P oso, kotaku sayang, identik dengan kengerian dan ketakutan.

P oso, kotaku sayang, identik dengan kengerian dan ketakutan.

Perjalanan kota kecil ini begitu lekat dengan tragedi konflik berdarah. Aku adalah bagian dari perjalanan yang kelam itu.

Segalanya berawal pada tahun 1998. Hanya lantaran perkelahian antar pemuda kebetulan berbeda keyakinan, Islam dan Kristen, maka pecahlah konflik berdarah yang berkepanjangan. Saya ingat, hari-hari itu dipenuhi dengan suara tembakan, teriakan, tangisan menyayat, bahkan dentuman bom. Luka-luka bekas bom, dinding-dinding yang bolong, pun hingga kini masih tampak di berbagai sudut kota.

Puncak kekacauan bagiku terjadi pada tahun 2001. Ketika itu, hanya dalam tempo 36 hari, aku harus kehilangan dua orang yang sangat kukasihi. Mereka sedikit dari begitu banyak korban sia-sia dalam konflik berdarah ini.

Pertama, 12 September 2001, adikku, Henit Kalengkongan, 28 tahun, hilang di desa Tabalu kecamatan Poso Pesisir. Saat itu adikku sedang mengawal mobil tangki minyak tanah. Mobil tangki ini adalah pasokan dari Poso dan isinya akan di jual di Desa Kasiguncu, tempat tinggal kami.

Henit, adikku sayang, tak pernah pulang ke rumah sejak hari itu.

Tidak lama berselang, tepatnya 18 Oktober 2001, suamiku mengalami hal yang sama. Kamis yang kelam, Towelemba Kalengkongan, 34 tahun, suamiku, ketika itu mengendarai mobil Tidak lama berselang, tepatnya 18 Oktober 2001, suamiku mengalami hal yang sama. Kamis yang kelam, Towelemba Kalengkongan, 34 tahun, suamiku, ketika itu mengendarai mobil

Dua orang aparat keamanan menemani perjalanan suamiku. Ini biasa dilakukan karena situasi memang belum aman. Tak disangka, pengamanan itulah yang berbuah petaka untuk suamiku.

Kamis sore, aku mendengar ada mobil yang dibakar warga di Desa Tabalu. Seorang penduduk di Desa Tangkura bahkan mengabarkan bahwa itu mobil suamiku. Secepat mungkin aku bergegas meminta petugas keamanan yang bertugas di posko untuk mengantarku ke Desa Tabalu. Tapi, aparat tidak mengizinkanku ke sana dengan alasan situasi keamanan tidak memungkinkan.

Aku tahu suamiku sudah meninggal. Dengan segala usaha aku tetap memohon agar diizinkan untuk melihat kerangka mobil itu. Aku harus mencari jasad suamiku. Namun, sekuat apa pun usahaku, tetap saja tidak membuahkan hasil. Para petugas keamanan menahanku. Mereka berjanji, merekalah yang akan ke Tabalu dan mencari jenazah suamiku.

Keesokan harinya, 19 Oktober 2001, adalah hari ulang tahun anakku yang kedua, Monika Willelipu. Seharusnya ini hari yang bahagia.

Beberapa petugas mendatangi rumah kami. Mereka membawa kabar bahwa jasad suamiku tak bisa ditemukan. Mereka telah mengerahkan seluruh aparat keamanan dan warga desa setempat untuk mencari jasad suamiku, tetap saja tidak ketemu.

Seluruh harapanku pun hancur. Tak terbayangkan bagaimana aku harus menghidupi kedua anakku di tempat pengungsian, dalam keadaan yang serba kekurangan. Hari esok serasa gelap bagiku.

Namun, akhirnya aku sadar, yang bisa kulakukan hanyalah berpasrah diri kepada Tuhan.

Beberapa hari kemudian, setelah berembug dengan saudara- saudara, kami sepakat membuat surat berita kehilangan suamiku. Dalam surat itu kami menuliskan bahwa suamiku hilang dalam pengawalan aparat. Entah mengapa, aparat keamanan tidak mau meneken surat jika kami tetap berkeras mencantumkan bahwa suamiku hilang dalam pengawalan dua petugas keamanan. Jika tetap berkeras, kami pun dianggap memprovokasi masyarakat agar kembali berkonflik.

Aku pun menghentikan upaya pencarian jasad suamiku. Kuikhlaskan dia. Yang terpikir olehku hanyalah bagaimana menyelamatkan hidupku dan kedua anakku. Tempat pengungsian terasa tidak aman bagi kami.

Seminggu setelah hilangnya suami, aku memboyong kedua anakku menuju kota Palu. Aku bergabung dengan saudara- saudaraku. Kami ingin menjauh dari konflik yang menyakitkan.

Konflik memang terus berlanjut di Poso saat itu. Saling serang antar komunitas masih terjadi. Bom meledak, orang hilang, warga tertembak peluru nyasar, adalah berita pagi, siang, sore, dan malam. Hari-hari berlalu dengan mengerikan. Ribuan aparat keamanan tak berdaya meredam kekacauan.

Sebulan kemudian, 21 November 2001, ada kabar tentang suamiku. Seorang aparat yang sedang memancing di sungai Puna, Kecamatan Poso Pesisir, menemukan jasad suamiku. Dia dikenali karena selembar jaket yang melekat di tubuhnya. Aparat itu ingat dia pernah bertemu suamiku yang mengenakan jaket itu sebelum peristiwa pembakaran mobil.

Kini jelas sudah. Suamiku tercinta memang telah meninggal. Harapanku bahwa suatu hari nanti dia akan kembali, kini pupus sudah.

Adapun jenazah Henit, adikku, sampai kini belum diketemukan. Konflik Poso telah merenggut orang-orang yang kukasihi.

Setelah peristiwa yang menimpa adik dan suamiku, aku tidak pernah berani kembali lagi ke Poso. Ketakutan masih saja membayangi langkahku.

Beruntung pada tahun 2004, aku bertemu kawan-kawan yang bernasib sama denganku. Saat itu aku diundang mengikuti workshop Temu Korban Pelanggaran HAM se Sulawesi Tengah yang diselenggarakan LPSHAM Sulteng, KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)Jakarta, dan IKOHI (Ikatan Korban Orang Hilang).

Pada pertemuan itu aku bertemu dengan Ella, gadis muslim asal Poso yang juga menjadi korban konflik. Pertemuan ini menjadi awal keberanianku membuka diri menerima kawan senasib.

Pertemuan tiga hari itu sanggup membuka otak dan perasaanku. Aku dibuat melihat kenyataan bahwa konflik, di mana pun, selalu mengorbankan rakyat. Sejak itulah aku berjanji akan membantu saudara-saudaraku di Poso, juga yang tinggal di berbagai lokasi pengungsian di Palu. Aku ingin memberikan pemahaman kepada mereka bahwa sesungguhnya kita hanyalah korban dari konflik. Setelah workshop ini, kami mendirikan Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Sulawesi Tengah (SKP HAM), tepatnya pada

13 Oktober 2004. Kini konflik telah reda. Poso telah dinyatakan aman, meskipun

ribuan aparat keamanan masih terus berjaga-jaga di hampir setiap sudut kota.

Perdamaian haruslah dijaga. Caranya, antara lain, dengan diskusi- diskusi tentang perdamaian dan pentingnya memahami hak asasi manusia yang kini menjadi keseharianku. Aku belajar banyak hal tentang perjuangan menjaga perdamaian, yang antara lain dibayar dengan nyawa suami dan adikku.

Dengan keyakinan paras iman, sebagai umat Kristen, aku akan terus berupaya membangun solidaritas bersama korban-korban lain. Demi kebenaran dan keadilan untuk suami dan adikku tercinta.

Palu, 7 Juli 2008