Status Kepemilikan Harta Benda Pemberian Orang Tua Semasa Hidupnya Kepada Anak Dalam Hukum Waris Adat Batak Karo (Studi Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo)

(1)

TESIS

OLEH

ABI YASER HANDITO

097011041/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH

ABI YASER HANDITO

097011041/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nama Mahasiswa : Abi Yaser Handito Nomor Pokok : 097011041

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH,MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH,MHum) (Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS. CN) (Prof. Dr. Runtung, SH. MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung , SH. MHum.

Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. MHum. 2. Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS.

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH. MS. CN. 4. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH. CN. MHum.


(5)

Nama Mahasiswa : Abi Yaser Handito Nim : 097011041

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : STATUS KEPEMILIKAN HARTA BENDA

PEMBERIAN ORANG TUA SEMASA HIDUPNYA KEPADA ANAK DALAM HUKUM WARIS ADAT BATAK KARO

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat peryataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang Membuat Pernyataan

Abi Yaser Handito 097011041


(6)

i

pewaris meninggal dunia, namun ada dijumpai pula pemberian harta waris itu dapat terjadi pada saat si pewaris masih hidup. Proses pemberian barang-barang harta benda oleh orang tua kepada anaknya dalam masyarakat adat batak karo, seringkali sudah dilakukan ketika orang tua (pewaris) masih hidup. Pemberian yang dilakukan secara kerukunan itu terjadi di depan Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu.

Harta pemberian dalam masyarakat adat Batak Karo merupakan suatu bentuk kasih sayang dan pemupukan tali silaturahmi antara orang tua kepada anaknya. Akan tetapi dalam prakteknya masih banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan khususnya terhadap harta pemberian semasa hidup tersebut. Pemberian harta yang dilakukan semasa hidup oleh orang tua terkadang pada saat orang tua meninggal dunia menjadi masalah diantara para ahliwarisnya khususnya bagi para ahliwaris yang tidak mendapatkan harta pemberian dari orang tuanya.

Keadaan demikian itu tentunya tidak selaras dengan maksud dari harta pemberian yang sesungguhnya dan juga mengakibatkan kesan kurang baik. Tidak jarang masalah harta pemberian tersebut ditemukan setelah orang tua meninggal dunia yang pada akhirnya menjadi sumber sengketa diantara para ahli warisnya. Lokasi penelitian adalah pada lima desa (desa Tambaklau Mulgap I,desa Sempa Jaya, desa Rumah Berastagi, desa Gundaling I dan desa Lau Gumba) di Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan yuridis sosiologi (empiris) dilakukan dengan cara kualitatif. Dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan pendekatan Induktif.

Hasil penelitian menunjukan bahwa Status kepemilikan harta pemberian semasa hidup yang berupa benda bergerak baik kepada anak laki maupun anak perempuan adalah hak milik pribadi yang tidak perlu dikembalikan ke dalam boedel warisan. Demikian juga terhadap pemberian benda yang tidak bergerak baik kepada anak laki maupun anak perempuan di masa sekarang lebih dominan berstatus hak milik daripada hak pakai saja, sehingga tidak perlu dikembalikan ke dalam bodel warisan pada saat orang tua meninggal dunia.


(7)

inheritance is given when the testators are still alive. The process of bequeathing the property from parents to their heirs in the Karonese tradition is sometimes conducted when the parents (testators) are still alive. This process is conducted in harmony in front of Anak Beru, Senina, and Kalimbubu.

Inheritance in the Karonese tradition is regarded as a token of love and affection and maintaining good relationship between parents and their children. In practice, however, there are still many problems, especially if the inheritance is given when the parents are still alive, or the dead parents have left a valid will. The child (or children) who do not inherit will file a complaint.

This condition is, of course, not in accordance with the real purpose of bequeathing inheritance. It is not uncommon that the problem of inheritance will cause dispute among those who claim as the heirs.

The location of the research was at five villages: Tambaklau Mulgap I village, Sempa Jaya village, Rumah Berastagi village, Gundaling I village, and Lau Gumba village. They were located in Berastagi Subdistrict, Karo District, North Sumatera Province. The type of the research was descriptive analytic, using judicial sociological (empirical) approach and was conducted qualitatively. The drawing of the conclusions was done with inductive approach.

The results of the research showed that the status of giving movable property, when the parents were still alive, to their boys or girls does not need to be categorized as inheritance. Besides that, the giving of property to heirs (male or female) nowadays should be dominantly with the status of property rights and not with the status of the right of use so that it was not necessary to be categorized as inheritance.

Keywords: Status of Property, the Giving when the Testators are still Alive, Karonese Tradition


(8)

iii

karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Tesis ini sebagai salah satu persyaratan untuk memperolah gelar MAGISTER KENOTARIATAN di Universitas Sumatera Utara Medan. Didalam memenuhi tugas inilah maka penulis menyusun dan

memilih judul : “STATUS KEPEMILIKAN HARTA BENDA PEMBERIAN

ORANG TUA SEMASA HIDUPNYA KEPADA ANAK DALAM HUKUM WARIS ADAT BATAK KARO (Studi Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo).” Saya menyadari masih banyak kekurangan didalam penulisan Tesis ini, untuk itu dengan hati terbuka, saya menerima saran dan kritik dari semua pihak, agar dapat menjadi pendoman dimasa yang akan datang.

Didalam penulisan dan penyusunan Tesis ini, saya mendapat bimbingan dan pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tidak ternilai harganya secara kusus kepada Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. MHum., selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. MHum., serta Bapak Dr. Pendastaren Tarigan SH. MS., masing-masing selaku anggota komisi pembimbing kepada saya dalam penulisan tesis ini dan kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS. CN. dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH. CN. MHum., selaku dosen penguji saya dalam penulisan ini.


(9)

2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS. CN. Selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH. CN. MHum. Selaku Sekretaris Program

Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak-Bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para

karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus penulis menghaturkan terimakasih yang tak terhingga kepada Ayahanda tercinta, Herdiyanto,SH. yang selalu memberikan dukungan moril maupun materiil, sehingga saya dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan Ibunda Sri Haryani yang telah bersusah payah melahirkan dan membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran, dan kasih sayang dan doa restu. Serta terima kasih kepada adik saya dr. Ardina Dwi Utari dan Dinda Rahma Sesha atas segala dukungan dan doa-doanya..

Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga besar di Medan, Pakde Setiawan, Bude Lili dan Bude Titi yang selalu memberikan motivasi, doa dan nasehat-nasehat yang bermanfaat selama penulis melakukan penelitian. Dan


(10)

v

Ucapan terimakasih juga saya persembahkan kepada keluarga besar Bapak Syaiful Bachri S.Sos atas doa, dukungan dan nasehat-nasehatnya. Serta Vinny Aryanti, SE. belahan hati yang tak pernah lelah untuk menunggu dan memberikan semangat, memberikan perhatian, cinta dan sayang serta doa, sehingga saya dengan lapang dapat menyelesaikan penulisan dan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terimakasih juga saya persembahkan kepada Henry Purba,SH., Mersita SH, M,Kn beserta keluarga dan Buchler Tarigan, SH, beserta keluarga yang telah sangat banyak memberikan masukan dan saran khususnya tentang adat-istiadat karo sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian.

Ucapan terimakasih juga saya persembahkan kepada Kepala Badan Penelitian Dan Pengembangan Medan, Kepala Kesatuan Bangsa Politik Dan Perlindungan Masyarakat, Camat Berastagi, Kepala Desa Tambaklau Mulgap I, Kepala Desa Gundaling I, Kepala Desa Rumah Berastagi, Kepala Desa Sempa Jaya, Kepala Desa Lau Gumba serta pihak-pihak yang telah membantu saya dalam penelitian tesis ini.

Ucapan terimakasih juga saya persembahkan kepada Ibu Rusley Ginting yang telah memberikan didikan, ajaran dan nasihatnya selama penulis tinggal di rumah beliau untuk mengadakan penelitian di Kecamatan Berastagi.


(11)

Medan.

Ucapan terimakasih juga saya persembahkan kepada kawan-kawan seperjuangan dan sahabat saya, Rahmat SH, Doni SH, Rudi SH, Wina SH, Nida SH, Agustina SH, Pudio SH, Roy SH, Dedi SH, serta seluruh kawan-kawan angkatan 2009 yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang terus memberikan motivasi, semangat dan kerjasama dan diskusi, membantu dan memberikan pemikiran kritik dan saran yang dari awal masuk di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara..

Saya berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rejeki yang melimpah.

Akhirnya, semoga Tesis ini dapat berguna bagi diri dan juga semua pihak dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu Kenotariatan.

