IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL PADA ANAK MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL (Studi di Kampoeng Dolanan Nusantara, Dusun Sodongan, Desa Bumiharjo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang).

(1)

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL PADA

ANAK MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL

(Studi di Kampoeng Dolanan Nusantara, Dusun

Sodongan, Desa Bumiharjo, Kecamatan

Borobudur, Kabupaten Magelang)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta untuk

Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh: Nurul Azizah

10413244025

JURUSAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2014


(2)

MeIaIui Permainan Tradisionat (Studi

di

Kampoeng Dolanan Nusantara, Dusun Sodongan, Desa Bumiharjo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang)" yang disusun oleh

Nurul

Azizah, NIM.10413244025

ini

telah disetujui oleh pembimbing untuk diujikan.


(3)

SURAT PERNYATAAN

Dengan

ini

saya menyatakan bahwa skripsi

ini

benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau

diterbitkan orang lain kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata

penulisan karyu ilmiah yang telah lazim.

Tanda tangan dosen penguji yang tertera dalam Jika tidak asli, saya siap menerima sanksi

berikutnya.

halaman pengesahan adalah asli.

ditunda yudisium pada periode

Agustus 2014

Nurul Azizah

NIM. 1041324402s


(4)

Melalui Permainan Tradisional (Studi

di

Kampoeng Dolanan Nusantara, Dusun Sodongan, Desa Bumiharjo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang)" yang disusun oleh

Nurul

Azizah, NIM.10413244025

ini

telah dipertahankan

di

depan Dewan Penguji pada tanggal 12 September 2014 darr

dinyatakan lulus.

Tangan Adi

cilik

Pi

Nur Hidayah, Puji Lestari, M.

Prof. Dr. Farida

Tanggal

g_q_2okl

I

L5-W-bq

l?:9?.?og

19:.?.Q:bt\

Yogyakarta,J2 Septemb er 2014 Fakultas Ilmu Sosial

Negeri Yogyakarta,

iv


(5)

v MOTTO

~~ Jika anda bertanya apa manfaat pendidikan,

maka jawabannya sederhana: pendidikan membuat orang menjadi baik dan orang baik tentu berperilaku mulia ~~

~(Plato)~

~~ Jalan yang kau tempuh,

harus indah seperti bunga dan kuat seperti pohon ~~ ~(Sanjuro Tsurugi)~

~~ Sometimes,

preparing the party is more enjoyable than the party it self ~~

~~ Hompimpa alaium gambreng ~~


(6)

vi

Dengan penuh rasa syukur kepada

Allah SWT, karya sederhana ini

aku persembahkan untuk :

Orang tua tercinta yang tanpa lelah selalu berjuang untuk anak-anaknya dan mendidik kami dengan penuh kesabaran, Bapak Musyafa’ dan Ibu Siti Masroh.

Dibingkiskan untuk adik-adik kecilku yang selalu aku sayangi Rosif, Fatih, Tika. Kelak kalian harus menjadi lebih hebat dariku.


(7)

vii

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL PADA ANAK MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL

(Studi di Kampoeng Dolanan Nusantara, Dusun Sodongan, Desa Bumiharjo, Kecamatan

Borobudur, Kabupaten Magelang)

Oleh Nurul Azizah

Abstrak

Penelitian ini mengkaji implementasi pendidikan multikultural pada anak melalui permainan tradisional di Kampoeng Dolanan Nusantara. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui media permainan tradisional apa saja yang digunakan untuk mengimplementasikan pendidikan multikultural pada anak, bagaimana proses implementasi tersebut, serta apa saja faktor pendorong dan penghambat proses implementasi pendidikan multikultural melalui permainan tradisional.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Subyek penelitian ini adalah pihak pengelola, laskar, dan pengunjung Kampoeng Dolanan Nusantara, yang ditentukan melalui teknik purposive sampling. Data penelitian diperoleh melalui teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Validitas dan reliabilitas data diperoleh dari teknik triangulasi sumber, diskusi dengan ahli, dan pemeriksaan sejawat. Data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis dengan tahap reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan multikultural di Kampoeng Dolanan Nusantara diimplementasikan menggunakan media permainan tradisional seperti gasing, wayang, gobag sodor, dakon, lagu-lagu dolanan dan lain-lain. Proses implementasi tersebut diawali dengan tahap pengenalan dan dilanjutkan tahap bermain. Nilai toleransi, kebersamaan, keadilan, empati, dan demokrasi ikut terimplementasi bersama dengan sejumlah fungsi dan tujuan pendidikan multikultural. Kegiatan pembelajaran yang menyenangkan dan keunikan permainan tradisional mampu mendorong terlaksananya proses implementasi pendidikan multikultural. Sementara masih kurangnya fasilitas penunjang dan belum lengkapnya permainan yang disediakan di Kampoeng Dolanan Nusantara menjadi hambatan tersendiri dalam proses implementasi pendidikan multikultural pada anak.

Kata Kunci : Pendidikan Multikultural, Permainan Tradisional, Kampoeng


(8)

viii

memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Implementasi Pendidikan Multikultural pada Anak Melalui Permainan Tradisional (Studi di Kampoeng Dolanan Nusantara, Dusun Sodongan, Desa Bumiharjo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang)” ini sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana pendidikan.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ajat Sudrajat M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial.

2. Ibu Prof. Dr. Farida Hanum, M.Si selaku pembimbing yang telah

memberikan banyak pengarahan dan masukan berharga kepada penulis.

3. Bapak Grendi Hendrastomo, M.M. M.A selaku Ketua Jurusan Pendidikan

Sosiologi.

4. Ibu Puji Lestari, M.Hum selaku penguji utama dalam skripsi ini.

5. Bapak Adi Cilik Pierewan, Ph.D selaku ketua penguji dalam skripsi ini.

6. Ibu Nur Hidayah, M.Si selaku sekretaris penguji dalam skripsi ini.

7. Seluruh dosen Pendidikan Sosiologi yang telah membimbing dan

memberikan banyak pengetahuan baru kepada penulis.

8. Seluruh staf dan karyawan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah


(9)

10.

11.

9.

Semua pihak

di

Kampoeng Dolanan Nusantaru yang telah mernbantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

Teman-teman Pendidikan Sosiologi 2010 yang telah banyak memberikan masukan dan pengalaman baru.

Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat

disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari batrwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan

kritik

dan saran yang mernbangun untuk hasil yang lebih baik

di

kemudian hari. Penulis berharap skripsi

ini

dapat menrberikan manfaat bagi sernua pihak.

Yogyakarta, 25 Agustus 2014 Penulis

\\4r

Nurul Azizah

1X


(10)

x

PERNYATAAN ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 10

C. Pembatasan Masalah ... 11

D. Rumusan Masalah ... 11

E. Tujuan Penelitian... 11

F. Manfaat Penelitian ... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Kajian Pustaka ... 14

1. Pendidikan Multikultural ... 14

2. Kajian Anak ... 18

3. Permainan Anak Tradisional... 21

B. Kajian Teori ... 29

C. Penelitian Relevan... 31


(11)

xi BAB III METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian... 36

B. Waktu Penelitian ... 36

C. Bentuk Penelitian ... 36

D. Sumber Data ... 37

E. Teknik Pengumpulan Data ... 38

F. Teknik Penentuan Informan ... 40

G. Validitas Data ... 41

H. Teknik Analisis Data ... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 45

1. Deskripsi Kampoeng Dolanan Nusantara ... 45

2. Deskripsi Informan ... 53

B. Analisis dan Pembahasan ... 58

1. Analisis Data ... 58

1.1.Implementasi pendidikan multikultural pada anak melalui media permainan tradisional ... 58

1.2.Faktor pendorong dan penghambat implementasi pendidikan multikultural melalui media permainan tradisional ... 78

2. Pembahasan... 83

C. Pokok Temuan Penelitian ... 86

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 88

B. Saran... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 92 LAMPIRAN


(12)

xii 3. Keterangan Kode

4. Hasil Observasi 5. Hasil Wawancara 6. Dokumentasi Kegiatan 7. Izin Penelitian


(13)

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL PADA ANAK MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL

(Studi di Kampoeng Dolanan Nusantara, Dusun Sodongan, Desa Bumiharjo, Kecamatan

Borobudur, Kabupaten Magelang)

Oleh Nurul Azizah

Abstrak

Penelitian ini mengkaji implementasi pendidikan multikultural pada anak melalui permainan tradisional di Kampoeng Dolanan Nusantara. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui media permainan tradisional apa saja yang digunakan untuk mengimplementasikan pendidikan multikultural pada anak, bagaimana proses implementasi tersebut, serta apa saja faktor pendorong dan penghambat proses implementasi pendidikan multikultural melalui permainan tradisional.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Subyek penelitian ini adalah pihak pengelola, laskar, dan pengunjung Kampoeng Dolanan Nusantara, yang ditentukan melalui teknik purposive sampling. Data penelitian diperoleh melalui teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Validitas dan reliabilitas data diperoleh dari teknik triangulasi sumber, diskusi dengan ahli, dan pemeriksaan sejawat. Data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis dengan tahap reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan multikultural di Kampoeng Dolanan Nusantara diimplementasikan menggunakan media permainan tradisional seperti gasing, wayang, gobag sodor, dakon, lagu-lagu dolanan dan lain-lain. Proses implementasi tersebut diawali dengan tahap pengenalan dan dilanjutkan tahap bermain. Nilai toleransi, kebersamaan, keadilan, empati, dan demokrasi ikut terimplementasi bersama dengan sejumlah fungsi dan tujuan pendidikan multikultural. Kegiatan pembelajaran yang menyenangkan dan keunikan permainan tradisional mampu mendorong terlaksananya proses implementasi pendidikan multikultural. Sementara masih kurangnya fasilitas penunjang dan belum lengkapnya permainan yang disediakan di Kampoeng Dolanan Nusantara menjadi hambatan tersendiri dalam proses implementasi pendidikan multikultural pada anak.

