PSIKODRAMA UNTUK MENINGKATKAN EMPATI SISWA REGULER DI SEKOLAH INKLUSIF SMP MUHAMMADIYAH 2 MALANG

(1)

REGULER DI SEKOLAH INKLUSIF SMP MUHAMMADIYAH 2

MALANG

SKRIPSI

Oleh:

Niki Cahyani

201210230311410

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2016


(2)

i

PSIKODRAMA UNTUK MENINGKATKAN EMPATI SISWA

REGULER DI SEKOLAH INKLUSIF SMP MUHAMMADIYAH 2

MALANG

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang

sebagai salah satu persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Psikologi

Oleh:

Niki Cahyani

201210230311410

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2016


(3)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul Skripsi : Psikodrama untuk Meningkatkan Empati Siswa Reguler di Sekolah Inklusif SMP Muhammadiyah 2 Malang

2. Nama Peneliti : Niki Cahyani

3. NIM : 201210230311410

4. Fakultas : Psikologi

5. Perguruan Tinggi : Universitas MUhammadiyah Malang 6. Waktu Penelitian : 18 Desember 2015 – 21 Januari 2016

Skripsi ini telah diuji oleh dewan penguji pada tanggal 30 April 2016

Dewan Penguji

Ketua Penguji : Yuni Nurhamida, S.Psi, M.Si. ( )

Anggota Penguji : 1. Zainul Anwar, S.Psi, M.Psi. ( )

2. Ni’matuzzahroh, S.Psi, M.Si. ( ) 3. Tri Muji Ingarianti, S.Psi, M.Psi. ( )

Pembimbing I Pembimbing II

Yuni Nurhamida, S.Psi, M.Si. Zainul Anwar, M.Psi.

Malang, 07 Mei 2016 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Psikologi Universita Muhammadiyah Malang


(4)

iii

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Niki Cahyani

NIM : 201210230311410

Fakultas/Jurusan : Psikologi

Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang

Menyatakan bahwa skripsi/karya ilmiah yang berjudul:

Psikodrama untuk Meningkatkan Empati Siswa Reguler di Sekolah Inklusif SMP Muhammadiyah 2 Malang

1. Adalah bukan karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam bentuk kutipan yang digunakan dalam naskah ini dan telah disebutkan sumbernya.

2. Hasil tulisan karya ilmiah/skripsi dari penelitian yang saya lakukan merupakan Hak bebas Royalti non ekslusif, apabila digunakan sebagai sumber pustaka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila penyataan ini tidak benar, maka saya bersedia mendapat sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Malang, 07 Mei 2016 Mengetahui

Ketua Program Studi Yang Menyatakan


(5)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Psikodrama untuk Meningkatkan Empati Siswa Reguler di Sekolah Inklusif SMP Muhammadiyah 2 Malang”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan petunjuk serta bantuan yang bermanfaat dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarya kepada:

1. Ibu Dra. Tri Dayakisni, M.Si. selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Ibu Yuni Nurhamida, S.Psi, M.Si selaku Pembimbing I dan dosen wali yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berguna, hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik serta telah mendukung dan memberi pengarahan sejak awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini.

3. Bapak Zainul Anwar, S.Psi. M.Psi. selaku Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berguna, hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

4. Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu selama mengikuti perkuliahan sampai akhir penulisan skripsi.

5. Staf Tata Usaha Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang yang telah banyak membantu penulis selama mengikuti perkuliahan dan penulisan skripsi ini,

6. Bapak Drs. H. Mardjono, M.Si. selaku Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah 2 Malang yang telah memberikan izin penelitian dan dukungan atas pelaksanaan penelitian skripsi ini.

7. Orang tua tercinta, Bapak Priyo Cahyono dan Ibu Miatun (Almh) atas jasa-jasanya yang

tidak akan terlupakan, juga kesabaran, do’a, dan tidak pernah lelah mendidik dengan tulus kepada penulis. Serta saudara-saudara penulis yang tidak lelah mendukung penulis.

8. Rekan-rekan kelas, yakni: Sakinah Nur, Ida Nur Kusuma, Dwi Yunda, Ari Widya, Akbar Prasetyo, Nurlaili, dan Amita Yuni yang telah memberikan dukungan dan motivasi yang berarti bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan bantuan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari tiada satupun karya manusia yang sempurna, sehingga kritik dan saran demi perbaikan karya skripsi ini sangat penulis harapkan. Meski demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan pembaca pada umumnya.

Malang, 07 Mei 2016 Penulis


(6)

v DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Surat Pernyataan ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... vi

Daftar Gambar ... vii

Daftar Lampiran ... viii

Ringkasan ... 1

PENDAHULUAN ... 2

LANDASAN TEORI Empati ... 6

Aspek-Aspek Empati ... 7

Faktor yang Mempengaruhi Empati ... 7

Perkembangan Empati ... 7

Cara Meningkatkan Empati ... 8

Psikodrama ... 8

Prosedur Penerapan Psikodrama ... 9

Tahap-Tahap Psikodrama ... 9

Psikodrama sebagai Metode untuk Meningkatkan Empati Siswa Reguler ... 9

Hipotesis ... 11

METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian ... 11

Subjek Penelitian ... 11

Tahapan Penelitian ... 12

Variabel dan Instrumen Penelitian ... 13

Prosedur dan Analisa Data Penelitian ... 13

HASIL PENELITIAN ... 14

DISKUSI ... 15

SIMPULAN DAN IMPLIKASI ... 18

REFERENSI ... 19 LAMPIRAN


(7)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Subjek Penelitian ... 14 Tabel 2. Hasil Uji Pre-Test dan Post-Test ... 14 Tabel 3. Hasil Uji Hipotesis ... 15


(8)

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Berpikir ... 10 Gambar 2. Tahapan Penelitian ... 12


(9)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Blueprint Uji Coba Skala Empati ... 22

Lampiran 2. Blueprint Skala Empati Penelitian ... 24

Lampiran 3. HasilUji Coba Skala Empati ... 26

Lampiran 4. Skala Penelitian ... 28

Lampiran 5. Tabulasi Data ... 30

Lampiran 6. Hasil Analisa Data ... 31

Lampiran 7. Modul Penelitian ... 32

Lampiran 8. Guide Observasi dan Interview ... 43

Lampiran 9. Verbatim Focus Group Discussion (FGD) ... 44

Lampiran 10. Dokumentasi ... 45 Lampiran 11. Surat Izin Penelitian

Lampiran 12. Surat Keterangan Penelitian

Lampiran 13. Inform Consent

Lampiran 14. Daftar Riwayat Hidup Peserta Lampiran 15. Berita Acara Penelitian


(10)

1

PSIKODRAMA UNTUK MENINGKATKAN EMPATI SISWA

REGULER DI SEKOLAH INKLUSIF SMP MUHAMMADIYAH 2

MALANG

Niki Cahyani

Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang

nickycahyani2@gmail.com

Pada pelaksanaan pendidikan inklusif yang bertujuan mewujudkan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan non diskriminatif, seringkali siswa ABK menjadi korban

bullying oleh siswa reguler dikarenakan kurangnya empati siswa reguler. Salah satu metode yang diperkirakan dapat meningkatkan empati siswa reguler adalah Psikodrama. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas psikodrama dalam meningkatkan empati siswa reguler terhadap siswa ABK di sekolah inklusif. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen dengan model one group pre and post test design. Teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling dengan jumlah subjek 15 siswa reguler SMP Muhammadiyah 2 Malang. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah interview, dan skala empati. Berdasarkan data yang diperoleh dilakukan analisa data menggunakan

paired sample t test (p = 0.000, p < 0.005 & t = -9.439), dapat diambil kesimpulan bahwa psikodrama dapat meningkatkan empati siswa reguler terhadap siswa ABK di sekolah inklusif SMP Muhammadiyah 2 Malang.

Kata Kunci: Empati, Psikodrama, Sekolah Inklusif

On the implementation of inclusive education aimed at realizing education that respects diversity and non-discriminatory, often disability students are becoming victims of bullying by another reguler students. One of the methods that are expected to increase student’s empathy to disability students is psychodrama. The purpose of the research is to know the effectiveness of using psychodrama for increasing reguler student’s empathy to disability students in the inclusive class. This research is using experimental method which is one group pre and post test design. The samples are 15 reguler students of SMP Muhammadiyah 2 Malang and taken by using purposive sampling method. Data is collected by interview and empathy scale. The data is analyzed by paired sample t test (p = 0.000, p < 0.005 & t = -9.439), can be concluded that psychodrama effectively can improve the empathy of reguler students to disability students in the inclusive class of SMP Muhammadiyah 2 Malang.


(11)

2

Anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki atribut fisik dan atau kemampuan belajar yang berbeda dari anak normal, baik di atas atau di bawah, sehingga membutuhkan program individual dalam pendidikan khusus (Heward & Orlansky, 1992). Maka dari itu diperlukan suatu pendidikan yang dapat juga memfasilitasi anak yang berkebutuhan khusus supaya mendapatkan fasilitas pendidikan yang sama dengan individu yang lain. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didikan yang memiliki kelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar & menengah. Pasal inilah yang memungkinkan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif yang dimana anak berkebutuhan khusus mengikuti program pendidikan di sekolah inklusif, menjalani proses pembelajaran bersama-sama dengan siswa-siswi reguler.

Di Indonesia sendiri disebutkan tujuan pelaksanaan pendidikan inklusif untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya dan mewujudkan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, non diskriminatif kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial ataupun yang memiliki kecerdasan atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya (Direktorat PLB, 2007). Tujuan lain dari pendidikan inklusif adalah agar siswa ABK dapat mengikuti proses pembelajaran bersama dengan siswa reguler yang pada nantinya anak dapat bersosialisasi secara normal dan dapat terstimulasi oleh lingkungan sosial yang memiliki siswa heterogen apabila dibandingkan dengan Sekolah Luar Biasa (SLB) yang cenderung mengelompokkan anak-anak didik sesuai dengan kebutuhan khusus masing-masing siswa. Selain itu pendidikan inklusif juga diharapkan dapat menjadi sarana terjalinnya interaksi sosial antara siswa ABK dan siswa reguler sehingga keduanya mampu memahami adanya perbedaan fisik, mental, dan kemampuan belajar diantara mereka dimana diharapkan siswa reguler mampu membimbing atau membantu siswa ABK dalam kegiatan belajar.

