Gambaran Penyesuaian Diri terhadap Istri yang Dipoligami

f. Dapat menolong Salah satu hikmah poligami adalah dapat menolong seseorang. Poligami dapat menolong para istri yang ditinggal mati oleh suaminya yang tidak memiliki ekonomi berkecukupan dan kehidupannya serba kekurangan. Dampak poligami juga dikemukakan oleh Cook 2007 yang menyatakan bahwa poligami memberikan dampak pada istri pertama dan anak-anaknya. Studi menunjukkan bahwa istri-istri pertama orang muslim di Timur Tengah tidak bahagia dengan pernikahan poligaminya dan ketidakbahagiaan tersebut menjelma dalam bentuk sakit secara fisik dan mental. Adanya poligami juga membuat para lelaki tidak menganggap serius sumpah yang diucapkan dalam pernikahannya. Pernikahan tradisional di Afrika bagian Sahara Afrika selatan, 1996 biasanya berbentuk poligami dan tidak diakui oleh pemerintah. Ketika seorang suami meninggal, istrinya tidak mendapatkan warisan, tidak mendapatkan hasil asuransi ataupun hak asuh anaknya. Selain itu poligami juga bisa berbahaya bagi anak-anak. Pollitt dalam Cook, 2007 menyatakan, poligami pada orang-orang Mormon di Amerika Serikat dikaitkan dengan incest dan kekerasan terhadap anak. Pelaku poligami di Afrika dikaitkan dengan feminisasi terhadap kemiskinan dan laju penyebaran AIDS.