Kata Kunci : Pendidikan Multikultural, Permainan Tradisional, Kampoeng


(14)

1

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah teritorial sangat luas dan sekaligus merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Hal tersebut nampak dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam. Indonesia memiliki kurang lebih 13.000 pulau besar dan kecil dengan populasi penduduk lebih dari 200 juta jiwa, dan terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga menganut kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan (Yaqin, 2005: 4). Selain hal tersebut keragaman latar belakang masyarakat Indonesia juga nampak pada berbagai unsur sosial yang lain, khususnya dalam hal kebudayaan. Tingginya tingkat keragaman budaya dalam masyarakat menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat banyak sub kebudayaan atau kultur yang berkembang di suatu wilayah tertentu.

Sub kultur atau perbedaan karakteristik kultural dalam satu kelompok masyarakat di Indonesia dapat berupa banyak hal, misalnya sub kultur etnis; etnis Jawa, Sunda, Batak, Bali, Bugis dan lain-lain. Kemudian ada juga sub kultur agama; Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai keyakinan lokal (animisme dan dinamisme) lain yang tumbuh di dalam masyarakat. Selain itu sub kultur juga muncul dalam berbagai bentuk lain seperti bahasa, ras, adat istiadat, tradisi dan kesenian. Sub kultur atau


(15)

2

kebudayaan-kebudayaan lokal dari masyarakat Indonesia ini merupakan sebuah kekayaan budaya yang muncul karena heterogenitas masyarakat yang begitu tinggi. Banyaknya budaya lokal di dalam masyarakat juga menunjukkan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multikultur dan bukan monokultur.

Keragaman bentuk budaya bangsa Indonesia dapat kita temukan dalam berbagai unsur kehidupan masyarakat. Salah satunya dapat kita contohkan dari adat atau tradisi upacara kematian. Setiap masyarakat memiliki keyakinan berbeda tentang bagaimana memperlakukan orang yang telah meninggal agar arwahnya mendapat ketenangan. Misalnya pada masyarakat Nias, dimana mereka melangsungkan dua upacara adat sakral yaitu "Famalakhisi" dan "Fanörö Satua". Famalakhisi merupakan upacara perjamuan terakhir yang dilakukan untuk seorang ayahyang hampir meninggal, dan dalam upacara ini dihidangkan daging babi untuk perjamuan. Semua putera sang Ayah tersebut harus datang karena sang Ayah akan memberkati mereka agar tidak mengalami rintangan hidup. Kemudian Fanörö Satua, yaitu upacara mengantarkan roh/ arwah ke alam baka dengan tenang. Dalam upacara ini disajikan daging babi yang sangat banyak, dan bisa mencapai 200-300 ekor babi. Banyaknya jumlah daging babi yang disajikan dalam upacara ini juga menjadi sarana untuk

menunjukkan status sosial orang yang meninggal

(http://nias-web.blogspot.com). Berbeda dengan di Nias, masyarakat Bali yang sebagian besar beragama Hindu, melakukan Upacara Ngaben untuk membebaskan roh dari badan kasar. Upacara yang sangat filosofis dan mistis ini berfungsi untuk


(16)

mensucikan roh sehingga layak dipuja (Wijaya, 2011: 155-156). Jasad orang yang telah meninggal akan dibakar dan abunya dituangkan ke laut agar mendapat perlindungan dewa. Dalam upacara ini juga status sosial orang yang meninggal akan nampak. Semakin mewah dekorasi dan persiapan upacara yang dilakukan berarti semakin tinggi juga status sosial orang tersebut

(http://www.indonesia.travel).

Contoh di atas merupakan gambaran kecil keragaman budaya di Indonesia. Kenyataan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multikultur kadang tidak disikapi dengan cukup baik oleh masyarakat. Terkadang masyarakat tidak menyadari bahwa kebudayaan yang beragam merupakan sebuah kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan. Masyarakat malah cenderung menutup diri dan kurang menghargai budaya masyarakat lain. Hal ini berarti multikulturalisme telah memunculkan rasa harga diri dari suatu kelompok di dalam masyarakat. Rasa harga diri ini dapat disebut paham tribalisme yang tidak lain merupakan hak dari suatu kelompok untuk diakui keberadaannya dalam mengembangkan dan hidup di dalam kebudayaannya (Tilaar, 2004: 178). Ketika rasa harga diri ini tumbuh tanpa disertai kesadaran untuk saling bertoleransi maka pada akhirnya akan muncul berbagai masalah sosial.

Permasalahan kongkret yang muncul karena keragaman kultur dan latar belakang sosial masyarakat dapat kita lihat pada berbagai konflik sosial yang terjadi di Indonesia. Misalnya saja konflik disertai aksi kekerasan yang terjadi di Ambon Maluku tahun 1999-2002. Konflik yang dipicu oleh konflik


(17)

4

interpersonal meluas menjadi konflik etnis religius dan menghancurkan tatanan sosial, ekonomi, dan politik Ambon Maluku (Susan, 2010: 158). Kemudian juga konflik di Lampung Selatan yang terjadi pada tahun 2012 yang membuat sejumlah orang tewas dan ribuan lainnya harus mengungsi. Konflik yang dipicu karena kesalahpahaman antara dua kelompok warga ini pada akhirnya menimbulkan kerugian yang tidak sedikit (news.detik.com). Selain contoh tersebut masih ada banyak konflik sosial yang mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia dan memerlukan upaya penyelesaian yang tepat seperti misalnya konflik sekterian antara Sunni dan Syi’ah.

Gambaran kasus-kasus kerusuhan dan pertikaian etnis yang terjadi secara merata di negeri ini menegaskan kembali kepada kita, bahwa pluralitas budaya masyarakat Indonesia merupakan persoalan krusial yang perlu dikelola secara serius, sistematis, dan kontinyu dengan menukik pada akar persoalan (Kumbara, 2009: 533). Dengan demikian maka perlu dikembangkan suatu kesadaran tentang multikulturalisme di dalam masyarakat. Dengan memiliki suatu kesadaran multikultural maka diharapkan nantinya masyarakat akan mampu menerapkan sikap-sikap yang mendukung pada multikulturalisme seperti saling menghargai budaya lain, toleransi, dan tidak melakukan diskriminasi terhadap golongan masyarakat tertentu. Kumbara (2009: 534) menjelaskan bahwa salah satu langkah politis yang dianggap strategis yang perlu diambil oleh pemerintah bagi pengembangan kesadaran dan sikap multikulturalisme adalah melalui pendidikan multikultural. Hal senada juga diungkapkan oleh Zubaedi, menurut beliau guna mengantisipasi kemunculan


(18)

konflik yang bernuansa SARA tentunya dibutuhkan sebuah paradigma pendidikan multikultural. Paradigma pendidikan multikultural merupakan paradigma pendidikan yang melembagakan filsafat pluralisme budaya dalam sistem pendidikan dengan mengedepankan prinsip persamaan, saling menghargai, menerima dan memahami serta adanya komitmen moral terhadap keadilan sosial (Zubaedi, 2005).

Agar dapat memberikan hasil yang maksimal maka konsep pendidikan multikultural perlu dipahami dan diterapkan oleh setiap anggota masyarakat. Salah satu komponen penting dari masyarakat adalah anak. Sebagai bagian dari masyarakat maka anak juga perlu memahami tentang multikulturalisme. Agar anak dapat memahami tentang keragaman budaya disekitarnya maka tentunya ia perlu diperkenalkan dengan konsep pendidikan multikultur. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu anak mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, nilai dan kepribadian (diedit dari Zubaedi, 2005:65).

Secara tidak langsung pendidikan multikultural juga telah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional di Indonesia. Hal ini sesuai dengan yang termuat dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Pasal 4 Ayat 1 tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, yaitu “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Dengan demikian penyelenggaraan pendidikan multikultural merupakan


(19)

6

langkah pencegahan konflik yang juga sesuai dengan konsep pendidikan nasional.

Meski demikian upaya implementasi pendidikan multikultural kepada anak tidak harus dilakukan di lembaga pendidikan formal seperti sekolah. Pendidikan multikultural dapat diimplemetasikan melalui berbagai macam cara

dan media. Salah satu sarana yang dapat digunakan untuk

mengimplementasikan pendidikan multikultural kepada anak adalah melalui pendidikan informal di dalam masyarakat. Pendidikan informal yang digunakan di sini adalah melalui interaksi antara anak dengan lingkungan sekitarnya. Dalam berinteraksi anak memerlukan suatu sarana, salah satu sarana yang biasa digunakan dalam interaksi seorang anak adalah melalui permainan.

Permainan anak-anak memang sangat efektif untuk dijadikan sebagai media pembelajaran yang ideal untuk pengembangan jiwa anak dalam konteks pendidikan (Ariani, 2011: 51). Pada tahun 1840 Friedrich Frobel mendirikan taman anak pertama kali dan diberi nama Kindergarten, dimana taman anak tersebut diisi beberapa macam pelajaran dan salah satu metode pendidikannya adalah dengan menggunakan permainan. Permainan anak diakui sebagai metode yang sangat efektif untuk mengembangkan potensi dan kreatifitas anak. Karena secara simultan permainan anak tersebut bisa mengembangkan raga dan jiwa anak sekaligus, yaitu antara olah raga, olah pikir, olah seni, dan olah rasa. Oleh karenanya permainan dapat dijadikan sarana penanaman pendidikan pada anak, termasuk juga pendidikan multikultural. Namun demikian hal


(20)

tersebut tidak berarti kita bisa menggunakan semua jenis permainan untuk mengimplementasikan pendidikan multikultural. Nilai-nilai pendidikan akan tersampaikan dengan baik apabila sarana yang digunakan juga tepat. Secara umum permainan anak dapat dikategorikan dalam dua kategori, yaitu permainan anak tradisional dan permainan anak modern. Jika dikaitkan dengan pendidikan multikultural yang menyangkut banyak budaya dan masyarakat maka media yang tepat untuk digunakan adalah permainan tradisional. Permainan anak tradisional lebih bersifat sosial, sementara permainan anak modern lebih bersifat individual (Suyami, 2007: 206-207).

