C. Akibat Hukum Perkawinan
1. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Adanya suatu perkawinan yang sah menurut agama, kepercayaan dan hukum, maka perkawinan itu akan membawa pada akibat-akibat hukum tertentu.
Akibat-akibat hukum itu adalah timbulnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum tertentu baik di pihak suami maupun di pihak istri dalam hal sebagai
berikut : a.
Hubungan suami-isteri.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terdapat ketentuan yang
mengatur mengenai hubungan suami-istri di dalam suatu ikatan perkawinan, yaitu dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34.
Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat Pasal 30 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974. Hal ini berarti suami-istri harus berusaha untuk sedapat mungkin mempertahankan keutuhan kehidupan perkawinan dan rumah
tangga mereka. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup perkawinan, suami- istri berkewajiban untuk saling cinta mencintai, hormat-menghormati, setia dan
saling memberi bantuan lahir batin. Selain itu suami-istri juga harus tinggal bersama dalam suatu rumah kediaman yang ditentukan bersama-sama.
Kedudukan suami-istri adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bermasyarakat Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974. Dengan adanya ketentuan ini, tidak ada lagi dominasi dari salah satu pihak dalam kehidupan perkawinan. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan
Universitas Sumatera Utara
perbuatan hukum. Suami maupun istri mempunyai kesempatan yang sama untuk mengajukan gugatan kepada Pengadilan apabila salah satu pihak melalaikan
kewajibannya. Hak dan kewajiban suami-isteri dalam hubungan rumah tangga sebagai
suami isteri marital relationship. Jika dihubungkan dengan Pasal 33 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 hubungan kekeluargaan suami isteri dalam hidup berumah tangga dapat dipisahkan dalam 3 pemisahan sekalipun pemisahan hak dan kewajiban antara
yang satu dengan yang lain saling berhubungan dalam kaitan kehidupan suami- isteri dalam kesatuan arti yang semestinya. Sebab setiap kewajiban suami akan
membawa hak kepada isteri, dan kewajiban isteri juga dengan sendirinya akan menerbitkan hak kepada suami. Akan tetapi demikianpun memperhatikan Pasal
33 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dipisahkan hak dan kewajiban marital relationship itu dalam:
1 Kewajiban suami-isteri di antara sesama mereka dalam arti yang umum.
Hubungan kewajiban ini adalah hubungan yang lebih bersifat pribadi di antara suami isteri ditinjau dari sudut kemanusiaan, baik dari segi psikologis dan
biologis. Berdasarkan rumusan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 : suami-isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia
dan memberikan bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain. Memang siapapun sudah mengerti bahwa perkawinan itu adalah hubungan yang bersifat
pribadi personal relationship antara dua manusia yang berlainan jenis kelamin ditinjau dari satu segi, jadi dari segi biologisnya hubungan
Universitas Sumatera Utara
perkawinan itu adalah hubungan dua jenis kelamin yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Tapi dari segi yang lain hubungan itu sekaligus
hubungan kejiwaan psychological relationship, yang mengharuskan mereka harga menghargai dan hormat menghormati serta cinta mencintai.
2 Harus saling hormat-menghormati.
Hal ini sudah sepantasnya. Apalagi suami isteri baik alam kehidupan rumah tangga dan di luar kehidupan rumah tangga mempunyai kedudukan yang
sama. Sama-sama manusia yang dilahirkan tanpa perbedaan derajat. Baik suami maupun isteri adalah manusia yang dianugerahi budi murni. Tidak ada
perbedaan kualitas baik dari segi jasmani maupun rohaniah. Yang ada hanyalah perbedaan fungsional yang akan menjalin mereka dalam suatu
kehidupan bersama yang harmonis. 3
Wajib setia di antara suami-isteri. Penafsiran setia dari segi hukum erat sekali hubungannya dengan pengertian
amanah yang bersumber dari kesucian hati untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan yang berupa penghianatan apa sajapun terhadap kesucian rumah
tangga. Saling percaya mempercayai yang menjadikan pasangan itu merasa tenang dan puas pada yang lain. Merasa senang seperti seorang yang tinggal
ditempat kediaman yang aman.
