Arsitektur Bali Purba, Konsep & Perwujudannya | Adhimastra | Anala 192 358 1 SM

Arsitektur Bali Purba, Konsep & Perwujudannya
I Ketut Adhimastra
Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Dwijendra
E-mail: Adhimastra2301@yahoo.com

ABSTRACT
To learn Balinese traditional architecture is not actually comprehensive enough only
based on the recent traditional architecture which we accept and see up to now or what we
gain from lontar asta kosala-kosali (Balinese traditional architecture encient manuscript). In
completing it, it would like to take a look to the past time seeing Balinese’s human being
history from previous time up to now. The article concerns to the trace of Balinese ancient
architecture, its concept and it appearance.
From tracing past time Balinese traditional architecture up to now, it can be gained
that : (i) at the prehistory, Balinese human being lived momadic way or inhabit. They hunted
for feeding and stayed at the caves. The period was predicted in fifteenth century BC, (ii) the
agriculture life and fixed settlement in a community of Balinese people began in three
century BC, but it’s not known yet what the the layout, pattern and shape were, (iii) the
existence of sarcophagus at the stone period began to be acquanted with the upper & below
concept. At some villages at Bali are still using this concept up to now, (iv) more advanced
life was found at nineth century which the name of Desa (village), Pesanggaran (house for
the priest) and Tempat Suci (hold shrine) ware known and also the term of Undagi for the

Balinese architect.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mempelajari arsitektur tradisional Bali sebenarnya tidak cukup hanya bertitik tolak dari
arsitektur tradisional yang kita terima dan lihat pada jaman sekarang atau hanya
mendasarkan pada sumberlontar asta kosala-kosali saja. Untuk melengkapinya adalah ada
baiknya melongok jauh ke belakang, melihat sejarah manusia Bali dulu hingga sekarang.
Untuk itulah diperlukan mata kuliah Perkembangan Arsitektur di Perguruan Tinggi. Dalam
tulisan ini akan diketengahkan sebuah hasil pelacakan singkat mengenai Arsitektur Purba –
Konsep dan Perwujudannya.
Wayne (1989) menyatakan bahwa sejarah arsitektur (menurut periodenya) tidak diperlukan
dalam masyarakat stabil yang masih sangat tradisional. Namun sejarah arsitektur – dalam
artian mempelajari waktu kejadian/periode maupun tempat/negeri dimana arsitekturnya
hadir, sangat diperlukan ketika masyarakat mengalami perubahan dalam pembangunan.
Menurut Soekmono, dalam membagi masa Sejarah Kebudayaan Indonesia seluruhnya
dibagi menjadi 4 masa, ialah :
1. Jaman prasejarah, sejak dari permulaan adanya manusia dan kebudayaan sampai kirakira abad ke – 5 Masehi;
2. Jaman Purba, sejak datangnya pengaruh India pada abad pertama tarikh Masehi
sampai lenyapnya kerajaan Majapahit sekitar tahun 1500 M;
3. Jaman Madya, sejak dari datangnya agama dan pengaruh Islam menjelang akhir masa

Majapahit sampai akhir abad – 19;

1

4. Jaman baru (modern), sejak masuknya anasir-anasir Barat dan teknik modern pada
kira-kira tahun 1900 sampai dewasa ini.
Tentunya pembahasan tentang arsitektur Bali akan menampilkan kronologis yang berbeda
dengan pembagian sejarah kebudayaan Indonesia menurut Soekmono. Karena titik tolak
bahasan kita disini adalah pada latar belakang dari keberadaan hasil-hasil karya arsitektur
di Bali.
Hanya saja patut dimaklumi, bahwa berbicara tentang arsitektur mau tidak mau, suka tidak
suka kita akan membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan dan sejarah
manusia. Van Romondt menyatakan (dalam definisinya) bahwa Arsitektur adalah berkenaan
dengan kegiatan manusia, ruang dan kebudayaan manusia. Demikian pula dinyatakan
bahwa mempelajari sejarah jatuh bangunnya kota Roma berarti mempelajari perjalanan
arsitektur Romawi. Dua alasan ini mungkin cukup bagi kita untuk memaklumi bahwa jikalau
kita hendak membicarakan arsitektur, berarti kita juga membicarakan sejarah dan
kebudayaan manusianya.
Kenyataannya, memang ada hubungan antara kebudayaan dengan arsitektur. Dalam hal ini
kebudayaan melihat arsitektur sebagai hasil-hasil budaya atau wujud ketiga dari

