PENDAPATAN DAN KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI PADI ORGANIK PESERTA SL-PTT (SEKOLAH LAPANGAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU) DAN NON PESERTA SL-PTT DI KECAMATAN PAGELARAN KABUPATEN PRINGSEWU

(1)

INCOME AND HOUSEHOLD WELFARE OF ORGANIC RICE FARMERS SL-PTT PARTICIPANTS AND SL-PTT NON-

PARTICIPANTS IN SUB DISTRICT OF PAGELARAN DISTRICT PRINGSEWU

By Tika Leoni Putri

ABSTRACT

The purposes of this research are to : (1) determine the level of income and profits of organic rice farming of SL-PTT participants and SL-PTT non-participants, (2) determine factors influencing profit of organic rice of SL-PTT participants and SL-PTT non-participants, (3) determine household income level of SL-PTT participants and SL-PTT non-participants, (4) determine household welfare level of SL-PTT participants and SL-PTT non-participants in Sub District of Pagelaran, Pringsewu. This research was conducted in Pagelaran and Gemah Ripah villages of Pringsewu District. Seventy seven farmers, consisted of 37 SL-PTT participants and 40 SL-PTT non-participants, as respondents were selected by using simple random sampling. The data analysis methods were farm income analysis, Unit Output Price (UOP) function, household income analysis, and welfare analysis based on Sajogyo’s criteria (1977). The results showed that: (1) The average income of SL-PTT participants based on cash cost and total cost respectively were Rp11,510,167.35 and Rp13,047,112.84 with R/C ratio of 4.69 and 3.27. In adition, average income of SL-PTT non-participants based on cash cost and total cost were Rp9,803,268.59 and Rp8,418,819.09 with R/C ratio of 3.7 and 2.68. (2) Factor affecting the profits of organic rice farming of SL-PTT participants and SL-PTT non-praticipants was land size. (3) Average household income of SL-PTT participants was Rp39,174,915.54 per year and that of SL-PTT non-participants was Rp36,978,219.25 per year. (4) Based on Sajogyo’s criteria, there was 97,3% SL-PTT participants classified as rich household and there was 92,5% SL-PTT non- participants classified as rich household.


(2)

PENDAPATAN DAN KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA PETANI PADI ORGANIK PESERTA SL-PTT (SEKOLAH LAPANGAN

PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU) DAN NON PESERTA SL-PTT DI KECAMATAN PAGELARAN

KABUPATEN PRINGSEWU Oleh

Tika Leoni Putri

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui tingkat pendapatan dan keuntungan usahatani padi organik peserta SL-PTT dan non-peserta SL-PTT, (2) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan usahatani padi organik peserta SL-PTT dan non peserta SL-PTT, (3) mengetahui tingkat pendapatan rumahtangga peserta SL-PTT dan non-peserta SL-PTT, (4) mengetahui tingkat kesejahteraan rumahtangga peserta SL-PTT dan non-peserta SL-PTT di Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu. Penelitian dilakukan di Desa Pagelaran dan Desa Gemah Ripah Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu. Pengambilan sampel petani dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling). Jumlah sampel sebanyak 77 orang yang terdiri dari 37 peserta SL-PTT dan 40 non-peserta SL-PTT. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis pendapatan usahatani, fungsi UOP (Unit Output Price), analisis pendapatan rumahtangga petani, dan analisis tingkat kesejahteraan berdasarkan kriteria Sajogyo (1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Rata-rata pendapatan usahatani peserta SL-PTT berdasarkan biaya tunai dan biaya total sebesar Rp 13.047.112,84 dan Rp 11.510.167,35 serta diperoleh R/C rasio dengan biaya tunai dan total sebesar 4,69 dan 3,27. Rata-rata pendapatan usahatani padi organik non-peserta SL-PTT berdasarkan biaya tunai dan biaya total sebesar Rp 9.803.268,59 dan Rp 8.418.819,09 serta diperoleh R/C rasio dengan biaya tunai dan total sebesar 3,7 dan 2,68. (2) Faktor yang mempengaruhi keuntungan usahatani padi organik peserta SL-PTT dan non-peserta SL-PTT hanya luas lahan. (3) Rata-rata pendapatan rumahtangga peserta SL-PTT sebesar Rp39.174.915,54 per tahun, sedangkan non-peserta SL-PTT sebesar Rp36,978,219.25 per tahun. (4) Petani padi organik peserta SL-PTT yang tergolong rumahtangga sejahtera sebanyak 97,3%, sedangkan petani padi organik non-peserta SL-PTT sebanyak 92,5%.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Kontribusi sektor pertanian sangat berperan penting dalam pembangunan suatu daerah atau negara khususnya Indonesia. Indonesia merupakan negara agraris dengan sumber daya alam melimpah, yang mayoritas penduduknya bermata pencahariaan sebagai petani. Peran petani sangat penting dalam peningkatan produksi dan produktivitas usahataninya guna memperoleh keuntungan maksimal yang nantinya akan dapat meningkatkan PDRB daerahnya dan meningkatkan taraf kesejahteraan petani tersebut.

Provinsi Lampung adalah salah satu provinsi yang pendapatan penduduknya bergantung pada hasil alam. Masyarakat di Provinsi Lampung pada

umumnya bermata pencarian sebagai petani, khususnya di wilayah

kabupaten. Petani identik dengan daerah pedesaan dan tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. BPS (2010), menyatakan bahwa pada bulan Maret 2010 persentase sebesar 20,65% penduduk miskin berada di daerah pedesaan, sedangkan pada bulan Maret 2011 persentase ini menjadi 18,54%. Hal ini berarti jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan semakin menurun.


(4)

Tabel 1. Garis kemiskinan, jumlah dan persentase penduduk miskin di Provinsi Lampung menurut daerah, Maret 2010-2011

Daerah Garis Kemiskinan Jumlah penduduk miskin (Ribu) (Rp/Kapita/bulan persentase penduduk miskin

2.009 2010 2011 2009 2010 2011

Perkotaan 224.168 236.098 270.303 349,3 301,7 241,9 (16,78%) (14,30%) (12,27%) Pedesaan 175.734 189.954 221.543 1.209 1.178 1.056

(21,49%) (20,65%) (18,54%)

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung, 2010

Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Provinsi Lampung pada periode 2007-20011 tampak mengalami penurunan setiap tahunnya. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2011 mengalami penurunan namun persentase penurunannya sangat kecil yaitu sebesar 2,11 % dari tahun 2010. Realita yang ada memperlihatkan bahwa rumahtangga yang berkonrtribusi dalam peningkatan jumlah penduduk miskin di Lampung adalah rumahtangga yang bekerja di bidang pertanian. Jumlah penduduk miskin di Provinsi Lampung menurut daerah tahun 2007– 2011 disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 menggambarkan bahwa jumlah penduduk miskin di Provinsi Lampung terus mengalami penurunan tiap tahunnya. Pada tahun 2008 penduduk miskin Lampung berjumlah 1.591.600 jiwa (20,98 %) mengalami penurunan menjadi 1.558.300 di tahun 2009, dimana 1.209.000 jiwa (77,58 %) terdapat di wilayah pedesaan yang umumnya bekerja di sektor pertanian dan sisanya 349.300 jiwa (22,42%) terdapat di wilayah perkotaan. Begitu pun seterusnya mengalami penurunan hingga pada tahun 2010 dengan jumlah penduduk miskin 1.479.900 jiwa berkurang menjadi 1.298.700 pada tahun 2011. Meskipun penurunan jumlah kemiskinan hanya berkisar antara satu


(5)

hingga dua persen, setidaknya jumlah penduduk miskin di Provinsi Lampung semakin berkurang terlebih di daerah pedesaan.

Tabel 2. Jumlah penduduk miskin (ribu) di Provinsi Lampung menurut daerah tahun 2007 – 2011

Tahun Jumlah Penduduk Miskin (Ribu)

Kota Desa Kota + Desa

2007 366 1.295,7 1.661,7

2008 365,6 1.226 1.591,6

2009 349,3 1.209 1.558,3

2010 301,7 1.178,2 1.479,9

2011 3241,9 1.056,8 1.298,7

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung, 2010

Salah satu kabupaten di Provinsi Lampung dengan jumlah penduduk miskin yang cukup banyak adalah Kabupaten Pringsewu. Kabupaten ini adalah kabupaten pemekaran dari Kabupaten Tanggamus. Pada tahun 2010, total penduduk miskin di Kabupaten ini adalah 45.500 jiwa (12,33%). Meskipun jumlah penduduk miskinnya tidak terlalu banyak jika dibandingkan

kabupaten lain, tetapi hal ini akan menjadi kendala untuk keberlanjutan pembangunan kabupaten ini. Berikut adalah tabel jumlah dan persentase penduduk miskin Provinsi Lampung menurut kabupaten tahun 2010 disajikan pada Tabel 3.

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa Kabupaten Pringsewu merupakan kabupaten baru dengan jumlah penduduk miskin terbanyak ke dua dari beberapa kabupaten pemekaran lainnya seperti Tulang Bawang Barat (7,63 %) dan Mesuji (8,65 %). Pringsewu menjadi kabupaten dengan jumlah penduduk miskin terbanyak jika dibandingkan dengan kabupaten lain yang


(6)

merupakan daerah pertanian dan penghasil komoditas unggulan seperti Metro, Mesuji, dan Tulang Bawang Barat.

Tabel 3. Jumlah dan persentase penduduk miskin Provinsi Lampung menurut kabupaten tahun 2010

Kabupaten Jumlah

penduduk miskin (000 jiwa) Persentase jumlah penduduk miskin (%)

Lampung Barat 86,10 4,89

Tanggamus 179,30 10,20

Lampung Selatan 351,20 19,97

Lampung Timur 228,40 12,90

Lampung Tengah 242,00 13,76

Lampung Utara 182,90 10,40

Way Kanan 84,10 4,78

Tulang Bawang 90,90 5,10

Bandar Lampung 130,90 7,40

Pesawaran

Tulang Bawang Barat Pringsewu Mesuji Metro 81,50 19,10 45,50 16,20 20,10 4,60 1,00 2,50 0,90 1,10

Jumlah 1,758.2 100

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung, 2010

Kabupaten Pringsewu merupakan salah satu kabupaten yang memiliki keunggulan komoditas pertaniannya padi. Penggunaan faktor produksi padi di Kabupaten Pringsewu memiliki penggunaan faktor produksi yang berbeda, yaitu menggunakan pupuk organik dan pestisida alami sehingga harga jual padi organik lebih tinggi jika dibandingkan dengan padi yang menggunakan pupuk kimia. Kecamatan yang membudidayakan padi organik di Kabupaten Pringsewu adalah Kecamatan Pagelaran dan Gading Rejo. Berikut adalah tabel luas panen dan produksi padi sawah di Kabupaten Pringsewu tahun 2010 disajikan pada Tabel 4.


(7)

Tabel 4. Luas panen dan produksi padi sawah di Kabupaten Pringsewu tahun 2010

Kecamatan Luas Panen (Ha) Produksi (Ha)

Padarsuka 4.420 22.984

Ambarawa 3.583 18.632

Pagelaran 3.177 16.520

Pringsewu 1.971 10.249

Gadirejo 5.795 30.134

Sukoharjo 2.006 10.431

Banyumas 1.182 6.146

Adiluwih 841 4.373

Jumlah 22.975 119.469

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung, 2010

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa Kecamatan Pagelaran menempati urutan keempat dalam jumlah produksi dan luas panen, meskipun demikian pusat padi organik dan pelopor padi organik di Provinsi Lampung adalah Kecamatan Pagelaran. Hal ini dikarenakan Kecamatan Pagelaran memulai untuk budidaya padi organik pada tahun 1994, akan tetapi mengalami berbagai kendala hingga akhirnya macet di tahun 2000an. Setelah berhenti cukup lama, akhirnya petani padi organik di Kecamatan Pagelaran memulai kembali

membudidayakan padi organik pada tahun 2004 karena harga jual padi organik lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga padi konvensional dan makin tingginya kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan.