Upaya implementasi nilai-nilai pendidikan melalui media permainan tradisional saat ini memang tidak dapat kita temukan dengan mudah. Hal ini karena kemajuan zaman dan globalisasi yang telah masuk ke semua aspek kehidupan masyarakat telah mengikis eksistensi permainan tradisional nusantara, dan kondisi ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Ahli sejarah permainan anak-anak dari Inggris, Peter dan Iona Opie telah mengidentifikasi ratusan permainan anak-anak tradisional, hampir tak satu pun yang sekarang ini dimainkan secara rutin oleh anak-anak Amerika. Permainan anak-anak dimasa lalu dimainkan tanpa perlu instruksi, wasit atau penonton, permainan ini menggunakan tempat dan alat yang ada, permainan ini dimainkan demi sebuah alasan yang tak lain merupakan kegembiraan semata. Namun sekarang bukan lagi kesenangan yang dicari para pemain, tapi reputasi (Postman, 2009:14-15).


(21)

8

Kondisi ini merupakan suatu kenyataan yang memprihatinkan banyak pihak, salah satunya adalah bapak Endi Aras. Keprihatinannya akan eksistensi permainan tradisional nusantara telah mendorongnya untuk menggagas dan mendirikan sebuah wahana wisata edukasi yang di dalamnya terdapat berbagai macam permainan tradisional dari seluruh nusantara. Gagasannya tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk wahana wisata edukasi yang dinamai “Kampoeng Dolanan Nusantara”. Wahana ini didirikan di beberapa lokasi, salah satunya adalah di Dusun Sodongan Desa Bumiharjo Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang.

Kampoeng Dolanan Nusantara merupakan wahana wisata yang dibuat untuk melestarikan dan mengenalkan kembali permainan-permainan tradisional asli nusantara. Kampoeng Dolanan Nusantara juga merupakan sebuah media alternatif atau inovasi baru dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan kepada anak. Penanaman berbagai nilai edukasi kepada anak dengan menggunakan media permainan tradisional merupakan salah satu tujuan utama Kampoeng Dolanan Nusantara. Masa kanak-kanak yang sering dikenal dengan istilah “Masa Bermain” adalah masa yang selalu membutuhkan perkembangan. Menurut Al-Syaibany (1979) seperti dikutip Ariani (2011: 50) hal ini terjadi karena masa anak-anak merupakan masa yang ideal menjadi sasaran pendidikan dan pembinaan dikarenakan pada hakikatnya masa anak-anak memiliki pribadi yang utuh sebagai manusia namun belum berkembang. Dengan kesadaran tersebut kemudian muncul Kampoeng Dolanan Nusantara sebagai wahana wisata edukasi yang menggabungkan dunia bermain dan


(22)

belajar bagi anak-anak. Penggunaan permainan tradisional nusantara untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan, diharapkan dapat membuat anak belajar dengan perasaan senang dan bisa menerima pesan-pesan yang terkandung dari setiap permainan yang ada. Karena secara tidak disadari seorang anak akan mendapatkan banyak sekali ilmu melalui permainan tradisional. Paling tidak terdapat nilai pendidikan karakter dan pendidikan multikultural dalam permainan tradisional.

Permainan tradisional sendiri pada dasarnya telah menggambarkan konsep multikultural. Karena biasanya permainan tradisional yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat mencerminkan warna kebudayaan setempat (Suyami, 2007: 208). Berdasarkan uraian yang ada, maka peneliti kemudian melakukan penelitian tentang bagaimana proses implementasi pendidikan multikultural pada anak melalui permainan tradisional. Peneliti merasa topik ini perlu diteliti karena implementasi pendidikan multikultural pada anak merupakan suatu hal yang penting dan perlu dipahami secara mendalam. Terlebih ketika proses tersebut dilakukan diluar lembaga formal, dan dengan media permainan tradisional yang saat ini sudah mulai dilupakan. Selain itu kajian terkait implementasi pendidikan multikultural pada anak dengan media permainan tradisional juga masih belum banyak dilakukan.


(23)

10

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang ada, maka dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Keragaman latar belakang sosial yang ada pada masyarakat Indonesia sering

kali menimbulkan konflik sosial.

2. Metode pendidikan untuk anak yang sudah ada selama ini cenderung masih

kurang bervariasi.

3. Belum maksimalnya pemanfaatan wahana wisata untuk menanamkan

nilai-nilai pendidikan pada anak.

4. Adanya kecenderungan pada anak dimana mereka memainkan sebuah

permainan dengan hanya mengambil nilai hiburan dan mengesampingkan nilai edukasi.

5. Permainan tradisional nusantara semakin hilang dari masyarakat.

6. Masih minimnya wahana wisata edukasi yang menyajikan permainan

tradisional untuk anak.

7. Rasa individualisme yang semakin besar pada anak yang muncul karena

kurangnya sosialisasi dengan teman sebaya dan lingkungan.

8. Permainan tradisional sebagai wahana implementasi pendidikan

multikultural anak sejak dini belum banyak diketahui masyarakat luas.

9. Permainan tradisional yang sudah dikembangkan di Kampoeng Dolanan


(24)

C.Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penelitian ini perlu dibatasi pada fokus yang lebih sempit. Penelitian ini dibatasi pada implementasi pendidikan multikultural pada anak melalui permainan tradisional di Kampoeng Dolanan Nusantara.

D.Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah yang ada maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Media permainan tradisional apa saja yang ada di Kampoeng Dolanan

Nusantara yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan pendidikan multikultural pada anak?

2. Bagaimana proses implementasi pendidikan multikuktural pada anak

melalui media permainan tradisional?

3. Apa faktor pendukung dan penghambat implementasi pendidikan

multikultural melalui permainan tradisional tersebut pada anak?

E.Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang ada maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :


(25)

12

1. Mengetahui media permainan tradisional apa saja yang ada di Kampoeng

Dolanan Nusantara yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan pendidikan multikultural pada anak.

2. Mengetahui proses implementasi pendidikan multikuktural pada anak

melalui media permainan tradisional.

3. Mengetahui faktor pendukung dan penghambat implementasi pendidikan

multikultural melalui permainan tradisional tersebut pada anak.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan berbagai manfaat positif kepada berbagai pihak. Adapun manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada mata kuliah Sosioantropologi pendidikan dan mata kuliah masyarakat multikultural, khususnya pada konsep multikultural dan pada media implementasinya.

2. Manfaat praktis

a. Bagi Mahasiswa

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan sumber informasi untuk penelitian sejenis.


(26)

b. Bagi Masyarakat

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

masyarakat terkait bagaimana proses implementasi pendidikan multikultural pada anak melalui permainan tradisional.

2) Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi pada masyarakat luas

tentang keberadaan Kampoeng Dolanan Nusantara yang dapat menjadi media implementasi pendidikan multikultural pada anak-anak Indonesia.


(27)

14 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

A.Kajian Pustaka

1. Pendidikan Multikultural

Gibson menyebutkan bahwa pendidikan multikultural adalah sebuah proses di mana individu mengembangkan cara-cara mempersepsikan, mengevaluasi berperilaku dalam sistem kebudayaan yang berbeda dari sistem kebudayaan sendiri (Hanum, 2011:82). Pendidikan pluralis-multikultural adalah pendidikan yang memberikan penekanan terhadap proses penanaman cara hidup yang saling menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup ditengah-tengah masyarakat dengan tingkat pluralitas yang tinggi. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan akan lahir kesadaran dan pemahaman secara luas yang diwujudkan dalam sikap yang toleran, bukan sikap yang kaku, eksklusif, dan menafikan eksistensi kelompok lain maupun mereka yang berbeda, apa pun bentuk perbedaannya. Dalam konteks Indonesia yang sarat dengan kemajemukan, pendidikan pluralis-multikultural memiliki peranan yang sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif (Naim dan Sauqi, 2011: 191).

Istilah multikultural dalam konsep pendidikan multikultural sendiri berakar dari kata kultur yang secara umum sering diartikan sebagai budaya dan kebiasaan sekelompok orang pada daerah tertentu. Oleh sebab itu adanya pemahaman tentang kultur akan dapat membantu kita memahami


(28)

konsep pendidikan multikultural dengan lebih baik. Kultur memiliki makna yang sangat luas dan beragam, para ahli juga memberikan definisi berbeda-beda tentang kultur. Untuk mempermudah dalam memahami makna kultur, Conrad P. Kottak seperti dikutip Ainul Yaqin (2005) menjelaskan bahwa kultur mempunyai karakter-karakter khusus, meliputi:

a. kultur adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus. General

artinya setiap manusia di dunia ini mempunyai kultur, dan spesifik berarti setiap kultur pada kelompok masyarakat adalah bervariasi antara satu dan lainnya, tergantung pada kelompok masyarakat mana kultur itu berada,

b. kultur adalah sesuatu yang dipelajari, dan hal ini terkait dengan

pembelajaran kultural. Pembelajaran kultural yaitu suatu kemampuan unik pada manusia dalam membangun kapasitasnya untuk menggunakan simbol-simbol atau tanda-tanda yang tidak ada hubungannya dengan asal usul di mana mereka berada,

c. kultur adalah sebuah simbol, dalam hal ini simbol dapat berbentuk

sesuatu yang verbal dan non-verbal, dapat juga berbentuk bahasa khusus yang hanya dapat diartikan secara khusus pula atau bahkan tidak dapat diartikan ataupun dijelaskan,

d. kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami. Disini

kultur dapat mempengaruhi kebiasaan yang berkembang di masyarakat dan kultur juga dapat menyesuaikan diri dengan keadaan alam secara alamiah di mana mereka berada,


(29)

16

e. kultur adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama yang menjadi

atribut bagi individu sebagai anggota dari kelompok masyarakat,

f. kultur adalah sebuah model, artinya kultur bukan kumpulan adat istiadat

dan kepercayaan yang tidak ada artinya sama sekali. Kultur adalah sesuatu yang disatukan dan sistem-sistem yang tersusun dengan jelas,

g. kultur adalah sesuatu yang bersifat adaptif. Artinya kultur merupakan

sebuah proses bagi sebuah populasi untuk membangun hubungan yang baik dengan lingkungan di sekitarnya sehingga semua anggotanya melakukan usaha maksimal untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan.

Dengan bekal pemahaman tentang kultur selanjutnya kita dapat lebih mudah memahami konsep pendidikan multikultural. James A. Banks merumuskan bahwa pendidikan multikultural adalah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara (Tilaar, 2004: 181). Kemudian lain halnya dengan Ainurrafiq Dawam (Naim dan Sauqi, 2011: 50) yang menjelaskan bahwa pendidikan multikultural adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan


(30)

setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari mana pun dia datangnya dan berbudaya apa pun dia.

