S aya memang berhasil menunjukkan bahwa diri saya tidak

S aya memang berhasil menunjukkan bahwa diri saya tidak

bersalah. Namun, pembebasan saya harus diiringi pengorbanan yang luar biasa. Saya kerap disebut sebagai pembangkang, bahkan dijuluki orang gila. Pangkat saya sebagai PNS diturunkan dari IV A menjadi III D. Gaji yang saya dapatkan tentu berkurang. Selain itu, gaji saya bulan Desember 2003 yang berjumlah Rp. 2.080.000 dikembalikan ke kas daerah oleh kepala sekolah Drs. H. Agus Bambang, M.Pd.

Ini memang perjalanan panjang. Semoga pengalaman saya ini bisa menjadi pembelajaran publik agar tidak terulang kembali kasus seperti yang menimpa SMP Negeri 56.

Pihak yang berwenang seharusnya mengkaji terlebih dahulu proses ruislag ini, apakah sudah benar atau belum. Tukar guling Pihak yang berwenang seharusnya mengkaji terlebih dahulu proses ruislag ini, apakah sudah benar atau belum. Tukar guling

10 miliar. Menurut Pak Suhandoyo, Kejaksaan Agung pun menggenggam

nama aktor intelektual di balik kasus ruislag SMP 56 ini. Alih- alih ditangkap, tersangka itu hingga kini bisa melenggang kangkung. Lalu, sampai kapan proses kasus ini akan diusut?

Pada awalnya, saya tidak mengetahui adanya indikasi korupsi pada kasus SMP 56. Yang saya lakukan semata-mata kesetiaan seorang guru, yang menginginkan yang terbaik bagi muridnya. Saya hanya berusaha mempertahankan sekolah agar tidak tergerus ke pinggir kampung dan digantikan oleh bisnis-bisnis yang hanya menguntungkan segelintir orang.

Pada proses selanjutnya, saya memahami ada unsur korupsi terjadi. Sesuai keterangan Farid Faqih, dari Government Watch (GOWA), tim investigasi GOWA menemukan bahwa tanah SMP Nengeri 56 bukan hak milik negara tapi gedung eks hak pakai Cina. Karena itu, orang bisa mudah memainkan kekuasaan atas tanah sekolah tersebut.

Almarhum Cak Munir adalah sosok yang mengukuhkan langkah perjuangan saya. Ia selalu mendampingi dan melakukan advokasi terhadap kasus yang saya hadapi. Beberapa hari sebelum dia berangkat ke negeri Belanda, tepatnya pada Jumat sore, kami berbincang. Saya bertanya, apakah yang saya lakukan ini benar atau salah. Munir dengan mantap meyakinkan saya,

“Oh, perjuangan Ibu benar, Ibu jangan takut saya mendukung Ibu, walaupun saya di Belanda, saya bisa memantau Ibu dengan dua orang utusan saya.

Kalau saja Bapak Ki Hajar Dewantara masih hidup, beliau pasti senang karena ada R.A. Kartini kedua kini. Sudah puluhan atau ratusan tahun yang lalu, perempuan Indonesia tak ada yang berani seperti Ibu. Melawan atasan Ibu.

Ibu juga harus hati-hati, karena Ibu melawan militer dan penguasa. Ibu harus hati-hati bila teman Ibu memberikan air ataupun permen. Jangan diterima. Karena bisa saja air atau permen itu sudah disuntik dengan racun. Bila Ibu jalan, jangan sendirian. Ibu bisa diambil secara paksa atau Ibu diculik kemudian Ibu dibunuh dan mayat Ibu tidak diketahui keberadaannya.

Nah, bila Ibu tidak ada, maka siapa yang menggantikan Ibu untuk berjuang?”

Berdasar perkataan almarhum itu, sempat terbersit di benak saya, jangan-jangan kematian Munir terkait dengan perjuangan saya. Seandainya tidak dibunuh dan meneruskan kuliah di Belanda, dia pasti akan membongkar kasus korupsi yang terjadi dalam pengambilalihan tanah sekolah tempat saya mengajar ini.

Selain Cak Munir, ada orang yang selalu menjadi penyemangat perjuangan saya. Mereka adalah almarhum suami dan Enyak, ibu saya. Dari almarhum suami saya belajar agar tidak menjadi orang yang plin-plan dalam memegang prinsip jika itu memang benar. Jika pertama saya bilang A, maka seharusnya tetap A, tidak boleh berubah menjadi B. Nasihat inilah yang menjadi nafas dalam perjuangan saya.

Dari Enyak, yang dengan penuh kasih sayang mendidik saya selama ini, saya belajar arti kegigihan dalam berjuang apa yang Dari Enyak, yang dengan penuh kasih sayang mendidik saya selama ini, saya belajar arti kegigihan dalam berjuang apa yang

Kalimat itulah yang selalu terpatri dan menjadi energi bagi hati dan hidup saya.

Jakarta, September 2008