kebudayaan itu sendiri (wujud kebudayaan itu ada tiga, yakni: gagasan; aktivitas dan hasilhasil budaya). Sedangkan arsitektur itu sendiri oleh Vitruvius Polio (abad I Masehi)
menyebutkan berkaitan dengan tiga hal seperti:firmitas/bentuk; venustas/keindahan
dan utilitas/kegunaan. Berkaitan dengan utilitas, dimana utilitas diartikan sebagai kegunaan
atau adanya fungsi, dan seperti diketahui bahwa fungsi lahir dari adanya aktivitas. Sebagai
contoh dalam arsitektur dikenal adanya ruang kerja atau ruang terima tamu, adanya fungsi
ruang sebagai tempat kerja adalah karena adanya kegiatan bekerja yang dilakukan oleh
orang-orang yang berkegiatan kerja didalam ruang tersebut. Demikian juga dengan ruang
tamu, hadir karena adanya fungsi untuk menerima tamu dan itu berarti ada kegiatan
menerima tamu dalam ruang tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, dapat dirumusakan beberapa hal tentang Arsitektur
Bali Purba, sebagai berikut :
1. bagaimanakah cara hidup dan pola menetap orang Bali pada jaman purba (kira-kira
abab 15 sampai dengan 3 SM ?
2. bagaimanakah konsep arsitektur tradisional Bali pada jaman Batu yang ditertapkan
sampai saat ini ?
3. bagaimanakah penataan permukiman orang Bali pada abad ke 9 Masehi terkait dengan
prinsip-prinsip yang melatarbelakanginya
II. PEMBAHASAN
2.1 Hasil-Hasil & Penelusuran

Ada tiga jenis hasil-hasil kebudayaan di Bali yang dapat dikaitkan dengan aspek arsitektur
pada saat jaman prasejarah di Bali (Bali Purba), yakni: Sarkofagus; Nekara; Punden
berundak-undak dan Menhir.
1. Sarkofagus
Sarkofagus atau keranda adalah hasil budaya berupa peti mayat yang termasuk dalam
kebudayaan masa Megalithikum (Soekmono, 1981 – 72). Sarkofagus berasal dari
kata sart artinya daging danphagein artinya memakan, jadi sarkofagus secara literleks
berarti pemakan daging. Maksudnya karena mayat yang ditempatkan didalam peti lamakelamaan akan busuk dan lenyap (Ardana, 1982 – 14).

2

Mengapa sarkofagus kita masukkan ke dalam bahasan arsitektur Bali? karena Arsitektur
Tradisional Bali (ATB) yang kita terima sekarang punya latar belakang atau dilatari oleh
konsep “keluhuran”, artinya menghormati leluhur dalam bentuk proses penanaman mayat,
kemudian pengabenan dan memukuratau nyekah dan terakhir upacara ngelinggihang
Hyangdewa atau dewapitara di Sanggah Kemulan(Ardana, 1982 – 15).
Di samping itu juga adanya kepercayaan pada hulu-teben (atas-bawah) yang ditampilkan
dalam wujud meletakkan arah kepala mayat kearah bukit atau gunung, kepercayaan ini
merupakan keyakinan masyarakat Bali pada masa itu bahwa roh nenek moyang atau
leluhur mereka berada di tempat ketinggian atau gunung. Konsep ini (hulu-teben) sampai

