SANKSI HUKUM TINDAK PENCURIAN ARCA DI MUSEUM

BAB III SANKSI HUKUM TINDAK PENCURIAN ARCA DI MUSEUM

Pengaturan Tindak Pidana Pencurian Arca Di Indonesia Dalam ilmu hukum pidana mengenai pencurian ini telah diatur dalam beberapa pasal diantaranya Pasal 362 KUH Pidana. Pasal 362 KUH Pidana berbunyi : Barang siapa mengambil suatu barang, yang sama dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun tau denda sebanyak- banyak Rp. 900. Berdasarkan bunyi Pasal 362 KUH Pidana tersebut dapat kita lihat unsur-unsurnya sebagai berikut : a. Mengambil b. Yang diambil harus sesuatu barang c. Barang itu harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, d. Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum melawan hak. 35 ad. 1. Perbuatan mengambil Unsur pertama dari tindak pidana pencurian ialah perbuatan mengambil barang. Kata mengambil dalam arti sempit terbatas pada menggerakkan tangan dan jari-jari memegang barangnya, dan mengalihkannya ke tempat lain. Sudah lazim masuk istilah pencurian apabila orang mencuri barang cair, 35 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Penjelasannya, Politeia, Bogor, 1984, hal. 249. 34 Universitas Sumatera Utara seperti misalnya bier dengan membuka suatu kran untuk mengalirkannya ke dalam botol yang ditempatkan di bawah kran itu, bahkan tenaga listrik sekarang dianggap dapat dicuri dengan sepotong kawat. 36 Berdasarkan uraian tersebut dapat kita ketahui bahwa perbuatan mengambil itu hanyalah apabila barang tersebut diambil oleh orang yang tidak berhak terhadap barang tersebut. ad. 2. Yang diambil harus sesuatu barang Kita ketahui bersama bahwa sifat tindak pidana pencurian ialah merugikan kekayan si korban, maka barang yang diambil haruslah berharga. Harga ini tidak selalu bersifat ekonomis. Yang dimaksudkan berupa barang ini tentu saja barang yang dapat dinikmati oleh orang yang membutuhkannya. ad. 3. Barang yang diambil harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain. Yang dimaksudkan kepunyaan orang lain dalam hal ini dimaksudkan bahwa barang yang diambil itu haruslah kepunyaan orang lain atau selain kepunyaan orang yang mengambil tersebut. ad. 4. Pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum Dalam hal ini dimaksudkan bahwa timbulnya perbuatan itu haruslah berdasarkan adanya keinginan dari si pelaku untuk memiliki barang 36 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986, hal. 15. Universitas Sumatera Utara tersebut dengan cara melawan hukum, dimana letak perbuatan melawan hukum dalam hal ini adalah memiliki barang orang dengan cara mencuri atau mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya. Berdasarkan uraian di atas maka diketahui bagaimana ilmu hukum pidana mengatur tentang pencurian ini, akan tetapi secara nyata berdasarkan penjelasan tersebut pengertian pencurian dalam hal ini belum dapat kita lihat secara teliti dan jelas. Dan tidak ada menentukan bagaimana yang dikatakan pencurian itu akan tetapi pencurian itu diidentikkan dengan perbuatan mengambil. Pencurian itu dapat kita artikan ialah perbuatan mengambil suatu benda atau barang kepunyaan orang lain dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan orang yang memiliki barangbenda tersebut. Adapun yang dimaksudkan dengan pencurian adalah perbuatan dari seseorang yang mengambil barangbenda kepunyaan orang lain dengan cara melawan hukum. Mengenai pencurian ini ilmu hukum pidana menggolongkan perbuatan tersebut dalam perbuatan kejahatan terhadap kekayaan orang. Dalam hukum pidana mengenai pencurian ini diatur dalam beberapa pasal dimana secara garis besarnya pencurian tersebut diatur dalam pasal 362 KUHP, 363 KUHP, 364 KUHP yang mana pencurian dari ketiga pasal tersebut dengan sebutan pencurian biasa, pencurian pemberatan dan pencurian ringan. Selanjutnya mengenai jenis-jenis pencurian tersebut apabila kita melihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada beberapa jenis pencurian diantaranya adalah : Universitas Sumatera Utara 1. Pencurian ternak, 2. Pencurian pada waktu ada kebakaran dan sebagainya, 3. Pencurian pada waktu malam. 4. Pencurian oleh dua orang atau lebih bersama-sama. 5. Pencurian dengan jalan membongkar, merusak. 6. Pencurian dengan kekerasan. 7. Pencurian ringan. 