AKTIVITAS ENZIM ISOLAT BAKTERI SELULOLITIK YANG DIISOLASI DARI CACING TANAH (Lumbricus rubellus) PADA BERBAGAI SUBSTRAT SELULOSA.

(1)

iii

AKTIVITAS ENZIM ISOLAT BAKTERI

SELULOLITIK YANG DIISOLASI DARI CACING

TANAH (

Lumbricus rubellus

) PADA BERBAGAI

SUBSTRAT SELULOSA

NI LUH DEWI ANTARI

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

iv

SKRIPSI

AKTIVITAS ENZIM ISOLAT BAKTERI

SELULOLITIK YANG DIISOLASI DARI CACING

TANAH (

Lumbricus rubellus

) PADA BERBAGAI

SUBSTRAT SELULOSA

NI LUH DEWI ANTARI NIM. 1207105040

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

ii

AKTIVITAS ENZIM ISOLAT BAKTERI

SELULOLITIK YANG DIISOLASI DARI CACING

TANAH (

Lumbricus rubellus

) PADA BERBAGAI

SUBSTRAT SELULOSA

Skripsi Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan Pada Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Universitas Udayana, Denpasar.

NI LUH DEWI ANTARI NIM. 1207105040

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

iii

AKTIVITAS ENZIM ISOLAT BAKTERI SELULOLITIK YANG DIISOLASI DARI CACING TANAH (Lumbricus rubellus) PADA

BERBAGAI SUBSTRAT SELULOSA

NI LUH DEWI ANTARI

Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Jln. PB Sudirman, Denpasar

E-mail: dewiantari66@yahoo.com

RINGKASAN

Optimalisasi pemanfaatan gulma tanaman pangan melalui aplikasi teknologi fermentasi merupakan suatu upaya untuk mengatasi keterbatasan penggunaan gulma tanaman pangan sebagai pakan ternak. Keterbatasan penggunaan gulma tanaman pangan sebagai pakan ternak yaitu rendahnya tingkat kecernaan akibat tingginya kandungan serat kasar, salah satunya yaitu komponen selulosa yang sulit didegradasi secara kimia dan mekanis. Bakteri selulolitik asal cacing tanah merupakan salah satu mikroba yang mampu memproduksi enzim

selulase, sehingga mempunyai kemampuan dalam mendegradasi selulosa menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu glukosa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas enzim dari isolat bakteri selulolitik yang diisolasi dari cacing tanah pada berbagai substrat yang mengandung selulosa yang telah dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana selama 3 bulan. Penelitian dilaksanakan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 8 perlakuan dan 3 ulangan yaitu isolat bakteri dengan kode EB1CL, EB2CL, EB3CL, EB4CL, EB5CL, EB6CL, EB7CL dan EB8CL. Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah aktivitas enzim pada substrat CMC ( endo-1,4 glukanase), avicel (ekso-1,4-glukanase), eceng gondok dan daun apu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat-isolat bakteri selulolitik asal cacing tanah pada substrat CMC mempunyai aktivitas enzim selulase sebesar 0,031 U-0,059 U setelah diinkubasi selama 10 menit, sedangkan setelah diinkubasi selama 20 menit, 30 menit dan 60 menit mempunyai aktivitas enzim

selulase masing-masing sebesar 0,071 0,101 U; 0,056 0,084 U; dan 0,032 U-0,052, sedangkan pada substrat avicel sebesar 0,027 U-0,074 U setelah diinkubasi selama 10 menit sedangkan setelah diinkubasi selama 20 menit, 30 menit dan 60 menit mempunyai aktivitas enzim masing-masing sebesar 0,035 U-0,065 U; 0,045 U-0,070 U dan 0,061 U-0,069 U. Aktivitas enzim dari isolat bakteri selulolitik asal cacing tanah pada substrat eceng gondok sebesar 0,102 U-0,151 U setelah diinkubasi selama 10 menit, 0,094U-0,144 U setelah diinkubasi selama 20 menit, 0,102 U-0,130 U setelah diinkubasi selama 30 menit, 0,061 U-0,069 U setelah diinkubasi selama 60 menit, sedangkan pada substrat daun apu sebesar 0,152 U-0,225 U setelah diinkubasi selama 10 menit, sedangkan setelah diinkubasi selama 20 menit, 30 menit dan 60 menit mempunyai aktivitas enzim masing-masing sebesar 0,137 U-0,162 U; 0,102 U-0,141 U dan 0,079 U-0,144 U. Isolat kode EB1CL mempunyai aktivitas enzim yang lebih tinggi pada berbagai substrat baik substrat sintetis (CMC dan avicel) maupun substrat gulma tanaman pangan (eceng gondok dan daun apu), kecuali pada menit ke-10 pada substrat eceng gondok. Periode menit ke-10, isolat dengan kode EB6CL mempunyai aktivitas enzim


(5)

iv tertinggi dan berbeda nyata (P<0,05) dengan isolat lainnya. Periode berikutnya (20 menit, 30 menit, dan 60 menit), isolat dengan kode EB1CL kembali menghasilkan aktivitas enzim yang tertinggi. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa secara umum isolat bakteri dengan kode EB1CL merupakan isolat yang mempunyai aktivitas enzim selulase yang lebih tinggi dibandingkan dengan isolat lainnya.


(6)

v

ENZYME ACTIVITIES OF ISOLATE CELLULOLYTIC BACTERIA ISOLATED FROM A EARTHWORM (Lumbricus rubellus) ON VARIOUS

SUBSTRATES CELLULOSE

NI LUH DEWI ANTARI

Study Program of Animal Science, Fakulty of Animal Science, Udayana University, Jln. PB Sudirman, Denpasar

E-mail: dewiantari66@yahoo.com

SUMMARY

Optimizing the utilization of weed crops through the application of fermentation technology is one of the strategies developed to overcome the limitations of weed crops as animal feed. Limitations of use weed crops as livestock feed is low level digestibility due to the high content of crude fiber, one of component that is cellulose of which is difficult to degrade is chemically and mechanically. Cellulolytic bacteria isolated of earthworm is one of microbe capable of producing cellulase enzyme, so as to have the ability to degrade cellulose into simpler compounds, namely glucose. The research aimed to determine the enzyme activity of cellulolytic bacteria isolated from earthworm on a variety of substrates containing cellulose have been carried out in the Laboratory of Animal Nutrition and Feed Faculty of Animal Science, Udayana University for 3 months. The experiment was conducted with completely randomized design (CRD) 8 treatments and 3 replications by the bacterial isolates with the code EB1CL, EB2CL, EB3CL, EB4CL, EB5CL, EB6CL, EB7CL and EB8CL. The variables were observed in this research is the enzyme activity on substrates CMC (endo-1,4 glucanase), Avicel (exo-1,4 glucanase), duck weed and leaf lettuce.

The results showed that the isolates cellulolytic bacterial isolated from earthworm on a substrate CMC has an activity of cellulase enzymes as big as 0,031 U-0.059 U after incubated for 10 minutes, whereas once incubated for 20 minutes, 30 minutes and 60 minutes has the activity of cellulase enzyme respectively as big as 0,071 U-0,101 U; 0,056 U-0,084 U; and 0,032 U-0,052, while on a substrate avicel as big as 0,074 U-0,027 U after incubated for 10 minutes, while after incubated for 20 minutes, 30 minutes and 60 minutes have enzyme activity respectively as big as 0,035 U-0,065 U; 0,045 U-0,070 U and 0,061 U-0,069 U. The enzyme activity of isolates cellulolitic bacterial from earthworm on a substrate duck weed as big as 0,102 U-0,151 U after incubated for 10 minutes, 0,094 U-0,144 U after incubated for 20 minutes, 0,102 U-0,130 U after incubated for 30 minutes, 0,061 U-0,069 U after incubated for 60 minutes, while on a substrate leaf lettuce as big as 0,152 U-0,225 U after incubated for 10 minutes , whereas once incubated for 20 minutes, 30 minutes and 60 minutes has the activity of cellulase enzyme respectively as big as 0,137 0,162 U; 0,102 U-0,141 U and 0,079 U-0,144 U. Isolates with code EB1CL having cellulase enzyme activity higher on various substrates both synthetic substrates (CMC and Avicel) and substrate weed crops (duck weed and leaf lettuce), except in the 10 minute on


(7)

vi a substrate duck weed. Period 10 minutes on substrate duck weed, isolates with code EB6CL having the highest enzyme activity and significantly different (P<0,05) with other isolates. Period 20 minutes, 30 minutes and 60 minutes, isolates with EB1CL code again produced the highest enzyme activity. Based on the results of this research concluded that in general the bacterial isolates with code EB1CL an isolate that has cellulase enzyme activity higher than the other isolates.