Keberadaan pendidikan multikultural di dalam masyarakat tidak terlepas dari adanya suatu fungsi yang ia bawa. The National Council for

Social Studies (Hanum, 2011: 101) mengemukakan sejumlah fungsi penting

dari pendidikan multikultural, yaitu:

a. memberi konsep diri yang jelas,

b. membantu memahami pengalaman etnis dan budaya ditinjau dari

sejarahnya,

c. membantu memahami bahwa konflik antara ideal dan realitas itu

memang ada pada setiap masyarakat,

d. membantu mengembangkan pembuatan keputusan (decision making),

partisipasi sosial dan keterampilan kewarganegaraan (citizenship skills),

e. mengenal keberagaman dalam penggunaan bahasa.

Kemudian menurut Zubaedi (2005: 71) pendidikan multikultural juga sekurang-kurangnya memiliki lima tujuan, yaitu:

a. meningkatkan pemahaman diri dan konsep diri secara baik,

b. meningkatkan kepekaan dalam memahami orang lain, termasuk terhadap

berbagai kelompok budaya di negaranya sendiri dan negara lain,

c. meningkatkan kemampuan untuk merasakan dan memahami

kemajemukan, interpretasi kebangsaan dan budaya yang kadang-kadang bertentangan menyangkut sebuah peristiwa, nilai dan perilaku,


(31)

18

e. memahami latar belakang munculnya pandangan klise atau kuno,

menjauhi pandangan stereotipe dan mau menghargai semua orang.

Singkatnya paradigma pendidikan multikultural diharapkan dapat menghapus stereotipe, sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif dikalangan anak didik. Sebaliknya senantiasa dikondisikan bagi tumbuhnya pandangan komprehensif terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan sekeliling yang realitasnya terisi atas pluralitas etnis, ras, agama, budaya dan kebutuhan. Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya serta mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri. Dari sini dapat digarisbawahi, bahwa nilai dasar dalam pendidikan multikultural adalah toleransi. Sikap toleran ini tidak akan tertanam dengan sendirinya, melainkan harus ada usaha sadar untuk menginternalisasikannya (Zubaedi, 2005). Terlebih lagi jika sasarannya adalah anak-anak, toleransi dan pendidikan multikultural harus ditanamkan sejak dini melalui berbagai media dan lembaga, tidak harus terpaku kepada lembaga formal dan pemerintah.

2. Kajian Anak

Seluruh masa hidup manusia dapat dibagi menjadi dua masa utama, yakni masa sebelum lahir (masa dalam kandungan) dan masa sesudah lahir.


(32)

Pada masa sesudah lahir, manusia juga mengalami berbagai tahap perkembangan yang berlangsung secara berurutan atau berkesinambungan melalui periode atau masa tertentu. Menurut pendapat Santrock yang dikutip Yusuf dan Sugandhi (2012: 9) periode perkembangan itu terdiri atas tiga periode, yaitu anak (childhood), remaja (adolescence), dan dewasa (adulthood). Salah satu masa terpenting dalam perkembangan manusia adalah pada masa anak atau usia dini. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, pada Pasal 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak memiliki tujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Tujuan perlindungan tersebut harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin karena usia dini merupakan masa perkembangan dan pertumbuhan yang sangat menentukan perkembangan masa selanjutnya. Berbagai studi yang dilakukan para ahli menyimpulkan bahwa pendidikan anak sejak usia dini dapat memperbaiki prestasi dan meningkatkan produktivitas kerja masa dewasanya. Erickson mengemukakan bahwa masa kanak-kanak merupakan gambaran manusia sebagai manusia. Perilaku yang berkelainan pada masa dewasa dapat dideteksi pada masa kanak-kanak (Yusuf dan Sugandhi, 2012:


(33)

20

47). Selain itu perkembangan pada masa kanak-kanak juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan perilaku sosial yang ia miliki kelak. Perilaku sosial pada anak sudah berkembang sejak ia masih bayi. Pada masa bayi perilaku sosial pada anak sudah dapat dilihat seperti bagaimana anak mau diajak orang lain, dan dengan orang banyak ia menunjukkan keceriaan. Hal tersebut sudah mulai menunjukkan terbentuknya perilaku sosial yang seiring dengan perkembangan usia. Perubahan perilaku sosial juga dapat berubah sesuai dengan lingkungan yang ada, seperti bagaimana anak sudah mau bermain dengan kelompoknya yaitu anak-anak (Azis, 2005).

Jika ditinjau secara sosiologis maka perkembangan dapat dijelaskan sebagai proses sosialisasi atau proses memasyarakatkan anak. Anak-anak yang pada awalnya masih bersifat a-sosial atau pra-sosial, dalam perkembangannya sedikit demi sedikit mulai disosialisasikan. Perilaku anak kemudian akan mengalami penyesuaian dengan tuntutan norma masyarakatnya, dan hal ini dapat dicapai melalui proses pendidikan. Seorang tokoh pedagog sosiologis yaitu Baldwin memberikan konsep tentang perkembangan anak sebagai proses sosialisasi dalam bentuk meniru atau imitasi yang berlangsung secara adaptasi dan seleksi. Proses peniruan ini terjadi melalui tiga fase (Fudyartanta, 2010) :

a. Fase proyektif, pada taraf ini anak mendapatkan kesan mengenai model

atau objek yang ditiru;

b. Fase subjektif, anak cenderung meniru gerakan-gerakan atau sikap model


(34)

c. Fase objektif, anak telah menguasai hal yang ditirunya, sehingga anak dapat mengerti bagaimana orang merasakan, berpikir, berangan-angan, berbuat, dan seterusnya.

Melalui fase-fase inilah kemudian anak menjadi berkembang dan menerima proses sosialisasi atau disebut juga penyesuaian sosial. Lebih lanjut lagi proses sosialisasi dimulai dengan meniru mentah-mentah apa adanya, berkembang menjadi internalisasi atau penyerapan nilai, dan kemudian distrukturalisasi sehingga terjadi stratifikasi nilai-nilai. Setelah itu terjadilah proses institusionalisasi, artinya nilai-nilai yang diserap tadi kemudian menjadi pedoman tingkah laku anak dan mengatur hidupnya dimasyarakat. Jika anak mendapat sosialisasi yang tepat maka ia akan mampu mengembangkan sebuah perilaku sosial yang baik yang akan ia bawa hingga dewasa kelak.

3. Permainan Anak Tradisional

Permainan merupakan sebuah media sosialisasi dan interaksi yang diciptakan oleh masyarakat untuk suatu tujuan tertentu, baik itu tujuan yang sifatnya hiburan maupun tujuan edukatif. Permainan juga merupakan sebuah unsur budaya yang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat khususnya anak-anak. Menurut Christriyati Ariani (Munawaroh, 2011: 209) dunia anak sering diidentikkan dengan dunia bermain. Bermain adalah merupakan suatu masa yang sangat membahagiakan bagi diri si Anak. Dari situlah anak-anak dapat menyerap pendidikan nilai-nilai budaya tertentu yang dapat dijadikan


(35)

22

sebagai pembentuk kepribadiannya dan dapat dijadikan bekal dalam kehidupan saat dewasa kelak. Dengan bermain si Anak dapat terangsang untuk mengembangkan dirinya sebagai sarana dalam proses pembudayaan atau sosialisasi. Kemudian juga melatih anak untuk berfikir secara rasional, ketangkasan, bertanggung jawab, belajar dalam pergaulan dengan teman sebayanya yang mempunyai pandangan yang berbeda.

Istilah permainan berasal dari kata dasar main yang merupakan kata kerja, dimana maknanya adalah melakukan permainan untuk menyenangkan hati atau melakukan perbuatan untuk bersenang-senang baik menggunakan alat-alat tertentu atau tidak menggunakan alat. Permainan merupakan kata benda yang digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang jika dilakukan dengan baik akan menyenangkan hati si pelaku (Direktorat Permuseuman, 1998:1). Berdasarkan pengertian yang ada, berarti suatu permainan harus bisa menciptakan atau menimbulkan rasa senang bagi pelakunya. Sehubungan dengan hal tersebut Ki Hajar Dewantara seperti dikutip Munawaroh (2011: 211) menganjurkan adanya syarat-syarat yang perlu dimiliki dalam sebuah permainan, khususnya permainan anak yang ditujukan untuk pendidikan, yaitu:

a. Permainan harus menyenangkan dan menggembirakan anak, karena

kegembiraan adalah pupuk bagi tumbuhnya jiwa. Sebaliknya, kesusahan akan menghambat kemajuan jiwa anak.


(36)

b. Permainan harus memberi kesempatan kepada anak untuk berfantasi. Anak jangan dibebani pekerjaan yang memaksa untuk meniru sesuatu yang tidak hidup dalam jiwanya.

c. Permainan harus mengandung semacam tantangan, sehingga merangsang

daya kreatifitas untuk terus meningkatkan kemampuan guna mencapai suatu kemenangan atau kepuasan tertentu, karena rasa kemenangan akan sangat memajukan kecerdasan jiwa.

d. Permainan hendaknya mengandung keindahan atau nilai seni, karena rasa

keindahan akan menarik jiwa ke arah keluhuran budi.

e. Permainan harus mengandung isi yang dapat mendidik anak-anak ke arah

ketertiban, kedisiplinan, dan sportivitas, karena ketertiban akan mendidik rasa kesosialan yang akan sangat berguna bagi hidupnya kelak.

Permainan anak pada dasarnya memiliki keragaman yang tinggi, sehingga dapat dikelompokkan dalam berbagai kategori. Pengelompokan permainan anak yang pertama yaitu berdasarkan perkembangan tahap bermain pada anak (Fudyartanta, 2010: 332-333) yaitu:

a. Permainan fungsi atau permainan gerak. Permainan ini diterapkan pada

bayi yang berumur 1-3 bulan yang sedang belajar bergerak dan memperhatikan hal-hal disekitarnya. Biasanya pada boks tempat tidur bayi akan digantungkan mainan berwarna-warni yang dapat bersuara. Ketika mainan digerakkan maka bayi akan memperhatikannya dan mendengarkan suara yang muncul. Permainan semacam ini akan membantu pertumbuhan dan perkembangan fungsi tubuh anak.