Konsekuensi dari sistem pendidikan inklusif yaitu siswa reguler harus memiliki sikap penerimaan pada siswa berkebutuhan khusus sehingga terjadi interaksi sosial yang baik antara siswa reguler dan siswa ABK yang berdampak pada tercapainya tujuan penyelenggaran pendidikan inklusif. Namun pada kenyataannya meski undang-undang telah secara tegas mengatur pemerataan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan, kasus diskriminasi dalam bidang pendidikan masih kerap terjadi khususnya terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK). Salah satu contoh diskriminasi di dalam interaksi antar peserta didik yaitu masih adanya kekerasan verbal dan non verbal atau

bulliying yang dilakukan oleh siswa reguler terhadap siswa ABK. Siswa ABK juga enggan dalam membantu siswa ABK yang membutuhkan bantuan.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa kurangnya penerimaan siswa reguler terhadap siswa ABK dapat menghambat tercapainya tujuan penyelenggaran pendidikan inklusif. Penelitian yang dilakukan oleh Saripah (2008) yang menunjukkan bahwa karakteristik perilaku bulliying sebagian besar memiliki kemampuan empati yang rendah serta tingkat agresivitas yang tinggi. Tubbs (dalam Pramuaji, 2012) mendefinisikan empati berasal dari kata Einfuhlung yang pertama kali digunakan oleh Psikolog Jerman, secara

terminologis memiliki arti “merasa terlibat”. Eisenberg dalam Panuntun (2012) menjabarkan empati adalah suatu respon afektif yang berasal dari penangkapan atau pemahaman keadaan emosi atau kondisi lain, dan yang mirip dengan perasaan orang lain. Sebuah respon afektif dimana seorang individu menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan mampu melakukan


(12)

3

penghayatan terhadap orang lain, yaitu suatu keadaan dimana empati terjadi ketika seseorang dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain namun tetap tidak kehilangan realitas akan dirinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa empati merupakan emosi yang tergugah untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain rasakan, namun tidak membuat seseorang menjadi kehilangan identitas dan sikap dirinya. Goleman (2007) dalam buku

Emotional Intelligence menjelaskan, empati memungkinankan seseorang untuk menghayati masalah atau kebutuhan yang tersirat di balik perasaan orang lain, yang tidak hanya diungkapkan melalui kata-kata. Melalui empati, kita tidak hanya keluar dari dalam usaha memahami orang lain, tetapi juga melakukan pemahaman internal terhadap diri sendiri. Dalam permasalahan sekolah inklusif ini empati dapat diartikan kemampuan siswa reguler dalam memahami perbedaan mereka dengan siswa ABK serta kemampuan merasakan kesulitan siswa ABK karena keterbatasan yang dimiliki.

Menurut Goleman (2003) empati merupakan salah satu dari lima komponen kecerdasan emosional, komponen lainnya adalah: Pengenalan Diri (Self Awareness); Pengendalian Diri (Self Regulation); Motivasi (Motivation); dan Keteramilan Sosial (Social Skills). Pengertian dari kecerdasan emosional sendiri menurut Salovey (dalam Stein, 2002) yakni kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual. Goleman (2003) menyatakan bahwa setinggi-tingginya IQ menyumbang kurang lebih 20% sebagai faktor yang menentukan kesuksesan hidup, sedang 80% lainnya ditentukan oleh kecerdasan emosional sehingga kecerdasan emosional sangat penting untuk dikembangkan khususnya dalam permasalahan penyelenggaran sekolah inklusif ini adalah pada komponen empati.

SMP Muhammadiyah 2 Malang merupakan salah satu sekolah inklusif di Kota Malang yang pada tahun ajaran 2015/2016 jumlah siswanya ada 156 siswa, terdiri dari 126 siswa reguler dan 30 siswa ABK. Berdasarkan hasil interview dari salah satu guru BK di sekolah tersebut menyatakan bahwa interaksi antara siswa reguler dan siswa ABK di sekolah kurang efektif karena siswa reguler kurang memahami siswa ABK dan kesulitan berkomunikasi dengan mereka. Hal tersebut sesuai pula dengan hasil interview dengan 2 siswa kelas VII dan 1 siswa kelas VIII, peneliti menemukan bahwa siswa reguler terkadang merasa terganggu oleh siswa ABK di kelas. Hal ini dikarenakan beberapa siswa ABK sering tidak bisa diam dan membuat kegaduhan saat proses pembelajaran berlangsung. Hasil observasi langsung di sekolah juga menunjukkan bahwa setiap waktu istirahat siswa-siswa ABK berkumpul di dalam dan sekitar ruang BK sekolah sedangkan siswa reguler bermain dengan siswa reguler lainnya. Jika ada interaksi antara siswa reguler dan siswa ABK, interaksi berupa siswa reguler yang mengganggu siswa ABK baik secara verbal maupun non verbal. Mengganggu secara verbal contohnya dengan mengejek siswa ABK sedangkan mengganggu secara non verbal contohnya siswa reguler menyuruh siswa ABK mengambilkan barang dan saling bekerjasama untuk menyembunyikan barang siswa ABK.

Berdasarkan hasil asesmen tersebut dapat diketahui bahwa salah satu penyebab fenomena-fenomena yang menyebabkan interaksi antara siswa reguler dan siswa ABK yang kurang efektif adalah rendahnya tingkat empati siswa reguler terhadap siswa ABK, dimana siswa reguler kurang mampu memahami perbedaan mereka dengan siswa ABK yang berdampak pada perilaku mereka yang cenderung mengganggu saat berinteraksi dengan siswa ABK. Padahal menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Krevans & Gibbs (1996) menyatakan bahwa usia 11-15 tahun atau saat memasuki sekolah tingkat ke-enam anak seharusnya sudah mulai mencapai kapasitas kematangan empati. Empati yang rendah pada remaja akan


(13)

4

mengarah pada disfungsi empati menyebabkan munculnya tingkah laku antisosial (Santrock, 2003). Hal ini sejalan dengan sebuah penelitian yang menyatakan bahwa perilaku yang menggambarkan kemampuan empati yang rendah menunjukkan perilaku antisosial, yaitu perilaku yang dilakukan tanpa perasaan dan tanpa memperhatikan kesejahteraan orang lain dengan menunjukkan kepedulian yang kurang dan melakukan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain (Clarke, 2003). Tanpa empati, siswa reguler tidak dapat memahami dan menghargai siswa ABK.

Beberapa penelitian menunjukkan kemampuan empati pada anak memiliki hubungan dengan perilaku positif. Janet Strayer dan William Robert (2004) meneliti tentang empati dengan

judul “Empathy and Observed Anger and Aggression in Five Years Old”. Peneliti

menggunakan metode eksperimen dengan mengobservasi langsung 24 anak usia 5 tahun yang dibagi secara acak untuk bermain bersama selama 1 jam. Empati dinilai dengan menggunakan The Empathy Continum dari Strayer. Hasil menunjukkan bahwa empati berkorelasi negatif dengan agresi dan marah, sebaliknya empati berkorelasi positif dengan perilaku prososial.

Cynthia A. Lietz, Karen E. Gerdes, Fei Sun, Jennifer M. Geiger, M. Alex Wagaman dan Elizabeth A. Seagl (2011) meneliti tentang keabsahan versi revisi dari alat ukur Emphaty Assessment Index (EAI). Hasilnya antara lain tidak ada perbedaan antara mahasiswa dan non mahasiswa. Pada komponen kesadaran diri terhadap orang lain, perempuan mempunyai skor lebih tinggi, dan terdapat perbedaan pada ras atau etnis pada ras Afrika Amerika dan latin yang lebih tinggi daripada ras Kaukasia di komponen sikap empati. Selain itu, pada komponen sikap empati, responden yang berasal dari keluarga menengah ke bawah mempunyi skor lebih tinggi daripada responden yang berasal dari keluarga mengengah ke atas. Secara keseluruhan, perempuan mempunyai skor empati lebih tinggi daripada laki-laki. Dari beberapa pemaparan di atas menunjukkan bahwa empati sangat penting untuk dilatih dan dikembangkan. Upaya melatih dan meningkatkan empati sedini mungkin merupakan suatu hal yang harus memperoleh perhatian penting dari pihak sekolah agar siswa reguler mampu menerima, memahami, dan menghargai siswa ABK agar terwujud tujuan dari sekolah inklusif.

Adapun bentuk intervensi yang pernah digunakan untuk meningkatkan empati adalah dengan menggunakan Pelatihan Mindfullness yang telah diteliti oleh Saleh Umniyah (2008) dalam

tesisnya yang berjudul “Pengaruh Pelatihan Mindfullness terhadap Peningkatan Empati

Perawat”. Penelitian ini menggunakan metode eksperiment randomized pretest-posttest

control group design. Instrumen pengukuran menggunakan skala empati, observasi,

wawancara, dan sharing. Hasilnya menunjukkan bahwa pelatihan mindfullness dapat meningkatkan empati perawat.

Penelitian tentang intervensi untuk meningkatkan empati selanjutnya oleh Kyle Ryan dan

Sheri Grotrian Ryan (2012) dengan judul “Linking Empathy to Character Via a Service Learning Endeavor”. Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen dengan

memberikan perlakuan berupa kegiatan langsung membantu orang-orang yang kurang mampu di rumah singgah yang melibatkan 10 orang siswa Phi beta Lambda yang diberi tugas untuk melakukan kegiatan pelayanan sosial sebagai asisten dapur dan di jalan selama 6-8 jam pelayanan. Dasar teori empati yang digunakan adalah teori multidimensional empati. Hasil yang diperoleh menyatakan bahwa pengalaman langsung dalam melayani orang yang kurang


(14)

5

beruntung mampu mengubah proses berpikir, mampu menunjukkan perubahan kognisi serta mampu untuk berpikir dalam hubungan empati.

Pada penelitian kedua ini, peneliti menggunakan teknik psikodrama dalam meningkatkan empati siswa reguler terhadap siswa ABK di sekolah inklusif SMP Muhammadiyah 2 Malang. Corey (dalam Romlah, 2001) menyebutkan bahwa psikodrama merupakan permainan yang dimaksudkan supaya individu yang bersangkutan dapat memperoleh pengertian yang lebih baik tentang dirinya, dapat menemukan konsep dirinya, menyatakan kebutuhan-kebutuhannya dan menyatakan reaksi terhadap tekanan-tekanan terhadap dirinya. Peneliti memilih teknik psikodrama karena menurut Eisenberg (2002) salah satu cara untuk meningkatkan empati adalah dengan role play atau bermain peran dan menurut Bennett (dalam Romlah, 2001) salah satu bentuk bermain peran adalah psikodrama.

Penelitian pertama mengenai keberhasilan psikodrama dalam meningkatkan empati siswa reguler terhadap siswa ABK telah dilakukan oleh Cahyani dan Utomo (2015). Subjek penelitian berjumlah 15 siswa dan hasil penelitian adalah psikodrama efektif dalam meningkatkan empati Subjek. Penelitian kedua ini dilakukan dengan tujuan sebagai intervensi berkelanjutan di sekolah inklusif SMP Muhammadiyah 2 Malang kepada 15 Subjek yang berbeda dari penelitian sebelumnya agar manfaat penelitian ini lebih optimal sekaligus memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam penelitian pertama. Ada beberapa evaluasi dari penelitian pertama yang perlu diperbaiki di penelitian kedua, yakni:

1. Ruangan Psikodrama

Pada penelitian pertama, psikodrama dilaksanakan di dalam ruang BK atau di depan ruang BK. Kegiatan psikodrama seringkali terganggu oleh keramaian siswa-siswa lain di SMP Muhammadiyah 2 Malang karena letak ruang BK di lantai 1 dan dekat dengan kantin sekolah. Sehingga peneliti merekomendasikan kepada pihak sekolah agar menggunakan ruangan yg lebih tenang dan luas.