Hal ini juga sangat didukung pemerintah karena dengan adanya budidaya padi organik ini diharapkan produksi dan produktivitas padi di Kabupaten

Pringsewu, khususnya di Kecamatan Pagelaran akan meningkatkan


(8)

petani padi organik. Harga jual padi organik per kilogram adalah Rp12.500,00 sedangkan padi dengan pupuk kimia berkisar Rp8.000,00-10.000,00.

Departemen Pertanian membuat suatu program yaitu SL-PTT (Sekolah

Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu). Departemen Pertanian (2012) SL-PTT merupakan sekolah lapangan bagi petani dalam menerapkan berbagai teknologi usahatani melalui penggunaan input produksi yang efisien menurut spesifik lokasi sehingga mampu menghasilkan produktivitas tinggi untuk menunjang peningkatan produksi secara berkelanjutan.

Petani dapat belajar langsung di lapangan melalui pembelajaran dan penghayatan langsung, mengungkapkan, menganalisis, menyimpulkan,

menerapkan, menghadapi, dan memecahkan masalah-masalah terutama dalam hal teknik budidaya dengan mengkaji bersama berdasarkan spesifik lokasi. Melalui penerapan SL-PTT petani akan mampu mengelola sumberdaya yang tersedia (varietas, tanah, air, dan sarana produksi) secara terpadu dalam

melakukan budidaya di lahan usahataninya berdasarkan kondisi spesifik lokasi, sehingga petani menjadi lebih terampil serta mampu mengembangkan

usahataninya dalam rangka peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai.

Program SL-PTT ini diikuti oleh Kecamatan Pagelaran pada tahun 2009. Di kecamatan ini terdapat beberapa desa yang mengikuti program SL-PTT untuk tanaman padi organik, akan tetapi hanya ada dua desa yang sudah benar-benar membudidayakan padi organik yaitu Desa Pagelaran dan Desa Gemah Ripah. Desa Pagelaran dan Desa Gemah Ripah sudah dikenal secara luas sebagai sentra padi organik karena padi organik yang diproduksi, sudah melalui


(9)

tahapan uji laboratorium dengan menguji tanah yang digunakan sudah terbebas dari pupuk kimia, penggunaan pupuk yang alami tanpa ada campuran pupuk kimia serta penggunaan pestisida yang alami. Penelitian ini akan dilakukan perbandingan dua desa peserta SL-PTT dan non-peserta SL-PTT. Tabel

berikut ini terdapat gabungan kelompok tani ( gapoktan) di Desa Pagelaran dan Desa Gemah Ripah yang melakukan budidaya padi organik.

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa jumlah kelompok tani peserta SL-PTT hanya empat kelompok saja yang terdiri dari kelompok tani Puji Santoso, Adi Guna, Sejahtera, dan Bina Tani Lestari. Empat kelompok lain non-peserta SL-PTT. Pada Tabel 6 terlihat bahwa kelompok-kelompok tani di desa tersebut belum mengikuti SL-PTT sehingga akan menimbulkan perbedaan dalam penerapan teknologi, sumber daya yang ada, dan tingkat pengetahuan petani dalam budidaya padi organiknya yang nantinya berpengaruh terhadap produksi, pendapatan, dan kesejahteraan antara peserta SL-PTT dan non-peserta SL-PTT.

Tabel 5. Kelompok tani anggota Gapoktan Karya Bersama Desa Pagelaran tahun 2010

Nama Kelompok Ketua Jumlah Anggota

Luas Sawah

(ha)

Keterangan

Puji Santoso Sardi 46 31 Peserta SL-PTT

Puji Sutrisno Juwair 38 25,75 Non-peserta SL-PTT Setia Karya Supardi 41 25,75 Non-peserta SL-PTT

Adi Guna Salam 32 26,25 Peserta SL-PTT

Sejahtera Sarjani 39 25,75 Peserta SL-PTT

Tani Makmur Kadeso 42 15,25 Non-peserta SL-PTT Puji Rahayu Mahrom 29 16,25 Non-peserta SL-PTT Bina Tani Lestari Joni 45 15 Peserta SL-PTT

Jumlah 312

Sumber: BP3K, Dinas Perkebunan, Hortikultura, dan Tanaman Pangan Kecamatan PagelaranTahun 2010


(10)

Tabel 6. Kelompok tani anggota Gapoktan Maju Makmur Desa Gemah Ripah tahun 2010

Nama Kelompok Ketua Jumlah Anggota

Luas Sawah

(ha)

Keterangan

Karya Makmur Ponijo 38 20,5 Non-peserta SL-PTT Karya Tani Ferida 36 21,25 Non-peserta SL-PTT Bangun Sentoso I Tumingan 35 20,75 Non-peserta SL-PTT Bangun Sentoso II Jumarno 34 28,7 Non-peserta SL-PTT Gema Lestari Ferida 30 25 Non-peserta SL-PTT

Jumlah 173

Sumber: BP3K, Dinas Perkebunan, Hortikultura, dan Tanaman Pangan Kecamatan Pagelaran Tahun 2010

Hal ini yang menjadi salah satu faktor bahwa petani di pedesaan masih banyak tergolong petani yang belum sejahtera atau miskin karena masih kurangnya kesadaran petani dalam merubah pola pikir mereka untuk lebih maju. Perlu adanya kajian pendapatan dan tingkat kesejateraan rumahtangga petani padi organik peserta SL-PTT dan non-peserta SL-PTT di Desa Pagelaran dan Desa Gemah Ripah, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pringsewu.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu:

1) berapakah pendapatan dan keuntungan usahatani padi organik peserta SL-PTT dan non-peserta SL-SL-PTT ?

2) faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi keuntungan usahatani padi organik peserta SL-PTT dan non-peserta SL-PTT ?

3) berapakah pendapatan rumahtangga peserta SL-PTT dan non-peserta SL-PTT ?


(11)

4) bagaimana tingkat kesejahteraan petani peserta PTT dan non-peserta SL-PTT ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan masalah yang ada, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1) mengetahui tingkat pendapatan dan keuntungan usahatani padi organik peserta SL-PTT dan non-peserta SL-PTT.

2) mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan usahatani padi organik peserta SL-PTT dan non-peserta SL-PTT

3) mengetahui pendapatan rumahtangga peserta PTT dan non-peserta SL-PTT.

4) mengetahui tingkat kesejahteraan peserta SL-PTT dan non-peserta SL-PTT.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi :

1) Petani padi organik di seluruh Provinsi Lampung, khususnya di Kabupaten Pringsewu sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan kegiatan usahanya agar mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya.

2) Pemerintah, sebagai bahan informasi dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan kebijakan pertanian yang berhubungan dengan masalah

pengentasan kemiskinan dan peningkatan taraf hidup petani.

3) Peneliti lain, sebagai bahan informasi dan perbandingan bagi penelitian selanjutnya.


(12)

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

A. Tinjauan Pustaka 1. Pertanian Organik

Pertanian organik sudah sejak lama dikenal yakni sejak ilmu bercocok tanam dikenal manusia. Pada saat itu semuanya dilakukan secara tradisonal dan menggunakan bahan-bahan alamiah. Sejalan dengan perkembangan ilmu pertanian dan ledakan populasi manusia, maka kebutuhan pangan juga meningkat. Saat itu revolusi hijau di Indonesia memberikan hasil yang signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan. Penggunaan pupuk kimia sintetis, penanaman varietas unggul berproduksi tinggi (high yield variety), penggunaan pestisida, intensifikasi lahan, dan lainnya mengalami

peningkatan. Belakangan ditemukan berbagai permasalahan akibat kesalahan manajemen di lahan pertanian.

Pencemaran pupuk kimia, pestisida, dan lainnya akibat kelebihan pemakaian bahan-bahan tersebut berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan dan kesehatan manusia akibat selalu tercemar bahan-bahan sintetis tersebut. Pemahaman akan bahaya bahan kimia sintetis dalam jangka waktu lama mulai disadari sehingga diperlukan alternatif bercocok tanam yang dapat


(13)

menghasilkan produk yang bebas dari pencemaran bahan kimia sintetis serta menjaga lingkungan yang lebih sehat.

Sejak itulah mulai dilirik kembali cara pertanian alamiah (back to nature), namun pertanian organik modern sangat berbeda dengan pertanian alamiah di zaman dulu. Pertanian organik modern dibutuhkan teknologi bercocok tanam, penyediaan pupuk organik, pengendalian hama dan penyakit menggunakan agen hayati atau mikroba serta manajemen yang baik untuk kesuksesan pertanian organik tersebut (Husnain, 2005).

2. Pengertian Pertanian Organik

Pertanian organik merupakan sistem produksi pertanian yang holistik (keseluruhan) dan terpadu, dengan cara mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agroekosistem secara alami, sehingga menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan. IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movements) menjelaskan pertanian organik adalah sistem pertanian yang holistik yang mendukung dan mempercepat biodiversiti, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah.

Sertifikasi produk organik yang dihasilkan, penyimpanan, pengolahan, pasca-panen, dan pemasaran harus sesuai standar yang ditetapkan oleh badan standardisasi.

Sutanto (2002a) menyatakan bahwa pertanian organik diartikan sebagai suatu sistem produksi pertanaman yang berasaskan daur ulang hara secara hayati. Daur ulang hara dapat melalui sarana limbah tanaman dan ternak sertal imbah


(14)

lainnya yang mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Daur ulang hara merupakan teknologi tradisional yang sudah cukup lama dikenal sejalan dengan berkembangnya peradaban manusia, terutama di daratan China.

Pakar pertanian Barat menyebutkan bahwa sistem pertanian organik merupakan ”Hukum Pengembalian (Law of Return)” yang berarti suatu

sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makanan pada tanaman. Filosofi yang melandasi pertanian organik adalah mengembangkan prinsip-prinsip memberi makanan pada tanah yang selanjutnya tanah menyediakan makanan untuk tanaman (feeding the soil that feeds the plants), dan bukan memberi makanan langsung pada tanaman.

Sutanto (2002b) menjelaskan bahwa strategi pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa tanaman, kompos, dan pupuk kandang menjadi biomassa tanah yang telah mengalami proses mineralisasi akan menjadi hara dalam larutan tanah. Hal ini berbeda sekali dengan pertanian non-organik yang memberikan unsur hara secara cepat dan langsung dalam bentuk larutan sehingga segera diserap dengan takaran dan waktu pemberian yang sesuai dengan kebutuhan tanaman.


(15)

3. Padi Organik

Litbang (2008) menyatakan bahwa padi organik adalah padi yang disahkan oleh sebuah badan independen, untuk ditanam dan diolah menurut standar “organik” yang ditetapkan. Adapun ciri-ciri dari padi organik adalah: a) tidak ada pestisida dan pupuk dari bahan kimia sintetis atau buatan yang

telah digunakan.

b) kesuburan tanah dipelihara melalui proses “alami” seperti penanaman tumbuhan penutup atau penggunaan pupuk kandang yang dikomposkan dan limbah tumbuhan.

c) tanaman dirotasikan di sawah untuk menghindari penanaman tanaman yang sama dari tahun ketahun di sawah yang sama.

d) pergantian bentuk-bentuk bukan kimia, misalnya pengendalian hama dan gulma digunakan serangga yang bermanfaat untuk memangsa hama serta daun jerami setengah busuk untuk menekan gulma, juga organisme lain untuk menekan serangan penyakit.

