Analisis Normatif Terhadap Tindak Pidana Pencurian Arca Di Museum.

(1)

ANALISIS NORMATIF TERHADAP TINDAK PIDANA

PENCURIAN ARCA DI MUSEUM

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

H

H

ER

E

RI

I

S

SU

UB

BA

AD

DI

I

NIM. 07020441

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

ANALISIS NORMATIF TERHADAP TINDAK PIDANA

PENCURIAN ARCA DI MUSEUM

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

H

H

ER

E

RI

I

S

SU

UB

BA

AD

DI

I

NIM. 070200441

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum Pembimbing I

Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

Pembimbing II

Dr. Marlina, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rakhmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Analisis Normatif Terhadap Tindak Pidana Pencurian Arca Di Museum”.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :

- Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

- Bapak Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum, sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

- Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Dosen Pembimbing I Penulis. - Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II Penulis.

- Bapak dan Ibu Dosen serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

- Rekan-rekan se-almamater di Fakultas Hukum khususnya dan Umumnya Universitas Sumatera Utara.


(4)

tiada terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda, semoga kebersamaan yang kita jalani ini tetap menyertai kita selamanya.

Demikianlah penulis niatkan, semoga tulisan ilmiah penulis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2011 Penulis

Heri Subadi


(5)

DAFTAR ISI

halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAKSI ... v

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 3

D. Keaslian Penulisan ... 4

E. Tinjauan Kepustakaan ... 4

F. Metodologi Penulisan ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II. SEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PENCURIAN ARCA DI MUSEUM ... 17

A. Tindak Pidana Pencurian Arca ... 17

B. Unsur-Unsur Tindak Pidana Arca ... 21

C. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencurian Arca ... 24

BAB III. SANKSI HUKUM TINDAK PENCURIAN ARCA DI MUSEUM ... 34


(6)

A. Pengaturan Tindak Pidana Pencurian Arca Di Indonesia ... 34

B. Sanksi Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencurian Arca di Museum ... 51

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

A. Kesimpulan ... 59

B. Saran ... 60 DAFTAR PUSTAKA


(7)

ABSTRAK

ANALISIS NORMATIF TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN ARCA DI MUSEUM

H

HeerriiSSuubbaaddii**

Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS ** Dr. Martina, SH, M.Hum ***

Salah satu kejahatan yang semakin meningkat dewasa ini adalah pencurian benda-benda yang dapat digolongkan sebagai benda cagar budaya termasuk pencurian arca, baik itu dalam bentuk jumlah, aktivitas maupun cara-cara pencuriannya. Akibat yang langsung terjadi dari semakin meningkatnya pencurian arca ini adalah selain kerugian secara material kepada pemerintah, maka akibat lainnya adalah hilangnya peninggalan hasil karya anak bangsa ini ditinjau dari sejarahnya. Peninggalan-peninggalan sejarah dalam bentuk arca sangat penting sebagai sarana sosial dan kebudayaan sebuah bangsa, karena dengan adanya arca sejarah tersebut akan dapat diketahui dan dipelajari sejarah suatu bangsa. Peningkatan kejahatan pencurian arca ini dapat dilihat dalam dasawarsa belakangan ini, dan yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pembahasan pencurian arca ini adalah bahwa pencurian itu sendiri dilakukan oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan pemeliharaan arca di museum.

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah yang menjadi sebab terjadinya tindak pidana pencurian arca di museum dan bagaimana sanksi hukum terhadap tindak pencurian arca di museum.


(8)

Untuk membahas permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian secara teoritis berdasarkan kepustakaan dan pembahasan yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

Dari hasil penelitian maka diketahui sebab terjadinya tindak pidana pencurian arca adalah:

a. Faktor ekonomi dimana kebutuhan pelaku pencurian arca menggunakan kesempatan untuk mencari keuntungan secara melawan hukum.

b. Selain itu kurangnya pengawasan yang dilakukan instansi terkait memberikan akibat semakin terbukanya kesempatan tindakan pencurian arca oleh pihak-pihak yang diserahkan kewenangan dan pengurusan arca.

Sanksi hukum terhadap tindak pencurian arca di museum maka pelaku dapat dikenakan hukuman pidana berupa penjara dan juga denda. Selain itu pelaku juga dapat diancam dengan ketentuan-ketentuan pencurian sebagaimana suatu tindakan mengambil tanpa adanya izin pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU ** Pembimbing 1, Dosen Fakultas Hukum USU


(9)

ABSTRAK

ANALISIS NORMATIF TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN ARCA DI MUSEUM

H

HeerriiSSuubbaaddii**

Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS ** Dr. Martina, SH, M.Hum ***

Salah satu kejahatan yang semakin meningkat dewasa ini adalah pencurian benda-benda yang dapat digolongkan sebagai benda cagar budaya termasuk pencurian arca, baik itu dalam bentuk jumlah, aktivitas maupun cara-cara pencuriannya. Akibat yang langsung terjadi dari semakin meningkatnya pencurian arca ini adalah selain kerugian secara material kepada pemerintah, maka akibat lainnya adalah hilangnya peninggalan hasil karya anak bangsa ini ditinjau dari sejarahnya. Peninggalan-peninggalan sejarah dalam bentuk arca sangat penting sebagai sarana sosial dan kebudayaan sebuah bangsa, karena dengan adanya arca sejarah tersebut akan dapat diketahui dan dipelajari sejarah suatu bangsa. Peningkatan kejahatan pencurian arca ini dapat dilihat dalam dasawarsa belakangan ini, dan yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pembahasan pencurian arca ini adalah bahwa pencurian itu sendiri dilakukan oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan pemeliharaan arca di museum.

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah yang menjadi sebab terjadinya tindak pidana pencurian arca di museum dan bagaimana sanksi hukum terhadap tindak pencurian arca di museum.


(10)

Untuk membahas permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian secara teoritis berdasarkan kepustakaan dan pembahasan yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

Dari hasil penelitian maka diketahui sebab terjadinya tindak pidana pencurian arca adalah:

a. Faktor ekonomi dimana kebutuhan pelaku pencurian arca menggunakan kesempatan untuk mencari keuntungan secara melawan hukum.

b. Selain itu kurangnya pengawasan yang dilakukan instansi terkait memberikan akibat semakin terbukanya kesempatan tindakan pencurian arca oleh pihak-pihak yang diserahkan kewenangan dan pengurusan arca.

Sanksi hukum terhadap tindak pencurian arca di museum maka pelaku dapat dikenakan hukuman pidana berupa penjara dan juga denda. Selain itu pelaku juga dapat diancam dengan ketentuan-ketentuan pencurian sebagaimana suatu tindakan mengambil tanpa adanya izin pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU ** Pembimbing 1, Dosen Fakultas Hukum USU


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia dilahirkan kedunia ini seorang diri, namun karena manusia itu tidak akan hidup tersendiri dan membutuhkan orang lain maka terjadilah sekelompok manusia yang hidup yang dalam suatu tempat tertentu. Dari suatu tempat tertentu itu akan menimbulkan berbagai ragam anggota masyarakat yang terdiri dari berbagai macam karakter.

Kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat membutuhkan berbagai kebutuhan hidup. Dengan adanya aneka ragam kebutuhan tersebut terjadilah problema-problema yang harus dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, sebab sesuatu yang dibutuhkan sangat minim jumlahnya bila dibandingkan dengan banyaknya orang untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka dengan cara tersendiri dari masing-masing pihak tentu berusaha untuk mendapatkan apa yang inginkan tersebut.

Apabila uraian di atas dihubungkan dengan keadaan dewasa ini dimana turunnya nilai Rupiah diperbandingkan Dollar Amerika, maka keadaan tersebut berakibat kepada rendahnya daya beli masyarakat dan semakin besarnya tingkat pengangguran. Hal ini memberikan makna semakin terbukanya timbulnya kejahatan sebagai salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.

Keadaan yang sedemikian juga memberikan akibat semakin langkanya lowongan pekerjaan, sementara itu disisi lain kebutuhan masyarakat baik itu


(12)

dalam ukuran keluarga maupun individu juga semakin meningkat, sehingga akibat yang lebih jauh lagi adalah semakin meningkatnya angka kejahatan.1

Salah satu kejahatan yang semakin meningkat dewasa ini adalah pencurian benda-benda yang dapat digolongkan sebagai benda cagar budaya termasuk pencurian arca, baik itu dalam bentuk jumlah, aktivitas maupun cara-cara pencuriannya.

Akibat yang langsung terjadi dari semakin meningkatnya pencurian arca ini adalah selain kerugian secara material kepada pemerintah, maka akibat lainnya adalah hilangnya peninggalan hasil karya anak bangsa ini ditinjau dari sejarahnya. Peninggalan-peninggalan sejarah dalam bentuk arca sangat penting sebagai sarana sosial dan kebudayaan sebuah bangsa, karena dengan adanya arca sejarah tersebut akan dapat diketahui dan dipelajari sejarah suatu bangsa.