2. Focus Group Discussion (FGD) yang kurang optimal

Pelaksanaan FGD pada penelitian pertama kurang optimal sehingga berdampak pada penyusunan skenario psikodrama yang kurang pula. Hal ini menyebabkan peserta psikodrama kurang siap dalam bermain peran menjadi siswa ABK sehingga sering menolak atau saling menunjuk ketika mendapat giliran bermain peran menjadi siswa ABK. Pada penelitian kedua, peneliti harus mengoptimalkan pelaksanaan FGD. Beberapa penelitian yang menunjukkan efektivitas psikodrama sebagai teknik intervensi adalah penelitian yang dilakukan oleh Affiyani Pramono (2013) dengan judul

“Pengembangan Model Bimbingan Kelompok melalui Teknik Psikodrama untuk

Mengembangkan Konsep Diri Positif” dengan subjek 158 siswa kelas IX SMPN 2 Mejobo

Kudus tahun pelajaran 2012/2013. Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis deskriptif, metode partisipatif kolaboratif, dan metode quasi eksperimen. Hasil penelitian ini adalah ditemukannya model bimbingan kelompok melalui teknik psikodrama yang efektif untuk mengembang konsep diri positif.

Penelitian lain dilakukan oleh Novi Okta Alfasnur (2013) dengan judul “Upaya Meningkatkan Kecerdasan Emosional melalui Metode Psikodrama pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Sleman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dapat ditingkatkan melalui metode psikodrama. Salah satu aspek kecerdasan emosional menurut Goleman (2000) adalah empati sehingga secara tidak langsung berdasarkan penelitian ini psikodrama dapat meningkatkan empati.


(15)

6

Psikodrama sangat bermanfaat karena melalui interaksinya dengan anggota-anggota kelompok, mereka memenuhi beberapa kebutuhan psikologis seperti kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan teman sebaya dan diterima oleh mereka, kebutuhan untuk bertukar pikiran dan berbagi perasaan, kebutuhan untuk menjadi lebih independen dan mandiri. Hal ini sesuai dengan tahap perkembngan pada remaja. Dalam psikodrama, peserta memerankan situasi yang sesuai dengan kehidupan sebenarnya sehingga melibatkan pengalaman peserta dan membantu peserta meningkatkan pemahaman yang lebih baik terhadap diri mereka sendiri dan orang lain. Peserta melalui psikodrama dapat mengeksplorasi hubungan dengan cara memeragakan dan mendiskusikannya sehingga secara bersama-sama dapat mengekplorasi perasaan, sikap, nilai, dan perilaku. Psikodrama dapat memperkaya kemampuan pribadi dengan cara bermain peran untuk memahami perasaan atau kondisi orang lain dan kemudian menyesuaikan dengan perasaan atau kondisi orang lain dalam lingkup sosial. Pada dasarnya empati merupakan respon afektif dimana seorang individu menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain. Uraian tersebut menguatkan bahwa teknik psikodrama merupakan salah satu intervensi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan empati seseorang.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah apakah pemberian psikodrama dapat meningkatkan empati siswa reguler terhadap siswa ABK di sekolah inklusif SMP Muhammadiyah 2 Malang? Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui keberhasilan psikodrama dalam hal peningkatan empati siswa reguler terhadap siswa ABK di sekolah inklusif SMP Muhammadiyah 2 Malang. Manfaat penelitian yaitu mendapatkan usulan model intervensi pada sekolah inklusif dalam hal peningkatan empati siswa reguler terhadap siswa ABK yang dapat diterapkan di berbagai sekolah inklusif lain. Selain itu juga dapat memberikan kontribusi dalam perbaikan layanan pendidikan khususnya pendidikan inklusif dalam memenuhi kebutuhan peserta didiknya.

Empati

Eisenberg (2002) menyatakan bahwa empati adalah sebuah respon afektif yang berasal dari penangkapan atau pemahaman keadaan emosi atau kondisi lain, dan yang mirip dengan perasaan orang lain. Empati sebagai kemampuan untuk meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan mampu menghayati posisi orang lain tersebut. Empati terjadi ketika seseorang dapat merasakan apa yang orang lain rasakan namun tidak membuat seseorang kehilangan identitas dirinya.

Taufik (2012) mengatakan bahwa dengan empati seseorang berusaha melihat seperti apa yang orang lain lihat, merasakan seperti apa yang orang lain rasakan. Empati memerlukan kerjasama antara kemampuan menerima dan memahami secara kognitif dan afektif. Komponen kognitif melibatkan pemahaman terhadap perasaan orang lain dan kemampuan afektif merupakan respon emosional yang sesuai. Tanpa empati orang dapat menjadi terasing, salah menafsirkan perasaan sehingga mati rasa atau tumpulnya perasaan yang berakibat rusaknya hubungan. Seseorang dikatakan memiliki empati yang rendah ketika orang tersebut menyamaratakan orang lain dengan dirinya, bukan memandang sebagai individu yang unik. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa empati adalah kemampuan individu untuk menempatkan diri dalam mengenali, mengerti, memahami, dan menerima pikiran, perasaan, dan pandangan orang lain namun tetap tidak kehilangan identitas dirinya.


(16)

7

Menurut Eisenberg (2002) empati memiliki dua aspek, yaitu:

a. Aspek Afektif: merupakan kecenderungan seseorang untuk mengalami perasaan emosional orang lain yaitu ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Aspek afektif terdiri dari empat indikator, yaitu: kemampuan merasakan perasaan orang lain, kemampuan menyesuaikan diri dengan perasaan atau kondisi orang lain, kemampuan mengkomunikasikan perasaan secara verbal, kemampuan mengkomunikasikan perasaan secara non verbal

b. Aspek Kognitif: merupakan proses intelektual untuk memahami perspektif/sudut pandang orang lain dengan tepat dan menerima pandangan mereka, misalnya membayangkan perasaan orang lain ketika marah, kecewa, senang, memahami keadaan orang lain dari: cara berbicara, raut wajah, dan ekspresi dalam berpendapat. Aspek kognitif terdiri dari tiga indikator, yaitu: kemampuan untuk memahami sesuatu hal yang dialami orang lain, kemampuan untuk memikirkan sesuatu hal yang dialami dari sudut pandang orang lain, kemampuan memberi solusi terhadap masalah teman. Faktor yang Mempengaruhi Empati

Eisenberg (2002) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi empati seseorang, yaitu: (1) Kebutuhan: Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi akan mempunyai tingkat empati dan nilai prososial yang rendah, sedangkan individu yang memiliki kebutuhan afiliasi yang rendah akan memiliki tingkat empati yang tinggi. (2) jenis kelamin: perempuan mempunyai empati lebih tinggi daripada laki-laki karena perempuan lebih nurturance

(bersifat memelihara) dan lebih berorientasi interpersonal dibanding laki-laki. (3) kematangan psikis: seseorang dengan kematangan psikis yang baik akan mampu untuk menampilkan empati yang tinggi pula. (4) sosialisasi: sosialisasi dapat mengarahkan seseorang untuk melihat keadaan orang lain dan berpikir tentang orang lain. (5) Variasi situai dan pengalaman: tinggi rendahnya empati seseorang sangat dipengaruhi oleh situasi dan pengalamannya.

Perkembangan Remaja dan Empati Remaja

Piaget (dalam Santrock, 2007) menjelaskan bahwa perkembangan kognitif remaja termasuk dalam tahap operasional formal. Dalam tahap ini, remaja melampaui pengalaman-pengalaman konkret dan berpikir secara abstrak serta lebih logis. Dalam memecahkan masalah, remaja dapat berpikir secara lebih sistematis, mengembangkan hipotesis mengenai mengapa sesuatu terjadi seperti itu, kemudian menguji hipotesis ini.

Sedangkan perkembangan sosioemosi di masa remaja menurut Santrock (2007) bahwa kawan sebaya berperan penting dalam kehidupan remaja. Remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk disukai dan diterima kawan sebaya atau kelompok. Sebagai akibatnya, mereka akan merasa senang apabila diterima dan sebaliknya akan merasa sangat tertekan dan cemas apabila dikeluarkan dan diremehkan oleh kawan-kawan sebayanya. Salah satu fungsi terpenting dari kelompok kawan sebaya adalah sebagai sumber informasi mengenai dunia di luar keluarga. Remaja mempelajari bahwa apa yang mereka lakukan itu lebih baik, sama baik, atau kurang baik dibandingkan remaja lainnya. Relasi yang baik di antara kawan-kawan sebaya dibutuhkan bagi perkembangan sosial yang normal di masa remaja. Isolasi sosial atau ketidakmampuan untuk “terjun” dalam sebuah jaringan sosial berkaitan dengan berbagai bentuk masalah dan gangguan, mulai dari masalah kenakalan dan depresi. Remaja memiliki


(17)

8

motivasi yang kuat untuk berkumpul bersama kawan sebaya dan menjadi sosok yang mandiri.

Menurut Taufik (2012), empati bukanlah sekedar sifat alami yang dianugerahkan Tuhan yang secara otomatis dimiliki oleh setiap individu, melainkan potensi-potensi yang harus terus dipupuk dan dikembangkan dalam berbagai setting kehidupan.

Pada perkembangannya, empati selalu dikaitkan dengan sikap. Loannidou dan Konstantikaki (2008) mengemukakan bahwa team work merupakan cara yang cukup efektif dalam membentuk sikap empati, dengan mendorong individu untuk memahami kebutuhan orang lain dan memberikan masukan yang dibutuhkan orang lain, serta bekerja sama dalam mencapai suatu tujuan.

Menurut Damon (dalam Santrock, 2007) bahwa individu usia sekitar 12 tahun mengembangkan empati bagi orang lain yang hidup dalam lingkungan yang kurang menguntungkan. Kepedulian tidak lagi terbatas pada perasaan dari orang-orang khusus di situasi-situasi yang langsung teramati oleh mereka. lebih dari itu, remaja usia sekitar 12 tahun mulai memperluas kepedulian mereka terhadap masalah-masalah umum yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti: orang miskin, cacat, terkucil secara sosial, dan seterusnya. Kepekaan baru ini dapat menggiring remaja untuk bertindak secara altruistik, dan selanjutnya memberikan rasa kemanusiaan bagi perkembangan remaja.

