Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

(1)

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG MENGENAI PUTUSAN YANG DIJATUHKAN DI LUAR PASAL YANG DIDAKWAKAN

DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus.2012 Dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

 

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh : JERRY THOMAS

NIM : 100200112

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG MENGENAI PUTUSAN YANG DIJATUHKAN DI LUAR PASAL YANG DIDAKWAKAN

DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 Dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

 

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh : JERRY THOMAS

NIM : 100200074

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh,

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, SH, MH NIP. 195703261986011001

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum. Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum.

NIP. 195102061980021001 NIP. 1974072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

Syafruddin Kalo*

Rafiqoh Lubis**

Jerry Thomas***

Ketentuan di dalam Pasal 182 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang sering disebut KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) menegaskan bahwa majelis hakim melakukan musyawarah untuk menjatuhkan putusan berdasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang. Dan dalam ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP juga menegaskan agar hakim memutus bebas seorang terdakwa apabila hasil pemeriksaan sidang menyatakan bahwa pasal-pasal di dalam surat dakwaan tidak terbukti.

Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan

putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011, judex factie

dalam kedua perkara tersebut telah menjatuhkan putusan di luar pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum. Namun, Mahkamah Agung pada perkara yang pertama justru menerima kasasi dengan menyatakan bahwa putusan haruslah sesuai dengan surat dakwaan, sedangkan pada perkara kedua menolak kasasi dengan dalih bahwa penerapan hukum yang

dilakukan judex factie sudah tepat. Kedua putusan ini jelas menimbulkan

ketidakpastian hukum akan hukum acara pidana di Indonesia.

Ada beberapa yurisprudensi yang memang memperbolehkan hakim untuk memutus pasal yang tidak didakwakan di dalam surat dakwaan, seperti putusan Mahkamah Agung Nomor 818 K/Pid/1984, Nomor 42 K/Kr/1956, Nomor 693 K/Pid/1986, dan Nomor 675 K/Pid/1987 yang memperbolehkan memutus pasal sejenis dengan pasal yang didakwakan. Di lain pihak, juga terdapat yurisprudensi yang tidak memperkenankan penjatuhan pidana terhadap pasal yang tidak didakwakan, antara lain putusan Mahkamah Agung Nomor 321 K/Pid/1983, Nomor 47 K/Kr/1956, dan Nomor 68 K/Kr/1973 yang menegaskan bahwa putusan pengadilan harus didasarkan pada surat dawaan.

Dari beberapa hal tersebut, maka menimbulkan kebingungan akan hukum acara pidana Indonesia, mengingat bahwa yurisprudensi juga merupakan sumber hukum formil. Selain itu, semakin membingungkan mengingat bahwa sistem hukum yang dianut di Indonesia adalah sistem

hukum Civil Law yang tidak mengikat hakim untuk mengikuti

yurisprudensi yang ada. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan, yaitu hakim dalam menjatuhkan putusannya harus memperhatikan 3 (tiga) asas yang penting, yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

      

*

Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Unviersitas Sumatera Utara

**

Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya selama proses penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik dan tepat waktu.

Penulisan skripsi yang berjudul "Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan Yang Dijatuhkan Di Luar Pasal Yang Didakwakan Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika (Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)" ini ditujukan untuk memberikan informasi kepada para pembaca mengenai bagaimana hukum acara pidana di Indonesia yang menyatakan pentingnya surat dakwaan sebagai dasar daripada putusan hakim dan juga eksistensi yurisprudensi sebagai hukum formil mengenai surat dakwaan tersebut. Selain itu, penulisan skripsi ini juga ditujukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan, sehingga penulis berharap agar semua pihak dapat memberikan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan lebih sempurna lagi ke depannya.

Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada orang tua penulis, Niko Bruno Maslo dan Mariana, yang telah membesarkan, mendidik, dan mendukung penulis sehingga penulis dapat memperoleh pendidikan formal sampai pada tingkat Strata Satu. Penulis juga


(5)

mengucapkan terima kasih kepada saudara tercinta penulis, Ricky Maslo, yang selalu mendukung dan menyemangati penulis dalam penulisan skripsi ini. Tak lupa juga penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., D.F.M., selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana

dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana

dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I.

Di tengah kesibukan Beliau, Beliau masih dapat meluangkan waktu untuk mengkaji perkembangan hasil studi penulis hingga selesai. Demikian pula, Beliau telah mendukung dan membimbing penulis selama penulisan skripsi ini sampai selesai.

8. alm. Bapak Abul Khair, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II awal,

yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini.


(6)

9. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II. Dalam kesempatan ini, penulis secara khusus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas ilmu yang telah Beliau bagikan pada saat perkuliahan dan sewaktu memberikan bimbingan bagi penulisan substansi skripsi ini. Bagi penulis, Beliau merupakan figur yang teladan, tekun, dan objektif dalam mendidik mahasiswa. Penulisan skripsi ini tidaklah mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa bantuan, kritik, dan saran dari Beliau.

10. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Dosen Penasihat Akademik

Penulis yang telah membimbing penulis selama menjalankan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

11. Seluruh Dosen Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara atas segala ilmu yang telah menambah pemahaman penulis mengenai hukum pidana.

12. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas segala ilmu

yang telah diberikan sejak awal perkuliahan hingga terselesainya penulisan skripsi ini.

13. Seluruh Staf Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

14. KMK Santo Fidelis, terutama Bang Rio, Anggie, Agnes Sinaga, Charles,

Teguh, Maruli, Ivan, Lauren, Agnes Ketaren, Wita, dan Putri yang telah menjadi keluarga penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dalam suka maupun duka dan senantiasa mendukung penyelesaian skripsi ini.

15. Teman-teman "Kita-Kita Grup D", yang telah memberi warna dalam


(7)

16. Teman-teman stambuk 2010, terutama Henjoko, Vellichia, Chyntia, Imelda, Kwendi, Hari Setiawan, Rory, Sally, Herbert, Robert, dan Julia yang merupakan sahabat terdekat penulis yang telah memberikan banyak dukungan, bantuan, dan motivasi selama penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dalam suka maupun duka. Penulis akan selalu mengingat kebaikan hati mereka.

17. Sahabat KAP (Komunitas Anak Pidana), yaitu Swanti, Loli, Merty, dan

Meirita yang telah menjadi sahabat penulis selama perkuliahan di departemen hukum pidana. Penulis akan mengingat kebersamaan yang telah dilalui bersama mereka.

18. Sahabat-sahabat "Green Alga", terutama Winda, Keke, Dadhan, Eka, Lydia,

dan Puput yang telah mewarnai lika-liku perjalanan penulis dalam mengikuti Kompetisi Peradilan Semu Tingkat Nasional Piala A.G. Pringgodigdo IV yang diadakan di Surabaya. Penulis akan selalu mengingat kehangatan pertemanan mereka.

19. Organisasi PERMAHI (Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia), yang

telah memberi pengalaman-pengalaman baru yang menarik baik di dalam maupun di luar dunia keprofesian hukum.

20. Abang-kakak senior dan adik-adik junior Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah akrab dan dekat dengan penulis serta membantu memberikan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, seperti Yuni "pastel", Stella, Frimanda, Elgina, Felicia "pegawai perpus", Bernadette, dan lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.


(8)

21. Adik-adik stambuk 2013, terutama "Grup C Hukum Adat", yaitu Novi, Tuti, Melva, Amanda, Dedek, Rindy, Rizki, Junita, dan Juniarti yang telah mewarnai perjalanan penulis dalam pendalaman mata kuliah Hukum Adat. Dan juga di grup lain, yaitu Manda "Rihanna", Onny, Fitty, dan Yana. Penulis akan selalu mendoakan perjalanan perkuliahan mereka.

22. Sahabat-sahabat Mudika Katedral Medan, yang telah mewarnai perjalanan

spiritual penulis dan telah memberi banyak pengalaman menarik baik dalam suka maupun duka. Penulis akan selalu mengingat pertemanan yang hangat bersama mereka.

23. Teman-teman Lifegroup, terutama Bang Jay, Kuya Dave, Nova, dan Yunita,

yang telah memberi banyak pengalaman menarik.