Peningkatan kejahatan pencurian arca ini dapat dilihat dalam dasawarsa belakangan ini, dan yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pembahasan pencurian arca ini adalah bahwa pencurian itu sendiri dilakukan oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan pemeliharaan arca di museum.2

Keadaan ini memberikan pandangan bahwa kurangnya disiplin mental aparatur pemerintahan amat sangat riskan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia termasuk tugas-tugas pengelolaan museum. Segala upaya dihalalkan dalam memenuhi kebutuhan ambisi pribadi termasuk melakukan

1

Kompas,”Pencurian Benda-benda Cagar Budaya Masih Terus Terjadi”,

http://64.203.71.11/kompas-cetak/0504/07/humaniora/1670214.htm, diakses tanggal 5 September 2011.

2 Ibid.


(13)

pencurian atas arca-arca yang seharusnya dijaganya.

Meskipun pada dasarnya terhadap beberapa kasus pencurian arca ada kasus-kasus yang terungkap, tetapi adalah suatu hal yang sangat mengundang tanda tanya besar tentang mengapa terjadinya pencurian arca. Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk memilihnya dengan judul “Analisis Normatif Terhadap Tindak Pidana Pencurian Arca di Museum”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa permasalahan yang akan menjadi batasan pembahasan dari penelitian ini nantinya, antara lain : a. Apakah faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencurian arca di

museum?

b. Bagaimana sanksi hukum terhadap tindak pencurian arca di museum?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencurian arca

di museum.

2. Untuk mengetahui sanksi hukum terhadap tindak pencurian arca di museum.

Sedangkan yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:

Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :


(14)

hukum kepidanaan khususnya perlindungan hukum dari aktivitas pencurian arca di museum.

b. Dari segi praktis sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan para pihak yang berkepentingan khususnya dalam hal yang menjaga dan memelihara arca sejarah sehingga tidak terjadi hal-hal yang merugikan bagi kepentingan perkembangan dan perlindungan arca.

D. Keaslian Penulisan

Dari hasil telaah perpustakaan yang dilakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara pada umumnya dan perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya, skripsi yang membahas tentang pencurian sudah ditemukan, hanya saja objek berupa pencurian arca di museum tidak ditemukan. Dengan hal tersebut maka dapat disebutkan penelitian dengan judul “Analisis Normatif Terhadap Tindak Pidana Pencurian Arca di Museum” belum pernah diteliti sebelumnya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Arca di Museum

Arca dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan sebagai “patung yang terutama dibuat dari batu yang dipahat menyerupai bentuk orang atau binatang”.3

3

Dinas Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 64.


(15)

Pengertian arca di atas memberikan kejelasan bahwa arca tersebut adalah merupakan buah karya manusia yang dibuat berdasarkan rasa, karsa dan kebutuhan manusia akan keindahan. Penjelasan pengertian arca sebagai karya manusia menempatkan ada sebagian arca yang merupakan peninggalan dari buah karya manusia terdahulu. Kenyataan ini memberikan arti bahwa ada sebagian arca adalah merupakan benda cagar budaya.4

Pasal 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya menjelaskan bahwa benda cagar budaya tersebut adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Pengertian benda cagar budaya di atas menjelaskan bahwa sebuah arca yang telah memiliki umur selama 50 tahun atau lebih dan dianggap mempunyai nilai penting dalam sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan dapat digolongkan sebagai benda cagar budaya.

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum menjelaskan pengertian yang

4


(16)

sama dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, hanya saja dalam PP No. 19 Tahun 1995 pengertian benda cagar budaya dibagi dua yaitu:

a. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

b. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Sedangkan museum itu sendiri adalah suatu tempat dimana dilakukan penyimpanan benda cagar budaya termasuk arca. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum yang menjelaskan museum adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa.

Jadi dengan demikian arca di museum adalah buah karya manusia yang dibuat berdasarkan rasa, karsa dan kebutuhan manusia akan keindahan dalam suatu tempo waktu tertentu dan disimpan dalam suatu museum.


(17)

2. Pengertian Kejahatan

Kejahatan adalah suatu persoalan yang selalu melekat dimana masyarakat itu ada. Kejahatan selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun. Segala daya upaya dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan atau mengurangi meningkatnya jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agar dapat kembali sebagai warga masyarakat yang baik. Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan-perbuatan jahat. Dengan demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat.

Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya semua golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat. Tentang definisi dari kejahatan itu sendiri tidak terdapat kesatuan pendapat diantara para sarjana.

Pengertian kejahatan dapat ditinjau baik secara yuridis maupun secara sosiologis. Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang.


(18)

adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban. Kejahatan dipandang sebagai suatu tindakan anti sosial yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat, sehingga dalam masyarakat terdapat kegelisihan, dan untuk menentramkan masyarakat,negara harus menjatuhkan hukuman kepadapenjahat.

Kejahatan merupakan suatu problem dalam masyarakat modren atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum serta perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan.

J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro dalam bukunya Paradoks Dalam Kriminologi menyatakan bahwa, kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.5

Ada tujuh unsur kejahatan yang saling bergantungan dan saling mempengaruhi. Suatu perbuatan tidak akan disebut kejahatan kecuali apabila memuat semua tujuh unsur tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah :

5

J.E. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro, Paradoks Dalam Kriminologi, Rajawali, Jakarta, 1982 , hal. 42.


(19)

a. Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian

b. Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang, harus dikemukakan dengan jelas dalam hukum pidana

c. Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuatan yang disengaja atau sembrono yang menimbulkan akibat-akibat yang merugikan d. Harus ada maksud jahat (mens rea)

e. Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu hubungan kejadian diantara maksud jahat dengan perbuatan

f. Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang undang-undang dengan perbuatan yang disengaja atas keinginan sendiri

g. Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang.

Selanjutnya dapat diuraikan tentang pengertian kejahatan menurut penggunaannya masing-masing :

a. Pengertian secara praktis : Kita mengenal adanya beberapa jenis norma dalam masyarakat antara lain norma agama, kebiasaan, kesusilaan dan norma yang berasal dari adat istiadat. Pelanggaran atas norma tersebut dapat menyebabkan timbulnya suatu reaksi, baik berupa hukuman, cemoohan atau pengucilan. Norma itu merupakan suatu garis untuk membedakan perbuatan terpuji atau perbuatan yang wajar pada suatu pihak, sedang pada pihak lain adalah suatu perbuatan tercela. Perbuatan yang wajar pada sisi garis disebut dengan kebaikan dan kebalikannya yang di seberang garis disebut dengan kejahatan.


(20)

Setiap dosa diancam dengan hukuman api neraka terhadap jiwa yang berdosa.

c. Pengertian dalam arti yuridis : misalnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Walaupun KUHP sendiri tidak membedakan dengan tegas antara kejahatan dan pelanggaran, tapi KUHP memisahkan kejahatan dan pelanggaran dalam dua buku yang berbeda.

Menurut Memorie van Toelichting, sebagai dasar dari pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah pembedaan antara rechtsdelicten (delik hukum) dan wetsdelicten (delik undang-undang). Pelanggaran termasuk dalam wetsdelicten, yaitu peristiwa-peristiwa yang untuk kepentingan umum dinyatakan oleh undang-undang sebagai suatu hal yang terlarang. Misalnya mengendarai sepeda pada malam hari tanpa lampu merupakan suatu delik undang-undang karena undang-undang menyatakannya sebagai perbuatan yang terlarang. Sedangkan kejahatan termasuk dalam rehtsdelicten (delik hukum), yaitu peristiwa-peristiwa yang berlawanan atau bertentangan dengan asas-asas hukum yang hidup dalam keyakinan manusia dan terlepas dari undang-undang.

Contohnya adalah pembunuhan dan pencurian. Walaupun perbuatan itu, misalnya belum diatur dalam suatu undang-undang, tapi perbuatan itu sangat bertentangan dengan hati nurani manusia, sehingga dianggap sebagai suatu kejahatan.


(21)

Tindak pidana pencurian merupakan salah satu tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana terhadap harta kekayaan orang. Tindak pidana pencurian ini diatur dalam BAB XXII Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ” yang dirumuskan sebagai tindakan mengambil barang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan tujuan memilikinya secara melanggar hukum”.6

Pencurian dapat dikatakan selesai jika barang yang dicuri sudah pindah tempat”.7 Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya

dirumuskan dalam Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, adalah berupa rumusan pencurian dalam bentuk pokoknya yang berbunyi: Barang siapa mengambil sesuatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 900; (sembilan ratus rupiah).

Adapun unsur-unsur tindak pidana pencurian ada 2 (dua), yaitu: a. Unsur-unsur subyektif terdiri dari:

1) Perbuatan mengambil 2) Obyeknya suatu benda

3) Unsur keadaan yang meyertai atau melekat pada benda yaitu benda tersebut sebagian atau keseluruhan milik orang lain.

6

Wirdjono Prodjodikoro, Tindak –Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Refika aditama, Bandung, 2003, hal. 10.

7


(22)

b. Unsur obyektifnya, terdiri dari: 1) Adanya maksud

2) Yang ditujukan untuk memiliki 3) Dengan melawan hukum.

Suatu perbuatan atau peristiwa baru dapat dikualifikasikan sebagai pencurian apabila terdapat unsur tersebut di atas.

a. Unsur subyektif

1) Unsur perbuatan mengambil.

Perbuatan mengambil yang menjadi unsur subyektif di dalam delik pencurian seharusnya ditafsirkan setiap perbuatan untuk membawa sesuatu benda di bawah kekuasaanya yang nyata dan mutlak. Jadi di dalam delik pencurian dianggap sudah selesai jika pelaku melakukan perbuatan “mengambil” atau setidak-tidaknya ia sudah memindahkan suatu benda dari tempat semula.