37 Sebagaimana penulis uraikan di atas bahwa mengenai pencurian tersebut secara garis besarnya adalah terdiri dari pencurian biasa, pencurian pemberatan dan pencurian ringan. Mengenai ketiga ketentuan pencurian yang penulis maksudkan diatur dalam pasal 362, 363, dan 364, 365 KUHP. Mengenai pencurian biasa diatur dalam pasal 362 KUHP dimana mengenai ketentuan pasal ini telah penulis uraikan dalam pembahasan sebelumnya. 1. Pasal 363 KUHP mengatur tentang pencurian dengan pemberatan, dimana pasal 363 KUHP ini berbunyi sebagai berikut : 2. Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun, dihukum karena: 1e. Pencurian hewan 2e. Pencurian pada waktu kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, gempa laut, letusan gunung api, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru hara, pemberontakan atau kesengsaraan 37 Adami Hazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia, Malang, 2003, hal. 21. Universitas Sumatera Utara 3e. Pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya, dilakukan oleh orang yang ada disitu dengan setahunya atau bertentangan dengan kemauannya orang yang berhak. 4e. Pencurian dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih. 5e. Pencurian yang dilakukan oleh tersalah dengan maksud ketempat kejahatan itu atau dapat mencapai barang untuk diambilnya, dengan jalan membongkar, memecah atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu. 38 Selanjutnya mengenai pencurian pemberatan ini dalam KUHP dapat dijumpai dalam Pasal 365 KUHP yang bunyinya sebagai berikut : 1 Dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun dihukum pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan ancaman kekerasan terhadap orang, dengan maksud akan menyiapkan atau memudahkan pencurian itu jika tertangkap tangan supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi kawannya yang turut melakukan kejahatan itu akan melarikan diri atau supaya barang yang dicuri itu tetap ada di tangannya. 2 Hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun, dijatuhkan : 1e. Jika perbuatan itu dilakukan pada waktu malam di dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya atau di 38 Ibid., hal. 55. Universitas Sumatera Utara jalan umum atau di dalam kereta api atau terem yang sedang berjalan. 2e. Jika perbuatan itu dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih. 3e. Jika sitersalah masuk ke tempat melakukan kejahatan itu dengan jalan membongkar atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu. 4e. Jika perbuatan itu menjadikan ada orang mendapatkan luka berat. 39 3 Hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun dijatuhkan jika karena perbuatan itu ada orang mati. 4 Hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun dijatuhkan, jika perbuatan itu menjadikan ada orang mendapat luka berat atau mati, dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam No. 1 dan 3. 40 Dapatlah kita ketahui bahwa dalam hal pencurian ini kita kenal adanya istilah pemberatan. Timbul pertanyaan bagi kita apakah yang dimaksud dengan pencurian dengan pemberatan tersebut. Jadi dengan adanya uraian mengenai pemberatan hukuman dalam hal pencurian tersebut di atas sebagaimana yang diatur dalam pasal 363 dan 365 KUHP tersebut haruslah disertai dengan salah satu keadaan sebagai berikut : 39 Ibid., hal. 56. 40 Ibid., hal. 57. Universitas Sumatera Utara 1. Maksudnya dengan hewan diterangkan dalam pasal 101 KUHP yaitu semua macam binatang yang memamah biak. Pencurian hewan dianggap berat, karena hewan merupakan milik seorang petani yang terpenting. 2. Bila pencurian itu dilakukan pada waktu ada kejadian macam malapetaka, hal ini diancam hukuman lebih berat karena pada waktu itu semacam itu orang-orang semua ribut dan barang-barang dalam keadaan tidak terjaga, sedang orang yang mempergunakan saat orang lain mendapat celaka ini untuk berbuat kejahatan adalah orang yang rendah budinya. 3. Apabila pencurian itu dilakukan pada waktu malam dalam rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya. 4. Apabila pencurian itu dilakukan oleh dua orang atau lebih. Supaya masuk dalam hal ini maka dua orang atau lebih itu semua harus bertindak sebagai pembuat atau turut melakukan. 5. Apabila dalam pencurian itu pencuri masuk ketempat kejahatan atau untuk mencapai barang yang akan dicurinya dengan jalan membongkar, memecah dan melakukan perbuatan dengan cara kekerasan. 