Bertanam padi organik pada dasarnya sama saja dengan bertanam padi secara konvensional atau non-organik. Jenis padi yang ditanam pun boleh apa saja, misal kelas aromatik (Pandan Wangi, Mentik, Gilirang, dll). Bisa juga menggunakan varietas unggul seperti IR64, Cisadane, Memberamo, dll. Bahkan padi dalam (umur panen rata-rata 6 bulan) dan padi hibrida pun dapat diusahakan menjadi padi organik. Perbedaannya adalah pada pertanian organik memakai pupuk organik dan tidak memakai pupuk kimia serta tidak memakai pestisida kimia.


(16)

Kelebihan pupuk organik adalah berperan dalam mengembalikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Pengendalian hama, penyakit, dan gulma (tanaman pengganggu/rumut) dilakukan secara manual atau dengan menggunakan pestisida alami (biopestisida).

Komponen utama pertanian organik adalah memanfaatkan limbah pertanian untuk proses daur ulang digunakan sebagai pupuk tanaman. Termasuk juga sistem pengolahan tanah yang berasaskan konservasi, pergiliran tanaman, memanfaatkan tanaman penutup tanah, pemeliharaan ternak, dan analisis tanaman, maupun uji tanah. Selain itu juga menghindarkan sebanyak mungkin penggunaan pestisida/insektisida maupun pupuk kimia serta bahan agrokimia lainnya.

4. Kegunaan Pertanian Organik

Sutanto (2002b), menjelaskan kegunaan budidaya organik pada dasarnya ialah meniadakan atau membatasi kemungkinan dampak negatif yang

ditimbulkan oleh budidaya kimiawi. Hal yang mencakup kegunaan budidaya organik dalam meniadakan atau membatasi keburukan budidaya kimiawi dan kemungkinan resiko terhadap lingkungan adalah:

a) menghemat penggunaan hara tanah, berarti memperpanjang umur tanah. b) melindungi tanah terhadap kerusakan karena erosi dan mencegah tanah

karena kerusakan struktur tanah.

c) meningkatkan penyediaan lengas tanah sehingga menghindarkan

kemungkinan resiko kekeringan dan memperbaiki ketersediaan hara tanah dan hara yang berasal dari pupuk mineral, berarti meningkatkan


(17)

kemangkusan penggunaannya, dan sekaligus menghemat penggunaan pupuk buatan yang harganya semakin mahal.

d) menghindarkan terjadinya ketimpangan (unbalance) hara, bahkan dapat memperbaiki neraca (balance) hara dalam tanah.

e) melindungi pertanaman terhadap cekaman (stress) oleh unsur-unsur yang ada dalam tanah (Fe, Al, Mn) atau yang masuk ke dalam tanah dari bahan-bahan pencemar (jenis logam berat).

f) tidak membahayakan kehidupan flora dan fauna tanah, bahkan dapat menyehatkan, berarti mempunyai daya memelihara ekosistem tanah. g) tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, khususnya sumberdaya

air, karena zat-zat kimia yang terkandung berkadar rendah dan berbentuk senyawa yang tidak mudah larut.

5. Program SL-PTT

Departemen Pertanian (2012), menyatakan bahwa untuk mewujudkan sasaran pembangunan tanaman pangan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan

menetapkan program tahun 2012 yaitu Program Peningkatan Produksi, Produktivitas, dan Mutu Tanaman Pangan untuk Mencapai

Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan. Indikator keberhasilan program ini adalah perluasan penerapan budidaya tanaman pangan yang tepat yang didukung oleh sistem penanganan pasca-panen dan penyediaan benih serta pengamanan produksi yang efisien untuk mewujudkan produksi tanaman pangan yang cukup dan berkelanjutan.


(18)

Salah satu instrumen utama yang menjadi model (benchmark) pemberdayaan sebagai gambaran pokok atas keberhasilan program Direktorat Jenderal Tanaman Pangan adalah Sekolah Lapangan meliputi Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT), Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) dan Sekolah Lapangan Iklim (SLI). Ketiga sekolah lapangan ini akan didukung oleh berbagai kegiatan pendukung lain. Sekolah lapangan ini difokuskan pada komoditas padi, jagung dan kedelai.

Komoditas lain dilakukan melalui pola pengembangan dengan luasan tertentu (dem area). Kegiatan pengelolaan produksi tanaman serealia merupakan kegiatan Direktorat Budidaya Serealia. Indikator output kinerja kegiatan pengelolaan produksi Tanaman Serealia adalah tercapainya luas areal penerapan budidaya serealia yang tepat dan berkelanjutan. Operasional peningkatan produksi dan produktivitas di lapangan dilakukan SL-PTT khususnya untuk padi (non-hibrida, hibrida dan lahan kering), dan jagung (hibrida).

Penerapan teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan instrumen perangsang (stimulus) bagi daerah sekitarnya. Jenis SL-PTT yang dikembangkan adalah 1) SL-PTT reguler yaitu bantuan yang diberikan hanya berupa benih, kecuali 1 ha laboratorium lapangan diberikan bantuan full paket, 2) SL-PTT spesifik lokasi yaitu bantuan yang diberikan berupa bantuan penuh (benih, pupuk, dan alsintan), 3) SL-PTT indeks pertanaman yaitu bantuan yang diberikan berupa bantuan penuh (benih, pupuk, dan alsintan).


(19)

Kriteria penerima SL-PTT ini difokuskan kepada petani/kelompok tani yang memiliki produktivitas yang lebih rendah dari produktivitas kabupaten. Dengan penerapan pola ini diharapkan terbina kawasan-kawasan andalan, yang berfungsi sebagai pusat belajar pengambilan keputusan para

petani/kelompok tani, sekaligus sebagai tempat tukar menukar informasi dan pengalaman lapangan, pembinaan manajemen kelompok, serta sebagai percontohan bagi kawasan lainnya. Secara garis besar, tujuan dari program SL-PTT ini meliputi:

a) menyediakan acuan pelaksanaan SL-PTT padi, jagung, dan kedelai untuk mendukung kegiatan peningkatan produksi di provinsi dan

kabupaten/kota.

b) meningkatkan koordinasi dan keterpaduan pelaksanaan peningkatan produksi melalui kegiatan SL-PTT padi, jagung, dan kedelai antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

c) mempercepat penerapan komponen teknologi PTT padi, jagung, dan kedelai oleh petani sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola usahataninya untuk mendukung peningkatan produksi nasional.

d) meningkatkan produksi, produktivitas, dan pendapatan serta kesejahteraan petani.

6. Konsep usahatani

Usahatani didefinisikan sebagai organisasi dari alam, tenaga kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Organisasi ini


(20)

dalam ketatalaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja dilaksanakan oleh seorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial, baik yang terikat

genologis, politis, maupun teritorial sebagai pengelolanya (Hernanto, 1991). Soeharjo dan Patong (1973), menjelaskan bahwa usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu alam, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan yang diusahakan oleh perorangan ataupun sekumpulan orang-orang untuk menghasilkan output yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga ataupun orang lain disamping bermotif mencari keuntungan.

Hernanto (1991) menyatakan bahwa unsur-unsur pokok yang ada dalam usahatani yang penting untuk diperhatikan adalah lahan, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan (manajemen). Unsur tersebut juga dikenal dengan istilah faktor-faktor produksi. Unsur-unsur usahatani tersebut mempunyai

kedudukan yang sama satu sama lainnya, yaitu sama-sama penting. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani digolongkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada pada usahatani itu sendiri, seperti petani pengelola, lahan usahatani, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, kemampuan petani mengalokasikan penerimaan keluarga, dan jumlah keluarga. Faktor eksternal adalah faktor-faktor di luar usahatani, seperti tersedianya sarana transportasi dan

komunikasi, aspek-aspek yang menyangkut pemasaran hasil dan bahan usahatani (harga hasil, harga saprodi, dan lain-lain), fasilitas kredit, dan sarana penyuluhan bagi petani. Adapun empat unsur yang termasuk ke dalam faktor-faktor produksi tersebut adalah:


(21)

a)Lahan

Lahan merupakan faktor produksi yang relatif langka dibanding dengan faktor produksi lainnya dan distribusi penguasaannya di masyarakat pun tidak merata. Adapun lahan itu sendiri memiliki beberapa sifat, antara lain: luas relatif tetap atau dianggap tetap, tidak dapat dipindah-pindahkan, dan dapat dipindahtangankan. Berdasarkan hal tersebut maka lahan kemudian dianggap sebagai salah satu faktor produksi usahatani meskipun di bagian lain dapat juga berfungsi sebagai faktor atau unsur pokok dari modal usahatani.

b) Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan faktor produksi kedua selain lahan, modal, dan manajemen. Terdapat tiga jenis tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani yaitu manusia, ternak, dan mekanik. Tenaga kerja manusia dapat diperoleh dari dalam keluarga itu sendiri atau dari luar keluarga. Tenaga kerja manusia dibedakan atas tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat kemampuannya. Tenaga kerja ternak digunakan untuk pengolahan tanah dan untuk pengangkutan. Tenaga kerja mekanik bersifat substitusi pengganti ternak dan atau manusia. Jika kekurangan tenaga kerja, petani dapat memperkerjakan tenaga kerja dari luar keluarga dengan memberi balas jasa berupa upah.


(22)

c) Modal

Hernanto (1991), menyatakan bahwa modal adalah barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain yang digunakan untuk

menghasilkan barang-barang baru, yaitu produk pertanian. Diantara empat faktor produksi yang terdapat dalam usahatani, modal merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap kegiatan usahatani, terutama modal operasional. Hal ini karena modal operasional terkait langsung dengan aktivitas yang terjadi dalam kegiatan usahatani. Adapun yang dimaksud dengan modal operasional adalah modal dalam bentuk tunai yang dapat ditukarkan dengan barang modal lain seperti sarana produksi dan tenaga kerja, bahkan untuk membiayai pengelolaan (manajemen).

d) Pengelolaan (manajamen)

Pengelolaan atau manajemen usahatani adalah kemampuan petani menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor

produksinya sebaik mungkin serta mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Ukuran dari keberhasilan pengelolaan itu adalah produktivitas dari setiap faktor maupun produktivitas dari usahanya.

7. Teori Pendapatan Usahatani

Soekartawi, dkk (1986), menjelaskan bahwa pendapatan bersih usahatani adalah selisih antara pendapatan kotor dan pengeluaran total usahatani. Pendapatan kotor usahatani didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Pengeluaran total usahatani adalah nilai semua masukan yang habis dipakai


(23)

atau dikeluarkan dalam produksi. Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani. Oleh sebab itu ia merupakan ukuran keuntungan usahatani yang dapat dipakai untuk membandingkan penampilan beberapa usahatani.

Hernanto (1994), berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani:

a) luas usaha, meliputi areal pertanaman, luas tanaman, luas tanaman rata-rata.

b) tingkat produksi, yang diukur lewat produktivitas dan indeks pertanaman.

c) pilihan dan kombinasi. d) efisiensi tenaga kerja.

Soekartawi (1995), menjelaskan bahwa biaya usahatani adalah semua

pengeluaran yang dipergunakan dalam usahatani. Biaya usahatani dibedakan menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap adalah biaya yang besarnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang akan dihasilkan, sedangkan biaya tidak tetap adalah biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh volume produksi.