(37)

24

b. Permainan bentuk. Permainan ini dilakukan saat anak sudah dapat

berjalan dan bermain dengan teman-temannya. Misalnya ia akan membuat gunung dari gundukan pasir atau bentuk-bentuk lain sesuai keinginannya.

c. Permainan fantasi dan peran. Pada tahap selanjutnya anak akan mampu

mengumpamakan sebuah benda menjadi wujud benda lain. Misalnya ia bermain dengan tangkai daun pisang dan menganggapnya sebagai senapan, sobekan kertas sebagai uang, dan lain-lain.

d. Permainan reseptif. Merupakan permainan yang bersifat menerima,

misalnya anak bermain sambil mendengarkan cerita dari ibunya, melihat foto atau gambar, dan lain-lain.

e. Permainan sukses. Permainan ini biasanya memiliki nilai kompetitif

dimana ada hasil kesuksesan yang dapat diraih. Misalnya lomba menggambar, lomba lari, menari, dan sebagainya.

Kemudian permainan juga dapat dikelompokkan berdasarkan kegiatannya. Berdasarkan kegiatannya permainan anak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bermain aktif dan bermain pasif. Bermian aktif adalah jenis bermain dimana kegembiraan anak muncul dari apa yang telah dilakukan, seperti berkejar-kejaran, melukis, bermain drama, dan lain-lain. Bermain pasif adalah jenis bermain dimana anak memperoleh kegembiraan melalu usaha yang dilakukan orang lain, seperti mendengar dongeng, menonton permainan orang lain, menonton televisi, membaca buku, dan sebagainya (Suyami, 2007: 206). Sementara jika dilihat secara umum maka


(38)

permainan anak dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu permainan anak tradisional dan permainan anak modern (Sujarno, 2011 dan Suyami, 2007).

a. Permainan Anak Modern

Permainan modern yang dimaksud dalam konteks ini adalah jenis permainan yang menggunakan sarana atau alat bermainnya produk dari pabrik (pabrikan). Permainan anak modern muncul karena adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Permainan modern dianggap dapat meningkatkan kecerdasan dan daya kreatifitas anak. Namun permainan modern lebih bersifat individual, di mana dalam bermain anak tidak melakukan suatu interaksi sosial atau terlibat secara emosional dengan teman-temannya. Hal ini berakibat pada terbentuknya generasi yang cenderung egois dan tidak mampu memahami lingkungannya dengan baik. Permainan modern juga secara perlahan dan tidak disadari akan menjauhkan anak dari pergaulan sosial di lingkungan masyarakatnya.

b. Permainan Anak Tradisional

Permainan anak tradisional merupakan perwujudan dari kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun di dalam masyarakat. Permainan tradisional juga diciptakan dengan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sarana bermain. Permainan ini lebih bersifat sosial karena anak terlibat secara emosional dengan teman-temannya dan merasa saling membutuhkan dimana hal tersebut akan membuat anak memiliki rasa toleransi dan mampu memahami orang lain. Permainan tradisional juga


(39)

26

mengandung berbagai pesan moral yang akan bermanfaat bagi perkembangan mental anak dan mempengaruhi kualitas anak ketika ia mulai tumbuh menjadi dewasa.

Permainan tradisional anak pada dasarnya bisa dijadikan media pembelajaran dan pendidikan yang sangat luar biasa. Permainan tradisional bila kita cermati lebih mendalam adalah model pendekatan pendidikan yang dilakukan melalui media pembelajaran permainan yang dilakukan untuk mendidik dan membentuk karakter anak-anak. Pada umumnya permainan tradisional untuk anak-anak berkaitan dengan ketangkasan, kesabaran emosional, ketrampilan, kecermatan, dan kecerdasan otak, serta pembentukan karakter dan budi pekerti yang baik (Ariani, 2011: 53). Permainan tradisional sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu (permainan) yang dilakukan dengan berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun-temurun dan dapat memberikan rasa puas atau senang bagi si pelaku (Direktorat Permuseuman, 1998:1). Karena istilah tradisional dalam permainan tradisional dapat diartikan sebagai suatu sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat yang ada secara turun-temurun di dalam masyarakat. Adat tersebut merupakan perwujudan dari gagasan kebudayaan yang didalamnya terdapat nilai, norma, hukuman, dan aturan yang saling terkait menjadi sebuah sistem.

Berdasarkan pengertian di atas maka permainan tradisional merupakan segala bentuk permainan yang sudah ada sejak dulu dan diwariskan secara


(40)

turun temurun dari generasi ke generasi. Umumnya permainan tradisional sulit untuk dicari dari mana asalnya atau siapa penciptanya. Biasanya permainan tradisional yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat mencerminkan warna kebudayaan setempat (Suyami, 2007: 208). Berbagai unsur khas yang dibawa oleh sebuah permainan tradisional tersebut sangat dipengaruhi oleh bagaimana latar belakang sosial masyarakat pembuatnya. Keadaan geografis, alam, lingkungan floradan fauna Indonesia sangat berbeda-beda dari pulau besar, pulau kecil, pegunungan, lembah sungai, dataran rendah, laut-laut pemisah akan menimbulkan banyak adat, tradisi sampai banyaknya berbagai jenis permainan di berbagai daerah dan lain-lain (Direktorat Permuseuman, 1998).

Selain memiliki karakteristik yang berbeda-beda, permainan tradisional juga mengandung berbagai macan nilai budaya yang bermanfaat untuk perkembangan jiwa anak. Nilai-nilai tersebut akan menjadi bekal dan modal dasar yang membentuk mental dan moral anak ketika ia mulai tumbuh dewasa. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai sportivitas, demokrasi, kepemimpinan, ketaatan pada peraturan, kejujuran, kedisiplinan, ketertiban, kerukunan, kegotongroyongan dan kerja sama, serta nilai tanggung jawab. Selain mengandung berbagai nilai budaya tadi, permainan tradisional juga mengajarkan berbagai sisi positif pada anak (Ariani, 2011: 53-54), misalnya:


(41)

28

a. Permainan anak selalu melahirkan nuansa suka cita. Dalam permainan

tersebut jiwa anak terlihat secara penuh. Suasana ceria, senang yang dibangun senantiasa melahirkan dan menghasilkan kebersamaan yang menyenangkan. Inilah benih masyarakat yang “guyub rukun” itu dimulai. Jarang sekali permainan yang berguna untuk dirinya sendiri.

b. Keguyuban itu dibangun secara bersama-sama. Artinya, demi menjaga

permainan dapat berlangsung secara wajar, mereka mengorganisir diri dengan membuat aturan main diantara anak-anak sendiri.

c. Keterampilan anak senantiasa terasah, anak terkondisi membuat

permainan dari berbagai bahan yang telah tersedia di sekitarnya. Kreatifitas anak semakin terasah dan meningkatkan daya cipta serta imajinasi anak.

d. Pemanfaatan bahan-bahan permainan selalu tidak terlepas dari alam, hal

ini melahirkan interaksi anatara anak dan lingkungan sedemikian dekatnya. Kebersamaan dengan alam merupakan bagian terpenting dari proses pengenalan manusia muda terhadap lingkungan hidupnya.

e. Hubungan yang sedemikian erat akan melahirkan penghayatan terhadap

kenyataan hidup manusia. Alam menjadi sesuatu yang dihayati keberadaannya, tak terpisahkan dari kenataan hidup manusia. penghayatan inilah yang membentuk cara pandang serta penghayatan akan totalitas cara pandang mengenai hidup ini (kosmologi). Cara pandang inilah yang kemudian dikenal sebagai bagian dari sisi kerohanian manusia tradisional.


(42)

Kemudian permainan anak tradisional juga dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam. Menurut Ki Hadisukatno (Fudyartanta, 2010) seorang pamong kesenian di Taman Siswa Ibu Pawiatan permainan anak tradisional dapat dikelompokkan dalam lima macam, yaitu:

a. Permainan yang bersifat menirukan perbuatan orang dewasa.

b. Permainan untuk mencoba kekuatan dan kecakapan. Permainan tersebut

secara tidak disadari oleh anak telah melatih kekuatan dan kecakapan jasmani.

c. Permainan untuk melatih panca indra yang tanpa disadari anak sedang

melatih kecakapan meraba dengan tangan, menghitung bilangan, memperkirakan jarak, menajamkan penglihatan dan pendengaran, dan melatih keterampilan tangan.

d. Permainan dengan latihan bahasa yang menumbuhkan kecakapan

berbahasa dan meningkatkan kecerdasan anak.

e. Permainan dengan lagu dan irama yang melatih anak dalam hal seni

suara dan seni irama.

B. Kajian Teori

Teori yang digunakan untuk mengkaji penelitian tentang implementasi pendidikan multikultural pada anak melalui permainan tradisional ini adalah teori interaksionisme simbolik. Salah satu tokoh penting dalam teori interaksionisme simbolik adalah George Herbert Mead. Ritzer dan Goodman (2011) menyebutkan bahwa secara substantif teori Mead menitikberatkan dan


(43)

30

memprioritaskan dunia sosial. Jadi dari dunia sosial inilah kesadaran, pikiran, diri dan lain sebagainya muncul. Teori ini memperhatikan bagaimana aksi, interaksi, dan interdependensi seseorang dalam masyarakat. Dalam teori ini individulah yang menjadi pusat perhatian. Bagaimana pemaknaan seorang individu terhadap interaksi sosial dan simbol menjadi sesuatu yang penting. Teori interaksionisme simbolik menekankan bagaimana interaksi sosial dapat membangun aturan dan identitas seseorang. Setiap orang mampu menganalisis apa yang ada di sekitarnya dan kemudian merespon dan menentukan tindakan yang akan dilakukannya. Jadi nilai dan perilaku seseorang berkembang melalui proses interaksi sosial dengan menggunakan simbol-simbol tertentu.