41 Dengan demikian sudah jelaslah kita ketahui bagaimana letak pemberatan dalam pasal 363 KUHP dan 365 KUHP tersebut, dimana pemberatan dalam hal ini dilakukan dengan cara menjatuhkan hukuman pidana ditambah 13 dari hukuman pokoknya. Hal ini dilakukan adalah karena perbuatan itu sudah merupakan gabungan perbuatan pidana antara pencurian 41 Zamnari Abidin, Hukum Pidana Dalam Skema, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 68. Universitas Sumatera Utara dengan adanya kekerasan. Mengenai jenis pencurian yang kita kenal dalam hukum pidana ada juga disebut dengan pencurian ringan, dimana mengenai pencurian ringan ini secara jelas diatur dalam Pasal 364 KUH Pidana yang bunyinya sebagai berikut: 1. Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 KUHP dan 363 KUHP begitu juga apa yang diterangkan dalam pasal 365, asal saja tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau dalam pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya, maka jika harga barang yang dicuri itu tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, dihukum sebagai pencurian ringan dengan hukuman selama- lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900. Ketentuan dalam Pasal 364 KUHP ini dinamakan dengan pencurian ringan, dimana hal ini diartikan sebagai berikut : 2. Pencurian biasa asal harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp. 250. 3. Pencurian dilakukan oleh dua orang atau lebih asal harga barang tidak lebih dari Rp. 250. 4. Pencurian dengan masuk ke tempat barang yang diambilnya dengan jalan membongkar, memecah dan sebagainya. Berdasarkan literatur hukum pidana sehubungan dengan tindak pidana banyak sekali ditemukan istilah-istilah yang memiliki makna yang sama dengan tindak pidana. Istilah-istilah lain dari tindak pidana tersebut adalah antara lain : 1. Perbuatan melawan hukum. 2. Pelanggaran pidana. Universitas Sumatera Utara 3. Perbuatan yang boleh dihukum. 4. Perbuatan yang dapat dihukum. 42 Menurut R. Soesilo, tindak pidana yaitu suatu perbuatan yang dilarang atau yang diwajibkan oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan diancam dengan hukuman. 43 Menurut Moeljatno “peristiwa pidana itu ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan undang-undang lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman Simons, peristiwa pidana adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan schuld seseorang yang mampu bertanggung jawab, kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah kesalahan yang meliputi dolus dan culpulate. 44 Secara dogmatis masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah membicarakan tiga hal, yaitu : Perbuatan yang dilarang. Dimana dalam pasal-pasal ada dikemukakan masalah mengenai perbuatan yang dilarang dan juga mengenai masalah pemidanaan seperti yang termuat dalam Titel XXI Buku II KUH Pidana. Orang yang melakukan perbuatan dilarang. 42 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 32. 43 R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politeia, Bogor, 1991, hal. 11. 44 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 62. Universitas Sumatera Utara Tentang orang yang melakukan perbuatan yang dilarang tindak pidana yaitu : setiap pelaku yang dapat dipertanggung jawabkan secara pidana atas perbuatannya yang dilarang dalam suatu undang-undang. Pidana yang diancamkan. Tentang pidana yang diancamkan terhadap si pelaku yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan kepada setiap pelaku yang melanggar undang- undang, baik hukuman yang berupa hukuman pokok maupun sebagai hukuman tambahan. 45 Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan “Straafbaarfeit” yang dikenal dengan tindak pidana. Dalam Kitab Undang- undang hukum Pidana KUHP tidak memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan “Straafbaarfeit”. 46 Perkataan “feit” itu sendiri di dalam Bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeele van werkwlijkheid” sedang “straaf baar” berarti “dapat di hukum” hingga cara harfiah perkataan “straafbaarfeit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat di hukum” oleh karena kelak diketahui bahwa yang dapat di hukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan. 47 Seperti yang telah diuraikan di atas, ternyata pembentuk undang- 45 Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hal. 44. 46 Ibid., hal. 45. 