26
Berdasarkan kodrat dan untuk pembagian kerja, maka antara suami dan istri diberikan perbedaan. Suami merupakan kepala keluarga yang berkewajiban
untuk melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
26
M.. Yahya Harahap,
Op.Cit
, halaman 102-105
Universitas Sumatera Utara
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Istri merupakan ibu rumah tangga yang berkewajiban untuk mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik -baiknya.
b. Harta benda dalam perkawinan.
Di samping soal hak dan kewajiban, persoalan harta benda juga merupakan pokok pangkal yang dapat menimbulkan berbagai perselisihan atau
ketegangan dalam hidup perkawinan, sehingga mungkin akan menghilangkan kerukunan hidup rumah tangga.
27
Oleh karena itu, Undang-undang Perkawinan dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
memberikan ketentuan-ketentuan mengenai harta benda perkawinan. Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, berbunyi:
1 Harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan menjadi harta
bersama. 2
Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah
penguasaan masing-masing si penerima para pihak tidak menentukan lain. Dari bunyi Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut maka
harta benda dalam perkawinan dibedakan menjadi 2 dua macam, yaitu harta bersama dan harta bawaan.
Harta bersama merupakan salah satu macam dari sekian banyak harta yang dimiliki oleh seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari, harta mempunyai arti
penting bagi seseorang karena dengan memiliki harta dia dapat memenuhi kebutuhan hidup secara wajar dan memperoleh status sosial yang baik dalam
masyarakat. Arti penting tersebut tidak hanya dari segi kegunaannya aspek
27
Ibid,
halaman 106.
Universitas Sumatera Utara
ekonomi melainkan juga dari segi keteraturannya segi hukum. Secara ekonomi orang sudah biasa bergelut dengan dengan harta yang dimilikinya, tetapi secara
hukum orang mungkin belum banyak memahami aturan hukum yang mengatur tentang harta, apalagi harta yang di dapat suami-istri selama masa perkawinan.
28
Harta tersebut akan menjadi harta bersama jika tidak ada perjanjian mengenai status harta tersebut sebelum ada pada saat dilangsungkan pernikahan,
seperti yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, kecuali harta yang di dapat itu diperoleh dari hadiah atau warisan atau bawaan
masing-masing suami-istri yang dimiliki sebelum dilangsungkannya perkawinan sebagaimana dijelaskan di atas yang tercantum dalam Pasal 35 ayat 2 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974. Membahas masalah harta bersama sangat penting dalam kehidupan rumah
tangga. Masalah ini bisa menyangkut pengurusan, penggunaan, dan pembagian harta bersama jika ternyata hubungan perkawinan pasangan suami-
istri “bubar”, baik karena perceraian maupun kematian.
29
Pasangan suami-istri yang bercerai biasanya disibukkan dengan urusan pembagian harta bersama. Bahkan, sering
terjadi di masyarakat, masalah ini kerap menyebabkan proses perceraian menjadi berbelit-belit. Perceraian yang hanya tinggal selangkah lagi justru malah semakin
runyam. Mereka berdebat dan mempersoalkan masalah harta yang menjadi bagiannya.
28
A. Damanhuri HR,
Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama
, Mandar Maju, Bandung, 2007, halaman 27.
29
Abdulkadir Muhammad,
Hukum Harta Kekayaan,
PT. Citra Aditya, Bandung, 2004,
halaman 9.
Universitas Sumatera Utara
Selain harta bersama juga diatur tentang harta bawaan. Harta bawaan adalah harta benda milik masing-masing suami dan istri yang diperoleh sebelum
terjadinya perkawinan atau yang diperoleh sebagai warisan dan hadiah.
30
Undang-undang Perkawinan Pasal 35 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur, “Harta bawaan masing-masing suami dan istri serta dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain
.” Berdasarkan ketentuan ini, suami dan istri berhak memiliki sepenuhnya harta
bawaannya masing-masing, asalkan tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Dalam hal ini, yang termasuk harta milik pribadi masing-masing suami- istri tersebut adalah :
1 Harta yang dibawa masing-masing kedalam perkawinan termasuk di
dalamnya hutang-hutang yang belum dilunasi. 2
Harta benda yang diperoleh sebagai hadiahpemberian kecuali ditentukan lain.
3 Warisan yang diperoleh masing-masing, kecuali ditentukan lain.
4 Hasil-hasil dari milik pribadi masing-masing sepanjang perkawinan
berlangsung, termasuk hutang-hutang yang ditimbulkan dalam melakukan pengurusan harta milik pribadi tersebut.
