Gulma Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak

6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gulma Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak

Pemanfaatan limbah inkonvensional termasuk limbah dan gulma tanaman pangan sebagai bahan pakan ternak non ruminansia telah banyak dicobakan dan cukup prospektif untuk diaplikasikan dalam upaya peningkatan sistem ketahanan pakan dalam mendukung terwujudnya sistem ketahanan pangan yang kuat Permana, 2015. Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan akan dapat mengurangi biaya produksi khususnya biaya pakan yang selama ini menjadi biaya terbesar dalam usaha peternakan karena biaya pakan mencapai ±70 dari total biaya produksi. Menurut Supriyati et al. 2003, pakan merupakan kebutuhan primer dalam usaha peternakan yang mencapai 70 dari total biaya produksi. Selain itu, pakan merupakan faktor utama di dalam keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit atau genetik dan tata laksana atau manajemen Harfiah, 2010. Penggunaan bahan pakan dari limbah dan gulma tanaman pangan juga dapat mengurangi atau mencegah pencemaran lingkungan Mudita et al., 2009. Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh di suatu tempat dalam waktu tertentu tidak dikehendaki oleh manusia Soerjani et al. 1996. Lebih lanjut diungkapkan, gulma tidak dikehendaki karena bersaing dengan tanaman yang dibudidayakan dan dibutuhkan biaya pengendalian yang cukup besar yaitu sekitar 25-30 dari biaya produksi. Eceng gondok yang merupakan salah satu jenis gulma juga memiliki kandungan nutrien yang cukup baik, yaitu energi 7 metabolis 2096,92 kkalkg, protein kasar 13 , serat kasar 21,3 Radjiman et al., 1999. Hasil analisis kandungan nutrien daun apu yang bersumber dari sawah, menunjukkan bahwa protein kasar daun apu sebesar 14,00; serat kasar 19,71; lemak kasar 1,54; abu 19,70 dan kandungan energi termetabolisnya 1444,47 kkalkg bahan Sumaryono, 2003. Menurut Ahmed et al. 2012, kandungan kimia serat kasar eceng gondok yaitu 60 selulosa, 8 hemiselulosa dan 17 lignin. Meryandani et al. 2009 menyatakan bahwa selulosa terbungkus dan terikat secara ikatan kovalen maupun non-kovalen pada lignin dan hemiselulosa. Limbah inkonvensional seperti sekam padi, bulu ayam, kulit kopi, lemak hewan maupun limbah dan gulma tanaman pangan seperti batang pisang, daun apu, enceng gondok serta limbah dan gulma lainnya mempunyai kandungan nutrien yang cukup baik bagi ternak Permana, 2015. Lebih lanjut diungkapkan, namun disisi lain bahan pakan asal limbah termasuk gulma mempunyai berbagai keterbatasan seperti kualitas nutrien yang tidak seimbang serta ketersediaan nutrient available, mineral-vitamin dan daya cerna yang rendah. Mudita et al. 2009 menyatakan bahwa pemanfaatan ransum berbasis limbah tanpa aplikasi teknologi pengolahan akan menurunkan produktivitas sapi bali maupun kambing dibandingkan dengan pemanfaatan ransum dengan aplikasi teknologi fermentasi maupun suplementasi. Dewi et al. 2014 juga menyatakan bahwa penggunaan ransum berbasis limbah dan gulma tanaman pangan tanpa tersuplementasi biosuplemen isi rumen dapat menurunkan produktivitas itik bali dibandingkan dengan penggunaan ransum berbasis limbah dan gulma tanaman pangan tersuplementasi biosuplemen isi rumen. Bagi ternak unggas seperti itik bali, serat kasar dapat dikatakan tidak dapat dicerna, dimana hanya 20-30 serat kasar 8 yang dapat dicerna dalam saluran pencernaan belakang yaitu di sekum dan kolon yang kemungkinan dapat diserapdimanfaatkan oleh ternak sangat kecil Bidura, 2007. Aplikasi teknologi pengolahan pakan dan teknik suplementasi berpotensi memperbaiki kelemahan yang ada Dewi et al., 2014. Penelitian pemanfaatan limbah dan gulma tanaman pangan seperti batang pisang, eceng gondok, maupun gulma lainnya telah banyak dilakukan Permana, 2015. Hasil penelitian Marlina dan Askar 2001 menunjukkan bahwa hasil analisis kandungan zat-zat makanan ransum yang diberi tambahan daun eceng gondok menunjukkan adanya peningkatan serat kasar dari 2,64 menjadi 4,06 dan protein yang relatif kecil. Lebih lanjut diungkapkan, hasil percobaannya menunjukkan bahwa penambahan eceng gondok sampai 10 tidak merugikan baik terhadap produksi telur maupun kualitas telurnya yang berarti peningkatan serat kasar pada penambahan eceng gondok sampai 10 tidak berpengaruh. Marlina dan Askar 2001 mengungkapkan bahwa tingginya kandungan serat kasar dalam ransum ternak babi dapat mempengaruhi pertumbuhannya, namun berdasarkan hasil percobaan menunjukkan bahwa pencampuran eceng gondok sampai 15 ke dalam ransum babi tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan babi, tentunya akan sangat menekan harga karena akan mengurangi jumlah pemakaian konsentrat. Sehingga penambahkan penggunaan eceng gondok sebagai bahan ransum harus diatur sedemikian rupa. Namun hasil penelitian Riana dan Bidura 2002 menunjukkan penggunaan eceng gondok dalam ransum ayam buras tidak boleh lebih dari 10, penggunaan eceng gondok 20 dan 30 mengakibatkan pertambahan bobot badan ayam buras menurun. Lebih lanjut diungkapkan, kandungan serat kasar yang tinggi merupakan faktor pembatas 9 pemanfaatan eceng gondok yang merupakan sumber daya lokal asal limbahgulma tanaman pangan sebagai komponen ransum. Namun Bidura 2006 mengungkapkan efek negatif bahan pakan asal limbah dapat diatasi melalui aplikasi bioteknologi pakan baik melalui biofermentasi, suplementasi maupun penambahan probiotik.

2.2 Selulosa sebagai Faktor Pembatas Pemanfaatan Gulma Tanaman Pangan