(24)

Secara matematis untuk menghitung pendapatan usahatani dapat ditulis sebagai berikut :

π = Y. Py –Σ Xi.Pxi – BTT Keterangan :

π = pendapatan (Rp) Y = hasil produksi (Kg) Py = harga hasil produksi (Rp) Xi = faktor produksi (i = 1,2,3,….,n) Pxi = harga faktor produksi ke-i (Rp) BTT = biaya tetap total (Rp)

Untuk mengetahui usahatani menguntungkan atau tidak secara ekonomi dapat dianalisis dengan menggunakan nisbah atau perbandingan antara penerimaan dengan biaya (Revenue Cost Ratio).

Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut: R/C = PT / BT

Keterangan:

R/C = nisbah penerimaan dan biaya PT = penerimaan total (Rp)

BT = biaya total (Rp)

Adapun kriteria pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:

(a). jika R/C > 1, maka usahatani mengalami keuntungan karena penerimaan lebih besar dari biaya

(b). jika R/C < 1, maka usahatani mengalami kerugian karena penerimaan lebih kecil dari biaya.

(c). jika R/C = 1, maka usahatani mengalami impas karena penerimaan sama dengan biaya.


(25)

8. Fungsi Keuntungan

Soekartawi (2003) menyatakan bahwa pendekatan fungsi keuntungan memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan pendekatan fungsi produksi, antara lain :

1) fungsi penawaran output dan fungsi permintaan terhadap input dapat diduga bersama-sama tanpa harus membuat suatu fungsi produksi yang eksplisit.

2) dapat dipergunakan untuk menelaah masalah efisiensi teknis dan harga.

3) dalam model fungsi keuntungan , variabel-variabel yang diamati adalah variabel harga input dan harga output.

Penjabaran dari fungsi keuntungan dapat diuraikan sebagai berikut, misalkan sembarang fungsi produksi

Y = f (x1, x2, ... xm ; z1 , ...zn (1)

Keuntungan jangka pendek ( short – run profit ) dapat didefinisikan sebagai berikut :

π = p. f. (x1,... xm ; z1 ...zn) – =1 wi xi (2)

Dimana :

П = keuntungan jangka pendek P = harga output

Xi = jumlah input variabel ke – i ( i = 1,2,...m) Zj = jumlah input tetap ke-j ( j = 1,2...n)


(26)

Asumsi perusahaan memaksimalkan keuntungan, maka kondisi nilai marjinal produk sama dengan harga input variabel yang bersangkutan, atau secara matematis:

p.�(� � )

�� ( . ) = Wi , i = 1, ...m . (3) Jika persamaan (2.11) dinormalkan dengan harga output, diperoleh persamaan sebagai berikut �(� � )

�� =Wi *, i = 1, ...m (4) wi* = wi / p = harga input ke – i yang dinormalkan dengan harga output.

Pada persamaan (5), π * didefinisikan sebagai Unit Output Price profit (UOP profit). Cara ini dipakai untuk memaksimumkan keuntungan. Kondisi ini diperoleh dari persamaan (2) yang dinormalkan dengan harga output. π * = π / p = f ( x1, ...xm ; z1, ...zn) – =1 Wi* xi (5) π * dikenal sebagai fungsi keuntungan

UOP (Unit Output Price profit function) jumlah optimal dari input variabel xi* yang memberikan keuntungan maksimum dalam jangka pendek, dapat diturunkan (4), yaitu :

xi* = f (w1* , w2* , ...wm* ; z1, ...zn) (6) Substitusi persamaan (6) ke dalam (2) akan diperoleh :

π = p. f ( x1*, x2* ...xm* ; z1, ...zn) – =1 wi* xi * (7)

Dengan demikian cara UOP Cobb-Douglas Profit Function (UOP-CDPF), adalah cara yang dipakai untuk memaksimumkan keuntungan. UOP-CDPF ialah suatu fungsi (persamaan) yang melibatkan harga faktor produksi dan


(27)

produksi yang telah dinormalkan dengan harga tertentu. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

Y = A F(X,Z) (8)

Y = produksi

A = besaran yang menunjukkan tingkatan efisiensi teknik X = faktor produksi variabel

Z = faktor produksi tetap

Persamaan keuntungan yang diturunkan dari persamaan fungsi produksi seperti pada persamaan di atas dapat dituliskan sebagai berikut :

π = ApF (X1,....,Xm ; Z1,....,Zn)− =1 ciXi =1 fjZj (9) keterangan:

π = besarnya keuntungan A = besarnya efisiensi teknik p = harga produksi persatuan

Xi = faktor produksi variabel yang digunakan, dimana j = 1,...n ci = harga faktor produksi per satuan

fj = harga faktor produksi tetap Z = faktor produksi tetap

Penggunaan persamaan di atas berlaku anggapan bahwa dalam jangka pendek maka faktor produksi tetap seperti banyaknya cangkul atau alat pertanian yang lain, tidak mempengaruhi keinginan untuk meningkatkan keuntungan, sehingga persamaannya dapat dituliskan sebagai berikut :

π = ApF (X1,...,Xm ; Z1,...,Zn) )− =1 ciXi (10)

Bentuk logaritma dari persamaan di atas, seperti pada persamaan Cobb-Douglas, sehingga diperoleh :

ln (π / p) =ln A+ =1 βi ln (Xi / p ) + =1 αj lnZj (11) ln π* = ln A* + =1 βj ln Xi + =1 αj lnZj


(28)

ln π* = ln A*+ =1 αi *ln wi*+ =1 βj lnZj (12)

keterangan:

π* = keuntungan yang telah dinormalkan dengan harga produksi. βj = koefisien faktor produksi tetap yang telah dinormalkan dengan

harga produksi.

αj = koefisien faktor produksi variabel yang telah dinormalkan dengan harga produksi.

Xi* = faktor produksi variabel yang telah dinormalkan dengan harga produksi

Z = faktor produksi tetap yang telah dinormalkan dengan harga produksi

9. Teori Pendapatan Rumahtangga

Mosher (1987), berpendapat bahwa tolok ukur yang penting dalam melihat kesejahteraan petani adalah pendapatan rumahtangga, sebab beberapa aspek dari kesejahteraan tergantung pada tingkat pendapatan petani. Besarnya pendapatan petani sendiri akan mempengaruhi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, dan lapangan pekerjaan. Tingkat pendapatan rumahtangga merupakan indikator penting untuk

mengetahui tingkat hidup rumahtangga. Umumnya pendapatan rumahtangga di pedesaan tidak berasal dari satu sumber, tetapi berasal dari dua atau lebih sumber pendapatan.

Pendapatan rumahtangga petani tidak hanya dari usahatani tetapi juga dari luar usahatani untuk mencukupi kebutuhannya. Berbagai sumber pendapatan dapat digolongkan sebagai sumber pendapatan pokok dan sumber pendapatan tambahan berdasarkan besarnya pendapatan (Nurmanaf,1985).


(29)

Rodjak (2002), menjelaskan yang dimaksud dengan pendapatan rumahtangga petani adalah jumlah pendapatan petani dari usahatani dan dari luar usahatani, yang diperoleh dalam setahun. Rodjak (2002) menyatakan bahwa, tingkat pendapatan petani dapat dipengaruhi oleh berbagai sumber, antara lain dari pendapatan petani sebagai pengelola, pendapatan tenaga kerja petani, pendapatan tenaga kerja keluarga petani, dan pendapatan keluarga petani.

Sumber pendapatan rumahtangga digolongkan ke dalam dua sektor, yaitu sektor pertanian dan non-pertanian. Sumber pendapatan dari sektor pertanian dapat dirincikan lagi menjadi pendapatan dari usahatani, ternak, buruh petani, menyewakan lahan, dan bagi hasil. Sumber pendapatan dari sektor non-pertanian dibedakan menjadi pendapatan dari industri rumahtangga, perdagangan, pegawai, jasa, buruh non pertanian serta buruh subsektor pertanian lainnya (Sajogyo, 1990).

Soekirno (1985), menyebutkan bahwa terdapat empat ukuran pendapatan:

1) Pendapatan Kerja Petani

Pendapatan ini diperoleh dengan menghitung semua penerimaan dan kenaikan investasi yang kemudian dikurangi dengan pengeluaran baik tunai maupun bunga modal dan investasi nilai kerja keluarga.

2) Penghasilan Kerja Petani

Pendapatan ini diperoleh dari selisih total penerimaan usahatani setelah dikurangi dengan bunga modal.


(30)

3) Pendapatan Kerja Keluarga

Pendapatan yang diperoleh dari balas jasa dan kerja serta pengelolaan yang dilakukan petani dan anggotanya yang bertujuan untuk menambah

penghasilan rumahtangga.

4) Pendapatan Keluarga

Angka ini diperoleh dengan menghitung pendapatan dari sumber-sumber lain yang diterima petani bersama keluarga di samping kegiatan pokoknya.

10.Konsep Tingkat Kesejahteraan

Dalam menentukan tingkat kesejahteraan individu atau rumah tanga terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan, yaitu menurut, Mosher (1987), Sajogyo (1997), dan Badan Pusat Statistik (2007). Mosher (1987), menjelaskan bahwa yang paling penting dari kesejahteraan petani adalah pendapatan rumahtangga, sebab beberapa aspek dari kesejahteraan keluarga tergantung pada tingkat pendapatan petani. Besarnya pandapatan akan mempengaruhi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi yaitu, pangan, sandang, papan, kesehatan dan lapangan kerja. Sajogyo (1997), menjelaskan kriteria kesejahteraan didasarkan pada pengeluaran per kapita per tahun, miskin apabila pengeluarannya lebih rendah nilai tukar 320 kg beras untuk daerah pedesaan, miskin sekali apabila pengeluarannya lebih rendah dari nilai tukar 240 kg beras untuk daerah pedesaan, dan paling miskin apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari nilai tukar 180 kg beras untuk daerah pedesaan.


(31)

Badan Pusat Statistik (2007), mengartikan kemiskinan sebagai

ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makanan maupun non-makanan. Inti dari model ini adalah membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan Garis

Kemiskinan (GK) yaitu jumlah rupiah untuk konsumsi per orang per bulan. Garis kemiskinan, yakni kebutuhan dasar makanan setara 2100 kalori energi per kapita per hari, ditambah nilai pengeluaran untuk kebutuhan dasar bukan makanan yang paling pokok.

Untuk mengukur kemiskinan, Badan Pusat Statistik menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Pendekatan ini memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran, dapat dihitung dengan menggunakan Headcount Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total penduduk. Tingkat kemiskinan merupakan indikator untuk menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Tingkat kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada satu kurun waktu tertentu. Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Sejahtera bagi seseorang dengan tingkat pendapatan tertentu belum dapat juga dikatakan sejahtera bagi orang lain.


(32)

Sukirno (1985 dalam Adhayanti, 2006), menyatakan bahwa kesejahteraan adalah suatu yang bersifat subjektif dimana setiap orang mempunyai pedoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda pula terhadap faktor-faktor yang menetukan tingkat kesejahteraan. Maslow (1984) menyebutkan bahwa terdapat lima kelompok kebutuhan yang membentuk suatu hirarki dalam mencapai kesejahteraan yaitu (1) kebutuhan fisiologis yaitu pangan, sandang, dan papan, (2) kebutuhan sosial, perlu interaksi, (3) kebutuhan akan harga diri, (4) pengakuan kesepakatan dari orang lain, dan (5) kebutuhan akan pemenuhan diri.

11.Kajian Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu menganalisis mengenai analisis pendapatan dan tingkat kesejahteraan, dan ada peneliti yang menganalisis mengenai evektivitas prgram SL-PTT yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu komoditas yang diteliti adalah padi organik sedangkan penelitian sebelumnya adalah padi konvensional. Penelitian ini tidak hanya menganalisis pendapatan rumahtangga petani dan tingkat kesejahteraan tetapi juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan petani. Selain itu penelitian ini membandingkan tingkat kesejahteraan dan pendapatan rumahtangga peserta SL-PTT dan non-peserta SL-PTT. Berikut ini adalah informasi penelitian tentang pendapatan dan kesejahteraan yang dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu disajikan pada Tabel 7


(33)

Tabel 7. Penelitian Terdahulu

No Judul/Tahun Tujuan Metode Analisis Hasil

1. Analisis Kesejahteraan Rumahtangga Petani Karet Plasma Di Desa Sungai Baung Kecamatan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu (Martin Batubara 2012)

Mengetahui kualitas hidup petani karet.

a. Livelihood a. Kualitas hidup (livelihood) pada awal program berada pada kuadran IV yang terkategori buruk dan setelah 27 tahun mengikuti program PIR Karet livelihood bergerak ke kuadran I yang terkategori baik.

2. Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan

Kesejahteraan Petani di Daerah Riau

( Almasdi Syahza, 2007)

Mengetahui perkembangan tingkat

kesejahteraan petani di pedesaan.

a. Rumus Michael Todaro

G = w1 g1+ w2 g2 + ... + wi gi

a. Hasil penelitian yang dilakukan di daerah pedesaan menyimpulkan bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit dapat meningkatkan perekonomian pedesaan. Secara ekonomi akan meciptakan daya beli di daerah pedesaan, yang pada akhirnya meningkatkan permintaan terhadap barang kebutuhan masyarakat. Bagi

masyarakat di daerah pedesaan, sampai saat ini usaha perkebunan merupakan alternatif untuk merubah perekonomian keluarga, karena itu animo masyarakat terhadap pembangunan perkebunan masih tinggi. Dari sisi lain pembukaan perkebunan akan membutuhkan lahan, apabila hal ini tidak dikendalikan oleh pembuat kebijakan, maka akan terjadi alih fungsi lahan di daerah pedesaan.


(34)

3. Dampak Konversi Lahan PertanianTerhadapKesejah teraan Petani dan

Pengembangan Wilayah: Studi Kasus Di Daerah Bandung Utara ( Agus Ruswandi , 2004)

Mengetahui perkembangan tingkat

kesejahteraan petani di pedesaan.

a. Regrsesi Linear Berganda

b. Regresi Logistik Binary

a. Secara umum peningkatan konversi lahan pertanian dalam waktu jangka panjang akan meningkatkan peluang menurunnya tingkat kesejahteraan petani yang dapat diidentifikasikan dari penurunan luas lahan milik dan luas lahan garapan, penurunan pendapatan

pertanian, serta tidak signifikannya pendapatan non-pertanian.

4. Analisis Kesejahteraan Pelaku Industri

Pengolahan Ikan Pada Komunitas Klaster Masyarakat Nelayan Pesisir Sebuah Dinamika Pendekatan Sistem ( Indah Lestari, 2011)

Melakukan pemodelan sistemnya sehingga diharapkan dapat memberikan alternatif evaluasi kebijakan pemerintah pada rantai pasok klaster nelayan pesisir yang akan berdampak pada tingkat kesejahteraan pelaku industri pengolahan ikan.

a. Analisa Kondisi

Existing Sistem Klaster Nelayan Pesisir

b. Analisa Desain Skenario Kebijakan

a. Variabel-variabel yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan klaster nelayan pesisir adalah harga BBM dan keuntungan harga tengkulak. Kedua variabel ini memberikan pengaruh yang signifikan kepada keuntungan nelayan, saving tengkulak, serta saving industri pengolahan ikan. Dari empat skenario dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan harga BBM dan keuntungan tengkulak oleh pemerintah memberikan dampak signifikan terhadap tingkat kesejahteraan nelayan, tengkulak, dan industri pengolahan ikan. Berdasarkan nilai pengaruh kebijakan pemerintah terhadap tingkat keuntungan nelayan, saving tengkulak, dan saving industri pengolahan ikan di atas, maka dapat dijadikan sebagai masukan terhadap alternatif kebijakan pemerintah selanjutnya.


(35)

5. Klasifikasi Kesejahteraan Rumahtangga di Kota Malang dengan Pendekatan Bagging

Regresi ( Ery Surya Ningrum, 2012) a. Mengetahui perbedaan dan persamaan karakteristik antara rumahtangga miskin dan tidak miskin.

b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pola hubungan kesejahteraan c. Mengetahui tingakat kesejahteraan rumahtangga di Kota Malang

a. Analisis Staistik Deskriptif b. Regresi Logistik c. Estimasi Bagging

Class Probability

a. Hasil analisis statistik deskriptif menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dan persamaan karakteristik kesejahteraan rumahtangga di Kota Malang antara ke-lompok rumahtangga miskin dan tidak miskin dalam aspek kependudukan, pendidikan, perumahan, ketenagakerjaan, sosial ekonomi rumahtangga, dan teknologi informasi dan komunikasi.

b. Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa pola hubungan kesejahteraan rumahtangga di Kota Malang dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya

digambarkan dalam model regresi logistik berikut. Pada model tersebut terdapat 4 (empat) variabel prediktor yang signifikan berpengaruh terhadap variabel respon, yaitu jumlah anggota rumahtangga (X

5), status pekerjaan utama kepala rumahtangga (X

8), pengalaman membeli beras raskin dalam tiga bulan terakhir (X

15), dan ada/tidak ada anggota rumahtangga yang dapat menggunakan telepon seluler (X

16). Model tersebut sudah sesuai untuk menjelaskan seberapa besar peluang sebuah rumahtangga di Kota Malang tahun 2009

termasuk dalam rumahtangga tidak miskin dengan ketepatan klasifikasi sebesar 97,8%. (1)) X 526,1) 1(1,779X -(3) 2,398X - 0,616X - (7,266 exp1 (1)) X 526,1) 1(1,779X -(3) 2,398X - 0,616X - exp(7,266 (x) 16 15 8 5 16 15 8 5 + + + = π.

c. Hasil analisis bagging regresi logistik menunjukkan bahwa pada 60 kali replikasi bootstrap diperoleh nilai


(36)

ketepatan klasifikasi terbesar, yaitu sebesar 98%. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, didapatkan informasi bahwa kesejahteraan rumahtangga di Kota Malang pada tahun 2009 lebih banyak dipengaruhi oleh status pekerjaan utama kepala rumahtangga sehingga diharapkan pemerintah Kota Malang dapat

mengoptimalkan berbagai program yang telah dicanangkan untuk memperluas kesempatan kerja. 6. Analisis Pendapatanan

Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani Pada Agroekosistem Marjinal Tipe Sawah Tadah Hujan dan Lahan Kering di Kabupaten Lampung Selatan

( Bambang Irawan, 2011)

Mengetahui tingkat kesejahteraan rumahtangga petani agroekosistem sawah tadah hujan dan lahan kering.

a. Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Petani

a. Berdasarkan kriteria Sajogyo (1997), pada

agroekosistem sawah tadah hujan dan lahan kering masih terdapat rumahtangga petani yang masuk dalam kategori miskin (6.90 persen dan 4.30 persen) dan nyaris miskin (20.69 persen dan 34.78 persen). Berdasarkan kriteria BPS (2007) rumahtangga petani pada

agroekosistem sawah tadah hujan yang masuk dalam kategori belum sejahtera sebanyak 34,48 persen, sedangkan pada lahan kering sebanyak 43,48 persen rumahtangga petani yang belum sejahtera.

7. Analisis Sistem Agribisnis Varietas Lokal Pandan Wangi dan Tingkat Kesejahteraan Petani Anggota Gapoktan Citra Sawargi di Kecamatan Warung Kondang

Kabupaten Jawa Barat ( Yuliana Saleh, 2010)

Mengetahui tingkat kesejahteraan petani padi varietas Pandan Wangi

a. Analisis Tingkat Kesejahteran Rumahtangga

a. Berdasarkan indikator kesejahteraan Badan Pusat Statistik (2007) hasil modifikasi menunjukkan bahwa rumahtangga petani padi pandan wangi anggota aktif maupun non-aktif Gapoktan Citra Sawargi termasuk ke dalam kategori sejahtera atau baik. Namun, jika dilihat dari pengeluaran per kapita per bulan, maka terlihat bahwa anggota aktif Gapoktan Citra Sawargi termasuk kategori tidak miskin, sedangkan anggota non-aktif Gapoktan Citra Sawargi kategori miskin.


(37)

8. Efektivitas Pelaksanaan Program SL-PTT Terhadap Peningkatan Produktivitas Padi di Desa Wates Kecamatan Gading Rejo Kabupaten

Pringsewu (Vidi Oktadeli, 2012)

Mengetahui

efektivitas program SL-PTT dan

pengaruh program SL-PTT terhadap produktivitas padi

a. Analisis Rank Spearman

Efektivitas pelaksanaan SL-PTT terhadap peningkatan produktivitas padi cukup efektif. Hal ini dikarenakan komponen-komponen teknologi anjuran SL-PTT dalam budidaya padi sudah dapat diterima dan dilaksanakan oleh responden diantaranya adalah tingkat penerapan pemilihan varietas, penggunaan benih bermutu, pengaturan populasi tanaman, pemberian air secara efisien dan penanganan proses panen tepat waktu walaupun ada beberapa komponen teknologi yang belum sesuai dengan anjuran dari program SL-PTT yaitu pemberian bahan organik, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman, pengendalian OPT, pengolahan tanah, penggunaan bibit muda, penamanan bibit 1-3 per rumpun dan penyiangan secara mekanis.

Tingkat produktivitas padi di Desa Wates termasuk dalam klasifikasi sedang dengan rata-rata sebesar 7,14 ton/ha. Hal ini menunjukkan responden memiliki produktivitas padi yang cukup tinggi walaupun masih ada beberapa tingkat penerapan teknologi yang belum sesuai dengan anjuran program SL-PTT. Semakin tinggi tingkat penerapan teknologi anjuran SL-PTT maka akan semakin tinggi produktivitas padi yang diperoleh petani.


(38)

B. Kerangka Pemikiran

Peran sektor pertanian sangat penting bagi negara Indonesia, terbukti dengan meningkatnya PDRB Indonesia selama kurang lebih lima tahun terakhir ini. Hal ini tidak terlepas dari peran petani dalam mengupayakan tingkat produksi dan produktivitas petani guna memperoleh keuntungan maksimal dan

meningkatkan kesejahteraan hidup para petani. Selain itu peran pemerintah juga menjadi salah satu faktor terpenting dalam peningkatan produktivitas pertanian. Salah satu komoditas terpenting dan memiliki produksi tinggi di Provinsi Lampung adalah padi.

Tingginya laju pertumbuhan penduduk membuat tingginya permintan akan tanaman pangan terutama beras. Hal ini yang mengakibatkan pemerintah dan para petani berupaya untuk meningkatkan produksi beras. Oleh sebab itu, pemerintah membuat program SL-PTT (Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu) dengan tujuan untuk meningkatkan produksi, produktivitas serta kesejahteraan petani. Salah satu komoditas yang diutamakan dalam program ini adalah padi.

Pringsewu adalah salah satu kabupaten yang memiliki produksi dan produktivitas padi yang cukup tinggi. Apalagi kabupaten ini merupakan pelopor daerah penghasil padi organik. Padi organik merupakan padi dengan penggunaan pupuk serta pestisida secara alami dan tidak menggunakan pupuk kimiawi seperti urea, NPK, SP36 dan lainnya.


(39)

Program SL-PTT dimulai pada tahun 2004 di Kabupaten Pringsewu. Kecamatan yang menjadi sentra padi organik adalah Kecamatan Pagelaran tepatnya di Desa Pagelaran dan Desa Gemah Ripah. Harga jual padi organik lebih tinggi jika dibandingkan dengan padi biasa. Harga satu kilogram beras organik adalah Rp12.500,00 sedangkan untuk beras biasa berkisar antara Rp8000,00 -10.000,00.

Fakta lain menjelaskan bahwa tidak semua petani padi organik di Kecamatan Pagelaran mengikuti program SL-PTT. Lebih dari 50% petani padi organik di Kecamatan Pagelaran tidak mengikuti program tersebut. Masalah lain adalah skala pengusahaan lahan oleh petani yang relatif kecil dan

pengusahaan single commodity membuat sistem usahatani kurang efisien dan beresiko tinggi. Semua keterbatasan tersebut menyebabkan rendahnya penerapan teknologi, sehingga produktivitas sumberdaya dan pendapatan petani juga rendah. Akibatnya, mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar rumahtangga hanya dari usahatani, sehingga harus mencari sumber pendapatan lain.

Penelitian ini mencoba mengkaji seberapa besar tingkat pendapatan, faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan, dan tingkat kesejahteraan

rumahtangga peserta SL-PTT dan non-peserta SL-PTT, sehingga diharapkan dapat menjadi suatu referensi dalam upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatkan taraf hidup petani khususnya yang berada pada wilayah pedesaan.


(40)

Penjualan hasil produksi berupa padi organik akan menghasilkan penerimaan bagi petani. Besarnya penerimaan bergantung pada jumlah padi organik yang dihasilkan dikali dengan harganya. Selisih penerimaan dengan biaya

produksinya merupakan pendapatan bagi petani padi organik.

Pendapatan yang diperoleh petani dapat dijadikan salah satu indikator untuk melihat kesejahteraan rumahtangga petani, sebab beberapa aspek dari kesejahteraan tergantung pada tingkat pendapatan dimana besarnya

pendapatan yang diperoleh akan mempengaruhi (pengalokasiannya) terhadap kebutuhan dasar yang harus dipenuhi seperti pangan, sandang, papan,

kesehatan, dan lapangan kerja. Selain pendapatan yang diperoleh dari hasil usahataninya, pendapatan rumahtangga petani dapat dilihat dari pendapatan di luar usahatani seperti PNS, berdagang, mengojek, dan lainnya.

Tingkat kehidupan ekonomi (kesejahteraan) rumahtangga dapat dilihat dari pola pengeluaran rumahtangga tersebut yang secara garis besar dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu pengeluaran untuk kebutuhan pangan dan non-pangan, dimana persentasi untuk pangan cenderung akan semakin kecil. Kedua pengeluaran tersebut merupakan total pengeluaran rumahtangga. Tingkat pengeluaran rumahtangga berbeda satu sama lain didasarkan pada golongan tingkat pendapatan, jumlah anggota keluarga, status sosial, dan prinsip pangan. Setelah jumlah pendapatan dan pengeluaran rumahtangga diketahui dapat dihitung besarnya pendapatan dan pengeluaran per kapita per tahun.


(41)

Besarnya pendapatan dan pengeluaran ditambah indikator lainnya termasuk di dalamnya kondisi sosial ekonomi merupakan dasar untuk mengukur tingkat kesejahteraan rumahtangga petani berdasarkan kriteria kemiskinan dari Sajogyo yaitu mengenai pengeluaran rumahtangga yang disetarakan dengan pengeluaran beras per kapita per tahunnya.

Bagan alir pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga petani padi organik peserta SL-PTT (Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu) dan non-peserta SL-PTT di Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu disajikan pada Gambar 1.


(42)

Gambar 1. Bagan alir pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga petani padi organik peserta SL-PTT (Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu) dan non-peserta SL-PTT di Kecamatan Pagelaran

Kabupaten Pringsewu Desa

Program Pemerintah (2012)

Petani padi organik SL-PTT

Petani padi organik non SL-PTT

Penerimaan

Biaya Poduksi

Faktor produksi /faktor yang mempengaruhi keuntungan (input):

Sekolah

Luas lahan (Z1)

Benih/harga benih (X1)

Pupuk kandang / harga pupuk kandang (X2)

Pupuk kompos/harga pupuk kompos (X3)

Pestisida alami/harga pestisida (X4) Tenaga kerja/upah tenaga kerja (X5) Peralatan/biaya peralatan(Z2)

Pendapatan On-farm:

-usahatani tanaman pangan (Padi organik) Pendapatan Off-farm: -buruh petani Pendapatan Non-farm: -perdagangan -jasa -buruh bangunan Pengeluaran Rumahtangga (Pangan dan non-pangan)

Tingkat Kesejahteraan Harga Output (Beras Organik) Output (Beras Organik) Penerimaan Harga Biaya Poduksi

Faktor produksi /faktor yang mempengaruhi keuntungan (input): Luas lahan (Z1)

Benih/harga benih (X1)

Pupuk kandang / harga pupuk kandang (X2)

Pupuk kompos/harga pupuk kompos (X3) Pestisida alami/harga pestisida (X4) Tenaga kerja/upah tenaga kerja (X5) Peralatan/biaya peralatan(Z2)


(43)

C. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Diduga variabel luas lahan berpengaruh positif, sedangkan harga benih, harga pupuk kandang, harga pupuk kompos, upah tenaga kerja, harga pestisida dan biaya peralatan berpengaruh negatif terhadap keuntungan usahatani peserta SL-PTT

2. Diduga variabel luas lahan berpengaruh positif, sedangkan harga benih, harga pupuk kandang, harga pupuk kompos, upah tenaga kerja, harga pestisida dan biaya peralatan berpengaruh negatif terhadap keuntungan usahatani non-peserta SL-PTT

3. Diduga bahwa pendapatan usahatani padi organik peserta SL-PTT berbeda dengan non-peserta SL-PTT.


(44)

III. METODE PENELITIAN

A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional

Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data dan melakukan analisis sehubungan dengan tujuan penelitian.

Pertanian organik adalah sistem budidayapertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis. Prinsip kesehatan dalam pertanian organik adalah kegiatan pertanian harus memperhatikan kelestarian dan peningkatan kesehatan tanah, tanaman, hewan, bumi, dan manusia sebagai satu kesatuan karena semua komponen tersebut saling berhubungan dan tidak terpisahkan. Pertanian organik juga harus didasarkan pada siklus dan sistemekologi kehidupan.

Padi organik adalah padi yang dibudidayakan oleh petani dengan

menggunakan salah satu faktor produksinya yaitu pupuk dan pestisida alami tanpa menggunakan bahan kimia.

Program SL-PTT (Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu) adalah program yang dibuat pemerintah dalam rangka meningkatkan produksi, produktivitas, dan kesejahteraan petani.


(45)

Usahatani merupakan pekerjaan manusia, dimana sekelompok individu melakukan bercocok tanam pada suatu wilayah tertentu dengan cara mengalokasikan sumberdaya yang ada guna meningkatkan pendapatan.

Produksi adalah suatu proses untuk menghasilkan suatu barang atau jasa. Dalam hal ini produksi yang dimaksud adalah proses budidaya padi organik untuk menghasilkan padi organik yang memiliki kualitas serta harga jual yang tinggi.

Luas lahan adalah areal/tempat yang digunakan untuk melakukan usahatani di atas sebidang tanah, yang diukur dalam satuan hektar (ha).

Pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi makhluk hidup, seperti pelapukan sisa -sisa tanaman, hewan, dan manusia. Pupuk organik dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologitanah. Pupuk organik mengandung banyak bahan organik daripada kadar haranya. Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota (sampah)

Pestisida alami adalah suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Jenis pestisida ini mudah terurai (biodegradable) di alam, sehingga tidak mencemarkan lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak, karena residunya mudah hilang.


(46)

Benih adalah bahan tanam yang digunakan untuk memperbanyak dan atau mengembangbiakkan tanaman yang dapat berupa biji tanaman atau

bagiannya.

Tenaga kerja adalah faktor produksi yang digunakan dalam budidaya padi organik dari pengolahan lahan hingga pasca-panen. Tenaga kerja terdiri dari tenaga kerja manusia, hewan dan mesin. Tenaga kerja manusia dibedakan menjadi dua yaitu tenaga kerja dalam keluarga dan luar keluarga.

Penggunaan tenaga kerja diukur dalam satuan hari orang kerja (HOK).

Peralatan adalah alat-alat yang digunakan petani dalam budidaya padi organiknya. Peralatan memiliki penyusutan dan merupakan faktor produksi tetap karena tidak habis digunakan dalam satu kali proses produksi.

Ongkos angkut adalah jumlah ongkos yang dikeluarkan oleh petani untuk membawa hasil panen. Cara perhitungannya adalah hasil produksi dikalikan dengan ongkos angkut, dalam satuan rupiah (Rp).

Harga adalah nilai dari suatu barang atau jasa yang biasanya diukur dengan satuan mata uang (Rp). Dalam hal ini harga yang dimaksud adalah harga dari faktor-faktor produksi yang digunakan dalam berusahatani padi organik.

Biaya total adalah jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh petani untuk melakukan usahatani meliputi biaya tetap dan biaya tidak tetap/variabel dalam satuan rupiah per tahun (Rp/th).

Produksi adalah jumlah hasil tanaman yang dihasilkan dalam satu musim tanam (satu kali proses produksi) yang diukur dalam satuan kilogram (kg).


(47)

Harga panen adalah harga yang diterima oleh petani atas penjualan hasil panen dalam bentuk GKG (Gabah Kering Giling) berdasarkan umur tanaman yang diukur dalam satuan rupiah per kilogram (Rp/kg).

Penerimaan adalah nilai hasil yang diterima petani yang dihitung dengan mengalikan jumlah produksi padi dengan harga produksi di tingkat petani produsen yang diukur dalam satuan rupiah (Rp).

Pendapatan usahatani adalah penerimaan yang diperoleh petani setelah dikurangi biaya tunai yang dikeluarkan selama proses produksi, dalam hal ini biaya pembelian pupuk, bibit, upah, tenaga kerja, dan biaya penyusutan alat-alat pertanian dalam satu kali musim tanam. Pendapatan usahatani diukur dalam satuan rupiah per tahun (Rp/th).

Keuntungan usahatani adalah penerimaan yang diperoleh petani setelah dikurangi biaya total yang dikeluarkan selama proses produksi, dalam hal ini biaya pembelian pupuk, bibit, upah, tenaga kerja dalam keluarga dan luar keluarga, serta biaya penyusutan alat-alat pertanian dalam satu kali musim tanam. Pendapatan usahatani diukur dalam satuan rupiah per tahun (Rp/th).

Rumahtangga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan umumnya tinggal bersama serta kepengurusan kebutuhan sehari-hari dikelola secara bersama-sama.

Pendapatan rumahtangga adalah hasil penjumlahan antara pendapatan usahatani dan pendapatan non-usaha tani.


(48)

Usaha non -pertanian adalah usaha di luar bidang pertanian yang dilakukan oleh anggota keluarga untuk menambah pendapatan keluarga, biasanya dilakukan oleh anggota keluarga yang berusia kerja, misalnya, berdagang, buruh dan lain-lain.

Pendapatan usaha non-pertanian adalah seluruh pendapatan keluarga petani yang berasal dari usaha non-pertanian setelah dikurangi dengan pengeluaran tunai yang diukur dalam satuan rupiah per tahun (Rp/th).

Pendapatan rumahtangga adalah jumlah uang yang diperoleh dari usahatani, dan non-pertanian setelah dikurangi dengan biaya, yang diukur dengan satuan rupiah per tahun (Rp/th).

Pengeluaran adalah seluruh biaya yang dikeluarkan oleh seluruh anggota rumahtangga petani, yang meliputi pengeluaran pangan dan non-pangan, yang diukur dengan satuan rupiah per tahun (Rp/th).

Pengeluaran pangan adalah besarnya uang yang dikeluarkan untuk konsumsi pangan semua anggota keluarga, yang diukur dalam satuan rupiah per tahun (Rp/th).

Pengeluaran non-pangan adalah besarnya uang yang dikeluarkan untuk konsumsi non-pangan semua anggota keluarga, yang diukur dalam satuan rupiah per tahun (Rp/th).

Kesejahteraan adalah sesuatu dimana setiap orang mempunyai pedoman, tujuan dan cara hidup yang berbeda-beda pula terhadap faktor-faktor yang


(49)

menentukan tingkat kesejahteraan. Tingkat kesejahteraan masing-masing keluarga diukur dengan kriteria setara beras menurut Sajogyo.

B. Lokasi Penelitian, Responden dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pringsewu. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa menurut Dinas Perkebunan, Hortikultura, dan Tanaman Pangan, Kecamatan Pagelaran merupakan salah satu pusat produksi padi organik, sebagai daerah pelopor padi organik di Provinsi Lampung, dan akan memperoleh sertifikasi beras organik pada akhir tahun 2012.

Responden penelitian adalah petani yang membudidayakan tanaman padi organik di Kecamatan Pagelaran. Petani-petani tersebut berada pada dua desa yaitu Desa Pagelaran dan Desa Gemah Ripah. Kedua desa ini dipilih secara

purposive karena: (1) Kedua desa ini mewakili daerah dimana petaninya membudidayakan tanaman padi organik. (2) DesaPagelaran memiliki gabungan kelompok tani yang terdiri dari delapan kelompok tani dengan empat kelompok tani peserta SL-PTT. (3) Desa Gemah Ripah merupakan desa yang membudidayakan padi organik akan tetapi tidak mengikuti

program SL-PTT. Populasi petani padi organik di Desa Pagelaran 312 orang. Terdapat empat kelompok tani peserta SL-PTT pada tahun 2012 dengan jumlah 162 orang. Populasi petani padi organik di Desa Gemah Ripah sebanyak 173 orang, dan tidak mengikuti SL-PTT. Kedua desa ini diambil sebagai sampel karena akan dilakukan perbandingan antara peserta SL-PTT dan non-peserta SL-PTT.


(50)

Metode pangambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode acak sederhana (simple random sampling) dengan pertimbangan bahwa responden di daerah penelitian cenderung homogen dalam hal penguasaan lahan dan penggunaan input, serta tidak terlalu tersebar secara geografis. Jumlah sampel ditentukan secara proporsional dengan rumus (Yamane dalam Rakhmat, 2001).

n=

��2+1

keterangan: n = jumlah sampel

N = jumlah anggota dalam populasi (335 orang)

d= tingkat presisi (ditetapkan 10% dengan tingkat kepercayaan 90%)

n = 335 335 (0,1)2+1

= 335 4,35 = 77

Kemudian dari jumlah sampel tersebut dapat ditentukan alokasi proporsi sampel tiap desa dengan rumus :

na = Na x n N

dimana : na = jumlah sampel desa A n = jumlah sampel keseluruhan Na = jumlah populasi desa A N = jumlah populasi keseluruhan nb = jumlah sampel desa B Nb = jumlah populasi desa B


(51)

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus, maka diperoleh jumlah sampel dari peserta PTT sebanyak 37petani dan non-peserta SL-PTT 40petani. Waktu penelitian untuk proses pengambilan data yang dilakukan mulai September 2012 sampai dengan Juli 2013.

C. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui metode survei, yaitu mewawancarai secara langsung peserta SL-PTT dan non-peserta SL-PTT dengan

menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah disediakan sebagai alat bantu pengumpulan data. Data sekunder diperoleh dari studi literatur, laporan-laporan, publikasi, dan pustaka lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini, serta lembaga/instansi yang terkait dalam penelitian ini, seperti Badan Pusat Statistik, Dinas Pertanian Kabupaten Pringsewu, dan lain-lain.

D. Metode Analisis dan Pengolahan Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisiskualitatif (deskriptif) dan analisis kuantitatif (statistik). Adapun cara untuk menjawab beberapa tujuan dari penelitian dengan menggunakan metode pengolahan data sebagai berikut :

1. Pendapatan Usahatani Padi Organik

Menghitung pendapatan usahatani padi organik peserta SL-PTT dan non-peserta SL-PTTdigunakan rumus sebagai berikut :


(52)

∏1=Y1.Py1- �1=1 Xi1.Pxi1-BTT1

2. Pendapatan Usahatani Padi Organik non-peserta SL-PTT ∏2=Y2.Py2- �2=1 Xi2.Pxi2-BTT2

Keterangan :

Π1 = pendapatan usahatani petani padi organik peserta SL-PTT Y1 = hasil produksi padi organik peserta SL-PTT(kg)

Py1 = harga hasil produksi padi organik peserta SL-PTT(Rp) Xi1 = faktor produksi ke-i padi organik peserta SL-PTT

Pxi1 = harga faktor produksi k-i padi organik peserta SL-PTT (Rp/satuan)

BTT1 = biaya tetap total padi organik peserta SL-PTT i1 = 1, 2, 3, 4, 5,n

Π2 = pendapatan usahatani padi organik non-peserta SL-PTT Y2 = hasil produksi padi organik non-peserta SL-PTT (kg)

P2 = harga hasil produksi padi organik non-peserta SL-PTT (Rp)

Xi2 = faktor produksi ke-i padi organik non-peserta SL-PTT Pxi2 = harga faktor produksi k-i padi organik non-peserta

SL-PTT (Rp/satuan)

BTT2 = biaya tetap total padi organik non-peserta SL-PTT i2 = 1, 2, 3, 4, 5,n

Untuk mengetahui apakah usahatani yang dilakukan peserta SL-PTT dan non-peserta SL-PTT menguntungkan atau tidak bagi petani maka

digunakan analisis imbangan penerimaan dan biaya dirumuskan sebagai berikut :

1. Perhitungan analisis imbangan penerimaan dan biaya peserta SL-PTT R/C1 = PT1

BT1

2. Perhitungan analisis imbangan penerimaan dan biaya non-peserta SL-PTT

R/C2 = PT2 BT2


(53)

Keterangan :

R/C1 = nisbah antara penerimaan dengan biaya peserta SL-PTT PT1 = penerimaan total peserta SL-PTT

BT1 = biaya total yang dikeluarkan oleh peserta SL-PTT R/C2 = nisbah antara penerimaan dengan biaya petani

non-peserta SL-PTT

PT2 = penerimaan total petani non-peserta SL-PTT

BT2 = biaya total yang dikeluarkan oleh petani non-peserta SL-PTT

Jika R/C > 1, maka usahatani yang diusahakan mengalami keuntungan Jika R/C < 1, maka usahatani yang diusahakan mengalami kerugian.

Metode yang digunakan untuk mengetahui perbedaan rata-rata pendapatan berdasarkan luas lahan per hektar antara peserta SL-PTT dan non-peserta SL-PTT maka dihitung dengan menggunakan uji-t. Sampel dalam penelitian ini diambil dari dua varian yang berbeda, untuk itu sebelum dilakukan uji beda terlebih dahulu dilakukan analisis varian. Pengujian homogenitas varians melalui perhitungan nilai F-Behren Fisher dilakukan untuk membuktikan apakah varian tersebut sama atau berbeda dengan hipotesis sebagai berikut:

H₀= τ x² = τ y², berarti kedua varian sama. H₀= τ x² ≠ τ y², berarti kedua varian berbeda.

� = Sx2

Sy2 dbx (nx-1 ; ny-1)

� =Sy

2

Sx2 dbx (ny-1 ; nx-1) Keterangan :

Fx = nilai F hitung dari sampel pendapatan usahatani padi organik peserta SL-PTT

Fy = nilai F hitung dari sampel pendapatan usahatani padi organik non-peserta SL-PTT


(54)

Sx² = simpangan baku rata-rata pendapatan usahatani padi organik peserta SL-PTT

Sy² = simpangan baku rata-rata pendapatan usahatani padi organik non-peserta SL-PTT

dbx = derajat bebas untuk variabel X dby = derajat bebas untuk variabel Y

Diantara Fx dan Fy dipilih nilai yang lebih besar dari satu kemudian diberi nama Fh (F-hitung). Selanjutnya nilai Fh dibandingkan dengan nilai 0,05 pada dbx dan dby sesuai dengan Fx dan Fy yang dipilih.

Jika : Fh > F 0,05, maka terima H0 Fh < F 0,05, maka tolak H₀

Setelah diketahui varian sama atau berbeda selanjutnya dilakukan pengujian perbedaan pendapatan secara rata-rata dengan hipotesis sebagai berikut: H₀= τ x = τ y

H₀= τ x ≠ τ y

1. Varian sama

− ℎ� �� = − μy

1 nx

s

+ 1 ny

Dengan S = � −1 � + � −1 �

� +� −2

db = nx + ny – 2

Kriteria pengambilan keputusan:

a. Jika t-hitung > t-tabel maka H₀ ditolak b. Jika t-hitung < t-tabel maka H₀ diterima


(55)

2. Varian Berbeda

− ℎ� ��= − μy

wx + wy

� = Sx

2 Sy2

� =Sy

2 Sx2

db = nx + ny – 2

=wx. tx + wy. ty wx + wy

Tx = tλ pada db = nx – 1 Ty = tλ pada db = ny – 1

Keterangan:

µx = rata-rata pendapatan usahatani padi organik peserta SL-PTT µy = rata-rata pendapatan usahatani padi organik peserta non SL-PTT Sx² = nilai varian peserta SL-PTT

Sy² = nilai varian non-peserta SL-PTT Nx = jumlah responden peserta SL-PTT

Ny = jumlah responden non-peserta SL-PTT λ = 0,05 (ketentuan)

Kriteria pengambilan keputusan:

a. Jika t-hitung > t-tabel maka H₀ ditolak artinya terdapat perbedaan rata-rata pendapatan usahatani padi organik peserta SL-PTT dengan non-peserta SL-PTT

b. Jika t-hitung < t-tabel maka H₀ diterima artinya tidak perbedaan rata-rata pendapatan usahatani padi organik peserta SL-PTT dengan non-peserta SL-PTT


(56)

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keuntungan

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan pada usahatani padi organik peserta SL-PTT dan non-peserta SL-PTTdigunakan persamaan fungsi keuntungan untuk mengetahui pengaruh beberapa variabel bebas (independent) terhadap variabel tak babas (dependent). Persamaan fungsi keuntungan adalah sebagai berikut:

1. Ln πx* = Ln Ax* + α1x* Ln W1x* + α2x* Ln W2x* + α3x* Ln W3x* + α4x* Ln W4x* + α5x* Ln W5x*+ β1xLn Z1x+β2xLn Z2x+ e0x

Keterangan:

Π x* : keuntungan padi organik SL-PTT yang telah dinormalkan dengan harga padi organik.

A* : intersep peserta SL-PTT.

W1x* : harga benih peserta SL-PTT yang dinormalkan dengan harga padi organik.

W2x* : harga pupuk kompos peserta SL-PTT yang telah dinormalkan dengan harga padi organik.

W3x* : harga pupuk kandang peserta SL-PTT yang telah dinormalkan dengan harga padi organik.

W4x* : harga pestisida peserta SL-PTT yang telah dinormalkan dengan harga padi organik.

W5x* : upah tenaga kerja peserta SL-PTT yang telah dinormalkan dengan harga padi organik .

Z1x : luas lahan peserta SL-PTT. Z2x : biaya peralatan peserta SL-PTT.

α ix* :

parameter input variabel peserta SL-PTT yang diduga (1, 2, 3, 4). β jx : parameter input tetap peserta SL-PTT yang diduga

ex : faktor kesalahan peserta SL-PTT (standard eror).

2. Ln πy* = Ln Ay* + α1y* Ln W1y* + α2y* Ln W2y* + α3y* Ln W3y* + α4y* Ln W4y* + α5y* Ln W5y*+ β1y Ln Z1y+β2yLn Z2y+ e0y

Keterangan:

Π y* : keuntungan padi organik non-peserta SL-PTT yang dinormalkan dengan harga padi organik.


(57)

W1y* : harga benih non-peserta SL-PTT yang dinormalkan dengan harga padi organik.

W2y* : harga pupuk kompos non-peserta SL-PTT yang telah dinormalkan dengan harga padi organik.

W3y* : harga pupuk kandang non-peserta SL-PTT yang telah dinormalkan dengan harga padi organik.

W4y* : harga pestisida non-peserta SL-PTT yang telah dinormalkan dengan harga padi organik.

W5y* : upah tenaga kerja non-peserta SLPTT yang telah dinormalkan dengan harga padi organik.

Z1y : luas lahan non-peserta SL-PTT. Z2y : biaya peralatan non-peserta SL-PTT.

α iy* :

parameter input variabel non-peserta SL-PTT yang diduga (1, 2, 3, 4, 5).

β jy : parameter input tetap non-peserta SL-PTT yang diduga. ey : faktor kesalahan non-peserta SL-PTT (standard eror).

Untuk mengetahui variabel bebas secara bersama-sama terhadap pendapatan usahatani padi organik oleh petani (Y) digunakan uji-f. Kemudian, untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel, yaitu harga benih yang telah dinormalkan dengan harga padi organik (W1*), harga pupuk kompos yang telah dinormalkan dengan harga padi organik (W2*), harga pupuk kandang yang telah dinormalkan dengan harga padi organik (W3*), harga pestisida yang telah dinormalkan dengan harga padi organik (W4*), upah tenaga kerja yang telah dinormalkan dengan harga padi organik (W5)*, input tetap luas lahan (Z1), input tetap biaya peralatan (Z2) terhadap pendapatan usahatani padi organik digunakan uji-t. Analisis data dilakukan dengan program SPSS versi 17.0.dan Eviews 5.0

pengambilan keputusan ditentukan dengan melihat signifikansi hasil olahan dengan program SPSS versi 17.0.

Untuk mengetahui pengaruh berbagai perubahan harga faktor produksi tersebut terhadap perubahan keuntungan secara keseluruhan digunakan uji


(58)

F sebagai berikut:

Ho : α1 = α2= α3 = α4 =α5Z1 = Z2= 0 H1 : paling sedikit satu koefisien regresi ≠ 0

n k

sisa kuadrat jumlah

k regresi kuadrat

jumlah hitung

F

  

/

1 /

Keterangan:

n = jumlah sampel

k = jumlah variabel bebas Kriteria uji:

Jika F- hitung < F-tabel, maka terima Ho Jika F-hitung > F-tabel, maka tolak Ho

Jika Ho ditolak, artinya pada tingkat kepercayaan tertentu pada semua variabel bebas W1, W2, W3, W4, W5, Z1 dan Z2 berpengaruh nyata terhadap keuntungan usahatani padi organik. Sebaliknya jika Ho diterima, artinya semua variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap keuntungan usahatani padi organik.

Untuk mengetahui apakah peubah bebas (Xi) secara tunggal berpengaruh terhadap peubah terikat (Y) maka dilakukan pengujian parameter secara tunggal dengan menggunakan uji-t sebagai berikut :

Sbi bi hitung

t

Keterangan:

bi = parameter regresi ke-i

Sbi = kesalahan baku parameter regresi ke-i Ho : bi = 0


(1)

rumahtangga petani yang tergolong dalam kategori hidup layak terdapat 37 rumahtangga petani (92,5%).


(2)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Rata-rata pendapatan peserta SL-PTT berdasarkan biaya tunai dan biaya total sebesar Rp 13.047.112,84/th dan Rp 11.510.167,35/th serta diperoleh nisbah penerimaan (R/C rasio) dengan biaya tunai dan total sebesar 4,69 dan 3,27. Rata-rata pendapatan petani padi organik non-peserta SL-PTT berdasarkan biaya tunai dan biaya total sebesar Rp 9.803.268,59 dan Rp 8.418.819,09 serta diperoleh nisbah penerimaan (R/C rasio) dengan biaya tunai dan total sebesar 3,7 dan 2,68

2. Faktor yang mempengaruhi keuntungan petani padi organik peserta SL-PTT dan non-peserta SL-PTT hanya variabel Z1 yaitu luas lahan

saja.

3. Rata-rata pendapatan rumahtangga peserta SL-PTT sebesar Rp 39.174.915,54 per tahun. Rata-rata pendapatan rumahtangga non peserta SL-PTT sebesar Rp 36.987.001,30 per tahun .

4. Petani padi organik peserta SL-PTT terdapat rumahtangga petani yang tergolong dalam kategori cukup yaitu satu orang, dan sisanya 36 rumahtangga responden tergolong rumahtangga sejahtera, sedangkan


(3)

B. Saran

Adapun saran yang diajukan adalah sebagai berikut:

1. Dalam usaha untuk meningkatkan pendapatan petani padi organik peserta SL-PTT diharapkan lebih aktif dalam mengikuti segala bentuk kegiatan SL-PTT dan sebaiknya petani non-pesertaSL-PTT ikut serta dan aktif untuk memperoleh informasi mengenai budidaya padi organiknya.

2. Pemerintah hendaknya meningkatkan peran PPL melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan kelompok petani setempat seperti penguatan kelembagaan yang menyalurkan sarana produksi dan kegiatan

pemasaran, meningkatkan peran penyuluhan, khususnya penyuluhan tentang teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi seperti pola tanam yang tepat bagi petani padi organik. Selain itu, diharapkan agar desa-desa lainnya segera memperoleh program SL-PTT guna meningkatan produksi dan pendapatan petani.

3. Kepada peneliti lain diharapkan agar dapat melanjutkan penelitian mengenai keeratan hubungan antara karekteristik rumahtangga dengan keberagaman usaha, pendapatan dan tingkat kesejahteraan rumahtangga petani.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adhayanti, N. 2006. Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Keluarga Petani Ubi Kayu Kabupaten Lampung Tengah. Skripsi Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung.

Badan Pusat Statistik. 2006. Data dan Informasi Kemiskinan. BPS Propinsi Lampung. Bandar Lampung.

__________________.2007. Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Lampung. Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung Bandar Lampung.

__________________.2010. a) Pringsewu Dalam Angka. BPS Provinsi Lampung. Bandar Lampung

__________________. 2010.b)Statistik Kesejahteraan Rakyat. BPS Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

Batubara, M. 2012. Analisis Kesejahteraan Rumah Tangga Petani Karet Plasma Di Desa Sungai Baung Kecamatan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu. Jurnal Jurusan Agribisnis. Fakultas Pertanian Universitas Riau.

Departemen Pertanian. 2012. Pedoman Pelaksanaan Program Peningkatan Produksi, Produktivitas, Mutu Tanaman Pangan untuk Mencapai

Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan. www.deptan.go.id, diakses tanggal 9 Oktober 2012.

Dinas Tanaman Pangan Kecamatan Pagelaran. 2010. Profil Gapoktan Karya Bersama. Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kecamatan Pagelaran. Pagelaran.

Hernanto, F. 1991. Ilmu Usahatani. Swadaya. Jakarta.


(5)

Kering di Kabupten Lampung Selatan. Skripsi Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian. Universitas Lampung.

Lestari, I. 2011. Analisis Kesejahteraan Pelaku Industri Pengolahan Ikan Pada Komunitas Klaster Masyarakat Nelayan Pesisir Sebuah Dinamika Pendekatan Sistem. Jurnal Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik. Intitut Teknologi Surabaya. Surabaya

Mantra, I. B. 2004. Demografi Umum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Maslow, AH. 1984. Motivasi dan Kepribadian, SeriManajemen No. 104 Cetakan Pertama. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.

Mosher, AT. 1987. Menciptakan Struktur Pedesaan Progresif. Disunting oleh Rochim Wirjoniodjojo. Yasaguna. Jakarta. 251 hlm.

Mubyarto, 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta. 305 hlm. Nurmanaf, A.R. 1985. Pola Kesempatan Kerja dan Sumber Pendapatan

Rumahtangga di Pedesaan Jawa Barat. Forum Agro Ekonomi 4(I): 1-7. Pusat Penelitian Sosial Pertanian, Bogor.

Oktadeli, V. 2012. Efektivitas Pelaksanaan Program SL-PTT Terhadap Peningkatan Produktivitas Padi di Desa Wates Kecamatan Gading Rejo Kabupaten Pringsewu. Skripsi Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Rakhmat, J. 2001. Metode Penelitian Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung

Rodjak, A. 2002. Dasar-dasar Manajemen Usahatani. Fakultas Pertanian. Universitas Padjajaran. Bandung.

Ruswandi, A. 2004. Dampak Konversi Lahan Pertanian TerhadapKesejahteraan Petani dan Pengembangan Wilayah: Studi Kasus Di Daerah Bandung Utara. Jurnal Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor


(6)

Saleh, Y. 2009. Analisis Sistem Agribisnis Padi Varietas Lokal Pandan Wangi dan Tingkat Kesejahteraan Petani Anggota Gapoktan Citra Sawargi di Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur. Skripsi Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Sayogyo. 1997. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. LPSB-IPB. Bogor

Soeharjo, A dan D Patong. 1973. Sendi-Sendi Pokok Ilmu Usahatani.

Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. InstitutPertanian Bogor. Bogor.

Soekartawi. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian Pengembangan Untuk Petani Kecil. Universitas Indonesia. Jakarta.

_________. 1995. Analisis Usahatani. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. _________. 2002. Analisis Usahatani. UI-Press. Jakarta.

_________. 2003. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis Fungsi Cobb-Douglas. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sukirno, S. 1985. Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Surya, E. 2012. Klasifikasi Kesejahteraa Rumahtangga di Kota Malang dengan Pendekatan Bagging Regresi. Jurnal Jurusan Statistik Fakultas MIPA. Institut Teknologi Surabaya.

Sutanto, R. 2002a. Penerapan Pertanian Organik: Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Kanisius Yogyakarta.

_________. 2002b. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta.

Syahza, A. 2007. Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Kesejahteraan Petani Di Daerah Riau. Jurnal Pusat Pengkajian Koperasi dan

Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat. Universitas Riau

http://pustaka.litbang.deptan.go.id/bppi/lengkap/bitp07010.pdf. Diakses tanggal 9 Oktober 2012