31
Harta bawaan bukan termasuk dalam klasifikasi harta bersama. Suamiistri berhak mempergunakan harta bawaannya masing-masing dan juga dapat
melakukan perbuatan hukum terhadapnya. Dasarnya adalah Undang-undang Perkawinan Pasal 36 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
, “Mengenai
30
Ibid,
halaman 10.
31
A. Damanhuri HR,
Op. Cit
., halaman 66
Universitas Sumatera Utara
harta bawaan masing-masing, suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya
.” Harta bawaan bisa saja menjadi harta bersama jika pasangan calon
pengantin menentukan hal demikian dalam perjanjian perkawinan yang mereka buat. Atau dengan kata lain, perjanjian perkawinan yang mereka sepakati
menentukan adanya peleburan persatuan antara harta bawaan dan harta bersama.
32
c. Anak.
Dalam hal suatu perkawinan itu akan melahirkan seorang anak, maka kedudukan anak serta bagaimana hubungan antara orang tua dengan anak akan
menjadi persoalan. Anak-anak yang lahir sebagai suatu hasil dari ikatan perkawinan yang sah merupakan anak sah bagi orang tuanya, maka antara anak
dengan orang tuanya tersebut mempunyai hubungan hukum, yaitu mengenai hak dan kewajiban, seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 45 sampai dengan Pasal
49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa orang
tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri atau sampai mencapai umur 18 tahun.
Kewajiban orang tua itu berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus karena perceraian atau kematian. Kekuasaan orang tua juga meliputi untuk
mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Kewajiban orang tua memelihara anak meliputi pengawasan atau
32
Happy Susanto,
Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian
, Transmedia Pustaka, Jakarta, 2008, halaman 14
Universitas Sumatera Utara
menjaga keselamatan jasmani dan rohani, pelayanan dalam arti yang luas yaitu kebutuhan primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan anak dan tingkat sosial
ekonomi orang tua anak itu. Kemudian kewajiban anak itu merupakan hak bagi orang tua, yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 46, menyatakan 1 Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak
mereka yang baik. 2 Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka
memerlukan bantuannya. Di samping kewajiban untuk memelihara dan mendidik tersebut, orang tua
juga menguasai anaknya yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pemah melangsungkan perkawinan. Kekuasaan orang tua ini meliputi juga untuk
mewakili anak yang belum dewasa ini dalam melakukan perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Meskipun demikian kekuasaan orang tua ada batasnya yaitu tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya yang
belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya Pasal 48 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974. Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua terhadap anaknya dapat dicabut untuk waktu tertentu, apabila ia sangat melalaikan kewajibannya
terhadap anaknya atau berkelakuan buruk sekali.
33
Pencabutan kekuasaan orang tua terhadap seorang anaknya ini dilakukan dengan keputusan pengadilan atas
33
M. Yahya Harahap,
Op.Cit
, halaman 79.
Universitas Sumatera Utara
permintaan orang tua yang lain keluarga dalam garis turns keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau penjabat yang berwenang. Kekuasaan orang tua
yang dicabut ini tidak termasuk kekuasaan sebagai wali nikah. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, namun mereka masih tetap kewajiban untuk memberi
biaya pemeliharaan anaknya tersebut Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Sebaliknya, anak tidak hanya mempunyai hak terhadap orang tuanya, akan
tetapi juga mempunyai kewajiban. Kewajiban anak yang utama terhadap orang tuanya adalah menghormati dan mentaati kehendak yang baik dari orang tuanya.
Dan bila mana anak telah dewasa ia wajib memelihara orang tuanya dengan sebaik-baiknya menurut kemampuannya. Bahkan anak juga berkewajiban untuk
memelihara keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka ini memerlukan bantuannya Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam.
a.
Hubungan suami-isteri.
Pernikahan yang dilangsungkan dengan persyaratan dan dengan rukunnya yang sempurna menjadi sah berikutnya mempunyai akibat hukum
yang mengikat berupa hak dan kewajiban baik yang ada pada suami saja, isteri saja maupun yang ada pada keduanya, dua pihak secara bersama.
