuaian antara adat dan ajaran agama. Lihat Hamka, Tafsîr Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), jilid II, h. 276, dan M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsîr Al-Azhar, (Jakarta Penamadani, 2004), Cet ke-III, h. 42.


(19)

yang sangat kontra dengan sikap pemerintah dalam hal ini Mentri Agama ketika itu. Karena mentri sedang mensosialisasikan Tri kerukunan umat beragama, kerukunan antar umat beragama, antar umat beragama dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Karena sikap tegasnya itu ia digelari sebagai penjaga gawang akidah di Indonesia. 20

3. Latar Belakang Penulisan Tafsîr Al-Azhar

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi tersusunnya tafsîr Al-Azhar, yaitu: pertama, adanya semangat para pemuda Indonesia, khususnya di daerah-daerah yang bebahasa melayu yang sangat ingin mengetahui isi Al-Quran, padahal mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mempelajari bahasa arab. Untuk mereka inilah tujuan pertama tafsîr ini disusun. Kedua golongan peminat Islam yang disebut muballigh atau ahli dakwah. Para mubaligh menghadapi anak bangsa yang sudah mulai cerdas dengan mengentasnya penyakit buta huruf dikalangan umat. Masyarakat mulai berani membantah pemuka pemuka agama yang disampaikan, apabila pengajaran itu tidak masuk akal. Kalau mereka itu diberi keterangan berdasarkan Al-Quran secara langsung, maka mereka bisa melepaskan dahaga rokhani mereka. Maka tafsîr ini merupakan materi bagi mereka dalam menyampaikan dakwahnya..21

Sebelum memulai penulisan Tafsîr Al-Azhar, Hamka awalnya memberikan ceramah setiap setelah shalat shubuh sejak tahun 1959 di masjid Al-Azhar Kebayoran Baru. Hamka memberika materi ceramah dengan cara membahas tafsîr Al-Quran. Ceramah ini dimuat secara teratur dalam Majalah Gema Islam sampai Januari 1964. Tanpa di duga sebelumnya pada hari senin 12 Ramadhan 1383 H bertepatan dengan 27 Januari 1964 M, sesaat setelah Hamka memberikan pengajian di hadapan lebih kurang 100 orang kaum ibu di Masjid Al-Azhar, beliau ditangkap oleh penguasa Orde Lama lalu dimasukan ke dalam tahanan.22

20

M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsîr Al-Azhar, h. 54.

21 Pendahuluan Hamka, “Tafsîr Al-Azhar”, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982) 22

Penangkapan ini lebih disebabkan oleh pertentangan antara kubu Islam dan Komunis yang telah hampir mencapai klimaksnya. Partai komunis (PKI) yang membawa ideologi komunis (sekaligus atheis) bergandengan rapat dengan Presiden Soekarno. Golongan Islam telah benar-benar dipinggirkan. Mohammad Natsir, yang pernah menjadi kartu truf bagi Soekarno dalam menghadapi persoalan-persoalan dalam negeri, telah diasingkirkan dari panggung politik. Partai Masyumi telah dibubarkan beberapa tahun sebelumnya, Bahkan PKI menggunakan nama “Masyumi” untuk melambangkan konotasi buruk, sebagaimana media barat kini mengasosiakan jihad dengan terosrisme. Antara Buya Hamka dan Soekarno telah terjadi benturan yang sangat keras dan nampaknya sudah tak bisa diperbaiki lagi. Buya, yang tadinya memandang Soekarno sebagai anak muda penuh kharisma dan semangat, kini memandangnya sebagai musuh yang telah kebablasan. Karena pernah pada suatu ketika Soekarno


(20)

4. Ide-Ide Pembaharuan Tafsîr Al-Azhar

Karya-karya Hamka secara sederhana terlihat tidak bisa dipisahkan dari konteks pembaharuan yang dirintis utamanya oleh M. Abduh dan Amin al-Khauli, dua orang mufasir Mesir yang menggagas corak tafsîr adabi ijtima‟i. Ini terlihat dari referensinya yang kebanyakan berbahasa Arab dan dari tulisan para cendekiawan Timur Tengah. Tentu sedikit banyaknya ia terpengaruh oleh ide pembaharuan M. Abduh. Ide pembaharuan dan reformasi tafsîr Al-Quran Abduh bersumber dari pernyatannya bahwa yang dibutuhkan umat adalah pemahaman kitab suci sebagai sebuah hidayah yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat23.

Banyak kita temukan dalam tafsîr Hamka bahasan beberapa isu kontemporer yang menggelisahkan umat. Ia juga melakukan perombakan terhadap praktek-praktek

bid‟ah dan adat istiadat melalui penafsirannya, terutama perlakuan masyarakat terhadap

perempuan di Sumatra Barat, yang dianggapnya tidak sesuai dengan ajaran agama.24

Dengan memunculkan corak adabi ijtima‟i dalam tafsirnya Hamka telah memunculkan

penafsiran-penafsiran baru, yang merupakan solusi dari berbagai masalah yang di hadapi masyarakatnya. Tentu dengan corak tafsîr yang berbeda, yang bernuansa lokal dan bercorak ke Indonesiaan.

5. Sumber Penafsiran dan Metode Penulisan

Dengan melihat dan mencermati kandungan tafsîr Al-Azhar, bisa penulis katakan bahwa sumber tafsîr ini merupakan kolaborasi antara tafsîr yang menggunakan riwayat-riwayat baik itu riwayat yang bersumber dari Nabi, Sahabat dan Tabi‟in (bi

al-ma‟tsûr) dengan tafsîr yang menggunakan logika (tafsîr bi al-ro‟yî). Hal ini bisa dilacak dari penjelasan-penjelasannya ketika menafsirkan sebuah ayat. Penafsiran dan penjelasan kandungan ayat yang ditafsîrkan itu dikaitkan dan dirinci berdasarkan pengamatannya terhadap lingkungan, fakta-fakta sejarah, fenomena yang terjadi di masyarakat dan lain-lain. Kemudian hadis-hadis Nabi menjadi sumber penafsiran berikutnya. Namun Hamka membatasi pengambilan riwayat- riwayat hanya pada yang memiliki bukti keshahihannya menurut ilmu ulûm al-hadîs dan disepakati oleh Sahabat

menyatakan pandangannya dalam sebuah sidang, kemudian ia mengatakan, “Inilah As-Shirât al-Mustaqîm! (jalan yang benar)”. Buya menimpali, “Bukan, itu al-Shirât al-Jahîm! (jalan menuju neraka).” Sudah barang tentu, Buya tidak pernah bisa menerima pemikiran Soekarno pada saat itu yang sudah terlalu terkontaminasi dengan pemikiran-pemikiran sekuler dan komunis.

