K enyataan sering kali lebih kejam dari film horor di layar

K enyataan sering kali lebih kejam dari film horor di layar

perak. Dua hari dalam hidup saya, pada 6 – 7 Februari 1989, di Talangsari, Lampung, adalah bukti betapa kekejian manusia – yang diperalat kekuasaan–bisa tak berbatas. Kekejian yang selalu menghantui hidup saya, hingga kini.

Saya masih sebelas tahun saat itu. Masih remaja kencur, yang seharusnya hidup dalam keceriaan. Hari-hari itu saya dipaksa menyaksikan teman-teman sebaya dibakar hidup-hidup. Orang tua dan saudara-saudara saya dihabisi dengan berondongan peluru mematikan. Satu demi satu mereka menghembuskan nyawa layaknya binatang yang terkena virus yang harus dibinasakan.

Hati saya berteriak meradang. Apa salah orang tua dan saudara- saudara kami kepada pemerintah? Mengapa mereka harus mati dengan cara yang tragis? Mengapa pula saya dan teman-teman saya harus mendekam di hotel prodeo?

Hari naas itu, Senin 6 Februari 1989. Pukul 11 siang. Kapten Sutiman, Komandan Daerah Militer Way Jepara, Lampung Tengah, bersama 15 anak buahnya datang ke permukiman kami. Mereka mendatangi tempat pengajian yang dipimpin Bapak Warsidi di Cihideung, Talangsari. Tak pernah kami menyangka kedatangan mereka bakal menebar maut.

Kapten Sutiman, tanpa disertai salam dan permisi, langsung mencabut pistol dan menembakkannya pada jamaah pengajian yang sedang bersiap menunaikan sholat dzuhur. Timah panas segera menyembur ke segala arah dengan membabi buta.

Otomatis, jamaah pengajian berhamburan keluar demi menghindari hujan peluru.

Serangan mendadak ini membuat anggota pengajian marah. Mereka meneguhkan hati untuk melawan. Bergegas mereka pulang ke rumah. Ada yang mengambil golok, cangkul, dan panah yang biasa dipakai untuk memanah bajing.

Dan, terjadilah perlawanan. Kelompok pengajian Bapak Warsidi melawan pasukan Kapten Sutiman. Sebuah perlawanan yang amat tidak seimbang. Orang kampung hanya bersenjata ala kadarnya, sedangkan pasukan Kapten Sutiman dilengkapi senjata berpeluru tajam.

Dalam perlawanan itu Kapten Sutiman terkena sabetan golok. Di pihak jamaah pengajian, ada dua orang yang terluka: Bapak Ja’far tertembak di bagian paha kanan dan Bapak Mukhlis yang terkena sabetan clurit di jidat dan tangannya.

Saya dan teman-teman ketika itu sedang duduk di dekat mushola sambil menunggu waktu salat dzuhur. Tiba-tiba terdengar suara tembakan menderu, dor, dor, dor, dor…!

Penasaran, kami berlari menghampiri suara tembakan. Ada apa gerangan? Saya menyaksikan seorang tentara sedang menembakkan pistol ke arah anggota jamaah pengajian. Bapak- bapak dan saudara-saudara saya segera kalang-kabut mundur menghindari tembakan. Mereka berlari ke rumah masing-masing yang memang tidak jauh dari lokasi penembakan.

Saya dan teman-teman langsung menuju ke pondok pesantren sambil menggemakan takbir. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Kami berseru sebagai wujud ketakutan, memohon pertolongan kepada Allah. Kami pasrah atas apa yang sedang dan akan terjadi.

Beberapa saat kemudian, Bapak Warsidi masuk ke dalam pondok dan memerintahkan kami untuk berdoa dan membaca Al Qur’an. Sekitar setengah jam, doa-doa pun berkumandang.

Setelah itu, keributan mereda. Letusan senjata aparat tidak terdengar. Saya dan teman-teman pun pulang ke rumah.

Di luar pondok, kondisi begitu mencekam. Ada kabar bahwa Kapten Sutiman tewas. Saya juga melihat Bapak Ja’far dipapah beramai-ramai akibat tembakan di paha kanannya. Aroma ketakutan masih kental.

Sampai di rumah, saya hanya melihat ibu dan adik saya yang masih bayi. Tamu-tamu dari Solo yang menginap di rumah sudah dipindahkan ke rumah lain di dekat pondok. Ibu yang sedang menggendong adik mengajak saya pindah ke rumah Paman Jayus, tak jauh dari pondokan yang dihuni anak-anak dan ibu-ibu. Jaraknya sekitar 60 meter dari rumah kami.

Hari berikutnya, horor yang lebih dahsyat menanti.

Selasa, 7 Februari 1989, tepat pukul 5. Pagi masih berkabut.