Mengenai hak dan kewajiban yang ada pada kedua-duanya secara bersama adalah bebas bergaul, kerjasama dan bermusyawarah. Karena
pernikahan sah mengakibatkan kedua belah pihak menjadi halal boleh bergaul yang meskipun diharamkan sebelum akad nikah itu dilangsungkan seperti
bersenggama dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 77 Kompilasi Hukum Islam ditentukan mengenai hak dan kedudukan suami bersama isteri yaitu sebagai berikut :
1 Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
2 Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. 3
Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani
kecerdasannya dan pendidikan agamanya. 4
Suami isteri wajib memelihara kehormatannya. 5
Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Syariat Islam di dalam mengatur hak dan kedudukan suami bersama isteri
yang seimbang demikian tersimpul dan tercermin dari perkenaan syariat kepada kedua belah pihak untuk mengambil ketetapan melalui permusyawaratan di
antara mereka. Dengan demikian sebagai suatu perikatan, akad nikah menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban di antara kedua pihak
yang berakad. Apa yang menjadi hak pihak pertama akan menjadi kewajiban pihak kedua dan sebaliknya. Jadi apa yang menjadi hak isteri semuanya adalah
menjadi kewajiban suami. Nafkah berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal menjadi hak isteri maka hal ini menjadi kewajiban suami.
Menurut Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa : 1
Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangga, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting diputuskan
oleh suami isteri bersama. 2
Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu kebutuhan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3 Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan
memberikan kesempatan mempelajari pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
4 Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a Nafkah, kiswah pakaian dan tempat kediaman bagi isteri.
Universitas Sumatera Utara
b Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi
isteri dan anak c
Biaya pendidikan bagi anak. Selanjutnya yang menjadi kewajiban isteri adalah harus taat kepada
suami. Pasal 83 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa kewajiban utama isteri adalah :
1 Berbakti lahir dan bathin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan
oleh hukum Islam. 2
Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
b. Harta benda dalam perkawinan.
Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik
masing-masing suami atau isteri. Pasal 86 menyebutkan : 1
Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
2 Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga
harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya. Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh
masing-masing sebagai hasiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing- masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan
Pasal 87 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa
hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya Pasal 87 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam.
Universitas Sumatera Utara
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama Pasal 88
Kompilasi Hukum Islam. Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri Pasal 89 Kompilasi Hukum Islam. Isteri turut
bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.
Pasal 91 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan : 1
Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
2 Harta bersaa yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak,
benda bergerak dan surat-surat berharga. 3
Harta bersama yang tidak berwujug dapat berupa hak maupun kewajiban.
4 Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu
pihak atas persetujuan pihak lainnya. Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual
atau memindahkan harta bersama Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan :
1 Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan
pada hartanya masing-masing. 2
Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
3 Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
4 Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta
isteri. Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan :
1 Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri
lebih dari seorang,masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. 2
Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat 1,
dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan : 1
Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat 2 huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk
meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang
merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.
2 Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk
keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak
pasangan yang hidup lebih lama Pasal 96 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau
suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama Pasal
96 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam. Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. c.
Anak. Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan tentang kriteria anak sah
anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah, sebagaimana yang dicantumkan dalam
Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi : “bahwa anak yang sah adalah :
1 Anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah.
2 Hasil pembuahan suami isteri yang di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri
tersebut”. Juga dikenal anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, seperti yang
tercantum dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam bahwa “anak yang lahir di
Universitas Sumatera Utara
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Di samping itu dijelaskan juga tentang kedudukan anak dari perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang dihamilinya sebelum pernikahan
sebagaimana yang tercantum pada Pasal 53 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi: “Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,
tidak diperlukan perkawinan sete lah anak yang dikandung lahir”.
Masalah pemeliharaan dan perwalian anak diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 108 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam
menyebutkan : 1
Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau
belum pernah melangsungkan perkawinan. 2
Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
3 Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat
yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.
Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa anak yang sah adalah :
1 Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
2 Hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri
tersebut. Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam. Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat
meneguhkan pengingkarannya dengan li`an Pasal 101 Kompilasi Hukum Islam.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 102 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan: 1
Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu
180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya
melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.
2 Pengingkaran yang diajukansesudah lampau waktu terebut tidak dapat
diterima Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran
atau alat bukti lainnya Pasal 103 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Bila akta kelahiram alat buktilainnya tersebut dalam ayat 1 tidak ada, maka Pengadilan
Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah. Pasal 103
ayat 2 Kompilasi Hukum Islam. Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat 2, maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum
Pengadilan Agama trwebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan Pasal 103 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam.
D. Pemalsuan Identitas dalam Perkawinan