Membahas Ajaran Gereja tentang hukuman mati
292 Buku Guru Kelas XI SMASMK
Dalam kaitannya dengan upaya pertahanan diri, Katekismus menekankan hal-hal seperti berikut:
“Cinta kepada diri sendiri merupakan dasar ajaran susila. Dengan demikian adalah sah menuntut haknya atas kehidupannya sendiri. Siapa yang membela kehidupannya,
tidak bersalah karena pembunuhan, juga apabila ia terpaksa menangkis pe- nyerangannya dengan satu pukulan yang mematikanKGK, art. 2264
Lebih lanjut, Katekismus Gereja Katolik juga menekankan bahwa pembelaan kesejahteraan umum masyarakat menuntut agar penyerang dihalangi untuk
menyebabkan kerugian. Karena alasan ini, maka ajaran Gereja sepanjang sejarah mengakui keabsahan hak dan kewajiban dari kekuasaan politik yang sah, menjatuhkan
hukuman yang setimpal dengan beratnya kejahatan, tanpa mengecualikan hukuman mati dalam kejadian-kejadian yang serius KGK, art. 2266Prinsip inilah yang
berlaku bagi negara dalam melaksanakan kewajibannya untuk menjaga keselamatan orang banyak dan melindungi warganya dari malapetaka. Sebab itu, negara dapat
menyatakan dan memaklumkan perang melawan penyerang dari luar komunitasnya sama seperti individu memiliki hak yang sah untuk mempertahankan diri.
Berdasarkan pemahaman di atas, Gereja Katolik pada prinsipnya menjunjung tinggi hak negara untuk melaksanakan hukuman mati atas penjahat-penjahat tertentu.
Walau Gereja menjunjung tinggi tradisi ajaran yang mengijinkan hukuman mati untuk tindak kejahatan yang berat, tetapi ada beberapa persyaratan serius yang harus
dipenuhi guna melaksanakan otoritas tersebut, yakni apakah cara ini merupakan satu-satunya kemungkinan untuk melindungi masyarakat atau adakah cara-cara
tidak berdarah lainnya? Apakah dengan demikian pelaku dijadikan “tak lagi dapat mencelakai orang lain”? Apakah pelaku memiliki kemungkinan untuk meloloskan
diri? Apakah kasus ini merupakan suatu kasus khusus yang menjamin bahwa hukuman yang demikian tidak akan sering dilakukan? Karena itu Katekismus juga menegaskan;
“Sejauh cara-cara tidak berdarah mencukupi, untuk membela kehidupan manusia terhadap penyerang dan untuk melindungi peraturan resmi dan keamanan manusia,
maka yang berwenang harus membatasi dirinya pada cara-cara ini, karena cara-cara itu lebih menjawab syarat-syarat konkret bagi kesejahteraan umum dan lebih sesuai
dengan martabat manusia.”KGK, art. 2267.
homas dari Aquino
Dengan hukuman mati, dan dengan hukuman pada umumnya, masyarakat mendenda perbuatan seseorang yang di pengadilan terbukti salah. Dengan sanksi hukuman
dinyatakan bahwa masyarakat tidak dapat menerima dan menyetujui perbuatan jahat. Dengan menjatuhkan hukuman, masyarakat membela diri, yaitu dengan meringkus
penjahat dan dengan demikian mengancam penjahat-penjahat lain. Melalui hukuman, keonaran sosial akibat kejahatan akan dibereskan, dan diharapkan bahwa penjahat
pun memperbaiki diri dan kembali menjadi anggota masyarakat yang biasa. Prinsip
293 Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti
ini sudah dirumuskan oleh Santo Tomas dari Aquino: “Kesejahteraan bersama lebih tinggi nilainya daripada kesejahteraan perorangan. Kesejahteraan perorangan perlu
dikurangi sedikit guna menegakkan kesejahteraan umum.”