Dalam praktek sehari-hari dapat terjadi seorang mengambil suatu benda, akan tetapi karena diketahui oleh orang lain kemudian barang tersebut dilepaskan, keadaan seperti ini sudah digolongkan perbuatan mengambil.

2) Unsur benda

Pengertian benda yang dimaksud di dalam Pasal 362 KUHP adalah benda berwujud yang menurut sifatnya dapat dipindahkan.


(23)

berwujud yang sifatnya dapat dipindahkan oleh karena itu pengertian benda tersebut berkembang meliputi setiap benda baik itu merupakan benda bergerak maupun tidak bergerak, baik berupa benda benda berwujud maupun tidak berwujud dan benda-benda yang tergolong res nullius dalam batas-batas tertentu. Pengertian benda menurut Pasal 362 KUHP memang tidak disebutkan secara rinci, sebab tujuan pasal ini adalah untuk melindungi harta kekayaan orang.

3) Unsur-unsur atau seluruhnya milik orang lain

Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain cukup sebagian saja. Siapakah yang diartikan dengan orang lain dalam unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Orang lain itu diartikan sebagai bukan petindak. Dengan demikian maka pencurian dapat terjadi terhadap benda-benda milik badan hukum, misal milik negara.

b. Unsur-unsur obyektif 1) Maksud dan tujuan

Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni unsur maksud (kesengajaan sebagai maksud), berupa unsur kesalahan dalam pencurian dan unsur memiliki, kedua unsur ini dapat dibedakan dan tidak terpisahkan. Maksud dari mengambil mengambil barang milik orang lain itu ditujukan untuk memilikinya. Dari penggabungan dua unsur tersebutlah yang menunjukkan bahwa dalam tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak mensyaratkan beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke tangan petindak, dengan alasan pertama tidak


(24)

dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan melawan hukum, dan kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya subyektif saja.

2) Menguasai bagi dirinya sendiri

Pengertian menguasai bagi dirinya sendiri yang terdapat pada Pasal 362 KUHP maksudnya adalah menguasai sesuatu benda seakan-akan ia pemilik dari benda tersebut. Pengertian seakan-akan di dalam penjelasan tersebut memiliki arti bahwa pemegang dari benda itu tidak memiliki hak seluas hak yang dimiliki oleh pemilik benda yang sebenarnya.

F. Metodologi Penulisan

1. Sifat dan Materi Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian dengan menerangkan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dihubungkan dengan teori-teori secara kepustakaan.

Materi penelitian yang dibutuhkan bersumber dari : data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan kepustakaan, yang terdiri dari :

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini terdiri dari :

a) Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

b) Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum.


(25)

Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa buku-buku, hasil penelitian, karya ilmiah, dan putusan pengadilan yang relevan dengan penelitian ini.

3) Bahan Hukum Tertier

Bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu berupa kamus umum, kamus hukum, majalah, dan jurnal-jurnal ilmiah di bidang hukum.

2. Alat Pengumpul Data

Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen yaitu pengumpulan data yang berasal dari kepustakaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, dokumen, serta makalah yang relevan dengan topik penelitian.

3. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian, selanjutnya akan dianalisis dengan studi dokumen menggunakan teknik yuridis normatif, yakni dengan memberikan interpretasi terhadap data yang diperoleh melalui telaah kepustakaan, selanjutnya diberikan interprestasi melalui kaedah-kaedah hukum positif yang berhubungan dengan pembahasan.


(26)

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian:

Bab I. Pendahuluan

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan.

Bab II. Sebab Terjadinya Tindak Pidana Pencurian Araca Di Useum

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Tindak Pidana Pencurian Arca, Unsur-Unsur Tindak Pidana Arca serta Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencurian Arca.

Bab III. Sanksi Hukum Tindak Pencurian Arca Di Museum

Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pengaturan Tindak Pidana Pencurian Arca Di Indonesia, serta Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pencurian Arca Di Museum

Bab IV. Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran.


(27)

BAB II

SEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PENCURIAN ARCA DI MUSEUM

Tindak Pidana Pencurian Arca

Istilah pidana berasal dari bahasa Hindu Jawa yang artinya hukuman, nestapa atau sedih hati, dalam Bahasa belanda disebut straf, dipidana artinya dihukum, kepidanaan artinya segala sesuatu yang bersifat tidak baik, jahat, pemidanaan artinya penghukuman. Jadi hukum pidana sebagai terjemahan dari Bahasa Belanda Strafrecht adalah semua aturan yang mempunyai perintah dan larangan yang memakai sanksi (ancaman) hukuman bagi mereka yang

melanggarnya.

Tindak pidana oleh Hilman Hadikusuma disebut dengan istilah peristiwa pidana yang juga disebut perbuatan pidana, tindak pidana, delik, yaitu semua peristiwa perbuatan yang bertentangan dengan hukum pidana. 8

Dalam perundang-undangan dipakai istilah perbuatan yang dapat dihukum (di dalam Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang Pemberantasan Korupsi), peristiwa pidana (di dalam Konstitusi RIS maupun Undang-Undang Dasar Sementara), perbuatan pidana dalam Undang-Undang Darurat No. 8 Darurat Tahun 1954. Karni menyebutkan dengan perbuatan yang boleh dihukum, Tresna menyebutkan dengan istilah peristiwa pidana, sedangkan Moeljatno menye-butkan istilah dengan perbuatan pidana, Satochid


(28)

Kartanegara menyebutkan istilah dengan tindak pidana.9

Maksud diadakannya istilah tindak pidana, peristiwa tindak pidana dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing

strafbaarheit. Namun belum jelas apakah di samping mengalihkan bahasa dari istilah strafbaarheit itu, dimaksudkan untuk mengalihkan makna dari

pengertiannya juga.

Oleh karena sebagian besar ahli hukum di dalam karangannya belum dengan jelas dan terperinci menerangkan pengambilalihan pengertiannya istilah, di samping sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan pokok pangkal perbedaan pandangan.

Dipandang dari sudut pengalihan pengertian inilah yang banyak

menimbulkan persoalan, dimana masing-masing pihak seolah-olah mempunyai perbedaan jauh seperti antara bumi dan langit. Apakah terjadinya perbedaan istilah itu membawa kibat pula berbedanya pengertian hukum yang terkandung di dalamnya.

Memang demikianlah pada umumnya, namun tidak mutlak bahwa adanya istilah yang berbeda selamanya mesti pengertiannya berbeda, seperti misalnya antara straf dan maatregel, adalah berbeda, sedangkan antara beveiligingsmaatregel dan maatregel adalah sama, mekipun kesemuanya itu menyangkut sanksi hukum pidana.

8

Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hal. 114.-115. 9

EY. Kanter dan SR. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hal. 206-208


(29)

Roeslan Saleh menjelaskan “oleh karena untuk perbuatan pidana ini sehari-hari juga disebut dengan kejahatan, sedangkan perbuatan-perbuatan jelek lainnya yang tidak ditentukan oleh peraturan undang-undang sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana juga disebut orang kejahatan, maka istilah kejahatan lalu tidak dapat digunakan begitu saja dalam hukum pidana”.10

Apakah isi pengertian dari tindak pidana itu sama dengan strafbaar feit ? Hal ini disebabkan kesulitan menterjemahkan istilah strafbaarheit dengan tindak pidana dalam Bahasa Indonesia. Perundang-undangan Indonesia telah menggunakan strafbaar feit dengan istilah perbuatan yang dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana dan tindak pidana dalam berbagai undang-undang.11

Moeljatno sebagaimana dikutip oleh E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi: Moeljatno setelah memilih perbuatan pidana sebagai terjemahan dari strafbaar feit, beliau memberi perumusan (pembatasan) sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan tersebut dan perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Makna perbuatan pidana, secara mutlak harus termaktub unsur formil, yaitu

10

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 16-17.

11


(30)

mencocoki rumusan undang-undang (tatbestandmaszigkeit) dan unsur materil, yaitu sifat bertentangannya, dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau dengan pendek, sifat melawan hukum (rechtswirdigkeit).12

Kiranya dengan jelas dapat dicari arah pandangan Moeljatno itu, tidak lain adalah memberikan pengertian tindak pidana sesuai dengan arti strafbaar feit dalam definisi menurut hukum positif atau definisi pendek.

Menurut Tresna sebagaimana dikutip oleh sebagaimana dikutip oleh E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi: Bahwa sungguh tidak mudah memberikan suatu ketentuan atau definisi yang tepat, mengatakan bahwa peristiwa pidana itu ialah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. Beliau menerangkan bahwa perumusan tersebut jauh daripada sempurna, karena dalam uraian beliau selanjutnya diutarakan bahwa sesuatu perbuatan itu baru dapat dipandang sebagai peristiwa pidana, apabila telah memenuhi segala syarat yang diperlukan.13

Berdasarkan literatur hukum pidana sehubungan dengan tindak pidana banyak sekali ditemukan istilah-istilah yang memiliki makna yang sama dengan tindak pidana. Istilah-istilah lain dari tindak pidana tersebut adalah antara lain : 1. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum.