Cara Meningkatkan Empati

Cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan empati menurut Eisenberg (2002) yaitu: (1) Menyadari sepenuhnya emosi, semakin terbuka seseorang terhadap emosinya maka akan semakin mampu dalam membaca perasaan orang lain. (2) Belajar mendengar pendapat orang lain. (3) Memerhatikan orang lain di jalan, atau di tempat umum lainnya serta mencoba memahami perasaannya melalui ekspresi wajah. (4) Menilai orang lain tidak hanya berdasarkan pada penampilan luar saja. (5) Melihat film pendek di telivisi dan memperkirakan pokok persoalan yang dibicarakan. (6) Role Play atau bermain peran. (7) Menganalisis perbedaan pembicaraan yang berbeda pendapat dengan kita. (8) Bertanya pada diri sendiri mengapa dalam situasi tertentu memberikan reaksi tertentu untuk mengetahui latar belakang perilaku sendiri, akan mudah menempatkan diri dalam posisi orang lain. (9) Mencari sebab-sebab dalam diri sendiri ketika tidak menyukai orang. (10) Mencoba mencari sebanyak mungkin keterangan tentang seseorang sebelum melakukan penilaian terhadapnya agar penilaian kita lebih tepat dan sikap kita terhadapnya lebih sesuai.(11) Mengingat setiap orang dipengaruhi oleh perasaan dan perilakunya.

Psikodrama

Menurut Corey (dalam Romlah, 2001) psikodrama merupakan permainan yang dimaksudkan agar individu yang bersangkutan dapat memeroleh pengertian lebih baik tentang dirinya, dapat menemukan konsep dirinya, menyatakan kebutuhan-kebutuhannya, dan menyatakan reaksi-reaksi tekanan terhadap dirinya.


(18)

9

Menurut Moreno (dalam Prawitasari, 2011) psikodrama memberikan kesempatan orang untuk melihat kehidupan pribadi dengan cara pandang berbeda setelah kehidupan pribadi itu didramakan dan dimainkan oleh orang lain yang berada dalam kelompok bersamanya.

Prosedur Penerapan Psikodrama

Prosedur psikodrama menurut Prawitasari (2011) digunakan untuk memberikan fasilitas ekspresi, kesadaran, pengetahuan akan akibat perilaku seseorang bagi orang lain, dan perubahan perilaku. Beberapa teknik psikodrama, yaitu: [1] Penyajian Peran (role presentation): memperkenalkan diri dalam peran sederhana yang memperlihatkan dirinya dalam kehidupan sehari-hari. [2] Pergantian Peran (role reversal) berganti peran dengan orang lain dan melihat hubungan atau konflik melalui sudut pandang orang lain. [3]

Soliloquy: berpura-pura sendiri dan tidak ada seorang pun yang mendengarkan pikiran dan perasaannya yang diungkapkan dengan keras. [4] Aside: menyuarakan perasaan yang seakan-akan tidak tepat kalau diucapkan dengan keras. [5] Doubling: orang lain menirukan gerakan-gerakan peserta. [6] Melantangkan (amplifying): bentuk penyederhanaan doubling, hanya mengikuti perkataan saja (biasanya untuk peserta yang pemalu). [7] Cermin (mirror): metode umpan balik untuk melihat refleksi dirinya. [8] Peneladanan (modelling): demonstrasi alternatif perilaku yang dilakukan anggota kelompok untuk peserta.

Tahap-Tahap Psikodrama

Tahapan psikodrama menurut Prawitasari (2011) adalah:

1. Persiapan: Fasilitator menjelaskan secara singkat mengenai hakikat dan tujuan dari psikodrama. Fasilitator mewawancarai pengalaman-pengalaman anggota kelompok terkait masalah yang akan diperankan dalam psikodrama. Pembentukan kelompok dan pembagian peran.

2. Pelaksanaan: Para pemain akan memainkan perannya dalam psikodrama.

3. Diskusi: Fasilitator memimpin diskusi dan meminta penonton memberikan umpan balik (fedback), para penonton juga memberikan feedback.

Psikodrama sebagai Metode untuk Meningkatkan Empati Siswa Reguler

Menurut Eisenberg (2002) Aspek-aspek yang memengaruhi empati adalah aspek kognitif dan aspek afektif. Peserta dalam psikodrama diajak untuk memahami masalah dari sudut pandang orang lain, yaitu dengan membayangkan dan bermain peran menjadi orang tersebut, peserta dapat melihat dari mata orang tersebut, bersikap seperti orang tersebut, dan bisa menyelami perasaan orang itu. Jika peserta yang bersikap baik, mendapatkan peran dengan sikap yang buruk, tidaklah mungkin peserta akan menampilkan keadaan yang sama dengan sikap dirinya yang sesungguhnya. Peserta harus dapat memahami karakter peran yang akan dimainkannya dan mempraktikkannya tanpa harus mengubah sikap aslinya yang baik menjadi buruk. Dalam hal ini peran empati sangatlah penting untuk memahami karakter peran yang akan dimainkan. Dalam penelitian ini setiap peserta bermain peran menjadi siswa ABK dimana siswa ABK yang diperankan adalah salah satu teman kelas peserta yang ABK sehingga peserta dapat mengetahui bagaimana karakter siswa ABK yang diperankan berdasarkan pengalaman kehidupan nyata dalam interaksi antara siswa reguler dan siswa ABK.


(19)

10

Sebelum bermain peran, peserta dituntut memahami bagaimana cara berbicara, cara berjalan, pola interaksi, dan perilaku-perilaku lain siswa ABK di sekolah. Sehingga terjadi proses kognitif pada siswa reguler untuk lebih memahami karakteristik dan sudut pandang siswa ABK. Setelah memahami karakteristik siswa ABK, siswa reguler bermain peran menjadi siswa ABK yang berinteraksi dengan siswa reguler. Dalam bermain peran terjadi proses afektif di mana siswa reguler dapat merasakan apa yang dirasakan oleh siswa ABK. Setelah penampilan psikodrama, peneliti akan memberikan umpan balik agar peserta lebih memahami siswa ABK dan mengeksplorasi perasaaan peserta setelah berperan menjadi siswa ABK. Kegiatan umpan balik ini bertujuan untuk mengoptimalkan proses kognitif dan afektif selama psikodrama. Proses kognitif dan afektif inilah yang menjadi aspek dari empati. Jadi dengan psikodrama, siswa reguler dapat memahami dan merasakan bagaimana menjadi siswa ABK yang sering diganggu dan dijahili oleh teman lain dan bagaimana keterbatasan siswa ABK dalam berinteraksi sehingga dapat meningkatkan empati siswa reguler terhadap siswa ABK.

Melalui psikodrama, peserta mencoba mengeksplorasi hubungan-hubungan antar manusia dengan cara memeragakan dan mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama peserta dapat mengeksplorasi perasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai, dan berbagai strategi pemecahan masalah dalam berinteraksi dengan siswa ABK.

Gambar 1. Kerangka Berpikir Hipotesis

PSIKODRAMA

Terjadi proses afektif

Terjadi proses kognitif

Merasakan bagaimana menjadi

siswa ABK Memahami

perbedaan siswa ABK

Aspek Empati


(20)

11

Psikodrama dapat meningkatkan empati siswa reguler terhadap siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) di sekolah inklusif SMP Muhammadiyah 2 Malang.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif. Mengingat penelitian efektivitas psikodrama untuk meningkatkan empati siswa reguler terhadap siswa ABK bukan penelitian laboratorium, sehingga tidak memungkinkan untuk mengontrol variabel lain secara ketat. Maka metode penelitian yang cocok dalam penelitian ini adalah quasi experiment

dengan model one group pre and post-test design, merupakan desain eksperimen yang hanya menggunakan satu kelompok subjek serta memberikan pengukuran sebelum dan sesudah pemberian perlakuan pada subjek. Perbedaan kedua hasil pengukuran tersebut dianggap sebagai efek perlakuan (Latipun, 2002). Secara skematis dapat digambar sebagai berikut: O1→ (X) → O2

Keterangan: O1 = Pre-test

X = Perlakuan psikodrama

O2 =Post-test

Subjek Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah siswa reguler SMP Muhammadiyah 2 Malang sebanyak 126 siswa. Penelitian dilakukan kepada siswa SMP (Sekolah Menengah Pertama) dengan pertimbangan bahwa perlakuan psikodrama paling tepat untuk siswa SMP. Jika Subjek siswa SD (sekolah Dasar), Subjek kesulitan dalam bermain peran dan internalisasi feedback dari kegiatan psikodrama karena keterbatasan kemampuan kognitifnya, sehingga membutuhkan pendampingan ekstra dari fasilitator. Sedangkan jika perlakuan psikodrama diberikan kepada siswa SMA (Sekolah Menengah Atas) dapat dikatakan sudah cukup terlambat untuk peningkatan empati pada usia siswa SMA.

Pengambilan Subjek ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik sampling yang dilakukan dengan mengambil sample yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti. Dalam penelitian ini kriteria Subjek yaitu memiliki skor empati rendah dan sedang yang diidentifikasi dengan menggunakan skala empati yang sebelumnya subjek merupakan siswa reguler yang direkomendasikan oleh guru bimbingan konseling di sekolah. Subjek berjumlah 15 siswa yang terdiri dari 8 siswa yang memiliki skor empati rendah dan 7 siswa yang memiliki skor empati sedang. Penentuan jumlah sampel penelitian ini mengacu pada

pendapat Creswell (2008) yang berpendapat bahwa “dalam penelitian eksperimen, estimasi

jumlah sampel yang dibutuhkan untuk prosedur pengolahan statistik sehingga dapat mewakili


(21)

12

Pengambilan Subjek dikhususkan untuk siswa kelas VII SMP dengan pertimbangan kelas VIII SMP mayoritas aktif dalam kegiatan sekolah seperti OSIS, Mading (Majalah Dinding), dan kegiatan lainnya serta kelas IX SMP sudah fokus dengan persiapan ujian nasional sehingga kelas VIII dan kelas IX tidak dapat berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan dalam beberapa pertemuan.

Tahapan Penelitian

Gambar 2. Tahapan Penelitian Variabel dan Instrumen Penelitian

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah psikodrama dan variabel terikatnya adalah empati. Psikodrama adalah salah satu bentuk bimbingan kelompok yang bertujuan untuk memberikan

Focus Group Discussion

Mengidentifikasi interaksi peserta pikodrama dengan siswa ABK sekaligus sebagai acuan konsep skenario psikodrama, yakni pemilihan siswa ABK yang akan diperankan oleh

masing-masing peserta psikodrama.

Melakukan interview kepada setiap Subjek terkait interaksi Subjek dengan siswa ABK (sebagai alat ukur tambahan dalam penelitian).