23

Lihat Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dar al-Fikri, 1998), vol. I, h. 24 24


(21)

dan Tabi‟in. Logika yang digunakan Hamka ketika menafsirkan, selain untuk

menghindari taqlid buta terhadap penafsiran para ulama–ulama sebelumnya juga dalam rangka mengaitkan penafsiran ayat dengan berbagai problema yang dihadapi masyarakat. Dengan demikian Hamka telah berusaha membumikan pesan-pesan Al-Quran yang di sesuaikan dengan nuansa lokal ke Indonesiaan.

Ada beberapa metode penulisan tafsîr yang dikenal dan digunakan di kalangan mufasir. Yaitu analisis (tahlîli), global (ijmali), komparatif (muqoron) dan tematik (maudhû‟i). Mencermati penafsiran Al-Azhar bisa dikatakan tafsîr ini dituliskan berdasarkan metode analisis (tahlilî), karena metode penulisan tafsîrnya dimulai dari surat al-Fatihah dan di akhiri dengan surat an-Nas. Atau dengan kata lain berdasarkan susunan surah-surah yang ada di Mushaf, kemudian menjelaskan dan menafsirkan ayat per ayat. Dengan metode penulisan ini Hamka menyoroti kandungan ayat-ayat Al-Quran dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalam ayat yang ditafsîrkannya. Hamka juga memperluas masalah-masalah penafsiran yang tidak disentuh oleh mufassir Indonesia sebelumnya.

Di sisi lain penulis melihat Hamka dalam tafsîrnya melakukan pengelompokan ayat-ayat berdasarkan keterkaitan isi yang dikandung ayat-ayat tersebut. Ia juga memberikan tema pada setiap pembahasan ayat sesuai dengan kandungannya. Dengan demikian bisa penulis katakan bahwa tafsîr Al-Azhar menggunakan metode semi tematik yaitu paduan antara metode penulisan tahlili atau analisa dengan metode penulisan tafsîr maudhû‟i atau tematik.yaitu metode yang pernah di gagas oleh Prof al-Kumi mantan Dekan fakultas Ushuluddin al-Azhar Cairo mesir pada tahun enam puluhan.

6. Corak Penafsiran

Penafsiran dengan menggunakan metode penulisan tahlîli tentu tidak bisa dilepaskan dari subyektifitas penulisnya, yaitu kecenderungan atau orientasi pemikiran yang dilatarbelakangi oleh pendidikan, bacaan dan lingkungan hidup penulisnya. Adanya berbagai aspek yang melatarbelakangi kehidupan seorang mufassir memungkinkan munculnya beberapa corak hanya dari sebuah kitab tafsîr. Berikut ini beberapa corak tafsîr yang bisa penulis deteksi dari tafsîr Al-Azhar karya Hamka


(22)

a. Corak al-Adabi-Ijtimâ‟i

Hamka adalah salah seorag mufasir yang mempraktekan metode pengembangan tafsîr yang bercorak al-Adabi Ijtimâ‟i atau tafsîr yang berorientasi pada sastra, budaya dan kemasyarakatan di Indonesia.25 Tafsîr Hamka banyak menonjolkan ketelitian redaksi ayat Al-Quran, dengan ungkapan bahasa Indonesia yang mudah di pahami. Penguasaan ilmu sastra Indonesianya membantu menyajikan tafsîr dengan bahasa yang lugas, karena selain ulama dan mufassir Hamka juga seorang sastrawan di blantika sastra Indonesia

b. Corak Tafsîr al-Hida‟i

Corak tafsîr yang bisa dirasakan bagi pembaca kitab tafsîr Al-Azhar adalah corak Hida‟i, yaitu corak yang dilatarbelakangi oleh pemikiran untuk menjadikan hidayah atau akhlak Al-Quran menjadi poros atau sentral dari usaha penafsiran terhadap kitab suci Al-Quran. Hidayah Al-Quran menjadi perhatian utama Hamka ketika menafsirkan. Hal ini dipicu bukan hanya karena banyaknya ayat-ayat aqidah yang berisi hidayah dalam Al-Quran, tapi juga adanya kenyataan di masyarakat muslim yang membutuhkan tuntunan Al-Quran. Mengingkari hidayah Al-Quran, terlalu mengandalkan logika atau membebaskan pemikiran tanpa batas dan melalaikan tujuan dan pesan-pesan Al-Quran sebagaimana yang di isyaratkan ayat-ayatnya, menyebabkan keterbelakangan ummat dan merebaknya dekadensi moral di kalangan kaum muslimin. Agama menurut Hamka adalah sarana yang paling efektif dalam membina akhlak, sehingga perbuatan manusia menjadi benar dan baik. Selain itu hati mereka juga akan tenang dan berbahagia. Dengan akhlak ini pula keadilan ditegakkan.

Karena pembinaan akhlak umat melalui pesan-pesan Al-Quran menjadi misi penafsirannya, maka perhatian Hamka terhadap pendidikan budi pekerti terlihat juga pada buku tafsîrnya.26 Hamka sadar bahwa dalam menegakkan akhlak yang baik dengan melalui pendidikan prosesnya sangat lambat tetapi pengaruhnya diyakini olehnya sangat

25

M. Quraish Shihab menyatakan, yang dimaksud dengan tafsîr bercorak al-Adabi al-Ijtimâ‟i adalah tafsîr yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Quran pada segi ketelitian redaksi Al-Quran, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan tujuan diturunkannya Al-Quran, yakni sebagai petunjuk dalam kehidupan, lalu menggandengkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.

26

Sebagai contoh lihat penfsiran Hamka pada surah al-Mâidah [5] ayat 16 pada vol 6, h. 182-184 dan pada surah al- Isrâ [18] ayat 9, vol 15, h. 28-29.


(23)

baik di hari kemudian. Inilah cara Hamka dalam menegakkan akhlak yang baik dalam tafsîrnya.

Kecenderungan terhadap corak hida‟i ini dapat dilacak pada pernyataan-pernyataannya seputar “tuntunan akhlak bagi seorang muslim dengan sub tema khidmah kepada ibu bapa, kaum keluarga dan fakir miskin, larangan zina kejujujuran berniaga, jangan sombong, pentingnya ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang alam semesta, situasi dan kondisi penciptaan dan kehidupan manusia di

dunia”. 27

c. Corak Ilmi.

