MICE Kunjungan Wisatawan KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

28 No Kelompok dan Nama BPW 75 Pranayama Ayumjay 76 Padma Nuansa Wisata TT 77 Pearl Tour Travel 78 Pollow Indonesia 79 Prima Indo Wisata 80 Rama Wira Perdana 81 Rivon Angkasa Jaya Abadi 82 Sarana Nusa Wisata 83 Sinar Wahana Bali 84 STO Travel 85 Selamat Jalan Tour Bali 86 Siam Moters International Travel 87 Susana Tour Travel 88 Top Bali Citra Wisata 89 Tria Uma Wisata 90 Tropical Sejahtera 91 Trinita Dunia Wisata 92 Valencia Intan Permata 93 Varia Indo Perdana Wisata PT. 94 Windys Bali Dewata Agung 95 Wina Graha Wisesa Travel

c. MICE

Perkembangan MICE di Kabupaten Badung sudah mencapai hasil yang cukup menggembirakan. Adanya elemen-elemen pariwisata terkait seperti Dinas Pariwisata yang juga telah bekerja sama dengan Bali Hotels Association, INCCA Indonesia Congress and Convention Association, ASITA, Perhimpunan Hotel dan Restoran PHRI, dan institusi serupa, membuat Kabupaten Badung menjadi tujuan MICE di dunia nantinya. Hal ini terbukti dengan banyaknya kegiatan dunia yang diselenggarakan di Kabupaten Badung seperti UNFCC dan Asian Beach Games di Nusa Dua. Perkembangan dunia MICE di Bali dan khususnya Kabupaten Badung telah menjamah sektor perhotelan, hal ini dibuktikan dimana hampir semua hotel bintang 5 memiliki fasilitas standard meeting seperti meeting venue, dan departemen yang mengatur khusus berlangsungnya MICE di hotel tersebut.

d. Konsultan Pariwisata

Menurut penjelasan UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, terdapat definisi Konsultan Pariwisata, yaitu usaha yang menyediakan saran dan rekomendasi mengenai studi kelayakan, perencanaan, pengelolaan usaha, penelitian, dan pemasaran di bidang kepariwisataan. 29 Kegiatan usaha jasa konsultan pariwisata meliputi: studi kelayakan; perencanaan; pengawasan; manajemen; dan penelitian. Lingkup usaha jasa konsultan pariwisata meliputi bidang: usaha jasa pariwisata; pengusahaan obyek dan daya tarik wisata; serta usaha sarana wisata. Usaha jasa konsultan pariwisata diselenggarakan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas PT atau koperasi yang maksud dan tujuannya tercantum dalam akte pendirian. Usaha jasa konsultan pariwisata terbuka untuk Penanaman Modal Asing PMA dan Penanaman Modal Dalam Negeri PMDN yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan undang-undang yang berlaku. Berikut adalah Konsultan Pariwisata yang terdapat di Kabupaten Badung. Tabel 2.7 Daftar Konsultan Pariwisata di Kabupaten Badung Tahun 2011 No Konsultan Pariwisata 1 Exotic Konsulting Indonesia 2 Globalindo Nusantara 3 Success 569 Sumber : Data Direktori Dinas Pariwisata Prov. Bali, 2011

3. Pemasaran Pariwisata

a. Kunjungan Wisatawan

Jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Kabupaten Badung melalui Bandara Ngurah Rai setiap tahun mengalami peningkatan, sedangkan jumlah wisatawan nusantara mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2009 wisatawan nusantara yang datang sebanyak 212.375 orang, pada tahun 2011 sebanyak 509.328 orang atau mengalami peningkatan lebih dari 2 dua kali lipat. Sedangkan wisatawan mancanegara yang datang pada tahun 2007 sebanyak 1.668.531 orang dan pada Tahun 2011 sebanyak 2.826.709 atau meningkat sebesar 69,41. Jumlah data kunjungan wisatawan nusantara dan mancanegara ke Kabupaten Badung dapat dilihat padaTabel 2.7. Tabel 2.8 Data Kunjungan Wisatawan Nusantara ke Kabupaten Badung Tahun 2009-2011 No. Bulan Tahun 2009 2010 2011 1 Januari 20.100 18.112 22.533 2 Pebruari 20.135 18.480 24.529 30 3 Maret 15.356 17.775 20.616 4 April 11.710 17.151 28.688 5 Mei 16.324 10.995 28.215 6 Juni 5.722 27.062 36.878 7 Juli 20.846 27.483 34.234 8 Agustus 17.712 17.187 27.606 9 September 19.113 23.252 89.815 10 Oktober 19.245 21.355 50.155 11 Nopember 19.478 26.696 87.952 12 Desember 26.634 26.949 58.107 JUMLAH 212.375 252.497 509.328 Sumber : Badung dalam Angka, 2012 Tabel 2.9. Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Kab. Badung Tahun 2007-2011 No. Bulan Jumlah 2007 2008 2009 2010 2011 1. Januari 109.875 140.275 164.962 170.170 209.093 2. Februari 118.483 153.757 139.282 182.566 207.195 3. Maret 119.458 153.534 159.315 192.745 207.907 4. April 125.393 147.836 179.889 185.675 224.704 5. Mei 129.039 160.223 182.337 200.608 209.058 6. Juni 145.500 171.301 189.734 225.976 245.652 7. Juli 164.972 183.325 224.955 253.696 283.524 8. Agustus 167.031 187.879 222.760 244.616 258.337 9. September 152.804 181.314 208.220 231.329 258.440 10. Oktober 146.385 181.084 211.132 231.221 247.565 11. November 142.124 164.920 175.489 198.279 221.603 12. Desember 147.467 166.851 211.142 218.281 253.591 JUMLAH 1.668.531 1.992.299 2.269.217 2.535.162 2.826.709 Sumber : Badung dalam Angka, 2012 b. Jumlah Pengeluaran Wisatawan Menurut data Neraca Satelit Pariwisata Daerah NESPARDA Kabupaten Badung Tahun 2010 yang diterbitkan oleh BPS Kabupaten Badung, tercatat bahwa sebanyak 1,795 juta orang wisatawan nusantara dan 1,67 juta orang wisatawan mancanegara ke Kabupaten Badung pada tahun yang sama, yaitu tahun 2010.Pengeluaran wisatawan nusantara per harinya adalah Rp. 409.000,00, dengan lama tinggal selama 5,06 hari. Sedangkan lama tinggal wisatawan mancanegara di Kabupaten Badung adalah 6,08 hari dengan pengeluaran sebesar US128,14. Maka disimpulkan jika total pengeluaran wisatawan nusantara pada tahun 2010 31 adalah sebesar Rp. 3,72 triliun, sedangkan pengeluaran wisatawan mancanegara adalah sebesar Rp. 13,08 triliun asumsi Rp. 9.000,00. Tabel 2.10. Pengeluaran Wisatawan Mancanegara Tahun 2010 No. Rincian Pengeluaran Jumlah juta rupiah Distribusi 1. Akomodasi 5.570.074,41 42,57 2. Makanan dan Minuman 941.291,55 7,19 3. Penerbangan Domestik 4.515.304,21 34,51 4. Transport Lokal 166.872,95 1,28 5. Belanja 619.297,25 4,73 6. Hiburan 212.144,61 1,62 7. Kesehatan dan Kecantikan 138.146,99 1,06 8. Pendidikan 14.392,28 0,11 9. Paket Wisata Lokal 61.043,62 0,47 10. Tamasya 97.066,05 0,74 11. Pramuwisata 41.909,85 0,32 12. Souvenir 475.480,78 3,63 13. Lainnya 230.228,91 1,76 Total 13.083.253,47 100,00 Sumber : Nesparda Kabupaten Badung, 2010 Tabel 2.11 Pengeluaran Wisatawan Nusantara Tahun 2010 No. Rincian Pengeluaran Jumlah juta rupiah Distribusi 1. Akomodasi 838.733,99 22,53 2. Makanan dan Minuman 259.080,14 6,96 3. Angkutan Darat 135.672,39 3,64 4. Angkutan K.A. 852,81 0,02 5. Angkutan Air 13.547,87 0,36 6. Angkutan Udara 1.761.823,99 47,32 7. Bahan Bakar Pelumas 123.649,15 3,32 8. Sewa Kendaraan 29.084,26 0,78 9. Jasa Perbaikan Kendaraan 7.323,31 0,20 10. Paket Perjalanan 222.177,22 5,97 11. Pramuwisata 1.040,01 0,03 12. Pertunjukan Seni 402,70 0,01 13. Museum dan Jasa Kebudayaan 8.969,30 0,24 14. Jasa Hiburan Rekreasi 46.989,90 1,26 15. BelanjaCinderamata 207.488,36 5,57 16. Lainnya 66.522,93 1,79 Total 3.723.358,32 100,00 Sumber : Nesparda Kabupaten Badung, 2010 32 Berdasarkan Tabel di atas, yang memaparkan tentang distribusi pengeluaran wisatawan mancanegara, disimpulkan jika pengeluaran terbesar wisman terdistribusi pada akomodasi, yaitu sebesar 42,57. Kemudian disusul penerbangan domestik, sebesar 34,51, serta pengeluaran untuk makanan dan minuman sebesar 7,19. Sedangkan Tabel 2.10. , yang memaparkan tentang distribusi pengeluaran wisatawan nusantara, disimpulkan jika pengeluaran terbesar wisnus terdistribusi pada angkutan udara sebesar 47,32, disusul akomodasi sebesar 22,53, , serta pengeluaran untuk makanan dan minuman sebesar 6,96. 4. Kelembagaan Kepariwisataan Kelembagaan Kepariwisataan merupakan suatu integrasi antara pemerintah, organisasi, pelaku pariwisata, peraturan, dan teknis pelaksanaan, yang berlangsung secara terus-menerus, agar tujuan kepariwisataan dapat tercapai. Organisasi kepariwisataan yang ada di Kabupaten Badung terdiri dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia PHRI, BPPD, Pengelola DTW, dan POKDARWIS. 2.4. Kajian terhadap implikasi penerapan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan yang akan diatur dalam peraturan daerah terhadap aspek ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan. Pariwisata telah diakui sebagai lokomotif pembangunan ekonomi dibanyak negara berkembang di dunia, dan para ahli menjadikan industri tanpa asap smokeless industry ini sebagai paspor menuju pembangunan. Sebagai industri terbesar di dunia, pariwisata dianggap sebagai sarana untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dengan manfaat yang sangat signifikan di bidang ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan, serta memberi kesempatan seluas luasnya bagi masyarakat lokal untuk meningkatkan kesejahteraannya Sharpley, 2002. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, digariskan dengan tegas bahwa kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup di masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional. Hal ini selanjutnya dijabarkan dalam PP Nomor 50 tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 – 2025, dimana terdapat empat hal pokok yang menjadi perhatian dalam pembangunan kepariwisataan di Indonesia, yakni aspek: destinasi; industri; pemasaran dan promosi; serta kelembagaan. 33 Penegasan serta penjabaran tersebut mengindikasikan tentang pentingnya perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata sedemikian rupa agar pembangunannya dapat berkelanjutan dan memberikan manfaat optimal kepada masyarakat. Perencanan dan pengelolaan destinasi maupun daya tarik wisata secara profesional dan berkelanjutan, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan akan menentukan tiga hal pokok berikut, yakni: a keunggulan daya tarik destinasi tersebut bagi pasar wisatawan; b manfaatnya secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat dan daerah; serta c daya saingnya di antara pasar destinasi pariwisata international Damanik Teguh, 2012. Sejumlah alasan penting kenapa prinsip-prinsip keberlanjutan sustainability perlu diterapkan dalam pengelolaan destinasi pariwisata khususnya di Indonesia: pertama semakin tajamnya kompetisi destinasi di tingkat global maupun nasional; kedua tingginya variasi dan ketimpangan perkembangan destinasi pariwisata di tanah air; dan ketiga rendahnya daya saing pariwisata Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Apabila destinasi pariwisata tidak dikelola secara professional dalam kerangka keberlanjutan, maka akan sulit diharapkan destinasi tersebut memiliki daya saing tinggi dalam jangka panjang Osmanovic, Kenjic, Zrnic, 2010. Mengelola destinasi pariwisata agar dapat berkelanjutan sangat ditentukan oleh pandangan ke depan dari kebijakan forward-looking policies dan philosopi manajemen yang dianut, yang mampu membangun hubungan harmonis antara masyarakat lokal, sektor usaha swasta, dan pemerintah. Keharmonisan hubungan tersebut berkaitan erat dengan praktik-praktik pembangunan guna meningkatkan manfaat ekonomi yang selaras dengan perlindungan terhadap alam, sosial budaya, dan lingkungan, sehingga kehidupan masyarakat lokal maupun destinasi dapat meningkat kualitasnya Edgell, Allen, Smith, Swanson, 2008. Pertanyaannya adalah apakah mungkin destinasi pariwisata tersebut berkelanjutan secara ekonomi bagi pelaku usaha pariwisata dan masyarakat lokal, sementara dalam waktu yang bersamaan pembangunan tersebut sangat peka terhadap isu-isu lingkungan, budaya dan sosial? Menurut Edgell, S.L,. 