2. Peristiwa pidana 3. Perbuatan pidana dan.

12


(31)

4. Tindak pidana.14

Menurut Romli Atmasasmita “tindak pidana tidak sama dengan perbu-atan pidana, jika dalam istilah tersebut termasuk unsur pertanggung jawaban pidana. Namun demikian, jika istilah tindak pidana terpisah dari unsur pertanggung jawaban pidana, maka istilah tindak pidana akan sama artinya dengan perbuatan pidana secara ilmiah”.15

Wirjono Prodjodikoro sebagaimana dikutip oleh Pipin Syarifin menjelaskan bahwa tindakan pidana adalah”suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana”.16

Unsur‐Unsur Tindak Pidana Arca 

Unsur-unsur strafbaar feit adalah meliputi: Sikap tindak atau perilaku manusia. 

Termasuk ruang lingkup perumusan kaidah hukum pidana (yang tertulis). Melanggar hukum (kecuali ada dasar pembenaran menurut hukum) Didasarkan pada kesalahan.17

Jadi, secara mendasar perumusan delik hanya mempunyai dua elemen (unsur) dasar yaitu:

13

Ibid., hal. 208-209. 14

Ibid., hal. 204. 15

Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum

Pidana Indonesia, Citra aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 26.

16


(32)

Bagian yang objektif menunjuk delik dari perbuatan/kelakuan dan akibat, yang merupakan kejadian yang bertentangan dengan hukum positif sebagai anasir yang melawan hukum yang dapat diancam dengan pidana.

Bagian yang subjektif yang merupakan anasir kesalahan dari delik.18

Menurut EY Kanter dan SR Sianturi, unsur-unsur dari tindak pidana meliputi:

1. Subjek. 2. Kesalahan

3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan).

4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundang-undangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana.

5. Waktu dan tempat dan keadaan (unsur objektif lainnya).19

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diberikan kesimpulan bahwa tindak pidana adalah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang mampu bertanggungjawab).20

Roeslan Saleh menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggung-jawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi

17

Ibid., hal. 55. 18

Ibid., hal. 55. 19

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit., hal. 211. 20


(33)

meskipun dia melakukan perbuatan pidana tidaklah selalu dia dapat dipidana .21

Pertanggung jawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku tindak pidana, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk itu.22 Dilihat dari sudut

kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan. Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab bilamana pada umumnya:

a. Keadaan jiwanya:

1) Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara. 2) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, dan sebagainya) dan.

3) Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe beweging, melindur/slaapwandel, mengigau karena demam/koorts, ngidam dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.

b. Kemampuan jiwanya:

1) Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya.

21

Roeslan Saleh, Op.Cit., hal. 77. 22


(34)

2) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak dan,

3) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut”.23

Kemampuan bertanggung jawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan jiwa dan bukan kepada keadaan dan kemampuan berfikir dari seseorang.24

Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencurian Arca   

Hal yang mendasar sebab terjadinya tindak pidana pencurian arca di museum adalah dari aspek ekonomi, baik itu pelaku pencurian maupun juga pihak-pihak yang dilibatkan dalam pencurian arca di museum.

Adapun yang menjadi sebab terjadinya tindak pidana pencurian arca di museum adalah:

Untuk Mencari Keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pelaku pencurian arca.

Suatu hal yang dapat dipahami dari terjadinya pencurian arca di museum ini adalah ditujukan semata-mata bagi kegiatan ekonomi untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pelaku. Sebuah arca adalah sebuah barang yang pada dasarnya memiliki sejarah atau nilai budaya yang sangat mahal harganya. Selain ini pengkoleksian sebuah arca juga memiliki nilai lebih bagi para pengoleksinya. Berdasarkan keadaan ini maka nilai jual sebuah arca memiliki dimensi ekonomi yang cukup besar, dan karena hal itu pulalah pelaku melakukan pencurian atas sebuah arca.

Terbukanya kesempatan untuk melakukan pencurian arca oleh pengurus museum atau petugas penjaga arca. Kondisi pada point kedua ini memiliki kriteria tindakan yang berujung pada penjualan arca. Dimensi yang dipahami tetap berdasarkan nilai ekonomi atas sebuah arca ditambah adanya kesempatan yang sangat terbuka untuk

23

Ibid., hal. 249. 24


(35)

melakukan pencurian karena tugasnya.

Kurangnya tindakan pengawasan dari instansi terkait.

Point ini menerangkan bahwa respon dan pengawasan dari instansi terkait seperti Departemen Pendidikan, Kebudayaan dan Pariwisata dan lain instansi kurang terhadap pengamanan benda cagar budaya termasuk arca, sehingga memungkinkan pelaku yang berniat mencari keuntungan secara melawan hukum dapat melakukan kegiatannya secara bebas.

Rendahnya tingkat atau hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku yang melakukan pencurian arca.

Selain keadaan-keadaan sebagaimana dijelaskan di atas maka sebab lainnya yang dapat dilihat sebagai penyebab timbulnya pencurian arca adalah tingkat hukuman yang diberikan. Hukuman yang diberikan kepada pelaku pencurian arca dinilai belum optimal. Akibatnya, para pelaku tidak pernah merasa jera padahal potensi kerugian dari pencurian arca ini cukup besar, khususnya terhadap kehidupan budaya masyarakat. Seyogianya pelaksanaan hukuman bagi pelaku pencurian arca di museum selama ini dilakukan belum maksimal sehingga tidak menimbulkan efek jera. 25

Berlangsungnya perubahan-perubahan sosial yang serba cepat dan perkembangan yang tidak sama dalam kebudayaan, mengakibatkan ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri yang mengakibatkan timbulnya disharmoni, konflik-konflik eksternal dan internal, juga pertentangan-pertentangan sosial dalam masyarakat dan dalam diri pribadi. Perkembangan tindak pidana pencurian arca di museum merupakan produk dari pertumbuhan sosial, juga merupakan pembudayaan industri yang modern dan serba kompleks. Pada zaman modern sekarang ini banyak tingkah laku kriminal yang tidak lagi dianggap perbuatan anti sosial atau kriminal. Kita dapat melihat di sekeliling kita bahwa seseorang yang selama ini diketahui adalah pelaku kriminal hanya saja lebih kreatif dan lebih berpola seperti pelaku

25

Berita Sore Online, “Otak Pencurian Arca Radya Pustaka Dituntut Dua Tahun”,


(36)

pencurian arca di museum tidak lagi dianggap perlu ditakuti di tengah-tengah masyarakat bahkan ia dihormati karena keahliannya tersebut. “Sehingga apabila seseorang melakukan kejahatan dan akibat kejahatannya tersebut tidak dirasakan oleh masyarakat secara langsung kerugiannya, maka masyarakat biasanya kurang memberikan kepeduliannya”.26

Secara tersembunyi hal tersebutlah yang merupakan sebab utama semakin berkembangnya kejahatan di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Keadaan ini juga merambah dalam dunia museum. Keinginan pelaku dan juga merupakan kesempatan bagi pengurus museum untuk meningkatkan pendapatan dengan cara bertentangan dengan hukum sangat memberikan konstribusi terhadap terjadinya pencurian arca di museum.

Pencurian arca di museum dan benda cagar budaya terus terjadi, terutama di situs-situs cagar budaya terbuka seperti di kawasan candi. Terdapat ratusan arca benda cagar budaya yang telah dicuri. Lebih mengenaskan lagi, hanya segelintir dari kasus itu yang terungkap atau pelakunya diadili. Terakhir, pada akhir 2004, kembali dilaporkan terjadi pencurian arca Bhairawa di situs Candi Jago, Malang.27

Hilangnya kasus benda cagar budaya tersebut setidaknya tergambar dari data di enam Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, yakni di Batu Sangkar, Jambi, Trowulan, DI Yogyakarta, Prambanan, dan Makassar. Data itu

26

Mulyana W. Kusumah, Kejahatan dan Penyimpangan, Yayasan lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1988, hal. 32.

27


(37)

dikumpulkan oleh Kantor Asisten Deputi Kepurbakalaan dan Permuseuman, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.28

Rentang waktu 12 tahun, 1990-2002, setidaknya terjadi 130 kasus pencurian benda cagar budaya. Akibatnya, sekitar 370 benda cagar budaya dilaporkan hilang. Dari keseluruhan kasus tersebut, yang terungkap hanya sekitar 20 kasus. Padahal, di tahun 2003 kembali dilaporkan terjadi tujuh kasus pencurian benda-benda cagar budaya. Pencurian terutama marak terjadi tahun 1999 ketika krisis dan tekanan ekonomi sedemikian hebatnya. Kondisi keamanan situs memang memprihatinkan karena tidak semua situs dipagari atau mendapatkan pengamanan ketat.29

Kasus yang memprihatinkan selain daripada pencurian ialah perusakan benda cagar budaya seperti yang terjadi di Borobudur. Dalam kurun 1990-2002 saja, Balai Studi dan Konservasi Borobudur mencatat terjadi 72 kasus perusakan cagar budaya, yang umumnya berupa aksi mencoret-coret. Belum lagi aksi penggalian liar dan perombakan bangunan cagar budaya.

Kasus-kasus tersebut setidaknya menggambarkan rendahnya perlindungan terhadap aset bangsa (benda-benda yang harus dilindungi oleh negara) tersebut. Padahal di salah satu sisi arca maupun benda cagar budaya adalah suatu barang yang sangat bernilai harganya khususnya dalam mempelajari ragam dan budaya bangsa Indonesia.