Paus Yohanes Paulus II Ensiklik Evangelium Vitae
dari Paus Yohanes Paulus II yang membahas tentang martabat hidup manusia. Di dalam ensiklik tersebut, Paus menegaskan kembali
apa yang telah dikemukakan dalam Katekismus dan juga yang dikemukakan oleh konferensi para uskup. Dengannya, Paus menegaskan lagi kebenaran dari upaya
pertahanan diri yang sah serta tujuan sebuah hukuman. Adapun yang menjadi tujuan utama hukuman yang dijatuhkan oleh masyarakat adalah “untuk memulihkan
kekacauan yang diakibatkan oleh pelanggaran” dan juga demi menjamin ketertiban dalam masyarakatKGK, art. 2267
Dalam kaitan dengan upaya memulihkan kekacauan dan menjamin ketertiban dalam masyarakat, ketika menunjuk pada pertanyaan apakah eksekusi seorang yang bersalah
diijinkan, ajaran Paus tentang persoalan ini nampaknya cukup tegas. Ia menulis: “Sudah jelaslah, bahwa supaya tujuan-tujuan itu tercapai, hakekat dan beratnya
hukuman harus dievaluasi dan diputuskan secara cermat, dan jangan sampai kepada ekstrem melaksanakan hukuman mati kecuali bila memang perlu. Dengan kata
lain, bila tanpa itu sudah tidak mungkin lagi melindungi masyarakat.”
Paus Yohanes
Paulus II, Evangelium Vitae, terj.R. Hardawirjana, SJ, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1997, art.56 paragraf 2.
Dengan menekankan pada perlunya evaluasi atas hukuman yang dijatuhkan, Yohanes Paulus II tidak menyangkal ajaran tradisional mengenai hak penguasa
dalam menjatuhkan hukuman mati. Karenanya, ia memang tidak menolak legitimasi hukum pada umumnya, demikian ia menentang aplikasi hukuman mati dalam dunia
modern. Di sini Bapa Suci lebih lanjut menjelaskan perbedaan antara status sah hak untuk melaksanakannya di dalam keadaan tertentu dan kebutuhan untuk penggunaan
hak itu dalam dunia sekarang. Yohanes Paulus II menegaskan bahwa status sah yang memungkinkan pelaksanaan hukuman mati ini tidak terletak lagi pada pertimbangan
berat ringannya suatu tindak kejahatan yang dilakukan, tetapi pada ketidakmampuan masyarakat di dalam mempertahankan dirinya dengan cara-cara lain. Menurutnya,
status ketidakmampuan masyarakat melindungi dan mempertahankan dirinya dengan cara-cara lain adalah faktor yang menentukan di dalam memutuskan apakah
hukuman mati diperbolehkan atau tidak bagi seseorang yang melakukan kejahatan. Sejalan dengan itu, sejak masyarakat kita dapat menghukum yang melakukan
kejahatan serius dengan hukuman penjara seumur hidup, Bapa Suci menilai bahwa bukan lagi sebuah kebutuhan mutlak untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai
upaya mempertahankan dan melindungi masyarakat.
294 Buku Guru Kelas XI SMASMK
“Mengenai soal ini makin kuatlah kecenderungan baik di dalam Gereja maupun dalam masyarakat sipil, untuk meminta supaya hukuman itu diterapkan secara sangat
terbatas, atau bahkan dihapus sama sekali.” ibid
Singkatnya, menjatuhkan hukuman mati ketika itu tidak mutlak perlu karena hukuman mati merupakan sebuah tindakan yang melanggar ajaran Gereja Katolik
yang sejak semula selalu dengan tegas mengulagi perintah jangan membunuh. Pandangan Gereja yang demikian tentang hukuman mati ini dirasakan sejalan
dengan martabat manusia dan juga dengan rencana Allah sendiri. Selain itu, hal ini juga sejalan dengan tujuan utama hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang yang
berbuat jahat, yakni untuk memulihkan kekacauan yang diakibatkan oleh pelanggaran yang dilakukan seseorangbdk. KGK, art. 2266. Atas dasar ini, maka Gereja melihat
bahwa pemerintah wajib memenuhi tujuan mempertahankan kepentingan umum, serta menjamin keamanan rakyatnya sekaligus memberikan dorongan dan bantaun
kepada pelaku kejahatanpelanggaran untuk bisa mendapatkan rehabilitasi.bdk. KGK, art. 2266.
Pandangan ini didasarkan pada ajaran Gereja mengenai kekudusan hidup manusia dan martabat manusia, yang menentang tindakan mengakhiri hidup manusia. Namun
demikian, hak untuk hidup merupakan dasar dari kewajiban untuk melindungi serta memelihara hidup diri sendiri.bdk. KGK, art. 2264
Langkah Ketiga: Menghayati Ajaran Gereja tentang Hukuman Mati