Merga artinya marga 2. Merga si lima artinya marga yang terdiri dari Sembiring, Tarigan, Anak Beru artinya kelompok penerima anak perempuan untuk diperistri Senina artinya Kalimbubu artinya Kekelengen artinya kasih sayang 8. Sereh artinya upah perkaw

xii DAFTAR ISTILAH

1. Merga artinya marga 2. Merga si lima artinya marga yang terdiri dari Sembiring, Tarigan,

Perangin-angin, Karo-karo, dan Ginting 3. Sangkep Sitelu artinya landasan sistem kekerabatan adat istiadat karo yang terdiri dari anak beru, senina dan kalimbubu

4. Anak Beru artinya kelompok penerima anak perempuan untuk diperistri

5. Senina artinya

orang yang berdasarkan kelahirannya mempunyai satu kakek dan nenek yang sama baik dari pihak ayah atau dari pihak ibu

6. Kalimbubu artinya

kelompok pemberi anak perempuan kepada kelompok tertentu

7. Kekelengen artinya kasih sayang 8. Sereh artinya upah perkawinan

9. Penampat artinya uang pemberian 10. Sura-sura artinya keinginan

Universitas Sumatera Utara xiii 11. Erta tading-tadingen artinya harta pusaka 12. Erta bekas encari artinya harta pencaharian bersama

13. Pemere Kalimbubu artinya harta bawaan istri 14. Pemere arinya pemberian

15. Pemberian Tedik-tedik artinya pemberian yang dilakukan secara diam-diam 16. Perpenca artinya perabot rumah tangga 17. Uis artinya pakaian adat 18. Mas artinya perhiasan 19. Taneh artinya tanah 20. Jabu artinya rumah 21. Perkawinan Jujur artinya suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan penyerahan sejumlah barang atau sejumlah uang dari keluarga pihak laki - laki kepada pihak perempuan yang berfungsi sebagai pengganti atau pembeli atas berpindahnya si perempuan kedalam klan si laki-laki guna menjaga keseimbangan pada keluarga si perempuan 22. Perkawinan Impal artinya perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita, dimana ayah si wanita bersaudara dengan ibu si pria Universitas Sumatera Utara i ABSTRAK Masyarakat Batak Karo pada umumnya melakukan proses pewarisan dengan cara memberikan harta warisan kepada ahli waris setelah pemilik harta atau pewaris meninggal dunia, namun ada dijumpai pula pemberian harta waris itu dapat terjadi pada saat si pewaris masih hidup. Proses pemberian barang-barang harta benda oleh orang tua kepada anaknya dalam masyarakat adat batak karo, seringkali sudah dilakukan ketika orang tua pewaris masih hidup. Pemberian yang dilakukan secara kerukunan itu terjadi di depan Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu. Harta pemberian dalam masyarakat adat Batak Karo merupakan suatu bentuk kasih sayang dan pemupukan tali silaturahmi antara orang tua kepada anaknya. Akan tetapi dalam prakteknya masih banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan khususnya terhadap harta pemberian semasa hidup tersebut. Pemberian harta yang dilakukan semasa hidup oleh orang tua terkadang pada saat orang tua meninggal dunia menjadi masalah diantara para ahliwarisnya khususnya bagi para ahliwaris yang tidak mendapatkan harta pemberian dari orang tuanya. Keadaan demikian itu tentunya tidak selaras dengan maksud dari harta pemberian yang sesungguhnya dan juga mengakibatkan kesan kurang baik. Tidak jarang masalah harta pemberian tersebut ditemukan setelah orang tua meninggal dunia yang pada akhirnya menjadi sumber sengketa diantara para ahli warisnya. Lokasi penelitian adalah pada lima desa desa Tambaklau Mulgap I,desa Sempa Jaya, desa Rumah Berastagi, desa Gundaling I dan desa Lau Gumba di Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan yuridis sosiologi empiris dilakukan dengan cara kualitatif. Dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan pendekatan Induktif. Hasil penelitian menunjukan bahwa Status kepemilikan harta pemberian semasa hidup yang berupa benda bergerak baik kepada anak laki maupun anak perempuan adalah hak milik pribadi yang tidak perlu dikembalikan ke dalam boedel warisan. Demikian juga terhadap pemberian benda yang tidak bergerak baik kepada anak laki maupun anak perempuan di masa sekarang lebih dominan berstatus hak milik daripada hak pakai saja, sehingga tidak perlu dikembalikan ke dalam bodel warisan pada saat orang tua meninggal dunia. Kata Kunci : Status Harta, Pemberian Semasa Hidup, Adat Batak Karo Universitas Sumatera Utara ii ABSTRACT The Karonese generally conduct the inheriting process by bequeathing the inheritance to the heirs after the testators pass away, but we can also find that the inheritance is given when the testators are still alive. The process of bequeathing the property from parents to their heirs in the Karonese tradition is sometimes conducted when the parents testators are still alive. This process is conducted in harmony in front of Anak Beru, Senina, and Kalimbubu. Inheritance in the Karonese tradition is regarded as a token of love and affection and maintaining good relationship between parents and their children. In practice, however, there are still many problems, especially if the inheritance is given when the parents are still alive, or the dead parents have left a valid will. The child or children who do not inherit will file a complaint. This condition is, of course, not in accordance with the real purpose of bequeathing inheritance. It is not uncommon that the problem of inheritance will cause dispute among those who claim as the heirs. The location of the research was at five villages: Tambaklau Mulgap I village, Sempa Jaya village, Rumah Berastagi village, Gundaling I village, and Lau Gumba village. They were located in Berastagi Subdistrict, Karo District, North Sumatera Province. The type of the research was descriptive analytic, using judicial sociological empirical approach and was conducted qualitatively. The drawing of the conclusions was done with inductive approach. The results of the research showed that the status of giving movable property, when the parents were still alive, to their boys or girls does not need to be categorized as inheritance. Besides that, the giving of property to heirs male or female nowadays should be dominantly with the status of property rights and not with the status of the right of use so that it was not necessary to be categorized as inheritance. Keywords: Status of Property, the Giving when the Testators are still Alive, Karonese Tradition Universitas Sumatera Utara 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. 1 Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi, warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan berwujud atau tidak berwujud dari pewaris kepada para warisnya. 2 Dalam hal ini, bentuk dan sistem hukum khususnya hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat. Bilamana disepakati bahwa hukum 1 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, Bandung :Sumur Bandung , 1983, hal. 11 2 H.Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti ,2003, hal.8 Universitas Sumatera Utara merupakan salah satu aspek kebudayaan baik rohaniah atau spiritual maupun kebudayaan jasmani, inilah barangkali salah satu penyebab mengapa adanya beraneka ragam sistem hukum terutama hukum kewarisan. Masyarakat adat membentuk hukum dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari sistem suku-suku bangsa atau kelompok-kelompok etnik. 3 Dasar hukum berlakunya hukum adat terdapat dalam pasal 131 I.S Indische Staatssregeling ayat 2 b Stb 1925 no .415 jo.577, termasuk juga berlakunya hukum waris adat yaitu : “Bagi golongan Indonesia asli Bumi Putra, golongan Timur Asing dan bagian-bagian dari golongan bangsa tersebut, berlaku peraturan hukum yang didasarkan atas agama dan kebiasaan mereka,…….” Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud Immatereriele Goederen dari suatu angkatan manusia Generatie kepada turunannya. 4 Hukum Waris adat di Indonesia tidak lepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari 3 Soerjono Soekanto, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1966, hal.7 4 Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta : Pradya Paramita, 1987, hal .79 Universitas Sumatera Utara alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya dibedakan dalam dalam tiga corak yaitu : a. Sistem patrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan bapak dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan anak wanita dalam pewarisan Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram,Nusa tenggara, Irian. b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan ibu dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan anak wanita dalam pewarisan Minangkabau, Enggano, Timor. c. Sistem Parental, yaitu sistem yang ditarik menurut garis kedua orangtua, atau menurut garis dua sisi. Bapak dan ibu dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan Aceh, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi. 5 Di Indonesia faktor sistem kekerabatan mempengaruhi berlakunya aneka hukum adat, termasuk hukum waris yang mempunyai corak sendiri-sendiri berdasarkan masyarakat adatnya masing-masing, demikian juga halnya hukum adat dalam masyarakat Batak Karo. Hal ini sejalan dengan pendapat Hazairin yang mengatakan bahwa “Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri ada didalam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan sistem keturunan keturunannya matrilineal, patrilineal, parental masih nampak kebenarannya.” 6 5 H.Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Op.cit. , hal.23 6 H.Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Op.cit. , hal.24 Universitas Sumatera Utara Dari hasil penelitian Panitia Kongres Kebudayaan Karo dikemukakan bahwa masyarakat Batak Karo adalah termasuk masyarakat yang masih sangat kental dan sangat menjunjung tinggi adat-istiadatnya. Ketentuan itu semakin terlihat dari dalam mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakat seperti dalam hal proses perkawinan, kelakuan dan juga dalam hal waris. Seperti yang diketahui sejak dahulu sampai sekarang pada masyarakat adat Batak Karo berlaku sistem keturunan dari pihak bapak Patrilineal yaitu didasarkan atas dasar pertalian darah menurut garis bapak. 7 Sehingga hanyalah anak laki-laki yang menjadi ahli waris, karena anak perempuan dianggap telah keluar dari kerabat bapaknya, jika ia telah kawin. 8 Dalam masyarakat Batak Karo, apabila seseorang anak perempuan telah menikah maka dianggap tergolong kepada kerabat suaminya. Oleh karena itu dapatlah dimengerti bahwa yang meneruskan garis keturunan dalam masyarakat Batak Karo adalah anak laki-laki saja, sedangkan anak perempuan apabila ia telah kawin maka kekerabatannya akan beralih kepada kerabat suaminya. Garis keturunan dalam masyakat karo ditarik berdasarkan marga dalam bahasa Batak Karo disebut Merga yang mengakibatkan timbulnya hubungan kekeluargaan yang hidup dalam masyarakat. Dalam hal ini masyarakat Batak karo mengenal lima jenis marga utama yang biasa disebut dengan Merga Si Lima. Setiap 7 Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada,2001,hal.240 8 Djaja S. Meliala Aswin Peranginangin, Hukum Perdata Adat Karo dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional, Bandung: Tarsito, 1978, hal. 54 Universitas Sumatera Utara anggota masyarakat Batak karo termasuk kepada salah satu marga ini. Kelima marga ini masing-masing mempunyai cabang atau submarga pula yaitu : a. Marga Karo-Karo b. Marga Ginting c. Marga Tarigan d. Marga Sembiring e. Marga Perangin-angin Seluruh hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak Karo tersebut diambil berdasarkan pertalian darah maupun dalam hubungan perkawinan yang dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu. Senina pada umumnya mereka yang bersaudara karena mempunyai marga yang sama atau karena ibu mereka bersaudara Senina Sepemeren atau karena isteri mereka bersaudara Senina Separibanen atau karena suami mereka bersaudara Senina Secimbangen, Kalimbubu yaitu kelompok dari pihak yang anak perempuannya dikawini, sedangkan Anak Beru adalah kelompok dari pihak yang mengawini anak perempuan tersebut. Tiap orang dalam kedudukannya tersebut sebagai Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu memegang peranan penting dalam setiap kegiatan pada masyarakat adat Batak Karo, baik dalam hal perkawinan maupun pewarisan. Universitas Sumatera Utara Khusus dalam hal perkawinan, masyarakat adat Batak Karo dikenal adanya pemberian jujuran atau biasa disebut perkawinan jujur 9 yang dilakukan oleh wali kerabat pria dengan upacara adat dan diikuti dengan pemberian harta bawaan oleh kerabat wanita untuk dibawa mempelai wanita ke dalam perkawinan jujur. Inilah yang membawa akibat lepasnya hubungan adat si wanita dari kerabatnya masuk ke kerabat pria. Maka dari sistem kekerabatan dan sistem perkawinan jujur inilah yang pada akhirnya dapat ditarik alur dalam pembagian warisan adat Batak Karo. Dalam hal pembagian warisan, masyarakat Batak Karo pada umumnya melakukan proses pewarisan dengan cara memberikan harta warisan kepada ahli waris setelah pemilik harta atau pewaris meninggal dunia, namun ada dijumpai pula pemberian harta waris itu dapat terjadi pada saat si pewaris masih hidup. Pemberian harta sesudah pewaris meninggal dunia merupakan proses yang universal dalam setiap hukum waris, tetapi pemberian harta warisan sebelum pewaris meninggal dunia semasa hidup adalah hal yang tidak biasa dalam hukum waris pada umumnya, namun hal tersebut dalam hukum adat merupakan penerapan dari salah satu asas atau prinsip pewarisan yaitu : “ menurut hukum adat, harta warisan itu adalah meliputi semua harta benda yang pernah dimiliki oleh si peninggal harta 9 Perkawinan jujur adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan penyerahan sejumlah barang atau sejumlah uang dari keluarga pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang berfungsi sebagai pengganti atau pembeli atas berpindahnya si perempuan kedalam klan si laki-laki guna menjaga keseimbangan pada keluarga si perempuan Universitas Sumatera Utara semasa hidupnya. Jadi tidaklah hanya terbatas terhadap harta yang dimiliki pada saat ia mati”. 10 Harta pemberian merupakan harta warisan yang asalnya bukan didapat karena jerih payah bekerja sendiri melainkan karena hubungan cinta kasih, balas budi atau jasa atau karena sesuatu tujuan. 11 Bentuk-bentuk pemberian harta benda semasa hidup sebenarnya masih banyak dilakukan di daerah-daerah adat khususnya terhadap pemberian yang dilakukan oleh orang tua semasa hidupnya seperti di daerah Tapanuli disebut Holong Ate, Indahan Arian, atau Pambaenan yang merupakan suatu bentuk pemberian harta benda oleh orang tua kepada anaknya. Pada masyarakat Lampung ada kemungkinan isteri dalam perkawinan jujur mendapat pemberian barang tetap dari orang tua atau kerabatnya disebut Tanoh Sesan atau Saba Bangunan. 12 Di lingkungan masyarakat adat Daya-kendayan Kalimantan Barat kemungkinan pemberian orang tua kepada anak, akan lebih banyak diberikan kepada Anak Pangkalan yaitu anak yang menjamin memelihara mengurus orang tua sampai wafatnya. Begitu pula di daerah Banten pemberian orang tua biasanya dengan cara memberikan rumah kepada anak wanita dan suami si wanita setelah perkawinan mengikuti si istri. 13 10 Datuk Usman, Diktat Hukum Adat, Medan : Bina Sarana Balai Penmas SU, tanpa tahun, hal.145 11 H.Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Op.cit. , hal.51 12 H.Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung : Alumni,1977, hal.161 13 Ibid, hal.53 Universitas Sumatera Utara Pemberian harta benda semasa hidup tersebut tentunya merupakan suatu bentuk fenomena sosial yang lazim terjadi di kalangan masyarakat adat pada umumnya, khususnya dalam lingkungan masyarakat patrilineal seperti pada masyarakat adat Batak Karo. Dalam sistem hukum adat waris di Tanah Karo, pewaris adalah hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari orang tuanya. Akan tetapi anak laki-laki tidak dapat membantah pemberian harta yang dilakukan orang tua semasa hidupnya kepada anak perempuan, demikian juga sebaliknya. Hal tersebut didasarkan pada prinsip bahwa orang tua pewaris bebas menentukan untuk membagi-bagi harta benda kepada anak-anaknya berdasarkan kebijaksanaan orang tua yang tidak membedakan kasih sayangnya kepada anak-anaknya. Salah satu bentuk pemberian semasa hidup ini adalah Pemere yaitu pemberian atas tanah atau ladang dari harta pusaka. Biasanya Pemere diberikan kepada anak yang sudah berumah tangga sebagai harta untuk diusahainya dan sebaai tempat untuk mencari nafkah. Pemberian harta benda semacam ini biasanya bertujuan sebagai bentuk tanda kasih sayang dari orangtua kepada anaknya atau sebagai modal awal yang diberikan kepada si anak pada saat ingin menikah ataupun untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. 14 Proses pemberian barang-barang harta benda oleh orang tua kepada anaknya dalam masyarakat adat batak karo, seringkali sudah dilakukan ketika orang tua 14 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Bandung : Refika Aditama,2005, hal.59 Universitas Sumatera Utara pewaris masih hidup. Pemberian yang dilakukan secara kerukunan itu terjadi di depan Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu. Kadang-kadang pemberian itu juga dihadiri oleh penghulu Kepala Desa untuk menambah terangnya pemberian tersebut. 15 Harta pemberian dalam masyarakat adat Batak Karo merupakan suatu bentuk kasih sayang dan pemupukan tali silaturahmi antara orang tua kepada anaknya. Akan tetapi dalam prakteknya masih banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan khususnya terhadap harta pemberian semasa hidup tersebut. Pemberian harta yang dilakukan semasa hidup oleh orang tua terkadang pada saat orang tua meninggal dunia menjadi masalah diantara para ahliwarisnya khususnya bagi para ahliwaris yang tidak mendapatkan harta pemberian dari orang tuanya. Keadaan demikian itu tentunya tidak selaras dengan maksud dari harta pemberian yang sesungguhnya dan juga mengakibatkan kesan kurang baik. Tidak jarang masalah harta pemberian tersebut ditemukan setelah orang tua meninggal dunia yang pada akhirnya menjadi sumber sengketa diantara para ahli warisnya. Salah satu contoh terhadap perkara perdata Nomor 225Pdt.G2009Pn-Mdn. Antara SBT dan anak-anaknya, MBS dan anak-anaknya melawan LRB, dan MBB yang kasus posisinya sebagai berikut. Awalnya SB memiliki beberapa bidang tanah dari hasil perkawinannya dengan istrinya TBS dan hasil perkawinannya tersebut mempunyai empat orang anak yaitu PB laki-laki, MB laki-laki, LRB perempuan, dan MBB perempuan. 15 Ibid, hal.60 Universitas Sumatera Utara Seiring waktu anak pertama yaitu PB pun menikah dengan MBS dan memilki 3 orang anak, begitu juga dengan anak kedua MB yang menikah dengan SBT dan memiliki 5 orang anak, dari perkawinan MB tersebut kemudian SB sebagai orang tua memberikan sebidang tanah kepada MB dan SBT sebagai bentuk upah perkawinan adat. Namun keadaan berubah ketika SB dan TBS meninggal dunia masing-masing pada tahun 1992 dan 2001 yang disusul juga oleh 2 orang anaknya yaitu PB dan MB meninggal dunia masing-masing pada tahun 2002 dan 2003, yang secara hukum maka ahli waris yang berhak terhadap harta warisan SB dan TBS yaitu SBT dan anak-anaknya, MBS dan anak-anaknya yang menggantikan kedudukan suami mereka sebagai ahli waris, serta LRB, dan MBB. Maka ketika diadakan pembagian waris secara adat kepada MBS dan anaknya, SBT dan anaknya, Pihak dari LRB, dan MBB tidak sepakat terhadap pembagian waris adat tersebut yang merasa tidak adil. Dikarenakan harta pemberian yang diterima oleh SBT dianggap bukanlah suatu pemberian dalam upah perkawinan adat melainkan termasuk kedalam harta warisan SB dan TBS, yang pada akhirnya pihak dari LRB, dan MBB menuntut ke Pengadilan Negeri Medan agar harta tersebut harus dibagi secara rata. Kasus Posisi tersebut merupakan salah satu contoh permasalahan warisan yang terjadi pada masyarakat adat khususnya pada masyarakat adat Batak Karo. Tentunya masalah harta pemberian orang tua semasa hidupnya kepada anaknya masih Universitas Sumatera Utara perlu dikaji lebih lanjut. Sehingga pada saat orang tua meninggal dunia, status kepemilikan harta benda tersebut tidak dipertanyakan kembali oleh para ahli waris dan tidak menjadi sumber sengketa diantara mereka yang merupakan ahli warisnya. Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul tesis : Status Kepemilikan Harta Benda Pemberian Orang Tua Semasa Hidupnya Kepada Anak Dalam Hukum Waris Adat Batak Karo Studi Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas dapat di identifikasi permasalahan sebagai berikut : 1. Mengapa orang tua semasa hidupnya memberikan harta benda kepada anak pada masyarakat adat Batak Karo di Kecamatan Berastagi ? 2. Bagaimanakah titel pemberian harta benda oleh orang tua semasa hidupnya kepada anak menurut hukum waris adat Batak Karo di Kecamatan Berastagi? 3. Bagaimanakah status kepemilikan harta benda yang diberikan orang tua semasa hidupnya kepada anak menurut hukum waris adat Batak Karo di Kecamatan Berastagi?

C. Tujuan Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto tujuan penelitian dirumuskan secara deklaratif dan merupakan pernyataan-pernyataan tentang apa yang hendak dicapai dengan Universitas Sumatera Utara penulisan tersebut. 16 Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian tesis ini adalah : 1. Untuk mengetahui alasan orang tua semasa hidupnya memberikan harta benda kepada anak pada masyarakat adat Batak Karo di Kecamatan Berastagi. 2. Untuk mengetahui titel pemberian harta benda oleh orang tua semasa hidupnya kepada anak menurut hukum waris adat Batak Karo di Kecamatan Berastagi. 3. Untuk mengetahui status kepemilikan harta benda yang diberikan orang tua semasa hidupnya kepada anak menurut hukum waris adat Batak Karo di Kecamatan Berastagi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu dalam memproses ilmu pengetahuan. 17 Secara operasional penelitian dapat berfungsi sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menunjang pembangunan, mengembangkan sistem dan mengembangkan kualitas manusia. 18 Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam 16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986, hal.118 17 Bahder Johan Nasution , Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung : Mandar Maju, 2008, hal.10 18 Ibid hal.77 Universitas Sumatera Utara kerangka know-how di dalam hukum. Dengan melakukan penelitian hukum diharapkan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan. 19 Bertitik tolak dari tujuan penelitian sebagaimana tersebut diatas, diharapkan dengan penelitian ini akan dapat memberikan manfaat atau kegunaan secara teoritis dan praktis di bidang hukum yaitu sebagai berikut: a. Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk sumbang saran untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan awal maupun sebagai bahan perbandingan untuk penelitian yang lebih luas yang berhubungan dengan harta pemberian yang diberikan orang tua semasa hidup kepada anaknya menurut sistem hukum waris adat Batak Karo. b. Secara praktis Memberi informasi yang dibutuhkan masyarakat Karo di masa mendatang apabila terjadi permasalahan terkait harta pemberian orang tua semasa hidupnya kepada anak menurut sistem hukum waris adat Batak Karo. Memberikan pengertian dan pemahaman yang dapat berguna serta memberikan sumbangan pemikiran dan penjelasan bagi mereka yang hendak mempelajari dan mengkaji harta pemberian orang tua semasa hidupnya kepada anak menurut sistem hukum adat Batak Karo. 19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007, hal.41 Universitas Sumatera Utara

E. Keaslian Penelitian

Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang dengan judul “Status Kepemilikan Harta Benda Pemberian Orang Tua Semasa Hidupnya Kepada Anak Dalam Hukum Waris Adat Batak Karo belum pernah dilakukan terhadap permasalahan yang sama. Pada Tahun 2009 ditemukan penelitian atas nama Frans Cory Melando Ginting peserta program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara medan, dengan judul tesis “Perkembangan Hukum waris Adat Pada Masyarakat Adat Batak Karo di Kecamatan Merdeka”. Beberapa Pokok Permasalahan yang diangkat adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana perkembangan unsur-unsur ahli waris pada masyarakat adat Batak Karo di kecamatan Merdeka. 2. Bagaimana pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat Batak Karo di Kecamatan Merdeka. 3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran Hukum Waris Adat Batak Karo pada masyarakat Batak Karo di di Kecamatan Merdeka. Penelitian Frans Cory Melando Ginting tersebut difokuskan pada perkembangan dalam kaitannya dengan pergeseran hukum waris adat pada masyarakat adat Batak Karo di Kecamatan Merdeka. Sedangkan dalam penelitian ini Universitas Sumatera Utara masalah utama adalah status hukum kepemilikan harta benda pemberian orangtua kepada anak dalam hukum waris adat Batak Karo dan lokasi penelitian adalah di Kecamatan Berastagi. Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan mengandung kadar keaslian karena telah memenuhi dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu mengandung aspek kejujuran, rasional, objektif, dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, dan terbuka terhadap beberapa masukan serta saran-saran yang bersifat membangun.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelittian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. 20 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai kasus atau permasalahan problem yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis. 21 Pada dasarnya Teori yang berkenaan dengan judul penulis diatas adalah Teori yang berkenaan dengan sosiologi hukum yaitu Teori yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich. Dalam bukunya berjudul “Fundamental Principles of the Sociology of Law”. Dari bukunya tersebut terdapat konsep “living law”, Konsep ini menekankan bahwa, 20 Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian,Skripsi dan Tesis, Yogyakarta : Andi, 2006, hal.6 21 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994,hal.80 Universitas Sumatera Utara hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, atau dengan apa yang disebut dengan hukum adat . 22 Dalam penjelasan umum Alinea I Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa : “Undang-Undang Dasar suatu Negara ialah sebagian dari hukumnya dasar Negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis,ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.” 23 Pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis Undang-Undang Dasar maupun hukum yang tidak tertulis hukum adat. Seperti dijelaskan pada pasal 131 I.S Indische Staatssregeling ayat 2 b Stb 1925 no .415 jo.577, Mengenai dasar berlakunya hukum adat termasuk juga berlakunya hukum waris adat di Indonesia yaitu : “Bagi golongan Indonesia asli Bumi Putra, golongan Timur Asing dan bagian-bagian dari golongan bangsa tersebut, berlaku peraturan hukum yang didasarkan atas agama dan kebiasaan mereka,…….” Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang 22 Syafruddin Kalo, Modul Kuliah Penemuan Hukum, disampaikan pada Rangkaian Sari Kuliah Semester II,Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, USU Medan, 2007, hal.18 23 Penjelasan Umum, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Universitas Sumatera Utara tidak berwujud Immatereriele Goederen dari suatu angkatan manusia Generatie kepada turunannya. 24 Hukum Waris adat di Indonesia tidak lepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya dibedakan dalam dalam tiga corak yaitu : a. Sistem patrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan bapak dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan anak wanita dalam pewarisan Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram,Nusa tenggara, Irian. b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan ibu dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan anak wanita dalam pewarisan Minangkabau, Enggano, Timor. c. Sistem Parental, yaitu sistem yang ditarik menurut garis kedua orangtua, atau menurut garis dua sisi. Bapak dan ibu dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan didalam pewarisan Aceh, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi. 25 Dengan demikian berlakunya sistem hukum adat di Indonesia tergantung kepada daerahnya masing-masing sesuai adat dan kebiasaan mereka. Hal ini juga ditegaskan oleh Soepomo yang mengatakan bahwa : 24 Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Lok. cit 25 H.Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti ,2003, hal.23 Universitas Sumatera Utara “Hukum Adat merupakan hukum yang melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hukum yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan, dimana ia memutuskan perkara.” 26 Dari hasil penelitian Panitia Kongres Kebudayaan Karo dikemukakan bahwa masyarakat Batak Karo adalah termasuk masyarakat yang masih sangat kental dan sangat menjunjung tinggi adat-istiadatnya. Ketentuan itu semakin terlihat dari dalam mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakat seperti dalam hal proses perkawinan, kelakuan dan juga dalam hal waris. Seperti yang diketahui sejak dahulu sampai sekarang pada masyarakat adat Batak Karo berlaku sistem keturunan dari pihak bapak Patrilineal yaitu didasarkan atas dasar pertalian darah menurut garis bapak. 27 Sehingga hanyalah anak laki-laki yang menjadi ahli waris, karena anak perempuan dianggap telah keluar dari kerabat bapaknya, jika ia telah kawin. 28 Dalam masyarakat Batak Karo, apabila seseorang anak perempuan telah menikah maka dianggap tergolong kepada kerabat suaminya. Oleh karena itu dapatlah dimengerti bahwa yang meneruskan garis keturunan dalam masyarakat Batak Karo adalah anak laki-laki saja, sedangkan anak perempuan apabila ia telah kawin maka kekerabatannya akan beralih kepada kerabat suaminya. 26 Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Lok. cit 27 Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia, Lok. cit 28 Djaja S. Meliala Aswin Peranginangin, Hukum Perdata Adat Karo dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional, Lok. cit. Universitas Sumatera Utara Garis keturunan dalam masyakat karo ditarik berdasarkan marga dalam bahasa Batak Karo disebut Merga yang mengakibatkan timbulnya hubungan kekeluargaan yang hidup dalam masyarakat. Dalam hal ini masyarakat Batak karo mengenal lima jenis marga utama yang biasa disebut dengan Merga Si Lima. Setiap anggota masyarakat Batak karo termasuk kepada salah satu marga ini. Kelima marga ini masing-masing mempunyai cabang atau submarga pula yaitu : a. Marga Karo-Karo 29 b. Marga Ginting 30 c. Marga Tarigan 31 d. Marga Sembiring 32 e. Marga Perangin-angin 33 29 Karokaro terdiri dari submarga : Karokaro Sinulingga, Karokaro Surbakti,Karokaro Kacaribu,Karokaro Sinukaban,Karokaro Barus, Karokaro Simbulan, Karokaro Jung, Karokaro Purba, Karokaro Ketaren, Karokaro Pertampilen, Karokaro Gurusinga,Karokaro Kaban,Karokaro Sinuhaji, Karo Sekali, Karokaro Kemit, Karokaro Bukit, Karokaro Sinuraya, Karokaro Samura, Karokaro Sitepu. 30 Ginting terdiri dari submarga : Ginting Ajar Tambun, Ginting Babo, Ginting Beras, Ginting Capah, Ginting Garamata, Ginting Gurupatih, Ginting Jadibata, Ginting jawak, Ginting Manik, Ginting Munte, Ginting Pase, Ginting Seragih, Ginting Sinusinga, Ginting Sugihen, Ginting Suka, Ginting Tumangger, 31 Tarigan terdiri dari submarga : Tarigan Sibero, Tarigan Tua, Tarigan Silangit, Tarigan Tambak,Tarigan Tegur, Tarigan Gersang, Tarigan Gerneng, Tarigan Gana-gana, Tarigan Jampang, Tarigan Tambun, Tarigan Bondong, Tarigan Pekan,Tarigan Purba 32 Sembiring terdiri dari submarga : Sembiring Kembaren, Sembiring Sinulaki, Sembiring Keloko di Pergendangen, Sembiring Sinupayung, Sembiring Colia, Sembiring Pandia, Sembiring Gurukinayan,Sembiring Berahmana, Sembiring Meliala,Sembiring Pande Bayang, Sembiring Tekang, Sembiring Muham, Sembiring Depari, Sembiring Pelawi, Sembiring Busuk, Sembiring Sinukapar,Sembiring Keling,Sembiring Bunuh Aji 33 Perangin-angin terdiri dari submarga : Peranginangin Namohaji, Peranginangin Sukatendel, Peranginangin Mano, Peranginangin Sebayang, Peranginangin Pencawan, Peranginangin Sinurat, Peranginangin Perbesi, Peranginangin Ulunjandi, Peranginangin Penggarus, Peranginangin Pinem, Peranginangin Uwir, Peranginangin Laksa, Peranginangin Singarimbun, Peranginangin Keliat,Peranginangin Kacinambun, Peranginangin Bangun, Peranginangin Tanjung, Peranginangin Benjerang. Universitas Sumatera Utara Seluruh hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak Karo tersebut diambil berdasarkan pertalian darah maupun dalam hubungan perkawinan perkawinan jujur 34 yang dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu. Senina pada umumnya mereka yang bersaudara karena mempunyai marga yang sama atau karena ibu mereka bersaudara Senina Sepemeren atau karena isteri mereka bersaudara Senina Separibanen atau karena suami mereka bersaudara Senina Secimbangen, Kalimbubu yaitu kelompok dari pihak yang anak perempuannya dikawini, sedangkan Anak Beru adalah kelompok dari pihak yang mengawini anak perempuan tersebut. Tiap orang dalam kedudukannya tersebut sebagai Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu memegang peranan penting dalam setiap kegiatan pada masyarakat adat Batak Karo, termasuk dalam hal pembagian warisan. Dalam hal pembagian warisan, masyarakat Batak Karo pada umumnya melakukan proses pewarisan dengan cara memberikan harta warisan kepada ahli waris setelah pemilik harta atau pewaris meninggal dunia, namun ada dijumpai pula pemberian harta waris itu dapat terjadi pada saat si pewaris masih hidup. Pemberian harta sesudah pewaris meninggal dunia merupakan proses yang universal dalam setiap hukum waris, tetapi pemberian harta warisan sebelum pewaris 34 Perkawinan jujur adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan penyerahan sejumlah barang atau sejumlah uang dari keluarga pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang berfungsi sebagai pengganti atau pembeli atas berpindahnya si perempuan kedalam klan si laki-laki guna menjaga keseimbangan pada keluarga si perempuan. Universitas Sumatera Utara meninggal dunia semasa hidup adalah hal yang tidak biasa dalam hukum waris pada umumnya, namun hal tersebut dalam hukum adat merupakan penerapan dari salah satu asas atau prinsip pewarisan yaitu : “ menurut hukum adat, harta warisan itu adalah meliputi semua harta benda yang pernah dimiliki oleh si peninggal harta semasa hidupnya. Jadi tidaklah hanya terbatas terhadap harta yang dimiliki pada saat ia mati”. 35 Pemberian harta benda oleh orang tua semasa hidup tentunya merupakan suatu bentuk fenomena sosial yang lazim terjadi di kalangan masyarakat adat pada umumnya, khususnya dalam lingkungan masyarakat adat Batak Karo. Proses pemberian barang-barang harta benda oleh orang tua kepada anaknya, seringkali sudah dilakukan ketika orang tua pewaris masih hidup. Pada masyarakat adat Batak Karo pemberian yang dilakukan secara kerukunan itu terjadi di depan Anak beru, Senina, dan Kalimbubu. Kadang-kadang pemberian itu juga dihadiri oleh penghulu Kepala Desa untuk menambah terangnya pemberian tersebut. 36 Pemberian harta benda semacam ini biasanya bertujuan sebagai bentuk tanda kasih sayang dari orangtua kepada anaknya atau sebagai modal awal yang diberikan kepada si anak pada saat ingin menikah ataupun untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Hak seorang anak yang menerima harta pemberian pada pokoknya adalah sebagai hak untuk dimiliki. Pada saat harta pemberian itu diberikan telah beralih hak 35 Datuk Usman, Diktat Hukum Adat, Lok. cit 36 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Lok. cit Universitas Sumatera Utara si ayah kepada si anak. Hak tersebut tidak diambil kembali dari si anak tersebut oleh si ayah maupun oleh ahli waris yang lain. Tetapi sifat kepemilikan harta pemberian itu masih terikat pada boedel harta warisan yang harus diperhitungkan nanti pada waktu pembahagian harta warisan di antara para ahli warisnya. Harta pemberian dalam masyarakat adat Batak Karo merupakan suatu bentuk kasih sayang dan pemupukan tali silaturahmi antara orang tua kepada anaknya. Oleh karena itu dasar keputusan orang tua menjadi sangat penting dalam memberikan harta semasa hidupnya kepada anak tersebut sehingga memiliki dasar yang kuat pada saat orang tua meninggal dunia dan tidak menjadi masalah diantara para ahliwarisnya. Untuk mengetahui dasar keputusan orang tua dalam memberikan harta benda semasa hidupnya kepada anak tersebut, dapat dikaji Teori Keputusan yang dikemukakan oleh Teer Har, yakni : “Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif tersebut. Keputusan tersebut tidak hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga diluar itu didasarkan pada musyawarah kerukunan. Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut.” 37 Teori Keputusan menegaskan bahwa Keputusan diambil berdasarkan nilai- nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota- anggota persekutuan tersebut . 37 M.Solly Lubis, Diktat Teori Hukum, Lok. cit Universitas Sumatera Utara Dalam hal ini Teori Keputusan diperlukan untuk menjelaskan dasar keputusan orang tua dalam memberikan harta benda semasa hidupnya kepada anak berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam hukum adat Batak Karo sehingga memperoleh suatu kejelasan agar pada saat orang tua meninggal dunia, status kepemilikan harta benda tersebut tidak dipertanyakan kembali oleh para ahli warisnya dan tentunya tidak menjadi sumber sengketa diantara mereka yang merupakan ahli warisnya.

2. Konsepsi