24. Sahabat penulis, yaitu Stefanus Rikky dan juga teman-teman pergaulan

lainnya yang telah dikenal selama perjalanan hidup penulis. Mereka semualah yang telah membentuk kepribadian karakter penulis yang baik sampai sekarang

Salam Hormat,


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vi

ABSTRAKSI ... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. ... Lat

ar Belakang ... 1 B. ... Per

umusan Masalah ... 7 C. ... Tuj

uan dan Manfaat Penulisan ... 8 D. ... Tin

jauan Kepustakaan

1. ... Nar kotika dan Lingkup Tindak Pidana Narkotika ... 9 2. ... Sur

at Dakwaan dan Syarat-Syarat Membuat Dakwaan ... 18 3. ... Ha

kim, Penemuan Hukum, dan Putusan Hakim ... 26 E. ... Me


(10)

F. ... Ke aslian Penulisan ... 39 G. ... Sist

ematika Penulisan ... 39

BAB II DASAR HUKUM PUTUSAN HAKIM TERHADAP

PERBUATAN YANG TIDAK DIDAKWAKAN DALAM SURAT DAKWAAN

A. ... Ind

ependensi Hakim Dalam Melakukan Penemuan Hukum ... 41 B. ... Put

usan Hakim Dan Mekanisme Hakim Menjatuhkan Putusan Menurut Hukum Acara Pidana Di Indonesia ... 53 C. ... Yur

isprudensi Sebagai Dasar Hakim Memutus Di Luar

Dakwaan ... 68

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG MENGENAI PUTUSAN YANG DIJATUHKAN DI LUAR PASAL YANG DIDAKWAKAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 Dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

A. ... Sur at Dakwaan Sebagai Dasar Pemeriksaan Hakim Dalam


(11)

B. ... An alisis Putusan Mahkamah Agung Yang Dijatuhkan Di Luar Pasal Yang Didakwakan Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika

B1. ... Put usan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011 ... 87 B2. ... Put

usan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 ... 106 B3. ... An

alisis Putusan Mahkamah Agung ... 118

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. ... Kes

impulan ... 135 B. ... Sar

an ... 137


(12)

ABSTRAK

Syafruddin Kalo*

Rafiqoh Lubis**

Jerry Thomas***

Ketentuan di dalam Pasal 182 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang sering disebut KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) menegaskan bahwa majelis hakim melakukan musyawarah untuk menjatuhkan putusan berdasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang. Dan dalam ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP juga menegaskan agar hakim memutus bebas seorang terdakwa apabila hasil pemeriksaan sidang menyatakan bahwa pasal-pasal di dalam surat dakwaan tidak terbukti.

Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan

putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011, judex factie

dalam kedua perkara tersebut telah menjatuhkan putusan di luar pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum. Namun, Mahkamah Agung pada perkara yang pertama justru menerima kasasi dengan menyatakan bahwa putusan haruslah sesuai dengan surat dakwaan, sedangkan pada perkara kedua menolak kasasi dengan dalih bahwa penerapan hukum yang

dilakukan judex factie sudah tepat. Kedua putusan ini jelas menimbulkan

ketidakpastian hukum akan hukum acara pidana di Indonesia.

Ada beberapa yurisprudensi yang memang memperbolehkan hakim untuk memutus pasal yang tidak didakwakan di dalam surat dakwaan, seperti putusan Mahkamah Agung Nomor 818 K/Pid/1984, Nomor 42 K/Kr/1956, Nomor 693 K/Pid/1986, dan Nomor 675 K/Pid/1987 yang memperbolehkan memutus pasal sejenis dengan pasal yang didakwakan. Di lain pihak, juga terdapat yurisprudensi yang tidak memperkenankan penjatuhan pidana terhadap pasal yang tidak didakwakan, antara lain putusan Mahkamah Agung Nomor 321 K/Pid/1983, Nomor 47 K/Kr/1956, dan Nomor 68 K/Kr/1973 yang menegaskan bahwa putusan pengadilan harus didasarkan pada surat dawaan.

Dari beberapa hal tersebut, maka menimbulkan kebingungan akan hukum acara pidana Indonesia, mengingat bahwa yurisprudensi juga merupakan sumber hukum formil. Selain itu, semakin membingungkan mengingat bahwa sistem hukum yang dianut di Indonesia adalah sistem

hukum Civil Law yang tidak mengikat hakim untuk mengikuti

yurisprudensi yang ada. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan, yaitu hakim dalam menjatuhkan putusannya harus memperhatikan 3 (tiga) asas yang penting, yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

      

*

Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Unviersitas Sumatera Utara

**

Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam kasus atau perkara pidana yang merupakan perkara publik, yang dilibatkan adalah orang atau subyek hukum yang melawan Negara yang dalam hal ini dijalankan oleh lembaga penegak hukum baik kepolisian dan kejaksaan sekaligus hakim sebagai tonggak keadilan dalam penyelesaian kasus pidana. Ada beberapa tahap yang harus dilalui dalam proses penyelesaian perkara pidanatersebut sebagaimana kita kenal dengan istilah hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Tujuan hukum acara pidana antara lain dapat dibaca pada Pedoman

Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut.1

“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”

Lembaga peradilan sebagai lembaga penegakan hukum pidana yang merupakan tumpuan dari para pencari keadilan selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan       

1


(14)

Kehakiman.Keadilan yang dihasilkan melalui proses peradilan yang tertuang di dalam putusan hakim adalah merupakan syarat utama untuk menjaga wibawa hukum sebagai panglima yang menjaga kelangsungan hidup masyarakat. Putusan-putusan hakim yang kurang adil akan membuat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan berkurang, sehingga akan membawa masyarakat ke dalam suatu pemikiran yang enggan menempuh jalur hukum dalam mengatasi permasalahan hukum yang mereka hadapi. Oleh karena itu, hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili di dalam proses peradilan pidana, memiliki peran vital dalam penegakan hukum acara pidana untuk tercapainya kebenaran yang hakiki.

Penyelenggaraan peradilan pidana sebenarnya tidak hanya dijalankan oleh hakim saja.Komponen struktur dalam Sistem Peradilan Pidana sebagai aparat penegak hukum yang mengemban tugas dan fungsi mekanisme proses peradilan pidana melibatkan berbagai unsur seperti: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan serta Advokat yang bekerja mulai dari proses penyelidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan sampai akhirnya pada pemeriksaan di sidang pengadilan hingga pada pemidanaan. Namun, institusi komponen sub sistem Peradilan Pidana yang dipandang sebagai titik kunci lahirnya embrio keadilan itu, adalah Pengadilan yang selama ini dianggap oleh publik terutama pencari keadilan sebagai tempat lahirnya sebuah keadilan melalui putusan (vonis) hakim yang secara teoritikal dikenal dengan putusan pengadilan atau putusan hakim.


(15)

Ketika seorang hakim sedang menangani perkara maka diharapkan dapat bertindak arif dan bijaksana, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran material, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan kepada perangkat hukum positif, melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan praktek, sehingga kesemuanya itu bermuara kepada putusan yang akan dijatuhkannya yang dapat dipertanggungjawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan Negara, diri sendiri serta Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.2

Putusan hakim yang merupakan putusan peradilan merupakan aspek penting dalam menyelesaikan perkara pidana.Dapat dikatakan bahwa putusan hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa untuk memperoleh kepastian hukum (rechts zekerheids) tentang statusnya. Sedangkan di lain pihak hakim diharapkan dapat memberikan putusan yang mencerminkan nilai-nilai keadilan dengan mempertimbangkan sifat baik ataupun sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan memang sesuai dengan kesalahannya.

KUHAP telah menjelaskan proses peradilan pidana yang harus dilalui sampai kepada acara penjatuhan keputusan oleh hakim. Sebelum sampai pada acara pengambilan keputusan oleh hakim maka terlebih dahulu Jaksa Penuntut Umum harus melengkapi berkas dengan surat dakwaan yang telah dibuat setelah menerima berkas dari penyidik.

Putusan pengadilan yang dijatuhkan oleh hakim harus berdasarkan kepada surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umumyang berisi fakta-fakta       

2

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat


(16)

yang terjadi dalam suatu tindak pidana (delik) beserta aturan-aturan hukum yang dilanggar oleh terdakwa. Penuntut Umum harus teliti dan cermat dalam membuat isi daripada surat dakwaan, dimana harus memenuhi baik syarat formil maupun materil surat dakwaan tersebut seperti yang disebutkan di dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP. Surat dakwaan akan menjadi dasar bagi pemeriksaan di persidangan dan pengambilan keputusan oleh hakim. Dengan kata lain, putusan hakim di dalam perkara pidana dibatasi oleh apa yang didakwakan jaksa penuntut umum, sama dengan perkara perdata dibatasi pula oleh apa yang digugat.

Pada tahap penuntutan, dapat terjadi kemungkinan Penuntut Umum kurang teliti dan cermat dalam mendakwakan tindak pidana terhadap terdakwa. Kelalaian Penuntut Umum tersebut dapat mengakibatkan terdakwa bebas dari jeratan hukum sebagaimana amanah Pasal 184 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan akan batal demi hukum.