2006 jawaban singkatnya adalah sangat mungkin, karena kebijakan pariwisata berkelanjutan harus ditentukan oleh kondisi alam dan lingkungan terbangun, disertai dengan perlindungan terhadap keberlanjutan masyarakat lokal. Edgell, selanjutnya menguraikan bahwa lebih dari sekedar kepentingan ekonomi, kebijakan pembangunan destinasi pariwisata harus fokus pada prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan, yakni: 1 memanfaatkan secara optimum sumberdaya lingkungan, memelihara proses-preses ekologi essential, dan melakukan konservasi terhadap natural heritage dan keragaman biologi; 2 menghargai keaslian nilai-nilai sosial budaya dari komunitas lokal, melakukan konservasi terhadap bangunan dan living cultural heritage serta nilai-nilai tradisional, berkontribusi pada pemahaman antar budaya dan adanya sikap saling menghargai; dan 3 memastikan dalam jangka panjang akan memberikan manfaat sosial ekonomi secara layak kepada semua pemangku kepentingan 34 dengan distribusi yang adil, termasuk kesempatan kerja yang stabil dan kesempatan memperoleh penghasilan, serta berkontribusi kepada upaya pengentasan kemiskinan. Pembangunan pariwisata berkelanjutan membutuhkan partisipasi dari seluruh stakeholders serta kepemimpinan politik yang kuat untuk memastikan adanya partisipasi yang luas dalam membangun konsensus bersama. Pembangunan berkelanjutan merupakan proses yang terus menerus dan membutuhkan monitoring yang tidak pernah berhenti terhadap dampak-dampak yang ditimbulkannya. Dari perspektif manajemen destinasi pariwisata, karakteristik produk wisata yang berbeda dengan produk jasa lainnya, membutuhkan implementasi pengelolaan yang ketat dan berbeda, karena pada dasarnya manajemen destinasi pariwisata bertujuan untuk menjamin kualitas destinasi itu sendiri dan kepuasan berwisata. Secara singkat, tujuan pengelolaan destinasi dapat dibagi menjadi dua: pertama untuk melindungi asset, dan sumberdaya wisata dari penurunan mutu dan manfaat bagi pengelola, masyarakat lokal, maupun wisatawan; kedua meningkatkan daya saing destinasi pariwisata melalui tawaran pengalaman berwisata yang berkualitas kepada wisatawan. Semakin tinggi kualitas pengalaman yang dapat ditawarkan, maka semakin tinggi pula potensi daya saing destinasi tersebut. Daya saing yang tinggi inilah menjadi faktor kunci yang menjamin keberlanjutan perkembangan destinasi tersebut, karena jumlah wisatawan dan pengeluarannya akan terus meningkat, sehingga memberikan dampak positif kepada pelaku usaha, komunitas lokal, pemerintah, dan lingkungan setempat RAMBOLL Water Environment, 2003. Sejumlah manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan destinasi pariwisata yang dilakukan secara professional, antara lain: 1 meningkatnya kepuasan wisatawan sebagai akibat dari semakin baiknya kualitas pelayanan berwisata di destinasi; 2 meningkatnya daya saing destinasi, sehingga dapat menarik investor lebih banyak untuk menanamkan modalnya; 3 jaminan atas keberlanjutan ekonomi, sosial- budaya dan lingkungan semakin kuat; 4 ter-ciptanya kemitraan yang semakin kuat dari para pemangku kepentingan; dan 5 perbaikan serta inovasi secara terus menerus atas seluruh atribut destinasi pariwisata European Communities, 2003; Kim Lee, 2004; Anonim, 2007; Damanik Teguh, 2012. Berkaitan dengan upaya untuk mewujudkan tujuan pembangunan pariwisata berkelanjutan di Kabupaten Badung dengan berbagai manfaat di bidang ekonomi, sosial budaya maupun lingkungan hidup bagi masyarakat lokal dimana pembangunan tersebut dilaksanakan, maka diperlukan sejumlah kebijakan pemerintah yang akan dituangkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Kepariwisataan. Peraturan yang akan disusun diharapkan dapat mencarikan solusi terhadap berbagai isu penting mengenai kepariwisataan di Kabupaten Badung, yang selanjutnya dikelompokkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 dan dituangkan dalam aspek-aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup, sebagai berikut: 35 1.Aspek Ekonomi a. Adanya ketimpangan pembangunan antar wilayah Kabupaten Badung Bagian Utara, Tengah dan Selatan, yang berdampak pula terhadap ketim-pangan pendapatan masyarakat di wilayah-wilayah tersebut. Tingkat pendapatan per kapita masyarakat di Badung Selatan bisa jauh lebih tinggi daripada saudara-saudaranya di utara, sehingga ketimpangan ini apabila dibiarkan dapat memicu terjadinya berbagai permasalahan di bidang sosial dan keamanan di wilayah tersebut. b. Ketersedian akomodasi wisata yang melebihi kapasitas over supply terutama di Badung Selatan. Hal ini berdampak pada semakin rendahnya rataan harga kamar average room rate, sehingga berpengaruh terhadap yield dari usaha jasa akomodasi tersebut. Dalam jangka panjang hal ini berakibat pada turunnya keuntungan pengusaha, rendahnya take home pay karyawan, serta menurunnya pendapatan pajak pemerintah. c. Masifnya perkembangan akomodasi villa illegal yang juga memperparah kondisi supply jasa akomodasi di Kabupaten Badung. Selain memperburuk kondisi persaingan yang akan menekan harga kamar, potensi pajak pemerintah menjadi hilang, karena pengusaha jasa akomodasi yang illegal tersebut akan berusaha untuk menghindari pajak pemerintah. d. Pengembangan pasar untuk agrowisata, ekowisata dan desa wisata belum dilakukan. Selain konsep produk dari ke tiga jenis wisata tersebut belum jelas, variasi kegiatan wisata yang dapat dilakukan juga belum berkembang dengan baik. Hal tersebut berdampak pada masih sulitnya menyusun konsep pemasaran yang tepat dari produk- produk wisata yang sesungguhnya sangat potensial untuk dikembangkan di Badung. Belum lagi permasalahan keterpaduan antara stakeholders pariwisata dalam pemasaran yang belum terintegrasi, sehingga kegiatan pemasaran destinasi pariwisata di Kabupaten Badung dirasakan juga belum optimal. Pemanfaatan IT dalam pemasaran produk wisata di Badung perlu terus ditingkatkan, mengingat media ini relatif mudah dan murah serta sudah menjadi kebutuhan primer bagi sebagian besar masyarakat dunia. e. Peningkatan kualitas pariwisata melalui peningkatan lama tinggal length of Stay dan daya beli spending power wisatawan. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui peningkatan variasi produk dan kualitas daya tarik wisata yang ada, sehingga wisatawan bisa tinggal lebih lama pada destinasi di Kabupaten Badung.Pengeluarannyapun akan semakin banyak, karena berbagai variasi produk yang bisa mereka beli. f. Kemacetan lalu lintas terutama di Badung Selatan, serta alternatif moda trasportasi angkutan laut untuk mengatasi kemacetan sekaligus sebagai tambahan variasi atraksi wisata di Badung. Terfokusnya pembangunan sarana wisata di Badung selatan, berdampak buruk pada semakin tingginya intensitas kendaraan yang lalu lalang di wilayah tersebut, sehingga kemacetan lalu lintas tidak 36 dapat dihindari. Hal ini menimbulkan inefisiensi di bidang ekonomi, pencemaran udara, stress, dan dampak buruk lainnya. Dibutuhkan kebijakan yang bernas untuk mencari solusi terhadap persoalan yang semakin lama semakin memburuk tersebut, salah satunya adalah membangun moda trasportasi laut yang menghubungkan satu lokasi dengan lokasi lainnya di Badung maupun Kabupaten lainnya. g. Peningkatan SDM Pariwisata yang berbasis masyarakat belum optimal. Disinyalir oleh banyak pihak, bahwa SDM pariwisata terutama yang bersumber dari masyarakat lokal masih perlu ditingkatkan kualitasnya. Peningkatan kualitas SDM ini merupakan keniscayaan, mengingat tingkat persaingan pariwisata yang semakin tajam. Kemampuan pengelolaan manajemen daya tarik wisata yang ada di masyarakat terutama di perdesaan harus ditingkatkan secara berkelanjutan, sehingga mampu mengintepretasikan dengan baik daya tarik wisata yang ada di wilayah mereka, serta menghasilkan aktivitas wisata variatif yang dapat memberikan pengalaman berwisata unik kepada wisatawan. 2.Aspek Sosial Budaya a. Pelanggaran atas kawasan suci, sempadan jurang, dan sempadan pantai. Pembangunan sarana wisata yang dilakukan investor di beberapa kawasan pariwisata di Kabupaten Badung yang mengabaikan bhisama kawasan suci, dapat melukai perasaan Umat Hindu di Bali. Gangguan perasaan ini dapat menimbulkan berbagai persoalan di bidang sosial budaya, misalnya perasaan terganggu dan tidak nyaman mereka dalam melakukan persembahyangan karena keberadaan fasilitas wisata yang terlalu dekat dengan Pura yang merupakan tempat suci umat Hindu. Demikian pula kecenderungan para pengusaha yang membangun fasilitas wisatanya di tepi jurang dan melanggaar sempadan, yang bisa sangat berbahaya karena adanya kemungkinan longsor misalnya. Pembangunan sarana wisata seperti hotel, maupun restoran dan sarana wisata lainnya di banyak tempat di Badung juga tidak sedikit yang mengabaikan keselamatan dan estetika lingkungan, karena dibangun sangat berdekatan dengan bibir pantai melanggar sempadan pantai. Bahkan di wilayah Canggu ada hotel besar yang sengaja menutup memagari pantai, dengan alasan sudah mendapat dukungan Desa Adat. Hal-hal semacam ini perlu diatur dalam Peraturan Daerah agar tidak menjadi contoh buruk bagi daerah lainnya di Badung. b. Pelanggaran tata ruang wilayah. Banyak kasus di Kabupaten Badung yang wilayahnya sudah tidak cocok lagi dengan peruntukannya sesuai dengan ketentuan yang diatur pemerintah. Misalnya jalur hijau yang berubah menjadi kawasan permukiman dan kawasan perdagangan atau kawasan lainnya. Kondisi demikian tentu dapat mengacaukan tata ruang wilayah yang dapat berakibat buruk pada aktivitas manusia yang ada di dalamnya. c. Alih fungsi lahan pertanian ke fasilitas pariwisata. Bali sempat memperoleh predikan daerah yang mampu berswasembada beras. 37 Namun dalam beberapa tahun terakhir, hal tersebut sudah tidak lagi terdengar. Hal ini tentu terjadi sebagai akibat dari alih fungsi lahan pertanian yang konon terjadi lebih dari 1.000 ha setiap tahun. Pembangunan sarana prasarana wisata yang masif terjadi di Badung sebagai dampak dari pesatnya pertumbuhan kepariwisataan di Bali berakibat pada dialihkannya fungsi lahan pertanian tersebut menjadi fungsi lainnya. Padahal budaya pertanian di Bali dengan subak serta budaya turunannya menjadi daya tarik wisata yang dikagumi wisatawan dan menjadi sumberdaya wisata yang tiada habis- habisnya. Kondisi ini perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dalam bentuk pembuatan kebijakan yang dapat melindungi alih fungsi lahan tersebut, misalnya pembuatan Perda Pertanian Abadi dengan mengkonservasi daerah-daerah pertanian yang masih tersisa di Kabupaten Badung. d. Langgam bangunan gedung usaha pariwisata mengabaikan arsitektur tradisional Bali. Saat ini banyak bangunan sarana pariwisata maupun jenis bangunan lainnya khususnya yang ada di Kabupaten Badung, mengabaikan ciri khas bangunan Bali. Jika hal tersebut terus terabaikan maka Bali bisa kehilangan karakternya sebagai daerah tujuan wisata dengan branding wisata budaya. 3. Aspek Lingkungan a. Pengelolaan limbah belum mengikuti standar baku pengelolaan. Pesatnya pembangunan sarana wisata, khususnya di Badung selatan akan menyisakan limbah sebagai konsekuensi aktivitas yang dilakukannya. Bagi sarana wisata yang bertaraf international, masalah limbah mampu mereka atasi, sehingga hasil olahannya telah memenuhi persyaratan baku mutu limbah yang layak untuk dibuang ke lingkungan atau dimanfaatkan untuk kebutuhan lain, seperti untuk menyiram tanaman. Namun tidak sedikit sarana wisata lain yang hasil pengolahan limbahnya belum mampu memenuhi baku mutu lingkungan, bahkan diduga tidak sedikit sarana wisata yang tidak mengolah sama sekali limbah yang dihasilkannya. b. Terbatasnya sumber daya air permukaan dan penggunaan sumber daya tanah yang tidak terkendali. Hal ini merupakan masalah sangat serius terutama di Badung selatan yang pembangunan sarana wisata maupun permukimannya sangat masif. Keterbatasan ketersediaan air permukaan yang mampu disupply oleh perusahaan air minum, memaksa pengusaha di bidang pariwisata maupun masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya dengan membuat sumur dalam. Hal ini sangat berbahaya, karena apabila tidak terkendali, maka interusi air laut tidak akan terhindarkan. c. Kebersihan lingkungan daya tarik wisata yang tidak terjaga. Di beberapa daya tarik wisata yang ada di Kabupaten Badung masalah sampah menjadi persoalan serius, terutama sampah plastik. Perilaku masyarakat yang belum sadar terhadap masalah kebersihan lingkungan memperparah kondisi tersebut. Mereka dengan tanpa risih akan membuang sampah pada lokasi yang sepatutnya tidak 38 pantas dibuangi sampah. Di Pura Luhur Uluwatu misalnya, walaupun di areal pura cukup bersih, namun pemedek dengan seenaknya membuang sampah ke arah jurang di sisi utara pura. Di lokasi daya tarik wisata lain, misalnya Pantai Kuta, masalah sampah terutama saat musim angin barat tiba juga hampir-hampir tidak tertangani. Ke dua contoh tersebut membutuhkan penanganan serius dengan pembuatan sistem penanganan sampah terpadu, sehingga masalah sampah di DTW dapat tertangani dengan tuntas. d. Kemacatan lalu lintas di Badung Utara akibat pasar tumpah. Pasar tradisional dimana masyarakat menggelar barang dagangannya sampai ke pinggir jalan raya, serta para pembeli yang tidak sabar ingin cepat-cepat memperoleh barang yang dibutuhkannya, mengakibatkan aktivitas jual beli di pasar tersebut “tumpah” ke jalan raya. Kondisi pasar seperti ini dijumpai di beberapa wilayah Badung Utara Pasar Sibang Gede,Pasar Mambal, Pasar Blahkiuh, yang menghambat laju kendaraan wisatawan menuju daya tarik wisata yang ingin mereka kunjungi. e. Ketersediaan parkir yang sangat minim pada wilayah yang pariwisatanya berkembang pesat. Pada saat puncak-puncak kunjungan dimana wisatawan datang dalam jumlah banyak dan bersamaan waktunya, kendaraan mereka tidak bisa ditampung di areal parkir yang tersedia, sehingga kemacetan tidak bisa dihindarkan. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan keamanan, stress, dan terutama terhambatnya wisatawan menuju destinasi berikutnya yang mereka ingin kunjungi. f. Rawan bencana seperti: tsunami, banjir dan longsor. Pada musim hujan saat intensitas turunnya air hujan demikian tinggi, banjir sudah menjadi langganan di Bali dan pada beberapa wilayah Badung khususnya. Demikian juga tanah longsor terutama di Badung Utara yang kondisi topografinya berbukit, serta tanah yang labil. Di Wilayah Badung Selatan yang topografinya landai dengan ketinggian sampai 0 dpl, memiliki potensi yang cukup tinggi terjadi tsunami saat ada gempa bumi. Kondisi ini perlu diantisipasi terutama berkaitan dengan mekanisme peringatan dini dan penanganan pasca bencana. g. Higiene sanitasi belum diterapkan dengan optimal. Hal ini merupakan persoalan yang sangat serius terutama pada usaha pariwisata yang berhubungan dengan makanan dan minuman, seperti seafood cafe misalnya. Sudah cukup sering kejadian dimana guide maupun travel agent mengeluh complain kepada pengelola cafe karena tamu mereka sakit perut sampai dirawat di rumah sakit setelah mereka mengkonsumsi makanan di cafe tersebut. Selain merugikan para pengelola cafe karena mereka dimintai biaya perawatan tamu selama mereka dirawat di rumah sakit, yang terburuk adalah citra pariwisata Bali menjadi kurang baik. Pemerintah seharusnya menetapkan dengan tegas dan ketat standar higiene dan sanitasi bagi pengusaha restoran, rumah makan, cafe, atau dengan sebutan lain yang berusaha di wilayah Badung. 39 Pengawasan terhadap penerapan higiene dan sanitasi lingkungan inipun harus dilakukan secara berkesinambungan. h. Kurang tertatanya lay out bangunan restoran. Lay out bangunan restoran atau rumah makan perlu diatur agar bisa memenuhi paling tidak standar minimum yang dibutuhkan. Hal ini akan berpengaruh terhadap keamanan dan kenyamanan wisatawan yang berkunjung, selain dapat menimbulkan citra positif terhadap restoran dan rumah makan tersebut. 40

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT 3.1.Kajian Terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang Memuat Kondisi Hukum yang ada. Kajian berupa evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan terkait, dilakukan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Kabupaten Badung, serta untuk mengetahui posisi dari peraturan daerah yang baru, guna menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Kajian terhadap peraturan perundang- undangan yang memuat kondisi hukum yang ada, mempergunakan pendekatan perundangan-undangan dengan melihat jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan kewenangan pemerintah kabupaten tentang pengaturan kepariwisataan. Dengan mempergunakan rujukan ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 peraturan perundang-undangan dan rumusan norma yang berkaitan dengan kewenangan kabupaten bidang kepariwisataan, ditampilkan dalam tabel berikut dibawah ini Matrik 1. Peraturan Perundang-Undangan dan Rumusan Norma Yang Berkaitan Dengan Kewenangan Kabupaten Bidang Kepariwisataan. No Peraturan Perundang- Undangan Rumusan Normanya Analisis 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 ayat 6 Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan perundang- undangan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan Pemerintah daerah Kabupaten Badung mempunyai wewenang untuk menetapkan peraturan daerah tentang untuk melaksanakan otonomi. Dengan demikian Pemerintah Kabupaten Badung, mempunyai wewenang untuk menetapkan Peratuuran Daerah tentang Rencana Induk Pembangunan