Secercah Harapan

Secercah Harapan

erbitnya UU No. 26 Tahun 2000 memberi harapan baru bagi korban dan keluarga korban. Kasus Trisakti, Semanggi I,

dan Semanggi II tidak akan dianggap kadaluwarsa karena undang-undang tersebut menganut asas retroaktif sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 43 ayat (1).

Poin berikutnya, terhindarnya penyelesaian melalui Peradilan Militer yang amat diragukan obyektivitasnya. Terbuka juga kemungkinan tidak hanya pelaku di lapangan saja yang akan diadili, tetapi juga para komandan atau atasan, sebagaimana diatur dalam Pasal 42.

Kami merapatkan barisan. Korban dan keluarga korban yang mendapat pendampingan dari mahasiswa, sejumlah lembaga nonpemerintah seperti KontraS, TRuK, PBHI, Elsam, dan Kami merapatkan barisan. Korban dan keluarga korban yang mendapat pendampingan dari mahasiswa, sejumlah lembaga nonpemerintah seperti KontraS, TRuK, PBHI, Elsam, dan

Pendekatan terhadap DPR disertai harapan agar DPR mau mendesak pihak yang berwenang agar kasus TSS tidak dipeti- eskan. Ternyata, hasilnya mengecewakan. Panitia khusus DPR untuk Kasus Trisakti dan Semanggi I-II yang dibentuk pada 15 Januari 2001, sebenarnya memiliki kewenangan untuk memantau proses penyelesaian kasus TSS. Namun, Pansus DPR merekomendasikan untuk meneruskan Pengadilan Umum/ Militer yang telah dan sedang berjalan.

Sebuah kesalahan besar dilakukan DPR, terutama dalam hal kewenangan untuk menentukan kompetensi peradilan. Keputusan yang sesungguhnya menyeleweng dari fungsi legislatif. Mestinya, parlemen tidak memiliki kewenangan sejauh itu, karena memang tidak ada dasar hukum yang membenarkannya.

Pansus DPR pun terbukti rendah tingkat partisipasinya. Bahkan banyak dugaan muncul, bahwa sudah terjadi konspirasi antara mereka yang ada di DPR dengan militer untuk menghindar dari penyelesaian melalui Pengadilan HAM ad hoc. Hal ini terlihat pada keputusan Pansus DPR yang merekomendasikan bahwa kasus penembakan mahasiswa dalam peristiwa TSS tidak berindikasikan pelang garan HAM berat, sehing ga bisa diselesaikan melalui Peradilan Militer. Pada hal, dari hasil temuan baik KPP HAM maupun TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta), terdapat banyak unsur yang masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. Dan seperti yang dimuat dalam media massa, terdapat 19 perwira tinggi TNI/Polri yang oleh KPP HAM dianggap turut bertanggungjawab.

Proses mencari kebenaran dan menuntut keadilan lagi-lagi harus berbenturan dengan prosedur hukum. Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM terbentur masalah dalam melakukan pemanggilan terhadap para perwira tinggi yang diduga terlibat.

Sikap Kejaksaan Agung yang berulangkali mengembalikan berkas perkara dengan alasan prosedural memperburuk situasi. Rekomendasi Pansus DPR yang menyatakan tidak adanya pelanggaran sungguh melukai kami. Padahal, masyarakat tahu bahwa peristiwa TSS merupakan prahara besar yang menelan korban serta melibatkan pelaku yang beragam namun terkomando.

Rekomendasi KPP HAM

PP HAM dalam rekomendasinya atas kasus Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II menyatakan bahwa

pelanggaran HAM telah terjadi, antara lain: (1) Pembunuhan secara sistemik di berbagai tempat dalam waktu

panjang, yakni Mei dan November 1998 serta September 1999.

(2) Penganiayaan secara berulang terhadap mahasiswa dan anggota masyarakat yang dilakukan oleh aparat TNI/Polri, di Universitas Trisakti, Universitas Atma Jaya Jakarta, dan Semanggi dengan akibat korban fisik.

(3) Perkosaan atau bentuk kekerasan lain yang setara, terutama pada saat peristiwa Mei 1998, pada sejumlah perempuan sehingga mereka menderita trauma serta penderitaan fisik dan mental.

(4) Penghilangan paksa, pada 1998, terhadap 13 orang aktivis dan anggota masyarakat, yang hingga kini belum jelas keberadaannya.

(5) Perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik, termasuk penggeledahan, penangkapan, dan penahanan yang dilakukan sewenang-wenang dan melampaui batas-batas kepatutan. Unsur serangan yang meluas dan atau sistemik, yang menjadi pengertian standar dalam pelanggaran HAM (5) Perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik, termasuk penggeledahan, penangkapan, dan penahanan yang dilakukan sewenang-wenang dan melampaui batas-batas kepatutan. Unsur serangan yang meluas dan atau sistemik, yang menjadi pengertian standar dalam pelanggaran HAM

Dalam tragedi TSS, aparat TNI/Polri tidak mengindahkan standar internasional tentang penggunaan kekerasan dan senjata api oleh aparatur penegak hukum.

Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II dapat diidentifikasi sebagai serangan sistemik. Penelusuran fakta lapangan menunjukkan :

(1) Pernyataan verbal yang menunjukkan adanya kebijakan menyerang dengan kekerasan terhadap mahasiswa. (2) Adanya rencana menghadapi gelombang aksi mahasiswa dan masyarakat yang secara formal dijabarkan dalam kebijakan Operasi Mantap ABRI (1997-1998) dan Operasi Mantap Brata (1999). Kedua kebijakan itu kemudian diturunkan dalam berbagai bentuk operasi dan wilayah (di berbagai Kodam) dengan bentuk penghadangan dan penyerangan terhadap aksi mahasiswa pada tiga tragedi tersebut.

(3) Adanya tujuan politik yang ingin dicapai dari penyerangan itu, yakni untuk mempertahankan rezim politik saat itu - baik Soeharto maupun B.J. Habibie. Dalam konteks mencapai tujuan politik inilah maka mahasiswa dan masyarakat yang menuntut perubahan dipersepsikan sebagai “perusuh negara”.

(4) Pengerahan pasukan dengan segala peralatan kekerasan secara masif.

Sebagai contoh, dalam Tragedi Semanggi I dikerahkan 18.040 pasukan TNI dan Polri, belum termasuk kekuatan sipil seperti Pam Swakarsa yang dihadapkan pada aksi-aksi mahasiswa. Polda Metro Jaya melibatkan kurang-lebih 125 ribu warga sipil pada Tragedi Semanggi I.

Dalam tiga tragedi tersebut unsur meluas terpenuhi. Penyerangan dilakukan secara berulang-ulang dengan penembakan secara membabi-buta dan pemukulan terhadap warga sipil. KPP HAM untuk kasus TSS, setelah menemukan fakta kemudian meminta pertanggungjawaban atas tragedi TSS dalam dua kategori yaitu:

(1) Pertanggungjawaban secara langsung oleh mereka yang melakukan salah satu atau lebih dari bentuk-bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.

(2) Pertanggungjawaban oleh mereka karena kapasitas sebagai penanggungjawab komando. Tanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan tersebut berada pada mereka yang memiliki tugas dan kewenangan pada tiga tingkat, yakni individu yang diduga :

• Melakukan kejahatan kemanusiaan secara langsung di

lapangan, yaitu sejumlah aparat TNI dan Polri. • Melakukan kejahatan kemanusiaan karena tindakan dan

posisinya di tingkat komando pengendali operasi lapangan. Mereka adalah pemilik wewenang dan pengendalian efektif terhadap pasukan di lapangan.

• Melakukan kejahatan kemanusiaan karena tindakan membiarkan dan posisi di tingkat komando strategi dan kebijakan, di mana mestinya mereka melakukan pencegahan atau menghentikan jatuhnya korban.

Atas dasar hasil penyelidikan yang dilakukan KPP HAM, Komnas HAM kemudian melakukan pemanggilan terhadap 19 perwira tinggi TNI/Polri yang dianggap bertanggungjawab atas kasus

TSS. Para perwira tinggi tersebut di antaranya adalah: Jenderal TNI (Purn) Wiranto (mantan Panglima TNI), Jenderal Pol (Purn) Dibyo Widodo, Jenderal (Pol) Roesmanhadi (Mantan Kapolri), Mayjen TNI Sjafrie Syamsuddin, Mayjen TNI Djaja Suparman (mantan Pangdam Jaya), Irjen Pol. Hamami Nata dan Irjen Pol. Nugroho Jayusman (mantan Kapolda Metro Jaya), dan sejumlah perwira menengah TNI/Polri.

Meskipun pemanggilan ini hanya bermaksud memeriksa, bukan menjatuhkan vonis, namun pemanggilan tersebut ternyata ditolak. Alasannya, eksistensi KPP HAM tentang kasus TSS dipertanyakan. Alasan kedua, DPR telah merekomendasikan bahwa kasus TSS bukan pelanggaran HAM berat.

Padahal, sebagai mantan pejabat penegak hukum, seharusnya mereka tahu bahwa rekomendasi DPR bukan produk hukum dan karenanya tidak mengikat secara hukum. Sejumlah analisis menilai bahwa pembangkangan sejumlah perwira itu adalah unjuk kekuatan militer, apalagi mengingat KPP-HAM hanyalah institusi sipil.

Hambatan penyelesaian kasus TSS juga datang dari Kejaksaan Agung, yang menolak hasil penyelidikan Komnas HAM oleh KPP-HAM dengan berbagai alasan, di antaranya adalah karena keterangan dari penyelidikan tanpa melalui sumpah sebagaimana dirumuskan oleh KUH (Kitab Undang-Undang Hukum) Acara Pidana tentang penyelidikan.