47 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hal. 21. Universitas Sumatera Utara undang telah memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya telah dimaksud dengan perkataan “straafbaarfeit” sehingga timbullah doktrin tentang apa yang dimaksud dengan “straafbaarfeit” Hazewinkel Suringa dalam Hilman memberi defenisi tentang “straafbaarfeit” adalah sebagai perilaku manusia yang pada saat tertentu telah ditolak didalam suatu pergaulan hidup dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya. 48 Selanjutnya Van Hamel memberi defenisi tentang “straafbaarfeit” sebagai suatu serangan atas suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain. 49 Menurut Pompe straafbaarfeit dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 50 Simons memberi defenisi “straafbaarfeit” adalah sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan yang oleh Undang-undang telah dinyatakan suatu tindakan yang dapat di hukum. 51 48 EY Kanter dan SR Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Storia Grafika, Jakarta, hal. 102. 49 Ibid., hal. 103. 50 Ibid., hal. 46. 51 Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal. 22. Universitas Sumatera Utara Hukum pidana Indonesia mengenal istilah tindak pidana. Istilah ini di pakai sebagai pengganti perkataan straafbaarfeit, yang berasal dari Bahasa Belanda. Tindak pidana merupakan suatu pengeritan dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis. Lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan yang dapat diartikan secara yuridis hukum atau secara kriminologis. Mengenai isi dari pengertian tindak pidana ada kesatuan pendapat di antara para sarjana. Menurut ajaran Causalitas hubungan sebab akibat di sebutkan pada dasarnya setiap orang harus bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukannya, namun harus ada hubungan kausa antara perbuatan dengan akibat yang di larang dan di ancam dengan pidana. Hal ini tidak selalu mudah , peristiwa merupakan rangkaian peristiwa serta tiada akibat yang timbul tanpa sesuatu sebab. 52 Kemampuan bertanggung jawab, menurut Kitab Undang-Undang Pidana Indonesia seseorang yang dapat dipidana tidak cukup apabila orang tersebut telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum, akan tetapi dalam penjatuhan pidana orang tersebut juga harus memenuhi syarat “Bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Dengan perkataan lain orang tersebut dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut 52 Ibid., hal. 22. Universitas Sumatera Utara perbuatannya, perbuatannya itu dapat dipertanggung jawabkan” , disini berlaku asas tiada pidana tanpa kesalahan Nulla poena sine culpa. 53 Berdasarkan rumusan di atas disebutkan bahwa untuk adanya pertanggung jawaban pidana diperlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggung jawabkan apabila ia tidak mampu untuk di pertanggung jawabkan. Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP tidak memberikan rumusan tentang pertanggung jawaban pidana. Akan tetapi dalam literatur hukum pidana Indonesia dijumpai beberapa pengertian untuk pertanggung jawaban pidana yaitu : 1. Simons Simons menyatakan kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun orang- nya, kemudian Simons menyatakan bahwa seseorang mampu bertanggung jawab. 54 2. Van Hamel Van Hamel menyatakan bahwa pertanggung jawaban pidana adalah suatu keadaan normalitas psyhis dan kematangan yang membawa adanya kemampuan pada diri perilaku. 55 53 EY Kanter dan SR Sianturi, Op.Cit., hal. 105. 54 Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal. 23. 55 EY Kanter dan SR Sianturi, Op.Cit., hal. 106. Universitas Sumatera Utara 3. Van Bemmelen Van Bemmelen menyatakan bahwa seseorang dapat dipertanggung jawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut. 56 Sudikno dalam hal ini mengatakan bahwa tindak pidana itu terdiri dari 2 dua unsur yaitu : a. Unsur bersifat objektif yang meliputi : 1 Perbuatan manusia, yaitu perbuatan yang positif ataupun negatif yang menyebabkan pidana. 2 Akibat perbuatan manusia, yaitu akibat yang terdiri atas merusak atau membahayakan kepentingan-kepentingan umum, yang menurut norma hukum itu perlu adanya untuk dapat dihukum. 3 Keadaan-keadaan sekitar perbuatan itu, keadaan ini dapat terjadi pada waktu melakukan perbuatan. 