Mead juga berbicara tentang bagaimana proses individu menjadi anggota organisasi yang kita sebut masyarakat. Mead menjelaskan bahwa diri atau self mengalami internalisasi kebiasaan-kebiasaan sosial yang ada di dalam masyarakat. Diri ini juga berkembang ketika orang belajar “mengambil peranan orang lain” serta mengakui dan mempertimbangkan peranan yang dibawa orang lain tersebut. Kesadaran tentang adanya keberadaan dan peranan orang lain ini muncul melalui suatu interaksi. Interaksi-simbolis dilakukan dengan menggunakan bahasa sebagai satu-satunya simbol yang terpenting, dan melalui isyarat. Interaksi ini dilakukan dengan tujuan untuk menyampaikan suatu makna tertentu (Poloma, 2004).

Dalam hal ini simbol-simbol yang digunakan adalah permainan tradisional. Teori ini terkait dengan bagaimana seorang anak menerima pesan yang disampaikan lewat sebuah permainan dan kemudian memberikan respon


(44)

sebagai umpan balik. Melalui permainan tradisional seorang anak melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Di lingkungan tersebut terdapat teman-teman sebaya, orang dewasa, serta lingkungan alam lainnya. Dengan media permainan tradisional anak akan berinteraksi dengan mereka dan memberikan respon yang berbeda-beda sebagai hasil penerimaannya akan suatu tindakan dari lingkungan di luar dirinya. Disini orang dewasa dan lingkungan akan memberikan rangsangan terkait pendidikan multikultur dengan melakukan proses interaksi dengan anak melalui kegiatan permainan. Kemudian akan ada hasil yang berbeda pada setiap anak terkait sejauh apa anak dapat menerima dan memberikan respon atas aksi yang telah diberikan oleh lingkungannya. Pendidikan multikultural akan terimplementasi dengan baik pada anak, ketika interaksi yang dilakukan berjakan dengan baik dan anak dapat memahami pesan yang ingin disampaikan kepada dirinya.

C.Penelitian Relevan

Penelitian relevan yang sebelumnya pernah dilakukan terkait implementasi pendidikan adalah sebagai berikut:

a. Penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Farida Hanum dan Sisca

Rahmadonna pada tahun 2009. Penelitian tersebut berjudul “Implementasi Model Pembelajaran Multikultural di Sekolah Dasar di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa para guru sudah mulai memahami apa itu pendidikan multikultural dan bagaimana mengimplementasikan pendidikan multikultural disekolah, salah


(45)

32

satunya dengan bantuan buku pegangan guru yang dikembangkan peneliti. Persamaan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah sama-sama meneliti tentang implementasi pendidikan multikultural dan salah satu sasaran dari implementasi pendidikan multikultural ini adalah siswa SD dan anak-anak yang usianya kurang lebih sama. Sedangkan perbedaan penelitian terletak pada media yang digunakan untuk mengimplementasikan pendidikan multikultural serta lokasi penelitian. Pada penelitian yang dilakukan oleh Farida Hanum dan Sisca Rahmadonna media yang digunakan adalah berupa modul pembelajaran dan penelitian dilakukan di sejumlah lembaga pendidikan formal yaitu sekolah dasar di Yogyakarta. Sementara penelitian yang akan peneliti lakukan menggunakan media permainan tradisional dan dilakukan di lembaga pendidikan informal Kampoeng Dolanan Nusantara.

b. Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Esti Andriani, dosen Jurusan

Administrasi Pendidikan FIP UNY yang berjudul “Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah Melalui Pengembangan Kepemimpinan Siswa”. Penelitian ini membahas pentingnya implementasi pendidikan karakter pada peserta didik di sekolah. Kesamaan antara penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah keduanya menekankan pada penanaman nilai-nilai sosial dan moral kepada anak. Penanaman nilai ini mentargetkan pada terjadinya perubahan perilaku siswa atau anak agar lebih didasarkan pada pemahaman tentang nilai-nilai demokratis, perbedaan nilai dan norma, dan lain-lain. Sementara perbedaannya terdapat pada nilai


(46)

pendidikan yang ditanamkan yaitu pendidikan karakter dan pendidikan multikultural. Perbedaan lainnya terdapat pada metode atau media yang digunakan untuk mengimplementasikan pendidikan-pendidikan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Esti Andriani menggunakan metode

pengembangan kepemimpinan siswa untuk mengimplementasikan

pendidikan karakter pada siswa. Sementara penelitian yang akan peneliti lakukan menggunakan permainan tradisional untuk mengimplementasikan pendidikan multikultural pada anak.

D.Kerangka Pikir

Wilayah Indonesia yang sangat luas dan berpulau-pulau telah mendorong masyarakat Indonesia untuk menciptakan kebudayaan yang sesuai dengan kondisi sosial geografis masing-masing daerah. Masyarakat kadang memiliki kebanggaan terhadap budaya yang mereka miliki tanpa diimbangi dengan perasaan menghargai budaya dari masyarakat lain. Kurangnya rasa toleransi atas keragaman budaya di Indonesia ini tidak jarang pada akhirnya menimbulkan suatu konflik sosial. Konflik ini dapat melibatkan suatu etnis, agama, daerah, maupun golongan tertentu.

Konflik sosial semacam ini apabila tidak ditangani dengan baik maka akan mengancam kesatuan bangsa Indonesia. Salah satu upaya strategis yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengurangi konflik sosial adalah dengan mengimplementasikan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural juga akan lebih efektif bila diimplementasikan sejak dini kepada anak-anak. Agar


(47)

34

pendidikan multikultural dapat diterima dengan baik oleh anak, maka salah satu sarana yang dapat digunakan untuk mengimplementasikannya adalah dengan permainan tradisional. Permainan tradisional pada dasarnya telah memiliki berbagai macam nilai positif untuk anak dan lingkungan. Dengan menggabungkan antara dunia belajar dan bermain anak maka diharapkan pendidikan multikultural akan terimplementasi dengan baik pada anak dan akhirnya memberikan dampak yang positif pula.


(48)

Keragaman Masyarakat Indonesia

Bagan 1. Alur Kerangka Pikir Pendidikan Multikultural

Implementasi Pendidikan Multikultural pada Anak

Ragam Media Permainan Tradisional di Kampoeng Dolanan

Nusantara

Permainan Tradisional

Proses Implementasi Melalui Media

Permainan Tradisional

Faktor Pendorong dan Penghambat Proses Implementasi


(49)

36 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A.Lokasi Penelitian

Penelitian tentang implementasi pendidikan multikultural pada anak melalui permainan tradisional ini dilakukan di Kampoeng Dolanan Nusantara. Kampoeng Dolanan Nusantara berada di Dusun Sodongan, Desa Bumiharjo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Alasan peneliti memilih Kampoeng Dolanan Nusantara sebagai lokasi penelitian adalah karena tempat ini merupakan sebuah perkampungan yang menjadi wahana wisata edukasi yang menyajikan berbagai permainan tradisional nusantara. Dari sini peneliti menggali bagaimana pendidikan multikultural diimplementasikan pada anak-anak melalui permainan tradisional.

B.Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan sejak pertengahan bulan Desember 2013 hingga pertengahan bulan Maret 2014. Selama jangka waktu tersebut peneliti melakukan observasi pendahuluan, penelitian di lapangan, pengolahan data, dan penyusunan laporan penelitian.

C.Bentuk Penelitian

Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Nasution (2003: 5) penelitian kualitatif pada hakekatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Oleh


(50)

karena itu peneliti terjun ke lapangan yaitu Kampoeng Dolanan Nusantara dan melakukan interaksi dengan pengelola dan pengunjung untuk mengetahui bagaimana implementasi pendidikan multikultural pada anak melalui permainan tradisional.

Sementara definisi penelitian kualitatif menurut Moleong (2010: 6) adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Pada penelitian ini, peneliti menyajikan hasil penelitian secara kualitatif deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata, gambar bukan angka-angka. Kalaupun ada angka-angka, sifatnya hanya sebagai penunjang. Data yang diperoleh meliputi transkrip interview, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi dan lain-lain (Danim, 2002: 51).

D.Sumber Data

Menurut Lofland dan Lofland sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain (Moleong, 2010: 157). Sumber data yang penulis gunakan untuk memperoleh data yang valid dan relevan dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, dan sumber sekunder


(51)

38

merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen (Sugiyono, 2008: 225).

1. Sumber Data Primer

Sumber data primer berasal dari kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai di lapangan. Data ini merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya (Moleong, 2010: 157). Pada penelitian ini data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak pengelola Kampoeng Dolanan Nusantara, para laskar, serta pengunjung Kampoeng Dolanan Nusantara. Selain itu data juga diperoleh dari hasil kegiatan pengamatan di lapangan.

2. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini meliputi beberapa sumber tertulis dan hasil dokumentasi atau foto-foto selama penelitian. Sumber tertulis yang digunakan berupa buku, majalah ilmiah, surat kabar, jurnal, arsip, hasil penelitian yang relevan, serta dokumen pribadi dan dokumen resmi lain. Peneliti juga melihat data dari dokumen daftar pengunjung, buku profil dan buku tamu Kampoeng Dolanan Nusantara untuk menambah kelengkapan data.

E.Teknik Pengumpulan Data

1. Observasi

Observasi memiliki berbagai macam bentuk, Sanafiah Faisal mengklasifikasikan observasi menjadi observasi berpartisipasi, observasi yang secara terang-terangan dan tersamar, dan observasi yang tak


(52)

berstruktur. Dari berbagai bentuk tersebut, pada prakteknya peneliti menggunakan teknik observasi partisipatif moderat, yaitu dalam observasi ini terdapat keseimbangan antara peneliti menjadi orang dalam dan orang luar. Pada observasi partisipatif moderat peneliti ikut berpartisipasi dalam beberapa kegiatan yang dilakukan oleh pengunjung dan pengelola Kampoeng Dolanan Nusantara, sementara dalam beberapa kegiatan lainnya peneliti hanya sebatas melakukan pengamatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Susan Stainback yang menyatakan bahwa dalam observasi partisipatif, peneliti mengamati apa yang dikerjakan orang, mendengarkan apa yang mereka ucapakan, dan berpartisipasi dalam aktivitas mereka (Sugiyono, 2008).

2. Wawancara

Susan Stainback (1988) seperti dikutip Sugiyono (2008: 232) mengemukakan bahwa dengan wawancara, maka peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi. Agar diperoleh data yang valid maka pada umumnya pada penelitian kualitatif, seringkali teknik observasi partisipatif digabungkan dengan wawancara mendalam.