Kesan adanya kecenderungan Hamka terhadap corak ilmi terlihat pada upayanya menghubungkan ayat-ayat Al-Quran dengan ilmu pengetahuan dan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat. Upayanya ini dimaksudkan agar masyarakat lebih bisa memahami dan mencerna pesan-pesan Tuhan dalam Al-Quran apabila dalam menafsirkan pesan-pesan itu mufasir menghubungkannya dengan kejadian-kejadian atau peristiwa yang timbul dalam kehidupan sekitar mereka. Itu sebabnya Hamka menurut penulis bisa digolongkan sebagai mufasir yang condong kepada corak ilmi dan cara berfikir yang rasional.28

7. Referensi Penafsiran Hamka dalam Tafsir Al-Azhar

Dalam hal memilih sumber referensi untuk tafsîr Al-Azhar, Hamka tidak fanatik terhadap satu karya tafsîr dan tidak terpaku pada satu madzhab pemikiran. Hamka mengutip dari berbagai kitab, bukan hanya kitab tafsîr melainkan kitab hadîs, fisafat sejarah dan sebagainya yang menurutnya penting untuk dikutip. Akan tetapi, ada beberapa kitab tafsîr yang diakuinya mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tafsîrnya. Bukan saja dari segi pemikiran, tetapi juga dari orientasi atau coraknya.

Tafsîr yang paling banyak di rujuk oleh Hamka adalah tafsîr al-Manâr yang ditulis oleh Sayyid Rashid Ridha29 yang notabene berdasarkan pada ajaran tafsîr gurunya Syaikh Muhammad Abduh. Tafsîr ini mempunyai karakter khas yaitu dalam penafsirannya selain menggunakan pendekatan klasik juga mengaitkan penafsirannya dengan perkembangan politik dan kemasyarakatan. Selanjutnya adalah Tafsîr

27 Lihat penfsiran Hamka pada surah al-Isrâ‟ dari ayat 22 sampai ayat 39, vol 15, h. 35-65. 28

Lihat penafsirannya tentang “Lebah” vol. 14, h. 218-220 dan “tentang kejadian manusia”, vol. 14, h. 266-274.


(24)

Marâghi, Tafsîr al-Qasimî, dan Tafsîr Fî Zhilâl Al-Quran karya Sayid Qutub. Selain keempat kitab tafsîr ini Hamka juga mengutip pendapat dari berbagai kitab tafsîr lainnya.30

Secara keseluruhan pada volume 1 kitab tafsirnya, beliau menyebutkan bahwa referensinya mencapai 45 buku yang disebutkan secara ekplisit. Beliau juga mengutip berpuluh-puluh kitab karangan sarjana-sarjana modern dan karangan-karangan orientalis Barat yang bagi para mufasir Indonesia lain mungkin masih merupakan hal yang tabu. Apa yang dilakukan Hamka ini telah menjadi karakteristik khusus tafsîr Al-Azhar yang menambah bobot ilmiyahnya diantar buku-buku tafsir lainnya di Indonesia.

B. Biografi Quraish dan Penulisan Tafsîr Al-Misbah

1. Biografi Quraish.

M. Quraish lahir di Rappang Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Februari 1944, dibesarkan dalam lingkungan keluarga Muslim yang taat, Ayahnya, Abdurrahman Shihab (1905-1986) merupakan sosok yang banyak membentuk kepribadiannya. Ayahnya seorang Guru besar di bidang Tafsîr. M. Quraish memulai pendidikan di Ujung Pandang, dan melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang tepatnya di Pondok Pesantren Dar al-Hadist al-Fiqhiyyah.31

Kemudian pada tahun 1958, dia berangkat ke Kairo Mesir untuk meneruskan pendidikannya di Al-Azhar. Tahun 1967 dia meraih gelar Lc (S1) pada Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsîr Hadis Universitas Al-Azhar, sehingga tahun 1969 ia meraih gelar MA untuk sepesialis Tafsîr Al-Quran.32 Kemudian pada tahun 1982 ia berhasil meraih gelar doktor dalam studi ilmu-ilmu Al-Quran dengan yudisium Summa Cumlaude, yang disertai dengan penghargaan tingkat 1 (mumtâz ma‟a martabat al -syaraf al-ûla). Dengan demikian ia tercatat sebagai orang pertama dari Asia Tenggara yang meraih gelar tersebut.33

Karirnya dimulai setelah kembali ke Indonesia, pada tahun 1984, M. Quraish ditugaskan di fakultas Ushuluddin dan Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tahun 1995, ia dipercaya menjabat Rektor IAIN Syarif Hidayatullah

30

Hamka, Tafsîr Al-Azhar, Juz I, h. 86. 31

Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Terbuka dalam beragama, (Bandung: Mizan,1999), h. v 32

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Jakarta: Mizan, 1999), h. 5 33


(25)

Jakarta. Jabatan lain di luar Kampus yang pernah diembanya, antara lain, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat sejak 1984: anggota Lajnah Pentashih Al-Quran Departemen Agama sejak 1989, selain itu ia banyak berkecimpung dalam berbagai organisasi profesional, seperti pengurus perhimpunan ilmu-ilmu Al-Quran syari‟ah, Pengurus Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pada tahun 1998, tepatnya di akhir pemerintahan Orde Baru, ia pernah dipercaya sebagai Menteri Agama oleh Presiden Suharto, kemudian pada 17 Februari 1999, dia mendapat amanah sebagai Duta Besar Indonesia di Mesir.

Walaupun berbagai kesibukan sebagai konsekuensi jabatan yang diembanya, Quraish tetap aktif dalam kegiatan tulis menulis di berbagai media massa dalam rangka menjawab permasalahan yang berkaitan dengan persoalan agama. Di harian Pelita, ia

mengasuh rubrik “ Tafsîr Amanah” dan juga menjadi anggota dewan Redaksi Jurnal Ulûm Al-Quran dan Mimbar Ulama di Jakarta. Dan kini, aktifitasnya adalah Guru Besar Pasca Sarjana UIN Syarif Hidatatullah Jakarta dan Direktur Pusat Studi Al-Quran (PSQ) Jakarta.

Sikap yang menonjol dari Quraish adalah keberaniannya mengkritik pemahaman dan sikap keberagamaan yang berlaku ditengah masyarakat yang menjadi bagian dari pembaruan Quraish. Misalnya ketika Quraish ingin mencairkan hubungan antar umat beragama yang diwarnai ketegangan pada dekade tahun delapan puluhan. Ketika itu MUI memfatwakan haram hukumnya mengucapkan selamat natal apalagi menghadiri perayaan natal, tanpa mengurangi rasa hormatnya terhadap fatwa tersebut yang berusaha menjaga kemurnian akidah umat. Quraish berdasarkan pemahaman QS. Maryam [19]:33 menawarkan pemahaman bahwa ucapan selamat natal itu merupakan ajaran Al-Quran yangajarkan penghormatan kepada para Nabi. Tentu harus disertai dengan maksud-maksud dan keyakinan yang diajarkan Al-Quran, demi terjaganya kemurnian akidah.34

Mengenai pemikiran fikihnya Quraish berbeda dengan ulama lain yang cenderung tidak fanatik dalam bermazhab, Quraish berpandangan bahwa dalam beragama seseorang tidak perlu terikat dengan mazhab tertentu baik dalam hal metode maupun fatwa hukum, akan tetapi jawaban terhadap suatu persoalan hukum berorientasi

34


(26)

kepada ketenangan dalam pengamalan dan nilai kemaslahatan yang ada tanpa menandang mazhab mana yang memberikan pendapat itu (talfiq).

2. Karya-Karya Quraish Shihab

Quraish Shihab adalah sosok pemikir dan mufasir yang sangat handal. Disamping sebagai seorang pemikir dan mufasir yang handal, beliau juga diberi kepercayaan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya di beberapa lembaga pendidikan dan organisasi sosial keagamaan. Diantaranya, beliau ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar kampus, dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan, antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984); Anggota Lajnah Pentashih Al-Quran Departemen Agama (sejak 1989); Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989) dan Ketua Lembaga Pengembangan. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi professional, antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari'ah; Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Disela-sela segala kesibukannya itu, dia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri. Yang tidak kalah pentingnya, Quraish juga aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Di surat kabar Pelita, pada setiap hari Rabu dia menulis dalam rubrik "Pelita Hati." Dia juga mengasuh rubrik "Tafsîr Al-Amanah" dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta. Selain itu, dia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Ulûmul Qur'an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta. Selain kontribusinya untuk berbagai buku suntingan dan jurnal-jurnal ilmiah, hingga kini sudah beberapa bukunya diterbitkan, diantaranya Tafsîr Al-Manâr, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984); Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987); Mahhota Tuntunan Ilahi (Tafsîr Surat Al-Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988), dan lain sebagainya.

Beberapa buku yang telah ditulisnya adalah: Rasionalitas Tafsîr Al-Manâr, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984), Filsafat Hukum Islam (Jakarta:Departemen Agama, 1987), Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsîr Surat Al-Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988), 1001 Soal Ke-Islaman yang Patut Anda Ketahui, Membumikan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1992), Lentera Hati: Kisah


(27)

dan Hikmah Kehidupan (Republika, 2007), Al-Quran: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Republika, 2007), Mukjizat Al-Quran: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Aspek Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Republika, 2007), Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Quran (Republika, 2007), Wawasan Al Qur‟an: Tafsîr Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Republika, 2007), Tafsîr Al-Mishbâh, Tafsîr Al-Quran lengkap 30 Juz (Jakarta: Lentera Hati), Sunnah-Syiah; Bergandengan Tangan, mungkinkah? (Jakarta, Lentera Hati), Logika Agama; Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam, (Jakarta, Lentera Hati), Kaidah Tafsîr, (Jakarta: Lentera Hati, 2013)

Sebenarnya masih cukup banyak karyanya yang belum sempat penulis paparkan, yang pasti Quraish adalah sosok yang sangat produktif meskipun ia mempunyai banyak aktivitas. Dari karya-karya tersebut kita dapat membaca pemikiran tafsîrnya. Bagi Howard, karya-karya Quraish layak mendapatkan apresiasi yang tinggi karena ia banyak memusatkan perhatiannya pada isu isu kontemporer yang cocok digunakan oleh berbagai kalangan.

3. Latar Belakang Penulisan Tafsîr Al-Misbah

Banyak faktor yang melatarbelakangi penulisan tafsir al-Misbah. yang memotivasi seseorang menulis tafsir. Diantara faktor pendorong itu adalah :

Pertama, memberikan langkah-langkah yang mudah bagi umat Islam dalam memahami isi dan kandungan ayat-ayat Al-Quran dimulai dengan menjelaskan secara rinci pesan-pesan Al-Quran, melalui tema-tema yang berkaitan dengan perkembangan kehidupan manusia. Karena menurut Quraish Shihab walaupun banyak orang yang berupaya memahami pesan-pesan yang terdapat dalam Al-Quran, namun ada kendala yang di hadapi baik dari segi keterbatasan waktu, keilmuanyang belum memadai dan kelangkaan refrerensi sebagai bahan acuan.

Kedua, adanya dorongan dari umat Islam Indonesia khususnya yang menggugah hati dan membulatkan tekad Quraish Shihab untuk menulis karya tafsîr.

Ketiga, Obsesi dan semangatnya untuk menghadirkan karya tafsîr Al-Quran kepada masyarakat. Ia juga dikobarkan oleh apa yang dianggapnya sebagai suatu fenomena melemahnya kajian Al-Quran di masyarakat sehingga Al-Quran tidak lagi menjadi pedoman hidup dan sumber rujukan setiap pengambilan keputusan.


(28)

4. Ide-Ide Pembaharuan Tafsîr Al-Misbâh

Karya karya Quraish banyak di pengaruhi ide-ide pembaharuan atau tajdîd yang dirintis oleh M. Abduh dan Amin Al-Khauli. Sehingga Quraish tidak bisa dipisahkan dari konteks pembaharuan yang dirintis oleh Abduh, Quraish sendiri yakin pentingnya pembaharuan dalam dunia tafsîr Al-Quran.35

Quraish menyatakan bahwa Al-Quran diturunkan untuk setiap manusia dan masyarakat kapan dan dimanapun, maka setiap manusia pada abad ke-20 serta generasi berikutnya juga dituntut pula untuk memahami Al-Quran sebagaimana tuntutan yang pernah ditujukan kepada masyarakat yang menyaksikan turunnya Al-Quran. Dengan demikian pesan-pesan Al-Quran dapat digunakan dalam segala situasi dan tempat, serta zaman apapun, itu sebabnya pembaharuan (al-tajdîd) dalam tafsîr sangat di perlukan. Prinsip-prinsip dasar yang diletakan oleh para pendahulu selayaknya harus menjadi perhatian dalam memahami Al-Quran dan Sunnah. Mereka telah menyusun metodologi pemahaman yang –demi kesinambungan ilmu– tidak boleh diabaikan, walau boleh disempurnakan atau direvisi.

Quraish menyatakan bahwa dalam perkembangan dan pengembangan ijtihâd agama atau tajdîd, ia berpegang kepada adagium terkenal dalam kajian agama:“al-muhâfazhat „alâ a l - Qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah”. Tajdîd kita perlukan, bukan saja untuk mengiringi kita menerima dampak positif globalisasi, tetapi juga untuk membentengi kita dari dampak negatifnya, karena globalisasi bukan hanya menghasilkan produk material, tetapi juga produk pemikiran dan nilai yang sebagian diantaranya bertentangan dengan nilai-nilai Al-Quran. Tajdîd dalam arti pembaharuan adalah mempersembahkan sesuatu yang benar-benar baru, yang belum pernah diungkap oleh siapapun sebelumnya.

5. Sumber Penafsiran dan Metode Penulisan

Dengan melihat dan mencermati kandungan Tafsîr Al-Misbâh, bisa penulis katakan bahwa sumber Tafsîr Al-Misbâh ini merupakan kolaborasi antara tafsîr yang menggunakan sumber riwayat, baik itu riwayat yang bersumber dari Nabi, Sahabat dan

35

ia mendefinisikan istilah “tajdîd” dengan makna pemantapan, pencerahan, dan pembaharuan. Makna pertama terkait dengan Hadis Nabi yang isinya menunjukan pentingnya pemantapan keimanan seorang muslim, misal dengan membaca “Lâ ilâha illa Allâh”. Tajdîd dalam arti pencerahan dapat mencakup penjelasan ulang dalam bentuk kemasan yang lebih baik dan sesuai menyangkut, masa lalu, Sedang tajdîd dalam arti pembaharuan adalah mempersembahkan sesuatu yang benar-benar baru, yang belum pernah diungkap oleh siapapun sebelumnya.


(29)

Tabi‟in (bi al-ma‟tsûr) dengan tafsîr yang menggunakan logika (tafsîr bi al-ro‟yî). Hal ini bisa dilacak dari penjelasan-penjelasannya ketika menafsirkan sebuah ayat.

Sepanjang penelusuran penulis, metode p e n u l i s a n tafsîr yang digunakan oleh Quraish- s e p e r t i h a l n y a H a m k a - adalah kolaborasi dua metode tafsîr yakni metode tafsîr tahlîli dan maudhû‟i atau tematik. Dalam menafsirkan ayat selain dimulai dari surat al-Fatihah dan di akhiri dengan surat an-Nas, atau dengan kata lain berdasarkan susunan surah-surah yang ada di Mushaf, kemudian menjelaskan dan menafsirkan ayat per ayat. Namun sering kita dapatkan Quraish merujuk pada ayat-ayat dari surah-surah yang lain, yang terkait dengan ayat yang sedang di tafsîrkannya, menjelaskan tujuan utama surah, ayat serta petunjuk-petunjuk yang dapat dipetik darinya, untuk lebih memperjelas ulasannya, sehingga penafsirannya menjadi lebih utuh dan menyeluruh.36 Metode penulisan dengan langkah-langkah seperti yang disebutkan di atas menurut para pakar tafsîr bisa digolongkan dalam metode tafsîr semi tematik (maudhû‟i) yaitu metode yang diterapkan pertama kali oleh Syaikh Al-Azhar Mahmud Syaltut dalam karya tafsîrnya “Tafsîr Al-Qurân al-Karîm” 37

Hal tersebut dilakukan oleh Quraish agar para pembaca lebih mudah memahami dan mengakses pesan-pesan atau maksud dari kandungan Al-Quran dengan cepat dan menyeluruh. Selain kedua metode tersebut, tampaknya Quraish juga menggunakan metode pendekatan tafsîr muqarran. Hal ini terlihat ketika beliau menafsirkan ayat-ayat dengan mengutip atau menukil pendapat beberapa mufassir lain dalam kitab-kitab mereka kemudian membandingkannya dan berusaha menemukan formulasi penafsiran yang paling tepat.

Metode yang digunakan oleh Quraish dalam tafsîrnya jika kita bandingkan dengan tafsîr-tafsîr lainnya nampaknya bukanlah hal yang baru dan yang pertama kali dalam dunia tafsîr. Kolaborasi dua metode yakni antara metode tahlîli dan maudhû‟i ternyata pernah dilakukan oleh mufassir-mufassir sebelumnya seperti yang pernah

36

Menurut penulis langkah penafsiran yang di ambil Quraish ini mungkin didasari oleh kesadaran adanya kritikan terhadap metode tahlili yang dianggap memiliki kekurangan yaitu memberi pemahaman yang bersift parsial., Itu sebabnya mengapa Baqir al-Shodr menamakannya sebagai metode tajzi‟I, karena menjadikan pembahasan mengenai petunjuk Al-Quran secara terpisah-pisah , karena tidak kurang satu petunjuk yang saling berhubunga n tercantum dalam sekian banyak surah yang terpisah-pisah. Lihat baqir Shodr, pedoman Tafsîr modern, terjemah hidayaturrahman.jakarta: Risalah Masa, 1992 hal.9 Lihat juga M. Quraih shihab, Membumikan A-Qur‟an, Pnerbit Mizan, th 1999hal. 113.

37

Langkah penafsiran Hamka bisa dikatakan semi tematik karena tidak mengikuti seluruh langkah yang seharusnya dijalankan oleh mufassir tematik, sebagaimana yang digagas oleh al-Farmawi. Lihat al-Farmawi Muqoddimah fî Tafsîr al-Maudhû‟i, (Kairo : al-Hadhoroh al-Arabiyah, 1977), h. 61-62.


(30)

dilakukan oleh Sayyid Qutub dalam tafsîrnya Fi Dzilâl Al-Qurân, Mutawali asy-Sya„rawi dan lain-lain. Akan tetapi untuk tataran tafsîr-tafsîr yang berkembang di Indonesia, metode yang digunakan oleh Quraish merupakan hal yang baru terjadi. Tentu dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer, baik kajian kalam, fikih, pemikiran Islam, dan sosial kemasyarakatan yang dibingkai dalam pendekatan tafsîr.

6. Corak Penafsiran

Sebuah karya tafsîr tidak akan bisa dilepaskan dari kecendrungan atau orientasi pemikiran yang dilatar belakangi oleh pendidikan, bacaan dan lingkungan hidup penulisnya. Corak tafsîr adabi ijtima‟i adalah corak yang paling menonjol dari Tafsîr Al-Misbâh. Quraish telah melakukan kajian kritis atas realitas sosial politik yang terjadi pada saat tafsîr itu ditulis, untuk selanjutnya membimbing dan meluruskan pemahaman keagamaan masyarakat yang dianggap melenceng dari ajaran Al-Quran. Semangat untuk melakukan perubahan sosial dan pembaharuan melalui rekonstruksi pemahaman teks-teks keagamaan nampak dari motivasi Quraish dalam menafsirkan. Ia ingin menghadirkan Al-Quran sebagai sumber hidayah dan petunjuk dalam memecahkan berbagai persoalan dalam konteks kekinian di Indonesia. Maka Persoalan-persoalan yang populer saat itu dikemas dalam tema tertentu kemudian diulas dengan menggunakan perspektif tafsîr tematik. Karya-karyanya semisal „Jilbab‟ adalah contoh kecil bagaimana ia mencoba menjawab persoalan kekinian dengan menggunakan pendekatan tematik dan corak tafsîrnya yang bernuansa adabi ijtima‟i. Oleh sebab itu bisa dikatakan Quraish memiliki setting teologi, sosio kutural kemasyarakatan dan lingkungan.

7. Referensi penafsiran

Dalam hal memilih sumber referensi untuk tafsîr, Quraish tidak fanatik terhadap satu karya tafsîr dan tidak terpaku pada satu madzhab pemikiran. Ia mengutip dari berbagai kitab dari berbagai disiplin ilmu yang menurutnya penting untuk dikutip. Akan tetapi, ada beberapa kitab tafsîr yang diakuinya mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tafsîrnya. Bukan saja dari segi pemikiran, tetapi juga orientasi atau coraknya.

Dengan rendah hati, Quraish menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan pada tafsir Al-Misbah bukan sepenuhnya ijtihad dan penafsirannya sendiri Tafsir Al-Mishbah banyak dan mengemukakan uraian penjelasan sejumlah


(31)

penafsir ternama dalam karyanya sehingga menjadi referensi yang mumpuni, informatif dan argumentatif.

Ia menyatakan bahwa karya-karya ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak ia nukil. Sebut saja misalnya Mahmud Syaltut, Sayyid Quthub, Muhammad Al-Madhani, Muhammad Hijazi, Ahmad Badawi, Muhammad Ali ash-Ashabuni, Muhammad Sayyid Tanthawi, Syekh Mutawalli asy-Syarawi, Syekh Muhammad Husain ath-Thabathabai (seorang ulama Syiah terkemuka), dan terakhir Ibrahim bin Umar al-Baqa‟i, ulama asal Bekaa, Lebanon (w. 885 H/1480 M) yang mana karya tafsirnya yang berjudul Nazm al-Dhurar ketika masih berupa manuskrip menjadi bahan disertasi penulis tafsir ini di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, dua puluh tahun yang lalu.


(32)

BAB V

PEREMPUAN DALAM PENAFSIRAN HAMKA DAN QURAISH SHIHAB

A. Perceraian dalam Tafsir Al-Azhar dan Al-Misbah

Menikah dan membangun rumah tangga adalah naluri dasar manusia. Sebagai mahluk, manusia ditakdirkan memiliki pasangan dan berupaya bertemu dengan

pasangannya. Itulah ketetapan Ilahi:” Segala ssesuatu telah kami ciptakan berpasang pasangan supaya kamu mengingat (kebesaran Allah)” (QS. Adz-Dzâriyât [51]: 49). Tujuan perkawinan adalah mewujudkan keluarga Sakinah, mawaddah dan rahmah sebagaimana QS Al-Rum [30]: 21 yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” Sakinah, mawaddah dan rahmah akan memberikan ketenangan kepada jiwa suami dan istri. Ketenangan jiwa ini akan mendorong suami istri untuk beribadah kepada Allah Swt.

Keluarga sakinah menjadi hal yang sangat penting, sebab menjadi bagian dari modal pembangunan bangsa. Melalui keluarga-keluarga yang harmonis itu, terdapat teladan yang bisa dipetik, baik dalam perilaku berkeluarga maupun dalam membentuk masyarakat yang baik. Melalui keluarga sakinah ini nilai-nilai agama berupa moral dan kebenaran hakiki, spiritualitas dan berbagai aspek kehidupan yang bisa menyelamatkan manusia, diwariskan kepada anak-anak mereka. Pembinaan keluarga sakinah merupakan strategi dasar dalam rangka membangun masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Kunci utama keberhasilan mempertahankan keluarga sakinah adalah menegakkan sendi-sendi agama di rumah tangga. Nilai-nilai agama bisa membentengi diri dari pengaruh luar yang merusak, seperti faktor infotainment yang mendemostrasikan perceraian publik figur. Perceraian akan menyisakan masalah, bukan hanya bagi suami istri sebagai orang tua, tetapi turut mengorbankan anak. Karenanya, hal terpenting adalah mempersiapkan proses perkawinan lebih baik lagi. Orang tua mesti memberikan pengarahan kepada anak tentang arti tanggung jawab dalam


(33)

kehidupan berumah tangga. Prinsipnya pernikahan mesti didasari dengan cinta, kasih sayang, dan amanah.

Perkawinan yang merupakan suatu ikatan suami istri yang kekal, digambarkan Allah Swt. sebagai mîsâqan ghalîzan (Perjanjian yang kuat; QS. An-Nisâ [4]: 21). Seyogyanya, perjanjian yang kuat ini dipelihara dan mendapat tempat yang layak di hati suami istri. Akan tetapi dalam perjalanan berumah tangga, cinta kasih tidak selamanya bersemayam di hati sanubari masing-masing. Banyak faktor pribadi dan social yang ikut berperan dalam kehidupan sebuah rumah tangga. Sebagai manusia biasa, perselisihan pendapat antara suami dan istri sulit untuk dihindari38, sehingga terjadilah talak atau perceraian.39

Perceraian adalah perbuatan yang yang harus di hindari dalam agama, karena Hadis Nabi mencela adanya perceraian.“Allah tidak menjadikan sesuatu yang dihalalkan-Nya demikian ia benci kecuali thalak”, dan “perbuatan halal yang paling

dibenci Allah ialah thalaq”. Khutbah beliau ketika naik haji yang penghabisan (haji

wada‟) berisi salah satu pesan buat semua laki-laki dalam menghadapi wanita: “aku wasiatkan kepadamu, wahai umatku, agar berlaku baik terhadap wanita. Karena kamu mengambilnya sebagai amanat dari Allah. Dan menjadi halal kehormatannya bagi

kamu melalui kalimat Allah.” Dalam hadis lain juga disebutkan bahwa ketika dua hari sebelum Nabi Muhammad meninggal dunia, beliau naik ke atas mimbar, dan berkhutbahdidepan para sahabatnya agar memelihara dua perkara, pertama: shalat

jangan di tinggalkan. kedua: An nisa‟… wanita, wanita! Peliharalah baik-baik wanitamu.40

Lembaga perkawinan saat ini menghadapi tantangan yang semakin berat, yaitu: pertama adanya desakralisasi nilai perkawinan, yang muncul bersamaan dengan berbagai tantangan hidup di era globalisasi ini. Perkawinan yang selama ini dimaknai sebagai institusi yang luhur dan sakral, tak jarang dianggap hanya sebagai hubungan orang perorang secara perdata, tak ada hubungannya dengan norma agama dan

kemanusiaan”. Akibat dari pandangan diatas marak terjadi perceraian, gonta ganti pasangan sudah dianggap hal yang lumrah, tak ada beban bagi pelakunya Padahal

38

Ensiklopedi Hukum Islam, editor Abdul Aziz Dahlan, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), jilid 6, h. 1778

39

Talak artinya ialah lepas. Atau putus pertalian, habis pergaulan, bercerai dan berpisah. lihat Hamka, Tafsîr Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), Cet. ke-1, Juz 2, h. 212

40


(1)

sebab yang itu menjadi alasan kuat dalam memutuskan perkawin-an, seorang suami dapat mentalaq isterinya, begitupun isteri dapat menggunakan hak khulu‟-nya.

Quraish tidak kalah semangatnya dalam meluruskan hal- hal yang keliru di masyarakat, namun kesan penulis Quraish lebih lembut dalam penyampaian kritiknya. Dengan berbagai argumen dan logika ia menyampaika solusi alternatifnya., misalnya dalam masalah karir perempuan kita lihat bagaimana ia

Menurut Hamka isi ayat (QS. al-Baqarah [2]: 228) adalah keputusan yang amat penting bagi perempuan. Ayat ini menetapkan bahwa perempuan mempunyai hak dan kewajiban, sebagaimana laki-laki mempunyai hak dan kewajiban. Ini berarti laki-laki dan perempuan sama-sama mendapatkan taklif dari Allah dalam hal iman dan dalam amal sholeh, ibadah, muamalah dan pendidikan. Di masyarakat maupun dalam keluarga, perempuan mempunyai hak buat dihargai; berhak atas hak miliknya sebagaimana berhaknya atas dirinya sendiri. Dengan mengetengahkan contoh diatas Hamka mengingatkan bahwa hak-hak perempuan yang diberikan Islam itu bukanlah untuk menggantikan atau menandingi kedudukan laki-laki. Seperti laki-laki yang seharusnya menanggung nafkah keluarga tidak bekerja sehingga ia menjadi penjaga rumah, sehingga perempuan yang seharusnya mendidik anak terpaksa bekerja keluar rumah. Situasi seperti ini bukan dari ajaran Islam, tetapi dari peradaban Barat sejak zaman industri; ekonomi kapitalis yang mengerahkan tenaga perempuan ke luar rumah. Pertama, karena gajinya lebih murah, kedua karena hendak menawan hati pelanggan dengan kecantikannya.

Dengan pernyataan ini, Hamka ingin menunjukan bahwa suami tetap memiliki keutamaan dalam keluarga. Hal ini disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga (Lihat surat An Nisaa' ayat 34). yakni masing-masing memiliki keistimewaan-keistimewaan. Tetapi keistimewaan yang dimiliki lelaki lebih menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang dimiliki oleh perempuan. Di sisi lain, keistimewaan yang dimiliki perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada lelaki serta lebih mendukung fungsinya dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.

Quraish tidak kalah semangatnya dalam meluruskan hal- hal yang keliru di masyarakat, namun kesan penulis Quraish lebih lembut dalam penyampaian kritiknya. Dengan berbagai argumen dan logika ia menyampaika solusi alternatifnya., misalnya


(2)

dalam masalah karir perempuan kita lihat bagaimana ia mengomentari ucapan: “Tempat perempuan adalah rumah”. dengan dalih firman Allah yang menyatakan: (QS. Al-Ahzâb [33]: 33). Al-Qurthubi (671 H) menafsirkan ayat tersebut bahwa: “Agama penuh dengan tuntutan agar perempuan-perempuan tinggal di rumah mereka, dan tidak keluar kecuali karena keadaan darurat”. Pendapat tersebut ditolak oleh Quraish dengan pernyataannya bahwa perintah kepada perempuan harus terus-menerus berada di rumah dan tidak keluar kecuali ada kebutuhan yang mendesak adalah sebuah permintaan yang aneh. Karena mengurung perempuan terus menerus di rumah dinilai oleh Al-Quran sebagai satu hukuman (QS. An-Nisâ [4]: 15). Dalam ayat ini Allah menetapkan hukuman bagi perempuan yang berzina untuk menetap di rumah, tidak keluar sama sekali hingga ia wafat atau diberi jalan keluar lain, yakni adanya ketetapan hukum baru atau dia memperoleh suami. Ayat dalam QS. Al-Ahzâb [33]: 33 di atas hanya menekankan perlunya perempuan –apalagi yang telah berumah tangga– agar menitikberatkan perhatian mereka kepada pembinaan rumah tangganya. Quraish menukil pendapat Sayyid Quthub (1985 M) dalam tafsîrnya yang menulis bahwa: “Ayat ini bukan berarti bahwa perempuan tidak boleh meninggalkan rumah. Ia hanya mengisyaratkan bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan selain itu adalah tempat di mana ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya.”

Khusus tentang jilbab, penulis melihat Hamka tidak mempermasalahkan perintah berhijab tetapi mendukungnya . Di samping berfungsi sebagai penutup aurat, jilbab juga merupakan salah satu identitas wanita muslimah dan sekaligus merupakan upaya untuk mencegah terjadinya hal-hal yang dapat merusak kehormatan dirinya dan orang lain, karena aurat yang dapat mengundang kebirahian (syahwat) lawan jenisnya tertutup.

Hamka mencela sikap laki-laki yang tidak mendidik istrinya dan tidak memberinya peluang untuk menambah ilmu dan iman tapi malahan mengurung perempuan atau menutup seluruh tubuhnya. Ini tentu bukanlah peraturan Islam. Hal ini timbul dari keinginan laki-laki yang ingin menguasai perempuan. Dia membentengi perempuan dengan berbagai dinding dan membungkam mulutnya rapat-rapat sehingga lama kelamaan perempuan itu akan kehilangan kepercayaan kepada dirinya sendiri, karena hubungan keluar rumah tertutup semua sehingga iman pun tidak bisa lagi masuk.


(3)

Lantaran itu maka yang menjadi pembicaraan sesamanya tidak lain hanya bergunjing dan bersolek.

Setelah memaparkan tentang jilbab dan ketika memaparkan penafsiran ayat an-Nûr [24]: 31 dengan berbagai dalil dan argumentasi dengan semua kesamaan pendapat dan perbedan-perbedaannya, Quraish tidak menjelaskan atau menetapkan pendapat mana tentang batasan aurat yang lebih kuat dan yang lebih layak untuk diikuti dan diamalkan. Kenyataan ini tentu membingungkan pembaca atau orang yang ingin mengetahui hukumnya.

Quraish menyadari sikap seperti ini tanpa menetapkan pendapat mana yang lebih kuat, sedikit banyak telah membingungkan masyarakat umum. Kebingungan ini dapat dipahami jika melihat alasan Quraish tidak menetapkan satu pilihan pendapat dalam persoalan jibab. Karena hingga saat ini penulis (Quraish) belum dapat mentarjihkan salah satu dari sekian pendapat yang beragam itu. Atau dengan kata lain Quraish mengambil sikap tawaquf yakni tidak atau belum memberi pendapat menyangkut persoalan ini.

Melihat paparan diatas yang merupakan cuplikan dari penafsiran Hamka dan Quraish penulis bisa mengatakan bahwa pemikiran tafsir Hamka dan Quraish kaya dengan berbagai nuansa ke Indonesiaan, demi memudahkan masyarakat mengaksesnya. Disisi lain penulis juga bisa mengatakan bahwa otentisitas penafsirannya cukup bisa dipertanggung jawabkan.

B. Saran-Saran

Salah satu kegelisahan utama penafsiran Al-Quran adalah adanya kesenjangan antara produk tafsir yang hadir dan dikonsumsi oleh masyarakat dengan problematika sosial yang dihadapinya, kebutuhan masyarakat saat ini tidak hanya pada kandungan makna dan hukumnya saja sebagaimana yang biasa mewarnai tafsir-tafsir klasik, tetapi lebih pada penafsirannya yang realistis dan aplikatif.

Perkembangan zaman yang terus berubah di satu sisi, dihadapkan dengan penafsiran teks yang monoton di sisi lainnya akan melahirkan sebuah kesenjangan. Kesenjangan antara teks dengan persoalan-persoalan kemanusiaan dapat diartikan sebagai kegagapan atau ketidakmampuan umat Islam untuk mengaitkan ajaran-ajaran Islam dalam Al-Quran dengan isu-isu kemanusiaan.


(4)

Disinilah urgensinya upaya penafsiran seperti yang dilakukan Hamka dan Quraish yang mendialogkan ayat-ayat Al-Quran dengan realitas sosial yang dinamis. Upaya yang dilakukan Hamka dan Quraish tentunya perlu diapresiasi dan diamalkan. Karena setiap muslim harus meyakini bahwa Al-Quran bukan sekedar dibaca secara lafziah tetapi harus selalu direnungkan kandungan maknanya sehingga Al-Quran benar-benar berfungsi sebagai ppetunjuk kehidupan

Kajian Al-Quran yang menjadi fokus utama studi ke islaman karya Hamka dan Quraish bisa menjadi inspirator bagi pengembangan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia. Karena Al-Quran tidak hanya berfungsi sebagai sumber ritual belaka, melainkan ia mampu dihadirkan dalam kehidupan sehari-hari untuk menjadi pedoman dan pijakan dalam kehidupan. Oleh sebab itu tafsir yang dikembangkanHamka dan Quraish menurut penulis memiliki ciri khas pembeda dengan tafsir- tafsir yang sudah ada, diantaranya adalah pengayaan perspektif serta pemuatan budaya lokal dalam corak penafsirannya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Munawar, Sayyid Agil Husain, I‟jaz Al-Quran dan Metodologi Tafsir, Semarang: Dina Utama, 1994

Dahlan, Abdul Aziz, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996

Daryanto, S.S, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Surabaya: Apollo, t.th.

Al-Farmawi, Muqoddimah fi Tafsir al-Maudhu‟i, Kairo : al-Hadhoroh al-Arabiyah, 1977

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982 _____, Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003

Hanafi, Muchlis M., Berguru Kepada Sang Mahaguru, Jakarta: Lentera Hati, 2014 Hanafi, Muchlis M., Berguru Kepada Sang Mahaguru, Jakarta: Lentera Hati, 2014,

menukil dari ad-dakhil fi al-Tafsir karya Ibrahim Khalifah diktatat mata kuliah Metode Ilmu Tafsir tingkat 4, fak. Ushuluddin 1996

Hanafi, Muchlis M., Berguru Kepada Sang Mahaguru, Jakarta: Lentera Hati, 2014, menukil dari Al-Albani dalam Hijab al-Mar‟ah al-Muslimah

Hanafi, Muchlis M., Berguru Kepada Sang Mahaguru, Jakarta: Lentera Hati, 2014, menukil dari Al-Muwafaqat

Hanani, Silvia, Affirmative Action di Era Reformasi dan Implikasi Terhadap Pembangunan Berwawasan Jender, dalam jurnal Kafa‟ah: Jurnal ilmiah akjian Gender, Edisi Januari-Juni 2012

Husaini, Adian, Mendiskusikan Jilbab di Pusat Studi Al-Quran, di unduh dalam http://www.hidayatullah.com, pada 1 November 2009

James, Sharon, An Overview of Feminist Theology. Article translate by fathimah al-batul A. diunduh dari http://www.theologynetwork.org/theology-of-everything/an-overview-of-feminist-theology.htm pada Minggu 16 September 2013

Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, Al-Quran dan Realitas Umat, Jakarta: Penerbit Republika, 2010

Mustaqim, Abdul, Epistemologi TafsirKontemporer, Yogyakarta: LKIS Salakan Baru Sewon Bantul, 2012


(6)

Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: Lp3ES, 1980 Pohan, Alqanitah, Gender Dalam Komunikasi Politik Aktivitas Partai Islam, dalam

jurnal Kafa‟ah: Jurnal ilmiah akjian Gender, Edisi Januari-Juni 2012, h. 26 Al-Qurthuby, Abî „Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abî Bakar, Al-Jami‟ li‟

Ahkaam Al-Qur‟an, Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2006

Ridha, Muhammad Rasyid, Nida‟ Li al-Jins al-Lathif, terjemahan, Bandung: Perpustakaan Salman Institut Teknologi, 1986

Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, Beirut: Da al-Fikri, 1998

Setiawan, M Nur Kholis, Pribumisasi Al-Quran Tafsir berwawasan ke Indonesiaan Penerbit Kaukaba Dipantara Yogyakarta, Mei 2012

Shobahussurur, Buya Hamka Tokoh Modernis Karismatik, Dalam jurnal Refleksi, vol. XI, No. I, 2009.

Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Terbuka dalam beragama, Bandung: Mizan,1999 Shihab, M. Quraih, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam

Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1999 _____, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002 _____, Jilbab, Jakarta: Lentera Hati, 2004

_____, Menabur pesan Ilahi, Al-Quran dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Lentera Hati , 2006

_____, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati, 2007

Shodr, Baqir, Pedoman Tafsir modern, terjemah hidayaturrahman, Jakarta: Risalah Masa, 1992

Subhan, Zaitunah, Gender dalam Tinjauan Tafsir, dalam Jurnal Kafa‟ah (Jurnal Ilmiah Kajian Gender), Edisi Januari-Juni 2012

Yusuf, M.Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Jakarta Penamadani, 2004 Zaid, Nasr Hamid Abu, al-Imam asy-Syafi‟i wa Ta‟sis al-Aidologiah al-Wasathiyah,