4 Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidanakan perbuatan melawan hukum tersebut jika bertentangan dengan undang-undang. b. Unsur bersifat subjektif. Yaitu kesalahan dari orang yang melanggar ataupun pidana, artinya pelanggaran harus dapat dipertanggung jawabkan kepada pelanggar. 57 Sejalan dengan hal tersebut, menurut R. Tresna dalam Martiman 56 Ibid., hal. 105. 57 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999, hal. 71. Universitas Sumatera Utara Prodjohamidjojo suatu perbuatan baru dapat disebut sebagai suatu peristiwa pidana bila perbuatan tersebut sudah memenuhi beberapa unsur. Unsur- unsur tersebut antara lain : 1 Harus ada perbuatan manusia. 2 Perbuatan itu sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum. 3 Terbukti adanya doda pada orang yang berbuat. 4 Perbuatan untuk melawan hukum. 5 Perbuatan itu diancam hukuman dalam undang-undang. 58 Di samping itu Simon dalam Kanter dan Sianturi mengatakan bahwa tindak pidana itu terdiri dari beberapa unsur yaitu : 1 Perbuatan manusia positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan. 2 Diancam dengan pidana strafbaar gestelde. 3 Melawan hukum enrechalige. 4 Dilakukan dengan kesalahan met schuld in verbandstaand. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab toerekeningsvatbaar person. 59 Simons menyebut adanya unsur objektif dari strafbaarfeit yaitu : 1 Perbuatan orang. 2 Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu. 58 Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal. 22. 59 EY. Kanter dan SR. Sianturi, Op.Cit, hal. 121. Universitas Sumatera Utara Unsur subjektif dari strafbaarfeit yaitu : 1 Orang yang mampu bertanggung jawab. 2 Adanya kesalahan dolus atau culpa, perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan. 60 Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya seseorang maka haruslah dipenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut antara lain : 1 Terang melakukan perbuatan pidana, perbuatan yang bersifat melawan hukum. 2 Mampu bertanggung jawab. 3 Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealfaan. 4 Tidak ada alasan pemaaf. 61 Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana yang mengakibatkan dihukumnya atau dipidananya seseorang itu, maka haruslah dipenuhi beberapa syarat : a. Melakukan perbuatan pidana, perbuatan bersifat melawan hukum; b. Mampu bertanggung jawab; c. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaankurang hati-hati; d. Tidak adanya alasan pemaaf. 62 60 Ibid., hal. 122. 61 Ibid., hal. 123. 62 Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Alumni, Bandung, 1982, hal.44. Universitas Sumatera Utara ad.a. Melakukan perbuatan pidana, perbuatan bersifat melawan hukum Sebagaimana telah disebutkan di atas perbuatan pidana delik adalah perbuatan seseorang yang telah memenuhi unsur-unsur suatu delik yang diatur dalam hukum pidana. Apabila undang-undang telah melarang suatu perbuatan dan perbuatan tersebut sesuai dengan larangan itu dengan sendirinya dapatlah dikatakan bahwa perbuatan tersebut bersifat melawan hukum. ad.b. Mampu bertanggungjawab Menurut KUHP seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang dilakukannya dalam hal : 1 Karena kurang sempurna akal atau karena sakit berupa akal Pasal 44 KUHP; 2 Karena belum dewasa Pasal 45 KUHP. Mampu bertanggungjawab dalam hal ini adalah mampu menginsyafi sifat melawan hukumnya dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya. Dalam hal kasus pencurian maka kemampuan bertanggungjawab tersebut timbul disebabkan : 1 Seseorang mengambil tanpa hak milik orang lain dan diakui sebagai milik pribadinya. 2 Memperdagangkan barang hasil curian dengan pihak lain yang diakui sebagai milik si penjual. 3 Menyesatkan masyarakat mengenai asal barang yang dijual. 4 Seseorang tanpa hak menggunakan barang curian untuk berbagai keperluan Universitas Sumatera Utara seperti meminjamkannya. 63 ad.c. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaankurang hati-hati Dalam hukum pidana kesengajaan dan kealpaan itu dikenal sebagai bentuk dari kesalahan. Si pelaku telah dianggap bersalah jika ia melakukan perbuatan pidana yang sifatnya melawan hukum itu dengan sengaja atau karena kealpaannya. ad. d. Tidak adanya alasan pemaaf Tidak adanya alasan pemaaf berarti tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan dari terdakwa. Dari uraian di atas dapatlah dipahami suatu pengertian tentang perbuatan pidana dimana pencurian termasuk salah satunya dari perbuatan pidana karena dilarang oleh undang-undang serta mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dicuri bendanya. Sanksi Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencurian Arca di Museum Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa tindak pidana pencurian arca di museum apabila ditelaah dari Pasal 26 Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang berbunyi: Barangsiapa dengan sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta 63 Ibid., hal. 43. Universitas Sumatera Utara lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk danatau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat 1 dan ayat 2 dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 sepuluh tahun danatau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000,00 seratus juta rupiah. Salah satu benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang ‐Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya adalah arca. Pasal 26 Undang‐Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya telah memakai istilah kata pencurian untuk perbuatan sebagaimana dimaksud dengan pencurian itu sendiri. Pencurian yang diartikan oleh Pasal 26 Undang‐Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya adalah mengambil tanpa izin dari pemerintah. Dengan demikian pencurian dalam hal ini adalah mengambil tanpa izin pemerintah. Berdasarkan isi Pasal 26 Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya maka perbuatan pencurian benda cagar budaya yang salah satunya adalah arca dapat dikenakan hukum penjara selama-lamanya 10 sepuluh tahun danatau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000 seratus juta rupiah. Konsekuensi hukum yang diberikan oleh Pasal 26 Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya adalah dirasakan sangat logis sekali karena pencurian arca tersebut dapat mengakibatkan hilangnya sumber ilmu pengetahuan tentang sejarah dan budaya bangsa Indonesia. Sedangkan dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pencurian arca, maka selain diancam dengan Pasal 26 Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya maka ketentuan perundang- undangan lainnya yang terkait adalah KUHP perihal pencurian. Pencurian arca dapat digolongkan sebagai pencurian secara umum Universitas Sumatera Utara sebagaimana diatur dalam Pasal 362 ayat 1 KUHP yang mengancam pelaku pencurian pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Selain pencurian secara khusus maka pencurian arca juga dapat dikenakan ketentuan Pasal 363 yang mengancam pelaku pencurian selama tujuh tahun apabila pencurian arca yang dilakukan tersebut dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu. Pasal 362 ayat 2 KUHP menerangkan juga bahwa pencurian arca dapat dikenakan hukuman sembilan tahun penjara apabila pencurian tersebut dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu dan dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu. Pencurian sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 362 ayat 1 dan 2 dinamakan pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan kualifikasi dan diancam dengan hukuman yang lebih berat. 64 Berdasarkan uraian di atas maka dapat dilihat bahwa pencurian arca Berdasarkan isi Pasal 26 Undang‐Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dapat dikenakan hukum penjara selama‐lamanya 10 sepuluh tahun danatau denda setinggi‐tingginya Rp. 100.000.000 seratus juta rupiah, sedangkan menurut KUHP dapat diancam hukuman penjara selama 5 tahun atau apabila dilakukan dengan kualifikasi tertentu dapat diancam hukuman penjara 9 tahun. Dengan demikian ancaman yang diberikan oleh Undang‐Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya lebih tinggi apabila diperbandingkan dengan pengaturan dalam KUHP. Pembahasan berikutnya penulis ingin mengetahui apakah ketentuan 64 R. Soesilo, Op.Cit., hal. 251. Universitas Sumatera Utara peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksudkan dalam Undang- Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya maupun KUHP diterapkan juga kepada pelaku pencurian arca khususnya di museum. Heru Suryanto, terdakwa kasus pencurian enam arca kuno Museum Radya Pustaka Solo, dituntut dua tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum JPU dalam persidangan di Pengadilan Negeri PN setempat. Heru adalah otak dalam kasus pencurian. Ia didakwa melanggar pasal 26 UU No.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. “Terdakwa terbukti mengambil, membawa, mengubah, memindahkan, memperdagangkan atau memperjualbelikan benda cagar budaya tanpa seizin pemerintah. Kasus pencurian yang terjadi pada tahun 2006 lalu tersebut, ini bermula dari kedatangan terdakwa kepada Kepala Museum Radya Pustaka, K.R.H.Dharmodipuro, yang menyatakan keinginannya secara langsung untuk memiliki arca kuno ini. Sempat terjadi tawar menawar antara terdakwa dengan K.R.H.Dharmodipuro, tentang besarnya harga arca. Bahkan, terdakwa juga menyanggupi untuk menyediakan arca pengganti yang nantinya dipajang sebagai arca pengganti di museum. Keenam arca, masing-masing Agastya, Siwa Mahaguru, Siwa Mahakala, Durga Mahissa Suramardhini bertangan delapan, Durga Mahissa Suramardhini bertangan dua dan Nandhisa Wahanamurti, total dibeli dengan harga hampir Rp600 juta. Selain mengotaki pencurian tersebut, terdakwa juga membuat surat bukti palsu kepemilikan keenam arca ini. Dalam surat palsu tersebut, terdakwa juga memalsukan sejumlah tanda tangan serta stampel, seperti tanda tangan Raja Keraton Surakarta, Paku Buwono XIII, Pejabat Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala BP3 Jateng, serta setampel kedua instansi tersebut. Perbuatan terdakwa ini dijerat dengan pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat. 65 Kasus di atas menjelaskan bahwa terdakwa diancam dengan buah perbuatan pidana yaitu melanggar pasal 26 UU No.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dan juga melanggar Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, terhadap kasus pemalsuan surat tidak akan dibahas dalam penelitian ini karena fokus penelitian adalah pencurian arca. Universitas Sumatera Utara Kutipan di atas menjelaskan bahwa terdakwa dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum selama 2 tahun karena melanggar Pasal 26 UU No.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Sedangkan sanksi pidana maksimal yang diberikan oleh pe-laku pencurian arca menurut Pasal 26 UU No.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya adalah selama 10 tahun penjara. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dijelaskan disini bahwa keberadaan pengaturan pencurian sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 26 UU No.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya sudah berjalan sebagaimana ditentukan oleh ketentuan perundang-undangan sendiri, hanya saja penegakan hukumnya tidak berjalan. Alasan yang diberikan adalah karena jauhnya jarak tuntutan Jaksa Penuntut Umum yaitu 2 tahun penjara bagi pelaku pencurian arca dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1992 sendiri. Kenyataan tersebut maka penegakan hukum dalam hal mengantisi-pasi untuk tidak terjadinya pencurian arca atau mengurangi kuantitas pencurian arca belum dilakukan, meskipun sudah ada undang-undang yang mengaturnya. Untuk memperkuat pembahasan ini maka pada penelitian ini diambil lagi kasus serupa sebagaimana dijelaskan di atas yang sudah mendapatkan vonis tetap pengadilan. KRH Darmodipuro alias Mbah Hadi, terdakwa kasus pencurian dan pemalsuan arca koleksi Museum Radya Pustaka Solo divonis hukuman penjara selama 1 tahun 6 bulan. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum JPU sebelumnya yakni selama dua tahun penjara. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri PN Surakarta, majelis Hakim yang diketuai Gandjar Susilo menilai tindakan terdakwa telah 65 Berita Sore Online, “Otak Pencurian Arca Radya Pustaka Dituntut Dua Tahun”, http:wwwgoogle.pencurianarca , Diakses tanggal 5 September 2011. Universitas Sumatera Utara merugikan pemerintah dan Yayasan Radya Pustaka Solo. Sebagai Kepala Museum, seharusnya Mbah Hadi bisa menjaga dan mengelola benda- benda yang tersimpan didalam museum. Terdakwa juga telah menikmati hasil kejahatannya. Sedangkan yang meringankan adalah terdakwa telah bekerja di museum selama 50 tahun dan usianya sudah tua. Terdakwa, menurut majelis hakim, telah terbukti melanggar tindak pidana dengan tanpa hak memperdagangkan benda-benda cagar budaya seperti yang terdapat dalam Pasal 26 UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya BCB. Selain divonis penjara, terdakwa juga dituntut membayar biaya sidang sebesar Rp 5000. Pada sidang lainnya, dua terdakwa