Menurut Kejaksaan Agung, hasil penyelidikan KPP HAM tidak dapat dijadikan bahan penuntutan. Di samping berbagai alasan teknis administratif, Kejaksaan Agung kembali berlindung di balik rekomendasi DPR yang menyatakan bahwa kasus TSS bukan pelanggaran HAM berat. Akibatnya, berkas penyelidikan Komnas HAM tentang kasus TSS bolak-balik dari Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung dan sebaliknya.

Berikut catatan pengembalian berkas penyelidikan Komnas HAM oleh Kejaksaan Agung :

(1) Pada 21 Mei 2002. Alasannya, hasil penyelidikan hanya berupa transkrip wawancara. Penyelidik tidak melakukan sumpah jabatan.

(2) Pada 13 Agustus 2002, dengan alasan: saksi dan penyelidik harus disumpah, para terdakwa dalam kasus Trisakti sudah divonis oleh Mahkamah Militer Tinggi II di Jakarta dan kasus Semanggi I dan Semanggi II masih dalam proses Polisi Militer Kodam Jaya.

(3) Pada 30 Oktober 2002, dengan surat pemberitahuan penolakan menindaklanjuti hasil penyelidikan KPP HAM TSS.

(4) Pada 8 Desember 2004, dengan surat pemberitahuan penolakan menindaklanjuti hasil penyelidikan KPP HAM TSS.

Kemudian, Komnas HAM mengembalikan berkas penyelidikan tersebut kepada Kejaksaan Agung pada 6 Januari 2005.

Rekomendasi DPR Yang Menyakitkan

A mengenai kasus TSS. Pansus beranggota 50 orang dari 10 Fraksi,

kibat desakan publik, DPR pada 15 Januari 2001 menerbitkan keputusan tentang pembentukan Pansus DPR

dengan tugas “… untuk memantau proses penyelesaian kasus Trisakti dan kasus Semanggi I dan II.”

Hasil kerja Pansus adalah “rekomendasi” yang kemudian dilaporkan kepada Badan Musyawarah DPR. Rekomendasi ini dicapai dengan voting pada 27 Juni 2001. Menurut daftar hadir, anggota Pansus yang hadir sebanyak 26 orang, tetapi pada saat voting berlangsung, ternyata yang hadir hanya 19 orang.

Adapun hasil voting sebagai berikut: 14 suara setuju merekomendasikan penyelesaian melalui Pengadilan Umum/ Militer dengan alasan bahwa tragedi TSS bukan pelanggaran HAM berat. Ada lima suara setuju dengan rekomendasi kepada Presiden untuk mengeluarkan Keppres tentang pembentukan Pengadilan HAM ad hoc.

Akhirnya, laporan Pansus kepada Sidang Paripurna DPR, 9 Juli 2001, merekomendasikan untuk meneruskan Pengadilan Umum/ Militer yang telah dan sedang berjalan. Rekomendasi inilah yang kemudian dikenal sebagai “Rekomendasi DPR,” yang mengakibatkan kasus TSS dalam posisi menggantung. Rekomendasi ini juga yang selalu dijadikan alasan oleh Kejaksaan Agung untuk tidak menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM.

Kami, korban dan keluarga korban serta masyarakat peduli HAM, beraudiensi dengan Ketua DPR Ir. Akbar Tandjung, 9 Juli 2003. Akbar berjanji mengadakan Rapat Gabungan antara Komisi yang membidangi masalah hukum, Kejaksaan Agung, dan Komnas HAM guna membicarakan Rekomendasi DPR tersebut. Janji itu tidak pernah ada realisasinya.

Setelah keanggotaan DPR berganti periode, dalam pertemuan Komisi Bidang Hukum DPR dengan korban/keluarga korban serta masyarakat peduli HAM pada awal Januari 2005, anggota Komisi Hukum menyatakan bahwa seharusnya Kejaksaan Agung segera menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM. Menurut Komisi Hukum DPR, Rekomendasi DPR tahun 2001 itu bukan produk hukum dan tidak mengikat secara hukum. Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada 30 Juni 2005, muncul kesepakatan seluruh Fraksi di Komisi Hukum yang menghendaki agar kasus TSS diungkap kembali.

Awalnya, Ketua DPR Agung Laksono terkesan mendukung. Dalam audiensi dengan korban dan keluarga korban serta masyarakat peduli HAM, pada 14 September 2005, Agung

Laksono menjelaskan bahwa kesepakatan tersebut akan ditindaklanjuti melalui prosedur formal sesuai mekanisme yang berlaku. Kesepakatan tersebut akan dibahas dalam Rapat Bamus

DPR pada 22 September 2005. Namun, lagi-lagi kami kecewa. Rapat Bamus pada 22 Septem-

ber 2005 itu, kasus TSS tidak masuk dalam agenda pembahasan.

Perjuangan Berlanjut