sekarang masih berlaku dalam setiap perencanaan lingkungan perumahan di Bali. Pola
orientasi penataan desa-desa tradisional di Bali juga masih menerapkan konsep huluteben ini.
Penghormatan kepada para leluhur pada masa ini berlanjut hingga kini, di Bali banyak
ditemukan tempat suci yang bertujuan untuk menghormati leluhurnya. Seperti sanggah atau
pemerajan dapat dijumpai hampir disetiap pekarangan rumah tinggal di Bali. Polanya juga
berkembang dari sanggah ini melebar ke merajan agung, panti sampai kepada kawitan
leluhurnya.
Ada suatu pemikiran dimana awal peristiwa pengabenan kita perkirakan bahwa itu murni
kebudayaan asli yang ada di Bali. Ternyata pada abad 8 SM di Yunani (Bertens, 1984 – 15.)
sesuai dengan hasil kesusastraannya yang terkenal berjudul Ilias dan Odyssea sebuah
puisi karya Homeros yang kemudian di filmkan dengan judul The Troya (catatan: kalau data
ini mengandung suatu kebenaran), disini ada sebuah prosesi pembakaran mayat yang
memiliki kesamaan dengan apa yang kita kenal di Bali sebagai bentuk pengabenan.
Terutama dalam hal adanya Bale Gumi di dalam film itu jelas divisualisasikan suatu bentuk
tempat yang ditinggikan guna menempatkan mayat pahlawan yang akan dikremasi tersebut.
Demikian pula sebelum pembakaran dimulai kedua mata sang mayat diberi dua buah kaca
terlebih dahulu, dan hal ini dijumpai pula peristiwa yang semacam itu hingga saat ini di Bali.
Lengkap diceritakan bahwa setelah 12 hari terhitung sejak pembakaran dilakukan, diadakan
upacara kembali, hal ini di Bali kita kenal sebagai bentuk upacara ngerorasin. Tentu ini
menimbulkan suatu pertanyaan, apakah ini sebuah kebetulan atau memang ada suatu

peristiwa yang memang memungkinkan peradaban dua bangsa dapat saling
mempengaruhi?[1]
Prinsip-prinsip dalam orientasi prosesi penghormatan terhadap leluhur inilah yang menjadi
pedoman disain dalam ATB yang diwarisi hingga kini. Yakni orientasi kaja-kelod. Termasuk
didalamnya pengaturan waktu-waktu untuk pelaksanaan atau kegiatan yang berlangsung.
Karena arsitektur tidak hanya diartikan sebagai penataan bentuk namun juga tata waktu
(Robi, 1983- hal 171).
2. Nekara
Kemajuan atau perubahan dari zaman neolithikum ke zaman perunggu berlangsung dengan
lambat. Pada umumnya orang-orang mempergunakan perkakas-perkakas dari batu juga
dipergunakan alat-alat dari perunggu. Zaman perunggu ini di Bali berlangsung beberapa
abad sebelum Masehi. Di Museum Denpasar alat-alat dari perunggu, terutama sekali
tersimpan alat2 yang berupa senjata-senjata. Bahan logam dibawa dari daerah lain yaitu
Vietnam Utara Dongson. Sehingga lebih dikenal sebagai kebudayaan Dongson. Nekara
bentuknya seperti meja pujaan, badannya bulat dan penutupnya nampak seperti gong.
Seluruh bentuknya nampak seperti dandang. Bagian badannya dihias dengan ukiran
bergaya Bali Purba, yang tinggi mutunya. Nekara semacam ini terdapat pula di daerah
Tiongkok, Birma hingga sampai di Irian barat. Di Birma nekara dipergunakan orang sebagai
meja pujaan dalam mempersembahkan sajen-sajen kepada para dewa. Peninggalan zaman


3

Dongson di Bali, menunjukkan bahwa orang-orang Bali pada zaman Purba, telah mencapai
tingkat kebudayaan yang tinggi mutunya (Pandit, 1963, hal 3).
Dari segi arsitektur, jelas nekara menjadi menarik untuk dipelajari karena patut ditanyakan
apakah material arsitekturnya pada masa itu tidak memanfaatkan logam? Sedangkan dari
perkembangan fungsi nekara dari dulu untuk pemujaan hingga sekarang masih berlanjut.
Dengan ditemukannya hasil-hasil berupa nekara, Ardana menyebutkan masa ini sebagai
masa perundagian. Masa perundagian adalah puncak segala kemajuan yang berhasil
dicapai, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari masa bercocok tanam.
Fungsi nekara diperkirakan adalah untuk maksud keagamaan terutama memohon hujan
(jelas ini akan berkaitan dengan kehidupan masyarakat pertanian)
Kebudayaan Dongson oleh para ahli memperkirakan terjadi di Indonesia adalah pada jaman
perunggu, sejak tahun 500 SM atau paling muda 300 SM (Soekmono, 1981. hal: 69 – 71).
Demikian pula Budiharjo menyebutkan:
……….. in the ages of prehistory Bali was inhabited by palaeolithic man, a hunter of the
Early Stone age, probably related to Java man. As early as 1500 B.C., the ancestors of
Indoensians arrived from southern India and introduced an agrarian concept of society
centered on village units…….
In the Bronze age (300 BC – 100 A.D.), Bali was already well populated. (dalam jaman