28

Ibid. 29


(38)

Menghindari terjadinya pencurian arca di museum ini instansi terkait telah melakukan tindakan preventif dan represif. Untuk tindakan preventif, instansi terkait telah menyusun mekanisme dan prosedur penetapan petugas pada museum. Sedangkan tindakan represif dilakukan oleh organ terkait seperti kepolisian dengan cara melakukan penyidikan dan penindakan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pencurian arca.

Suatu hal yang dipahami dalam penanggulangan dan pencegahan kejahatan termasuk dalam hal pencurian arca tidak cukup hanya dengan pendekatan secara integral, tetapi pendekatan sarana penal (melalui hukum) dan non penal (di luar hukum) tersebut harus didukung juga dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat.

Hal lainnya yang juga merupakan dimensi dalam hubungannya dengan angka kriminalitas pencurian arca di museum. Namun harus diingat bahwa statistik kriminal pencurian arca tersebut memiliki kelemahan seperti adanya dark number (angka gelap) yang bisa memungkinkan bahwa data tersebut belum menunjukkan data yang sebenamya terjadi di masyarakat, karena tidak semua angka kejahatan pencurian arca dimuseum yang terjadi di masyarakat masuk kedalam statistik kriminal.

Mungkin saja ada kejahatan atau pelanggaran yang tidak dilaporkan, telah diselesaikan secara kekeluargaan dan masih ada penyebab-penyebab lain yang menimbulkan dark number tersebut. Di samping itu meskipun telah masuk laporan kepolisian belum tentu semuanya akan dilimpahkan ke kejaksaan dan kemudian diputuskan di Pengadilan.


(39)

Meskipun statistik kriminal memiliki kelemahan, namun data tersebut tetap dapat menjadi acuan utama bagi kepolisian untuk menyusun strategi dan program kerja dalam upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan pencurian arca di museum.

Kebijakan kriminal (criminal policy), upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan pencurian arca dimuseum perlu digunakan pendekatan integral, yaitu perpaduan antara sarana penal dan non penal. Sarana penal adalah hukum pidana melalui kebijakan hukum pidana. Sementara non penal adalah sarana non hukum pidana, yang dapat berupa kebijakan ekonomi, sosial, budaya, agama, pendidikan, teknologi, dan lain-lain.30

Upaya penanggulangan dan pence-gahan kejahatan ini memerlukan pendekatan integral dikarenakan hukum pidana tidak akan mampu menjadi satu-satunya sarana dalam upaya penanggulangan kejahatan pencurian arca di museum yang begitu komplek yang terjadi dimasyarakat.

Adanya sanksi pidana hanyalah berusaha mengatasi gejala atau akibat dari penyakit dan bukan sebagai obat (remidium) untuk mengatasi sebab-sebab terjadinya penyakit. Hukum pidana memiliki kemampuan yang terbatas dalam upaya penanggulangan kejahatan yang begitu beragam dan kompleks. Berkaitan dengan kelemahan penggunaan hukum pidana.

Upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan pencurian arca di museum tidak cukup hanya dengan pendekatan secara integral, tetapi

30

Dwi Haryadi, “Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan”, http://www.mail-archive.com/wanita-muslimah@yahoogroups.com/msg41848,html, Diakses tanggal 6 Mei 2009.


(40)

pendekatan sarana penal dan non penal tersebut harus didukung juga dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat.

Kesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu bagian dari budaya hukum. Dikatakan sebagai salah satu bagian, karena selama ini ada persepsi bahwa budaya hukum hanya meliputi kesadaran hukum masyarakat saja. Padahal budaya hukum juga mencakup kesadaran hukum dari pihak pelaku usaha, parlemen, pemerintah, dan aparat penegak hukum. Hal ini perlu ditegaskan karena pihak yang dianggap paling tabu hukum dan wajib menegakkannya, justru oknumnyalah yang melanggar hukum.

Hal ini menunjukkan kesadaran hukum yang masih rendah dari pihak yang seharusnya menjadi "tauladan bagi masyarakat" dalam mematuhi dan menegakkan hukum.

Kejahatan merupakan produk dari masyarakat, sehingga apabila kesadaran hukum telah tumbuh dimasyarakat, kemudian ditambah dengan adanya upaya strategis melalui kolaborasi (gabungan) antara sarana penal dan non penal, maka dengan sendiri tingkat kriminalitas akan turun, sehingga tujuan akhir politik kriminal, yaitu upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare) akan terwujud.

Pencurian arca yang terjadi di beberapa kota dan museum di Indonesia termasuk di Kota Solo juga memberikan suatu kondisi kurangnya peran pemerintah khususnya Departemen Budaya dan Pariwisata (Depbudpar) dalam pemeliharaan budaya dan sejarah.


(41)

Suatu hal yang dipahami adalah kalau ada penemuan arca atau barang-barang bersejarah lain, itu semua punya negara dan negara akan membeli dari penemu itu, tetapi dalam kenyataannya yang terjadi di Indonesia pemerintah kurang memberikan respon atas temuan benda bersejarah tersebut sehingga dijual kepada bangsa asing.

Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah memastikan pencurian koleksi Museum Radya Pustaka Solo sudah berlangsung bertahun-tahun. BP3 mendapatkan hasil mencengangkan dari pendataan ulang koleksi museum tersebut, terutama untuk jenis arca perunggu.31

Menurut Ketua Pendataan Ulang Museum Radya Pustaka, Zaimul Azzah, dari 85 arca perunggu di museum tersebut, separuh lebih sudah diganti dengan arca tiruan. Beberapa arca perunggu yang kini berganti tiruan, di antaranya Arca Dhyani Budha, Dhyani Bodhisatwa, dan Awalokiteswara. Selain itu juga ada Arca Cunddha atau arca Budha bertangan delapan yang kabarnya koleksi satu-satunya di Indonesia.32

Koleksi tiruan diketahui dari identifikasi arca-arca tersebut berdasarkan data BP3 saat melakukan inventarisasi tahun 2001. Memang sangat mence-ngangkan, terutama koleksi arca dari perunggu. Selain arca dari perunggu, BP3 juga menemukan satu lagi arca batu berganti dengan tiruan. Arca tersebut bernama Nandisa Wahana Murti, sebuah arca berbentuk dewa duduk di atas

31

Tempo Interaktif, Op.Cit. hal. 31. 32


(42)

lembu.33

Data hasil inventarisasi BP3 tahun 2001 menyebutkan ada 123 arca batu, namun dari pendataan ulang, terdapat satu arca yang keberadaannya tidak jelas. Museum Radya Pustaka yang didirikan oleh Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV, patih masa pemerintah Paku Buwana X disebut-sebut sebagai museum tertua di Indonesia yang memiliki koleksi arca paling lengkap.34

Suatu hal lagi yang menjadi kendala dalam hal mencari faktor-faktor penyebab terjadinya pencurian arca adalah sistem operasional museum itu sendiri yang kebanyakannya dikelola oleh sebuah yayasan yang mendapat bantuan pemerintah. Berdasarkan hal di atas maka peningkatan kesejahteraan pegawai museum tersebut amat sangat berhubungan dengan terjadinya pencurian arca di museum.

Dengan demikian selain faktor yang diuraikan terdahulu ada faktor-faktor lainnya yang menyebabkan terjadinya pencurian dan pemalsuan benda cagar budaya. Diantaranya kurang kuatnya sistem pengamanan arca di museum, sumber daya manusia yang sangat terbatas dalam mengelola arca di museum serta sistem manajemen yang kurang kuat dalam pengelolaan museum. Terkadang juga museum memang kekurangan personil untuk operasional.

Hal ini tidak berlebih sebab dengan personil yang terbatas, mereka menangani seluruh tempat di Museum. Dengan sistem pengaman yang kurang

33

Kompas, Op.Cit. hal. 67. 34


(43)

menyebabkan museum mudah kehilangan arca, apalagi ketika sudah menyangkut uang. Banyak kolektor benda cagar budaya yang mau membeli dengan harga sangat tinggi. Bahkan pemburu benda cagar budaya ini diduga sudah ada semacam jaringannya.

Dengan adanya pengalaman pencurian arca selama ini menjadi pelajaran bagi semua, entah itu masyarakat dan pemerintah untuk benar-benar memperhatikan benda cagar budaya sebagai aset budaya. Manajemen Museum diperbaharui dari berbagai sistem sehingga mempunyai aturan yang jelas. Dari segi pemeliharaan, banyak naskah kuno yang rusak, hal ini disebabkan pengunjung dengan bebas memegang membaca naskah kuno koleksi museum yang umurnya sudah tua.

Dari segi manajemen karyawan, status karyawan Museum yang kurang jelas hendaknya juga menjadi perhatian pemerintah. Termasuk masalah pembayaran gaji yang tidak rutin tiap bulan serta waktu libur. Ini menjadi fakor yang mempengaruhi etos kerja karyawan, termasuk menghindari tindakan penyelewengan terhadap benda-benda arca budaya.