Psikodrama 1

Penampilan kelompok 1 & Diskusi

Psikodrama 2

Penampilan kelompok 2 & Diskusi

Psikodrama 3

Penampilan kelompok3& Diskusi

Evaluasi

Pemberian feedback secara keseluruhan dan pemberian skala empati dan interview sebagai post-test

Pemilihan Peserta Psikodrama

Berdasarkan rekomendasi guru BK

Pemberian Skala Empati


(22)

13

bantuan kepada anggota kelompok berupa kegiatan bermain peran dimana setiap anggota kelompok secara bergiliran diminta untuk berperan sebagai siswa ABK dan menampilkan bagaimana interaksinya dengan siswa ABK di sekolah berdasarkan kenyataan, bukan rekayasa atau skenario. Empati adalah kemampuan siswa reguler untuk merasakan apa yang dirasakan oleh siswa ABK dan memahami keterbatasan siswa ABK yang ditandai dengan berkurangnya perilaku mengganggu dari siswa reguler terhadap siswa ABK.

Adapun data penelitian diperoleh dari instrumen penelitian menggunakan model pengukuran dengan skala. Pengukuran ini dilakukan dengan mengumpulkan skor hasil skala empati pada peserta psikodrama sebelum (pre-test) dan sesudah (post-test) perlakuan psikodrama. Skala empati terdiri dari 2 aspek yang dikemukakan oleh Eisenberg (2002), yaitu (1) Aspek Kognitif yang terdiri dari 3 indikator (Kemampuan untuk memahami sesuatu hal yang dialami orang lain, Kemampuan untuk memikirkan sesuatu hal yang dialami dari sudut pandang orang lain, Kemampuan memberi solusi terhadap masalah teman) dan (2) Aspek Afektif yang terdiri dari 4 indikator (Kemampuan merasakan perasaan orang lain, Kemampuan menyesuaikan diri dengan perasaan atau kondisi orang lain, Kemampuan mengkomunikasikan perasaan secara verbal, Kemampuan mengkomunikasikan perasaan secara non verbal). Setiap indikator terdiri dari 4 item dimana 2 item berupa item favorable

dan 2 item unfavorable, sehingga jumlah item dalam skala empati adalah 28 item.

Berdasarkan hasil uji coba pada tanggal 25 April 2015 kepada 125 siswa SMP Muhammadiyah 2 Malang dan SMP Sriwedari Malang yang dilakukan oleh Utomo dan Cahyani (2015) pada skala tersebut menunjukkan dari 28 item, 23 item valid dengan indeks validitas 0,311-0,650 . sedangkan dari uji reliabilitas didapatkan hasil nilai alpha yaitu 0,875. Maka dapat disimpulkan bahwa instrumen ini reliabel sesuai dengan syarat reliabilitas

crobanch alpha minimal 0,6 (Priyatno, 2011). Prosedur dan Analisa Data Penelitian

Prosedur penelitian diawali dengan mengurus perizinan penelitian kepada pihak SMP Muhammadiyah 2 malang kemudian menyusun instrumen dan uji coba instrumen tersebut kepada 125 siswa reguler di SMP Muhammadiyah 2 Malang dan SMP Sriwedari. Setelah melaksanakan uji coba, peneliti melaksanakan asesmen awal dengan interview kepada guru BK dan observasi di sekolah. Kemudian meminta 15 siswa sebagai Subjek penelitian yang direkomendasikan oleh Guru Bimbingan Konseling. Selanjutnya Subjek diminta menandatangani informed consent sebagai bukti kesediaan Subjek untuk mengikuti serangkaian prosedur penelitian.

Peneliti memulai intervensi dengan pemberian skala empati sebagai pre-test kemudian dilanjutkan dengan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) untuk mengidentifikasi masalah interaksi dan crosscheck data hasil interview dan observasi di asesmen awal. Dalam FGD ini juga dilaksanakan interview sebagai alat ukur tambahan untuk mengetahui perbedaan sebelum dan sesudah pemberian psikodrama berdasarkan jawaban subjek. Pertanyaan interview mengenai bagaimana interaksi subjek penelitian dengan siswa ABK. Pertemuan kedua, ketiga, dan keempat peneliti melaksanakan psikodrama dimana peserta dibagi menjadi 3 kelompok. Ketika satu kelompok melaksanakan psikodrama, 2 kelompok lain berperan sebagai penonton. Setiap peserta secara bergiliran dalam kelompok harus menampilkan bagaimana interaksi kesehariannya dengan siswa ABK dan juga harus berperan sebagai siswa ABK. Setelah semua kelompok tampil, peneliti memberikan feedback dari kegiatan psikodrama kepada peserta.


(23)

14

Pertemuan kelima kembali diadakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) untuk mengidentifikasi perubahan interaksi peserta dengan siswa ABK setelah perlakuan psikodrama. Pada pertemuan tersebut juga diberikan skala empati dan interview sebagai post-test.

Setelah rangkaian intervensi berakhir, peneliti memasuki tahap analisa data. Data yang diperoleh dari hasil pre-test dan post-test diinput dan diolah dengan menggunakan program SPSS for windows ver. 21, yaitu analisis parametrik. Analisis yang digunakan untuk mengetahui keberhasilan psikodrama adalah Uji-t dengan membandingkan skor sebelum dan sesudah kegiatan psikodrama.

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian yang dilaksanakan selama empat kali pertemuan akan dipaparkan dengan tabel-tabel berikut.

Tabel 1. Subjek Penelitian

Jenis Kelamin Jumlah Usia Rata-Rata Skor

Pre-Test

Rata-Rata Skor Post Test

Laki-Laki 8 anak 12-13 tahun 13,125 17,75

Perempuan 7 anak 12-13 tahun 15 19,71

Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa jumlah total subjek 15 anak yang terdiri dari 8 anak laki-laki dan 7 anak perempuan dengan rata-rata skor pre-test dan rata-rata skor post-test subjek perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan subjek laki-laki.

Tabel 2. Hasil Uji Pre-Test dan Post-Test

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 Pretest 14,00 15 2,878 -0,743

Posttest 18,67 15 3,395 -0,877

Tabel 2 menunjukkan rata-rata (mean) skor empati subjek pada sebelum dan sesudah diberikan psikodrama, dimana sebelum diberikan psikodrama rata-rata skor empati subjek adalah 14,00 sementara setelah diberikan psikodrama rata-rata skor empati subjek adalah 18,67. Hal ini menunjukkan adanya perubahan skor empati subjek antara sebelum dan sesudah pemberian psikodrama.


(24)

15 Tabel 3. Hasil Uji Hipotesis

Paired Ddifferences

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the Difference

Mean Lower Upper T df Sig. (2-tailed)

-4,667 1,915 0,494 -5,727 -3,606 -9,439 14 0,000

Pada tabel 3 diperoleh nilai t hitung sebesar -9,439 dengan sig. 0,000. Karena sig < 0,05 dan t hitung (-9,439) tidak berada diantara nilai - t tabel dan +t tabel (derajat kebebasan-df 14, taraf signifikansi 5% = -1,76) maka dapat disimpulkan bahwa H1 diterima, artinya skor empati

subjek antara sebelum dan sesudah diberikan psikodrama adalah berbeda. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa psikodrama mempengaruhi peningkatan empati siswa reguler terhadap siswa ABK.

Selain menggunakan skala empati sebagai alat ukur perubahan sebelum dan sesudah diberikan psikodrama, peneliti juga menggunakan interview dalam kelompok untuk mengetahui bagaimana perubahan interaksi subjek dengan siswa ABK setelah diberi piskodrama. Interview sebelum perlakuan menunjukkan bahwa semua subjek penelitian seringkali mengganggu siswa ABK baik secara verbal maupn non verbal, bahkan beberapa subjek menyatakan ketidaknyamanannya di kelas karena keberadaan siswa ABK yang dinilai mengganggu kegiatan belajar mengajar di kelas. Sedangkan interview yang dilaksanakan setelah perlakuan menunjukkan semua subjek mengaku bahwa intensitas mengganggu siswa ABK telah berkurang, beberapa subjek juga mengajak bermain dan mengajari teman ABK mereka, bahkan sebagian kecil dari peserta telah menegur teman reguler lain yang sedang mengganggu siswa ABK.

Berdasarkan hasil analisis dengan membandingkan nilai mean sebelum dan setelah diberikan psikodrama, hasil analisis uji hipotesis, dan hasil interview pada subjek menunjukkan hasil yang mendukung hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu psikodrama dapat meningkatkan empati siswa reguler terhadap siswa ABK di sekolah inklusif SMP Muhammadiyah 2 Malang.

DISKUSI

Hasil penelitian menunjukkan bahwa psikodrama dapat meningkatkan empati siswa reguler di SMP Muhammadiyah 2 Malang. Hal ini dibuktikan dengan adanya perbedaan antara skor empati sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) pemberian psikodrama dan hasil wawancara pada subjek.

Psikodrama secara umum memiliki unsur terapiutik yang mampu meningkatkan empati sebagaimana penjelasan Eisenberg (2002) bahwa salah satu cara untuk meningkatkan empati adalah dengan role play atau bermain peran dan menurut Bennett (dalam Romlah, 2001) salah satu bentuk bermain peran adalah psikodrama.

Menurut Moreno (dalam Prawitasari, 2011) psikodrama memberikan kesempatan orang untuk melihat kehidupan pribadi dengan cara pandang berbeda setelah kehidupan pribadi itu didramakan dan dimainkan oleh orang lain yang berada dalam kelompok bersamanya. Pada


(25)

16

penelitian ini psikodrama dilaksanakan dengan cara siswa reguler sebagai peserta bermain peran secara bergilir menjadi siswa ABK. Interaksi yang ditampilkan dalam psikodrama berdasarkan pengalaman yang pernah dialami subjek sebagai siswa reguler ketika berinteraksi dengan siswa ABK. Sehingga subjek dapat melihat kehidupan pribadinya dengan cara pandang berbeda dalam hal ini khususnya sebagai siswa reguler yang berinteraksi dengan siswa ABK di mana subjek mampu memahami bahwa yang selama ini dilakukan dengan maksud bercanda kepada siswa ABK ternyata sangat mengganggu siswa ABK. Subjek dalam penelitian ini adalah subjek dengan kategori usia remaja, yaitu dengan rentangan usia menurut Santrock (2007) berada pada usia 10-13 tahun. Menurut Piaget (dalam Santrock, 2007) perkembangan kognitif diusia remaja sudah mencapai pada tahap

Operasional Formal, dimana remaja mulai mengembangkan pola berpikir abstrak yang juga

mempunyai implikasi secara emosional. Pada tahap perkembangan kognitif ini memungkinkan remaja untuk berpikir dalam kerangka apa yang mungkin akan terjadi bukan hanya yang terjadi. Pada perkembangan ini remaja juga sudah mulai terampil dalam penyerapan perspektif sosial, mulai mampu untuk memahami sudut pandang orang lain serta level pengetahuan berbicara menjadi seimbang dengan kedua hal tersebut. Anak yang telah memasuki masa remaja awal (early adolescence) telah mampu menunjukkan rasa empati pada teman sebayanya dan pada orang lain. Ditinjau dari kemampuan perkembangan tersebut, maka tepat jika remaja yang menjadi subjek penelitian ini karena sudah mampu dalam bepikir secara abstrak untuk memahami sudut pandang orang lain melalui psikodrama. Sebelum pelaksanaan psikodrama, peneliti memberikan tugas kepada subjek ketika FGD untuk mengamati bagaimana karakteristik dan perilaku keseharian siswa ABK yang akan diperankan oleh masing-masing subjek. Ketika mengamati dan mempelajari perilaku siswa ABK yang akan diperankan, terjadi proses kognitif pada siswa reguler di mana siswa reguler mulai memahami perbedaan antara mereka dengan siswa ABK. Pemahaman kognitif siswa reguler tentang siswa ABK lebih dioptimalkan lagi saat sesi akhir di mana peneliti menjelaskan materi singkat tentang siswa ABK dan keterbatasannya. Ketika bermain peran dalam psikodrama, siswa reguler yang berperan menjadi siswa ABK akan diganggu oleh peserta lain yang berperan menjadi siswa reguler sebagaimana interaksi berdasarkan pengalaman subjek. Hal ini menyebabkan subjek mampu merasakan bagaimana rasanya diganggu oleh teman-teman reguler lain sehingga terjadi proses afektif di dalam pelaksanaan psikodrama. Setelah pelaksanaan psikorama dalam setiap sesi, dilaksanakan diskusi kelompok untuk mengeksplorasi bagaimana perasaan subjek setelah bermain peran. Saat diskusi inilah proses afektif diperkuat. Semua subjek setelah bermain peran mengatakan bahwa menjadi siswa ABK ternyata sangat tidak enak karena sering diganggu, diremehkan dan diperintah oleh siswa lain sehingga mereka menyadari bahwa tindakan mereka selama ini sangat merugikan siswa ABK.

Berdasarkan uraian di atas, melalui psikodrama peserta mendapat pemahaman secara kognitif dan afektif mengenai siswa ABK. Hal ini sesuai dengan aspek-aspek yang mempengaruhi empati menurut Eisenberg (2002) yakni aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif merupakan komponen yang menimbulkan pemahaman terhadap perasaan orang lain. Eisenberg (2002) mendefinisikan aspek kognitif sebagai kemampuan untuk membedakan dan mengenali kondisi emosional yang berbeda. Hal yang paling mendasar pada proses empati adalah pemahaman adanya perbedaan antara individu dan orang lain. Berdasarkan uraian tersebut, aspek kognitif dalam empati meliputi aspek pemahaman atas kondisi orang lain. Oleh karena itu, aspek kognitif sangat berperan penting dalam berempati. Psikodrama dalam penelitian ini memberikan kesempatan kepada subjek untuk memahami perbedaan antara


(26)

17

subjek sebagai siswa reguler dan siswa ABK yang telah diperankan sehingga memenuhi aspek kognitif dalam empati.

Aspek afektif yaitu respon emosi yang seolah–olah terjadi pada diri sendiri merupakan dasar empati. Pada awalnya dalam aspek ini subjek cenderung kurang dapat memahami apa yang dialami oleh siswa ABK, justru mereka suka mengganggu siswa ABK dan tidak peduli dengan apa yang dirasakan siswa ABK. Namun setelah bermain peran dalam psikodrama, subjek mampu merasakan bagaimana tidak enaknya menjadi siswa ABK dan enggan untuk mengganggu siswa ABK lagi. Jadi dengan psikodrama, siswa reguler dapat memahami dan merasakan bagaimana menjadi siswa ABK yang sering diganggu dan dijahili oleh teman lain dan bagaimana keterbatasan siswa ABK dalam berinteraksi sehingga dapat meningkatkan empati siswa reguler terhadap siswa ABK. Hal ini dibuktikan secara kuantitatif dengan uji analisis paired sample t-test yang menunjukkan adanya peningkatan empati siswa reguler terhadap siswa ABK setelah diberikan psikodrama (p = 0.000, p < 0.05 & t hitung = -9.439, t tabel = -1,76).

Hasil pretest dan posttest skala empati menunjukkan bahwa mean skor empati subjek perempuan lebih tinggi daripada subjek laki-laki. Hal ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Maite Garaigordobil (2009) dengan judul “A Comparative Analysis of Empathy in Childhood and Adolescence: Gender Differences and Associated Socio-emotional Variables”. Penelitian ini mengambil 313 sampel yang berusia antara 10-14 tahun. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa perempuan mempunyai skor yang lebih tinggi pada empati, perilaku prososial, perilaku asertif, dan kemampuan kognitif untuk menganalisis emosi negatif. Sementara itu, laki-laki menunjukkan kecenderungan untuk lebih agresif saat berinteraksi dengan teman sebayanya.

Penelitian lain yang membahas empati berdasarkan perbedaan gender adalah dari Nicole L.

Cundiff, Joel T. Nadler, dan Alicia Swan (2009) yang berjudul “The Influence of Cultural

Empathy and Gender on Perceptions of Diversity Program” dengan sampel 294 mahasiswa

Midwestern University.hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan dengan empati yang tinggi terhadap budaya atau etnis mempunya intensitas perilaku yang tinggi untuk menghadiri dan mempunyai persepsi yang positif terhadap berbagai macam program. Penelitian psikodrama ini dan penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat empati perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki.

Dalam pelaksanaan penelitian ini, subjek cukup antusias dalam mengikuti psikodrama. Hal ini terlihat dari semangat subjek ketika bermain peran dan ketika melihat kelompok lain yang tampil. Suasana psikodrama sengaja dibuat santai dan menyenangkan agar subjek yang termasuk dalam usia remaja menikmati proses psikodrama. Selain itu, proses kelompok dalam psikodrama juga dianggap penting karena dapat menyampaikan substansi program secara efektif dengan adanya kehangatan, dukungan, dan kesempatan untuk behubungan secara individual (Sochet dkk dalam Gerald, 2012). Perlakuan dalam bentuk kelompok ini sesuai dengan perkembangan sosioemosi pada masa remaja di mana peran kawan sebaya sangat penting bagi remaja. Dalam psikodrama, subjek dapat saling membentuk konformitas untuk mengembangkan sikap positif guna meningkatkan empati mereka. Teknik psikodrama ini memberi kesempatan juga kepada subjek untuk saling berinteraksi baik ketika bermain peran maupun ketika diskusi sehingga antar subjek dapat saling mendukung terciptanya dinamika kelompok yang mengoptimalkan tujuan dari pelaksanaan psikodrama. Sehingga psikodrama tepat sebagai perlakuan untuk mengembangkan sikap positif pada remaja karena model bermain peran yang menyenangkan dan tidak terlalu serius.


(27)

18

Dengan berbagai kelebihan yang telah dijelaskan sebelumnya, bukan berarti penelitian ini tidak memiliki kekurangan. Berbagai keterbatasan juga muncul pada penelitian ini terutama masalah waktu pelaksanaan. Seringkali waktu pertemuan lebih singkat daripada waktu yang sudah dirancang dalam modul pelaksanaan psikodrama. Hal ini dikarenakan waktu pelaksanaan psikodrama ketika jeda antara istirahat sholat dhuhur dengan kegiatan ekstrakurikuler wajib sekolah sehingga pihak sekolah memberikan waktu yang terbatas kepada peneliti dalam melaksanakan penelitian. Keterbatasan waktu ini cukup mengganggu penelitian karena menyebabkan peneliti tidak bisa melaksanakan kegiatan psikodrama sesuai dengan modul yang sudah dirancang sebelumnya. Contohnya pemberian ice breaking yang dirancang di setiap sesi pertemuan tidak bisa dilaksanakan. Selain itu, peneliti juga tidak menyusun check list observasi berisi indikator-indikator perilaku peserta yang menjadi alat ukur peningkatan empati peserta saat bermain psikodrama.

SIMPULAN DAN IMPLIKASI

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 15 subjek yang terdiri dari 8 subjek siswa laki-laki dan 7 subjek siswa perempuan, maka dapat disimpulkan bahwa perlakuan psikodrama yang diberikan selama 4 sesi diikuti oleh seluruh subjek, efektif untuk meningkatkan empati siswa reguler terhadap siswa ABK. Hal ini dibuktikan dengan uji analisa data dengan paired sample t-test (p = 0.000, p < 0.05 & t hitung = 9.439, t tabel = -1,76). Setelah pelaksanaan psikodrama, subjek mengaku bahwa intensitas menganggu siswa ABK berkurang, sebagian subjek mau mengajak bermain dan belajar bersama siswa ABK, bahkan beberapa subjek sudah mau menegur teman reguler lain yang sedang mengganggu siswa ABK. Hal ini menjadi pendukung adanya peningkatan empati pada subjek penelitian. Penelitian perlakuan psikodrama ini dapat efektif dengan kriteria usia subjek dalam kelompok remaja, jumlah subjek antara 10-15 siswa, perlakuan diberikan minimal 4 pertemuan yang sebelumnya diawali dengan asesmen, pemberian feedback tiap akhir pertemuuan, dan tempat pelaksanaan yang kondusif.

Implikasi dari penelitian ini diharapkan pihak sekolah inklusif tempat penelitian dan sekolah-sekolah inklusif lain bersedia menerapkan psikodrama sebagai salah satu solusi alternatif untuk meningkatkan empati siswa reguler sehingga juga meningkatkan penerimaan siswa reguler terhadap siswa ABK dan jangka panjangnya tujuan dari penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat tercapai dengan baik. Bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian dengan variabel yang sama disarankan untuk menggunakan model perlakuan yang sama dengan kelompok umur berbeda, atau prosedur pelaksanaan yang berbeda, atau menggunakan model perlakuan yang berbeda.

REFERENSI

Alfasnue, N.A. (2013). Upaya Meningkatkan Kecerdasan Emosional Melalui Metode Psikodrama Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Sleman. Skripsi: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.


(28)

19

Cresswell, John W. (2008). Educational Research (Third Edition). California: Pearson Prentice Hall.

Cundiff, N. L., Nadler, J.T., & Swan, A. (2009). The Influence of Cultural Empathy and Gender on Perception of Diversity Program. Journal of Leadership & Organizational Studies, 16, 97-110.

Direktorat PLB. (2007). Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Jakarta : Depdiknas.

Eisenberg, N. (2002). Empathy and its Development. Cambridge: Cambridge University Press.

Garaigordobil, M. (2009). A Comparative Analysis of Empathy in Childhood and Adolescence: Gender Differences and Associated Socio-emotional Variables.

International Journal of Psychology and Psychological Therapy, 9, 217-235.

Gerald, K. (2012). Practical Interventions for Young People at Risk. (Terj. Helly P. S, MA & Dra. Sri Mulyantini S). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Goleman, Daniel. (2000). Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Goleman, Daniel. (2003). Working With Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Goleman, Daniel. (2007). Social Intelligence: The New Science of Human Relationship.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Heward, W. L., & Orlansky, M. D., (1992). Exceptional Children: An Introductory Survey of Special Education. Columbus, Ohio, U.S.A: Merril Pub Co.

Krevans, J. & Gibbs, J.C. 1996. Parents Use of Inductive Discipline: Relations to Children’s

Empathy and Prosocial Behavior. Child Development, 6, 3263-3277

Latipun. (2002). Psikologi Eksperimen. Malang: UMM Press.

Lietz, C. A., Gerdes, K. E., Sun, F., Geiger, J. M., Wagaman, M. A., & Segal, E. A. (2011). The Empathy Assessment Index (EAI): A Confirmatory Factor Analysis of a Multidimensional Model of Empathy. Journal of the Society for Social Work and Research, 2, 104-124.

Loannidou, F. & Konstantikaki, V. (2008). Empathy and Emotional intelligence: What is it Really About?. International Journal of Caring Sciences, 1, 118-123.

Panuntun, J. G. (2012). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Empati Pada Siswa Kelas X SMK 3 Salatiga Tahun Pelajaran 2012/2013. Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Saya Wacana, Salatiga


(29)

20

Pramono, Affiyani. (2013). Pengembangan Model Bimbingan Kelompok Melalui Teknik Psikodrama untuk Mengembangkan Konsep Diri Positif. Jurnal Bimbingan Konseling, 2, 99-104.

Pramuaji, Krisan Andreas. (2012). Penggunaan Metode Bermain Peran (Role Play) dalam Meningkatkan Empati Teman Sebaya Siswa Kelas XILD Jurusan Administrasi Perkantoran di SMK PGRI 02 Salatiga. Skripsi: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Prawitasari, J.E. (2011). Psikologi Klinis Pengantar Terapan Mikro dan Makro. Jakarta: Erlangga.

Romlah, Tatik. 2001. Teori dan Praktik Bimbingan Kelompok. Malang: Universitas Negeri Malang.

Ryan, K. & Ryan, S.G. (2012). Linking Empathy to Character Via a Service Learning Endeavor. Journal of Civic Commitment, 18, 1-13.

Santrock, J.W. 2003. Adolescene, sixth edition. (Terj. Shinto B. Adelar & Sherlu Saragih). Jakarta: Erlangga.

Santrock, J.W. (2007). Adolescene, eleventh edition. (Terj. Benedictine Widyasinta). Jakarta: Erlangga.

Saripah, I. (2010). Model Konseling Kognitif Perilaku untuk Menanggulangi Bulliying Peserta Didik.(Studi Pengembangan Model Konseling pada Peserta didik Sekolag Dasar di beberapa Kabupaten Kota di Jawa Barat). Disertasi. Pogram Pasca Sarjana Univesitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Strayer, J. & Roberts, W. (2004). Empathy and Observed Anger and Aggression in Five Years Old. Social Development, 13, 1-13.

Stein, S. J. & Book, H. E. (2002). Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. Bandung: Kaifa

Taufik (2012). Empati Pendekatan Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Umniyah, S. Pengaruh Pelatihan Mindfullness Terhadap Peningkatan Empati Perawat. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada


(30)

21

SKALA EMPATI ASPEK AFEKTIF

NO INDIKATOR PERTANYAAN U/F

1 Kemampuan

merasakan perasaan orang lain

 Saya dapat merasakan kesedihan ketika melihat teman ABK saya mengalami kesulitan

 Ketika melihat teman ABK saya bersedih, saya malah tertawa

 Ketika melihat teman ABK saya marah karena

F U F


(31)

22

diganggu teman yang lain, saya juga merasa marah

 Saya senang melihat teman ABK saya yang marah karena diganggu teman lain

U

2 Kemampuan

menyesuaikan diri dengan perasaan atau kondisi orang lain

 Saya merasa sedih ketika melihat teman ABK saya sendirian di kelas

 Saya merasa senang ketika melihat teman ABK saya diacuhkan oleh teman-teman yang lain  Saya ikut bahagia ketika melihat teman ABK

saya dipuji oleh guru

 Saya merasa senang ketika melihat teman ABK saya diejek oleh teman lain

F U F U

3 Kemampuan

mengkomunikasikan perasaan secara verbal

 Saya mengucapkan selamat kepada teman ABK saya ketika dia mendapat nilai yang bagus  Saya tidak perlu mengucapkan selamat kepada

teman ABK saya ketika dia mendapat nilai bagus

 Saya meminta maaf kepada teman ABK saya ketika saya berbuat kesalahan kepada dia  Saya hanya diam meskipun yang berbuat

kesalahan pada teman ABK saya

F U F U

4 Kemampuan

mengkomunikasikan perasaan secara non verbal

 Saya bertepuk tangan ketika melihat teman ABK saya senang

 Saya menyuruh teman saya mengganggu teman ABK

 Saya melarang teman saya mengganggu teman ABK

 Saya ikut menertawakan teman ABK saat diejek teman lain F U F U ASPEK KOGNITIF

NO INDIKATOR PERTANYAAN U/F

1 Kemampuan untuk memahami sesuatu hal yang dialami orang lain

 Ketika teman ABK saya bercerita mengenai kesulitannya, saya mampu merasakan apa yang dirasakannya

 Saya kurang mampu memahami bagaimana rasanya menjadi anak ABK

 Saya dapat memahami kesulitan yang dialami teman ABK dalam belajar

 Saya kesulitan memahami perilaku anak ABK dalam berinteraksi

F

U F U


(32)

23

memikirkan sesuatu hal yang dialami dari sudut pandang orang lain

mengikuti pelajaran di kelas

 Saya tida tahu kalau pekerjaan rumah (PR) cukup sulit bagi teman ABK

 Saya mengerti teman ABK kesulitan mengerjakan petugas rumah (PR) dari guru  Saya tidak mengerti bahwa pelajaran di sekolah

sulit dipahami teman ABK

U F U

3 Kemampuan

memberi solusi terhadap masalah teman

 Saya akan membantu mengajarkan pelajaran kepada teman ABK saya saat mengalami kesulitan memahami mata pelajaran tertentu  Saya membiarkan teman ABK saya saat

kesulitan memahmi pelajaran

 Saya akan memberi tahu kepada teman ABK saya bagaimana berinteraksi dengan teman sebaya

 Saya membiarkan teman ABK saya yang membutuhkan bantuan F U F U Keterangan: F : Favorable

U : Unfavorable

Lampiran 2. Blueprint Skala Empati Penelitian

SKALA EMPATI ASPEK AFEKTIF

NO INDIKATOR PERTANYAAN U/F

1 Kemampuan

merasakan perasaan orang lain

 Ketika melihat teman ABK saya bersedih, saya malah tertawa

 Saya senang melihat teman ABK saya yang marah karena diganggu teman lain

U U

2 Kemampuan

menyesuaikan diri

 Saya merasa sedih ketika melihat teman ABK saya sendirian di kelas


(33)

24

dengan perasaan atau kondisi orang lain

 Saya merasa senang ketika melihat teman ABK saya diacuhkan oleh teman-teman yang lain  Saya ikut bahagia ketika melihat teman ABK

saya dipuji oleh guru

 Saya merasa senang ketika melihat teman ABK saya diejek oleh teman lain

U F U

3 Kemampuan

mengkomunikasikan perasaan secara verbal

 Saya mengucapkan selamat kepada teman ABK saya ketika dia mendapat nilai yang bagus  Saya tidak perlu mengucapkan selamat kepada

teman ABK saya ketika dia mendapat nilai bagus

 Saya meminta maaf kepada teman ABK saya ketika saya berbuat kesalahan kepada dia  Saya hanya diam meskipun yang berbuat

kesalahan pada teman ABK saya

F U F U

4 Kemampuan

mengkomunikasikan perasaan secara non verbal

 Saya bertepuk tangan ketika melihat teman ABK saya senang

 Saya menyuruh teman saya mengganggu teman ABK

 Saya melarang teman saya mengganggu teman ABK

 Saya ikut menertawakan teman ABK saat diejek teman lain F U F U ASPEK KOGNITIF

NO INDIKATOR PERTANYAAN U/F

1 Kemampuan untuk memahami sesuatu hal yang dialami orang lain

 Ketika teman ABK saya bercerita mengenai kesulitannya, saya mampu merasakan apa yang dirasakannya

 Saya dapat memahami kesulitan yang dialami teman ABK dalam belajar

F

F 2 Kemampuan untuk

memikirkan sesuatu hal yang dialami dari sudut pandang orang lain

 Saya memaklumi kesulitan teman ABK untuk mengikuti pelajaran di kelas

 Saya mengerti teman ABK kesulitan mengerjakan petugas rumah (PR) dari guru  Saya tidak mengerti bahwa pelajaran di sekolah

sulit dipahami teman ABK

F F U


(34)

25

memberi solusi terhadap masalah teman

kepada teman ABK saya saat mengalami kesulitan memahami mata pelajaran tertentu  Saya membiarkan teman ABK saya saat

kesulitan memahmi pelajaran

 Saya akan memberi tahu kepada teman ABK saya bagaimana berinteraksi dengan teman sebaya

 Saya membiarkan teman ABK saya yang membutuhkan bantuan

U F

U

Keterangan: F : Favorable

U : Unfavorable


(35)

26


(36)

27

Lampiraan 4. Skala Penelitian

Identitas

Nama :

Jenis Kelamin : L/P

Usia :


(37)

28

Pada tabel di bawah ini terdapat daftar pernyataan. Berilah pilihan “Ya” atau “Tidak” pada daftar tersebut. Dalam pengisian pada setiap kolom tidak diperkenankan untuk memiliki jawaban ganda.

No. Pernyataan Ya Tidak

1. Saya merasa sedih ketika melihat teman ABK saya sendirian di kelas 2. Saya merasa senang ketika melihat teman ABK saya diacuhkan oleh

teman-teman yang lain

3. Ketika melihat teman ABK saya bersedih, saya malah tertawa 4. Saya membiarkan teman ABK saya yang membutuhkan bantuan 5. Saya membiarkan teman ABK saya saat kesulitan memahmi

pelajaran

6. Saya ikut bahagia ketika melihat teman ABK saya dipuji oleh guru 7. Saya menyuruh teman saya mengganggu teman ABK

8. Saya mengucapkan selamat kepada teman ABK saya ketika dia mendapat nilai yang bagus

9. Saya mengerti teman ABK kesulitan mengerjakan tugas rumah (PR) dari guru

10. Saya hanya diam meskipun yang berbuat kesalahan pada teman ABK saya

11. Saya bertepuk tangan ketika melihat teman ABK saya senang 12. Saya senang melihat teman ABK saya yang marah karena diganggu

teman lain

13. Saya tidak perlu mengucapkan selamat kepada teman ABK saya ketika dia mendapat nilai bagus

14. Saya meminta maaf kepada teman ABK saya ketika saya berbuat kesalahan kepada dia

15. Saya melarang teman saya mengganggu teman ABK

16. Saya memaklumi kesulitan teman ABK untuk mengikuti pelajaran di kelas

17. Saya merasa senang ketika melihat teman ABK saya diejek oleh teman lain

18. Ketika teman ABK saya bercerita mengenai kesulitannya, saya mampu merasakan apa yang dirasakannya

19. Saya dapat memahami kesulitan yang dialami teman ABK dalam belajar

20. Saya tidak mengerti jika pelajaran di sekolah sulit dipahami teman ABK

21. Saya akan memberi tahu kepada teman ABK saya bagaimana berinteraksi dengan teman sebaya

22. Saya akan membantu mengajarkan pelajaran kepada teman ABK saya saat mengalami kesulitan memahami mata pelajaran tertentu


(38)

29

23. Saya ikut menertawakan teman ABK saat diejek teman lain

Lampiran 5. Tabulasi Data

No Nama Pretest Posttest

1 Achmad Syachfir H 8 12

2 Alma Wasiem 15 20

3 Annora Mahsa I 16 22

4 Bagus Bandung J.P 8 13

5 Danang Tejo K. 16 18

6 Fadhil Rahmat N 15 22


(39)

30 Lampiran 6. Hasil Analisa Data

8 Izzah Aulia A 16 23

9 Jasmine Ina H 13 19

10 Nabilah Nur A. 17 21

11 Puguh Hananto 11 17

12 Qumairoh Mursalina 13 17

13 Raffi Yuli Susanti 15 16

14 Rizki Feri A. 16 20


(40)

31 Lampiran 7. Modul Penelitian


(41)

32

Oleh:

Niki Cahyani

201210230311410

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2016

Psikodrama merupakan permainan yang memberikan kesempatan kepada peserta untuk melihat kehidupan pribadi dengan cara pandang berbeda dari sebelumnya setelah kehidupan pribadi tersebut diperankan oleh orang lain dalam kelompok. Berikut modul pelaksanaan kegiatan psikodrama :


(42)

33

A. ASESMEN

1. Gambaran Umum

Asesmen merupakan proses untuk melaksanakan penggalian data, hal ini bertujuan untuk mengetahui data tentang kondisi maupun permasalahan yang dimiliki oleh peserta. Data hasil asesmen akan dianalisis sebagai bahan untuk menentukan prosedur pelaksanaan psikodrama. Asesmen ini dilaksanakan sebelum pelaksanaan psikodrama. Proses asesmen dilakukan kepada siswa reguler sekolah inklusif yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan empati siswa reguler terhadap siswa Anak Berkebutuhan Khusus (selanjutnya akan disingkat ABK).

2. Tujuan

a. Melakukan analisa tingkat empati siswa reguler terhadap siswa ABK. b. Menentukan peserta psikodrama.

3. Metode

a. Interview terhadap orang-orang yang bersangkutan seperti guru yang menjadi wali kelas dan guru Bimbingan Konseling (BK) serta beberapa siswa reguler di sekolah inklusif.

b. Observasi secara langsung di sekolah

c. Pemberian skala empati kepada siswa reguler sekolah inklusif.

4. Waktu

Proses asesmen dengan 3 metode ini dilaksanakan di beberapa waktu. Interview dilaksanakan dengan menyesuaikan waktu luang guru Bimbingan Konseling (BK) dan wali kelas. Observasi dilaksanakan pada saat kegiatan belajar-mengajar sedang berlangsung maupun pada waktu istirahat dengan cara melakukan observasi di dalam kelas maupun di luar kelas. Asesmen terakhir berupa pemberiavasi dan skala empati yang diaksanakan setelah proses observasi dan interview selesai. Asesmen difokuskan untuk mengetahui bagaimana interaksi antara siswa reguler dengan siswa ABK. Proses asesmen ini dapat dinyatakan selesai apabila telah mendapatkan data sesuai dengan yang dibutuhkan.

5. Tahapan

Tahap pertama, peneliti mengumpulkan data tingkat kemampuan empati siswa reguler terhadap siswa ABK dengan melakukan observasi atau pengamatan baik ketika proses pembelajaran berlangsung maupun ketika istirahat. Tahap kedua, peneliti melaksanakan interview kepada guru BK, guru wali kelas, dan beberapa siswa reguler di sekolah inklusif dengan topik interview adalah interaksi siswa reguler dan siswa ABK di sekolah tersebut. Tahap ketiga, peneliti memberikan skala empati kepada siswa reguler kelas VII di sekolah inklusif. Tahap keempat, peneliti menganalisis data-data yang diperoleh dari proses interview, observasi, dan pemberian skala. Hasil tersebut digunakan untuk menentukan siswa reguler yang tepat menjadi peserta psikodrama, yakni yang memiliki kemampuan empati yang rendah terhadap siswa ABK.


(1)

41

psikodrama pada kehidupan sehari-hari.

d. Menjadi sarana refreshing bagi peserta.

e. Fasilitator mengetahui kekurangan dalam pelaksanaan psikodrama sehingga

dapat menjadi bahan pebaikan pada kegiatan-kegiatan selanjutnya.

f. Mengakhiri kegiatan psikodrama.

3. Metode

a. Ceramah

b. Diskusi

c. Pemberian skala empati

4. Waktu

Waktu pelaksanaan adalah 1 kali yaitu pada pertemuan akhir yang akan

dilakukan selama ± 60 menit.

5. Tahapan

1. Fasilitator meminta peserta untuk berkumpul dan duduk melingkar.

2. Setiap peserta diberi kesempatan untuk menceritakan pengalamannya selama

mengikuti psikodrama.

3. Tugas Fasilitator adalah memulai dan mengarahkan diskusi untuk

memaksimalkan pemberian umpan balik (feedback) dari peserta lain.

4. Tokoh protagonist diberikan kesempatan untuk membuat kesimpulan mengenai

pengalamannya dalam memerankan tokoh yang diperankan tersebut melingkupi

interaksinya dengan auxiliary yang berperan menjadi siswa reguler.

5. Fasilitator memberikan penjelasan secara singkat tentang Anak Berkebutuhan

Khusus (ABK) kepada peserta psikodrama untuk memberikan pemahaman

secara kognitif dan afektif yang bertujuan membangun kemampuan empati

peserta.

6. Fasilitator memberikan skala empati untuk mengetahui peningkatan kemampuan

empati

7. Fasilitator memberikan kesempatan pada peserta untuk memberikan kritik atau

saran kepada fasilitator atas kegiatan psikodrama yang telah dilaksanakan.

8. Fasilitator memberikan motivasi singkat kepada peserta.


(2)

42

Lampiran 8.Guide Observasi dan Interview

GUIDE INTERVIEW DAN OBSERVASI


(3)

43

Bagaimana interaksi antar siswa reguler di kelas?

Bagaimana interaksi siswa reguler dan siswa ABK di

kelas?

Bagaimana interaksi siswa reguler dan siswa ABK di luar

kelas (saat istirahat)?

Bagaimana interaksi antar siswa ABK?

Bagaimana intensitas komunikasi siswa reguler dan siswa

ABK?

Bagaimana metode pembelajaran di kelas inklusif?

(efektivitas)

Bagaimana perlakuan khusus dari pihak sekolah kepada

siswa inklusif? (fasilitas)

Lampiran 9. Verbatim Focus Group Discussion (FGD)

VERBATIM

NO SUBJEK SEBELUM FGD SESUDAH FGD

1 Achmad Syachfir Saya suka mengganggu dan

nyuruh-nyuruh teman ABK di kelas

Sekarang mengganggu saya

berkurang, saya ajak main, ajak diskusi, bercanda. Ya teman ABK saya anggap seperti teman reguler

INDIKATOR

KETERANGAN

Tidak terjadi interaksi antara siswa reguler dan siswa ABK

Siswa ABK berkumpul sendiri dengan siswa ABK

Siswa reguler mengejek/menggoda siswa ABK

Siswa reguler mengacuhkan keberadaan siswa ABK

Siswa ABK kesulitan memahami pelajaran di kelas

Siswa ABK kesulitan mengikuti kegiatan belajar mengajar di

kelas


(4)

44

2 Alma Wasiem Saya suka gangguin teman ABK

karena mereka lucu dan berbeda dengan teman reguler

Saya negur teman reguler lain yang mengganggu teman ABK karena saya sudah merasakan menjadi ABK tidak enak

3 Annora Mahsa I Saya suka godain teman ABK

karena asyik godain mereka

Saya sudah nggak sering godain teman ABK lagi

4 Bagus Bandung Saya sering marahin teman ABK

soale sulit dibilangi

Saya tidak gangguin teman ABK seperti dulu lagi.

5 Danang Tejo K. Anak ABK itu suka

marah-marah sendiri dan senang

mengganggu mereka

Saya kasihan sama teman ABK, sekarang saya ajak ngobrol dan sholat bareng

6 Fadhil Rahmat N Saya suka gangguin mereka pas istirahat

Saya berkurang gangguin teman nggak kayak dulu lagi

7 Fawwas Rayhan F Saya sering gangguin teman

ABK di kelas

Saya kasihan ketika melihat teman ABK dibully, saya nggak mau gangguin lagi tapi saya balas ketika mereka mengganggu saya

8 Izzah Aulia A Teman ABK sering mengganggu

pelajaran di kelas. Mereka sulit kalau disuruh diam.

Saya jadi tahu bagaimana rasanya menjadi teman ABK, jadi kasihan dan saya jarang ganggu mereka lagi 9 Jasmine Ina H Saya selalu ganggu dan

nyuruh-nyuruh teman ABK

Sekarang lebih care dan lebih perhatian ke teman ABK

10 Nabilah Nur A. Saya suka mengganggu teman

ABK karena mereka uni dan beda dengan kita

Saya mau ganggu mereka tapi nggak jadi karena kasihan, saya ajak interaksi, bantuin ngerjakan tugas dan saya negur teman reguler yang gangguin mereka

11 Puguh Hananto Saya senang kalau ganggu siswa

ABK

Saya jadi lebih care dan jarang gangguin siswa ABK lagi

12 Qumairoh M Saya suka marahin teman ABK

karena sulit diatur dan tidak bisa diam kalau di kelas

Saya berkurang gangguin teman ABK, nggak seperti dulu lagi

13 Raffi Yuli Susanti Saya sering gangguin teman ABK karena mereka lucu

Saya tidak menggoda teman ABK lagi, lebih perhatian dan peduli, terus saya ajak mereka ketika ada kegiatan

14 Rizki Feri A. Saya suka godain teman-teman

ABK, ya karena senang saja godain mereka

Saya jadi semakin tahu tentang siswa ABK dan ketika berinteraksi saya harus hati-hati

15 Savira Adelevi A. Saya jarang interaksi dengan

teman ABK karena nggak

nyambung. Kadang-kadang saya godain mereka

Saya berkurang godainnya, sekarang jadi lebih sering berinteraksi, mengajari pelajaran ke mereka dan menegur teman reguler lain yang gangguin teman ABK

Lampiran 9. Dokumentasi


(5)

(6)