prasejarah Bali dihuni oleh manusia palaeolitik, sebelum jaman batu manusia hidup dan
makan dari cara berburu, kemungkinannya memiliki hubungan dengan manusia di pulau
Jawa. Setelah tahun 1500 SM nenek moyang Indonesia yang datang dari India Selatan
memperkenalkan teknik bertani kepada pusat masyarakat di perdesaan. Selanjutnya pada
jaman perunggu dimulai dari tahun 300 SM hingga Tahun 100 Masehi, Bali telah dihuni oleh
masyarakat yang maju).
Dari keterangan Budiharjo ini jelas memperlihatkan bahwa Bali yang semula dihuni oleh
manusia yang hidupnya nomaden (berpidah-pindah) serta hidup dengan cara berburu,
untuk selanjutnya setelah abad 15 SM di Bali telah mengenal cara hidup bercocok tanam
atau pertanian. Kemudian tahun 300 SM manusia dan masyarakat Bali dikenal sudah
memiliki kebudayaan yang maju, ini dibuktikan dengan hasil-hasilnya berupa teknologi
perunggu yang dikenal dengan istilah: jaman perunggu; jaman dongson; jaman perundagian
.
3. Punden Berundak-undak dan Menhir
Menhir menurut Gelebet (Rumah di Tanah, 2 – 3) sebagai perwujudan kepercayaan
masyarakat pada masa itu masa Bali Mula, yakni imigran gelombang I Melayu Tua , bahwa
leluhurnya ada di langit dan manusia ada di bumi (langit – bumi), manusia di bumi merasa
perlu berhubungan dengan leluhurnya yang ada di langit. Maka wujud sederhana pola
berpikirnya adalah menhir. Menhir bentuknya seperti tiang atau tugu, yang didirikan sebagai
tanda peringatan dan melambangkan arwah-arwah nenek moyang, sehingga menjadi

benda pujaan (Soekmono, 1981 – 72).
Perkembangan bentuk sederhana dari tiang batu (menhir) menjadi yupa (batu bertulis) –
tugu capah – padmasana – adalah suatu perkembangan yang evolutif, sejalan dengan

4

perkembangan daya nalar kemampuan masyarakat dalam menerima suatu penafsiran
terhadap fenomena alam dan kekuatannya.
Soekmono menjelaskan, bahwa ada kaitan antara Menhir dengan sarkofagus. yakni:
Seorang kepala suku harus memper- lihatkan kelebihannya di atas masyarakat nya. Hal ini
dinyatakan dengan pemberian yang berlebih-lebih. Ia mengumpulkan kekayaan sebanyakbanyaknya, dan paling sedikit sekali dalam hidupnya ia mengada- kan “feast of merits” atau
pesta jasa. Seluruh kekayaannya ditumpahkan untuk kesenangan, kebahagiaan dan
kemakmuran rakyatnya.
Kemudian sebagai tanda jasanya, maka ia dengan bantuan seluruh rakyatnya berhak
mendirikan sebuah menhir. Inilah makna menhir pada mulanya.
Setelah kepala suku yang berjasa itu meninggal, maka menhir sebagai lambang dari jasajasanya kemudian menjadi lambang dari dirinya. Kenangan dan penghargaan terhadap
jasa-jasa tadi beralih menjadi pemujaan terhadap dirinya, yang tetap masih dianggap
sebagai pelindung masyarakat. Dengan upacara-upacara tertentu, rohnya dianggap turun
ke dalam menhir untuk langsung berhubungan dengan para pemujanya.
Kalau untuk rohnya didirikan sebuah menhir[2], maka untuk raganya disediakanlah berbagai