Tugas Hakim dalam menyelenggarakan peradilan adalah menegakkan hukum yang didalamnya mengandung makna bahwa Hakim dalam memutus perkara harusnya berdasar hukum, artinya tidak boleh bertentangan dengan hukum. Sebab Hakim bertugas mempertahankan tertib hukum, menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara yang diajukan kepadanya.

Pendapat tersebut apabila dihubungkan dengan yang tersurat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 mengenai "Kebebasan Hakim" atau kebebasan Peradilan yang secara konstitusional dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, maka kebebasan yang dimaksud bukan merupakan hak istimewa bagi Hakim


(17)

untuk berbuat dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus dimaknai dengan kebebasan yang terikat atau terbatas.

Meskipun telah secara jelas kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya dibatasi oleh undang-undang, namun di sisi lain Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dituntut pula wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana isi Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat itu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri atau bersifat dinamis, sementara hukum berkembang dengan sangat lambat atau cenderung statis. Seiring dengan bergulirnya waktu maka kedua hal tersebut akan bertentangan. Hal ini tentunya akan menyulitkan bagi Hakim dalam memutus suatu perkara yang diadilinya.

Di lain pihak, juga terdapat kemungkinan bahwa surat dakwaan yang sudah dibuat oleh Penuntut Umum secara cermat dan teliti tersebut memberikan hasil yang diharapkan. Pemeriksaan Pengadilan mungkin saja tidak dapat meyakinkan hakim bahwa dakwaan atas tindak pidana terhadap terdakwa memang benar adanya.Hal tersebut dapat lebih jelas dilihat secara tersirat pada Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan "Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas."Secara formal ketentuan ini sebenarnya membatasi ruang gerak Hakim dalam memberikan putusan.


(18)

Hal ini dengan jelas memberitahu kita bahwa Hukum Acara Pidana Indonesia mengakui dakwaan daripada Jaksa Penuntut Umum yang ada dalam Surat Dakwaannya merupakan landasan daripada pemeriksaan di persidangan dan juga sebagai dasar putusan yang akan dijatuhkan hakim. Jika ternyata apa yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya tidak terbukti, maka terdakwa mau tidak mau harus dibebaskan.

Meskipun sudah ada ketentuan larangan bagi Hakim untuk tidak boleh menjatuhkan hukuman kepada terdakwa apabila perbuatan tersebut tidak terbukti atau tidak didakwakan oleh Penuntut Umum dalam surat dakwaannya, namun ternyata dalam praktek peradilan pidanamasih ada Hakim yang menjatuhkan putusan di luar dakwaan Penuntut Umum.

Hakim dengan segala kekuasaan yang melekat padanya, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa meskipun tindak pidana yang dilakukan terdakwa tidak tertulis di dalam surat dakwaan, yang pada pokoknya hal ini sebenarnya tidak dibenarkan secara hukum dan tidak sesuai dengan isi Pasal 182 ayat (4) KUHAP yaitu "Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang." Hal ini dapat dilihat melalui putusan majelis hakim pada kasus yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011.

Melalui kedua putusan atas kasus narkotika pada tingkat kasasi ini pula,

dapat dilihat penyelesaian oleh judex jurist yang berbeda terhadap dua

permasalahan yang serupa, yaitu judex factie yang menjatuhkan vonis atas tindak


(19)

Dengan adanya perbedaan pertimbangan yang terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011 yang menjatuhkan putusan di luar dakwaan tersebut menimbulkan kegamangan akan hukum acara pidana sehingga dipandang perlu dicarikan solusi hukumnya demi tegaknya wibawa Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas

suatu tulisan yang berjudul "ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

MENGENAI PUTUSAN YANG DIJATUHKAN DI LUAR PASAL YANG DIDAKWAKAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 Dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)."

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, dijelaskan bahwa KUHAP mewajibkan hakim untuk memutus suatu perkara pidana sesuai dengan surat dakwaan yang dibuat oleh Penuntut Umum.

Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang hendak dibahas dalam penulisan skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana dasar hukum putusan hakim terhadap perbuatan yang tidak

didakwakan dalam surat dakwaan?

2. Bagaimana perbedaan putusan Mahkamah Agung mengenai putusan yang

dijatuhkan di luar pasal yang didakwakan dalam perkara tindak pidana narkotika pada putusan Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011 ?


(20)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui dasar

hukum yang digunakan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

2. Untuk mengetahui

pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

Adapun manfaat dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Manfaat teoritis

Secara teoritis diharapkan dapat memberi masukan terhadap perkembangan Ilmu Hukum Pidana, sekaligus pengetahuan yang lebih mendalam mengenai ketentuan-ketentuan yang memberikan landasan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan yang tidak didakwakan dalamsurat dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

b. Manfaat praktis

Penulisan ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dan kajian bagi semua kalangan termasuk kalangan akademisi dan penegak hukum untuk menambah wawasan di bidang ilmu hukum khususnya yang berkaitan


(21)

dengan putusan terhadap tindak pidana yang tidak didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya.

D. Tinjauan Pustaka

1. Narkotika dan Lingkup Tindak Pidana Narkotika

Narkotika berasal dari Bahasa Inggris “narcotics” yang artinya obat bius.

Narkotika adalah bahan yang berasal dari 3 jenis tanaman Papaper somniferum

(candu), Erythroxyion coca (kokain), Cannabis sativa (ganja) baik murni maupun

bentuk campuran. Cara kerjanya mempengaruhi susunan syaraf yang dapat membuat kita tida merasakan apa-apa, bahkan bila bagian tubuh kita disakiti

sekalipun.3

Secara umum, yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukkan ke dalam tubuh.

Definisi narkotika sendiri telah diatur secara khusus di dalam Pasal 1 angka 1Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang merupakan pembaharuan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997.

Pasal 1 angka 1 UU Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

      

3


(22)

Jenis-jenis narkotika di di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 pada Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa narkotika digolongkan menjadi:

a. Narkotika golongan I

Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi.Serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

b. Narkotika golongan II

Narkotika golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

c. Narkotika golongan III

Narkotika golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Narkotika di sisi lain merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan


(23)

nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan

nasional.4

Narkotika apabila digunakan secara benar, yaitu digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi,5 maka hal tersebut bukan merupakan penyalahgunaan narkotika. Akan

tetapi, apabila digunakan untuk maksud yang lain dari hal tersebut, maka dapat dikatakan perbuatan tersebut merupakan penyalahgunaan narkotika dan dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana narkotika menurut Undang-Undang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah menentukan beberapa ruang lingkup tindak pidana narkotika, yaitu yang terdapat dalam Bab XV mengenai Ketentuan Pidana di Pasal 111 sampai Pasal 148. Ruang lingkup tindak pidana narkotika tersebut antara lain:

a. Tindak Pidana menyangkut Penguasaan Narkotika

Pasal 111 mengatur setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasao, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman dan Pasal 112 mengklasifikasikannya untuk yang bukan tanaman. Pasal 117 mengatur mengenai setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II dan Pasal 122 untuk Narkotika Golongan III.

      

4

Lihat Penjeleasan Umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

5


(24)

b. Tindak Pidana menyangkut Produksi Narkotika

Pasal 113 mengatur setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I. Pasal 118 untuk Narkotika Golongan II dan Pasal 123 untuk Narkotika Golongan III.

c. Tindak Pidana menyangkut Jual Beli Narkotika

Pasal 114 mengatur setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I. Pasal 119 untuk Narkotika Golongan II dan Pasal 124 untuk Narkotika Golongan III.

d. Tindak Pidana menyangkut Pengangkutan Narkotika

Pasal 115 mengatur setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit Narkotika Golongan I. Pasal 120 untuk Narkotika Golongan II dan Pasal 125 untuk Narkotika Golongan III.

Pasal 139 juga mengatur tentang nahkoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28, yaitu ketentuan mengenai prosedur pengangkutan narkotika.

e. Tindak Pidana menyangkut Penyalahgunaan Narkotika

Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau

melawan hukum.6

      

  6


(25)

Pasal 116 mengatur setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain. Pasal 121 untuk Narkotika Golongan II dan Pasal 126 untuk Narkotika Golongan III.

Pasal 127 juga mengatur tentang penyalah guna narkotika bagi diri sendiri sebagai berikut:

Pasal 127 UU Narkotika

1) Setiap Penyalah Guna:

a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana

penjara paling lama 4 (empat) tahun;

b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana

penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana

penjara paling lama 1 (satu) tahun.

2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ,

hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.

3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

f. Tindak Pidana menyangkut Tidak Melapor Pecandu Narkotika

UU Narkotika di dalam Pasal 55 mengatur mengenai pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk pemerintah agar mendapat pengobatan dan/atau perawatan.

Pasal 128 mengatur setiap orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur yang sengaja tidak melapor.

Pasal 134 mengatur pecandu narkotika yang sudah cukup umur dan sengaja tidak melaporkan diri.