(44)

BAB III

SANKSI HUKUM TINDAK PENCURIAN ARCA DI MUSEUM

Pengaturan Tindak Pidana Pencurian Arca Di Indonesia 

Dalam ilmu hukum pidana mengenai pencurian ini telah diatur dalam beberapa pasal diantaranya Pasal 362 KUH Pidana. Pasal 362 KUH Pidana berbunyi : Barang siapa mengambil suatu barang, yang sama dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun tau denda sebanyak-banyak Rp. 900.

Berdasarkan bunyi Pasal 362 KUH Pidana tersebut dapat kita lihat unsur-unsurnya sebagai berikut :

a. Mengambil

b. Yang diambil harus sesuatu barang

c. Barang itu harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,

d. Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum (melawan hak).35

ad. 1. Perbuatan mengambil

Unsur pertama dari tindak pidana pencurian ialah perbuatan mengambil barang. Kata mengambil dalam arti sempit terbatas pada menggerakkan tangan dan jari-jari memegang barangnya, dan mengalihkannya ke tempat lain.

Sudah lazim masuk istilah pencurian apabila orang mencuri barang cair,

35

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Penjelasannya, Politeia, Bogor, 1984, hal. 249.


(45)

seperti misalnya bier dengan membuka suatu kran untuk mengalirkannya ke dalam botol yang ditempatkan di bawah kran itu, bahkan tenaga listrik sekarang dianggap dapat dicuri dengan sepotong kawat.36

Berdasarkan uraian tersebut dapat kita ketahui bahwa perbuatan mengambil itu hanyalah apabila barang tersebut diambil oleh orang yang tidak berhak terhadap barang tersebut.

ad. 2. Yang diambil harus sesuatu barang

Kita ketahui bersama bahwa sifat tindak pidana pencurian ialah merugikan kekayan si korban, maka barang yang diambil haruslah berharga. Harga ini tidak selalu bersifat ekonomis. Yang dimaksudkan berupa barang ini tentu saja barang yang dapat dinikmati oleh orang yang membutuhkannya.

ad. 3. Barang yang diambil harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain. Yang dimaksudkan kepunyaan orang lain dalam hal ini dimaksudkan bahwa barang yang diambil itu haruslah kepunyaan orang lain atau selain kepunyaan orang yang mengambil tersebut.

ad. 4. Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum

Dalam hal ini dimaksudkan bahwa timbulnya perbuatan itu haruslah berdasarkan adanya keinginan dari si pelaku untuk memiliki barang

36

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986, hal. 15.


(46)

tersebut dengan cara melawan hukum, dimana letak perbuatan melawan hukum dalam hal ini adalah memiliki barang orang dengan cara mencuri atau mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya.

Berdasarkan uraian di atas maka diketahui bagaimana ilmu hukum pidana mengatur tentang pencurian ini, akan tetapi secara nyata berdasarkan penjelasan tersebut pengertian pencurian dalam hal ini belum dapat kita lihat secara teliti dan jelas. Dan tidak ada menentukan bagaimana yang dikatakan pencurian itu akan tetapi pencurian itu diidentikkan dengan perbuatan mengambil. Pencurian itu dapat kita artikan ialah perbuatan mengambil suatu benda atau barang kepunyaan orang lain dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan orang yang memiliki barang/benda tersebut.

Adapun yang dimaksudkan dengan pencurian adalah perbuatan dari seseorang yang mengambil barang/benda kepunyaan orang lain dengan cara melawan hukum.

Mengenai pencurian ini ilmu hukum pidana menggolongkan perbuatan tersebut dalam perbuatan kejahatan terhadap kekayaan orang. Dalam hukum pidana mengenai pencurian ini diatur dalam beberapa pasal dimana secara garis besarnya pencurian tersebut diatur dalam pasal 362 KUHP, 363 KUHP, 364 KUHP yang mana pencurian dari ketiga pasal tersebut dengan sebutan pencurian biasa, pencurian pemberatan dan pencurian ringan.

Selanjutnya mengenai jenis-jenis pencurian tersebut apabila kita melihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada beberapa jenis pencurian diantaranya adalah :


(47)

1. Pencurian ternak,

2. Pencurian pada waktu ada kebakaran dan sebagainya, 3. Pencurian pada waktu malam.

4. Pencurian oleh dua orang atau lebih bersama-sama. 5. Pencurian dengan jalan membongkar, merusak. 6. Pencurian dengan kekerasan.

7. Pencurian ringan.37

Sebagaimana penulis uraikan di atas bahwa mengenai pencurian tersebut secara garis besarnya adalah terdiri dari pencurian biasa, pencurian pemberatan dan pencurian ringan. Mengenai ketiga ketentuan pencurian yang penulis maksudkan diatur dalam pasal 362, 363, dan 364, 365 KUHP.

Mengenai pencurian biasa diatur dalam pasal 362 KUHP dimana mengenai ketentuan pasal ini telah penulis uraikan dalam pembahasan sebelumnya.

1. Pasal 363 KUHP mengatur tentang pencurian dengan pemberatan, dimana pasal 363 KUHP ini berbunyi sebagai berikut :

2. Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun, dihukum karena: 1e. Pencurian hewan

2e. Pencurian pada waktu kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, gempa laut, letusan gunung api, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru hara, pemberontakan atau kesengsaraan

37


(48)

3e. Pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya, dilakukan oleh orang yang ada disitu dengan setahunya atau bertentangan dengan kemauannya orang yang berhak.

4e. Pencurian dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih.

5e. Pencurian yang dilakukan oleh tersalah dengan maksud ketempat kejahatan itu atau dapat mencapai barang untuk diambilnya, dengan jalan membongkar, memecah atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.38

Selanjutnya mengenai pencurian pemberatan ini dalam KUHP dapat dijumpai dalam Pasal 365 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

(1) Dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun dihukum pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan ancaman kekerasan terhadap orang, dengan maksud akan menyiapkan atau memudahkan pencurian itu jika tertangkap tangan supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi kawannya yang turut melakukan kejahatan itu akan melarikan diri atau supaya barang yang dicuri itu tetap ada di tangannya.

(2) Hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun, dijatuhkan :

1e. Jika perbuatan itu dilakukan pada waktu malam di dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya atau di

38


(49)

jalan umum atau di dalam kereta api atau terem yang sedang berjalan.

2e. Jika perbuatan itu dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih.

3e. Jika sitersalah masuk ke tempat melakukan kejahatan itu dengan jalan membongkar atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

4e. Jika perbuatan itu menjadikan ada orang mendapatkan luka berat.39

(3) Hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun dijatuhkan jika karena perbuatan itu ada orang mati.

(4) Hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun dijatuhkan, jika perbuatan itu menjadikan ada orang mendapat luka berat atau mati, dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam No. 1 dan 3.40

Dapatlah kita ketahui bahwa dalam hal pencurian ini kita kenal adanya istilah pemberatan. Timbul pertanyaan bagi kita apakah yang dimaksud dengan pencurian dengan pemberatan tersebut.

Jadi dengan adanya uraian mengenai pemberatan hukuman dalam hal pencurian tersebut di atas sebagaimana yang diatur dalam pasal 363 dan 365 KUHP tersebut haruslah disertai dengan salah satu keadaan sebagai berikut :

39

Ibid., hal. 56. 40


(50)

1. Maksudnya dengan hewan diterangkan dalam pasal 101 KUHP yaitu semua macam binatang yang memamah biak. Pencurian hewan dianggap berat, karena hewan merupakan milik seorang petani yang terpenting.

2. Bila pencurian itu dilakukan pada waktu ada kejadian macam malapetaka, hal ini diancam hukuman lebih berat karena pada waktu itu semacam itu orang-orang semua ribut dan barang-barang dalam keadaan tidak terjaga, sedang orang yang mempergunakan saat orang lain mendapat celaka ini untuk berbuat kejahatan adalah orang yang rendah budinya.

3. Apabila pencurian itu dilakukan pada waktu malam dalam rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya.

4. Apabila pencurian itu dilakukan oleh dua orang atau lebih. Supaya masuk dalam hal ini maka dua orang atau lebih itu semua harus bertindak sebagai pembuat atau turut melakukan.

5. Apabila dalam pencurian itu pencuri masuk ketempat kejahatan atau untuk mencapai barang yang akan dicurinya dengan jalan membongkar, memecah dan melakukan perbuatan dengan cara kekerasan.41

Dengan demikian sudah jelaslah kita ketahui bagaimana letak pemberatan dalam pasal 363 KUHP dan 365 KUHP tersebut, dimana pemberatan dalam hal ini dilakukan dengan cara menjatuhkan hukuman pidana ditambah 1/3 dari hukuman pokoknya. Hal ini dilakukan adalah karena perbuatan itu sudah merupakan gabungan perbuatan pidana antara pencurian

41


(51)

dengan adanya kekerasan.

Mengenai jenis pencurian yang kita kenal dalam hukum pidana ada juga disebut dengan pencurian ringan, dimana mengenai pencurian ringan ini secara jelas diatur dalam Pasal 364 KUH Pidana yang bunyinya sebagai berikut:

1. Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 KUHP dan 363 KUHP begitu juga apa yang diterangkan dalam pasal 365, asal saja tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau dalam pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya, maka jika harga barang yang dicuri itu tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, dihukum sebagai pencurian ringan dengan hukuman selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900.