(8)

vii

LEMBAR PENGESAHAN

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL

……….

JUDUL SKRIPSI : Aktivitas Enzim Isolat Bakteri Selulolitik yang Diisolasi dari Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) pada Berbagai Substrat Selulosa

NAMA : Ni Luh Dewi Antari NIM : 1207105040

PROGRAM STUDI : Peternakan

Pembimbing I

Dr. Ir. I Gusti Lanang Oka Cakra, M.Si NIP. 196012311987031012

Pembimbing II

I Made Mudita, SPt, MP NIP. 197405102005011004

Mengetahui

Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar

Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS. NIP. 195903121986011001


(9)

viii

Skripsi ini telah diuji Pada

Tanggal

………

Ketua : Dr. Ir. I Gusti Lanang Oka Cakra, M.Si Sekretaris : Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS Penguji Utama : I Made Mudita, S.Pt, MP

Penguji Anggota : 1. Prof. Dr. Ir. I Nyoman Sutarpa Sutama, MS 2. Dr. Ir. Ni Wayan Siti, M.Si


(10)

ix

RIWAYAT HIDUP

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan tanggal 6 Juni 1994 di Banjar Yeh Kali, Desa Seraya, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali, dan merupakan anak dari pasangan I Nyoman Kota (Ayah) dan Ni Wayan Suardini (Ibu). Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar tahun 2006 di SD Negeri 5 Seraya Barat, Sekolah Menengah Pertama (SMP) tahun 2009 di SMP Negeri 3 Amlapura, dan pada tahun 2012 penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 3 Amlapura dengan jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Tahun 2012, penulis menempuh pendidikan di Fakultas Peternakan Universitas Udayana, melalui penerimaan jalur SNMPTN tulis. Penulis aktif dalam kegiatan mahasiswa sebagai sekretaris Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Peternakan Universitas Udayana periode 2014. Selain itu, penulis juga aktif dalam kepanitiaan baik itu sebagai panitia inti, koordinator sie maupun anggota sie serta peserta kegiatan yang dilakukan oleh kampus.


(11)

x

UCAPAN TERIMAKASIH

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas asung kerta wara nugraha dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul”Aktivitas Enzim Isolat Bakteri Selulolitik yang Diisolasi dari Cacing Tanah pada Berbagai Substrat Selulosa” dengan tepat waktu dan sesuai dengan harapan. Penulis dengan berbahagia mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD., KEMD selaku Rektor Universitas Udayana atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.

2. Dr. Ir. Ida Bagus Partama, MS selaku Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan, fasilitas, perhatian dan dukungan selama menjadi mahasiswa di Fakultas Peternakan.

3. Ir. Ni Putu Sarini, M.Si selaku pembimbing akademik (PA) yang telah memberikan perhatian, dorongan dan memotivasi penulis selama mengikuti pendidikan di Fakultas Peternakan.

4. Dr. Ir. I Gusti Lanang Oka Cakra, M.Si selaku pembimbing pertama dan I Made Mudita, S.Pt., MP selaku pembimbing kedua yang penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran tanpa lelah sejak penulis mulai merencanakan penelitian sampai penulisan skripsi ini.

5. Prof. Dr. Ir. I Nyoman Sutarpa Sutama, MS, Dr. Ir. Ni Wayan Siti, M.Si dan Dr. Ir. I Nyoman Tirta Ariana, MS selaku penguji skripsi yang senantiasa memberikan masukan dan saran serta koreksi guna penyempurnaan skripsi ini. 6. Semua dosen dan staf pegawai di lingkungan Fakultas Peternakan yang telah memberikan ilmu dan bantuannya dalam menempuh pendidikan di Fakultas Peternakan, Universitas Udayana.

7. Kedua orang tua I Nyoman Kota dan Ni Wayan Suardini yang telah membesarkan, mendidik, membimbing penulis dengan penuh kasih sayang, sabar dan perhatian kepada penulis sehingga dapat mencapai semua ini.


(12)

xi 8. Kedua adik I Made Dwi Antara dan I Nyoman Agus Adnyana yang selalu mendukung dan menjadi motivasi penulis dalam menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi ini.

9. Kepada PT. Charoen Phokphand yang telah memberi dukungan berupa material dalam proses pelaksanaan penelitian sampai terwujudnya skripsi ini. 10.Kepada Han dan Elisa yang telah memberi dukungan berupa material dalam

proses pembelajaran di Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

11.Kepada I Wayan Eka Edi Suandana yang telah memberi dukungan, motivasi dan semangat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

12.Kepada Ni Pande Made Suartiningsih dan I Komang Adi Suparman yang selalu setia menemani dan membantu penulis dalam proses pembelajaran di Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

13.Kepada semua teman kelompok penelitian Marna Rohani Banurea, Ni Wayan Riandani, I Komang Geria Suardita, I Komang Juliartawan, I Kadek Slamet, I Komang Dodi Kusumajaya dan I Gede Benson Andika, yang telah bekerjasama dan membantu dari pelaksanaan penelitian, pegumpulan data hingga terwujudnya skripsi ini.

14.Kepada Ni Luh Sri Novi Ariani, Ni Putu Rita Noviani Susanti, Ni Made Lisa Purnama Sari, Ni Putu Yundari Melati, Ni Pande Wayan Nining Pravita, Ni Kade Ari Wulan Pebri, Dea Kristiani Rumapea, Bernika Julia Sitanggang dan teman-teman angkatan 2012 lainnya yang telah menemani, membantu penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Peternakan Universitas Udayana. 15.Kepada adik kelas angkatan 2013 atas pertanyaan-pertanyaan yang telah

memotivasi penulis untuk menyelasaikan skripsi ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian skripsi ini, serta kepada segenap keluarga penulis.

Denpasar, 2 Mei 2015 Penulis


(13)

xii

DAFTAR ISI

RINGKASAN ... iii

SUMMARY ... v

LEMBAR PENGESAHAN ... vii

RIWAYAT HIDUP ... ix

UCAPAN TERIMAKASIH... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Hipotesis ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Gulma Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak ... 6

2.2 Selulosa sebagai Faktor Pembatas Pemanfaatan Gulma Tanaman Pangan 9

2.3 Enzim Selulase ... 11

2.4 Mikroba Penghasil Enzim Selulase ... 17

2.5 Cacing Tanah sebagai Sumber Mikroba Selulolitik... 18

BAB III MATERI DAN METODE ... 21

3.1 Materi ... 21

3.1.1 Tempat dan lama penelitian ... 21

3.1.2 Isolat bakteri selulolitik hasil isolasi dari cacing tanah ... 21

3.1.3 Substrat selulosa ... 21

3.1.4 Medium cair ... 22

3.1.5 Larutan buffer asetat 50 mM pH 5,5 ... 22

3.1.6 Larutan pengencer ... 22


(14)

xiii

3.1.8 Peralatan ... 23

3.2 Metode ... 23

3.2.1 Prosedur kerja... 23

3.2.2 Rancangan percobaan... 27

3.2.3 Variabel yang diamati ... 27

3.2.5 Analisis data ... 27

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

4.1 Hasil ... 28

4.2 Pembahasan ... 34

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 46

5.1 Simpulan ... 46

5.2 Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47


(15)

xiv

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman 4.1 Aktivitas enzim selulase isolat bakteri selulolitik asal cacing tanah ... 29


(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

2.1 Bangun dasar selulosa ... 10

2.2 Proses degradasi selulosa menjadi glukosa ... 14

4.1 Kurva aktivitas enzim selulase setelah diinkubasi selama 10 menit pada substrat CMC, avicel, eceng gondok dan daun apu ... 38

4.2 Kurva aktivitas enzim selulase setelah diinkubasi selama 20 menit pada substrat CMC, avicel, eceng gondok dan daun apu ... 39

4.3 Kurva aktivitas enzim selulase setelah diinkubasi selama 30 menit pada substrat CMC, avicel, eceng gondok dan daun apu ... 40

4.4 Kurva aktivitas enzim selulase setelah diinkubasi selama 60 menit pada substrat CMC, avicel, eceng gondok dan daun apu ... 41

4.5 Kurva aktivitas enzim selulase pada substrat CMC ... 42

4.6 Kurva aktivitas enzim selulase pada substrat avicel ... 43

4.7 Kurva aktivitas enzim selulase pada substrat eceng gondok ... 44


(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman 1 Analisis data aktivitas enzim selulase setelah diinkubasi selama

10 menit pada substrat CMC ... 53 2 Analisis data aktivitas enzim selulase setelah diinkubasi selama

20 menit pada substrat CMC ... 56 3 Analisis data aktivitas enzim selulase setelah diinkubasi selama

30 menit pada substrat CMC ... 57 4 Analisis data aktivitas enzim selulase setelah diinkubasi selama

60 menit pada substrat CMC ... 58 5 Analisis data aktivitas enzim selulase setelah diinkubasi selama

10 menit pada substrat avicel ... 59 6 Analisis data aktivitas enzim selulase setelah diinkubasi selama

20 menit pada substrat avicel ... 61 7 Analisis data aktivitas enzim selulase setelah diinkubasi selama

30 menit pada substrat avicel ... 62 8 Analisis data aktivitas enzim selulase setelah diinkubasi selama

60 menit pada substrat avicel ... 63 9 Analisis data aktivitas enzim selulase setelah diinkubasi selama

10 menit pada substrat eceng gondok ... 64 10 Analisis data aktivitas enzim selulase setelah diinkubasi selama

20 menit pada substrat eceng gondok ... 66 11 Analisis data aktivitas enzim selulase setelah diinkubasi selama

30 menit pada substrat eceng gondok ... 67 12 Analisis data aktivitas enzim selulase setelah diinkubasi selama

60 menit pada substrat eceng gondok ... 68 13 Analisis data aktivitas enzim selulase setelah diinkubasi selama

10 menit pada substrat daun apu ... 69 14 Analisis data aktivitas enzim selulase setelah diinkubasi selama

20 menit pada substrat daun apu ... 70 15 Analisis data aktivitas enzim selulase setelah diinkubasi selama


(18)

xvii 30 menit pada substrat daun apu ... 72 16 Analisis Data Aktivitas Enzim Selulase setelah Diinkubasi selama


(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Optimalisasi pemanfaatan gulma tanaman pangan sebagai pakan ternak merupakan suatu cara untuk menekan biaya produksi dalam pengembangan usaha peternakan. Gulma tanaman pangan mempunyai potensi untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan penyusun pakan ternak ditinjau dari kandungan nutrien yang cukup memadai, harga yang relatif murah, mudah didapat, serta tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Eceng gondok dan daun apu merupakan salah satu contoh gulma tanaman pangan yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak.

Hasil analisis kandungan nutrien daun apu yang bersumber dari sawah, menunjukkan bahwa protein kasar daun apu sebesar 14,00%; serat kasar 19,71%; lemak kasar 1,54%; abu 19,70% dan kandungan energi termetabolisnya 1444,47 kkal/kg bahan (Sumaryono, 2003). Radjiman et al. (1999) menyatakan bahwa kandungan nutrien eceng gondok yaitu protein kasar sebesar 13%, lemak kasar 1%, serat kasar 21,30% dan energi termetabolis 2.096,92 kkal/kg. Berdasarkan kandungan nutrien tersebut, gulma tanaman pangan berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak.

Pemanfaatan gulma tanaman pangan sebagai pakan ternak juga mempunyai faktor pembatas antara lain tingkat kecernaan yang rendah akibat kandungan serat yang cukup tinggi. Serat merupakan bagian dari makanan yang sulit untuk dicerna secara enzimatis (enzim yang dikeluarkan oleh unggas) dan tidak digolongkan sebagai zat makanan (Linder, 1985), sehingga kandungan serat


(20)

2 kasar yang cukup tinggi dalam ransum dapat menurunkan produktivitas ternak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mudita et al. (2009), pemanfaatan ransum berbasis limbah tanpa aplikasi teknologi pengolahan akan menurunkan produktivitas sapi bali maupun kambing dibandingkan dengan pemanfaatan ransum dengan aplikasi teknologi fermentasi maupun suplementasi. Dewi et al.

(2014) juga menyatakan bahwa penggunaan ransum berbasis limbah dan gulma tanaman pangan tanpa tersuplementasi biosuplemen isi rumen dapat menurunkan produktivitas itik bali dibandingkan dengan penggunaan ransum berbasis limbah dan gulma tanaman pangan tersuplementasi biosuplemen isi rumen. Hal ini menunjukkan bahwa, faktor pembatas utama dalam memanfaatkan gulma tanaman pangan sebagai pakan ternak yaitu kandungan serat kasar yang cukup tinggi, seperti selulosa.

Selulosa merupakan komponen utama dinding sel yang tersusun atas polimer glukosa yang berbentuk rantai linier seragam yang dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosidik (Howard et al., 2003; Hermiawati et al., 2010). Struktur yang linier menyebabkan selulosa bersifat kristalin dan tidak mudah larut sehingga tidak mudah didegradasi secara kimia maupun mekanis (Dewanti et al., 2013). Namun degradasi secara sempurna polimer tersebut mampu menyediakan semua potensi nutrisi yang terkandung dalam bahan pakan asal limbah inkonvensional (Mudita et al., 2014). Selulosa dapat didegradasi secara sempurna dengan bantuan aktivitas enzim selulase yang diproduksi oleh mikroorganisme pendegradasi selulosa, antara lain oleh kelompok bakteri selulolitik.

Bakteri selulolitik merupakan bakteri yang mampu menghasilkan enzim


(21)

3 glukosa (Meriyandini et al., 2009). Lynd et al. (2002) dan Beauchemin et al. (2003) menyatakan bahwa perombakan selulosa secara enzimatis berlangsung karena adanya kompleks enzim selulase yang bersifat spesifik untuk menghidrolisis ikatan β-1,4-glikosidik, rantai selulosa dan derivatnya melalui beberapa tahapan yang terdiri dari enzim endo-β-glukanase/CMC-ase, eksoglukanase, dan β-glukosidase. Di alam, bakteri selulolitik banyak terdapat pada lahan pertanian, tanah gambut, saluran pencernaan ruminansia, sel tubuh maupun saluran pencernaan hewan invertebrata dan berbagai sumber bakteri lainnya (Watanabe et al., 1998; Purwadaria et al., 2003ab; 2004; Mudita et al, 2009; Anam et al., 2012).

Cacing tanah merupakan hewan invertebrata yang memakan sisa-sisa tumbuhan atau hewan yang mampu mendegradasi bahan organik (Suhartanti et al., 2013). Yurmiati (2006) menyatakan bahwa hasil dari aktivitas cacing tanah pada limbah peternakan adalah pupuk organik kascing yang mengandung unsur hara mikro dan makro yang lengkap, sedangkan secara fisik bersifat remah dan mudah diserap tanaman. Hal ini disebabkan karena di dalam saluran pencernaan cacing tanah mengandung berbagai konsorsium mikroba sinergis seperti protozoa, bakteri dan mikro fungi yang mampu mendegradasi senyawa selulosa, antinutrisi dan mengandung berbagai enzim seperti lipase, protease, urease, selulase, amilase, dan chitinase (Patma dan Saktivhel, 2012).

Hasil penelitian Suhartanti et al. (2013)menyatakan bahwa dalam saluran pencernaan cacing tanah dan kascing terdapat bakteri selulolitik yang terdeteksi berbentuk batang dan bersifat gram negatif. Bakteri selulolitik dalam saluran pencernaan cacing tanah dapat mendegradasi selulosa, hasil degradasi dari bakteri


(22)

4 tersebut bermanfaat untuk meningkatkan senyawa-senyawa yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman atau mikroorganisme lain (Reanida et al., 2012). Berdasarkan hasil penelitian Hadisusanto (1992) dalam Suhartanti et al. (2013), hewan invertebrata yang mengkonsumsi sisa-sisa tumbuhan atau hewan yang ada dalam tanah, dalam saluran pencernaanya ditemukan bakteri yang dapat mendegradasi selulosa. Bakteri tersebut dapat menghasilkan enzim selulase yang dapat memutus ikatan β-1,4 glikosida pada rantai selulosa (Suhartanti et al.,

2013). Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas enzim selulase isolat bakteri selulolitik yang diisolasi dari cacing tanah pada berbagai substrat yang mengandung selulosa.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana aktivitas enzim isolat bakteri selulolitik yang diisolasi dari cacing tanah pada berbagai substrat yang mengandung selulosa.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas enzim isolat bakteri selulolitik yang diisolasi dari cacing tanah pada berbagai substrat yang mengandung selulosa.

1.4 Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah isolat bakteri selulolitik yang diisolasi dari cacing tanah mempunyai aktivitas enzim selulase dalam berbagai substrat yang mengandung selulosa.


(23)

5

1.5 Manfaat Penelitiaan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dengan diperolehnya isolat bakteri selulolitik unggul yang mempunyai tingkat aktivitas enzim selulase yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk produksi bioinokulan sebagai fermentor dalam produksi pakan berbasis limbah dan gulma tanaman pangan dan produksi pupuk organik oleh masyarakat serta dapat sebagai sumber referensi bagi peneliti pada penelitian selanjutnya.


(24)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gulma Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak

Pemanfaatan limbah inkonvensional termasuk limbah dan gulma tanaman pangan sebagai bahan pakan ternak non ruminansia telah banyak dicobakan dan cukup prospektif untuk diaplikasikan dalam upaya peningkatan sistem ketahanan pakan dalam mendukung terwujudnya sistem ketahanan pangan yang kuat (Permana, 2015). Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan akan dapat mengurangi biaya produksi khususnya biaya pakan yang selama ini menjadi biaya terbesar dalam usaha peternakan karena biaya pakan mencapai ±70% dari total biaya produksi. Menurut Supriyati et al. (2003), pakan merupakan kebutuhan primer dalam usaha peternakan yang mencapai 70% dari total biaya produksi. Selain itu, pakan merupakan faktor utama di dalam keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit atau genetik dan tata laksana atau manajemen (Harfiah, 2010). Penggunaan bahan pakan dari limbah dan gulma tanaman pangan juga dapat mengurangi atau mencegah pencemaran lingkungan (Mudita et al., 2009).

Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh di suatu tempat dalam waktu tertentu tidak dikehendaki oleh manusia (Soerjani et al. 1996). Lebih lanjut diungkapkan, gulma tidak dikehendaki karena bersaing dengan tanaman yang dibudidayakan dan dibutuhkan biaya pengendalian yang cukup besar yaitu sekitar 25-30% dari biaya produksi. Eceng gondok yang merupakan salah satu jenis gulma juga memiliki kandungan nutrien yang cukup baik, yaitu energi


(25)

7 metabolis 2096,92 kkal/kg, protein kasar 13 %, serat kasar 21,3 % (Radjiman et al., 1999). Hasil analisis kandungan nutrien daun apu yang bersumber dari sawah, menunjukkan bahwa protein kasar daun apu sebesar 14,00%; serat kasar 19,71%; lemak kasar 1,54%; abu 19,70% dan kandungan energi termetabolisnya 1444,47 kkal/kg bahan (Sumaryono, 2003). Menurut Ahmed et al. (2012), kandungan kimia serat kasar eceng gondok yaitu 60% selulosa, 8% hemiselulosa dan 17% lignin. Meryandani et al. (2009) menyatakan bahwa selulosa terbungkus dan terikat secara ikatan kovalen maupun non-kovalen pada lignin dan hemiselulosa.

Limbah inkonvensional seperti sekam padi, bulu ayam, kulit kopi, lemak hewan maupun limbah dan gulma tanaman pangan seperti batang pisang, daun apu, enceng gondok serta limbah dan gulma lainnya mempunyai kandungan nutrien yang cukup baik bagi ternak (Permana, 2015). Lebih lanjut diungkapkan, namun disisi lain bahan pakan asal limbah termasuk gulma mempunyai berbagai keterbatasan seperti kualitas nutrien yang tidak seimbang serta ketersediaan

nutrient available, mineral-vitamin dan daya cerna yang rendah. Mudita et al. (2009) menyatakan bahwa pemanfaatan ransum berbasis limbah tanpa aplikasi teknologi pengolahan akan menurunkan produktivitas sapi bali maupun kambing dibandingkan dengan pemanfaatan ransum dengan aplikasi teknologi fermentasi maupun suplementasi. Dewi et al. (2014) juga menyatakan bahwa penggunaan ransum berbasis limbah dan gulma tanaman pangan tanpa tersuplementasi biosuplemen isi rumen dapat menurunkan produktivitas itik bali dibandingkan dengan penggunaan ransum berbasis limbah dan gulma tanaman pangan tersuplementasi biosuplemen isi rumen. Bagi ternak unggas seperti itik bali, serat kasar dapat dikatakan tidak dapat dicerna, dimana hanya 20%-30% serat kasar


(26)

8 yang dapat dicerna dalam saluran pencernaan belakang yaitu di sekum dan kolon yang kemungkinan dapat diserap/dimanfaatkan oleh ternak sangat kecil (Bidura, 2007). Aplikasi teknologi pengolahan pakan dan teknik suplementasi berpotensi memperbaiki kelemahan yang ada (Dewi et al., 2014).

Penelitian pemanfaatan limbah dan gulma tanaman pangan seperti batang pisang, eceng gondok, maupun gulma lainnya telah banyak dilakukan (Permana, 2015). Hasil penelitian Marlina dan Askar (2001) menunjukkan bahwa hasil analisis kandungan zat-zat makanan ransum yang diberi tambahan daun eceng gondok menunjukkan adanya peningkatan serat kasar dari 2,64 % menjadi 4,06 % dan protein yang relatif kecil. Lebih lanjut diungkapkan, hasil percobaannya menunjukkan bahwa penambahan eceng gondok sampai 10% tidak merugikan baik terhadap produksi telur maupun kualitas telurnya yang berarti peningkatan serat kasar pada penambahan eceng gondok sampai 10% tidak berpengaruh.

Marlina dan Askar (2001) mengungkapkan bahwa tingginya kandungan serat kasar dalam ransum ternak babi dapat mempengaruhi pertumbuhannya, namun berdasarkan hasil percobaan menunjukkan bahwa pencampuran eceng gondok sampai 15% ke dalam ransum babi tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan babi, tentunya akan sangat menekan harga karena akan mengurangi jumlah pemakaian konsentrat. Sehingga penambahkan penggunaan eceng gondok sebagai bahan ransum harus diatur sedemikian rupa. Namun hasil penelitian Riana dan Bidura (2002) menunjukkan penggunaan eceng gondok dalam ransum ayam buras tidak boleh lebih dari 10%, penggunaan eceng gondok 20% dan 30% mengakibatkan pertambahan bobot badan ayam buras menurun. Lebih lanjut diungkapkan, kandungan serat kasar yang tinggi merupakan faktor pembatas


(27)

9 pemanfaatan eceng gondok yang merupakan sumber daya lokal asal limbah/gulma tanaman pangan sebagai komponen ransum. Namun Bidura (2006) mengungkapkan efek negatif bahan pakan asal limbah dapat diatasi melalui aplikasi bioteknologi pakan baik melalui biofermentasi, suplementasi maupun penambahan probiotik.

2.2 Selulosa sebagai Faktor Pembatas Pemanfaatan Gulma Tanaman Pangan

Faktor pembatas dalam pemanfaatan gulma tanaman pangan sebagai pakan ternak adalah rendahnya kandungan nutrient available dan kecernaan nutrien yang terutama disebabkan kandungan serat yang cukup tinggi (Permana, 2015). Serat merupakan bagian dari makanan yang sulit untuk dicerna secara enzimatis (enzim yang dikeluarkan oleh unggas) dan tidak digolongkan sebagai zat makanan (Linder, 1985), sehingga kandungan serat kasar yang cukup tinggi dalam ransum dapat menurunkan produktivitas ternak. Selulosa merupakan salah satu bahan organik yang terdapat dalam jumlah banyak di alam dan merupakan sumber energi yang sangat potensial bagi ruminansia (Arora, 1989). Puspitasari (2009) menyatakan bahwa selulosa merupakan senyawa penyusun tanaman dalam jumlah banyak yang sebagai struktur dinding sel tanaman.

Selulosa merupakan komponen utama dinding sel yang tersusun atas polimer glukosa yang berbentuk rantai linier seragam yang dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosidik (Howard et al., 2003; Hermiawati et al., 2010). Struktur yang linier menyebabkan selulosa bersifat kristalin dan tidak mudah larut sehingga tidak mudah didegradasi secara kimia maupun mekanis (Dewanti et al., 2013). Namun degradasi secara sempurna polimer tersebut mampu menyediakan


(28)

10 semua potensi nutrisi yang terkandung dalam bahan pakan asal limbah inkonvensional (Mudita et al., 2014).

Selulosa mempunyai bobot molekul tinggi yang terdapat dalam jaringan tanaman pada dinding sel tanaman dalam bentuk mikrofibril (Suparjo et al., 2008). Selulosa adalah polimer dari β-D-glukosa dan gugus atas dan bawahnya dihubungkan dengan CH2OH (Zamora, 2005). Selulosa murni adalah homoglycan dari bobot molekul yang tinggi dengan unit berikutnya berbentuk selobiosa. Pada tanaman, ikatan selulosa dibentuk dengan cara yang tersusun untuk memproduksi kumpulan padat (mikrofibril) yang disatukan bersamaan baik oleh ikatan molekul hidrogen inter maupun intra (McDonald et al., 2002). Menurut Harjo et al.

(1989), secara alamiah molekul selulosa tersusun dalam bentuk fibril yang terdiri dari beberapa molekul selulosa paralel yang dihubungkan oleh ikatan hydrogen. Lebih lanjut diungkapkan bahwa fibril-fibril tersebut akan membentu kristal dan struktur tersebut dibungkus oleh lignin yang berperan melindungi selulosa terhadap serangan enzim pemecah selulosa. Rumus molekul selulosa adalah (C6H10O5)n (Perez et al., 2002).


(29)

11 Menurut Irawadi (1990), struktur selulosa sebagai polimer karbohidrat atau polisakarida tersusun dari anhidroglukopiranosa yang memiliki rumus C6H10O5. Lebih lanjut diungkapkan bahwa selulosa diikat oleh β-1,4-glukosida alam, membentuk rantai polimer linier glukan dengan struktur rantai yang seragam. Ikatan β-1,4 glikosida pada selulosa merupakan ikatan penghubung antar unit D-glukosa (Lehninger, 1982 dalam Puspitasari, 2009). Ikatan penghubung ini dapat dipecah menjadi monomer-monomer glukosa melalui jalur hidrolisa asam dan hidrolisa enzimatis atau biologis (Harjo et al., 1989). Lebih lanjut Harjo et al. (1989) menambahkan bahwa meskipun ikatan glikosidik beta 1,4 pada serat selulosa dapat dipecah menjadi monomer-monomer glukosa dengan cara hidrolisa asam atau hidrolisa enzimatis, akan tetapi pemecahannya tidak secepat pati atau gula.

2.3 Enzim Selulase

Selulase adalah nama bagi semua enzim yang memutuskan ikatan glikosidik beta-1,4 di dalam selulosa, selobiosa, dan turunan selulosa lainnya (Denman et al., 1996). Lebih lanjut diungkapkan bahwa di alam, enzim selulase

ditemukan di berbagai ekosistem, terutama ditemukan pada proses dekomposisi serasah daun, hingga keadaan anaerobik pada ruminansia. Selulase merupakan enzim yang mampu menghidrolisis selulosa menjadi gula sederhana atau glukosa dengan memutuskan ikatan glikosidik β-1,4 dalam selulosa, selodekstrin, selobiosa dan turunan selulosa lainnya (Kulp, 1975 dalam Syam, 2008).

Lynd et al. (2002) dan Beauchemin et al. (2003) menyatakan bahwa perombakan selulosa secara enzimatis berlangsung karena adanya kompleks enzim selulase yang bersifat spesifik untuk menghidrolisis ikatan β-1,4-glikosidik,


(30)

12 rantai selulosa dan derivatnya melalui beberapa tahapan yang terdiri dari enzim

endo-β-glukanase/CMC-ase, eksoglukanase, dan β-glukosidase. Enzim selulase

merupakan sistem enzim yang terdiri dari enzim endoglukanase, eksoglukanase

dan β-glukosidase (Syam, 2008). Menurut Schlegel (1994) mekanisme pemecahan selulosa oleh selulase sekurang-kurangnya terdiri dari tiga enzim: (1) Enzim-enzim endo-β-1,4 glukanasemempengaruhi secara serentak ikatan β-1,4 di dalam makromolekul dan menghasilkan potongan-potongan besar berbentuk rantai dengan ujung-ujung bebas, (2) Enzim ekso-β-1,4 glukanase memotong mulai dari ujung-ujung rantai, disakarida selobiosa, (3) Enzim-enzim β-glukosidase

menghidrolisasi selobiosa dengan membentuk glukosa. Enzim selulase adalah enzim yang dapat mengkatalisis dan menghidrolisis ikatan β 1-4 glukosidik pada selulosa (ikatan yang paling banyak di selulosa) (Bhat, 2000).

Aktivitas enzim endoglucanases atau yang sering disebut dengan CM-cellulases (carboxymethylcellulose), menghidrolisis secara acak ikatan pada serat selulosa (Syam, 2008). Lebih lanjut diungkapkan bahwa endoglukanase

memotong secara acak pada situs internal amorf pada rantai selulosa polisakarida menghasilkan oligosakarida dengan panjang yang berbeda-beda dan akhirnya membentuk ujung rantai baru (Syam, 2008). Hal ini mengakibatkan rantai polisakarida yang telah terpotong (oligosakarida) mempunyai panjang rantai yang berbeda-beda (Bhat, 2000). Hasil dari hidrolisis serat selulosa adalah glukosa, cellobiose, cellotriose, dan oligosakarida yang lebih tinggi (Wood, 1985).

Cellobiohydrolyase yang sering disebut dengan eksoglukanase adalah enzim pendegadasi selulosa yang ditemukan pada mayoritas fungi yang dapat mendegadasi selulosa (Wood, 1985). Lebih lanjut diungkapkan bahwa


(31)

13

eksoglukanase berperan dalam mengatur proses reduksi atau tanpa reduksi dari ujung rantai selulosa polisakarida, membebaskan melepaskan unit-unit glukosa secara berturut-turut. Eksoglukanase dapat menghidrolisis mikrokristalline namun tidak dapat menghidrolisis carboxymethylcellulose (Kim dan Kim, 1995). Enzim

eksoglukanase terdiri dari 1,4- D-glucan glucanohydrolases (lebih dikenal dengan

cellodextrinases) dan 1,4-D-glucan cellobiohydrolases (cellobiohydrolases). Enzim eksoglukanase adalah enzim yang aktif pada sisi crystalline selulosa (Mattinen, 1998).

β-glucoside glucohydrolases lebih dikenal sebagai β-glukosidase. β -glukosidase adalah enzim yang digunakan untuk menghidrolisis cellobiose

dan pada beberapa kasus dapat menghidrolisis cello-oligosakarida menjadi glukosa (Wood, 1985). Lebih lanjut diungkapkan enzim endogluconases dan β- glukosidase dapat menghidrolisis selulosa menjadi glukosa. β-glukosidase

dibutuhkan untuk menghidrolisis inhibitor cellobiose. Laju hidrolisis enzim

selulase ditentukan oleh struktur enzim dan struktur substrat, dimana struktur kristal dari selulosa relatif lebih sulit dihidrolisis dibandingkan dengan struktur

amorf (Coughlan, 1985).

Perombakan selulosa oleh kelompok bakteri selulolitik berlangsung melalui beberapa tahapan (Bhat dan Bhat, 1997). Tahap pertama adalah menguraikan polimer selulosa secara random/acak oleh enzim

carboxymethilcelulase/CMC-ase atau endo β-1,4 glukanase dengan cara memecah ikatan hidrogen yang ada di dalam struktur kristalin/amorf selulosa (ikatan internal α-1,4-glukosida) sehingga terbentuk rantai-rantai individu selulosa (oligodekstrin). Tahap kedua adalah penguraian selulosa dari ujung pereduksi dan


(32)

14 non pereduksi oleh eksoglukanase (selodektrinase dan selobiohydrolase) melalui pemotongan ujung-ujung rantai individu selulosa (ujung pereduksi dan non-pereduksi) sehingga menghasilkan disakarida dan tetrasakarida (misal selobiosa). Lynd et al. (2002) mengungkapkan hidrolisis bagian berkristal selulosa hanya dapat dilakukan secara efisien oleh enzim eksoglukanase. Tahap ketiga (terakhir) adalah tahap penguraian selobiosa menjadi glukosa oleh enzim β -glukosidase/glukohydrolase.

Aktivitas enzim didefinisikan sebagai kecepatan pengurangan substrat atau kecepatan pembentukan produk pada kondisi optimum (Lynd et al., 2002). Satu unit aktivitas enzim selulase didefinisikan sebagai jumlah enzim yang menghasilkan satu mikromol gula reduksi (glukosa) setiap menit (Lehninger, 1993 dalam Syam, 2008). Lebih lanjut diungkapkan, setiap enzim berfungsi secara optimal pada pH, suhu, dan konsentrasi substrat tertentu.


(33)

15 Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim yaitu:

a. Konsentrasi Substrat

Substrat yang digunakan dalam proses fermentasi berpengaruh terhadap aktivitas dan produktivitas enzim. Hasil eksperimen menunjukkan pada konsentrasi enzim yang tetap, maka pertambahan konsentrasi substrat akan menaikkan kecepatan reaksi. Akan tetapi pada batas konsentrasi tertentu, kecepatan reaksi tidak akan mengalami kenaikan walaupun konsentrasi substrat diperbesar. Substrat yang dipergunakan secara umum untuk penetapan aktivitas

endoglukanase adalah CMC (Carboxymethyl cellulose) (Syam, 2008). b. Suhu

Suhu sangat berpengaruh dan digunakan sebagai katalis enzim dalam suatu reaksi kimia. Jika pada suhu rendah reaksi kimia berlansung lambat, sedangkan pada suhu yang lebih tinggi reaksi berlangsung lebih cepat (Poedjiadi 1994 disitasi Syam, 2008). Namun, kenaikan suhu dapat menyebabkan terjadinya proses denaturasi, maka bagian aktif enzim akan terganggu dan kecepatan reaksinya pun akan menurun.

c. Part of Hidrogen (pH)

Aktivitas enzim selulase pada umumnya stabil pada kisaran pH 4,5 dan 6,5. Perubahan pH lingkungan sangat berpengaruh terhadap efektvitas bagian aktif enzim dalam membentuk kompleks enzim substrat. Jika kondisi pH rendah atau pH tinggi dapat pula menyebabkan terjadinya proses denaturasi dan akan mengakibatkan aktivitas enzim menjadi turun (Syam, 2008).

Maranatha (2008) menyatakan bahwa setiap bakteri selulolitik menghasilkan kompleks enzim selulase yang berbeda-beda, tergantung dari gen


(34)

16 yang dimiliki dan sumber karbon yang digunakan. Sumardi et al. (2010) menyatakan bahwa faktor genetik mempengaruhi besarnya produksi enzim. Lebih lanjut diungkapkan, gen setiap mikroorganisme berbeda-beda sehingga masing-masing mikroorganisme memiliki sifat yang berbeda dan dari tiap gen memiliki sifat yang spesifik untuk mengkode enzim-enzim tertentu.

Substrat Carboxy Methyl Cellulose (CMC) merupakan substrat selulosa murni yang berbentuk amorphous sehingga aktivitas enzim selulase pada substrat CMC merupakan aktivitas enzim endo-1,4-β-glukanase (Meryandini et al., 2009). Lebih lanjut diungkapkan, substrat avicel merupakan substrat selulosa yang berbentuk kristalin sehingga aktivitas enzim selulase pada substrat avicel merupakan aktivitas enzim ekso-1,4-β-glukanase. Endo-1,4-β-glukanase bekerja pada rantai dalam CMC menghasilkan oligosakarida atau rantai selulosa yang lebih pendek (Maranatha, 2008). Lebih lanjut diungkapkan, enzim ekso-1,4-β -glukanase bekerja memotong ujung rantai oligosakarida menjadi selobiosa, yaitu dua molekul glukosa yang berikatan secara β-1,4-glikosidik. Hasil penelitian Meryandani et al. (2009) menunjukkan bahwa isolat asal tanah pertanian dengan C5-1, C11-1 dan C4-4 memiliki aktivitas enzim selulase optimum pada substrat CMC berturut-turut sebesar 0,042 nkat/ml; 0,193 nkat/ml dan 0,112 nkat/ml yang menggambarkan bahwa isolat tersebut memiliki sejumlah besar endo-1,4-β -glukanase.

Hemiselulosa dan lignin akan mengganggu aktivitas enzim selulase yang hanya spesifik memotong ikatan β-1,4-glikosidik pada selulosa (Maranatha, 2008). Lebih lanjut diungkapkan, untuk meningkatkan luas permukaan substrat maka jerami padi, tongkol jagung dan kulit pisang diperkecil ukurannya sampai


(35)

17 65 mesh. Menurut Meryandani et al. (2009), hal yang menghambat aktivitas

selulase pada substrat jerami padi dan tongkol jagung adalah komponen lignin karena lignin membungkus dan mengikat selulosa secara fisik sehingga menghalangi enzim selulase bekerja maksimal pada substrat.

Meryandani et al. (2009) menyatakan bahwa aktivitas enzim selulase yang lebih tinggi pada substrat limbah pertanian dibandingkan dengan selulosa sintetis kemungkinan disebabkan oleh adanya enzim hemiselulolitik pada ekstrak kasar yang diproduksi oleh bakteri. Han et al. (2003) menyatakan bahwa bakteri

Clostridium cellulovorans mensintesis enzim hemiselulolitik saat tumbuh pada substrat selulosa seperti selobiosa. Lebih lanjut diungkapkan, ekspresi enzim

selulase berhubungan dengan ekspresi enzim hemiselulase. Susanti (2011) yang menyatakan bahwa apabila waktu reaksi enzimatis telah mencapai optimum dalam menghasilkan produk yang maksimum maka aktivitas enzim mengalami penurunan dengan penambahan waktu inkubasi lebih lanjut. Susanti (2011) juga menyatakan bahwa produk gula pereduksi yang dihasilkan dari reaksi enzimatis sebanding dengan lama waktu inkubasi, tetapi jika sisi aktif enzim telah jenuh oleh substrat.

2.4 Mikroba Penghasil Enzim Selulase

Degradasi selulosa merupakan proses pemecahan polimer anhidroglukosa menjadi molekul yang lebih sederhana. Maranatha (2008) menyebutkan mikroba selulolitik dari kelompok bakteri mempunyai tingkat pertumbuhan cepat dan aktivitas selulolitik tinggi. Mikroba selulolitik khususnya bakteri banyak ditemukan pada tanah pertanian, hutan, jaringan hewan, saluran pencernaan herbivora baik rumen, sekum maupun kolon, rayap (air liur, sel tubuh, saluran


(36)

18 pencernaan maupun sarangnya), saluran pencernaan hewan invertebrate serta pada tumbuhan yang membusuk/mati (Anam et al., 2012). Bakteri di alam yang bersifat selulolitik antara lain: Clostridium (C. acetobutylicum, C. thermocellum), Bacillus sp., Acidothermus, Pseudomonas (P. cellulosa), Rhodothermus

(Anindyawati, 2010), Erwinia, Acetovibrio, Mikrobispora, Cellulomonas, Cellovibrio, Streptomyces, Sclerotium rolfisii (Duff and Murray, 1996; Indrawati Gandjar, 2006), Fibrobacter succinogenes, Ruminococcus albus, Ruminococcus flavefaciens, Butytrivibrio fibrisolvens (Lynd et al., 2002).

Bakteri selulolitik merupakan bakteri yang mampu menghasilkan enzim

selulase yang menghidrolisis selulosa menjadi produk yang lebih sederhana yaitu glukosa (Meriyandini et al., 2009). Kemampuan degradasi selulosa berbagai bakteri bervariasi yang dipengaruhi oleh jenis/spesies, substrat maupun lingkungan. Chen dan Weimer (2001) mengungkapkan bahwa bakteri selulolitik akan dominan dalam rumen ruminansia apabila ternak diberikan pakan hijauan atau pakan kaya serat.

2.5 Cacing Tanah sebagai Sumber Mikroba Selulolitik

Cacing tanah adalah salah satu binatang yang mampu mendegradasi berbagai bahan organik (Suhartanti et al., 2013). Kemampuan ini dikarenakan terkandungnya berbagai mikroba sinergis seperti protozoa, bakteri dan mikro fungi di dalam saluran pencernaannya serta terkandung berbagai enzim seperti

lipase, protease, chitinase, selulase, urease dan amilase (Andika, 2015). Selain itu, di dalam saluran pencernaan cacing tanah juga terdapat mukus yang mengandung berbagai nutrien (karbohidrat, protein, bahan mineral dan bahan organik, serta berbagai asam amino) dan hormon (Pathma dan Sakthivel, 2012).


(37)

19 Lebih lanjut diungkapkan, cacing tanah juga mampu mendegradasi senyawa antinutrisi dan lignoselulosa, memproduksi antibiotika, chitinase dan glucanase, pigmen fluorescent siderophores, serta berbagai growth promotor melalui pelarutan mineral dan menekan mikroba patogen, serta memproduksi hormon 1-aminocyclopropane-1carboxylate (ACC) deaminase, dan menekan mikroba patogen.

Fuji et al. (2012) menambahkan bahwa bakteri selulolitik yang dominan pada cacing tanah Amynthun heteropoda dan Eisenia fetida adalah Burkholderia spp, Enterobacter Herbaspiririllum dan Pseidomonas, sedangkan fungi selulolitik yang dominan adalah Penicillium, Fusarium dan Staphylotrichum. Owa et al. (2013) menunjukkan dari saluran pencernaan cacing tanah Libyodrilus violaceus

berhasil diisolasi bakteri Acinobacter sp, Kiebsiella sp, Bacillus sp., B. brevis, B. cereus, B. lalerosporus, B. lichenoform, P. vulgaris, Pseudomonas s, Alcaligans

faecalis, Corynebacterium sp., E. cloacae, Erwinia salicie, Flavobacterium sp., F.

aquartile, Micrococcus inteus, M. kristinae, M. Varians dan Proteus rennvi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Asnani dan Puji Lestari (2009) menunjukkan bahwa ekstrak kasar dan fraksi ammonium sulfat cacing P. excavatus mempunyai aktivitas enzim amilase, lipase dan protease. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2007) juga menyimpulkan bahwa dalam saluran pencernaan cacing tanah (Lumbricus terestris) terdapat bakteri selulolitik.

Hasil penelitian Suhartanti et al. (2013), bakteri selulolitik yang diisolasi dari saluran pencernaan cacing tanah terdeteksi berbentuk batang dan bersifat gram negatif sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam saluran pencernaan cacing tanah (Lumbricus terestris) dan kascing terdapat bakteri selulotik. Bakteri


(38)

20 selulolitik dalam saluran pencernaan cacing tanah dapat mendegradasi selulosa, hasil degradasi dari bakteri tersebut sangat bermanfaat untuk meningkatkan senyawa-senyawa yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman atau mikroorganisme lain (Reanida et al., 2012). Bakteri selulolitik dalam saluran pencernaan mempunyai peranan penting dalam proses pendegradasi seloluosa yang hidup secara anaerob dalam saluran cerna (Suhartanti et al., 2013). Bakteri tersebut salah satunya dapat ditemukan dalam saluran cerna cacaing tanah karena hewan tersebut mamakan sisa organisme yang membusuk dalam tanah (Reanida et al., 2012). Cacing tanah dapat mencerna bahan organik melebihi dari berat badannya dalam waktu sehari (Sugiyarto et al., 2007).


(1)

15 Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim yaitu:

a. Konsentrasi Substrat

Substrat yang digunakan dalam proses fermentasi berpengaruh terhadap aktivitas dan produktivitas enzim. Hasil eksperimen menunjukkan pada konsentrasi enzim yang tetap, maka pertambahan konsentrasi substrat akan menaikkan kecepatan reaksi. Akan tetapi pada batas konsentrasi tertentu, kecepatan reaksi tidak akan mengalami kenaikan walaupun konsentrasi substrat diperbesar. Substrat yang dipergunakan secara umum untuk penetapan aktivitas endoglukanase adalah CMC (Carboxymethyl cellulose) (Syam, 2008).

b. Suhu

Suhu sangat berpengaruh dan digunakan sebagai katalis enzim dalam suatu reaksi kimia. Jika pada suhu rendah reaksi kimia berlansung lambat, sedangkan pada suhu yang lebih tinggi reaksi berlangsung lebih cepat (Poedjiadi 1994 disitasi Syam, 2008). Namun, kenaikan suhu dapat menyebabkan terjadinya proses denaturasi, maka bagian aktif enzim akan terganggu dan kecepatan reaksinya pun akan menurun.

c. Part of Hidrogen (pH)

Aktivitas enzim selulase pada umumnya stabil pada kisaran pH 4,5 dan 6,5. Perubahan pH lingkungan sangat berpengaruh terhadap efektvitas bagian aktif enzim dalam membentuk kompleks enzim substrat. Jika kondisi pH rendah atau pH tinggi dapat pula menyebabkan terjadinya proses denaturasi dan akan mengakibatkan aktivitas enzim menjadi turun (Syam, 2008).

Maranatha (2008) menyatakan bahwa setiap bakteri selulolitik menghasilkan kompleks enzim selulase yang berbeda-beda, tergantung dari gen


(2)

16 yang dimiliki dan sumber karbon yang digunakan. Sumardi et al. (2010) menyatakan bahwa faktor genetik mempengaruhi besarnya produksi enzim. Lebih lanjut diungkapkan, gen setiap mikroorganisme berbeda-beda sehingga masing-masing mikroorganisme memiliki sifat yang berbeda dan dari tiap gen memiliki sifat yang spesifik untuk mengkode enzim-enzim tertentu.

Substrat Carboxy Methyl Cellulose (CMC) merupakan substrat selulosa murni yang berbentuk amorphous sehingga aktivitas enzim selulase pada substrat CMC merupakan aktivitas enzim endo-1,4-β-glukanase (Meryandini et al., 2009). Lebih lanjut diungkapkan, substrat avicel merupakan substrat selulosa yang berbentuk kristalin sehingga aktivitas enzim selulase pada substrat avicel merupakan aktivitas enzim ekso-1,4-β-glukanase. Endo-1,4-β-glukanase bekerja pada rantai dalam CMC menghasilkan oligosakarida atau rantai selulosa yang lebih pendek (Maranatha, 2008). Lebih lanjut diungkapkan, enzim ekso-1,4-β -glukanase bekerja memotong ujung rantai oligosakarida menjadi selobiosa, yaitu dua molekul glukosa yang berikatan secara β-1,4-glikosidik. Hasil penelitian Meryandani et al. (2009) menunjukkan bahwa isolat asal tanah pertanian dengan C5-1, C11-1 dan C4-4 memiliki aktivitas enzim selulase optimum pada substrat CMC berturut-turut sebesar 0,042 nkat/ml; 0,193 nkat/ml dan 0,112 nkat/ml yang menggambarkan bahwa isolat tersebut memiliki sejumlah besar endo-1,4-β -glukanase.

Hemiselulosa dan lignin akan mengganggu aktivitas enzim selulase yang hanya spesifik memotong ikatan β-1,4-glikosidik pada selulosa (Maranatha, 2008). Lebih lanjut diungkapkan, untuk meningkatkan luas permukaan substrat maka jerami padi, tongkol jagung dan kulit pisang diperkecil ukurannya sampai


(3)

17 65 mesh. Menurut Meryandani et al. (2009), hal yang menghambat aktivitas selulase pada substrat jerami padi dan tongkol jagung adalah komponen lignin karena lignin membungkus dan mengikat selulosa secara fisik sehingga menghalangi enzim selulase bekerja maksimal pada substrat.

Meryandani et al. (2009) menyatakan bahwa aktivitas enzim selulase yang lebih tinggi pada substrat limbah pertanian dibandingkan dengan selulosa sintetis kemungkinan disebabkan oleh adanya enzim hemiselulolitik pada ekstrak kasar yang diproduksi oleh bakteri. Han et al. (2003) menyatakan bahwa bakteri Clostridium cellulovorans mensintesis enzim hemiselulolitik saat tumbuh pada substrat selulosa seperti selobiosa. Lebih lanjut diungkapkan, ekspresi enzim selulase berhubungan dengan ekspresi enzim hemiselulase. Susanti (2011) yang menyatakan bahwa apabila waktu reaksi enzimatis telah mencapai optimum dalam menghasilkan produk yang maksimum maka aktivitas enzim mengalami penurunan dengan penambahan waktu inkubasi lebih lanjut. Susanti (2011) juga menyatakan bahwa produk gula pereduksi yang dihasilkan dari reaksi enzimatis sebanding dengan lama waktu inkubasi, tetapi jika sisi aktif enzim telah jenuh oleh substrat.

2.4 Mikroba Penghasil Enzim Selulase

Degradasi selulosa merupakan proses pemecahan polimer anhidroglukosa menjadi molekul yang lebih sederhana. Maranatha (2008) menyebutkan mikroba selulolitik dari kelompok bakteri mempunyai tingkat pertumbuhan cepat dan aktivitas selulolitik tinggi. Mikroba selulolitik khususnya bakteri banyak ditemukan pada tanah pertanian, hutan, jaringan hewan, saluran pencernaan herbivora baik rumen, sekum maupun kolon, rayap (air liur, sel tubuh, saluran


(4)

18 pencernaan maupun sarangnya), saluran pencernaan hewan invertebrate serta pada tumbuhan yang membusuk/mati (Anam et al., 2012). Bakteri di alam yang bersifat selulolitik antara lain: Clostridium (C. acetobutylicum, C. thermocellum), Bacillus sp., Acidothermus, Pseudomonas (P. cellulosa), Rhodothermus (Anindyawati, 2010), Erwinia, Acetovibrio, Mikrobispora, Cellulomonas, Cellovibrio, Streptomyces, Sclerotium rolfisii (Duff and Murray, 1996; Indrawati Gandjar, 2006), Fibrobacter succinogenes, Ruminococcus albus, Ruminococcus flavefaciens, Butytrivibrio fibrisolvens (Lynd et al., 2002).

Bakteri selulolitik merupakan bakteri yang mampu menghasilkan enzim selulase yang menghidrolisis selulosa menjadi produk yang lebih sederhana yaitu glukosa (Meriyandini et al., 2009). Kemampuan degradasi selulosa berbagai bakteri bervariasi yang dipengaruhi oleh jenis/spesies, substrat maupun lingkungan. Chen dan Weimer (2001) mengungkapkan bahwa bakteri selulolitik akan dominan dalam rumen ruminansia apabila ternak diberikan pakan hijauan atau pakan kaya serat.

2.5 Cacing Tanah sebagai Sumber Mikroba Selulolitik

Cacing tanah adalah salah satu binatang yang mampu mendegradasi berbagai bahan organik (Suhartanti et al., 2013). Kemampuan ini dikarenakan terkandungnya berbagai mikroba sinergis seperti protozoa, bakteri dan mikro fungi di dalam saluran pencernaannya serta terkandung berbagai enzim seperti lipase, protease, chitinase, selulase, urease dan amilase (Andika, 2015). Selain itu, di dalam saluran pencernaan cacing tanah juga terdapat mukus yang mengandung berbagai nutrien (karbohidrat, protein, bahan mineral dan bahan organik, serta berbagai asam amino) dan hormon (Pathma dan Sakthivel, 2012).


(5)

19 Lebih lanjut diungkapkan, cacing tanah juga mampu mendegradasi senyawa antinutrisi dan lignoselulosa, memproduksi antibiotika, chitinase dan glucanase, pigmen fluorescent siderophores, serta berbagai growth promotor melalui pelarutan mineral dan menekan mikroba patogen, serta memproduksi hormon 1-aminocyclopropane-1carboxylate (ACC) deaminase, dan menekan mikroba patogen.

Fuji et al. (2012) menambahkan bahwa bakteri selulolitik yang dominan pada cacing tanah Amynthun heteropoda dan Eisenia fetida adalah Burkholderia spp, Enterobacter Herbaspiririllum dan Pseidomonas, sedangkan fungi selulolitik yang dominan adalah Penicillium, Fusarium dan Staphylotrichum. Owa et al. (2013) menunjukkan dari saluran pencernaan cacing tanah Libyodrilus violaceus berhasil diisolasi bakteri Acinobacter sp, Kiebsiella sp, Bacillus sp., B. brevis, B. cereus, B. lalerosporus, B. lichenoform, P. vulgaris, Pseudomonas s, Alcaligans faecalis, Corynebacterium sp., E. cloacae, Erwinia salicie, Flavobacterium sp., F. aquartile, Micrococcus inteus, M. kristinae, M. Varians dan Proteus rennvi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Asnani dan Puji Lestari (2009) menunjukkan bahwa ekstrak kasar dan fraksi ammonium sulfat cacing P. excavatus mempunyai aktivitas enzim amilase, lipase dan protease. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2007) juga menyimpulkan bahwa dalam saluran pencernaan cacing tanah (Lumbricus terestris) terdapat bakteri selulolitik.

Hasil penelitian Suhartanti et al. (2013), bakteri selulolitik yang diisolasi dari saluran pencernaan cacing tanah terdeteksi berbentuk batang dan bersifat gram negatif sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam saluran pencernaan cacing tanah (Lumbricus terestris) dan kascing terdapat bakteri selulotik. Bakteri


(6)

20 selulolitik dalam saluran pencernaan cacing tanah dapat mendegradasi selulosa, hasil degradasi dari bakteri tersebut sangat bermanfaat untuk meningkatkan senyawa-senyawa yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman atau mikroorganisme lain (Reanida et al., 2012). Bakteri selulolitik dalam saluran pencernaan mempunyai peranan penting dalam proses pendegradasi seloluosa yang hidup secara anaerob dalam saluran cerna (Suhartanti et al., 2013). Bakteri tersebut salah satunya dapat ditemukan dalam saluran cerna cacaing tanah karena hewan tersebut mamakan sisa organisme yang membusuk dalam tanah (Reanida et al., 2012). Cacing tanah dapat mencerna bahan organik melebihi dari berat badannya dalam waktu sehari (Sugiyarto et al., 2007).