(26)

Sedangkan Pasal 131 mewajibkan setiap orang untuk melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana yang termasuk dalam Pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127 ayat (1), 128 ayat (1), dan 129.

g. Tindak Pidana menyangkut Prekursor Narkotika

Prekursor merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang

digunakan dalam pembuatan narkotika.7 Pasal 129 mengatur setiap orang

yang tanpa hak atau melawan hukum:

1) Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor

Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

2) Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan

Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

3) Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi

perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

4) Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor

Narkotika untuk pembuatan Narkotika.

Pasal 145 juga mengatur setiap orang yang melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di luar wilayah Negara Republik Indonesia.Sedangkan Pasal 146 mengaturnya terhadap Warga Negara Asing.

      

7

Lihat ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.


(27)

h. Tindak Pidana yang dilakukan oleh Korporasi

Pasal 130 mengatur tentang tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, dan 129 yang dilakukan oleh korporasi.

i. Tindak Pidana Percobaan, Permufakatan, Pengulangan Tindak Pidana

Narkotika dan Prekursor Narkotika

Pasal 132 mengatur tentang percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, dan 129, baik secara terorganisasi atau tidak.

Pasal 144 mengatur setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127 ayat (1), 128 ayat (1), dan 129.

j. Tindak Pidana menyangkut Pemanfaatan Anak Di Bawah Umur

Pasal 133 ayat (1) mengatur setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam


(28)

Pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, dan 129.Sedangkan ayat (2) mengatur dalam hal anak yang belum cukup umur menggunakan Narkotika tersebut.

k. Tindak Pidana menyangkut Labeldan Publikasi Narkotika

Pasal 135 mengatur tentang Pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, yaitu kewajiban untuk mencantumkan label pada kemasan Narkotika.

l. Tindak Pidana menyangkut Hasil Tindak Pidana Narkotika

Pasal 136 mengatur tentang Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana Narkotika dan/atau Prekursor Narkotika, baik berupa asset dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud serta barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pasal 137 mengatur setiap orang baik yang melakukan ataupun menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau asset baik dalam bentuk bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau Prekursor Narkotika.

m. Tindak Pidana menyangkut Jalannya Peradilan

Pasal 138 mengatur setiap orang yang menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak


(29)

pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan.

n. Tindak Pidana menyangkut Penyitaan dan Pemusnahan Narkotika

Pasal 140 ayat (1) mengatur setiap penyidik PNS yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 88 dan 89, yaitu prosedur penyimpanan, pengamanan, dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita. Sedangkan ayat (2) mengatur setiap penyidik kepolisian RI dan penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan yang termasuk dalam Pasal 87, 89, 90, 91 ayat (2) dan (3), 92 ayat (1), (2), (3), dan (4), yaitu prosedur penyimpanan, pengamanan, dan pemusnahan barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pasal 141 mengatur kepala kejaksaan negeri yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 91 ayat (1), yaitu ketentuan untuk menetapkan status barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk kepentingan pembuktian perkara, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan dan pelatihan, dan/atau dimusnahkan.

o. Tindak Pidana menyangkut Penyimpangan Fungsi Lembaga

Pasal 142 mengatur petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum. Pasal 147 memberi ketentuan bagi:

1) Pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai


(30)

dan apotek yang mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan;

2) Pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli,

menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;

3) Pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi Narkotika

Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; dan

4) Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika

Golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.

p. Tindak Pidana menyangkut Keterangan Palsu

Pasal 143 mengatur saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan.

2. Surat Dakwaan dan Syarat-Syarat Membuat Dakwaan

Istilah “Surat Dakwaan” merupakan kata yang diperkenalkan melalui

ketentuan Pasal 140 ayat (1) KUHAP. Sebelum itu, dalam Het Herziene Inlandsch

Reglement (HIR, Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dengan istilah “Surat Tuduhan” atau “Acte van beschuldiging.” Selain itu mengenai surat dakwaan dalam hukum Belanda yang menganut sistem Eropa Kontinental lazim disebut


(31)

dengan istilah “Acte van verwijzing” atau pada istilah hukum Inggris dalam

rumpun Anglo Saxon dikenal dengan istilah “imputation.”8

Dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan lainnya tidak dijumpai batasan tentang apa yang dimaksud dengan surat dakwaan. Oleh karena itu, dapatlah beberapa batasan ataupun definisi tentang “Surat Dakwaan” yang telah dikemukakan oleh para pakar di bidang hukum pidana/hukum acara pidana, antara lain:

a. A. Karim Nasution, menyatakan bahwa:

“tuduhan (dakwaan) adalah suatu surat atau akta yang memuat suatu perumusan dari tindak pidana yang dituduhkan, yang sementara dapat disimpulkan dari surat-surat pemeriksaan pendahuluan yang merupakan dasar bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan, yang bila ternyata cukup

terbukti, terdakwa dapat dijatuhi hukuman.”9

b. M. Yahya Harahap, menyatakan bahwa:

“surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan

bagi hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan.”10

c. A. Soetomo, menyatakan bahwa:

“surat dakwaan adalah surat yang dibuat atau disiapkan oleh Penuntut Umum yang dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas perkara ke pengadilan yang memuat nama dan identitas pelaku perbuatan pidana, kapan dan di mana perbuatan dilakukan serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan tersebut yang didakwakan telah dilakukan oleh terdakwa yang memenuhi unsur-unsur pasal-pasal tertentu dari undang-undang yang tertentu pula yang nantinya merupakan dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di Sidang Pengadilan untuk dibuktikan apakah benar perbuatan yang didakwakan itu betul dilakukan       

8

Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 37.

9

A. Karim Nasution, Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana, Jakarta: P.N. Percetakan Negara R.I, 1972, hal. 75.

10

M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan


(32)

dan apakah betul terdakwa adalah pelakunya yang dapat

dipertanggungjawabkan untuk perbuatan tersebut.”11

Dari beberapa batasan tersebut, dapat disebutkan bahwa dakwaan merupakan dasar dari hukum acara pidana dan berdasarkan dakwaan ini pemeriksaan persidangan dilakukan.Surat dakwaan dibuat oleh Penuntut Umum berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pendahuluan oleh penyidik.Hakim pada prinsipnya tidak dapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa apabila perbuatan tersebut tidak didakwakan oleh Penuntut Umum dalam suratdakwaannya sebagaimana ketentuan putusan Mahkamah Agung RI Nomor

321 K/Pid/1983 tanggal 26 Mei 1984.12

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa dalam mengadili terdakwa, pembuktian dan fakta-fakta di persidangan yang akan menentukan terbukti tidaknya seseorang bersalah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana

disebutkan dalam surat dakwaan dari Penuntut Umum.13

Surat dakwaan adalah dasar bagi pemeriksaan perkara selanjutnya, baik pemeriksaan di persidangan Pengadilan Negeri maupun pada pemeriksaan tingkat banding dan pemeriksaan kasasi serta pemeriksaan peninjauan kembali (PK), bahkan surat dakwaan merupakan pembatasan tuntutan. Terdakwa tidak dapat dituntut atau dinyatakan bersalah dan dihukum untuk perbuatan-perbuatan yang

tidak tercantum dalam surat dakwaan.14

      

11

A. Soetomo, Pedoman Dasar Pembuatan Surat Dakwaan Dan Suplemen, Jakarta: Pradnya Paramitam, 1989, hal. 4.

12

Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 39.

13 Ibid. 14

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan Dan Pengadilan


(33)

Surat dakwaan sangat berguna untuk hakim, penuntut umum, bahkan

terdakwa. Fungsi surat dakwaan dalam pemeriksaan suatu perkara adalah:15

a. Bagi hakim:

1. Merupakan dasar dan sekaligus menentukan ruang lingkup

pemeriksaan sidang;

2. Merupakan dasar penilaian/pertimbangan dan musyawarah majelis

hakim dalam rangka mengambil keputusan tentang perbuatan dan kesalahan terdakwa.

b. Bagi penuntut umum:

1. Merupakan dasar pelimpahan perkara;

2. Merupakan dasar pembuktian/pembahasan yuridis;

3. Merupakan dasar tuntutan pidana;

4. Merupakan dasar pengajuan upaya hukum.

c. Bagi terdakwa/penasihat hukumnya:

1. Merupakan dasar pengajuan eksepsi;

2. Merupakan dasar pembelaan diri, karena itu dakwaan harus cermat,

jelas, dan lengkap agar dapat dimengerti oleh terdakwa.

Dalam membuat isi surat dakwaannya, Penuntut Umum harus memperhatikan syarat-syarat yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP agar surat dakwaan tersebut tidak batal demi hukum. Syarat-syarat tersebut yaitu bahwa surat dakwaan diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:       

15

H. Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang

Penuntutan Dan Eksekusi (Dalam Bentuk Tanya Jawab), Penerbit : Sinar Grafika, Jakarta, 1992,


(34)

a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;

b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindakan pidana

yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP ini dapat dikatakan sebagai syarat formal surat dakwaan. Identitas ini dimaksudkan agar orang yang didakwa dan diperiksa di persidangan itu adalah terdakwa yang sebenarnya bukan orang lain. Apabila syarat formal tidak seluruhnya dipenuhi dapat dibatalkan oleh hakim, karena dakwaan tidak jelas kepada siapa ditujukan.Hal ini untuk mencegah terjadinya kekeliruan mengenai orangnya atau

pelaku tindak pidana yang sebenarnya.16

Sedangkan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP ini merupakan syarat material dari surat dakwaan. Surat dakwaan memut uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan

dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.17Namun,

KUHAP tidak memberikan pengertian yang jelas terhadap unsur cermat, jelas, dan lengkap tersebut.Oleh karena itu, dapat dilihat pengertiannya di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu:

a. Cermat = penuh minat (perhatian); saksama; teliti

b. Jelas = terang; nyata; gambling; tegas; tidak ragu-ragu atau bimbang

      

16

Ratna Sari, Penyidikan Dan Penuntutan Dalam Hukum Acara Pidana, Medan: Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1995, hal. 113.

17 Ibid. 


(35)

c. Lengkap = tidak ada kurangnya; genap

Dengan menguraikan tindak pidana secara teliti, terang, tegas, dan komplit dimaksudkan akan memberi gambaran yang mudah bagi hakim maupun terdakwa. Penguraian tersebut Penuntut Umum wajib menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan. Mengenai pentingnya waktu disebutkan dalam surat dakwaan adalah dalam hubungannya dengan kejelasan tentang ketepatan pelaksanaan tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Di samping itu juga dalam hubungannya dengan gugurnya hak menuntut sebagaimana ketentuan Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).Sedangkan pentingnya penyebutan tempat tindak pidana yang dilakukan terdakwa dalam hubungannya dengan kompetensi relatif

(wewenang nisbi) pengadilan negeri.18

Menyadari betapa pentingnya peranan surat dakwaan dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan, Jaksa Agung mengeluarkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan. Surat Edaran tersebut ditujukan agar dapat keseragaman para Penuntut Umum dalam membuat surat dakwaan. Dalam Surat Edaran ini, disebutkan tentang bentuk-bentuk surat dakwaan antara lain:

a. Dakwaan Tunggal

Dalam surat dakwaan ini hanya satu Tindak Pidana saja yang didakwakan, karena tidak terdapat kemungkinan untuk mengajukan alternatif atau dakwaan pengganti lainnya;

      

18

Gatot Supramono, Surat Dakwaan Dan Putusan Hakim Yang Batal Demi Hukum, Jakarta: Djambatan, 1991, hal. 12.


(36)

b. Dakwaan Alternatif

Dalam surat dakwaan ini terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat kepastian tentang Tindak Pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan.Dalam dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, hanya satu dakwaan saja yang dibuktikan tanpa harus memperhatikan urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam bentuk surat dakwaan ini, antara lapisan satu dengan yang lainnya menggunakan kata sambung atau.

Contoh dakwaan alternatif:

Pertama: Pencurian (Pasal 362 KUHP) Atau

Kedua : Penadahan (Pasal 480 KUHP)

c. Dakwaan Subsidair

Sama halnya dengan dakwaan alternative, dakwaan subsidair juga terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya.Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari Tindak Pidana yang diancam dengan pidana tertinggi


(37)

sampai dengan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana terendah.

Pembuktian dalam surat dakwaan ini harus dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan teratas sampai dengan lapisan selanjutnya. Lapisan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut agar terdakwa dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan.

Contoh dakwaan subsidair:

Primair: Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP) Subsidair: Pembunuhan (Pasal 338 KUHP)

d. Dakwaan Kumulatif

Dalam surat dakwaan ini, didakwakan beberapa Tindak Pidana sekaligus, ke semua dakwaan harus dibuktikan satu demi satu. Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut pembebasan dari dakwaan tersebut.Dakwaan ini dipergunakan dalam hal terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana yang masing-masing berdiri sendiri.

Contoh dakwaan kumulatif:

Kesatu: Pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dan

Kedua: Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP) dan


(38)

e. Dakwaan Kombinasi

Disebut dakwaan kombinasi, karena di dalam bentuk ini dikombinasikan atau digabungkan antara dakwaan kumulatif dengan dakwaan alternatif atau subsidair.

Contoh dakwaan kombinasi:

Kesatu: Primair: Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP); Subsidair: Pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP);

dan

Kedua: Primair: Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP); Subsidair: Pencurian (Pasal 362 KUHP)

Apabila dalam pembuktian di persidangan, kesalahan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum sesuai rumusan surat dakwaan, maka pengadilan akan menghukumnya. Sebaliknya, apabila kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, atau perbuatan tersebut tidak dirumuskan dalam surat dakwaan, maka pengadilan akan membebaskan terdakwa. 3. Hakim, Penemuan Hukum, dan Putusan Hakim

Tugas merealisir hukum oleh kekuasaan kehakiman, yang secara nyata

dibebankan kepada para hakim, meliputi dua hal yaitu:19

a. Pertama ialah melakukan peradilan yaitu menentukan penyelesaian

perkara konflik oleh hakim sebagai pihak ketiga dalam kualitasnya sebagai instansi yang tidak memihak antara para pihak yang berperkara dalam

      

19

H. M. Koesnoe, Kedudukan Dan Tugas Hakim Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Surabaya: Ubhara Press, 1998, hal. 73.


(39)

kasus konflik yang konkret individual yang dihadapkan kepada badan kehakiman;

b. Kedua ialah mengeluarkan suatu ketetapan pengadilan berujud di dalam

pernyataan pengadilan terhadap permohonan seseorang atau sejumlah orang-orang yang menghendaki untuk memperoleh kepastian tentang bagaimana bunyi kaidah kasus konkret yang menjadi pertanyaan yang dihadapi oleh orang atau sekelompok orang yang bersangkutan menurut ketentuan hukum dasar.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, di dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Selanjutnya di dalam penjelasannya dikatakan bahwa “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.”

Dalam praktek pengadilan, ada 3 (tiga) istilah yang sering dipergunakan oleh hakim yaitu penemuan hukum, pembentukan hukum atau menciptakan hukum, dan penerapan hukum.Di antara tiga istilah ini, istilah penemuan hukum paling sering dipergunakan oleh hakim, sedangkan istilah pembentukan hukum biasanya dipergunakan oleh lembaga pembentuk undang-undang (DPR).Dalam perkembangan lebih lanjut, penggunaan ketiga istilah itu saling bercampur baur, tetapi ketiga istilah itu berujung kepada pemahaman bahwa aturan hukum yang ada dalam undang-undang tidak jelas, oleh karenanya diperlukan suatu penemuan


(40)

hukum atau pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam memutus

suatu perkara.20

Seorang hakim harus bertindak selaku pembentuk hukum dalam hal peraturan perundang-undangan tidak menyebutkan ketentuan untuk menyelesaikan suatu perkara yang terjadi. Dengan perkataan lain, dapatlah dikatakan bahwa hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal konkrit, oleh karena peraturan-peraturan tidak dapat mencakup segala peristiwa

hukum yang timbul dalam masyarakat.21

Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili” mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak berdasar inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal menyelesaikan perkara, hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya. Tindakan hakim inilah yang dinamakan penemuan hukum.Ketentuan Pasal 10 ini menjelaskan bahwa hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum.Pencari keadilan datang kepadanya untuk       

20

H. Abdul Manan, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama”, Mahkamah Agung Direktorat Jenderal Badan PeradilaN Agama, diakses dari http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/PENEMUAN%20HUKUMOLEH%20HAKIM-AM.pdf, pada tanggal 7 Mei 2014 pukul 14.45 WIB.

  21

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan kedelapan, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hal. 65.


(41)

mohon keadilan. Apabila ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai seorang yang

bijaksana dan bertanggung jawab.22

Apa yang dimaksud dengan penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit. Hakim selalu dihadapkan pada peristiwa konkrit, konflik atau kasus yang harus diselesaikan atau dipecahkannya dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya.Jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau

menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit.23

Ada dua unsur penting dalam penemuan hukum.Pertama, hukum/sumber

hukum dan kedua adalah fakta.Pada awalnya, unsur hukum/sumber hukum dalam

penemuan hukum adalah undang-undang. Hal ini berkaitan dengan suatu postulat

yang dikenal dengan istilah “De wet is onschendbaar” (undang-undang tidak

dapat diganggu gugat) yang dalam hukum Belanda tertuang secara eksplisit dalam

Pasal 120 Grondwet. Akan tetapi dalam perkembangannya, tidak semua hukum

ditemukan dalam undang-undang.24Oleh karena itu, unsur hukum/sumber hukum

dalam penemuan hukum tidak hanya meliputi undang-undang semata, tetapi juga meliputi sumber hukum lainnya, yaitu doktrin, yurisprudensi, perjanjian, dan kebiasaan.