macam kuburan: keranda (sarkofagus[3]), kubur batu, pandhusa atau lainnya; dan kecuali
jasa yang dibawa ke akhirat, maka dalam kuburan itu disertakan kepada mayatnya
bermacam-macam benda, alat-alat dan perhiasan sebagai bekal (disini saya punya
pemikiran, mungkinkah sekarang ini bentuk bekal itu berubah yang awalnya berupa
perhiasan menjadi bekal dalam rupa kewangen ketika mulai mayat dimandikan sampai
penguburan ataupun pengabenannya hingga saat Nyekah dan terakhir Ngelinggihang
Hyang dewa?).
Roh itu tempatnya jauh disana, biasanya digambarkan di atas dunia ini, juga di atas
gunung[4]. Guna menunjukkan letaknya yang di atas itu, tidak jarang sebuah menhir
didirikan diatas sebuah bangunan berundak-undak, yang melambangkan tingkatantingkatan yang harus dilalui guna mencapai tempat yang tertinggi. Banyak pula kalanya,
bahwa menhir itu sudah tidak dinyatakan lagi, dan sebagai lambang dari alam pikiran yang
demikian itu cukuplah didirikan punden berundak-undak saja, sedangkan sering pula terjadi
bahwa roh nenek moyang itu dinyatakan dengan patung-patung.
2.2 Mulainya Jaman Tertulis dalam Prasasti.
Pada umumnya dikatakan, bahwa bangsa Indonesia memasuki jaman sejarah sejak abad 4
Masehi (Soekmono, 1990 – 35), oleh karena pada masa itu ditemukannya keterangan
tertulis berupa Yupa atau prasasti-prasasti di Kutei Kalimantan berasal dari raja
Mulawarman di Jawa Barat berupa batu bertulis dari raja Purnawarman. Prasasti ini
dipastikan pengaruhnya berasal dari India (Soekmono, 1981 – 22).
Namun Jaman ini (jaman tertulis/jaman sejarah) di Bali, ditandai oleh ditemukannya prasasti

Sukawana A I (Goris, 1954 – 183) yang berbunyi :
memberi ijin kepada beberapa bhiksu supaya membangunkan pertapaan dan
pasanggrahan (satra) didaerah perburuan di bukit Cintamani mmal. Batasnya ditetapkan.
Bhiksu-bhiksu tersebut dibebaskan dari bermacam-macam pajak. Jika ada salah seorang
bhiksu mati, tentang warisannya diurus dan ditetapkan. Sebahagian dari warisan tersebut
dipakai untuk membeli perkakas pasanggrahan.

5

Dari keterangan tertulis ini, dapat diketahui (informasinya sudah valid) bahwa pada tahun
isaka 804 atau di tahun 882 Masehi di Bali telah berdiri pasanggrahan yang letaknya di
daerah Kintamani. Untuk lebih jelasnya ada beberapa hal yang informasinya disuratkan
pada prasasti Sukawana tersebut, adapun yang dimaksud adalah:
1. sudah dikenal adanya orang suci yang disebut dengan kata Bhiksu (aliran Budha)
2. secara arsitektural (sebagai hasil budaya yang tidak bertahan lama) sudah dibangun
tempat-tempat pertapaan beserta pasanggrahannya
3. sudah ada sistem pajak bagi masyarakat
4. sistem warisan sudah dikenal juga
5. jual beli alat-alat untuk membangun pasanggrahan juga telah ber- kembang
Dengan demikian, jelaslah sudah bahwa pada masa ini tempat tinggal menetap (rumah
dalam istilahnya pasanggrahan) sudah dikenal, artinya tidak lagi hidup berpindah-pindah
(nomaden). Tentunya, bentuknya juga telah tertentu hanya saja informasi bagaimana
tentang bentuk dan bahan yang berkembang pada saat tersebut tidak diketahui. Apakah
bahan kayu saja, apakah pemanfaatan bahan tanah sebagai pembatas ruang sudah
dikenal? Begitupun apakah atapnya dari bahan kayu atau dari dedaunan? Pondasinya
apakah sudah dikenal, misalnya memakai batu? Semua pertanyaan ini belum (idak
mungkin?) terjawab, karena informasinya memang terbatas pada apa yang telah dituliskan
itu.
Yang pasti adalah kehidupan pada saat itu telah mulai tertata rapi, terutama dibidang: sosial
budaya, sosial masyarakat, sosial ekonomi, serta sosial religiusnya.
Data tertulis lainnya yang menarik adalah dengan mulai dikenalnya istilah undagi, hal ini
dapat ditelusuri dari prasasti Bebetin A I (Goris, 1954 – 183) yang berbunyi :
memberikan ijin kepada nayakan pradhana maupun bhiksu supaya membangunkan
semacam kuil (hyang api) didesa banua Bharu. Batasnya ditetapkan. Orang-orang yang
mati waktu desa dirampas tentang warisannya diurus dan ditetapkan. Orang-orang desa
tersebut dibebas- kan dari bermacam-macam pajak. Jika ada orang saudagar mendarat,
lalu mati, sebahagian dari miliknya disumbangkan ke kuil Hyang Api tersebut. Kalau
perahunya pecah, kayu-kayunya harus dipakai pagar kota. Hal-hal warisan orang desa yang
mati ditetapkan.
Kardji (2001, 4-7) menuliskan bunyi prasasti dimaksud lebih lengkap, sebagai berikut:
IIb. 4. n kuta, tathapi tani kasidan dudukyan anak ditu dipakaya, undagi lancang, undagi
batu, undagi pengarung, me anada tu anak musirang ya marumah pande mas, pande besi
IIb. 5. pande tambaga, pamukul, pangending, pabunjing, papadaha, parbhangci,
partapukan, parbwayang, panakan di hyangali, tikasanna ……..
Kemudian diterjemahkan sebagai berikut :
IIb. 4. kota tidak boleh diambil oleh penduduk yang ada disana seperti tukang perahu,
tukang batu, tukang terowongan, dan kalau ada orang mengungsi tinggal berumah di sana
seperti pande mas, pande besi.
IIb. 5. pande tembaga, tukang tabuh, penyanyi, penari, tukang gupek, juru rebab, topeng,
wayang dibawa (dipersembahkan) di Hyang Api. Pajaknya ……
Prasasti Bebetin yang berangka tahun isaka 818 (baca juga Pandit Shastri,1963 hal 25 –
26) ini berarti sejak tahun 896 Masehi telah dikenal kata undagi, seperti: undagi lancang,

6

undagi batu, undagi pengarung. Untuk selanjutnya kita mendapat uraian mengenai makna
kata undagi dari terjemahan lontar-lontar asta kosali No: 231 Gedong Kertya, seperti:
Dewataning undagi nga, Sanghyang Prajapati, rupanya abang, sastranya swaranya “ang”,
genahnya ring tungtunging hati, marganing pasuk wetunya ring hidep, yan mijil ring jaba
rumaga ring budi mangreka, nga. Kang hidep gunawe hala-hayu nikang sikut. Mwah hana
wadwanira sanunggal nga., Bagawan Wiswakarma, rupanya kadi angin, sastranya
swaranya “ah” , genahnya ring patemoning rasa, marganing pasuk wetunya ring bayu, yan
mijil ring jaba magenah lepa-lepaning tangan kalih, nga. Sanghyang Bayu reka, ika rumaga
laksana.
Dewa undagi disebut Sanghyang Prajapati, rupanya merah simbol hurufnya “ANGKARA”
bunyinya “ang” tempatnya dipuncak hati pada jalan keluar masuknya pikiran. Jika ia keluar
berwujud “budi mangreka: yakni pikiran untuk membuat analisa variant alternatif
pengukuran atau ukur mengukur pendimensian pada bangunan. Ada pada kedua telapak
tangan berwujud ukuran, ini disebut Sanghyang Bayureka, Bagawan Wiswakarma sahaya
Sanghyang Prajapati, rupanya seperti angin, simbol hurufnya “AHKARA” bunyinya “ah”
tempatnya pada pertemuan rasa pada jalan keluar masuknya tenaga. Wujud ukuran
(gegulak) itulah bila ia keluar.
Perbandingan hasil-hasil penelusuran untuk menuju kepada kesimpulan, diambil dari
penelitian Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia, sebagai berikut :
Para sarjana berpendapat, bahwa agama itu diambil dari ilmu gaib (magic), tetapi ilmu gaib
adalah urusan yang berpusat pada manusia dan berusaha untuk mengontrol tindakan yang
suci (dari Tuhan) untuk kepentingan manusia. Agama sebaliknya berpusat pada Tuhan dan
bertujuan untuk membuat sifat dasar manusia dibawah kontrol Yang Maha Besar, walaupun
demikian agama sering berjalinan dengan gaib, dan jarang sekali murni.
Teori tentang alasan manusia percaya kepada suatu kekuatan yang dianggap lebih tinggi
daripadanya, dan teori tentang alasan manusia melakukan berbagai hal dengan cara-cara
yang beraneka warna untuk mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi. Ada
beberapa teori terpenting yang diajukan, di antaranya :
1. teori bahwa kelakuan yang bersifat kepercayaan terjadi karena manusia mulai sadar
akan adanya faham jiwa.
2. teori bahwa kelakuan yang bersifat kepercayaan terjadi karena manusia mengakui
adanya banyak gejala yang tidak dapat dterangkan dengan akalnya.
3. teori bahwa kelakuan yang bersifat kepercayaan terjadi dengan maksud untuk
menghadapi krisis-krisis yang ada dalam hidup manusia
4. teori bahwa kelakuan yang bersifat kepercayaan terjadi karena kejadian-kejadian yang
luar biasa dalam hidup dan alam sekelilingnya.
5. teori bahwa kelakuan yang bersifat kepercayaan terjadi karena suatu getaran atau
emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai warga masyarakat.
6. teori bahwa kelakuan yang bersifat kepercayaan terjadi karena manusia mendapat
firman dari Tuhan
Dari teori-teori itu dapat dimengerti mengapa di Indonesia sudah ada kepercayaankepercayaan jauh sebelum agama-agama dari luar masuk. Demikian pula yang terjadi di
Bali.
III. PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari uraian di muka, dapat ditarik dari bahasan sebelumnya hal-hal sebagai berikut :

7

1. pada jaman purba manusia Bali hidup secara berpindah-pindah (nomaden) dengan
cara hidup berburu dan bertempat di Goa-goa. Ini diperkirakan mulai abad 15 SM.
2. kehidupan bercocok tanam dan bertempat tinggal secara menetap dalam suatu
komunitas mulai dari abad 3 SM. Namun belum diketahui bagaimana bentuknya.
3. dengan adanya sarkofagus pada jaman batu, mulai dikenal konsep atas – bawah (luan
– teben). Desa-desa di Bali sampai saat ini masih menerapkan konsep hulu – teben ini.
4. kehidupan yang tertata dalam suatu masyarakat dengan sistem yang lebih maju sudah
nampak dalam catatan yang tertulis sejak abad 9 Masehi. Istilah pesanggrahan
maupun tempat pertapaan bagi bhiksu, desa sudah mulai dikenal yang pertama nama
desa banua Bharu. Tempat suci yang dikenal pertama secara tertulis adalah kuil Hyang
Api (kemungkinan yang ada di Gianyar). Jelas pula sudah dikenal sistem perhitungan
waktu atau pawarigan
5. stilah undagi sudah mulai dikenal sejak abad 9 Masehi, hal ini dibuktikan dari prasasti
Bebetin A I (896 Masehi)
DAFTAR PUSTAKA
Ardana I Gusti Gde, 1982. Sejarah Perkembangan Hinduisme di Bali.
Bernet Kempers A.J. 1956. Bali Purbakala. Penerbit dan Balai Buku Indonesia – Jakarta
Budihardjo Eko, 1983. Menuju Arsitektur Indonesia. Penerbit Alumni, Bandung.
Gelebet I Nyoman, 1986. Rumah di Tanah Variasi dan Perkembangannya. Makalah
Seminar Arsitektur Tradisional , Direktorat Sejarah dan tata nilai tradisional Dirjen
Kebudayaan, Surabaya
Gelebet I Nyoman, Arsitektur Tradisionil Bali. Tt – Oleh: Biro Kesra Fakultas Teknik
Universitas Udayana – Bali;
Geriya I Wayan, 1982. Antropologi Budaya Seri 4, Teori Antropologi Diakronis (sebuah
ikhtisar). Penerbit Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar;
Goris Roelof, 1954. Prasasti Bali, diterbitkan oleh Lembaga Bahasa dan Budaya (Fakultas
Sastra dan Filsafat) Universitas Indonesia – N.V. Masa baru, Bandung
Irawan Maryono, dkk. 1982. Pencerminan Nilai Budaya dalam Arsitektur di
Indonesia,Penerbit Djambatan, Jakarta.
Kardji I Wayan, 2001. Topeng Prembon Leluhur Orang Bali. CV. Bali Media Adikarsa,
Denpasar.
Pandit Shastri Narendra Dev, 1963, Sejarah Bali Dwipa, Denpasar – Bali;
Soeksmono, R., 1981, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indoensia Jilid 1. Penerbit Yayasan
Kanisius , Yogyakarta.
Soeksmono, R., 1990, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 2. Penerbit t
Yayasan Kanisius, Yogyakarta.
[1] Geriya, I Wayan, Teori Antropologi Diakronis. Perubahan budaya berdasar dua hal:
diakronis dan sinkronis
[2] Ada kemiripan dengan konsep lingga;
[3] Ada kemiripan dengan konsep yoni;
[4] Konsepsi Acala lingga, gunung sebagai lingga yang tak bergerak (diantaranya:
Mahameru di India; Semeru di Jawa Timur; Gunung Agung di Bali dan Rinjani di Lombok)

8