Pada penelitian tentang implementasi pendidikan multikultural pada anak melalui permainan tradisional ini, peneliti melakukan wawancara terstruktur dengan sejumlah informan. Informan dalam penelitian ini adalah dua orang pengelola Kampoeng Dolanan Nusantara, empat laskar


(53)

40

Kampoeng Dolanan Nusantara, serta empat orang pengunjung. Sebelum melakukan wawancara, terlebih dahulu peneliti mempersiapkan pedoman wawancara sebagai instrumen penelitian. Dengan adanya instrumen ini maka wawancara menjadi lebih terarah dan peneliti bisa mendapatkan data yang valid dan relevan.

3. Dokumentasi

Teknik dokumentasi dilakukan oleh peneliti guna melengkapi data yang telah diperoleh melalui observasi dan wawancara. Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang (Sugiyono, 2008: 240). Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah catatan dan rekaman selama penelitian, buku daftar pengunjung, buku profil Kampoeng Dolanan Nusantara dan buku tamu pengunjung yang berisi kesan dan pesan dari para pengunjung, serta foto. Foto-foto tersebut meliputi foto kegiatan di Kampoeng Dolanan Nusantara dan juga foto kegiatan pengumpulan data oleh peneliti.

F. Teknik Penentuan Informan

Pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, yang ada adalah sampel bertujuan (purposive sample). Purposive sampling ini termasuk dalam kategori teknik nonprobability sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2008: 218). Dengan demikian maka pada penelitian tentang implementasi pendidikan multikultural


(54)

pada anak melalui permainan tradisional ini peneliti menggunakan teknik

purposive sampling. Sampel yang ada dipilih berdasarkan suatu kriteria

tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Sampel atau subjek dalam penelitian ini adalah pihak pengelola dan laskar di Kampoeng Dolanan Nusantara, dan juga para pengunjung. Pengambilan data dari sampel ini berakhir ketika telah terjadi pengulangan informasi sehingga informasi yang didapat sudah tidak berkembang lagi.

G.Validitas Data

Validitas merupakan derajat ketepatan antara keadaan di lapangan dengan hasil yang dilaporkan oleh peneliti. Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti (Sugiyono, 2008:268-269). Dalam penelitian tentang implementasi pendidikan multikultural pada anak melalui permainan tradisional ini, peneliti menggunakan beberapa teknik untuk mengecek validitas atau keabsahan data.

1. Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2010: 330). Denzin (1978) mengemukakan empat bentuk triangulasi, yaitu triangulasi sumber, triangulasi metode, triangulasi peneliti, dan triangulasi teori (Danim, 2002: 195). Pada penelitian ini digunakan triangulasi sumber untuk mengecek keabsahan data.


(55)

42

Triangulasi sumber menurut Paton adalah membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Moleong, 2010: 330). Agar dapat mencapai keabsahan tersebut maka ada beberapa hal yang peneliti lakukan, meliputi:

a. Melakukan perbandingan atas data yang diperoleh dari observasi,

wawancara dan kajian dokumen.

b. Melakukan observasi pada beberapa waktu yang berbeda di lingkungan

Kampoeng Dolanan Nusantara.

c. Mewawancarai beberapa narasumber yang berbeda, yaitu dari pihak

pengelola, laskar, serta para pengunjung.

d. Serta membuat beberapa variasi pertanyaan sebagai intrumen penelitian

agar data yang terkumpul lebih valid.

2. Diskusi dengan Expert (Ahli)

Teknik ini dilakukan dengan cara berdiskusi atau berkonsultasi dengan pihak ahli yang memahami dan menguasai tema penelitian. Tujuannya agar kekurangan yang ada dalam penelitian dapat segera diperbaiki. Pihak ahli dalam penelitian ini adalah dosen pembimbing.

3. Pemeriksaan Sejawat melalui Diskusi

Teknik ini dilakukan dalam bentuk kegiatan diskusi dengan teman sejawat yang memiliki pengetahuan yang sama atau lebih terkait topik yang diteliti. Dengan pemeriksaan sejawat peneliti dapat memperoleh masukan untuk langkah-langkah selanjutnya.


(56)

H.Teknik Analisis Data

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya. Menurut Bogdan dan Biklen analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2010: 248).

Menurut Nasution (2003:129-180) dalam penelitian kualitatif analisis data harus dimulai sejak awal. Data yang diperoleh dalam lapangan segera harus dituangkan dalam bentuk tulisan dan dianalisis. Langkah-langkah umum yang dapat dilakukan untuk menganalisis data meliputi reduksi data, display data, mengambil kesimpulan dan verifikasi.

1. Reduksi Data

Data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan. Reduksi dilakukan sejak awal penelitian karena data yang diperoleh dari lapangan akan selalu bertambah, sehingga perlu dirincikan dalam sebuah laporan lapangan. Data pada laporan tersebut selanjutnya akan direduksi. Pada tahap reduksi dilakukan pemilahan data ke dalam satuan konsep tertentu, kategori tertentu, atau tema tertentu. Reduksi data dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan seleksi data, membuat ringkasan atau uraian singkat, menggolong-golongkan data untuk


(57)

44

lebih mempertajam, mempertegas, menyingkat, membuang bagian yang tidak diperlukan, dan mengatur data agar dapat ditarik kesimpulan secara tepat.

2. Display Data

Display atau penyajian data dilakukan untuk mempermudah peneliti

melihat gambaran hasil penelitian secara menyeluruh dengan lebih jelas sehingga dapat mengambil sebuah kesimpulan yang tepat. Penyajian data pada penelitian tentang implementasi pendidikan multukultural pada anak ini dilakukan dalam bentuk uraian deskriptif tentang hasil yang diperoleh dari penelitian. Uraian tersebut memuat informasi tentang implementasi pendidikan multikultural pada anak melalui permainan tradisional.

3. Mengambil Kesimpulan dan Verifikasi

Kegiatan analisis yang terakhir adalah proses pengambilan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis, atau teori (Sugiyono, 2008: 253). Dengan membuat penyajian data yang didukung data-data yang valid maka akan diperoleh kesimpulan yang kredibel.


(58)

45

1. Deskripsi Kampoeng Dolanan Nusantara

a. Letak Geografis Kampoeng Dolanan Nusantara

Kampoeng Dolanan Nusantara merupakan wahana wisata yang didirikan sebagai sarana pendidikan dan wisata alternatif. Kampoeng Dolanan Nusantara telah dibuka di beberapa lokasi, dan salah satunya adalah di Dusun Sodongan atau lebih tepatnya di Dusun Sodongan, Desa Bumiharjo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Wahana wisata yang berada di wilayah RT 17 RW 06 ini hanya berjarak kurang lebih 2 kilometer ke arah utara dari obyek wisata Candi Borobudur. Secara teritorial Desa Bumiharjo yang menjadi lokasi wahana wisata ini berbatasan langsung dengan beberapa desa lain, yaitu :

Sebelah utara : Desa Deyangan dan Desa Wringinputih

Sebelah timur : Desa Sawitan

Sebelah selatan : Desa Borobudur

Sebelah barat : Desa Wringinputih

b. Latar Belakang Berdirinya Kampoeng Dolanan Nusantara

Awal mula berdirinya Kampoeng Dolanan Nusantara tidak terlepas dari ketertarikan Bapak EA terhadap permainan tradisional nusantara khususnya gasing. Ketika beliau menjadi event organizer pada acara


(59)

46

Festival Gasing Nusantara 2005, beliau sangat tertarik dengan penampilan para pemain gasing yang datang lengkap dengan pakaian adat masing-masing daerah. Beliau kemudian membeli gasing-gasing yang dibawa para pemain dalam festival tersebut. Sejak saat itu Bapak EA mulai sering bepergian ke berbagai daerah untuk mengumpulkan gasing dan berbagai permainan tradisional lain. Selama mengumpulkan permainan-permainan itu beliau mengaku sering mengalami kesulitan.

“…saya kan pernah bikin Festival Gasing tahun 2005 dari seluruh Indonesia. Setor gasing semua, nah dari situlah saya beli. Nah dari situlah saya mulai ngumpulin gasing, beli atau tuker-tukeran atau dikasih, ya saya kumpulin terus sampai sekarang… terutama gasing saya selalu cari kedaerah-daerah. Kalau di mana-mana, kalau kemana-mana selalu nyari permainan tradisional, dan tidak mudah ternyata… Sulitnya karena banyak masyarakat yang udah gak kenal…” (EA, 14/ 12/ 13)

Adanya berbagai kesulitan yang muncul tersebut membuat Bapak EA menyadari bahwa keberadaan permainan tradisional nusantara sudah mulai hilang dari masyarakat. Terlebih lagi dengan pesatnya perkembangan teknologi modern saat ini, keberadaan permainan tradisional juga menjadi semakin tergusur dan terganti dengan permainan modern. Kenyataan ini membuat Bapak EA merasa prihatin dan khawatir, karena permainan tradisional merupakan suatu kearifan lokal yang harus dijaga kelestariannya. Keprihatinan ini akhirnya mendorong Bapak EA untuk berusaha mengenalkan kembali permainan tradisional kepada anak-anak dan masyarakat luas guna mengimbangi pesatnya perkembangan permainan modern. Berawal dari hal tersebut beliau kemudian mendirikan Kampoeng Dolanan Nusantara.


(1)

17) Faktor apa yang dapat mendorong penanaman pendidikan multikultural pada anak khususnya melalui media permainan tradisional?

Jawaban : Kalau belajar lewat permainan kan yang pasti anak lebih santai, terus mereka juga bisa sekalian langsung tau gimana keragaman jenis permainan tradisional nusantara. Anak juga selain tau pendidikan multikultural mereka juga belajar tentang kebersamaan, karakter, kerja sama terus yang seperti teknik ekonomi atau fisika gitu juga ada biarpun sederhana. 18) Faktor apa yang dapat menghambat penanaman pendidikan multikultural

pada anak khususnya melalui media permainan tradisional?

Jawaban : Kalau itu bisa dari keadaan sekarang ini dimana permainan tradisional kan mulai susah ditemukan, jadi medianya nggak ada. Kadang anak juga belum ngerti kalau mereka lagi belajar, taunya lagi main aja kalau anak yang masih kecil-kecil.

19) Manfaat apa yang akan diperoleh jika anak memahami dan menerapkan nilai-nilai pendidikan multikultural?

Jawaban : Kalau di sini anak jadinya lebih saling menghargai, mereka nggak terus semaunya sendiri-sendiri.

20) Apakah perlu ada suatu tindak lanjut agar pendidikan multikultural benar-benar tertanam pada anak?

Jawaban : Kalau itu rasanya memang diperlukan juga, tapi sejauh ini kita ya baru bisa membantu untuk lingkup pengenalan di Kampoeng Dolanan aja. Kalau tindak lanjut ya itu orang tua atau guru di sekolah yang bisa berperan.

Comment [W92]: Kltr, Dkg

Comment [W93]: Hbt


(2)

3. Pengunjung Kampoeng Dolanan Nusantara Informan 5

a. Identitas Diri

Nama : Ibu MY

Usia : 44 tahun

Pendidikan : S1 Bimbingan dan Konseling Pekerjaan : Guru SDIT Al-firdausi b. Hari/Tanggal : Rabu/ 12 Maret 2014 c. Waktu : 09.45-10.20 WIB

d. Lokasi : Kampoeng Dolanan Nusantara Sodongan e. Keadaan : informan

f. Daftar pertanyaan :

1) Dari mana anda mengetahui tentang Kampoeng Dolanan Nusantara?

Jawaban : Ada brosur itu di kantor. Gak tau dari siapa tapi udah ada di sana. Jadi ya terus kita buat program kesini. Yang kelas tiga, empat, lima. Kalau yang kelas satu dan dua ke sapi perah. Kelas enam besok ke Jogja, kurang tau saya kemana.

2) Apa yang membuat anda tertarik membawa anak/ siswa anda berkunjung ke Kampoeng Dolanan Nusantara?

Jawaban : Ya ini dalam rangka mengisi jeda ini. Kan pelajaran sudah selesai, sementara untuk refreshing biar belajar gak jenuh di kelas.

3) Menurut anda nilai edukasi apa yang ada di wahana wisata Kampoeng Dolanan Nusantara?

Jawaban : Ini bagus sekali untuk pendidikan terutama permainan anak-anak yang hampir punah. Bahkan kalau masuk ke pelajaran mulok itu di materi sebagian permainan-permainan gitu kan, kebanyakan anak-anak sudah gak kenal lagi. Nha dengan adanya permainan game apa di Kampoeng Dolanan ini kan disini ada bermacam-macam permainan yang sifatnya tradisional. Terus ada yang terbuat dari bambu, ini kan bermacam-macam gangsingan dari Informan sedang mengawasi siswa-siswanya yang bermain gasing dan bersedia diwawancarai.


(3)

banyak daerah. Jadikan anak-anak mengenal kembali permainan yang sudah pada lupa. Dengan adanya ini kan jadi mengenal kembali. “Bu guru ini apa ini apa?” kan jadi melihat aslinya.

4) Apa yang anda ketahui tentang konsep pendidikan multikultural?

Jawaban : Pendidikan multikultural yang tentang budaya-budaya di masyarakat itu ya? Ya saya tahu sedikit, kalau bagaimana rincinya mungkin masih asing juga karena jarang mendengar.

5) Apakah menurut anda nilai-nilai multikultural muncul di berbagai permainan tradisional yang disuguhkan oleh Kampoeng Dolanan Nusantara?

Jawaban : Ya saya memang tidak mengetahui dengan benar-benar tepat tentang pendidikan multikultural. Namun saya rasa nilai-nilai itu muncul, karena kan di sini memang banyak sekali mainan-mainan tradisional nusantara ya. Mainan-mainan itu kan sangat unik dan beragam. Banyak juga nilai edukasi yang ada di sana, anak bisa belajar banyak. Mereka main bersama, berkelompok dan gak semua anak sudah bisa permainan-permainan itu, jadi mereka sama-sama belajar. Kalau di sekolah anak ngerjain tugas sendiri-sendiri kecuali yang memang tugas kelompok, kalau di sini mereka ya sama-sama semua.

6) Apakah pendidikan multikultural perlu ditanamkan pada anak?

Jawaban : Ya itu perlu sekali ya, selagi mereka masih anak-anak dan bisa menerima pendidikan yang kita berikan dengan lebih mudah dibanding setelah dewasa. Di sekolah juga mungkin itu masuk IPS ya, mungkin disisipkan juga di mata pelajaran lain. Di PKn juga ada. Termasuk pendidikan mengenali budaya-budaya. Kalau dulu ada PMP terus jadi PKn kalau sekarang kewarganegaraan. Kalau jaman saya PMP Pendidikan Moral Pancasila. 7) Apakah menurut anda permainan tradisional bisa menjadi sarana penanaman

pendidikan multikultural pada anak?

Jawaban : Saya kira ya bisa, terutama tentang permainan anak-anak. Permainan usia anak-anak semua bisa masuk.

8) Menurut anda apakah selama di Kampoeng Dolanan Nusantara anak menyadari bahwa mereka tidak hanya sedang bermain tetapi juga sedang belajar?

Comment [W96]: Kltr

Comment [W97]: Dkg, Kltr


(4)

Jawaban : Apa ya, perlu pengarahan kalau disini kita tidak cuma bermain tapi kita berlatih apa ya namanya, mengingat gitu ya. Terus latihan kebersamaan dengan teman-teman, inikan kakak-kakak ada yang ngajari, nglatih bermain kelompok, kerja sama. Pada dilatih main bersama, gak pada gelutan, karena kalau gak diawasi main, awalnya main padu-paduan dadi nesu tenan. Kalau SD gurunya masih banyak terlibat, kan membentuk karakter, masih banyak mengarahkan, memberi pengertian.

9) Bagaimana pendapat anda tentang upaya penanaman pendidikan multikultural yang dilakukan oleh pihak Kampoeng Dolanan Nusantara?

Jawaban : Bagus ini saya salut ada didirikan Kampoeng Dolanan, anak-anak jadi mengerti kembali. Apalagi kebiasaan di rumah kan mainan anak-anak sekarang kan ya udah di depan laptop, komputer, sehari-hari sampai ditimbali pun gak memperhatikan. Nha akhirnya jadi kesehatannya jadi terganggu. Nek ini kan njuk jadi gerak, aktif, tidak tegang otaknya tok. Komputerkan

mbegogok wae tho mbak sing gerak ya apanya.

10) Menurut anda permainan tradisional apa saja yang bisa digunakan untuk menanamkan nilai multikultural pada anak?

Jawaban : Kalau menurut saya ya mungkin hampir semua yang ada di sini bisa ya. Seperti ini kan pada asik bermain, belum pernah bermain seperti ini soalnya. Ndak pernah menemukan permainan seperti ini. Nyanyi Jowo, istilahnya nembang Jowo wis angel mbak, kayak cublak-cublak suweng gak tau. Mainan-mainan seperti dakon, gobak sodor, jaranan, apa sunda manda juga anak udah jarang main. Padahal itu semua ya bagus, anak bisa belajar berfikir cepat, latihan kerjasama, saling membantu juga. Dengan bermain anak juga jadi tau kalau tiap permainan ada aturan mainnya mereka jadi belajar disiplin juga, terus kaya tadi gasing, dakon atau mainan-mainan lainnya juga ternyata punya nama dan bentuk yang beda-beda kan, anak jadinya tau keunikan-keunikan itu. Ini mungkin kedepannya bisa di tingkatkan kembali fasilitasnya, kalau bisa diperlebar.

11) Faktor apa yang dapat mendorong penanaman pendidikan multikultural pada anak khususnya melalui media permainan tradisional?

Comment [W99]: Kltr

Comment [W100]: Dkg

Comment [W101]: Med

Comment [W102]: Hbt, Med

Comment [W103]: Kltr


(5)

Jawaban : Ada, mudah diingat, mudah dipahami, bisa dikenal secara aslinya seperti ini. Inikan jadi tau secara kenyataannya, kalau secara teori dimaterikan yang seperti apa bentuknya, cara mainnya gitukan sulit le nerangke. Lebih mudah kalau seperti ini, dan langsung kan.

12) Faktor apa yang dapat menghambat penanaman pendidikan multikultural pada anak khususnya melalui media permainan tradisional?

Jawaban : Kalau yang seperti ini, pakai mainan gini? Dimasukkan ke itu, pendidikan multikultural? Saya kira ya nggak ada. Kalau yang tempatnya jauh pun ini kan transportasinya bisa diusahakan tho? Kalau ini kan tadi dari sekolahan naik angkutan kalau jalan anak-anak ya cukup jauh. Ini anak-anak memang kegiatan dari sekolah juga.

13) Manfaat apa yang akan diperoleh jika anak memahami dan menerapkan nilai-nilai pendidikan multikultural?

Jawaban : Ya pertama mereka jadi tau bagaimana beragamnya masyarakat. Itu juga penting untuk bekal mereka bermasyarakat nanti. Lalu ya seperti sekarang ini mereka main bersama dan gak bertengkar karena interaksi mereka bagus.

14) Apakah akan ada tindak lanjut untuk anak setelah berkunjung dari Kampoeng Dolanan Nusantara, khususnya terkait pendidikan multikultur?

Jawaban : Itu kalau pas ada jeda waktu mengadakan permainan, peralatan-peralatan tradisional apa yang kamu ketahui? Ada insyaallah nanti berlanjut, untuk mengetest anak-anak ini apakah masih ingat apa sudah hilang, iya tho? Kan apa lagi sekarang yang namanya apa ya, alat-alat tradisional termasuk bahasanya pun Bahasa Jawa ini hampir ilang, hampir punah. Kalau di sekolahan menerangkan Bahasa Jawa itu gak pada ngerti, harusnya diterjemahkan pake Bahasa Indonesia.

Comment [W105]: Dkg

Comment [W106]: Hbt

Comment [W107]: Kltr

Comment [W108]: Dkg


(6)

Lampiran 6

Dokumentasi Kegiatan

Gbr 1: Siswa kelas 3 SD Islam Al-firdausi sedang bermain bakiak beregu

(Sumber: Dokumentasi pribadi, diambil pada 10 Maret 2014)

Gbr 2: Salah satu informan penelitian

Bapak EA dan beberapa koleksi gasingnya