Ketentuan dalam Pasal 364 KUHP ini dinamakan dengan pencurian ringan, dimana hal ini diartikan sebagai berikut :

2. Pencurian biasa asal harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp. 250. 3. Pencurian dilakukan oleh dua orang atau lebih asal harga barang tidak lebih

dari Rp. 250.

4. Pencurian dengan masuk ke tempat barang yang diambilnya dengan jalan membongkar, memecah dan sebagainya.

Berdasarkan literatur hukum pidana sehubungan dengan tindak pidana banyak sekali ditemukan istilah-istilah yang memiliki makna yang sama dengan tindak pidana. Istilah-istilah lain dari tindak pidana tersebut adalah antara lain : 1. Perbuatan melawan hukum.


(52)

3. Perbuatan yang boleh dihukum. 4. Perbuatan yang dapat dihukum.42

Menurut R. Soesilo, tindak pidana yaitu suatu perbuatan yang dilarang atau yang diwajibkan oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan diancam dengan hukuman.43

Menurut Moeljatno “peristiwa pidana itu ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan undang-undang lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman Simons, peristiwa pidana adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab, kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah kesalahan yang meliputi dolus dan culpulate.44

Secara dogmatis masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah membicarakan tiga hal, yaitu :

Perbuatan yang dilarang.

Dimana dalam pasal-pasal ada dikemukakan masalah mengenai perbuatan yang dilarang dan juga mengenai masalah pemidanaan seperti yang termuat dalam Titel XXI Buku II KUH Pidana.

Orang yang melakukan perbuatan dilarang.

42

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 32.

43

R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politeia, Bogor, 1991, hal. 11.

44


(53)

Tentang orang yang melakukan perbuatan yang dilarang (tindak pidana) yaitu : setiap pelaku yang dapat dipertanggung jawabkan secara pidana atas perbuatannya yang dilarang dalam suatu undang-undang.

Pidana yang diancamkan.

Tentang pidana yang diancamkan terhadap si pelaku yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan kepada setiap pelaku yang melanggar undang-undang, baik hukuman yang berupa hukuman pokok maupun sebagai hukuman tambahan.45

Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan “Straafbaarfeit” yang dikenal dengan tindak pidana. Dalam Kitab Undang-undang hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan “Straafbaarfeit”.46

Perkataan “feit” itu sendiri di dalam Bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeele van werkwlijkheid” sedang “straaf baar” berarti “dapat di hukum” hingga cara harfiah perkataan “straafbaarfeit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat di hukum” oleh karena kelak diketahui bahwa yang dapat di hukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan. 47

Seperti yang telah diuraikan di atas, ternyata pembentuk

45

Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hal. 44. 46

Ibid., hal. 45. 47


(54)

undang telah memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya telah dimaksud dengan perkataan “straafbaarfeit” sehingga timbullah doktrin tentang apa yang dimaksud dengan “straafbaarfeit”

Hazewinkel Suringa dalam Hilman memberi defenisi tentang “straafbaarfeit” adalah sebagai perilaku manusia yang pada saat tertentu telah ditolak didalam suatu pergaulan hidup dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya.48

Selanjutnya Van Hamel memberi defenisi tentang “straafbaarfeit” sebagai suatu serangan atas suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain.49

Menurut Pompe straafbaarfeit dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.50

Simons memberi defenisi “straafbaarfeit” adalah sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan yang oleh Undang-undang telah dinyatakan suatu tindakan yang dapat di hukum.51

48

EY Kanter dan SR Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Storia Grafika, Jakarta, hal. 102.

49

Ibid., hal. 103. 50

Ibid., hal. 46. 51


(55)

Hukum pidana Indonesia mengenal istilah tindak pidana. Istilah ini di pakai sebagai pengganti perkataan straafbaarfeit, yang berasal dari Bahasa Belanda.

Tindak pidana merupakan suatu pengeritan dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis. Lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan yang dapat diartikan secara yuridis (hukum) atau secara kriminologis.

Mengenai isi dari pengertian tindak pidana ada kesatuan pendapat di antara para sarjana. Menurut ajaran Causalitas (hubungan sebab akibat) di sebutkan pada dasarnya setiap orang harus bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukannya, namun harus ada hubungan kausa antara perbuatan dengan akibat yang di larang dan di ancam dengan pidana. Hal ini tidak selalu mudah , peristiwa merupakan rangkaian peristiwa serta tiada akibat yang timbul tanpa sesuatu sebab.52

Kemampuan bertanggung jawab, menurut Kitab Undang-Undang Pidana Indonesia seseorang yang dapat dipidana tidak cukup apabila orang tersebut telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, akan tetapi dalam penjatuhan pidana orang tersebut juga harus memenuhi syarat “Bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Dengan perkataan lain orang tersebut dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut

52


(56)

perbuatannya, perbuatannya itu dapat dipertanggung jawabkan” , disini berlaku asas tiada pidana tanpa kesalahan (Nulla poena sine culpa).53

Berdasarkan rumusan di atas disebutkan bahwa untuk adanya pertanggung jawaban pidana diperlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggung jawabkan apabila ia tidak mampu untuk di pertanggung jawabkan.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan rumusan tentang pertanggung jawaban pidana. Akan tetapi dalam literatur hukum pidana Indonesia dijumpai beberapa pengertian untuk pertanggung jawaban pidana yaitu :

1. Simons

Simons menyatakan kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun orang-nya, kemudian Simons menyatakan bahwa seseorang mampu bertanggung jawab. 54

2. Van Hamel

Van Hamel menyatakan bahwa pertanggung jawaban pidana adalah suatu keadaan normalitas psyhis dan kematangan yang membawa adanya kemampuan pada diri perilaku.55

53

EY Kanter dan SR Sianturi, Op.Cit., hal. 105. 54

Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal. 23. 55


(57)

3. Van Bemmelen

Van Bemmelen menyatakan bahwa seseorang dapat dipertanggung jawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut.56

Sudikno dalam hal ini mengatakan bahwa tindak pidana itu terdiri dari 2 (dua) unsur yaitu :

a. Unsur bersifat objektif yang meliputi :

1) Perbuatan manusia, yaitu perbuatan yang positif ataupun negatif yang menyebabkan pidana.

2) Akibat perbuatan manusia, yaitu akibat yang terdiri atas merusak atau membahayakan kepentingan-kepentingan umum, yang menurut norma hukum itu perlu adanya untuk dapat dihukum.

3) Keadaan-keadaan sekitar perbuatan itu, keadaan ini dapat terjadi pada waktu melakukan perbuatan.

4) Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidanakan perbuatan melawan hukum tersebut jika bertentangan dengan undang-undang.

b. Unsur bersifat subjektif.

Yaitu kesalahan dari orang yang melanggar ataupun pidana, artinya pelanggaran harus dapat dipertanggung jawabkan kepada pelanggar.57

Sejalan dengan hal tersebut, menurut R. Tresna dalam Martiman

56

Ibid., hal. 105. 57

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999, hal. 71.


(58)

Prodjohamidjojo suatu perbuatan baru dapat disebut sebagai suatu peristiwa pidana bila perbuatan tersebut sudah memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut antara lain :

1) Harus ada perbuatan manusia.

2) Perbuatan itu sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum.

3) Terbukti adanya doda pada orang yang berbuat. 4) Perbuatan untuk melawan hukum.

5) Perbuatan itu diancam hukuman dalam undang-undang.58

Di samping itu Simon dalam Kanter dan Sianturi mengatakan bahwa tindak pidana itu terdiri dari beberapa unsur yaitu :

1) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).

2) Diancam dengan pidana (strafbaar gestelde). 3) Melawan hukum (enrechalige).

4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verbandstaand). Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar person).59

Simons menyebut adanya unsur objektif dari strafbaarfeit yaitu : 1) Perbuatan orang.

2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.

58

Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal. 22.

59


(59)

Unsur subjektif dari strafbaarfeit yaitu : 1) Orang yang mampu bertanggung jawab.

2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa), perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.60

Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya seseorang maka haruslah dipenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut antara lain : 1) Terang melakukan perbuatan pidana, perbuatan yang bersifat melawan

hukum.

2) Mampu bertanggung jawab.

3) Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealfaan. 4) Tidak ada alasan pemaaf.61

Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana yang mengakibatkan dihukumnya atau dipidananya seseorang itu, maka haruslah dipenuhi beberapa syarat :

a. Melakukan perbuatan pidana, perbuatan bersifat melawan hukum; b. Mampu bertanggung jawab;

c. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaan/kurang hati-hati;

d. Tidak adanya alasan pemaaf.62

60

Ibid., hal. 122. 61

Ibid., hal. 123. 62

Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Alumni, Bandung, 1982, hal.44.


(60)

ad.a. Melakukan perbuatan pidana, perbuatan bersifat melawan hukum Sebagaimana telah disebutkan di atas perbuatan pidana (delik) adalah perbuatan seseorang yang telah memenuhi unsur-unsur suatu delik yang diatur dalam hukum pidana. Apabila undang-undang telah melarang suatu perbuatan dan perbuatan tersebut sesuai dengan larangan itu dengan sendirinya dapatlah dikatakan bahwa perbuatan tersebut bersifat melawan hukum.

ad.b. Mampu bertanggungjawab

Menurut KUHP seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang dilakukannya dalam hal :

1) Karena kurang sempurna akal atau karena sakit berupa akal (Pasal 44 KUHP);

2) Karena belum dewasa (Pasal 45 KUHP).