      

22

H. Boy Nurdin, Kedudukan Dan Fungsi Hakim Dalam Penegakan Hukum Di

Indonesia, Bandung: Alumni, 2012, hal. 87.

23

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cetakan keenam, Yogyakarta: Liberty, 2009, hal 37-38. 

24

J. A. Pontier, Penemuan Hukum, Penerjemah B. Arief Sidharta dalam Eddy O. S. Hiariej, Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Erlangga, 2009, hal. 56.


(42)

Asas-asas umum hukum sebagaimana yang diajarkan oleh ilmu pengetahuan atau doktrin memegang peranan yang cukup penting dalam penemuan hukum di pengadilan.Hal ini disebabkan karena asas hukum biasanya melandasi suatu peraturan hukum konkret.Demikian pula yurisprudensi merupakan sumber hukum mandiri, kendatipun yurisprudensi bukan merupakan peraturan hukum yang mengikat umum, tetapi hanya mengikat para pihak dalam sengketa konkret yang diajukan padanya. Hakim memang tidak terikat pada putusan-putusan hakim yang lebih tinggi atau pada putusan-putusan hakim

sebelumnya, akan tetapi, berdasarkan asas similia similibus dan tuntutan kepastian

hukum, secara bersyarat hakim terikat pada putusan sebelumnya.25

Problematik yang berhubungan dengan penemuan hukum pada umumnya dipusatkan sekitar hakim dan pembentuk undang-undang. Yang profesinya melakukan penemuan hukum terutama adalah hakim, karena tiap harinya ia dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik untuk diselesaikannya, jadi sifatnya konfliktif. Hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena dituangkan dalam bentuk putusan.Di samping itu hasil penemuan hukum oleh hakim itu merupakan

sumber hukum juga.26

Hukum di Indonesia mengenal penemuan hukum heteronom sepanjang hakim terikat pada undang-undang, tetapi penemuan hukum ini juga mempunyai

      

25

Ibid., hal. 57.

26


(43)

unsur-unsur otonom yang kuat, karena hakim seringkali harus menjelaskan atau

melengkapi undang-undang menurut pandangannya sendiri.27

Dalam konteks hukum pidana, yang selalu menjadi persoalan adalah bagaimana cara menerapkan peraturan hukum yang umum sifatnya terhadap peristiwa konkret. Dengan kata lain, persoalan terbesar penemuan hukum dalam hukum pidana adalah cara menemukan penafsiran hukum tersebut baik dengan cara penafsiran ataupun analogi.

Tugas penting dari hakim ialah menyesuaikan undang-undang dengan kejadian-kejadian konkrit dalam masyarakat. Apabila undang-undang tidak dapat diterapkan hakim secara tepat menurut kata-kata undang-undang itu, maka harus ia menafsirkan undang-undang itu. Apabila undang-undang tidak jelas, wajiblah hakim menafsirkannya sehingga dapat dibuat suatu keputusan hukum yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yaitu mencapai kepastian hukum.Orang dapat mengatakan bahwa penafsiran undang-undang

adalah kewajiban hukum dari hakim.28

Penafsiran atau interpretasi merupakan cara penemuan hukum yang memberi penjelasan terhadap teks undang-undang dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas dapat diterapkan pada peristiwanya atau tidak. Menurut Sudikno,

interpretasi dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu secara:29

a. Gramatikal, yaitu penafsiran menurut bahasa sehari-hari;

      

27

Ibid., hal. 45.

28

E. Utrecht,Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan kesebelas, Jakarta: Ichtiar Baru, 1989, hal. 205.

29

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 14-23.


(44)

b. Historis, yaitu penafsiran berdasarkan sejarah hukum;

c. Sistimatis, yaitu menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari

keseluruhan sistem perundang-undangan;

d. Teleologis, yaitu penafsiran menurut makna/tujuan

kemasyarakatan;

e. Perbandingan hukum, yaitu penafsiran dengan cara

membandingkan dengan kaedah hukum di tempat lain;

f. Futuristis, yaitu penafsiran antisipatif yang berpedoman pada

undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.

Selanjutnya mengenai analogi, secara garis besar dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu argumentum peranalogiam atau sering disebut analogi dan argumentum

a contrario.Perihal analogi, di sini suatu peraturan khusus dalam undang-undang dijadikan umum yang tidak tertulis dalam undang-undang, kemudian digali asas yang terdapat di dalamnya dan disimpulkan dari ketentuan umum itu suatu peristiwa yang khusus.Peraturan umum yang tidak tertulis dalam undang-undang itu diterapkan terhadap peristiwa tertentu yang tidak diatur dalam undang-undang tersebut, tetapi mirip atau serupa dengan peristiwa yang diatur dalam

undang-undang.Sedangkan argumentum a contrario adalah penafsiran yang didasarkan

pada pengertian sebaliknya dari peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa

yang diatur dalam undang-undang.30

Jika antara penafsiran hukum dan pembuatan hukum tidak dilakukan pemisahan secara ketat dan tajam, maka penafsiran hukum akan ditempatkan pada

      

30


(45)

kedudukan di atas pembuatan hukum. Dalam hal ini, hukum hanya dianggap sebagai pedoman yang terkadang bisa ditepis.

Tujuan peradilan pidana adalah untuk memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak. Proses berjalannya peradilan pidana dilakukan dengan prosedur yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mencakup semua batas-batas konstitusional dan berakhir pada putusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap kasus pidana.

Mengenai putusan yang dijatuhkan oleh hakim ini, KUHAP telah diatur tentang definisi putusan yang terdapat pada ketentuan Pasal 1 angka 11.

Pasal 1 angka 11 KUHAP

Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Ada juga yang mengartikan putusan (vonnis) sebagai vonnis tetap

(definitief) (Kamus istilah Hukum Fockema Andreae).Rumusan-rumusan yang kurang tepat terjadi sebagai akibat penerjemah ahli bahasa yang bukan ahli hukum.Sebaliknya, dalam pembangunan hukum yang sedang berlangsung diperlukan kecermatan dalam penggunaan istilah-istilah.Mengenai kata putusan yang diterjemahkan dari vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di

sidang pengadilan.Ada juga yang disebut interlocutoire yang diterjemahkan

dengan keputusan antara atau keputusan sela dan preparatoire yang

diterjemahkan dengan keputusan pendahuluan/keputusan persiapan serta

keputusan provisionale yang diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara.31

      

31


(46)

Yang harus terbukti adalah kenyataan-kenyataan yang dituduhkan dalam

surat tuduhan (acte van verwijzing). Kenyataan-kenyataan yang dituduhkan itu

merupakan unsur-unsur dari tindak pidana yang dituduhkan.32

Putusan yang dijatuhkan hakim dimaksudkan untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.Untuk memutus suatu perkara

pidana, maka terlebih dahulu hakim harus memeriksa perkaranya.33Bagian yang

amat penting dari suatu surat putusan hakim ialah bagian yang memuat pertimbangan-pertimbangan hakim, yang mengalirkan pikiran hakim ke arah

bunyi putusan.34

Bentuk dari suatu putusan tidak diatur pada KUHAP.Namun jika diperhatikan bentuk-bentuk putusan, maka bentuknya hampir bersamaan dan tidak pernah dipermasalahkan karenanya sebaiknya bentuk-bentuk putusan yang telah

ada tidak keliru jika diikuti.35

Sementara untuk isi yang dimuat di dalam suatu putusan, dapat dilihat secara rinci dan limitatif di dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa putusan harus memuat:

a. Kepala putusan yang ditulis berbunyi: DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA;

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,

kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa;

c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan

beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

      

32

Ibid. hal. 106.

33

Lilik Mulyadi, op.cit.,hal. 123.

  34

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1983, hal. 145.

35


(47)

e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau

tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara

diperiksa oleh hakim tunggal;

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur

dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan

jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana

letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik dianggap palsu;

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau

dibebaskan;

l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang

memutus, dan nama panitera.

Jika hakim lalai atau keliru dalam memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP di dalam putusannya maka akan mengakibatkan putusan yang telah dijatuhkan tersebut akan batal demi hukum sesuai dengan amanah pasal 197 ayat (2) KUHAP yang menyatakan tidak dipenuhinya ketentuan huruf a, b, c, d, e, f, h, k, dan l mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Berdasarkan ketentuan Pasal 191 ayat (1) dan (2) serta Pasal 193 ayat (1) KUHAP, maka setidaknya dapat diketahui sifat putusan hakim.

Pasal 191 ayat (1) dan (2) KUHAP berbunyi:

(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. (2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan

kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.


(48)

Pasal 193 ayat (1) KUHAP menentukan :

Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.

Dari ketentuan tersebut di atas maka ada 2 (dua) sifat putusan hakim

yaitu:36

a. Putusan pemidanaan, apabila ada yang didakwakan oleh Penuntut Umum

dalam surat dakwaannya telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum; dan

b. Putusan yang bukan pemidanaan dapat berupa putusan bebas (vrijspraak)

dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van recht

vervolging).

Putusan hakim merupakan aspek penting dalam penyelesaian perkara pidana.Di satu pihak, putusan hakim berguna bagi terdakwa untuk memperoleh

kepastian hukum (rechts zekerheid) tentang statusnya dan sekaligus dapat

mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian berupa menerima putusan ataupun melakukan upaya hukum banding, kasasi, dan sebagainya. Sedangkan di lain pihak, putusan hakim merupakan mahkota sekaligus puncak pencerminan nilai-nilai keadilan serta penguasaan hukum atau fakta dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.Oleh karena itu, tentu saja hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, sampai dengan kecakapan teknik membuatnya.

      

36


(49)

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum Yuridis Normatif dinamakan juga dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal.Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan terhadap perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul skripsi penulis.

2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang

mengikat dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yaitu berupa peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan

informasi atau hasil kajian tentang putusan hakim yang dijatuhkan terhadap tindak pidana yang tidak didakwakan Penuntut Umum dalam surat dakwaannya meliputi kasus dari Mahkamah Agung (Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012), buku-buku karya


(50)

ilmiah dan beberapa sumber ilmiah serta sumber internet yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi

konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya.

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data-data yang diperlukan oleh penulis yang berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini ditempuh melalui penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam skripsi ini. Tujuan penelitian

kepustakaan (library research) ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder

yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research).

Analisis data yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara kualitatif, yaitu dengan menganalisis melalui data lalu diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam skripsi ini.


(51)

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan (library research) khususnya

di lingkungan Universitas Sumatera Utara yang membahas tentang “Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan Yang Dijatuhkan Di Luar Pasal Yang Didakwakan Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika (Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 Dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)” ini belum pernah dilakukan dalam judul dan permasalahan yang sama. Dengan demikian penelitian ini asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dan penjabaran penulisan, penelitian ini akan dibagi menjadi 4 bab dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II merupakan bab yang menguraikan mengenai tinjauan terhadap independensi hakim dalam melakukan penemuan hukum, putusan hakim, mekanisme hakim dalam menjatuhkan putusan menurut hukum acara pidana di Indonesia serta dasar hukum putusan hakim terhadap tindak pidana yang tidak didakwakan Penuntut Umum dalam surat dakwaannya.

Bab III merupakan bab yang menguraikan secara mendetail mengenai surat dakwaan sebagai pemeriksaan hakim dalam perkara pidana menurut


(52)

KUHAP dan analisis perbedaan putusan Mahkamah Agung mengenai putusan yang dijatuhkan di luar pasal yang didakwakan dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011.

Bab IV merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran yang berfungsi memberikan masukan bagi perkembangan hukum pidana di masa yang akan datang.


(53)

BAB II

DASAR HUKUM PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERBUATAN YANG TIDAK DIDAKWAKAN DI DALAM SURAT DAKWAAN

A. Independensi Hakim Dalam Melakukan Penemuan Hukum

Setiap kebebasan selalu melekat pada individu manusia sebagai salah satu hak dasar yang dimilikinya. Setiap realisasi dari kebebasan akan berimplikasi luas baik kepada diri pengambil kebebasan itu maupun kepada lingkungan sosialnya. Pemilik kebebasan itu senantiasa dituntut untuk mampu mempergunakan kebebasannya dalam batas-batas yang diperkenankan dan tetap dalam bingkai tanggung jawab yang menyertainya.Tindakan dari pemilik kebebasan tersebut juga harus mampu memenuhi kebebasan sosial.

Jika kita terjun ke dalam kehidupan sehari-hari, maka kita dapat melihat hal-hal yang membicarakan hukum sebagai institusi sosial. Bekerjanya hukum itu tidak dapat dilepaskan dari pelayanan yang diberikannya kepada masyarakat (di sekelilingnya). Hukum bekerja dengan memikirkan dan mempertimbangkan apa yang baik untuk dilakukannya bagi masyarakat. Pertimbangan seperti ini dapat dilihat melalui keputusan yang memberikan efisiensi pada produksi masyarakat. Hukum membutuhkan kekuasaan, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan kekuasaan itu menunggangi hukum. Dengan demikian, dapat dilihat dengan jelas persoalan

yang kita hadapi sekarang, yaitu, hubungan antara hukum dan kekuasaan.37

      

37

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan keenam, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 146.


(54)

Seperti yang diketahui, Montesquieu memperkenalkan teori pemisahan kekuasaan Negara (trias Politica) yang membagi kekuasaan negara ke dalam tiga bagian, yaitu:

1. Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat undang-undang;

2. Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan

undang-undang; dan

3. Kekuasaan yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi undang-undang

atau kekuasaan untuk mengadili bilamana terjadi pelanggaran terhadap undang-undang.

Pelaksanaan masing-masing kekuasaan tersebut, diserahkan kepada badan

atau lembaga yang berdiri sendiri. Hal ini berarti masing-masing badan itu, di dalam melaksanakan kekuasaannya tidak dapat saling mempengaruhi, terpisah secara tegas, yaitu: kekuasaan legislatif pelaksanaannya diserahkan kepada badan legislatif yaitu Badan Perwakilan Rakyat. Kekuasaan eksekutif pelaksanaannya diserahkan kepada pemerintah (Presiden atau Raja dengan dibantu oleh menteri-menteri atau kabinet).Kekuasaan yudikatif pelaksanaannya diserahkan kepada

hakim atau peradilan.38

Menurut Montesquieu, salah satu kekuasaan negara yang perlu ditekankan adalah kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman. Kebebasan badan

      

38

H. Pontang Moerad B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam


(55)

yudikatif sangat ditekankan oleh Montesquieu karena disitulah letak kemerdekaan

individu dan hak asasi manusia dijamin dan dipertaruhkan.39

Di dalam suatu Negara hukum, kekuasaan kehakiman (yudikatif) merupakan badan yang sangat menentukan terhadap substansi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif termasuk hukum pidana. Karena melalui badan inilah konkritisasi hukum positif dilakukan oleh hakim pada putusan-putusannya di depan pengadilan. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan, bahwa bagaimanapun baiknya hukum pidana yang diciptakan dalam suatu Negara, tidak ada artinya apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh hakim yang mempunyai kewenangan untuk memberi isi dan kekuatan kepada norma-norma hukum pidana tersebut.

Independensi kekuasaan kehakiman atau badan-badan kehakiman/peradilan merupakan salah satu dasar untuk terselenggaranya

pemerintah yang demokratis dibawah Rule of Law sebagaimana pemikiran

mengenai Negara hukum modern yang pernah dicetuskan dalam konferensi oleh International Commission of Jurists di Bangkok pada tahun 1965.40

Dalam pertemuan konferensi tersebut ditekankan pemahaman tentang apa

yang disebut sebagai “the dynamic aspects of the Rule of Law in the modern age

(aspek-aspek dinamika Rule of Law dalam abad modern). Dikatakan bahwa ada 6

      

39

Ibid., hal 49.

40

Paulus E Lotulung, “Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum”, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003.


(56)

(enam) syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis

dibawah Rule of Law, yaitu:41

1. Perlindungan Konstitusional

2. Peradilan atau badan-badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak

3. Pemilihan umum yang bebas

4. Kebebasan menyatakan pendapat

5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi

6. Pendidikan kewarganegaraan

Dari syarat-syarat tersebut jelaslah bahwa independensi kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar yang pokok, yang apabila komponen

tersebut tidak ada maka tidak bisa dibicarakan lagi tentang Negara hukum.42

Hakim adalah salah satu elemen dasar dalam sistem peradilan selain jaksa dan penyidik (Kejaksaan dan Kepolisian), sebagai subjek yang melakukan tindakan putusan untuk menyelesaikan perkara di dalam pengadilan. Hakim yang merupakan personifikasi atas hukum harus menjamin rasa keadilan bagi setiap orang yang mencari keadilan melalui proses hukum legal. Dalam menjalankan tugasnya, maka seorang hakim memiliki kebebasan dari pengaruh-pengaruh maupun tekanan-tekanan luar dirinya.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara hukum.Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting Negara hukum adalah adanya jaminan       

41 Ibid. 42


(57)

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan.43

Kebebasan hakim di Indonesia dijamin dalam Konstitusi Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang selanjutnya diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, sebagaimana telah disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Independensi diartikan sebagai bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, dalam arti bahwa bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala kekuasaan Negara lainnya, kecuali dalam hal yang diizinkan oleh undang-undang.Demikian juga meliputi kebebasan dari pengaruh-pengaruh internal yudisial di dalam menjatuhkan putusan.

      

43

Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman


(1)

masyarakat tidak lagi mempercayai sub-sistem secara institutif dalam arti sempit dan sistem peradilan pidana dalam arti yang lebih luas.

2. Masih perlu dilakukan pelatihan terhadap jaksa-jaksa, terutama dalam hal pembuatan surat dakwaan. Masih perlu ditingkatkan kemampuan dalam merumuskan isi surat dakwaan yang cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan. Dan dalam hal ditemukan keragu-raguan dalam pembuatan surat dakwaan, sebaiknya dapat dibicarakan dalam forum diskusi yang melibatkan jaksa-jaksa senior. Terkhusus dalam kedua perkara narkotika yang ada, yaitu pada putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan pada putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011, sebenarnya masalah kepastian hukum di dalam putusan tersebut dapat dicegah dengan pembuatan bentuk surat dakwaan non-tunggal, bisa bentuk dakwaan alternatif ataupun subsidair. Sehingga pada akhirnya hal ini dapat memberikan pilihan kepada hakim untuk memberikan putusannya.

3. Hakim mungkin saja dapat melakukan penemuan hukum yang bersifat progresif di dalam putusannya. Putusan yang bersifat progresif tersebut adalah putusan yang bersifat visioner dan berani dalam melakukan suatu terobosan (rule breaking) dengan melihat perkembangan masyarakat ke depan, tetapi tetap berpedoman pada kebenaran dan keadilan serta memihak dan peka pada masyarakat. Dalam membaca suatu bunyi kalimat peraturan, hendaknya kita memahami kaidah yang terdapat di dalamnya.


(2)

Harus direnungkan terlebih dahulu apa makna di dalam kalimat tersebut, sehingga dengan demikian tujuan daripada hukum dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Arto, A. Mukti. 2001. Konsepsi Ideal Mahkamah Agung Redefinisi Peran Dan Fungsi Mahkamah Agung Untuk Membangun Indonesia Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Budiarjo, Miriam. 1991. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cetakan ketigabelas. Jakarta: Gramedia.

Dirdjosisworo, Soedjono. 1984. Filsafat Peradilan Pidana Dan Perbandingan Hukum. Cetakan kedua. Bandung: Armico.

Hamid, H. Hamrat dan Harun M. Husein. 1992. Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penuntutan Dan Eksekusi (Dalam Bentuk Tanya Jawab). Jakarta: Sinar Grafika.

Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. (ed. 2). Jakarta: Sinar Grafika.


(3)

Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali. (ed. 2). Jakarta: Sinar Grafuika.

_____. 2007. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan. (ed. 2). Jakarta: Sinar Grafika.

Hiariej, Eddy O. S. 2009. Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana. Jakarta: Erlangga.

Husein, Harun M. 1992. Kasasi Sebagai Upaya Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Kansil, C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Cetakan

kedelapan. Jakarta: Balai Pustaka.

Koesnoe, H. M. 1998. Kedudukan Dan Tugas Hakim Menurut Undang-Undang Dasar 1945. Surabaya: Ubhara Press.

Kuffal, HMA. 2004. Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum. (ed. revisi). Cetakan kesepuluh. Malang: UMM Press.

M., H. Pontang Moerad B. 2012. Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana. Cetakan kedua. Bandung: Alumni. Marpaung, Leden. 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan Dan

Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi) Bagian Kedua, Edisi kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

Mertokusumo, Sudikno. 2005. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Cetakan kedua. Yogyakarta: Liberty.

_____. 2009. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Cetakan keenam. Yogyakarta: Liberty.

_____ dan A. Pitlo. 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Mulyadi, Lilik. 1996. Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan). Bandung: Citra Aditya Bakti.

_____. 2007. Hukum Acara Pidana Normatif, Teoretis, Praktik Dan Permasalahannya. Bandung: Alumni


(4)

_____. 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoretis Dan Praktik. Bandung: Alumni.

Nasution, A. Karim. 1972. Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana. Jakarta: Percetakan Negara R.I.

Nurdin, H. Boy. 2012. Kedudukan Dan Fungsi Hakim Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia. Bandung: Alumni.

Pradja, R. Achmad S. Soema di.1990. Hukum Pidana Dalam Yurisprudensi. Bandung: Armico.

Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto. 1993. Perundang-undangan Dan Yurisprudensi. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Prodjodikoro, Wirjono. 1962. Hukum Atjara Pidana Di Indonesia. Cetakan kelima. Bandung: Sumur Bandung.

_____. 1983. Hukum Acara Pidana Di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung. Pujiyono. 2007. Kumpulan Tulisan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju. Rahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Cetakan keenam. Bandung: Citra Aditya

Bakti.

_____. 2008. Biarkan Hukum Mengalir. Jakarta: Kompas.

Rifai, Achmad. 2011. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Cetakan kedua. Jakarta: Sinar Grafika.

Sari, Ratna. 1995. Penyidikan Dan Penuntutan Dalam Hukum Acara Pidana. Medan: Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acara Pidana Dalam Sirkus Hukum. Bogor: Ghalia. Soetomo, A. 1989. Pedoman Dasar Pembuatan Surat Dakwaan Dan Suplemen.

Jakarta: Pradnya Paramitam.

Subekti. 1992. Kekuasaan Mahkamah Agung R.I. Bandung: Alumni.

Supramono, Gatot. 1991. Surat Dakwaan Dan Putusan Hakim Yang Batal Demi Hukum. Jakarta: Djambatan.


(5)

Utrecht, E. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Cetakan kesebelas. Jakarta: Ichtiar Baru.

B. Makalah, Jurnal, Tesis Skripsi:

A. Hamzah. “Kemandirian Dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman”. Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

H. Elfi Marzuni. “Peran Pengadilan Dalam Penegakan Hukum Pidana Di Indonesia”. Makalah pada Seminar Peran Dan Fungsi Penegakan Hukum Dalam Menciptakan Keadilan Dan Kepastian Hukum. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 10 April 2012.

Paulus E Lotulung. “Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum”. Makalah pada Seminar Pembangunan HukumNasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

C. Peraturan Perundang-undangan:

Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-004/J.A/11/1994 tanggal 16 November 1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan.

Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor B-607/E/11/1993 tanggal 22 November 1993 tentang Surat Dakwaan Perkara Narkotika. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undan-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.


(6)

http://id.wikipedia.org/wiki/Narkoba. Narkoba, diakses tanggal 30 April 2014 pukul 11.00 WIB

http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/PENEMUAN%20HUKUMOLEH%20H AKIM-AM.pdf. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama. H. Abdul Manan, diakses tanggal 7 Mei 2014 pukul 14.45 WIB.

http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/Pers pektif%20filsafat%20hukum.pdf. Kebebasan Hakim Dalam Memutus Perkara (Suatu Kajian Dalam Perspektif Filsafat Hukum). Suhartono, diakses tanggal 7 Mei 2014 pukul 16.20 WIB.

http://www.kantorhukum-lhs.com/1?id=Kebebasan-Hakim-VS-Pencari-Keadilan. Kebebasan Hakim VS Pencari Keadilan. M. Sofyan Lubis, diakses tanggal 7 Mei 2014 pukul 17.00 WIB.


Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Agung Dalam Tindak Pidana Pemerkosaan (Putusan Mahkamah Agung Nomor 840 K/Pid.Sus/2009)

0 6 12

Kajian Yuridis Putusan Rehabilitasi terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Putusan Mahkamah Agung No.593/K.Pid. Sus/2011)

0 9 10

Pengujian Peraturan Kebijakan (Beleidsregel) Di Mahkamah Agung (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/Hum/2009)

6 109 108

Kajian Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemalsuan Akta Otentik Oleh Notaris (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1568 K/Pid/2008)

0 22 0

Sewa-Menyewa Dalam KuhPerdata Pasal 1576 dan Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2439/KIPdt/2002)

0 5 0

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

0 0 40

BAB II DASAR HUKUM PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERBUATAN YANG TIDAK DIDAKWAKAN DI DALAM SURAT DAKWAAN A. Independensi Hakim Dalam Melakukan Penemuan Hukum - Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Per

0 0 37

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah

1 1 40