C. Gambaran Penyesuaian Diri terhadap Istri yang Dipoligami

Menikah adalah suatu hal yang dijadikan salah satu pilihan hidup dari sekian banyak pilihan dalam kehidupan Lefrancois, 1993. Menurut Duvall dan Miller Universitas Sumatera Utara 1985 pernikahan adalah suatu bentuk hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang meliputi hubungan seksual, legitimasi untuk memiliki keturunan memiliki anak dan penetapan kewajiban yang dimiliki oleh masing- masing pasangan. Menurut Thalib 2008 terdapat dua model pernikahan. Model pertama adalah monogami yang merupakan perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan saja sebagai isterinya; dan seorang perempuan dengan seorang lelaki saja sebagai suaminya, tanpa ada perempuan lain yang menjadi madunya. Model kedua adalah poligami. Poligami berasal dari dari bahasa Yunani, poly atau polus berarti banyak dan gamein atau gamis yang berarti kawinperkawinan. Poligami sering kali dimaknai dengan pernikahan antara seorang laki-laki dengan beberapa perempuan Farida, 2008. DeGenova 2008 menyatakan bahwa terdapat dua tipe poligami, yaitu poliandri dan poligini. Poliandri yakni ketika seorang perempuan menikahi lebih dari satu laki-laki. Konsep poligini yakni ketika seorang laki-laki memiliki lebih dari satu istri. Akan tetapi, bentuk poligami yang paling umum adalah poligini Cook, 2007. Masyarakat juga cenderung mengartikan poligami sama dengan poligini suami memiliki banyak istri sehingga istilah poligami yang kemudian lebih banyak dipakai Farida, 2008. Penelitian yang dilakukan oleh Phillips dalam Cook, 2007 di Timur Tengah menunjukkan bahwa istri pertama pada keluarga poligami tidak bahagia dalam pernikahannya dan ketidakbahagiaan tersebut dimanifestasikan dengan hadirnya penyakit fisik dan mental. Selain itu, penelitian yang dilakukan Achate et.al dalam Elbedour, Bart, Hektner, 2003 menunjukkan adanya rasa Universitas Sumatera Utara kecemburuan, konflik, stres emosional, ketegangan, kegelisahan dan kecemasan yang besar pada istri dalam keluarga poligami. Yuliantini, dkk 2008 menyatakan konflik dalam pernikahan poligami merupakan sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Adanya perempuan lain dalam rumah tangga bisa menjadi salah satu sumber yang menyulut terjadinya konflik dalam pernikahan karena memicu munculnya rasa cemburu. Berada dalam pernikahan poligami menurut Al-Mohannadi dalam Al- Qatari, 2009 membuat istri merasa tidak diinginkan, hal ini menyebabkan sejumlah stres pada seluruh anggota keluarga. Selanjutnya dikatakan hal ini biasanya terlihat dari cara istri memperlakukan anak-anaknya yang dapat menimbulkan ketidakstabilan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ozkan et.al, 2006 menemukan bahwa pernikahan dalam bentuk poligami berdampak negatif terhadap para istri dalam pernikahan tersebut. Penelitian tersebut mengatakan bahwa istri yang berasal dari keluarga poligami cenderung mengalami distres psikologis gangguan somatisasi terutama pada istri pertama. Semua dampak ini tentu saja bervariasi pengaruhnya pada individu yang satu dengan yang lainnya, tergantung seberapa baik proses penyesuaian yang individu lakukan Wallerstein Kelly dalam Huges, 1985. Penyesuaian diri merupakan proses yang akan terjadi ketika individu mengalami perubahan dalam kehidupannya. Perubahan dalam kehidupan menurut Holmes dan Holmes dalam Calhoun Acocella, 1990 akan memunculkan berbagai masalah yang kalau tidak diselesaikan akan memunculkan keputusasaan dan krisis psikologis lainnya. Holmes dan Richard dalam Calhoun Acocella, Universitas Sumatera Utara 1990 menemukan bahwa peristiwa perkawinan, pertambahan anggota keluarga baru, dan perubahan kondisi kehidupan merupakan peristiwa hidup yang membutuhkan penyesuaian diri. Daradjat 1983 mengatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamika yang digunakan individu untuk mengatasi tekanan-tekanan yang terjadi pada dirinya. Penyesuaian diri Daradjat, 1983 memiliki dua aspek yaitu penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial. Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Penyesuaian sosial adalah bagaimana individu mampu mengikuti ketentuan dan kaidah-kaidah kelompoknya, atau kemampuannya dalam membuat hubungan sosial yang menyenangkan dengan orang yang berhubungan dengannya. Menurut Weiten dan Lloyd 2006 penyesuaian diri merupakan proses psikologis yang dilakukan oleh individu dalam mengatur atau mengatasi kebutuhan dan tantangan dalam kehidupannya sehari-hari. Penyesuian diri berhubungan dengan bagaimana individu mengatur atau mengatasi berbagai kebutuhan dan tekanan. Daradjat 1983 mengatakan individu yang dalam tahap pertumbuhannya menghadapi tekanan lebih daripada kebiasaan orang lain akan membuatnya kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri. Selanjutnya dikatakan bahwa kegagalan dalam penyesuaian diri adalah akibat tekanan-tekanan yang telah menghimpit individu. Sundari 2005 mengatakan individu yang gagal dalam menyesuaikan diri akan menjadi tidak tenang bila menghadapi suatu masalah, tidak mampu Universitas Sumatera Utara mengendalikan emosi, mengalami frustasi, konflik atau kecemasan. Individu yang mampu menyesuaikan diri akan mampu menyeimbangkan antara kebutuhan internal dan eksternal, mampu memecahkan masalah dengan rasio dan emosi yang terkendali serta bersikap realistis dan objektif Sundari, 2005. Tujuan dari proses penyesuaian adalah untuk mendapatkan keseimbangan Patty Johnson, 1953. Kesehatan mental dalam arti yang luas mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri, dan penyesuaian diri dengan orang lain dalam keluarga, pekerjaan, dan masyarakat luas Daradjat, 1983. Penelitian Al-Krenawi dan Nevo 2006 mengenai keberhasilan dan kegagalan pada keluaga poligami memuat beberapa pokok-pokok penting seperti faktor-faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya proses penyesuaian diri istri yang dipoligami yaitu faktor agama, keyakinan bahwa poligami sebagai aturan dari Tuhan atau takdir, sikap adil suami dalam berbagi, faktor tempat tinggal, dan sikap saling menghargai antar istri. Lazarus dan Folkman dalam Morgan, 1986 mengatakan bahwa penyesuaian diri seorang individu dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti: stres, tuntutan fisik, dan tuntutan sosial. Selanjutnya Lazarus dan Folkman dalam Morgan, 1986 menambahkan selain hal-hal tersebut penyesuaian diri individu terhadap suatu lingkungan juga cenderung berbeda antar individu, hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti : Etnis atau latar belakang suku, usia, dan kelas sosial. Universitas Sumatera Utara

C. Paradigma Penelitian