Medan, Oktober 2011


(12)

vii I. Identitas Pribadi

Nama : Abi Yaser Handito

Tempat Tanggal Lahir : Medan, 30 September 1986 Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Belum menikah Agama : Islam

Alamat : Jl. Dr. Mansyur No. 41 Medan

II. Keluarga

Nama Ayah : Herdiyanto, SH. Nama Ibu : Sri Haryani

Nama Adik : dr. Ardina Dwi Utari Dinda Rahma Sesha

III. Pendidikan

SD Negeri 10 Timor Leste Tamat Tahun 1998

SLTP Negeri 6 Jakarta Tamat Tahun 2001

SMU Negeri 53 Jakarta Tamat Tahun 2004

S1 Hukum Universitas Negeri Sultan Ageng Tirtayasa Banten Tamat Tahun 2009 S2 Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan Tamat Tahun 2011


(13)

ABSTRAK... i

ABSTRACT………..………...ii

KATA PENGANTAR...iii

RIWAYAT HIDUP...vii

DAFTAR ISI ...viii

DAFTAR TABEL ...xi

DAFTAR ISTILAH ...xii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………1

B. Perumusan Masalah………..……….………11

C. Tujuan Penelitian ……….……..………...11

D. Manfaat Penelitian ……….…….…..12

E. Keaslian Penelitian……….…14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi………..……....15

1. Kerangka Teori………..……….…15

2. Konsepsi………..….23

G. Metodologi Penelitian ………..….25


(14)

ix

5. Alat pengumpulan Data ………28

6. Analisis Data ………..………29

BAB II PEMBERIAN HARTA BENDA ORANG TUA SEMASA HIDUP KEPADA ANAK DALAM HUKUM WARIS ADAT BATAK KARO DI KECAMATAN BERASTAGI

A. Profil Singkat Kecamatan Berastagi………...……31 B. Hukum Waris Adat Karo……….…………...…37 C. Pemberian Harta Benda Orangtua Semasa Hidup Kepada Anak Dalam Hukum Waris Adat Karo Di kecamatan

Berastagi ……….…….…..…...42

BAB III TITEL PEMBERIAN HARTA BENDA ORANG TUA SEMASA HIDUP KEPADA ANAK DALAM HUKUM WARIS ADAT BATAK KARO DI KECAMATAN BERASTAGI

A. Titel Pemberian Harta Benda Orangtua Semasa Hidup Kepada Anak Dalam Hukum Waris Adat Batak

karo……….………..…57 B. Titel Pemberian Harta Benda Orangtua Semasa Hidup


(15)

A. Status Kepemilikan Harta Benda Pemberian Semasa Hidup Menurut Hukum Waris Adat Batak Karo ……….….78

B. Status Kepemilikan Harta Benda Pemberian Semasa Hidup Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung ………...91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ……….……..………..100

B. Saran ……….………..101

DAFTAR PUSTAKA ……….……...103 LAMPIRAN


(16)

xi

Nomor Judul Halaman

1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ………. 32 2. Tingkat Pendidikan Responden ………... 33 3. Pemberian Harta Benda Orang Tua Semasa Hidup

Kepada Anak ……… 48 4. Bentuk Pemberian Harta Orangtua Semasa Hidup

Kepada Anak ……… 49 5. Tujuan Pemberian Harta Orangtua Semasa Hidup

Kepada Anak ……… 53

6. Titel Pemberian Harta Orangtua Semasa Hidup

Kepada Anak ………... 66 7. Status Kepemilikan Pemberian Harta Benda


(17)

2. Merga si lima artinya marga yang terdiri dari Sembiring, Tarigan, Perangin-angin, Karo-karo, dan Ginting

3. Sangkep Sitelu artinya landasan sistem kekerabatan adat istiadat karo yang terdiri dari anak beru, senina dan kalimbubu

4. Anak Beru artinya kelompok penerima anak perempuan untuk diperistri

5. Senina artinya orang yang berdasarkan kelahirannya mempunyai satu kakek dan nenek yang sama baik dari pihak ayah atau dari pihak ibu

6. Kalimbubu artinya kelompok pemberi anak perempuan kepada kelompok tertentu

7. Kekelengen artinya kasih sayang

8. Sereh artinya upah perkawinan

9. Penampat artinya uang pemberian


(18)

xiii

13. Pemere Kalimbubu artinya harta bawaan istri

14. Pemere arinya pemberian

15. Pemberian Tedik-tedik artinya pemberian yang dilakukan secara diam-diam

16. Perpenca artinya perabot rumah tangga

17. Uis artinya pakaian adat 18. Mas artinya perhiasan

19. Taneh artinya tanah

20. Jabu artinya rumah

21. Perkawinan Jujur artinya suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan penyerahan sejumlah barang atau sejumlah uang dari keluarga pihak laki - laki kepada pihak perempuan yang berfungsi sebagai pengganti atau pembeli atas berpindahnya si perempuan kedalam klan si laki-laki guna menjaga keseimbangan pada keluarga si perempuan

22. Perkawinan Impal artinya perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita, dimana ayah si wanita bersaudara dengan ibu si pria


(19)

pewaris meninggal dunia, namun ada dijumpai pula pemberian harta waris itu dapat terjadi pada saat si pewaris masih hidup. Proses pemberian barang-barang harta benda oleh orang tua kepada anaknya dalam masyarakat adat batak karo, seringkali sudah dilakukan ketika orang tua (pewaris) masih hidup. Pemberian yang dilakukan secara kerukunan itu terjadi di depan Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu.

Harta pemberian dalam masyarakat adat Batak Karo merupakan suatu bentuk kasih sayang dan pemupukan tali silaturahmi antara orang tua kepada anaknya. Akan tetapi dalam prakteknya masih banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan khususnya terhadap harta pemberian semasa hidup tersebut. Pemberian harta yang dilakukan semasa hidup oleh orang tua terkadang pada saat orang tua meninggal dunia menjadi masalah diantara para ahliwarisnya khususnya bagi para ahliwaris yang tidak mendapatkan harta pemberian dari orang tuanya.

Keadaan demikian itu tentunya tidak selaras dengan maksud dari harta pemberian yang sesungguhnya dan juga mengakibatkan kesan kurang baik. Tidak jarang masalah harta pemberian tersebut ditemukan setelah orang tua meninggal dunia yang pada akhirnya menjadi sumber sengketa diantara para ahli warisnya. Lokasi penelitian adalah pada lima desa (desa Tambaklau Mulgap I,desa Sempa Jaya, desa Rumah Berastagi, desa Gundaling I dan desa Lau Gumba) di Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan yuridis sosiologi (empiris) dilakukan dengan cara kualitatif. Dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan pendekatan Induktif.

Hasil penelitian menunjukan bahwa Status kepemilikan harta pemberian semasa hidup yang berupa benda bergerak baik kepada anak laki maupun anak perempuan adalah hak milik pribadi yang tidak perlu dikembalikan ke dalam boedel warisan. Demikian juga terhadap pemberian benda yang tidak bergerak baik kepada anak laki maupun anak perempuan di masa sekarang lebih dominan berstatus hak milik daripada hak pakai saja, sehingga tidak perlu dikembalikan ke dalam bodel warisan pada saat orang tua meninggal dunia.


(20)

ii

inheritance is given when the testators are still alive. The process of bequeathing the property from parents to their heirs in the Karonese tradition is sometimes conducted when the parents (testators) are still alive. This process is conducted in harmony in front of Anak Beru, Senina, and Kalimbubu.

Inheritance in the Karonese tradition is regarded as a token of love and affection and maintaining good relationship between parents and their children. In practice, however, there are still many problems, especially if the inheritance is given when the parents are still alive, or the dead parents have left a valid will. The child (or children) who do not inherit will file a complaint.

This condition is, of course, not in accordance with the real purpose of bequeathing inheritance. It is not uncommon that the problem of inheritance will cause dispute among those who claim as the heirs.

The location of the research was at five villages: Tambaklau Mulgap I village, Sempa Jaya village, Rumah Berastagi village, Gundaling I village, and Lau Gumba village. They were located in Berastagi Subdistrict, Karo District, North Sumatera Province. The type of the research was descriptive analytic, using judicial sociological (empirical) approach and was conducted qualitatively. The drawing of the conclusions was done with inductive approach.

The results of the research showed that the status of giving movable property, when the parents were still alive, to their boys or girls does not need to be categorized as inheritance. Besides that, the giving of property to heirs (male or female) nowadays should be dominantly with the status of property rights and not with the status of the right of use so that it was not necessary to be categorized as inheritance.

Keywords: Status of Property, the Giving when the Testators are still Alive, Karonese Tradition


(21)

A. Latar Belakang

Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia.

Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.1

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi, warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya.2

Dalam hal ini, bentuk dan sistem hukum khususnya hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat. Bilamana disepakati bahwa hukum

1

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, Bandung :Sumur Bandung , 1983, hal. 11

2


(22)

merupakan salah satu aspek kebudayaan baik rohaniah atau spiritual maupun kebudayaan jasmani, inilah barangkali salah satu penyebab mengapa adanya beraneka ragam sistem hukum terutama hukum kewarisan. Masyarakat adat membentuk hukum dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri.

Di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari sistem suku-suku bangsa atau kelompok-kelompok etnik.3

Dasar hukum berlakunya hukum adat terdapat dalam pasal 131 I.S (Indische Staatssregeling) ayat 2 b (Stb 1925 no .415 jo.577), termasuk juga berlakunya hukum waris adat yaitu :

“Bagi golongan Indonesia asli (Bumi Putra), golongan Timur Asing dan bagian-bagian dari golongan bangsa tersebut, berlaku peraturan hukum yang didasarkan atas agama dan kebiasaan mereka,…….”

Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud (Immatereriele Goederen) dari suatu angkatan manusia (Generatie) kepada turunannya.4

Hukum Waris adat di Indonesia tidak lepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari

3

Soerjono Soekanto, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1966, hal.7

4


(23)

alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya dibedakan dalam dalam tiga corak yaitu :

a. Sistem patrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan bapak dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan anak wanita dalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram,Nusa tenggara, Irian).

b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan ibu dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan anak wanita dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano, Timor).

c. Sistem Parental, yaitu sistem yang ditarik menurut garis kedua orangtua, atau menurut garis dua sisi. Bapak dan ibu dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi). 5

Di Indonesia faktor sistem kekerabatan mempengaruhi berlakunya aneka hukum adat, termasuk hukum waris yang mempunyai corak sendiri-sendiri berdasarkan masyarakat adatnya masing-masing, demikian juga halnya hukum adat dalam masyarakat Batak Karo. Hal ini sejalan dengan pendapat Hazairin yang mengatakan bahwa “Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri ada didalam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan sistem keturunan keturunannya matrilineal, patrilineal, parental masih nampak kebenarannya.”6

5

H.Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Op.cit. , hal.23 6


(24)

Dari hasil penelitian Panitia Kongres Kebudayaan Karo dikemukakan bahwa masyarakat Batak Karo adalah termasuk masyarakat yang masih sangat kental dan sangat menjunjung tinggi adat-istiadatnya. Ketentuan itu semakin terlihat dari dalam mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakat seperti dalam hal proses perkawinan, kelakuan dan juga dalam hal waris.

Seperti yang diketahui sejak dahulu sampai sekarang pada masyarakat adat Batak Karo berlaku sistem keturunan dari pihak bapak (Patrilineal) yaitu didasarkan atas dasar pertalian darah menurut garis bapak.7 Sehingga hanyalah anak laki-laki yang menjadi ahli waris, karena anak perempuan dianggap telah keluar dari kerabat bapaknya, jika ia telah kawin.8

Dalam masyarakat Batak Karo, apabila seseorang anak perempuan telah menikah maka dianggap tergolong kepada kerabat suaminya. Oleh karena itu dapatlah dimengerti bahwa yang meneruskan garis keturunan dalam masyarakat Batak Karo adalah anak laki-laki saja, sedangkan anak perempuan apabila ia telah kawin maka kekerabatannya akan beralih kepada kerabat suaminya.

Garis keturunan dalam masyakat karo ditarik berdasarkan marga (dalam bahasa Batak Karo disebut Merga) yang mengakibatkan timbulnya hubungan kekeluargaan yang hidup dalam masyarakat. Dalam hal ini masyarakat Batak karo mengenal lima jenis marga utama yang biasa disebut dengan Merga Si Lima. Setiap

7 Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada,2001,hal.240

8

Djaja S. Meliala & Aswin Peranginangin, Hukum Perdata Adat Karo dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional, Bandung: Tarsito, 1978, hal. 54


(25)

anggota masyarakat Batak karo termasuk kepada salah satu marga ini. Kelima marga ini masing-masing mempunyai cabang atau submarga pula yaitu :

a. Marga Karo-Karo b. Marga Ginting c. Marga Tarigan d. Marga Sembiring e. Marga Perangin-angin

Seluruh hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak Karo tersebut diambil berdasarkan pertalian darah maupun dalam hubungan perkawinan yang dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu.

Senina pada umumnya mereka yang bersaudara karena mempunyai marga

yang sama atau karena ibu mereka bersaudara (Senina Sepemeren) atau karena isteri mereka bersaudara (Senina Separibanen) atau karena suami mereka bersaudara

(Senina Secimbangen), Kalimbubu yaitu kelompok dari pihak yang anak

perempuannya dikawini, sedangkan Anak Beru adalah kelompok dari pihak yang mengawini anak perempuan tersebut.

Tiap orang dalam kedudukannya tersebut sebagai Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu memegang peranan penting dalam setiap kegiatan pada masyarakat adat Batak Karo, baik dalam hal perkawinan maupun pewarisan.


(26)

Khusus dalam hal perkawinan, masyarakat adat Batak Karo dikenal adanya pemberian jujuran atau biasa disebut perkawinan jujur9 yang dilakukan oleh wali kerabat pria dengan upacara adat dan diikuti dengan pemberian harta bawaan oleh kerabat wanita untuk dibawa mempelai wanita ke dalam perkawinan jujur. Inilah yang membawa akibat lepasnya hubungan adat si wanita dari kerabatnya masuk ke

kerabat pria. Maka dari sistem kekerabatan dan sistem perkawinan jujur inilah yang

pada akhirnya dapat ditarik alur dalam pembagian warisan adat Batak Karo.

Dalam hal pembagian warisan, masyarakat Batak Karo pada umumnya melakukan proses pewarisan dengan cara memberikan harta warisan kepada ahli waris setelah pemilik harta atau pewaris meninggal dunia, namun ada dijumpai pula pemberian harta waris itu dapat terjadi pada saat si pewaris masih hidup.

Pemberian harta sesudah pewaris meninggal dunia merupakan proses yang universal dalam setiap hukum waris, tetapi pemberian harta warisan sebelum pewaris meninggal dunia (semasa hidup) adalah hal yang tidak biasa dalam hukum waris pada umumnya, namun hal tersebut dalam hukum adat merupakan penerapan dari salah satu asas atau prinsip pewarisan yaitu : “ menurut hukum adat, harta warisan itu adalah meliputi semua harta benda yang pernah dimiliki oleh si peninggal harta

9 Perkawinan jujur

adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan penyerahan sejumlah barang atau sejumlah uang dari keluarga pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang berfungsi sebagai pengganti atau pembeli atas berpindahnya si perempuan kedalam klan si laki-laki guna menjaga keseimbangan pada keluarga si perempuan


(27)

semasa hidupnya. Jadi tidaklah hanya terbatas terhadap harta yang dimiliki pada saat ia mati”. 10

Harta pemberian merupakan harta warisan yang asalnya bukan didapat karena jerih payah bekerja sendiri melainkan karena hubungan cinta kasih, balas budi atau jasa atau karena sesuatu tujuan.11

Bentuk-bentuk pemberian harta benda semasa hidup sebenarnya masih banyak dilakukan di daerah-daerah adat khususnya terhadap pemberian yang dilakukan oleh orang tua semasa hidupnya seperti di daerah Tapanuli disebut Holong

Ate, Indahan Arian, atau Pambaenan yang merupakan suatu bentuk pemberian harta

benda oleh orang tua kepada anaknya. Pada masyarakat Lampung ada kemungkinan isteri dalam perkawinan jujur mendapat pemberian barang tetap dari orang tua atau kerabatnya disebut Tanoh Sesan atau Saba Bangunan. 12

Di lingkungan masyarakat adat Daya-kendayan Kalimantan Barat kemungkinan pemberian orang tua kepada anak, akan lebih banyak diberikan kepada Anak Pangkalan yaitu anak yang menjamin memelihara mengurus orang tua sampai wafatnya. Begitu pula di daerah Banten pemberian orang tua biasanya dengan cara memberikan rumah kepada anak wanita dan suami si wanita setelah perkawinan mengikuti si istri. 13

10

Datuk Usman, Diktat Hukum Adat, Medan : Bina Sarana Balai Penmas SU, (tanpa tahun), hal.145

11

H.Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Op.cit. , hal.51 12

H.Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung : Alumni,1977, hal.161 13


(28)

Pemberian harta benda semasa hidup tersebut tentunya merupakan suatu bentuk fenomena sosial yang lazim terjadi di kalangan masyarakat adat pada umumnya, khususnya dalam lingkungan masyarakat patrilineal seperti pada masyarakat adat Batak Karo.

Dalam sistem hukum adat waris di Tanah Karo, pewaris adalah hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari orang tuanya. Akan tetapi anak laki-laki tidak dapat membantah pemberian harta yang dilakukan orang tua semasa hidupnya kepada anak perempuan, demikian juga sebaliknya. Hal tersebut didasarkan pada prinsip bahwa orang tua (pewaris) bebas menentukan untuk membagi-bagi harta benda kepada anak-anaknya berdasarkan kebijaksanaan orang tua yang tidak membedakan kasih sayangnya kepada anak-anaknya.

Salah satu bentuk pemberian semasa hidup ini adalah Pemere yaitu pemberian atas tanah atau ladang dari harta pusaka. Biasanya Pemere diberikan kepada anak yang sudah berumah tangga sebagai harta untuk diusahainya dan sebaai tempat untuk mencari nafkah. Pemberian harta benda semacam ini biasanya bertujuan sebagai bentuk tanda kasih sayang dari orangtua kepada anaknya atau sebagai modal awal yang diberikan kepada si anak pada saat ingin menikah ataupun untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.14

Proses pemberian barang-barang harta benda oleh orang tua kepada anaknya dalam masyarakat adat batak karo, seringkali sudah dilakukan ketika orang tua

14

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Bandung : Refika Aditama,2005, hal.59


(29)

(pewaris) masih hidup. Pemberian yang dilakukan secara kerukunan itu terjadi di depan Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu. Kadang-kadang pemberian itu juga dihadiri oleh penghulu (Kepala Desa) untuk menambah terangnya pemberian tersebut. 15

Harta pemberian dalam masyarakat adat Batak Karo merupakan suatu bentuk kasih sayang dan pemupukan tali silaturahmi antara orang tua kepada anaknya. Akan tetapi dalam prakteknya masih banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan khususnya terhadap harta pemberian semasa hidup tersebut. Pemberian harta yang dilakukan semasa hidup oleh orang tua terkadang pada saat orang tua meninggal dunia menjadi masalah diantara para ahliwarisnya khususnya bagi para ahliwaris yang tidak mendapatkan harta pemberian dari orang tuanya.

Keadaan demikian itu tentunya tidak selaras dengan maksud dari harta pemberian yang sesungguhnya dan juga mengakibatkan kesan kurang baik. Tidak jarang masalah harta pemberian tersebut ditemukan setelah orang tua meninggal dunia yang pada akhirnya menjadi sumber sengketa diantara para ahli warisnya. Salah satu contoh terhadap perkara perdata Nomor 225/Pdt.G/2009/Pn-Mdn. Antara SBT dan anak-anaknya, MBS dan anak-anaknya melawan LRB, dan MBB yang kasus posisinya sebagai berikut.

Awalnya SB memiliki beberapa bidang tanah dari hasil perkawinannya dengan istrinya TBS dan hasil perkawinannya tersebut mempunyai empat orang anak yaitu PB (laki-laki), MB (laki-laki), LRB (perempuan), dan MBB (perempuan).

15


(30)

Seiring waktu anak pertama yaitu PB pun menikah dengan MBS dan memilki 3 orang anak, begitu juga dengan anak kedua MB yang menikah dengan SBT dan memiliki 5 orang anak, dari perkawinan MB tersebut kemudian SB sebagai orang tua memberikan sebidang tanah kepada MB dan SBT sebagai bentuk upah perkawinan adat.

Namun keadaan berubah ketika SB dan TBS meninggal dunia masing-masing pada tahun 1992 dan 2001 yang disusul juga oleh 2 orang anaknya yaitu PB dan MB meninggal dunia masing-masing pada tahun 2002 dan 2003, yang secara hukum maka ahli waris yang berhak terhadap harta warisan SB dan TBS yaitu SBT dan anak-anaknya, MBS dan anak-anaknya yang menggantikan kedudukan suami mereka sebagai ahli waris, serta LRB, dan MBB.

Maka ketika diadakan pembagian waris secara adat kepada MBS dan anaknya, SBT dan anaknya, Pihak dari LRB, dan MBB tidak sepakat terhadap pembagian waris adat tersebut yang merasa tidak adil. Dikarenakan harta pemberian yang diterima oleh SBT dianggap bukanlah suatu pemberian dalam upah perkawinan adat melainkan termasuk kedalam harta warisan SB dan TBS, yang pada akhirnya pihak dari LRB, dan MBB menuntut ke Pengadilan Negeri Medan agar harta tersebut harus dibagi secara rata.

Kasus Posisi tersebut merupakan salah satu contoh permasalahan warisan yang terjadi pada masyarakat adat khususnya pada masyarakat adat Batak Karo. Tentunya masalah harta pemberian orang tua semasa hidupnya kepada anaknya masih


(31)

perlu dikaji lebih lanjut. Sehingga pada saat orang tua meninggal dunia, status kepemilikan harta benda tersebut tidak dipertanyakan kembali oleh para ahli waris dan tidak menjadi sumber sengketa diantara mereka yang merupakan ahli warisnya.

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul tesis : Status Kepemilikan Harta Benda Pemberian Orang Tua Semasa Hidupnya Kepada Anak Dalam Hukum Waris Adat Batak Karo (Studi Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas dapat di identifikasi permasalahan sebagai berikut :

1. Mengapa orang tua semasa hidupnya memberikan harta benda kepada anak pada masyarakat adat Batak Karo di Kecamatan Berastagi ?

2. Bagaimanakah titel pemberian harta benda oleh orang tua semasa hidupnya kepada anak menurut hukum waris adat Batak Karo di Kecamatan Berastagi? 3. Bagaimanakah status kepemilikan harta benda yang diberikan orang tua

semasa hidupnya kepada anak menurut hukum waris adat Batak Karo di Kecamatan Berastagi?

C. Tujuan Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto tujuan penelitian dirumuskan secara deklaratif dan merupakan pernyataan-pernyataan tentang apa yang hendak dicapai dengan


(32)

penulisan tersebut.16 Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian tesis ini adalah :

1. Untuk mengetahui alasan orang tua semasa hidupnya memberikan harta benda kepada anak pada masyarakat adat Batak Karo di Kecamatan Berastagi.

2. Untuk mengetahui titel pemberian harta benda oleh orang tua semasa hidupnya kepada anak menurut hukum waris adat Batak Karo di Kecamatan Berastagi.

3. Untuk mengetahui status kepemilikan harta benda yang diberikan orang tua semasa hidupnya kepada anak menurut hukum waris adat Batak Karo di Kecamatan Berastagi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu dalam memproses ilmu pengetahuan.17Secara operasional penelitian dapat berfungsi sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menunjang pembangunan, mengembangkan sistem dan mengembangkan kualitas manusia.18

Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam

16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986, hal.118 17 Bahder Johan Nasution , Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung : Mandar Maju, 2008, hal.10


(33)

kerangka know-how di dalam hukum. Dengan melakukan penelitian hukum diharapkan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan.19 Bertitik tolak dari tujuan penelitian sebagaimana tersebut diatas, diharapkan dengan penelitian ini akan dapat memberikan manfaat atau kegunaan secara teoritis dan praktis di bidang hukum yaitu sebagai berikut:

a. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk sumbang saran untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan awal maupun sebagai bahan perbandingan untuk penelitian yang lebih luas yang berhubungan dengan harta pemberian yang diberikan orang tua semasa hidup kepada anaknya menurut sistem hukum waris adat Batak Karo.

b. Secara praktis

Memberi informasi yang dibutuhkan masyarakat Karo di masa mendatang apabila terjadi permasalahan terkait harta pemberian orang tua semasa hidupnya kepada anak menurut sistem hukum waris adat Batak Karo. Memberikan pengertian dan pemahaman yang dapat berguna serta memberikan sumbangan pemikiran dan penjelasan bagi mereka yang hendak mempelajari dan mengkaji harta pemberian orang tua semasa hidupnya kepada anak menurut sistem hukum adat Batak Karo.

19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007, hal.41


(34)

E. Keaslian Penelitian

Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang dengan judul “Status Kepemilikan Harta Benda Pemberian Orang Tua Semasa Hidupnya Kepada Anak Dalam Hukum Waris Adat Batak Karo belum pernah dilakukan terhadap permasalahan yang sama.

Pada Tahun 2009 ditemukan penelitian atas nama Frans Cory Melando Ginting peserta program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara medan, dengan judul tesis “Perkembangan Hukum waris Adat Pada Masyarakat Adat Batak Karo di Kecamatan Merdeka”. Beberapa Pokok Permasalahan yang diangkat adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana perkembangan unsur-unsur ahli waris pada masyarakat adat Batak Karo di kecamatan Merdeka.

2. Bagaimana pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat Batak Karo di Kecamatan Merdeka.

3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran Hukum Waris Adat Batak Karo pada masyarakat Batak Karo di di Kecamatan Merdeka. Penelitian Frans Cory Melando Ginting tersebut difokuskan pada perkembangan dalam kaitannya dengan pergeseran hukum waris adat pada masyarakat adat Batak Karo di Kecamatan Merdeka. Sedangkan dalam penelitian ini


(35)

masalah utama adalah status hukum kepemilikan harta benda pemberian orangtua kepada anak dalam hukum waris adat Batak Karo dan lokasi penelitian adalah di Kecamatan Berastagi.

Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan mengandung kadar keaslian karena telah memenuhi dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu mengandung aspek kejujuran, rasional, objektif, dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, dan terbuka terhadap beberapa masukan serta saran-saran yang bersifat membangun.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelittian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.20 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.21

Pada dasarnya Teori yang berkenaan dengan judul penulis diatas adalah Teori yang berkenaan dengan sosiologi hukum yaitu Teori yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich. Dalam bukunya berjudul “Fundamental Principles of the Sociology of Law”. Dari bukunya tersebut terdapat konsep “living law”, Konsep ini menekankan bahwa,

20 Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian,Skripsi dan Tesis, Yogyakarta : Andi, 2006, hal.6


(36)

hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, atau dengan apa yang disebut dengan hukum adat . 22

Dalam penjelasan umum Alinea I Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa :

“Undang-Undang Dasar suatu Negara ialah sebagian dari hukumnya dasar Negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis,ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.”23

Pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis (hukum adat).

Seperti dijelaskan pada pasal 131 I.S (Indische Staatssregeling) ayat 2 b (Stb 1925 no .415 jo.577), Mengenai dasar berlakunya hukum adat termasuk juga berlakunya hukum waris adat di Indonesia yaitu :

“Bagi golongan Indonesia asli (Bumi Putra), golongan Timur Asing dan bagian-bagian dari golongan bangsa tersebut, berlaku peraturan hukum yang didasarkan atas agama dan kebiasaan mereka,…….”

Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang

22

Syafruddin Kalo, Modul Kuliah Penemuan Hukum, disampaikan pada Rangkaian Sari Kuliah Semester II,Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, USU Medan, 2007, hal.18

23


(37)

tidak berwujud (Immatereriele Goederen) dari suatu angkatan manusia (Generatie) kepada turunannya.24

Hukum Waris adat di Indonesia tidak lepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya dibedakan dalam dalam tiga corak yaitu :

a. Sistem patrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan bapak dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan anak wanita dalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram,Nusa tenggara, Irian).

b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan ibu dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan anak wanita dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano, Timor).

c. Sistem Parental, yaitu sistem yang ditarik menurut garis kedua orangtua, atau menurut garis dua sisi. Bapak dan ibu dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan didalam pewarisan (Aceh, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi). 25

Dengan demikian berlakunya sistem hukum adat di Indonesia tergantung kepada daerahnya masing-masing sesuai adat dan kebiasaan mereka. Hal ini juga ditegaskan oleh Soepomo yang mengatakan bahwa :

24

Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, Lok. cit 25


(38)

“Hukum Adat merupakan hukum yang melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hukum yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan, dimana ia memutuskan perkara.”26

Dari hasil penelitian Panitia Kongres Kebudayaan Karo dikemukakan bahwa masyarakat Batak Karo adalah termasuk masyarakat yang masih sangat kental dan sangat menjunjung tinggi adat-istiadatnya. Ketentuan itu semakin terlihat dari dalam mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakat seperti dalam hal proses perkawinan, kelakuan dan juga dalam hal waris.

Seperti yang diketahui sejak dahulu sampai sekarang pada masyarakat adat Batak Karo berlaku sistem keturunan dari pihak bapak (Patrilineal) yaitu didasarkan atas dasar pertalian darah menurut garis bapak.27 Sehingga hanyalah anak laki-laki yang menjadi ahli waris, karena anak perempuan dianggap telah keluar dari kerabat bapaknya, jika ia telah kawin.28

Dalam masyarakat Batak Karo, apabila seseorang anak perempuan telah menikah maka dianggap tergolong kepada kerabat suaminya. Oleh karena itu dapatlah dimengerti bahwa yang meneruskan garis keturunan dalam masyarakat Batak Karo adalah anak laki-laki saja, sedangkan anak perempuan apabila ia telah kawin maka kekerabatannya akan beralih kepada kerabat suaminya.

26

Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Lok. cit

27 Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia, Lok. cit 28

Djaja S. Meliala & Aswin Peranginangin, Hukum Perdata Adat Karo dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional, Lok. cit.


(39)

Garis keturunan dalam masyakat karo ditarik berdasarkan marga (dalam bahasa Batak Karo disebut Merga) yang mengakibatkan timbulnya hubungan kekeluargaan yang hidup dalam masyarakat. Dalam hal ini masyarakat Batak karo mengenal lima jenis marga utama yang biasa disebut dengan Merga Si Lima. Setiap anggota masyarakat Batak karo termasuk kepada salah satu marga ini. Kelima marga ini masing-masing mempunyai cabang atau submarga pula yaitu :

a. Marga Karo-Karo29 b. Marga Ginting30 c. Marga Tarigan31 d. Marga Sembiring32 e. Marga Perangin-angin33

29

Karokaro terdiri dari submarga : Karokaro Sinulingga, Karokaro Surbakti,Karokaro Kacaribu,Karokaro Sinukaban,Karokaro Barus, Karokaro Simbulan, Karokaro Jung, Karokaro Purba, Karokaro Ketaren, Karokaro Pertampilen, Karokaro Gurusinga,Karokaro Kaban,Karokaro Sinuhaji, Karo Sekali, Karokaro Kemit, Karokaro Bukit, Karokaro Sinuraya, Karokaro Samura, Karokaro Sitepu.

30

Ginting terdiri dari submarga : Ginting Ajar Tambun, Ginting Babo, Ginting Beras, Ginting Capah, Ginting Garamata, Ginting Gurupatih, Ginting Jadibata, Ginting jawak, Ginting Manik, Ginting Munte, Ginting Pase, Ginting Seragih, Ginting Sinusinga, Ginting Sugihen, Ginting Suka, Ginting Tumangger,

31

Tarigan terdiri dari submarga : Tarigan Sibero, Tarigan Tua, Tarigan Silangit, Tarigan Tambak,Tarigan Tegur, Tarigan Gersang, Tarigan Gerneng, Tarigan Gana-gana, Tarigan Jampang, Tarigan Tambun, Tarigan Bondong, Tarigan Pekan,Tarigan Purba

32Sembiring

terdiri dari submarga : Sembiring Kembaren, Sembiring Sinulaki, Sembiring Keloko di Pergendangen, Sembiring Sinupayung, Sembiring Colia, Sembiring Pandia, Sembiring Gurukinayan,Sembiring Berahmana, Sembiring Meliala,Sembiring Pande Bayang, Sembiring Tekang, Sembiring Muham, Sembiring Depari, Sembiring Pelawi, Sembiring Busuk, Sembiring Sinukapar,Sembiring Keling,Sembiring Bunuh Aji

33

Perangin-angin terdiri dari submarga : Peranginangin Namohaji, Peranginangin Sukatendel, Peranginangin Mano, Peranginangin Sebayang, Peranginangin Pencawan, Peranginangin Sinurat, Peranginangin Perbesi, Peranginangin Ulunjandi, Peranginangin Penggarus, Peranginangin Pinem, Peranginangin Uwir, Peranginangin Laksa, Peranginangin Singarimbun, Peranginangin Keliat,Peranginangin Kacinambun, Peranginangin Bangun, Peranginangin Tanjung, Peranginangin Benjerang.


(40)

Seluruh hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak Karo tersebut diambil berdasarkan pertalian darah maupun dalam hubungan perkawinan (perkawinan

jujur)34 yang dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu Anak Beru, Senina, dan

Kalimbubu.

Senina pada umumnya mereka yang bersaudara karena mempunyai marga

yang sama atau karena ibu mereka bersaudara (Senina Sepemeren) atau karena isteri mereka bersaudara (Senina Separibanen) atau karena suami mereka bersaudara

(Senina Secimbangen), Kalimbubu yaitu kelompok dari pihak yang anak

perempuannya dikawini, sedangkan Anak Beru adalah kelompok dari pihak yang mengawini anak perempuan tersebut.

Tiap orang dalam kedudukannya tersebut sebagai Anak Beru, Senina, dan Kalimbubu memegang peranan penting dalam setiap kegiatan pada masyarakat adat Batak Karo, termasuk dalam hal pembagian warisan.

Dalam hal pembagian warisan, masyarakat Batak Karo pada umumnya melakukan proses pewarisan dengan cara memberikan harta warisan kepada ahli waris setelah pemilik harta atau pewaris meninggal dunia, namun ada dijumpai pula pemberian harta waris itu dapat terjadi pada saat si pewaris masih hidup.

Pemberian harta sesudah pewaris meninggal dunia merupakan proses yang universal dalam setiap hukum waris, tetapi pemberian harta warisan sebelum pewaris

34 Perkawinan jujur

adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan penyerahan sejumlah barang atau sejumlah uang dari keluarga pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang berfungsi sebagai pengganti atau pembeli atas berpindahnya si perempuan kedalam klan si laki-laki guna menjaga keseimbangan pada keluarga si perempuan.


(41)

meninggal dunia (semasa hidup) adalah hal yang tidak biasa dalam hukum waris pada umumnya, namun hal tersebut dalam hukum adat merupakan penerapan dari salah satu asas atau prinsip pewarisan yaitu : “ menurut hukum adat, harta warisan itu adalah meliputi semua harta benda yang pernah dimiliki oleh si peninggal harta semasa hidupnya. Jadi tidaklah hanya terbatas terhadap harta yang dimiliki pada saat ia mati”. 35

Pemberian harta benda oleh orang tua semasa hidup tentunya merupakan suatu bentuk fenomena sosial yang lazim terjadi di kalangan masyarakat adat pada umumnya, khususnya dalam lingkungan masyarakat adat Batak Karo.

Proses pemberian barang-barang harta benda oleh orang tua kepada anaknya, seringkali sudah dilakukan ketika orang tua (pewaris) masih hidup. Pada masyarakat adat Batak Karo pemberian yang dilakukan secara kerukunan itu terjadi di depan Anak beru, Senina, dan Kalimbubu. Kadang-kadang pemberian itu juga dihadiri oleh penghulu (Kepala Desa) untuk menambah terangnya pemberian tersebut. 36

Pemberian harta benda semacam ini biasanya bertujuan sebagai bentuk tanda kasih sayang dari orangtua kepada anaknya atau sebagai modal awal yang diberikan kepada si anak pada saat ingin menikah ataupun untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

Hak seorang anak yang menerima harta pemberian pada pokoknya adalah sebagai hak untuk dimiliki. Pada saat harta pemberian itu diberikan telah beralih hak

35

Datuk Usman, Diktat Hukum Adat, Lok. cit

36


(42)

si ayah kepada si anak. Hak tersebut tidak diambil kembali dari si anak tersebut oleh si ayah maupun oleh ahli waris yang lain. Tetapi sifat kepemilikan harta pemberian itu masih terikat pada boedel harta warisan yang harus diperhitungkan nanti pada waktu pembahagian harta warisan di antara para ahli warisnya.

Harta pemberian dalam masyarakat adat Batak Karo merupakan suatu bentuk kasih sayang dan pemupukan tali silaturahmi antara orang tua kepada anaknya. Oleh karena itu dasar keputusan orang tua menjadi sangat penting dalam memberikan harta semasa hidupnya kepada anak tersebut sehingga memiliki dasar yang kuat pada saat orang tua meninggal dunia dan tidak menjadi masalah diantara para ahliwarisnya.

Untuk mengetahui dasar keputusan orang tua dalam memberikan harta benda semasa hidupnya kepada anak tersebut, dapat dikaji Teori Keputusan yang dikemukakan oleh Teer Har, yakni :

“Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidak hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga diluar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut.”37

Teori Keputusan menegaskan bahwa Keputusan diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut .


(43)

Dalam hal ini Teori Keputusan diperlukan untuk menjelaskan dasar keputusan orang tua dalam memberikan harta benda semasa hidupnya kepada anak berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam hukum adat Batak Karo sehingga memperoleh suatu kejelasan agar pada saat orang tua meninggal dunia, status kepemilikan harta benda tersebut tidak dipertanyakan kembali oleh para ahli warisnya dan tentunya tidak menjadi sumber sengketa diantara mereka yang merupakan ahli warisnya.

2. Konsepsi

Konsep merupakan bagian terpenting dari pada teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realita.38Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional39

Konsep dapat dilihat dari segi subyektif dan obyektif. Dari segi subyektif konsep merupakan suatu kegiatan intelek untuk menangkap sesuatu. Sedangkan dari segi obyektif, konsep merupakan suatu yang ditangkap oleh kegiatan intelek tersebut. Hasil dari tangkapan akal manusia itulah yang dinamakan konsep.40

Konsep merupakan “alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh

38 Masri Singarimbun dkk., Metode Penelitian Survey, Jakarta : LP3ES,1989,hal.34 39 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta : RajaGrafindo, 1998, hal.307

40 Komaruddin Yooke Tjuparmah S Komaruddi, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Jakarta : Bumi Aksara, 2006, hal.122


(44)

suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis”.41

Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.42 Selanjutnya konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalah dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala itu. Maka konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variabel-variabel yang ingin menetukan adanya gejala empiris.43

Beranjak dari judul tesis ini yaitu “Status Kepemilikan Harta Benda Pemberian Orang Tua Semasa Hidupnya Kepada Anak Dalam Hukum Waris Adat Batak Karo” maka dapatlah dijelaskan konsepsi ataupun pengertian dari kata demi kata dalam judul tersebut, yaitu sebagai berikut ;

a. Status adalah kedudukan terhadap suatu objek tertentu (harta benda) yang berasal dari pemberian orang tua semasa hidup.

b. Kepemilikan adalah perihal kepunyaan terhadap suatu barang yang berasal dari pemberian orang tua semasa hidup.

41 Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,1996, hal.70

42 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hal.7

43 Koentjoro Ningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal.21


(45)

c. Harta benda adalah harta benda milik orang tua yang diperoleh semasa hidup.

d. Pemberian adalah suatu proses terhadap pemberian suatu barang yang diberikan atas dasar kasih sayang maupun silaturahmi antara orang tua dan anak.

e. Hukum adalah peraturan atau norma yang mengikat dan mengatur pergaulan hidup masyarakat dalam kaitannya terhadap pengaturan objek tertentu (harta benda) yang berasal dari pemberian orang tua semasa hidup.

f. Waris adalah suatu cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup terhadap suatu obyek tertentu.

g. Adat adalah suatu aturan yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala oleh sekumpulan masyarakat dalam hal ini masyarakat adat Batak Karo.

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian dan Metode Pendekatan

Penelitian ini bersifat deskriptif, dimana penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan atau melukiskan tentang suatu hal pada tempat dan suatu hal


(46)

tertentu.44 Sehingga penelitian ini menggambarkan status kepemilikan harta benda pemberian orang tua semasa hidupnya kepada anak dalam hukum waris adat batak karo serta menganalisis masalah-masalah yang timbul yang berhubungan dengan hal tersebut secara terperinci dan kritis selanjutnya mencoba menarik kesimpulan dan memberikan masukan-masukan berupa saran.

Bahan-bahan penelitian ini akan diperoleh secara kuesioner atau angket, yaitu sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hak yang ia ketahui.

Untuk memperkuat bahan-bahan penelitian ini maka dilakukan wawancara kepada Camat, Kepala Desa, Kepala Lingkungan dan masyarakat pada Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis (empiris). Yuridis sosiologis (empiris) berarti penelitian ini mempelajari bahan pustaka dan data yang terdapat dari hasil wawancara dan dibandingkan Undang-Undang yang sedang berlaku sekarang.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Namun mengingat luasnya wilayah di kecamatan Berastagi tersebut maka diambil 5 (lima) desa sebagai sampel yaitu :

44 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 83


(47)

a. Desa Tambak Lau Mulgap I b. Desa Sempa Jaya

c. Desa Rumah Berastagi d. Desa Gundaling I e. Desa Lau Gumba

Pengambilan Sampel dilakukan secara purposive sampel yaitu penentuan sampel berdasarkan pertimbangan pribadi si peneliti secara terencana dan terararah. Adapun yang menjadi pertimbangan si peneliti bahwa pemberlakuan waris adat di daerah tersebut masih dilakukan secara murni menurut hukum waris adat Batak Karo.

3. Populasi dan Sampel, Responden Penelitian

Sebagai populasi dalam melakukan penelitian ini adalah seluruh masyarakat Batak Karo yang telah melakukan pemberian harta di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara.

Hal ini dimaksudkan untuk melihat bentuk-bentuk harta warisan dalam pembagian warisan pada masyarakat Batak Karo. Maka dalam penelitian ini penulis mengambil sampel 7 (tujuh) orang dari setiap desa dimana yang akan diwawancarai adalah orang yang telah melakukan pemberian harta semasa hidup sesuai dengan adat istiadat karo.


(48)

4. Tehnik Pengumpulan Data

Untuk mendapat data yang akurat dan relevan, baik berupa pengetahuan ilmiah, maupun tentang suatu fakta atau gagasan, maka pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan (Library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan baik berupa dokumen-dokumen, maupun Peraturan Perundang-undangan, yang berkaitan dengan hukum waris adat pada masyarakat Batak Karo.

b. Studi Lapangan (Field Research) yaitu untuk melakukan wawancara dengan masyarakat dan pemerintah yang berada dalam Kecamatan Berastagi, Kotamadya Medan, Propinsi Sumatera Utara.

5. Alat Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara sebagai berikut :

a. Studi Dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan materi penelitian.45 Sehingga untuk mengumpulkan data skunder guna dipelajari kaitannya dengan permasalahan


(49)

yang diajukan. Data ini diperoleh dengan mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang ada kaitannya dengan hukum waris adat pada masyarakat Batak Karo.

b. Wawancara, dilakukan dengan pedoman wawancara kepada informan yang telah ditetapkan dengan memilih model wawancara langsung (tatap muka), yang terlebih dahulu dibuat pedoman wawancara dengan sistematis, tujuannya agar mendapatkan data yang mendalam dan lebih lengkap dan punya kebenaran yang konkrit baik secara hukum maupun kenyataan yang ada di lapangan.

6. Analisis Data

Analisis data merupakan proses penelaahan yang diawali dengan melalui verifikasi data sekunder dan data primer. Untuk selanjutnya dilakukan pengelompokkan sesuai dengan pembahasan permasalahan. Analisis data adalah sesuatu yang harus dikerjakan untuk memperoleh pengertian tentang situasi yang sesungguhnya, disamping itu juga harus dikerjakan untuk situasi yang nyata.46

Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara kualitatif dengan mengumpulkan data primer dan sekunder, selanjutnya dilakukan pemeriksaan dan pengelompokan agar menghasilkan data yang lebih sederhana sehingga mudah dibaca

46 Erickson dan Nosanchuk, Memahami Data Statistik Untuk Ilmu Sosial, Jakarta : LP3ES, 1996,hal.17


(50)

dan dimengerti. Selanjutnya dilakukan klasifikasi data menurut jenisnya dalam bentuk persentase.

Kemudian data yang telah disusun secara sistematik dalam bentuk persentase dianalisis secara kualitatif dengan metode deskriptif analisis sehingga dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam pelaksanaan warisan di Kecamatan Berastagi, Kabupatan Karo. Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode induktif sebagai jawaban dari masalah yang telah dirumuskan.


(51)

BAB II

PEMBERIAN HARTA BENDA ORANG TUA SEMASA HIDUP KEPADA ANAK DALAM HUKUM WARIS ADAT BATAK KARO DI

KECAMATAN BERASTAGI

A. Profil Kecamatan Berastagi

Kecamatan Berastagi dengan pusat pemerintahannya di Berastagi, merupakan salah satu dari 13 (tiga belas) Kecamatan yang terdapat di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara.

Kecamatan Berastagi secara geografis terletak diantara 2°50’ Lintang Utara, 3°19’Lintang Selatan, dan 97° 55’ - 98°38’Bujur Timur.47

Secara administratif Kecamatan Berastagi berbatasan dengan wilayah-wilayah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Deli Serdang 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Kecamatan Kabanjahe 3. Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kecamatan Tigapanah 4. Sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Kecamatan Simpang Empat Pusat pemerintahan wilayah Kecamatan Berastagi terletak pada ketinggian 1400 M diatas permukan laut, dengan suhu berkisar antara 16° s/d 27° C dengan kelembapan udara rata-rata 28%. Musim hujan lebih panjang dibanding kemarau dengan perbandingan 9 : 3. Awal musim hujan bulan agustus, berakhir bulan Januari

47

Wara Sinuhaji, Aktivitas Ekonomi Enterpreneurship (masyarakat karo pasca revolusi), Medan : USU Press, 2004, hal.29


(52)

dan musim hujan kedua dari bulan Maret – Mei setiap tahunnya dengan curah hujan pertahun antara 1000 s/d 4000 mm.48

Wilayah Kecamatan Berastagi luasnya 30,50 Km², dengan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan sebanyak 46.686 jiwa dengan kepadatan 1.530 jiwa yang mayoritas dihuni oleh suku Karo dan tersebar pada 10 Kelurahan/Desa yakni , sebagaimana terdapat dalam Tabel No.1 sebagai berikut :

Tabel No.1

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

NO DESA/KELURAHAN

JENIS KELAMIN JUMLAH PENDUDUK LAKI-LAKI PEREMPUAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Guru Singa Raya Rumah Berastagi* Tambak Lau Mulgap II Gundaling II

Gundaling I*

Tambak Lau Mulgap I* Sempa Jaya*

Lau Gumba*

(Pemekaran Sempajaya ) Doulu 1918 2479 3282 1662 2905 4143 1458 2976 - 1080 2119 2835 3455 1820 3252 5017 1738 3445 - 1142 4037 5314 6737 3482 6157 9160 3196 6421 - 2182

JUMLAH 21.863 24.823 46.686

*Kelurahan/Desa Sampel

Sumber : Proyeksi Penduduk BPS Kabupaten Karo (2009)

48


(53)

Berdasarkan tabel diatas menggambarkan bahwa jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari penduduk laki-laki yakni penduduk perempuan sebanyak 24.823 jiwa sedangkan penduduk laki-laki sebanyak 21.863 jiwa.

Penduduk di Kecamatan Berastagi, khususnya di desa/kelurahan sampel memiliki tingkat pendidikan yang bervariasi. Hal ini dapat terlihat mulai dari yang tidak tamat SD, Tamat SD atau yang sederajat, tamat SMP atau yang sederajat, tamat SMA atau yang sederajat, tamat Akademi atau yang sederajat, dan yang tamat Perguruan Tinggi sebagaimana tergambar dalam tabel No.2 berikut ini :

Tabel No.2

Tingkat Pendidikan Responden

NO TINGKAT PENDIDIKAN JUMLAH %

1 Tidak Tamat SD 2 5,71

2 Tamat SD / Sederajat 7 20,00

3 Tamat SMP / Sederajat 7 20,00

4 Tamat SMA / Sederajat 8 22,85

5 Tamat Akademi 5 14,28

6 Tamat Perguruan Tinggi 6 17,14

TOTAL % 35 100


(54)

Dari tabel tersebut menggambarkan bahwa tingkat pendidikan penduduk di Kecamatan Berastagi, khususnya pada Kelurahan/Desa sampel yaitu Sempa jaya, Tambaklau Mulgap I, Rumah Berastagi, Gundaling I dan Lau Gumba lebih dominan dengan tingkat pendidikan tamat SMA atau yang sederajat.

Penduduk pada Kecamatan Berastagi sebagian besar berprofesi sebagai petani dikarenakan keadaan alam dan topografi di Kecamatan Berastagi sangat cocok untuk sektor pertanian yang dapat ditanami sayur mayur dan buah-buahan. Keadaan tanah di Kecamatan Berastagi sangat subur akibat zat belerang yang dihembuskan oleh angin dari gunung sibayak dan gunung sinabung sehingga tanahnya mengandung unsur tanah debu hitam,andosol, sebagai hasil letusan kedua gunung tersebut.49

Sektor pertanian menjadi potensi terbesar untuk mendukung perekonomian masyarakat di Kecamatan Berastagi. Dari sektor pertanian tersebut telah menghasilkan tanaman-tanaman hasil pertanian yang sangat subur khususnya berupa sayur-mayur, buah-buahan; dan bunga yang sebagian besar di suplai ke Sumatera Utara hingga ke pulau Batam, Pulau jawa bahkan telah diekspor ke Singapura, Malaysia, Brunei, Jepang, Philipina, Belanda dan negara asing lainnya.50

Sektor pertanian menjadi lapangan kerja yang paling utama bagi masyarakat Berastagi. Hal ini dapat dilihat dari areal perladangan/persawahan merupakan areal yang paling luas di Kecamatan Berastagi. Adapun areal perladangan

49

Ibid,hal.30 50

Martin L. Perangin-angin, Orang Karo Diantara Orang Batak, Jakarta : Pustaka Sora Mido, 2004,hal.83


(55)

tersebut banyak ditanami dengan tanaman buah-buahan seperti jeruk dan sayur-sayuran terutama kol, wortel, bawang prei, daun sop, dan lain-lain. Areal persawahan banyak digunakan untuk menanami padi dan sayur-sayuran air seperti selada air (kurmak), selada, daun sop dan sebagainya yang memerlukan pengairan yang cukup besar sehingga sangat cocok dibudidayakan di daerah persawahan.51

Areal pemukiman menjadi areal terluas kedua, hal ini terjadi mengingat Kecamatan Berastagi merupakan daerah yang telah banyak penduduknya karena banyaknya para perantau yang datang ke Berastagi. Sehingga dengan demikian areal pemukiman penduduk pun semakin bertambah jumlahnya seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk tersebut. Peralihan fungsi lahan pada akhirnya juga terjadi untuk menanggulangi masalah tersebut misalnya lahan yang sebelumnya digunakan sebagai lahan pertanian diubah menjadi areal pemukiman, lahan yang sebelumnya kosong atau bahkan masih berupa hutan semak belukar dibuka menjadi areal perladangan dan bahkan untuk daerah pemukiman bagi penduduk dan sebagainya. 52

Kecamatan Berastagi merupakan salah satu daerah penghasil tanaman pertanian terbesar di Tanah Karo sehingga untuk menunjang hal tersebut pemerintah setempat membuka pasar-pasar atau yang lebih dikenal dengan pajak baik pajak umum maupun pajak sayur sebagai tempat masyarakat baik petani maupun pedagang

51

Seselia Dormauli, Kehidupan Ekonomi, Budaya dan Sosial Kecamatan Berastagi, 12 Juli 2011, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16568/Chapter%20II.pdf , (14.30).

52

Seselia Dormauli, Kehidupan Ekonomi, Budaya dan Sosial Kecamatan Berastagi, 12 Juli 2011, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16568/Chapter%20II.pdf , (14.30).


(56)

melaksanakan aktivitas ekonominya memperjual-belikan hasil pertanian tersebut. Pajak atau pasar ini umumnya tidak hanya digunakan oleh masyarakat di Kecamatan Berastagi saja akan tetapi juga sering dikunjungi oleh masyarakat dari luar kecamatan tersebut atau bahkan dari luar kota seperti Medan, Kabanjahe, Sibolangit, Pancur Batu dan sebagainya dalam usaha membeli ataupun menjual barang-barang hasil pertanian dari dan ke daerah tersebut

Kecamatan Berastagi juga merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi untuk pengembangan daerah pariwisata yang besar maka lahan di Berastagi juga banyak diperuntukkan sebagai lahan pengembangan daerah pariwisata serta bangunan-bangunan umum yang mendukung kegiatan tersebut serta kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya. Sehingga pembangunan sarana-sarana umum sudah meningkat sehingga taraf kehidupan sosial ekonomi masyarakat di kecamatan tersebut juga turut meningkat. Kecamatan Berastagi sebagai daerah pariwisata terbesar di Tanah Karo juga telah terkenal hingga ke daerah-daerah lainnya di Provinsi Sumatera Utara ini. Hal ini terjadi mengingat bahwa Berastagi merupakan daerah yang berhawa sejuk dengan potensi ataupun kekayaan alam yang sangat besar sehingga sangat menarik minat para wisatawan untuk mengunjunginya. 53

Hal ini tentunya turut menyumbangkan pendapatan yang besar bagi daerah tersebut. Untuk itu, pemerintah setempat berusaha menyeimbangkannya dengan menyediakan fasilitas atau sarana dan prasarana yang cukup dalam bidang

53

Seselia Dormauli, Kehidupan Ekonomi, Budaya dan Sosial Kecamatan Berastagi, 12 Juli 2011, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16568/Chapter%20II.pdf , (14.30).


(57)

kepariwisataan tersebut, yakni dengan membangun hotel/losmen/penginapan, restoran/rumah makan, toko souvenir/cenderamata, dan keamanan serta kenyamanan di daerah tersebut khususnya di daerah yang menjadi objek atau Daerah Tujuan Wisata (DTW).54

B. Hukum Waris Adat Karo

Hukum Waris Adat adalah Hukum Adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas Hukum Waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris, serta tata cara bagaimana harta warisan itu di alihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris. Teer Haar menyatakan pendapatnya bahwa: “Hukum Waris Adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi”.55

Menurut Soepomo hukum waris adat :

……memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengalihkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goerderen) dari suatu generasi manusia (generatie) kepada keturunanya. Proses itu telah mulai pada waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi akuut oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang sangat penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengalihan harta benda dan harta bukan benda tersebut.56

54

Seselia Dormauli, Kehidupan Ekonomi, Budaya dan Sosial Kecamatan Berastagi, 12 Juli 2011, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16568/Chapter%20II.pdf , (14.30).

55

H. Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 7 56


(58)

Pendapat diatas mengemukakan tiga hal yang penting dalam pengertian Hukum Waris Adat yaitu:

1) Proses pengoperan, penghibahan atau penerusan harta warisan; 2) Harta benda berbentuk materiil dan imateriil;

3) Dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Didalam kehidupan masyarakat Karo hukum waris adat disebut dengan Peradaten Kerna Erta Tading-Tadingen (aturan hukum tentang harta warisan). Adapun hukum yang mengatur tatacara pembagian harta warisan adalah hukum adat asli yang telah menjadi kebiasaan yang diperlakukan dalam masyarakat apabila timbul masalah yang berkenaan dengan pelaksanaan pengurusan dan pembagian harta warisan yang telah berulang kali dari generasi ke generasi selanjutnya.57

Menurut sistem hukum adat waris di Tanah Karo, pewaris adalah seorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan suku Karo yang memakai marga itu berlaku keturunan patrilineal maka orang tua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari orang tuannya. Akan tetapi anak laki-laki tidak dapat membantah pemberian kepada anak perempuan, demikian juga sebaliknya. Hal tersebut didasarkan pada prinsip bahwa orang tua (pewaris) bebas menentukan untuk

57

Mahkamah Agung, Penelitian Hukum Adat Tentang Warisan Di Medan, Jakarta : Mahkamah Agung Proyek Penelitian Hukum Adat, 1979, hal.35


(59)

bagi harta benda kepada anak-anaknya berdasarkan kebijaksanaan orang tua yang tidak membedakan kasih sayangnya kepada anak-anaknya.

Adapun ahli waris atau para ahli waris dalam sistem hukum adat waris di Tanah Karo, terdiri atas:

a) Anak laki-laki

Yaitu semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewarisi seluruh harta kekayaan. baik harta pencaharian maupun harta pusaka. Jumlah harta kekayaan pewaris dibagi sama di antara para ahli waris.

b) Anak angkat

Dalam masyarakat Karo, anak angkat merupakan ahli waris yang kedudukannya sama seperti halnya anak sah, namun anak angkat ini hanya menjadi ahli waris terhadap harta pencaharian/harta bersama orang tua angkatnya. Sedangkan untuk harta pusaka, anak angkat tidak berhak.

c) Ayah dan Ibu serta saudara-saudara sekandung si pewaris.

Apabila anak laki-laki yang sah maupun anak angkat tidak ada, maka yang menjadi ahli waris adalah ayah dan ibu serta saudara-saudara kandung si pewaris yang mewaris bersama-sama.

d) Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.

Apabila anak laki-laki yang sah, anak angkat, maupun saudara-saudara sekandung pewaris dan ayah-ibu pewaris tidak ada, maka yang tampil sebagai ahli waris adalah keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.


(60)

e) Persekutuan adat

Apabila para ahli waris yang disebutkan di atas sama sekali tidak ada, maka harta warisan jatuh kepada persekutuan adat.58

Mengenai masalah anak perempuan yang tidak menerima harta warisan. Teridah Bangun mengatakan bahwa :

“mengenai masalah anak perempuan tidak dapat bagian dalam warisan dari kekayaan orang tuanya tidak dipersoalkan orang. Karena bersuami bahwa apabila dia kawin dengan seseorang yang lain marga induknya, maka dengan sendirinya ia pun akan mendapat warisan yang diterima suaminya sebagai pewaris harta orangtuanya.59

Bila diperhatikan lebih jauh, untuk disebut sebagai ahli waris memang anak perempuan belum bisa, namun dalam pelaksanaannya dapat kita lihat bahwa anak perempuan itu juga ada menerima harta peninggalan orang tuanya yaitu sebagai kenang-kenangan yang biasa disebut dengan hak pakai dari kalimbubu kepada anak beru. Selain itu ada kebiasaan dalam masyarakat Karo bahwa anak perempuan sebelum dan sesudah kawin akan diberikan barang-barang berharga seperti pakaian-pakaian, perhiasan dan lain-lain. Hal ini merupakan suatu kehormatan bahkan dianggap sebagai sesuatu keharusan.60

Semua pemberian ini memperlihatkan bahwa bapak atau anak laki-laki (kalimbubu) selalu siap mengulurkan tangan kepada anak perempuan dan keturunannya pada saat mereka menghadapi kesulitan atau memerlukan sesuatu.

58 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Bandung : Refika Aditama,2005, hal.51

59 Teridah Bangun, Manusia Batak Karo, Jakarta, Inti Dayu Press, 1986, hal. 95 60

Frans Cory Melando Ginting, Perkembangan Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Adat Batak Karo (Tesis), 2009, hal.91


(61)

Sehingga tali persaudaraan diantara anak perempuan dan anak laki-laki tidak pernah terputus.

Pada umumnya anak perempuan yang sudah kawin selalu mendapat pemberian dari harta peninggalan orang tua berdasarkan kasih sayang (kekelengen) berupa :

a. Jika pemberian kasih sayang (kekelengen) tadi berupa benda bergerak seperti perkakas/perabot rumah tangga, barang perhiasan berupa emas dan pakaian, maka pemberian barang-barang seperti ini menjadi hak milik anak perempuan tersebut.

b. Apabila pemberian kasih sayang (kekelengen) berupa tanah (sawah, kebun atau ladang) pemberian ini bersifat hak pakai dan formilnya hanya berlaku selama hidupnya penerima hak pakai. Oleh karena itu pada prinsipnya apabila anak perempuan yang mendapat hak pakai meninggal dunia, tanah hak pakai kembali kepada asal semula untuk menjadi pusaka yang akan dimiliki oleh saudara laki-lakinya sebagai ahli waris yang berhak atas harta pusaka.61

Hak pakai tadi formilnya berlaku seumur hidup anak perempuan penerima kekelengen pada umumnya atau sering terjadi pihak ahli waris (saudara laki-laki) sebagai kalimbubu, jarang sekali meminta tanah hak pakai tersebut, jika yang bersangkutan meninggalkan keturunan. Apalagi jika anak itu tetap patuh dan hormat

61

Frans Cory Melando Ginting, Perkembangan Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Adat Batak Karo (Tesis), 2009, hal.93


(62)

kepada pihak Kalimbubu sesuai dengan aturan norma-norma kesopanan adat Batak Karo maka anak-anak yang ditinggalkan itu dapat terus menguasai tanah Kekelengen dalam status hak pakai. Dengan demikian hak pakai tadi turun-temurun kepada anak-anak.

C. Pemberian Harta Benda Orang Tua Semasa Hidup Kepada Anak Menurut Hukum Adat Batak Karo

Mewariskan semasa hidup, yang berakibat pengalihan dengan seketika barang-barang dari harta benda orangtua kepada waris (dalam bahasa Jawa;

Marisake, Sulawesi; Pappasang).62

Menurut Datuk Usman terkait pemberian semasa hidup :

Pengalihan harta waris sesudah pewaris meninggal dunia merupakan proses yang universal dalam setiap hukum waris, tetapi pengalihan harta sebelum pewaris meninggal dunia dan merupakan proses dalam pembagian warisan setelah pewaris meninggal dunia, hal ini tidak biasa dalam hukum waris pada umumnya, namun hal tersebut dalam hukum adat merupakan penerapan dari salah satu asas atau prinsip pewarisan yaitu menurut hukum adat, harta peninggalan itu adalah meliputi semua harta benda yang pernah dimiliki oleh si peninggal harta semasa hidupnya. Jadi tidaklah hanya terbatas terhadap harta yang dimiliki pada saat sipeninggal harta mati.63

Maksud daripada pemberian semasa hidup ialah terutama untuk mewajibkan para waris untuk membagi-bagikan harta dengan cara layak menurut anggapan pewarisan dan juga untuk mencegah perselisihan.64

62

Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Opcit hal .91

63 Datuk Usman, Diktat Hukum Adat, Bina Saran Balai Penmas SU, Medan, 1988, hal.26 64 Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Lokcit


(63)

Pemberian semasa hidup merupakan suatu pemberian yang dilakukan oleh seseorang semasa hidupnya karena suatu tujuan. Pemberian dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau suami istri bersama atau sekeluarga rumah tangga. Pemberian dapat terjadi secara langsung antara pemberi dan penerima atau secara tidak langsung dengan perantara. Pemberian dapat terjadi dalam bentuk barang bergerak maupun barang tidak bergerak.

Selama didalam ikatan perkawinan suami istri berkemungkinan mendapat pemberian harta benda dari orang tua mereka masing-masing untuk dipergunakan kedua suami istri dan anak-anaknya bersama-sama atau untuk menjadi milik pribadi istri sendiri atau suami sendiri ataupun untuk cucu tertentu atau secara bersama-sama. Pemberian itu bukan saja pemberian antara orangtua dengan anak kandungnya, tetapi juga mungkin dari mertua untuk menantu. Pemberian tersebut dapat berupa barang tetap atau barang bergerak atau hanya berupa hak pakai.

Di lingkungan masyarakat yang menganut sistem pewarisan kolektif atau kolektif mayorat pemberian orang tua adalah dalam rangka penerusan harta peningggalan yang tidak terbagi-bagi, namun bukan tidak mungkin ada pemberian orang tua kepada anaknya tertentu yang bersifat pribadi untuk menjadi milik perseorangan. Di tanah Batak pemberian orang tua tidak saja berlaku untuk anak sulung akan tetapi juga untuk anak bungsu. Di lingkungan masyarakat adat Daya Kendayan Kalimantan Barat kemungkinan pemberian orang tua kepada anak, akan lebih banyak diberikan kepada Anak Pangkalan yaitu anak yang menjamin


(1)

Serta cara ketiga yaitu secara otentik dasarnya adalah pembuatan akta atau surat keterangan dari Camat maupun Kepala Desa yang menjelaskan tentang kepemilikan harta tersebut yang dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang dan juga dihadiri pihak Sangkep Sitelu berdasarkan kesepakatan bersama. 3. Status kepemilikan harta pemberian semasa hidup yang berupa benda

bergerak baik kepada anak laki maupun anak perempuan adalah hak milik pribadi yang tidak perlu dikembalikan ke dalam boedel warisan. Demikian juga terhadap pemberian benda yang tidak bergerak, baik kepada anak laki maupun anak perempuan di masa sekarang lebih dominan berstatus hak milik daripada hak pakai saja. Sehingga tidak perlu dikembalikan ke dalam bodel warisan pada saat orang tua meninggal dunia.

B. Saran

1. Dalam pemberian harta semasa hidup tersebut sebaiknya dibuatkan aktanya yang dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang yaitu notaris, dengan demikian apabila kelak ada permasalahan terhadap harta tersebut, akan lebih mudah diselesaikan dikarenakan terdapat bukti-bukti otentik. Namun pihak

Sangkep Sitelu juga akan tetap dihadirkan. Sehingga mempunyai kepastian hukum yang kuat baik segi hukum nasional maupun hukum adat-istiadat Karo.


(2)

2. Dalam pelaksanaan pemberian harta semasa hidup sebaiknya dimusyawarahkan terlebih dahulu antara para ahli waris baik mengenai tujuan pemberian harta maupun bentuk harta yang akan diberikan antara pihak-pihak yang berkepentingan sehingga kelak tidak akan menjadi masalah dikemudian hari.

3. Dalam pemberian harta benda orangtua semasa hidup kepada anaknya, Perlu diketahui asal-usul harta tersebut baik merupakan harta pusaka, harta bawaan atau harta pencaharian, sehingga menjadi jelas terhadap status kepemilikannya yang dalam hal ini tentunya terkait harta yang akan diperhitungkan atau tidak diperhitungkan sewaktu orangtua meninggal dunia.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Ali., Zainuddin Pelaksanaan Hukum waris di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Dalimunthe, Chadidjah. Politik Hukum Agraria Nasional Terhadap Hak-Hak Atas Tanah, Medan : Yayasan Pencerahan Mandailing,2008

Erickson., dan Nosanchuk. Memahami Data Statistik Untuk Ilmu Sosial, Jakarta : LP3ES, 1996.

Hadikusuma. ,H.Hilman. Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung, 1977.

___________________. Hukum waris Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti ,2003.

Hazairin., Hukum Kewarisan Bilateral, Jakarta: Tinta Emas, 1974.

Kalo., Syafruddin. Modul Kuliah Penemuan Hukum, disampaikan pada Rangkaian Sari Kuliah Semester II,Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, USU Medan, 2005.

Koentjoro Ningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Komaruddin, Yooke Tjuparmah S Komaruddi, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Jakarta : Bumi Aksara, 2006.


(4)

Marzuki., Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007.

Meliala., Djaja S. dan Aswin Peranginangin, Hukum Perdata Adat Karo dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional. Bandung: Tarsito, 1978.

Nasution., Bahder Johan. Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung : Mandar Maju, 2008.

Perangin-angin., Martin L. Orang Karo Diantara Orang Batak, Jakarta : Pustaka Sora Mido, 2004.

Prints., Darwin Sejarah dan Kebudayaan Karo,Jakarta : Grama, 1985.

Prodjodikoro.,Wirjono. Hukum Warisan Di Indonesia, Bandung : Sumur Bandung, 1983.

Rahardjo., Satjipto. Ilmu Hukum, Bandung ; PT. Citra Aditya Bakti,1996.

Singarimbun., Masri dkk. Metode Penelitian Survey, Jakarta : LP3ES,1989.

Sinuhaji.,Wara. Aktivitas Ekonomi Enterpreneurship (masyarakat karo pasca revolusi), Medan : USU Press, 2004.

Sitepu, Sempa Sejarah Pijer Podi Adat Nggeluh Suku Karo Indonesia, Medan : Adiyu, 1998.


(5)

Soekanto., Soerjono. Hukum Adat Indonesia, Jakarta ; Raja Grafindo Persada, 2001.

________________. Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1966.

________________. dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta ; PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

Soepomo., Bab-bab tentang Hukum Adat, Jakarta : Pradya Paramita, 1987.

Suparman.,Eman. Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Bandung : Refika Aditama,2005.

Sunggono.. Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2007.

Suryabrata., Sumadi. Metodologi Penelitian, Jakarta : RajaGrafindo, 1998.

Tarigan., Sarjani Lentera Kehidupan Orang Karo dalam Berbudaya, Medan : Tanpa Penerbit, 2009.

Usman., Datuk. Diktat Hukum Adat, Medan : Bina Sarana Balai Penmas SU, (tanpa tahun).

Wiratha, Made. Pedoman Penulisan Usulan Penelitian,Skripsi dan Tesis. Yogyakarta : Andi, 2006.

Mahkamah Agung, Penelitian Hukum Adat Tentang Warisan Di Medan, Jakarta : Mahkamah Agung Proyek Penelitian Hukum Adat, 1979,


(6)

Peraturan-peraturan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Putusan Mahkamah Agung No 600/Pdt/2009 Putusan Mahkamah Agung No 179/K/Sip/1961

Website

http://library.usu.ac.id/download/fs/bhsindonesia-pertampilan2.pdf http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16568/Chapter%20II.pdf