lainnya yakni Jarwadi dan Gatot, divonis hukuman penjara masing-masing selama 1 tahun 2 bulan. Berdasarkan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan dalam sidang, terdakwa terbukti turut membantu memindahkan, memperdagangkan benda-benda cagar budaya. Sedangkan otak penjualan arca, yaitu terdakwa Heru Suryanto yang berperan sebagai makelar penjualan enam arca koleksi Radya Pustaka, divonis penjara 1 tahun 6 bulan. Majelis hakim menilai, hal yang memberatkan terdakwa adalah selain melanggar Pasal 25 UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang BCB, terdakwa juga melanggar Pasal 263 ayat 1 KUHP tentang pemalsuan surat. Akibat dari tindakan terdakwa tersebut selain merugikan pemerintah dan yayasan, terdakwa juga merugikan Keraton Surakarta serta Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Sebab surat yang dipalsukan terdakwa menggunakan atas nama keraton dan BP3. 66 Kasus di atas adalah menyambung kasus sebelumnya yang masih dalam tahap penuntutan, dan kasus berikutnya menjelaskan putusan yang dijatuhkan hakim. Pada putusan yang dijatuhkan hakim maka terlihat bahwa Undang- Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya telah diterapkan sebagai landasan hukum bagi hakim untuk menjatuhkan putusannya terlepas dari lama atau masa hukuman yang dijatuhkan oleh hakim. Dijelaskan dalam hal ini bahwa apabila dihubungkan dengan pelaksanaan penegakan hukum khususnya untuk mengurangi kualitas dan kuantitas pencurian arca belum dapat berbuat apa-apa. Hal ini disebabkan 66 Suara Karya Online, “Dua Terdakwa Dihukum 1,5 Tahun”, http:www.google.pencurianarca . Diakses tanggal 5 September 2011. Universitas Sumatera Utara bahwa putusan hakim berada di bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Kondisi seperti ini menjelaskan bahwa peraturan perundang-undangan di Indonesia hanya sebatas wacana semata atau hanya mengambil istilah pengertian semata, sedangkan apabila bercerita dengan sanksi hukuman yang diberikan belum dapat memberikan sumbangan bagi penegakan hukum di Indonesia khususnya dalam mengantisipasi untuk tidak lagi terjadinya pencurian arca di museum. Membicarakan pertanggungjawaban pidana pelaku pencurian arca hal tersebut tidak terlepas dari sifat manusia yang tidak terlepas kesalahan dan pelanggaran. Kesalahan atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh seseorang dikenal dalam bahasa Belanda sebagai “strafbaar feit” yang berarti peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang dapat dihukum, delik, tindak pidana, dan lain-lain. Namun istilah-istilah tersebut tidak lain adalah merupakan suatu kejahatan. Kejahatan merupakan perbuatan melanggar hukum dan tata tertib dalam pergaulan masyarakat. Dan setiap pelanggaran hukum ada sanksinya. Demikian juga halnya perbuatan pencurian arca yaitu pelaku pencurian dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang melakukannya, yaitu sesuai dengan apa yang dipaparkan di atas yakni : a. Pencuri arca tersebut jelas telah melakukan perbuatan pidana, perbuatan yang bersifat melawan hukum. b. Pencuri arca tersebut mampu bertanggungjawab. Universitas Sumatera Utara c. Pencuri arca tersebut melakukan perbuatan dengan sengaja atau karena kealpaannya kurang hati-hati. d. Pencuri arca tersebut tidak dikecualikan dalam hukuman. Keberadaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya pada dasarnya ditujukan bagi mengantisipasi terhadap semakin meluasnya bentuk-bentuk pelanggaran terhadap benda cagar budaya termasuk arca. Hanya saja sebagaimana dijelaskan di atas bahwa keberadaan Undang- Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya hanya bersifat sebagai landasan hukum bagi menjerat pelaku tindak pidana pencurian arca bukan sebagai suatu sistem bagi penegakan hukum pidana itu sendiri. Kondisi inilah yang menjadikan dilema masalah penegakan hukum di Indonesia, sehingga acap kali terjadi suatu undang-undang dilahirkan untuk mengantisipasi perkembangan kejahatan tetapi tidak memberikan konstribusi terhadap kualitas dan kuantitas daripada kejahatan itu sendiri karena belum sepenuhnya ketentuan perundang-undangan tersebut diterapkan termasuk dalam menentukan jenis lama hukuman kepada pelaku suatu tindak pidana termasuk pelaku tindak pidana pencurian arca di museum. Universitas Sumatera Utara

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN