Hubungan antara konsep diri pada remaja penghuni panti asuhan.

(1)

“HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH AUTORITATIF DENGAN KONSEP DIRI PADA REMAJA PENGHUNI PANTI ASUHAN”

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Sebagai Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Miftahul Jannah B07210061

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

vii DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Halaman Pernyataan ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... x

Daftar Lampiran ... xi

Abstrak ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian . ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA . ... 16

A. Konsep diri ... 16

1. Pengertian Konsep Diri (Self Concept) ... 16

2. Perkembangan Konsep Diri ... 17

3. Jenis-jenis Konsep Diri ... 20

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri ... 22

5. Aspek-aspek Konsep Diri (self concept) ... 24

B. Pola asuh ... 25

1. Pengertian Pola Asuh ... 25

2. Jenis-jenis Pola Asuh ... 26

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh ... 29

C. Remaja ... 30

1. Pengertian Remaja ... 30

2. Tugas Perkembangan Remaja ... 32

3. Ciri-Ciri masa Remaja... 32

4. Perubahan Masa Remaja ... 35

D. Panti Asuhan ... 37


(9)

viii

F. Hubungan Antara Pola Asuh Dengan Konsep Diri Pada Remaja

Penghuni Panti Asuhan ... 47

G. Kerangka Teoritis. ... 50

H. Hipotesis ... 51

BAB III METODE PENELITIAN ... 52

A. Variabel dan Definisi ... 52

1. Variabel Penelitian ... 52

2. Definisi Operasional... 52

B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling... 53

1. Popuasi ... 53

2. Sampel dan Teknik Sampling. ... 53

C. Teknik Pengumpulan Data ... 53

1. Skala Pengukuran ... 54

a. Skala Konsep Diri ... 54

b. Skala Pola Asuh ... 55

D. Validitas dan Reliabilitas ... 57

1. Validitas. ... 57

2. Reliabilitas ... 57

E. Analisis Data ... 59

1. Uji Normalitas ... 60

2. Uji Linieritas ... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 62

A. Hasil Penelitian ... 62

1. Deskripsi Subjek ... 62

2. Deskripsi Data ... 63

B. Reliabilitas Data ... 67

1. Uji Normalitas ... 67

2. Uji Linieritas ... 69

3. Uji Hipotesis ... 70

C. Pembahasan ... 71

BAB V PENUTUP ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 75


(10)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Blue print skala konsep diri ... 55

Tabel 2 Blue print skala pola asuh ... 56

Tabel 3 Hasil uji reliabilitas skala uji coba ... 58

Tabel 4 Responden berdasarkan jenis kelamin ... 62

Tabel 5 Responden berdasarkan usi ... 63

Tabel 6 Deskripsi data ... 64

Tabel 7 Deskripsi data berdasarkan jenis kelamin ... 65

Tabel 8 Deskripsi data berdasarkan usia remaja ... 66

Tabel 9 Hasil uji estimasi reliabilitas ... 67

Tabel 10 Hasil uji normalitas kolmogrov-smirnov ... 70

Tabel 11 Hasil uji linieritas ... 70


(11)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Bagan konseptual teori ... 51 Gambar 2 Grafik uji normalitas histrogam ... 68 Gambar 3 Grafik uji normalitas ... 69


(12)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

A. Lampiran 1 Tabulasi data skala pola asuh autoitatif ... 80

B. Lampiran 2 Tabulasi data skala konsp diri ... 84

C. Lampiran 3 Instrumen skala pola asuh dan konsep diri ... 88

D. Lampiran 4 Reliabilitas skala pola asuh... 94

E. Lampiran 5 Reliabilitas skala konsep diri ... 95

F. Lampiran 6 Hasil uji normalitas ... 96

G. Lampiran 7 Hasil uji Linearitas... 99

H. Lampiran 8 Hasil analisis product moment ...100


(13)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Remaja tidak memiliki status yang jelas karena dirinya tidak bisa dikatakan sebagai seorang anak maupun dewasa (Hurlock, 1999). Dalam Sarwono (2011), WHO pada tahun 1974 memberikan definisi konseptual tentang remaja yang meliputi kriteria biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Dari segi biologis, remaja merupakan individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. Sedangkan dari segi sosial-psikologis, WHO mendefinisikan remaja sebagai individu yang mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari anak-anak menjadi dewasa. Dari segi social-ekonomi, terjadi peralihan dari ketergantungan social-ekonomi yang penuh pada keadaan yang relative lebih mandiri.

Remaja dengan usia 12-25 tahun merasakan masa topan-badai yang disebabkan perubahan perkembangan secara fisik, intelektual, dan emosional. Santrock (2005) memaparkan bahwa masa remaja berakhir pada usia 18 hingga 22. Periode ini merupakan masa paling kritis bagi proses pencarian diri.

Dalam pemahaman Erickson (1989), masa remaja masih berada dalam proses pencarian “identitas diri”. Remaja sebagai pribadi unik masih mencari


(14)

konfigurasi minat,nilai, dan tujuan hidup dalam perbuatan keseharian. Mereka membutuhkan panutan yang dapat dijadikan teladan untuk menemukan pijakan prinsip hidup. Setiap perbuatan yang dilakukan kedua orang tua mencerminkan pola hidup yang mereka amati untuk dicontoh. Namun bagi remaja yang tidak memiliki orang tua dan tinggal di panti asuhan bahkan sejak kecil, hal tersebut akan menjadi suatu kendala tersendiri dalam membantu proses pencarian identitas diri.

Identitas diri ini yang nantinya akan lebih dibahas dengan istilah konsep diri sebagian besar didasari oleh interaksi dengan orang lain. Interaksi tersebut dimulai dengan interaksi yang dilakukan dengan anggota keluarga terdekat kemudian masuk ke interaksi mereka dengan luar keluarga (Supratman, 2015).

Dalam perkembangannya, konsep diri pada remaja sering menjadi permasalahan khusus,karena pada saat itu individu dituntut untuk mengambil keputusan mengenai dirinya dalam rangka mengatasi berbagai pertanyaan (Hayes, 1985). Konsep diri diperoleh dari hasil belajar individu melalui hubungannya dengan orang lain, terutama dengan orangtua. Hal tersebut dikarenakan orangtua merupakan kontak social yang paling awal yang dialami individu dan yang paling kuat (Calhoun, 1990)

Bagi anak yang tidak memiliki orang tua,terdapat panti asuhan didirikan untuk mengatasi permasalahan anak yatim piatu dari segi tempat tinggal hingga pendidikan. Pada saat ini, banyak sekali panti asuhan yang telah didirikan namun belum terdaftar. Dilihat dari didirikannya panti asuhan, kesemua panti asuhan


(15)

3

tersebut memiliki tujuan yang sama,yaitu berusaha memenuhi kebutuhan dasar anak asuh,seperti memperoleh pendidikan (Departemen Sosial,1999).

Meskipun panti asuhan merasa telah memenuhi kebutuhan anak asuh, panti asuhan termasuk fasilitas yang dapat digunakan sebagai penunjang untuk mengenyam pendididak, namun berdasarkan penelitian yang dilakukan di Malang, Jawa timur oleh Meizzara (1999), terdapat indikasi permasalahan belajar pada anak panti asuhan dan permasalahan tersebut lebih mengarah pada aspek motivasi yang rendah dalam belajar yang terkait dengan motivasi berprestasi.

Remaja yang tinggal di panti asuhan akan kurang atau bahkan tidak mendapatklan pengajaran dari orangtua tentang bagaimana individu menilai dirinya sendiri, sedangkan petugas pengasuh panti asuhan yang dianggap sebagai pengganti orangtua sepertinya kurang bisa diharapkan karena perbandingan yang tidak seimbang antara remaja panti asuhan yang banyak jumlahnya dengan pengasuh yang terbatas. Akibat sangat sedikitnya perhatian yang diberikan oleh ibu atau bapak asuh,maka penilaian remaja terhadap dirinya sendiri banyak dipengaruhi oleh pergaulan teman seasramanya di panti asuhan. Semua itu disebabkan karena hampir setiap hari remaja melakukan kegiatan secara bersama-sama dengan teman seasramanya.

Menurut Lukman(2000), remaja panti asuhan berpotensi untuk memiliki konsep diri yang cenderung negative karena adanya pengaruh negative yang berasal dari pergaulan internal asrama yaitu pergaulan antara sesama anak asuh. Pengaruh dari lingkungan internal seasrama ini kemungkinan menyebabkan


(16)

sebagian remaja kurang bisa menempatkan diri dalam pergaulan.hal ini pada gilirannya dapat menyebabkan situasi yang tidak kondusif dalam mengembangkan konsep diri yang positif.

Pola membesarkan anak yang memudahkan konsep diri yang positif pertama kali diperlihatkan oleh Stott (1939) yang telah mempelajari 1800 anak remaja mencatat bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga dimana tempat penerimaan, rasa saling percaya dan kecocokan diantara orangtua dan anak, lebih baik penyesuaian dirinya, lebih mandiri dan berpandangan lebih positif tentang diri mereka sendiri. Anak-anak yang berasal dari keluarga yang tidak terdapat kecocokan antar anggota, pada umumnya memiliki kemampuan penyesuaian diri yang kurang. Dalam Burns (1993), Berhens (1954) juga mengungkapkan bahwa gaya pribadi orangtua dapat mempengaruhi konsep diri anak untuk menjadi lebih baik ataupun lebih buruk.

Dari beberapa pemaparan tersebut jelaslah bagaimana keluarga mempengaruhi pembentukan konsep diri anak dan remaja. Meskipun demikian, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Misanti (2015) di beberapa panti asuhan cottage dan panti asuhan asrama kota banda Aceh, remaja didalamnya memiliki konsep diri yang positif.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nadiyah (2015) di panti asuhan Darmo Yuwono kota Purwokerto, hal-hal yang menjadi problem pembentukan konsep diri yang positif dibagi menjadi dua, yaitu problem internal dan problem eksternal. problem internal dalam proses pembentukan konsep diri yang positif


(17)

5

berasal dari diri sendiri. Problem tersebut mencakup fisik dan mental. Contohnya seperti perasaan rendah diri atas ketidak sempurnaan fisik. Dari rasa rendah diri tersebut dapat menimbulkan sifat yang berakibat pada konsep diri negative seperti kurang percaya diri,pesimis, mudah terseinggung, merasa tidak disukai orang lain, merasa diri bodoh, rendah diri, dan perilaku inferior lainnya.

Sedangkan untuk problem eksternal datang dari lingkungan sosial.lingkungan sosial bisa dari lingkungan sekolah, lingkungan rumah, lingkungan panti, maupun lingkungan masyarakat luas. Dari penelitian tersebut diketahui lingkungan yang paling banyak mempengaruhi berasal dari lingkungan sekolah karena tingginya intensitas interaksi dengan teman sebaya. Dari interaksi teman sebaya itulah timbul berbagai permasalahan yaitu harga diri rendah karena sering mendapat ejekan atau sering di bully, kemudian menjadi rendah diri, sifat lainnya seperti pesimis, tidak percaya diri, merasa tidak berguna, merasa tidak dicintai orang lain, dan perasaan inferior lainnya.

Adanya perbedaan hasil penelitian yang dilakukan di banda aceh dan di Purwokerto, terdapat beberapa kemungkinan penyebabnya seperti kultur budaya dan pola asuh yang diterapkan di panti asuhan.

Pola asuh merupakan cara orang tua membesarkan anak dengan memenuhi kebutuhan anak, memberi perlindungan, mendidik anak, serta mempengaruhi tingkah laku anak dalam kehidupan sehari-hari (Berk, 1994). Sedangkan menurut Poerwadarmita (1984), pola pengasuhan adalah bentuk perlakuan atau tindakan pengasuh untuk memelihara, melindungi, mendampingi,


(18)

mengajar dan membimbing anak selama masa perkembangan. Pengasuhan berasal dari kata asuh yang mempunyai arti menjaga,merawat dan mendidik anak yang masih kecil.

Menurut Wagnel dalam Sunarti (1989), mengasuh meliputi kegiatan menjada serta memberi bimbingan menuju pertumbuhan kearah kedewasaan dengan memberikan pendidikan,makanan dan sebagainya terhadap mereka yang diasuh.

Dalam bukunya, Brooks (2011), mendefinisikan pengasuhan sebagai proses yang mengacu pada serangkaian aksi dan interaksi antara orang tua dengan tujuan untuk mendukung perkembangan anak. Pengasuhan bukanlah hubungan satu arah yang mana orangtua mempengaruhi anak. Proses interaksi antara orangtua dan anak dipengaruhi oleh kultur budaya dan kelembagaan sosial dimana anak dibesarkan.

Muallifah (2009) menyatakan bahwa kualitas pengasuhan yang baik adalah kemampuan oran tua untuk memonitor segala aktivitas anak. Prinsip pengasuhan tidak menekankan pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada aktifitas dari perkembangan dan pendidikan anak. Oleh karenanya pengasuhan meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan mental dan pengasuhan sosial.

Pengasuhan mental berhubungan dengan jiwa anak, mencakup pendampingan ketika mengalami kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan seperti merasa terasing dari teman-temannya,takut, atau mengalami trauma. Pengasuhan mental ini juga mencakup pengasuhan agar anak merasa dihargai


(19)

7

sebagai individu, mengetahui rasa dicintai, serta memperoleh kesempatan untuk menentukan pilihan dan untuk mengetahui resikonya.

Sedangkan pengasuhan sosial bertujuan agar anak tidak merasa terasing dari lingkungan sosialnya yang akan berpengaruh terhadap perkembangan anak di masa-masa selanjutnya. Pengasuhan sosial ini menjadi sangat penting karena hubungan sosial yang dibangun dalam pengasuhan akan membentuk sudut pandang terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya.

Pola asuh itulah yang mempengaruhi pembentukan konsep diri. Konsep diri terbentuk melaluui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan, khususnya lingkungan keluarga. Hurlock (2005) juga menyatakan pola asuh keluarga sebagai salah satu factor pembentuk konsep diri selain factor jasmani, kondisi fisik, produksi kelenjar tubuh, pakaian, nama dan penggilan,kecerdasan,tingkat aspirasi, emosi, pola kebudayaan sekolah,dan status sosial.

Berdasarkan observasi yang dilakukan pada TN (18 tahun), diketahui subjek memiliki sikap kurang percaya diri, setelah dilakukan wawancara pada TN , TN sering disalahkan karena kesalahannya dan tidak dipercaya, TN juga termasuk anak yang dididik secara otoriter dengan orang tuannya, dia selalu merasa ketakutan ketika orang tuannya berbicara, apa pun yang dikatakan orang tuannya didalam rumah selalu ia kerjakan dengan cepat, bukan karena perasaan tanggung jawab, akan tetapi karena perasaan takut. Contohnya : orang tuannya menyuruh belajar ketika sesudah pas, tidak ada alasan apa pun dan keadaan apa


(20)

pun yang penting TN harus belajar sesuai yang dijadwalkan orang tuannya, oleh sebab itu TN selalu di kamar untuk belajar setiap sesudah magrib, akan tetapi lama kelamaan TN jenuh dengan keadaan seperti itu, akhirnya TN sering berpura-pura belajar di kamar hanya karena takut dengan orang tuannya.

Pada remaja dengan pola asuh demokratis akan menghasilkan konsep diri yang cenderung tinggi dan remaja dengan pola asuh otoriter memiliki konsep diri yang rendah. Pola asuh demokratis cenderung memiliki sikap-sikap seperti perhatian besar, dan kasih sayang pada anak dan orangtua yang menerima,memperhatikan perkembangan serta kemampuan anak sehingga remaja merasa tegas dalam menentukan sikap yang menunjang adanya konsep diri positif. Sedangkan pada pola asuh otoriter cenderung membuat remaja memiliki konsep diri yang rendah sebab dipengaruhi oleh sikap dan perilaku orang tua yang kurang dalam memberikan perhatian dan cinta kasih yang tulus kepada anak, suka menghukum anak secara fisik dan bersikap mengomando (mengharuskan atau memerintah anak untuk melakukan anak tanpa kompromi) sehingga mempengaruhi anak dalam menentukan sikap (Safa’ah, 2009).

Melihat bagaimana masa remaja adalah masa pembentukan konsep diri dan pengalaman diri, tentunya akan sangat memerlukan dukungan dari limgkungan terutama orang tua. Namun keluarga tidak dimilikinya, keluarga dan orang tua akan menjadi hambatan tersendiri. Terlebih pada remaja tersebut sedari kecil sudah diasuh oleh pengasuh panti dan harus rela berbagi dengan anak-anak yang lain.


(21)

9

Sikap dan cara pengasuh dalam mengasuh anak-anak panti pastinya akan sedikit banyak mempengaruhi anak asuhnya. Disinilah peneliti ingin membuktikan ada atau tidaknya hubungan antara pola asuh autoritatif dengan konsep diri pada remaja yang tinggal dipanti asuhan.

Pengasuhan otoritatif mendorong anak-anak untuk mandiri namun masih tetap member batasan dan kendali atas tindakan-tindakan anak. Orang tua masih memberikan kesempatan untuk berdialog secara verbal. Di samping itu orang tua juga bersifat hangat dan mengasuh, Panti Asuhan Hajjah Jawiyah Lakarsantri adalah salah satu Panti Asuhan yang ada di Kecamatan Lakarsantri yang membina anak-anak dengan berbagai latar belakang kehidupan sosial. Peneliti memilih Panti Asuhan Hajjah Jawiyah karena anak-anak remaja Panti Asuhan Hajjah Jawiyah sangat pendiam, kurang kritis dengan lingkungan sekitar, mereka cenderung lebih mengikuti peraturan yang ada seperti semuannya sempurna. sedangkan kebanyakan dalam periode masa remaja merupakan masa paling kritis bagi proses pencarian diri, memiliki sifat yang selalu ingin mencoba hal baru dan sikap yang tidak baik seperti yang dialami TN yang akhirnya membohongi orang tuannya dengan berpura-pura belajar.

Dari beberapa penjelasan diatas, peneliti ingin mengetahui “HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH AUTORITATIF DENGAN KONSEP DIRI PADA REMAJA PENGHUNI PANTI ASUHAN” dengan kultur yang berbeda dari penelitian sebelumnya di Banda Aceh, Sumatera Utara dan Purwokerto, Jawa Tengah.


(22)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalahnya adalah:

Apakah terdapat hubungan antara pola asuh autoritatif dengan konsep diri yang terdapat pada remaja penghuni panti asuhan hajjah jawiyah lakarsantri?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas,maka tujuan penelitian adalah Untuk mengetahui hubungan antara pola asuh Autoritatif dengan konsep diri pada remaja penghuni panti asuhan.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi mengenai hubungan antara pola asuh autoritatif dengan konsep diri pada remaja penghuni panti asuhan dalam pengembangan ilmu psikologi,khusunya psikologi perkembangan dan studi psikologi pada umumnya.

2. Secara praktis,dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi khalayak umum, khusunya para pengasuh dipanti asuhan tentang bagaimana memberikan pola asuh yang nantinya akan berpengaruh positif terhadap konsep diri anak yang diasuh.


(23)

16 E. Keaslian Penelitian

Pentingnya memahami hubungan antara pola asuh autoritatif dengan konsep diri pada remaja menjadikan cukup banyak peneliti yang tertarik melakukan penelitian, terutama di luar negeri. Beberapa jurnal penelitian yang terpublikasi menunjukkan bahwa hubungan keduanya menarik untuk diteliti.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Chonge pada tahun 2016 dengan judul “Influence of Parenting Styles and Self Concept on Students’ Achivement in Mathemathics” yang menunjukkan bahwa pola asuh memiliki pengaruh terhadap performa siswa di mata pelajaran matematika. Konsep diri siswa memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pencapaian prestasi pada mata pelajaran matematika. Selain itu, hasil menunjukkan bahwa pola asuh memiliki pengaruh terhadap konsep diri siswa. Pola asuh autoritatif (pola asuh dimana orangtua memberikan wewenang kepada anak) memiliki pengaruh positif yang kuat pada konsep diri responden.

Selain itu, penelitian lain yang mendukung penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Shavelson pada april 1981 tentang tentang konsep diri: hubungan saling mempengaruhi antara teori dan metode menunjukkan bahwa konsep diri yang nantinya akan membawa persepsi orang terhadap individu yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, dimana terdapat penguatan, evaluasi dari orang-orang sekitar, dan perilaku yang ditiru dari seseorang.


(24)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Yahaya dari Universitas Teknologi Malaysia yang menunjukkan hasil bahwa konsep diri, pola asuh dan motivasi memiliki dampak pada pencapaian atau prestasi akademik. Level konsep diri dan motivasi membantu siswa dalam mencapai hasil yang luar biasa memuaskan. Pola asuh autoritatif nampaknya sangat memberikan kenyamanan untuk diterapkan karena itu sudah terbukti memiliki damak yang sangat baik pada prestasi siswa.

Kemudian pada penelitian “An Exploration on The Relationship Between Self-Concept And Parenting Style on Teenager” oleh Zhi Wang menyebutkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara siswa laki-laki dan perempuan pada konsep diri mereka secara umum. Perbedaan antara keluarga yatim dan yang utuh juga memiliki angka yang signifikan. Terdapat hubungan yang relevan antara konsep diri dan pola asuh dari orangtua remaja.

Selanjutnya, oleh David J. Feliciano yang telah melakukan penelitian tentang faktor-faktor konsep diri usia dewasa, diungkapkan bahwa salah satu yang mempengaruhi adalah komunikasi dengan orangtua.

Dari penelitian yang dilakukan di indonesia sendiri, diantaranya adalah penelitian oleh Lucy Supratman pada desember 2015 lalu dengan judul “Konsep Diri Remaja Dari Keluarga Bercerai”. Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa sebelum terjadi perceraian, remaja melakukan komunikasi secara ofensif frontal (yang diungkapkan dengan cara berteriak


(25)

18

kasar, serta membantah perintah) dan ofensif lunak (yang diungkapkan dengan cara mengunci diri di kamar dan mendengarkan musik lewat earphone, pura-pura tidur, dan mengobrol di sosia media). Relasi remaja yang terjalin dengan orangtua tunggal menjadi lebih personal. Interaksi remaja tersebut bertujuan untuk membentuk konsep diri yang berbeda setelah ayah dan ibu mereka memutuskan bercerai.

Pada penelitian Asri W. Putri pada tahun 2015, terdapat hubungan positif signifikan antara pola asuh demokratis dengan konsep diri remaja akhir. Semakin tinggi nilai pola asuh demokratis orang tua, maka semakin tinggi konsep diri remaja.

Dalam penelitiannya, Winanti Siwi Respati, dkk (2006) mengungkapkan bahwa ada perbedaan konsep diri antara remaja akhir yang mempersepsi pola asuh orang tua authoritarian, permissive dan authoritative. Namun yang memberikan perbedaan pada konsep diri secara signifikan adalah persepsi pola asuh authoritative. Dari ketiga persepsi pola asuh, skor tertinggi adalah persepsi pola asuh authoritative, kemudian persepsi pola asuh permissive, dan yang paling rendah adalah persepsi pola asuh authoritarian. Hal ini dapat dikatakan bahwa dengan persepsi pola asuh authoritative akan menghasilkan konsep diri yang positif. Sebaliknya pada persepsi pola asuh permissive dan authoritarian menghasilkan konsep diri negatif pada subyek penelitian.


(26)

Pada penelitian “Hubungan Antara Konsep Diri Dan Pola Asuh Dengan Konformitas Santri” pada tahun 2013 oleh Awaludin Mufti Efendi menunjukkan bahwa semakin positif konsep diri santri, semakin konformitas terhadap norma sosial yang berlaku di masyarakat. Sebaliknya, semakin negatif konsep diri santri, maka santri semakin nonkonformitas terhadap norma sosial yang berlaku di masyarakat. Adapun pola asuh orang tua, semakin autoritatif pengasuhan orang tua, maka santri semakin konformitas terhadap norma sosial yang berlaku, tetapi sebaliknya, semakin keterlibatan orang tua dalam pengasuhan itu rendah, maka santri semakin nonkonformitas terhadap norma sosial yang berlaku di masyarakat.

Maria Fatimah Assahhra mengungkap adanya konsep diri positif pada remaja yang tinggal di panti asuhan karena faktor peranan orang tua dimana subjek merasa dekat dan nyaman dengan orang tua pengganti dalam hal ini ibu panti asuhan, peranan faktor sosial yaitu subjek dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitar baik didalam panti asuhan maupun di sekolah dan di masyarakat. Serta proses belajar dimana subjek belajar dari pengalaman-pengalaman yang membuatnya berpikir lebih positif.

Pada penlitian Nurus Safa’ah di Tuban, yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dan konsep diri pada remaja usia 15-18 tahun di SMA PGRI 1 Tuban.


(27)

20

Asri W. Putri dalam penelitiannya tahun 2015 mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh autoritatif dengan konsep diri pada remaja.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian yang dilakukan kali ini mengungkap tentang hubungan antara pola asuh dengan konsep diri pada remaja penghuni panti asuhan yang di asuh oleh pengasuh panti.Di mana, pada penelitian ini peneliti mengasumsikan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh dengan konsep diri pada remaja penghuni panti asuhan. Dalam penelitian ini peneliti menguji setiap jenis atau macam pola asuh yang ada dengan konsep diri remaja.

Dan yang menjadi pembeda penelitian kali ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya, juga terdapat pada latar belakang budaya tempat panti asuhan tersebut berada. Hal tersebut dikarenakan faktor lingkungan dan budaya dapat menjadi salah satu sebab yang dapat mempengaruhi hasil akhir dari penelitian.


(28)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Diri (Self Concept)

1. Pengertian Konsep Diri (Self Concept)

Menurut Hurlock (1980) konsep diri merupakan gambaran seseorang mengenai diri sendiri yang merupakan gabungan dari keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional aspiratif, dan prestasi yang mereka capai.

Burn (1993 dalam Ghufron dan Risnawita, 2010) mendefinisikan konsep diri sebagai kesan terhadap diri sendiri secara keseluruhan yang mencakup pendapatnya terhadap diri sendiri, pendapat tentang gambaran diri di mata orang lain, dan pendapatnya tentang hal-hal yang dicapai.

Konsep diri menurut Calhoun dan Acocella adalah suatu susunan konsep hipotesis yang merujuk pada perangkat kompleks dari karakteristik proses fisik, perilaku, dan kejiwaan diri seseorang. Hurlock mengemukakan bahwa konsep diri dapat dibagi menjadi dua yaitu konsep diri sebenarnya yang merupakan konsep diri seseorang tentang dirinya yang sebagian besar ditentukan oleh peran dan hubungannya dengan orang lain serta persepsinya tentang penilaian orang lain terhadap dirinya.Yang kedua yaitu konsep diri ideal merupakan gambaran seseorang mengenai keterampilan dan kepribadian yang didambakannya

Harter (1990 dalam McClun dan Merrell, 1998) memandang konsep diri sebagai konstruksi multidimensi, dimana seorang individu mungkin memiliki persepsi kompetensi mereka dalam berbagai bidang fungsi yang berbeda, tetapi


(29)

2

memiliki pandangan keseluruhan dalam diri mereka lebih dari jumlah dari daerah-daerah yang ada dalam diri mereka sendiri.

Definisi lain dikemukakan oleh Rahmat (2004 dalam Ghufron dan Risnawita, 2010), konsep diri bukan hanya gambaran deskriptif, melainkan juga penilaian individu mengenai dirinya sendiri.

Dari pendapat-pendapat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa konsep diri (self concept) adalah gambaran seseorang mengenai diri sendiri secara keseluruhan yang mencakup pendapatnya sendiri maupun pendapat tentang gambaran diri dimata orang lain. Gambaran tersebut merupakan gabungan dari keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional aspiratif, dan prestasi yang dicapai.

2. Perkembangan Konsep Diri

Konsep diri yang dimiliki manusia tidak terbentuk secara instan melainkan dengan proses belajar sepanjang hidup manusia. Konsep diri berasal dan berkembang sejalan pertumbuhannya, terutama akibat dari hubungan individu dengan individu lainnya (Centi, 1993). Ketika individu lahir, individu tidak memiliki pengetahuan tentang dirinya, tidak memiliki harapan-harapan yang ingin dicapainya serta tidak memiliki penilaian terhadap diri sendiri (Calhoun & Acocella, 1990). Namun seiring dengan berjalannya waktu individu mulai bisa membedakan antara dirinya, orang lain dan benda-benda disekitarnya dan pada akhirnya individu mulai mengetahui siapa dirinya, apa yang diinginkan serta dapat melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri (Calhoun & Acocella, 1990).


(30)

Menurut Willey (dalam Calhoun & Acocella, 1990), dalam perkembangan konsep diri, yang digunakan sebagai sumber pokok informasi adalah interaksi individu dengan orang lain. Baldwin dan Holmes ( dalam Calhoun & Acocella, 1990) juga mengatakan bahwa konsep diri adalah hasil belajar individu melalui hubungannya dengan orang lain. Yang dimaksud dengan “orang lain” menurut Calhoun dan Acocella (1990) :

1. Orang Tua

Orang tua adalah kontak sosial yang paling awal yang dialami oleh seseorang dan yang paling kuat. Informasi yang diberikan orang tua kepada anaknya lebih menancap dari pada informasi yang diberikan oleh orang lain dan berlangsung hingga dewasa. Coopersmith (dalam Calhoun & Acocella, 1990) mengatakan bahwa anak-anak yang tidak memiliki orang tua, disia-siakan oleh orang tua akan memperoleh kesukaran dalam mendapatkan informasi tentang dirinya sehingga hal ini akan menjadi penyebab utama anak berkonsep diri negatif.

2. Kawan Sebaya

Kawan sebaya menempati posisi kedua setelah orang tua dalam mempengaruhi konsep diri. Peran yang diukur dalam kelompok sebaya sangat berpengaruh terhadap pandangan individu mengenai dirinya sendiri.

3. Masyarakat

Masyarakat sangat mementingkan fakta-fakta yang ada pada seorang anak, seperti siapa bapaknya, ras dan lain-lain sehingga hal ini sangat berpengaruh terhadap konsep diri yang dimiliki oleh seorang individu.


(31)

4

Kemudian, Argy (dalam Hardy & Heyes, 1988) mengatakan bahwa perkembangan konsep diri dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu :

1. Reaksi dari orang lain

Cooley (dalam Hardy & Heyes, 1988) membuktikan bahwa dengan mengamati pencerminan perilaku diri sendiri terhadap respon yang diberikan oleh orang lain maka individu dapat mempelajari dirinya sendiri. Orang-orang yang memiliki arti pada diri individu (significant other) sangat berpengaruh dalam pembentukan konsep diri.

2. Perbandingan dengan orang lain

Konsep diri yang dimiliki individu sangat tergantung kepada bagaimana cara individu membandingkan dirinya dengan orang lain.

3. Peranan individu

Setiap individu memainkan peranan yang berbeda–beda dan pada setiap peran tersebut individu diharapkan akan melakukan perbuatan dengan cara-cara tertentu pula. Harapan-harapan dan pengalaman yang berkaitan dengan peran yang berbeda-beda berpengaruh terhadap konsep diri sesorang. Menurut Kuhn (dalam Hardy & Hayes, 1988) sejalan dengan pertumbuhannya individu akan menggabungkan lebih banyak peran kedalam konsep dirinya.

4. Identifikasi terhadap orang lain

Kalau seorang anak mengagumi seorang dewasa, maka anak seringkali mencoba menjadi pengikut orang dewasa tersebut dengan cara meniru beberapa nilai, keyakinan dan perbuatan. Proses identifikasi tersebut


(32)

menyebabkan individu merasakan bahwa dirinya telah memiliki beberapa sifat dari yang dikagumi.

Berdasarkan uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa individu tidak lahir dengan konsep diri. Konsep diri terbentuk seiring dengan pertumbuhan manusia melalui proses belajar. Sumber informasi dalam perkembangan konsep diri adalah interaksi individu dengan orang lain, yaitu orang tua, kawan sebaya serta masyarakat. Proses belajar yang dilakukan individu dalam pembentukan konsep dirinya diperoleh dengan melihat reaksi-reaksi orang lain terhadap perbuatan yang telah dilakukan, melakukan perbandingan dirinya dengan orang lain, memenuhi harapan-harapan orang lain atas peran yang dimainkannya serta melakukan identifikasi terhadap orang yang dikaguminya.

3. Jenis-jenis Konsep Diri

Menurut Calhoun dan Acocella (1990), dalam perkembangannya konsep diri terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.

1. Konsep Diri Positif

Konsep diri positif lebih kepada penerimaan diri bukan sebagai suatu kebanggan yang besar tentang diri. Konsep diri yang positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang tahu betul tentang dirinya, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri, evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima keberadaan orang lain. Individu


(33)

6

yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat dicapai, mampu menghadapi kehidupan didepannya serta menganggap bahwa hidup adalah suatu proses penemuan.

Singkatnya, individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang tahu betul siapa dirinya sehingga dirinya menerima segala kelebihan dan kekurangan, evaluasi terhadap dirinya menjadi lebih positif serta mampu merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas.

2. Konsep Diri Negatif

Calhoun dan Acocella (1990) membagi konsep diri negatif menjadi dua tipe, yaitu:

a. Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu tersebut benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelelahannya atau yang dihargai dalam kehidupannya.

b. Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal ini bisa terjadi karena individu dididik dengan cara yang sangat keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang tepat.

Singkatnya, individu yang memiliki konsep diri yang negatif terdiri dari 2 tipe, tipe pertama yaitu individu yang tidak tahu siapa dirinya dan tidak


(34)

mengetahui kekurangan dan kelebihannya, sedangkan tipe kedua adalah individu yang memandang dirinya dengan sangat teratur dan stabil.

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsep Diri (Self Concept)

Hurlock (1980) mengemukakan faktor-faktor yang mempegaruhi konsep diri remaja yaitu sebagai berikut:

a. Usia Kematangan

Remaja yang matang lebih awal, yang diperlakukan seperti orang yang hampir dewasa, mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Remaja yang matang terlambat, yang diperlakukan seperti anak-anak, merasa salah dimengerti dan bernasib kurang baik sehingga cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri.

b. Penampilan Diri

Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik. Tiap cacat fisik merupakan sumber yang memalukan yang mengakibatkan perasaan rendah diri. Sebaliknya, daya tarik fisik menimbulkan penilaian yang menyenangkan tentang ciri kepribadian dan menambah dukungan sosial.

c. Kepatutan Seks

Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat, dan perilaku membantu remaja mencapai konsep diri yang baik. Ketidakpatutan seks membuat remaja sadar diri dan hal ini memberi akibat buruk pada perilakunya.


(35)

8

d. Nama dan Julukan

Remaja peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompok menilai namanya buruk atau bila mereka memberi nama julukan yang bernada mencemooh.

e. Hubungan Keluarga

Seorang remaja yang mempunyai hubungan yang erat dengan seorang anggota keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang ini dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama. Bila tokoh ini sesama jenis, remaja akan tertolong untuk mengembangkan konsep diri yang layak untuk jenis sekitarnya.

f. Teman-Teman Sebaya

Teman-teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara. Pertama konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang dirinya dan kedua, ia berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui oleh kelompok.

g. Kreativitas

Remaja yang semasa kanak-kanak didoronng agar kreatif dalam bermain dan dalam tugas-tugas akademis, mengembangkan perasaan individualitas dan identitas yang memberi pengaruh yang baik pada konsep dirinya. Sebaliknya, remaja yang sejak awal masa kanak-kanak didorong untuk mengikuti pola yang sudah diakui akan kurang mempunyai perasaan identitas dan individualitas.


(36)

h. Cita-Cita

Bila mempunyai cita-cita yang tidak realistik, ia akan mengalami kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu dan reaksi-reaksi bertahan dimana ia menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Remaja yang realistik tentang kemampuannya lebih banyak mengalami keberhasilan daripada kegagalan. Ini akan menimbulkan kepercayaan diri dan kepuasan diri yang lebih besar yang memberikan konsep diri yang lebih baik.

Dari pendapat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri (self concept) adalah usia kematangan, penampilan diri, kepatutan seks, nama dan julukan, hubungan keluarga, teman-teman sebaya, kreativitas, serta cita-cita.

5. Aspek-aspek Konsep Diri (self concept)

Aspek-aspek dari konsep diri yang dikemukakan oleh Calhoun dan Acocella (1995 dalam Ghufron dan Risnawita, 2010) diantaranya;

a. Pengetahuan

Pengetahuan adalah apa yang individu ketahui tentang dirinya Individu didalam benaknya terdapat suatu daftar yang menggambarkan dirinya, kelengkapan atau kekurangan fisik, usia, jenis kelamin, kebangsaan, suku, pekerjaan, agama, dan lain-lain. Pengetahuan tentang diri juga berasal dari kelompok sosial yang didentifikasikan oleh individu tersebut.


(37)

10

b. Harapan

Individu mempunyai satu aspek pandangan tentang kemungkinan dirinya menjadi apa di masa depan. Individu mempunyai harapan bagi dirinya sendiri untuk menjadi yang ideal. Diri yang ideal sangat berbeda pada masing-masing individu.

c. Penilaian

Dalam penilaian, individu berkedudukan sebagai penilai tentang dirinya sendiri. Apakah bertentangan dengan pengharapan bagi individu atau standar bagi individu. Hasil penilaian tersebut disebut harga diri. Semakin tidak sesuai antara harapan dan standar diri, maka akan semakin rendah harga diri seseorang.

Dari pendapat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa aspek-aspek dalam konsep diri (self concept) adalah pengetahuan, harapan, dan penilaian mengenai diri sendiri.

B. Pola Asuh

1. Pengertian Pola Asuh

Pengertian pola asuh menurut para ahli adalah pola perilaku yang diterapkan kepada anak dan bersifat relative konsistensi dari waktu ke waktu. Orang tua ingin anak-anaknya bertumbuh menjadi individu-individu yang dewas secara sosial, dan mereka mungkin merasa frustasi dalam mencoba menemukan cara terbaik untuk mencapai pertumbuhan ini. Para developmentalis telah lama mencari ramuan-ramuan pengasuhan yang dapat meningkatkan perkembangan


(38)

kompetensi sosial pada anak-anak. Misalnya pada tahun 1930-an, john Watson berpendapat bahwa para orang tua terlalu mencurahkan kasih sayang yang cukup besar kepada anaknya (Rakhmat, 1989).

Gaya pengasuhan merupakan serangkaian sikap yang ditunjukkan oleh orang tua kepada anak untuk menciptakan iklim emosi yang melingkupi interaksi orang tua anak. Gaya pengasuhan berbeda dengan perilaku pengasuhan yang dicirikan oleh tindakan spesifik dan tujuan tertentu dari sosialisasi (Lestari, 2012).

Diana Baumrind (1971 dalam Santrock, 2012) yakin bahwa para orangtua tidak boleh menghukum atau mengucilkan, tetapi sebagai gantinya para orangtua harus mengembangkan aturan-aturan bagi anak-anak dan mencurahkan kasih sayang kepada mereka. Diana Baumrind menekankan tiga tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial anak : otoriter, otoritatif (demokrasi) dan laisessez-faire (permissive). Baru-baru ini para ahli perkembangan berpendapat bahwa pengasuhan anak yang permissive terjadi dalam dua bentuk: permissive indulgent dan permissive indifferent.

Jadi menurut dari beberapa para tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah pola perilaku yang diterapkan kepada anak dan bersifat konsisten dari waktu ke waktu, dimana orang tua harus mengembangkan aturan-aturan bagi anak-anak dan mencurahkan kasih sayang kepada mereka.

2. Jenis-jenis Pola Asuh

Orang tua seharusnya mengembangkan aturan-aturan dan sikap hangat kepada anak-anaknya. Diana Baumrind mendeskripsikan empat tipe gaya pengasuhan (Santrock, 2012):


(39)

12

1) Pengasuhan Otoritarian (authoritarian parenting)

Pengasuhan otoritarian adalah gaya yang bersifat membatasi dan menghukum, dimana orang tua mendesak anaknya agar mematuhi orang tua serta menghormati usaha dan jerih payah mereka. Orang tua otoritarian menempatkan batasan-batasan dan kendali yang tegas pada anak serta tidak banyak memberi peluang kepada anak-anak untuk bermusyawarah. Sebagai contoh, orang tua otoritarian mungkin mengatakan. “Lakukan sesuai perintahku atau tidak sama sekali”. Orang tua otoritarian juga mungkin memukul anak, menetapkan aturan -aturan secara kaku tanpa memberikan penjelasan, dan menunjukkan kemarahan terhadap anak. Anak-anak dari orang tua otoritarian sering kali tidak bahagia, takut, dan cemas ketika membandingkan dirinya dengan orang lain, tidak memiliki inisiatif, dan memiliki keterampilan komunikasi yang buruk.

2) Pengasuhan Otoritatif (authoritative parenting)

Pengasuhan otoritatif mendorong anak-anak untuk mandiri namun masih tetap memberbatasan dan kendali atas tindakan-tindakan anak. Orang tua masih memberikan kesempatan untuk berdialog secara verbal. Di samping itu orang tua juga bersifat hangat dan mengasuh. Orang tua yang autoritatif akan merangkul anak dan memperlihatkan rasa senang dan dukungan sebagai respons terhadap tingkah laku konstruktif anak-anak.

Mereka juga mengharapkan tingkah laku yang matang, mandiri, dan sesuai dengan usia anak-anaknya. Anak-anak yang orang tuanya otoritatif sering kali terlihat riang-gembira. Memiliki kendali diri dan percaya diri, serta berorientasi pada prestasi. Mereka cenderung mempertahankan relasi yang bersahabat dengan


(40)

kawan-kawan sebaya, kooperatif dengan orang dewasa, dan mengatasi sters dengan baik.

3) Pengasuhan yang Melalaikan (neglectful parenting)

Pengasuhan yang melalaikan adalah gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat di dalam kehidupan anak. Anak-anak yang orang tuanya lalai dalam mengembangkan perasaan bahwa aspek-aspek dari kehidupan orang tua lebih penting daripada mereka. Anak-anak ini cenderung tidak kompeten secara sosial. Banyak anak-anak yang kurang memiliki kendali diri dan tidak mampu menangani independensi secara baik. Mereka sering kali memiliki harga diri yang rendah, tidak matang, dan mungkin terasing dari keluarga. Pada remaja, mereka mungkin memperlihatkan pola-pola membolos dan pelanggaran.

4) Pengasuhan yang memanjakan (indulgent parenting)

Pengasuhan yang memanjakan adalah gaya dimana orang tua sangat terlibat dengan anak-anaknya namun kurang memberikan tuntutan atau kendali terhadap mereka. Orang tua seperti ini membiarkan anak-anaknya melakukan apa pun yang mereka inginkan. Hasilnya adalah anak-anak yang tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap kemauan mereka dituruti.

Beberapa orang tua dengan sengaja mengasuh anak-anaknya dengan cara ini karena mereka berkeyakinan bahwa kombinasi antara keterlibatan yang hangat dan sedikit kekangan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri. Meskipun demikian, anak-anak dari orang tua yang memanjakan, jarang belajar menghormati orang lain dan kesulitan mengendalikan perilakunya. Mereka


(41)

14

mungkin mendominasi, egosentris, tidak patuh, dan kesulitan dalam relasi dengan kawan sebaya.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh

Menurut Mussen (1994) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua, yaitu sebagai berikut:

a. Lingkungan tempat tinggal

Lingkungan tempat tinggal suatu keluarga akan mempengaruhi cara orang tua dalam menerapkan pola asuh. Hal ini bisa dilihat bila suatu keluarga tinggal di kota besar, maka orang tua kemungkinan akan banyak mengontrol karena merasa khawatir. Misalnya melarang untuk pergi kemana-mana sendirian. Hal ini sangat jauh berbeda jika suatu keluarga tinggal di suatu pedesaan, maka orang tua kemungkinan tidak begitu khawatir jika anak-anaknya pergi kemana-mana sendirian.

b. Sub kultur budaya

Budaya di suatu lingkungan tempat keluarga menetap akan mempengaruhi pola asuh orang tua. Hal ini dapat dilihat bahwa banyak orang tua di Amerika Serikat yang memperkenankan anak-anak mereka untuk mempertanyakan tindakan orang tua dan mengambil bagian dalam argument tentang aturan dan standard moral.

c. Status sosial ekonomi

Keluarga dari status sosial yang berbeda mempunyai pandangan yang berbeda tentang cara mengasuh anak yang tepat dan dapat diterima, sesuai


(42)

contoh: ibu dari kelas menengah ke bawah lebih menentang ketidak sopanan anak dibanding ibu dari kelas menengah ke atas. Begitupun juga dengan orang tua dari kelas buruh lebih menghargai penyesuaian dari standar eksternal, sementara orang tua dari kelas menengah lebih menekankan pada penyesuaian dengan standar perilaku yang sudah terinternalisasi.

C. Remaja

1. Pengertian Remaja

Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan biologis, perubahan psikologis, dan perubahan sosial. Remaja sering kali didefinisikan sebagai periode transisi antara masa kanak-kanak ke masa dewasa, atau masa usia belasan tahun, atau seseorang yang menunjukkan tingkah laku tertentu seperti susah diatur, mudah terangsang perasaannya dan sebagainya.

Istilah Adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1999). Piaget (1980; dalam Hurlock, 1999) mengatakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.


(43)

16

Kartini Kartono (1995) “masa remaja disebut pula sebagai penghubung antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa”. Pada periode ini terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial mengenai kematangan fungsi-fungsi rohaniah dan jasmaniah, terutama fungsi seksual. Disisi lain Sri Rumini dan Siti Sundari (2004) “menjelaskan masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/fungsi untuk memasuki masa dewasa”.

Pada masa remaja (usia 12 sampai dengan 21 tahun) terdapat beberapa fase yaitu, fase remaja awal (usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun), remaja pertengahan (usia 15 tahun sampai dengan 18 tahun) masa remaja akhir (usia 18 sampai dengan 21 tahun) dan diantaranya juga terdapat fase pubertas yang merupakan fase yang sangat singkat dan terkadang menjadi masalah tersendiri bagi remaja dalam menghadapinya. (Monks, 1999).

World Health Organization (WHO) mendefinisikan remaja dalam (Sarlito Wirawan Sarwono, 2006) adalah suatu masa ketika:

a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. b. Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari

kanak-kanak menjadi dewasa.

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

Berdasarkan pendapat para tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke dewasa dan masa


(44)

remaja terbagi menjadi 3 fase yaitu remaja awal, remaja pertengahan dan remaja akhir.

2. Tugas Perkembangan Remaja

Menurut Havighurst (1961; dalam Hurlock, 1999), tugas perkembangan remaja meliputi:

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

b. Mencapai peran sosial pria, dan wanita

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif

d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab

e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya

f. Mempersiapkan karir ekonomi

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku-mengembangkan ideologi.

3. Ciri-ciri Masa Remaja

Sesuai dengan pembagian usia remaja menurut Monks (1999) maka terdapat tiga tahap proses perkembangan yang dilalui remaja dalam proses menuju kedewasaan, disertai dengan karakteristiknya, yaitu :


(45)

18

a. Masa remaja awal (12-15 tahun)

Pada tahap ini, remaja masih merasa bingung dan mulai beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan tersebut. Mereka mulai mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya pengendalian terhadap emosi.

b. Masa remaja madya (15-18 tahun)

Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada kecenderungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Pada tahap ini remaja berada dalam kondisi kebingungan.

c. Masa remaja akhir (18-21 tahun)

Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan pencapaian :

1. Minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelektual 2. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan

orang-orang lain dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru 3. Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi 4. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) 5. Tumbuh dinding pemisah antara diri sendiri dengan


(46)

Sedangkan menurut Kartini Kartono (1995) dibagi tiga yaitu: a. Remaja Awal (12-15 Tahun)

Pada masa ini, remaja mengalami perubahan jasmani yang sangat pesat dan perkembangan intelektual yang sangat intensif, sehingga minat anak pada dunia luar sangat besar dan pada saat ini remaja tidak mau dianggap kanak-kanak lagi namun belum bisa meninggalkan pola kekanak-kanakannya. Selain itu pada masa ini 14 remaja sering merasa sunyi, ragu-ragu, tidak stabil, tidak puas dan merasa kecewa.

b. Remaja Pertengahan (15-18 Tahun)

Kepribadian remaja pada masa ini masih kekanak-kanakan tetapi pada masa remaja ini timbul unsur baru yaitu kesadaran akan kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai menentukan nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan terhadap pemikiran filosofis dan etis. Maka dari perasaan yang penuh keraguan pada masa remaja awal ini rentan akan timbul kemantapan pada diri sendiri. Rasa percaya diri pada remaja menimbulkan kesanggupan pada dirinya untuk melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang dilakukannya. Selain itu pada masa ini remaja menemukan diri sendiri atau jati dirnya

c. Remaja Akhir (18-21 Tahun)

Pada masa ini remaja sudah mantap dan stabil. Remaja sudah mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang digariskan sendiri dengan keberanian. Remaja mulai memahami arah hidupnya dan


(47)

20

menyadari tujuan hidupnya. Remaja sudah mempunyai pendirian tertentu berdasarkan satu pola yang jelas yang baru ditemukannya.

Berdasarkan ciri-ciri remaja diatas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan periode yang penting, masa peralihan, masa perubahan, dan juga masa pencarian identitas diri dimana pada usia ini menimbulkan ketakutan, keraguan dan keegoisan pada diri remja. Usia remaja terbagi atas tiga tahap yaitu, remaja awal, remaja madya dan remaja akhir.

4. Perubahan Masa Remaja

Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis. Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai pula orang dewasa. Pada periode ini pula remaja berubah dengan menunjukkan gejala primer dan sekunder dalam pertumbuhan remaja. Diantara perubahan-perubahan fisik tersebut dibedakan menjadi dua yaitu:

a. Ciri-ciri seks primer

Modul kesehatan reproduksi remaja Depkes 2002 (dalam Ririn Darmasih 2009) disebutkan bahwa “ciri-ciri seks primer pada remaja adalah remaja laki-laki sudah bisa melakukan fungsi reproduksi bila telah mengalami mimpi basah”. Mimpi basah biasanya terjadi pada remaja laki-laki usia antara 10-15 tahun, pada remaja perempuan bila sudah mengalami menarche (menstruasi), menstruasi adalah peristiwa keluarnya cairan darah


(48)

dari alat kelamin perempuan berupa luruhnya lapisan dinding dalam rahim yang banyak mengandung darah.

b. Ciri-ciri seks sekunder

Tanda-tanda fisik sekunder merupakan tanda-tanda badaniah yang membedakan pria dan wanita. Pada wanita bisa ditandai antara lain pertumbuhan tulang-tulang (badan menjadi tinggi, anggota 16 badan menjadi panjang), pertumbuhan payudara, tumbuh bulu yang halus dan lurus berwarna gelap di kemaluan, mencapai pertumbuhan ketinggian badan setiap tahunnya, bulu kemaluan menjadi keriting, haid, dan tumbuh bulu- bulu ketiak. Pada laki-laki bisa ditandai dengan pertumbuhan tulang-tulang, tumbuh bulu kemaluan yang halus, lurus, dan berwarna gelap, awal perubahan suara, bulu kemaluan menjadi keriting, tumbuh rambut-rambut halus di wajah (kumis, jenggot), tumbuh bulu ketiak, rambut-rambut di wajah bertambah tebal dan gelap, tumbuh bulu di dada

c. Perubahan fisik

Perubahan fisik berhubungan dengan aspek anotomi dan aspek fisiologis, sehingga akan terjadi percepatan dalam pertumbuhan anak (Monks, 1999).

d. Perubahan emosional

Pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi pada masa kanak-kanak. Perbedaan terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan pengendalian dalam mengekspresikan emosi. Remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang labil, namun bila pada akhir masa remaja


(49)

22

mampu menahan diri dan mampu memgekspresikan emosi secara tepat sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan maka remaja akan memberikan reaksi emosi yang stabil (Hurlock, 1999).

e. Perubahan sosial

Terdapat dua bentuk perkembangan remaja yaitu, memisahkan diri dari orangtua dan menuju kearah teman sebaya. Kondisi ini membuat remaja sangat rentan terhadap pengaruh teman dalam hal minat, sikap penampilan dan perilaku. Perubahan yang paling menonjol adalah hubungan heteroseksual. Remaja akan memperlihatkan perubahan radikal dari tidak menyukai lawan jenis menjadi lebih menyukai. Remaja ingin diterima, diperhatikan dan dicintai oleh lawan jenis dan kelompoknya (Monks, 1999). Berdasarkan beberapa perubahan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada masa remaja akan mengalami perubahan pada kondisi fisik, kemampuan emosional, serta perubahan kemampuan sosial remaja.

D. PANTI ASUHAN

Panti asuhan merupakan salah satu lembaga perlindungan anak yang berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak. Perlindungan terhadap hak anak termasuk didalamnya adalah serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mewujudkan hak anak sehingga terjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya sacara optimal baik jasmaniah, rohaniah maupun sosial terutama melindungi anak dari pengaruh


(50)

yang tidak kondusif terhadap kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya (Pedoman Perlindungan Anak, 1999)

Selain itu, panti asuhan juga merupakan suatu lembaga pelayanan kesejahteraan sosial yang memberikan kesempatan pada anak terlantar agar dapat mengembangkan kepribadiannya, potensinya serta kemampuannya secara wajar.

Menurut Soedihardjo (dalam Pane,2000) panti asuhan adalah satu tempat atau wadah yang berguna untuk menampung anak-anak yatim piatu dan anak-anak terlantar dalam rangka kesejahteraan anak sebagai usaha mengentaskan anak penyandang masalah dengan pelayanan yang sesuai peraturan serta petunjuk yang berlaku dalam penanganan masalah sosial anak dengan pedoman undang-undang No.4 tahun 1979 pasal 1.

Menurut pedoman pembinaan kesejahteraan soail anak usia dini (1999), yang termasuk sasaran pelayanan panti asuhan adalah :

1. Anak yatim, anak piatu, dan anak yatim piatu

2. Anak terlantar yang keluarganya mengalami perpecahan

3. Anak yang salah satu orang tuanya atau kedua-duanya sakit kronis, terpidana, korban bencana dan lain-lain.

Menurut pedoman pembinaan kesejahteraan sosial anak usia dini (1999), jenis-jenis pelayanan yang diberikan di panti asuhan adalah :

1. Perawatan (care) 2. Makanan (food)


(51)

24

4. Pakaian (clothing) 5. Kesehatan (health) 6. Pendidikan (schooling)

7. Pelayanan perlindungan (protection), meliputi upaya-upaya perlindngan hukum dan advokasi atas :

a. Identitas anak secara jelas b. Kerahasiaan (privacy)

c. Kebebasan dari diskriminasi (freedom from discrimination) d. Penelantaran dan perlakuan salah (abuse and neglect) e. Eksploitasi dalam segala hal (exploitastion off all types) f. Media yang berbahaya (harmful media)

g.Perlindungan dari kondisi-kondisi khusus seperti pengangkatan (adaptio), kecacatan (disability), dan lingkungan keluarga yang tidak mendukung (deprivation of family enviroment).

8. Kebebasan untuk menyatakan diri (affermative freedoms), yang meliputi :

a. Kebebasan mengemukakan pendapat ( free expresion of opinion) b. Kebebasan untuk mendapatkan informasi (freedom of information) c. Hak atas waktu bermain dan waktu luang (leisure and recreation) d. Hak atas kerahasiaan (privacy)

e. Hak untuk berkumpul (freedom of association)


(52)

E.Pola Asuh Anak Yatim Piatu

Tujuan untuk mengasuh anak yatim piatu yaitu untuk menciptakan sumber daya manusia yang bermutu dan berkualitas. Isalam sendiri mengajarkan bahwa setiap muslim hendaknya memiliki kualitas diri yang baik. Karena apabila setiap muslim mampu menjadi manusia yang baik, dia akan mampu menjadi pengemban peradaban manusia yang seimbang.

Tujuan merupakan faktor yang penting untuk menentukan jenis pola asuh. Jenis pola asuh yang baik yaitu pola asuh yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Tujuan pola asuh yang diterapkan di panti asuhan yatim piatu “ROHADI” yaitu untuk memberikan bimbingan, arahan dan mendidik anak yatim piatu kearah pengembangan pribadi agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar, menjadi insan yang berilmu pengetahuan, berakhlakul karimah, maju, dinamis, aktif, kreatif, percaya diri, berkepribdian baik dan bertaqwa kepada Allah SWT.

Empat sasaran pokok yang diterapkan di sebuah penelitian yang berlokasi di Panti Asuhan Panti Asuhan Yatim Piatu “ROHADI” merupakan salah satu alternatif untuk mencapai tujuan yang diinginkan baik oleh pengasuh maupun anak yatim piatu. Empat sasaran pokok yang diterapkn akan membentuk suatu strategi kegiatan, kegiatan yang harus dipatuhi dan merupakan salah satu bentuk dari kesadaran anak yatim piatu untuk menjadi pribadi yang unggul baik dari ssegi agama, iptek maupun sosial budaya.

Setiap empat sasaran pokok yang diatas mempunyai tujuan yang berbeda-beda,yaitu sebagai berikut:


(53)

26

1. Pendidikan Agam Islam

Materi pendidikan agama islam yang diberikan bertujuan untuk menanamkan kebiasaan pada anak yatim piatu agar selalu mengajarkan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist dan untuk bertawakal kepada Allah SWT.

2. Pendidikan (bimbingan sekolah umum)

Kegiatan yang berfungsi mengembangkan kemampuan akal dan ilmu serta teknologi tidak dapat diabaikan dalam kehidupan masa kini, yang dikenal sebagai abad ilmu dan teknologi (the age of science and technology). Pada saat ini, lebih-lebih lagi pada masa mendatang, syiar agama tanpa dukungan pengetahuan mengenai ilmu dan teknologi tampaknya akan sulit mencapai sasaran yang diharapkan. Sehubungan dengan itu kesadaran bahwa menuntut ilmu adalah keharusan bagi umat islam, dan memotivasi anak asuh untuk cinta ilmu dan teknologi, sebaiknya digariskan juga pendidikan keagamaan.

Materi pendidikan umum yang diberikan bertujuan untuk memberi pelajaran tambahan agar hasil yang diperoleh disekolah bisa maksimal kaitannya dengan materi yang diberikan. Selain itu agar anak yatim piatu bisa lebih menguasai ilmu yang diberikan sebagai bekal untuk meneruskan cita-cita bangsa.


(54)

3. Pendidikan ketrampilan

Ketrampilan merupakan upaya pembinaan kemandirian hidup dalam upaya mencegah pengangguran. Usaha ini merupakan perwujudan dari pengefektifan waktu dengan hal-hal yang positif sehingga bermanfaat untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang. 2 Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 175 54 Pendidikan ketrampilan yang diberikan kepada anak yattim piatu bertujuan untuk melatih kemandirian hidup dan melatih skill anak yatim piatu agar bisa diupayakan pekerjaan melalui mitra kerja.

4. Bimbingan kesenian dan olah raga

Bimbingan kesenian merupakan suatu bentuk bimbingan yang berhubungan dengan penggalian bakat yang dimiliki oleh anak yatim piatu.

Bimbingan kesenian ini bertujuan untuk menambah kreatifitas berdasarkan bakat yang dimiliki untuk mensyiarkan gama islam melalui karya seni islami. Sedangkan pendidikan olah raga selain untuk menambah kreatifitas juga untuk menjaga kesehatan jasmani.

Dalam rangka mengembangkan kesehatan jasmani, latihan latihan olah raga yang teratur dan teraarah perlu dilakukan. Di samping itu cara-cara hidup yang sesuai dengan prinsip-prinsip


(55)

28

kesehatan sangat dianjurkan. Sehubungan dengan itu hal-hal yang dapat merusak kesehatan harus dihindarkan sejauh mungkin. Selain itu prinsip-prinsip kegiatan dalam islam serta kesadaran bahwa tubuh kita adalah karunia Allah yang harus dipelihara dengan sebaik-baiknya ditanamkan secara sadar pada anak asuh.

Empat sasaran pokok tersebut diatas diberikan kepada anak asuh sebagai wujud dari tanggung jawab pengasuh untuk membimbing, mendidik dan melatih anak asuh agar menjadi pribadi yang mandiri. Sikap mandiri yang ditnamkan oleh pengasuh sangat mendukung untuk menanamkan kebiasaan pada anak asuh agar tidak tergantung pada orang lain, akan tetapi juga tidak mengesampingkan hubungan social dan bertawakal kepada Allah SWT.

Pola asuh yang diterapkan dan dapat dikatakan baik dan tepat apabila dalam mengasuh anak yatim piatu berhasil sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Dimana dalam mengasuh anak yatim piatu seorang pengasuh tidak memaksakan kehendak, akan tetapi harus memperhatikan keinginan anak yatim piatu yang bersifat positif. Setiap orang tua sangat menginginkan anaknya menjadi oarng yang sukses dan taat pada perintah agama, begitu juga seoarang pengasuh sangat menginginkan anak yatim piatu yang diasuhnya menjadi orang yang sukses dengan tidak meninggalkan ajaran agama yang telah diperoleh sejak kecil. Hal


(56)

ini tidak bisa lepas dari metode yang diterapkan dalam mengasuh anak yatim piatu, sesuai dengan tujuan yang di inginkan metode yang digunakan sesui dengan dimensi perkembangan anak, berkaitan dengan perkembangan motorik, kognitif, kreativitas, keagamaan, dan sebagainya. Sesuai dengan dimensi perkembangan anak maka dapat diterapkan metode-metode yang memungkinkan terbentuknya kebiasaan-kebiasaan yang didasari oleh nilainilai agama dan moral agar anak dapat menjalani hidup sesuai dengan norma yang dianut masyarakat.

Dalam mengasuh anak yatim piatu agar suasana dalam panti asuhan menjadi nyaman, mendukung dan sesuai dengan tujuan pengasuhan yang diinginkan, maka pengasuh berfungsi sebagai:

1. Komunikator

Sebagai komunikator peranan pengasuh dalam mengasuh anak yatim piatu adalah memberikan beberapa pengetahuan, latihan dan ketrampilan kepada anak yatim piatu yang dapat membantu mereka mengembangkan kemampuannya. Misalkan masalah syar’i, ketrampilan yang bisa dijadikan sebagai bekal dalam menjalani hidup setelah purna asuh agar menjadi pribadi yang mandiri. Dalam hal ini pengasuh berperan membantu anak yatim piatu dalam memahami pengetahuan agama dan membantu membuat ketrampilan yang diajarkan.


(57)

30

2. Motivator

Sebagai motivator peran pengasuh dalam mengasuh anak yatim piatu adalah merangsang, mendorong dan mendampingi anak yatim 56 piatu agar mereka memiliki perasan yang senang dan mempunyai semangat hidup yang tinggi. Seorang pengasuh akan selalu mendorong anak yatim piatu untuk selalu mempunyai semangat berprestasi, memberi dorongan untuk melakukan kebaikan dan berani menegakkan kebenaran.

3. Fasilitator

Peran pengasuh sebagai fasilitator yaitu kesediaan pengasuh dalam menyediakan saran dan prasarana yang dapat membantu keberhasilan dalam mengasuh anak yatim piatu. Sebagai fasilitator maka pengasuh di Panti Asuhan Yatim Piatu “ROHADI” bertindak sebagai penyedia fasilitas untuk anak yatim piatu sebagai proses pengasuhan. Bentuk fasilitas yang diberikan oleh pengasuh dan pengurus berupa sarana fisik dan penunjang seperti yang tercantum dalam bab sebelumnya, Sedangkan yang non fisik yaitu apabila pengasuh itu sendiri bertindak sebagai sarana dan prasarana dalam proses pengasuhan.

Pengasuh sebagai sarana dan prasarana artinya bahwa pengasuh bisa mendampingi anak yatim piatu dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya dan pengasuh merupakan


(58)

tokoh yang menjadi teladan bagi anak yatim piatu. Pengasuh merupkan fasilitator bagi anak yatim piatu yang membuat anak tersebut menjadi senang dan nyaman tinggal di panti asuhan karena pengasuh yang ramah, perhatian, sabar dan setia melayani dan mendidik atau membimbing anak yatim piatu.

Kedudukan atau peran pengasuh tidak hanya sebagai orang yang mengasuh akan tetapi juga sebagai guru, orang tua, dan sebagai teman agar terjalin hubungan yang baik dengan anak yatim piatu. Pola asuh yang demokratis sangat membantu anak yatim piatu menjadi pribadi yang utuh. Kasih sayang yang diberikan merupakan pengganti orang tua mereka dan sebagai bukti bahwa seorang pengasuh merupakan sosok panutan yang harus dijaga kehormatannya. Sedangkan tata tertib yang diterapkan dan harus dipatuhi merupakan satuan pendukung karena anak yatim piatu yang tinggal 57 di Panti Asuhan tersebut tidak sedikit dan pengasuhnya sangat terbatas sekali. Tata tertib atau praturan yang diterapkan mempunyai tujuan untuk melatih kedisiplinan, tanggung jawab, dan kemandirian. Dengan mentaati segala tata tertib dan skill yang telah diperoleh anak yatim piatu akan membentuk suatu pribadi mandiri yang bertaqwa kepada Allah SWT.

Ada dua bentuk pola asuh yang diterapkan di Panti Asuhan Yatim Piatu “ROHADI” Kaliwungu Kendal yaitu pola asuh


(59)

32

demokratis dan otoriter. Pola asuh otoriter diterapkan bagi anak asuh tingkat pemula (usia tingkat SD), Sedangkan anak asuh tingkat SMP selain menggunakan pola asuh otoriter juga menggunakan pola asuh demokratis. Kemudian untuk anak asuh tingkat SMA menggunakan pola asuh demokratis.

Pola asuh otoriter tersebut diterapkan karena anak asuh setingkat mereka masih harus diatur segala sesuatunya yang khususnya berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Sedangkan untuk anak asuh tingkat SMP diterapkan pola asuh otoriter dan juga demokratis karena mereka berada dalam usia peralihan (usia tingkat anak-anak ke usia remaja), sehingga untuk mendidiknya menggunakan pola asuh ganda. Pola asuh yang diterapkan oleh pengasuh untuk anak asuh usia tingkat SMA adalah pola asuh demokratis karena anak asuh seusia mereka sudah mendekati usia dewasa, sehingga cara pengasuhannya secara demokratis, mereka sudah bisa memutuskan segala sesuatunya dengan baik.

F. Hubungan Antara Pola Asuh Autoritatif Dengan Konsep diri Pada Remaja Penghuni Panti Asuhan.

Dalam rentan kehidupan, setiap masa dianggap penting untuk dilewati dengan berbagai macam tugas-tugasnya, salah satu masa yang dianggap penting adalah masa remaja atau adolescence.


(60)

Masa remaja, dianggap penting karena dalam masa ini seseorang mulai mencari tahu dan menilai tentang dirinya sendiri, atau dengan kata lain disebut konsep diri. Konsep diri oleh Hurlock (1980) didefinisikan sebagai gambaran seseorang mengenai diri sendiri yang merupakan gabungan dari keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional aspiratif, dan prestasi dicapai. Konsep diri yang dimiliki manusia tidak terbentuk secara instan melainkan dengan proses belajar sepanjang hidup manusia. Konsep diri berasal dan berkembang sejalan pertumbuhannya, terutama akibat dari hubungan individu dengan individu lainnya (Centi, 1993). Proses belajar yang dilakukan individu dalam pembentukan konsep dirinya diperoleh dengan melihat reaksi-reaksi orang lain terhadap perbuatan yang telah dilakukan, melakukan perbandingan dirinya dengan orang lain, memenuhi harapan-harapan orang lain atas peran yang dimainkannya serta melakukan identifikasi terhadap orang yang dikaguminya.

Panti asuhan merupakan salah satu lembaga perlindungan anak yang berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak. Perlindungan terhadap hak anak termasuk didalamnya adalah serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mewujudkan hak anak sehingga terjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya sacara optimal baik jasmaniah, rohaniah maupun sosial terutama melindungi anak dari pengaruh yang tidak kondusif terhadap kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya (Pedoman Perlindungan Anak, 1999)

Pada masa ini banyak sekali perubahan yang terjadi, mulai dari fisik, emosional dan juga sosial. Pola asuh merupakan perilaku yang di terapkan pada


(61)

34

anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat di rasakan oleh anak dan bisa memberi efek negatif maupun positif (Djamarah, 2014). Kegiatan yang dilakukan dengan mendidik, membimbing, memberi perlindungan, serta pengawasan terhadap anak. Pengalaman dan pendapat individu menjadikan perbedaan penerapan pola asuh prang tua terhadap anak.

Dari penjelasan diatas, sangat jelas bahwa bahgaimana remaja mulai mencari jati dirinya dan keluarga memiliki peran yang penting di dalamnya. Pola asuh yang diterapkan oleh pengasuh panti sebagai pengganti oang tua bagi anak yatim juga sedikit banyak akan memberikan pengaruh pada konsep diri remaja.

Hal ini didukung oleh beberapa penelitian baik di luar maupun dalam negeri. Pada teori yang diungkapkan oleh Chonge (2016), terdapat kesimpulan yang menyebutkan bahwa pola asuh memiliki pengaruh terhadap konsep diri siswa. Pola asuh autoritatif (pola asuh dimana orang tua memberikan wewenang kepada anak) memiliki pengaruh positif yang kuat terhadap konsep diri responden.

Selain itu, Zhi Wang dalam penelitiannya yang berjudul “An Exploration on the relationship between self-concept and parenting style on teenager” menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang relevan antara konsep diri dan pola asuh dari orang tua remaja.

Dari gambaran paparan diatas serta didukung dengan penelitian sebelumnya maka ini penelitian menjadi menarik untuk dikaji, mengingat remaja memerlukan contoh yang positif bagi pembentukan konsep dirinya. Contoh yang dilihat dari bagaimana perlakuan pengasuh panti terhadap mereka sedikit banyak akan


(62)

membawa dampak. Jika perlakuan dan pola asuh baik, kemungkinan besar konsep diri yang dihasilkan akan positif pula. Sebaliknya, jika pola asuh negatif, konsep diri akan ikut negatif.

F. Kerangka Teoritis

Hurlock (2005) menyatakan pola asuh keluarga sebagai salah satu factor pembentuk konsep diri selain factor jasmani, kondisi fisik, produksi kelenjar tubuh, pakaian, nama dan penggilan,kecerdasan,tingkat aspirasi, emosi, pola kebudayaan sekolah,dan status sosial.

Pada remaja dengan pola asuh demokratis akan menghasilkan konsep diri yang cenderung tinggi dan remaja dengan pola asuh otoriter memiliki konsep diri yang rendah. Pola asuh demokratis cenderung memiliki sikap-sikap seperti perhatian besar, dan kasih sayang pada anak dan orangtua yang menerima,memperhatikan perkembangan serta kemampuan anak sehingga remaja merasa tegas dalam menentukan sikap yang menunjang adanya konsep diri positif. Sedangkan pada pola asuh otoriter cenderung membuat remaja memiliki konsep diri yang rendah sebab dipengaruhi oleh sikap dan perilaku orangtua yang kurang dalam memberikan perhatian dan cinta kasih yang tulus kepada anak, suka menghukum anak secara fisik dan bersikap mengomando (mengharuskan atau memerintah anak untuk melakukan anak tanpa kompromi) sehingga mempengaruhi anak dalam menentukan sikap (Safa’ah, 2009).

Dalam penelitiannya, Winanti Siwi Respati (2006) mengungkapkan bahwa ada perbedaan konsep diri antara remaja akhir yang mempersepsi pola asuh orang


(63)

36

tua authoritarian, permissive dan authoritative. Namun yang memberikan perbedaan pada konsep diri secara signifikan adalah persepsi pola asuh authoritative. Dari ketiga persepsi pola asuh, skor tertinggi adalah persepsi pola asuh authoritative, kemudian persepsi pola asuh permissive, dan yang paling rendah adalah persepsi pola asuh authoritarian. Hal ini dapat dikatakan bahwa dengan persepsi pola asuh authoritative akan menghasilkan konsep diri yang positif. Sebaliknya pada persepsi pola asuh permissive dan authoritarian menghasilkan konsep diri negatif pada subyek penelitian.

Asri W. Putri dalam penelitiannya tahun 2015 mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh autoritatif dengan konsep diri pada remaja.

Dengan demikian variabel bebas (dependent variable) yaitu pola asuh, sedangkan variabel terikat (independent variable) yaitu konsep diri.

Variabel X Variabel Y

Gambar 1. Bagan konseptual teori G. Hipotesis

Berdasarkan kerangka konseptual diatas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara pola asuh autoritatif dengan konsep diri pada remaja penghuni panti asuhan Hajjah Jawiyah Lakarsantri.


(64)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang merupakan penelitian yang menekankan analisisnya pada data-data numerik dan diolah dengan metode statistika serta dilakukan pada penelitian inferensial atau dalam rangka pengujian hipotesis, sehingga diperoleh signifikansi antar variabel yang diteliti (Azwar, 1998).

Jenis penelitian ini merupakan penelitian korelasional untuk mencari hubungan antara konsep diri dengan pola asuh pada remaja di panti asuhan Hajjah Jawiyah.

Penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu:

1. Variabel terikat (Y) adalah konsep diri

2. Variabel bebas (X) adalah Pola Asuh Autoritatif

2. Definisi Operasional

Konsep diri diartikan sebagai citra yang ingin ditunjukan oleh individu pada orang lain dengan tujuan agar orang lain memiliki persepsi terhadap individu tersebut sesuai dengan citra yang diberikan.


(65)

53

Sedangkan Pola asuh autoritatif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mendorong anak-anak untuk mandiri namun masih tetap memberi batasan dan kendali atas tindakan-tindakan anak.

B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

1. Populasi

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu anak remaja yang tinggal di panti asuhan Hajjah Jawiyah Lakarsantri. Panti asuhan tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian karena banyak anak yang memasuki usia remaja. Terdapat 30 remaja yang terdiri dari 27 perempuan dan 3 laki-laki. Jumlah tersebut berdasarkan umur kisaran remaja dari 13-18 tahun.

2. Sampel dan Teknik Sampling

Teknik Pengambilan sampel menggunakan teknik nonprobabilitas atau nonacak didasarkan pada teknik sampel jenuh. Sampel jenuh merupakan teknik penentuan sampel bila seluruh anggota populasi dijadikan sebagai sampel (Sugiyono). Dengan menggunakan metode ini, peneliti dapat menggambarkan keseluruhan sampel dalam populasi tersebut.

C. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner dimana sejumlah pernyataan tertulis untuk memperoleh informasi dari responden (tentang pribadinya/hal-hal yang ia ketahui).


(1)

samping itu, komunikasi yang terjadi antara orangtua dan remaja membuat remaja lebih terbuka tentang masalah yang dihadapinya dan merasakan dukugan orangtua sehingga dapat membentuk konsep diri yang positif

Penelitian pola asuh autoritatif terhadap konsep diri remaja juga pernah dilakukan oleh Asri W. Putri dalam penelitiannya tahun 2015 mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh autoritatif dengan konsep diri pada remaja. Dalam penelitian tersebut, dari 50 remaja, 34 diantaranya memiliki konsep diri pada kategori tinggi.

Namun, terdapat sebuah teori yang memiliki kesamaan dengan hasil penelitian kali ini. Berdasarkan teori Coopersmith (dalam Calhoun & Acocella, 1990) mengatakan bahwa anak-anak yang tidak memiliki orang tua, disia-siakan oleh orang tua akan memperoleh kesukaran dalam mendapatkan informasi tentang dirinya sehingga hal ini akan menjadi penyebab utama anak berkonsep diri negatif.

Penelitian ini juga didukung oleh beberapa data demografi untuk menjabarkan lebih rinci keadaan subjek penelitian yang kaitannya dengan pola asuh autoritatif dengan konsep diri remaja yang tingal di panti. Untuk kedua ariabel, peneliti mencantumkan data demografi jenis kelamin dan usia. Hasil dari data demografi untuk variabel konsep diri menunjukkan bahwa subjek dengan jenis kelamin perempuan dengan usia sekitar 16 tahun memiliki konsep diri yang cukup tinggi.


(2)

Dari beberapa penjelasan diatas dapat diketahui bahwa pola asuh autoritatif tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap konsep diri remaja. Namun, mesipun begitu pada penelitian kali ini, tidak terdapat hubungan diantara kedua veriabel tersebut. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan latar belakang budaya dan faktor –faktor lain yang bisa mmebuat konsep diri remaja yang tinggal di panti tersebut rendah.


(3)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Penelitian ini telah menjawab hipotesis bahwa hubungan antara pola asuh autoritatif dan konsep diri pada remaja yang tinggal di panti terbukti secara empiris tidak memiliki korelasi yang bersifat negatif yaitu -0,126.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalamnya. Untuk itu, ada beberapa saran yang dapat dijadikan bahan pertimbangan terkait dengan penelitian yang serupa, yaitu:

1. Bagi Pengasuh

Diharapkan lebih memahami anak asuhnya dan memberikan mereka kenyamanan agar menganggap pengasuh seperti orangtua kandung. Pengasuh diharapkan dapat membangun hubungan yang hangat dan terbuka dengan anak asuh sehingga masalah yang mereka hadapi bisa dibantu diselesaikan bersama.

2. Bagi remaja panti

Diharapkan untuk dapat lebih terbuka pada pengasuh atas apa yang mereka alami dan masalah yang harus mereka hadapi sehingga bisa terbangun konsep diri yang positif.


(4)

3. Bagi peneliti selanjutnya

a. Bagi peneliti selanjutnya yang menaruh perhatian pada penggalian informasi yang lebih detail dan mendalam tentag bagaimana kepribagian subjek, latar belakang keluarga subjek terdahulu, trauma yang pernah dialami subjek serta budaya sekitar tempat subjek dibesarkan.

b. Peneliti selanjutnya disarankan agar mencermati faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap konsep diri remaja panti seprti pngalaman masa lalu individu dan lain-lain.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Muhid, Abdul. 2012. Analisis Statistik. Sidoarjo: Zifatama

Saifuddin, Azwar 1998. Metode Penelitian, Edisi I, Cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Burns, R.B. 1993. Konsep Diri (Teori, Pengukuran, Perkembangan dan Prilaku). Jakarta : Arcan.

Berk, L. E. (1994, November). Vygotsky’s theory: The importance of makebelieve play. Young Children, 50 (1), 30-39.

Burns, R. B. 1993. Konsep Diri, Teori, Pengukuran dan Perilaku. Jakarta: Arcan Centi, J.P. 1993. Mengapa Rendah Diri?. Yogyakarta : Kanisius

Djamarah, Syaiful Bahri.(2014). Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluraga. Jakarta: Rineka Cipta

Depkes RI. (2002). Pedoman pemberantasan penyalit saluran pernafasan akut. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Erikson, E. H. (1989). Identitas dan Siklus Hidup Manusia: Bunga Rampai 1 Terjemahan dan Pendahuluan Oleh Agus Cremers. Jakarta: PT Gramedia.

Hurlock, E. B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Ruang Kehidupan. Edisi 5. Jakarta: Erlangga.

Hurlock, E. B. (1980). Calhoun, J. F. & Acocelia, J. R. (1990). Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan alih bahasa R.S. Satmoko. Edisi 3. Semarang: IKIP

Hurlock. 2005. Perkembangan Anak. (Terjemahan). Jakarta: Erlangga.


(6)

Kartono, Kartini. 1995. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung: Mandar Maju

Lestari, S. 2012. Psikologi Keluarga. Jakarta: KENCANA

Lukman, M. 2000. Kemandirian Anak Asuh Dipanti Asuhan Yatim Islam Ditinjau Dari Konsep Diri Dan Kompetensi Interpersonal. Psikologika. Vol 5, No 10. Hal 57-68. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UII.

Monks. FJ & Knoers, AMP, Haditono. (1999). Psikologi Perkembangan : Pengantar Dalam Berbagai bagiannya. (Terjemahan Siti Rahayu Haditono). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Mualifah. 2008. Psycho Islamic Smart Parenthing (Pola Asuh Cerdas, Pembentuk Jiwa Besar Optimis, dan Positif Anak-anak Anda). Yogyakarta: Diva Perss

Mussen, P.H. 1994. Perkembangan dan Kepribadian Anak (Terjemahan Budiyanto, F.X., dkk). Jakarta: Archan

Rakhmat, Jalaluddin. (1989). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : Remadja Karya

Sarwono. 2011. Psikologi Remaja.Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Pers.

Santrock. (2005). Adolescent. Tenth edition. New York; The McGraw Hill.Co.Inc Stott, John. The Contemporary Christian : An Urgent Plea for Double Listening.

1992. Leicester : IVP

Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung : Alfabeta.

Sarlito Wirawan Sarwono. (2006). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali

Santrock, John W. 2012. Life-span Development. 13 th Edition. University of Texas, Dallas : Mc Graw-Hill