Mampu bertanggungjawab dalam hal ini adalah mampu menginsyafi sifat melawan hukumnya dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya. Dalam hal kasus pencurian maka kemampuan bertanggungjawab tersebut timbul disebabkan :

1) Seseorang mengambil tanpa hak milik orang lain dan diakui sebagai milik pribadinya.

2) Memperdagangkan barang hasil curian dengan pihak lain yang diakui sebagai milik si penjual.

3) Menyesatkan masyarakat mengenai asal barang yang dijual.


(61)

seperti meminjamkannya.63

ad.c. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaan/kurang hati-hati

Dalam hukum pidana kesengajaan dan kealpaan itu dikenal sebagai bentuk dari kesalahan. Si pelaku telah dianggap bersalah jika ia melakukan perbuatan pidana yang sifatnya melawan hukum itu dengan sengaja atau karena kealpaannya.

ad. d. Tidak adanya alasan pemaaf

Tidak adanya alasan pemaaf berarti tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan dari terdakwa.

Dari uraian di atas dapatlah dipahami suatu pengertian tentang perbuatan pidana dimana pencurian termasuk salah satunya dari perbuatan pidana karena dilarang oleh undang-undang serta mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dicuri bendanya.

Sanksi Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencurian Arca di Museum 

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa tindak pidana pencurian arca di museum apabila ditelaah dari Pasal 26 Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang berbunyi:

Barangsiapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta

63


(62)

lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan/atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

  Salah satu benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 

Undang‐Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya adalah arca. 

Pasal 26 Undang‐Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya telah 

memakai istilah kata pencurian untuk perbuatan sebagaimana dimaksud dengan 

pencurian itu sendiri. Pencurian yang diartikan oleh Pasal 26 Undang‐Undang No. 

5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya adalah mengambil tanpa izin dari 

pemerintah. Dengan demikian pencurian dalam hal ini adalah mengambil tanpa 

izin pemerintah. 

Berdasarkan isi Pasal 26 Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya maka perbuatan pencurian benda cagar budaya yang salah satunya adalah arca dapat dikenakan hukum penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).

Konsekuensi hukum yang diberikan oleh Pasal 26 Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya adalah dirasakan sangat logis sekali karena pencurian arca tersebut dapat mengakibatkan hilangnya sumber ilmu pengetahuan tentang sejarah dan budaya bangsa Indonesia.

Sedangkan dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pencurian arca, maka selain diancam dengan Pasal 26 Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya maka ketentuan perundang-undangan lainnya yang terkait adalah KUHP perihal pencurian.


(63)

sebagaimana diatur dalam Pasal 362 ayat (1) KUHP yang mengancam pelaku pencurian pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Selain pencurian secara khusus maka pencurian arca juga dapat dikenakan ketentuan Pasal 363 yang mengancam pelaku pencurian selama tujuh tahun apabila pencurian arca yang dilakukan tersebut dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

Pasal 362 ayat (2) KUHP menerangkan juga bahwa pencurian arca dapat dikenakan hukuman sembilan tahun penjara apabila pencurian tersebut dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu dan dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

Pencurian sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 362 ayat (1) dan (2) dinamakan pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan kualifikasi dan diancam dengan hukuman yang lebih berat.64

  Berdasarkan uraian di atas maka dapat dilihat bahwa pencurian arca 

Berdasarkan    isi   Pasal   26 Undang‐Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda 

Cagar Budaya  dapat  dikenakan  hukum penjara selama‐lamanya 10 (sepuluh) 

tahun dan/atau denda setinggi‐tingginya Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah), 

sedangkan menurut KUHP dapat diancam hukuman penjara selama 5 tahun atau 

apabila dilakukan dengan kualifikasi tertentu dapat diancam hukuman penjara 9 

tahun. Dengan demikian ancaman yang diberikan oleh Undang‐Undang No. 5 

Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya lebih tinggi apabila diperbandingkan 

dengan pengaturan dalam KUHP. 

Pembahasan berikutnya penulis ingin mengetahui apakah ketentuan

64


(1)

bahwa putusan hakim berada di bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Kondisi seperti ini menjelaskan bahwa peraturan perundang-undangan di Indonesia hanya sebatas wacana semata atau hanya mengambil istilah pengertian semata, sedangkan apabila bercerita dengan sanksi hukuman yang diberikan belum dapat memberikan sumbangan bagi penegakan hukum di Indonesia khususnya dalam mengantisipasi untuk tidak lagi terjadinya pencurian arca di museum.

Membicarakan pertanggungjawaban pidana pelaku pencurian arca hal tersebut tidak terlepas dari sifat manusia yang tidak terlepas kesalahan dan pelanggaran. Kesalahan atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh seseorang dikenal dalam bahasa Belanda sebagai “strafbaar feit” yang berarti peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang dapat dihukum, delik, tindak pidana, dan lain-lain. Namun istilah-istilah tersebut tidak lain adalah merupakan suatu kejahatan. Kejahatan merupakan perbuatan melanggar hukum dan tata tertib dalam pergaulan masyarakat. Dan setiap pelanggaran hukum ada sanksinya.

Demikian juga halnya perbuatan pencurian arca yaitu pelaku pencurian dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang melakukannya, yaitu sesuai dengan apa yang dipaparkan di atas yakni :

a. Pencuri arca tersebut jelas telah melakukan perbuatan pidana, perbuatan yang bersifat melawan hukum.


(2)

c. Pencuri arca tersebut melakukan perbuatan dengan sengaja atau karena kealpaannya/ kurang hati-hati.

d. Pencuri arca tersebut tidak dikecualikan dalam hukuman.

Keberadaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya pada dasarnya ditujukan bagi mengantisipasi terhadap semakin meluasnya bentuk-bentuk pelanggaran terhadap benda cagar budaya termasuk arca. Hanya saja sebagaimana dijelaskan di atas bahwa keberadaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya hanya bersifat sebagai landasan hukum bagi menjerat pelaku tindak pidana pencurian arca bukan sebagai suatu sistem bagi penegakan hukum pidana itu sendiri.

Kondisi inilah yang menjadikan dilema masalah penegakan hukum di Indonesia, sehingga acap kali terjadi suatu undang-undang dilahirkan untuk mengantisipasi perkembangan kejahatan tetapi tidak memberikan konstribusi terhadap kualitas dan kuantitas daripada kejahatan itu sendiri karena belum sepenuhnya ketentuan perundang-undangan tersebut diterapkan termasuk dalam menentukan jenis lama hukuman kepada pelaku suatu tindak pidana termasuk pelaku tindak pidana pencurian arca di museum.


(3)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencurian arca adalah:

c. Faktor ekonomi dimana kebutuhan pelaku pencurian arca menggunakan kesempatan untuk mencari keuntungan secara melawan hukum.

d. Selain itu kurangnya pengawasan yang dilakukan instansi terkait memberikan akibat semakin terbukanya kesempatan tindakan pencurian arca oleh pihak-pihak yang diserahkan kewenangan dan pengurusan arca.

Sanksi hukum terhadap tindak pencurian arca di museum maka pelaku dapat dikenakan hukuman pidana berupa penjara dan juga denda. Selain itu pelaku juga dapat diancam dengan ketentuan-ketentuan pencurian sebagaimana suatu tindakan mengambil tanpa adanya izin pemerintah.

B. Saran 

Diharapkan pada Pemerintah hendaknya dapat memperhatikan manajemen pengelolaan museum dan juga peningkatan kesejahteraan pelaku aktivitas di museum sehingga tindakan penyalahgunaan wewenang oleh pengurus museum dapat dihindari.


(4)

Agar tindak pidana pencurian arca di museum berkurang kuantitasnya maka hendaknya sanksi hukum yang dijatuhkan dapat dilakukan secara maksimal oleh para hakim pengambil keputusan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku :

Abidin, Zamnari Hukum Pidana Dalam Skema, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.

Dinas Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2003.

Hadikusuma, Hilman, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1992.

Hazawi, Adami Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia, Malang, 2003. Kanter, EY dan Sianturi, SR Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Storia

Grafika, Jakarta, 2002.

Kusumah, Mulyana W. Kejahatan dan Penyimpangan, Yayasan lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1988.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002.

Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997.

Prodjodikoro, Wirjono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986.


(6)

Setiawan, Rachmat, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Alumni, Bandung, 1982.

Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Penjelasannya, Politeia, Bogor, 1984.

___________, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politeia, Bogor, 1991.

Syarifin, Pipin Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000.

B. Internet :

Berita Sore Online, “Otak Pencurian Arca Radya Pustaka Dituntut Dua Tahun”, http://www/google.pencurianarca.

Dwi Haryadi, “Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan”, http://www.mail-archive.com/wanita-muslimah@yahoogroups.com/msg41848.html.

Kompas,”Pencurian Benda-benda Cagar Budaya Masih Terus Terjadi”, http://64.203.71.11/kompas-cetak/0504/07/humaniora/1670214.htm.

Suara Karya Online, “Dua Terdakwa Dihukum 1,5 Tahun”, http://www.google.pencurianarca.

Tempo Interaktif, “Pencurian Arca Sudah Bertahun-tahun”, http://www/google.pencurian arca.html.

C. Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum.