13
BAB II LANDASAN TEORI
Bab II memuat kajian teori, penelitian yang relevan, kerangka berpikir, dan pertanyaan penelitian. Uraian dari bab landasan teori adalah sebagai berikut.
2.1 Teori yang Mendukung
Kajian teori ini memuat tentang teori belajar yang mendukung; karakteristik siswa Sekolah Dasar, matematika, dan pendekatan Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia PMRI. Uraian dari kajian teori yang dibahas
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
2.1.1 Buku Ajar
Buku ajar merupakan salah satu jenis bahan ajar. Bahan ajar menurut Andi Prastowo 2011: 17 merupakan segala bahan baik informasi, alat, maupun teks
yang disusun secara sistematis, yang menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai peserta didik dan digunakan dalam proses pembelajaran
dengan tujuan perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Bahan ajar menurut Depdiknas 2008: 7 merupakan seperangkat materi yang disusun
secara sistematis sehingga tercipta lingkungansuasana yang memungkinkan siswa untuk belajar. Bentuk bahan ajar meliputi a bahan cetak, b Audio, c
Visual d Audio Visual, dan e Multi Media.
Berdasarkan uraian di atas, pengertian buku ajar adalah bahan yang didesain untuk disajikan sebagai bahan cetakyang disusun secara sistematis
sedemikian sehingga dapat digunakan siswa untuk belajar. Buku ajar digunakan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
sebagai alat bantu agar siswa melakukan pengalaman belajar pada proses pembelajaran tatap muka dengan pendidikguru maupun pada proses belajar
mandiri. Fungsi buku ajar adalah sebagai pedoman bagi guru untuk mengarahkan siswa melakukan aktivitas dalam proses pembelajaran, sedangkan bagi siswa
untuk acuan aktivitas dalam proses pembelajaran. 2.1.2
Pengembangan Buku Ajar
Suatu buku ajar yang telah disusun memiliki kualitas tertentu, jika digolongkan menjadi dua kriteria, maka suatu buku ajar dengan kualitas baik dan
kurang baik. Untuk menentukan kualitas suatu buku ajar, maka buku ajar harus melalui serangkaian tahapan pengembangan.
Rangkaian pengembangan
dimulai dari
memperhatikan prinsip
pengembangan bahan ajar, yaitu 1.
Mulai dari yang mudah untuk memahami yang sulit, dari yang kongkret untuk memahami yang abstrak.
2. Pengulangan akan memperkuat pemahaman.
3. Umpan balik positif akan memberikan penguatan terhadap pemahaman siswa.
4. Motivasi
belajar yang tinggi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan belajar.
5. Mencapai tujuan ibarat naik tangga, setahap demi setahap, akhirnya akan
mencapai ketinggian tertentu. 6.
Mengetahui hasil yang telah dicapai akan mendorong siswa untuk terus mencapai tujuan.
Berikut adalah beberapa acuan untuk pengembangan buku ajar. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
Acuan pertama berdasarkan prinsip pengembangan bahan ajar menurut Depdinas 2008: 10 - 11 adalah sebagai berikut.
1. Mulai dari yang mudah untuk memahami yang sulit, mulai dari yang konkret
untuk memahami yang abstrak 2.
Pengulangan akan memperkuat pemahaman. 3.
Umpan balik positif akan memberikan penguatan terhadap pemahaman siswa. 4.
Motivasi yang tinggi merupakan salah satu penentu keberhasilan belajar. 5.
Mencapai tujuan ibarat naik tangga, setahap demi setahap, akhirnya akan sampai pada ketinggian tertentu
6. Mengetahui hasil yang telah dicapai akan mendorong siswa untuk terus
mencapai tujuan. Selanjutnya pada halaman Depdinas 2008: 28 diuraikan mengenai
evaluasi buku ajar yang meliputi empat komponen, yaitu komponen kelayakan isi, kelayakan kebahasaan, kelayakan penyajian, dan kelayakan grafika.
Komponen kelayakan isi antara lain mencakup. 1.
Kesesuaian dengan SK, KD. 2.
Kesesuaian dengan perkembangan anak. 3.
Kesesuaian dengan kebutuhan bahan ajar. 4.
Kebenaran subtansi materi pembelajaran. 5.
Manfaat untuk penambahan wawasan. 6.
Kesesuaian dengan nilai moral, dan nilai-nilai sosial
.
16
Acuan kedua berdasarkan pendapat Azhar Arsyad 2011: 87-91 bahwa dalam mengembangkan buku ajar memperhatikan enam elemen, yaitu konsistensi,
format, organisasi, daya tarik, ukuran huruf, dan penggunaan spasi kosong. 2.1.3
Matematika
Matematika yang dibahas adalah tentang pengertian matematika, tujuan matematika, dan matematika pada materi menyelesaikan masalah yang berkaitan
dengan keliling dan luas persegi serta persegi panjang. Uraian mengenai kajian
teori matematika adalah sebagai berikut.
2.1.3.1
Pengertian Matematika
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dipelajari oleh siswa dalam suatu institusi pendidikan. Ada beberapa ahli yang mengemukakan
tentang pengertian matematika. Russefendi Heruman, 2007: 1 mengemukakan bahwa “Matematika adalah bahasa simbol; ilmu deduktif yang tidak menerima
pembuktian secara induktif; ilmu tentang keteraturan, dan struktur yang terorganisasi, mulai dari unsur yang tidak didefinisikan ke unsur yang
didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan akhirnya ke dalil.” Jadi, menurut Russefendi matematika ini menekankan pada ilmu tentang keteratuan pada
struktur maupun unsur tetentu. Hudojo 2001: 45 mengemukakan hal yang berbeda dengan pernyataan
Rusfendi. Hudojo 2001: 45 mengemukakan bahwa, “Matematika adalah suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir. Karena itu matematika sangat
diperlukan baik untuk kehidupan sehari-hari maupun dalam menghadapi kemajuan IPTEK sehingga matematika perlu dibekalkan kepada setiap peserta
17
didik sejak SD, bahkan sejak TK.” Bekal yang diberikan kepada peserta didik dengan baik sejak usia dini akan menjadikan nilai lebih dibandingkan peserta
didik yang lainnya dalam menghadapi kemajuan IPTEK. Dukungan dan kesadaran dari peserta didik sendiri untuk menerapkan bekal pengetahuan
matematika tersebut dalam kehidupan sehari-hari juga sangat diperlukan dalam hal ini.
Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI online 2014, juga
mengemukakan hal yang berbeda dengan pendapat Hudojo dan Russfendi mengenai pengertian matematika. Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI online
2014 mendefinisikan matematika sebagai, “Ilmu tentang bilangan, hubungan
antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan.” Selaras dengan pengertian matematika menurut
KBBI online, Soedjadi 2000: 11 juga mengemukakan bahwa matematika adalah pengetahuan tentang bilangan. Simpulan yang berkaitan dengan ketiga pendapat
ahli dan KBBI online tersebut adalah bahwa matematika adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang bilangan, simbol, keteratuaran dari hal yang sifatnya konkret
menuju hal yang sifatnya abstrak dalil. Matematika ini perlu dibekalkan kepada anak sejak SD bahkan TK agar anak dapat menghadapi kemajuan IPTEK.
2.1.3.2
Tujuan Matematika
Matematika dapat ditinjau dari segi pendidikan dan dari segi pembelajaran yang masing-masing memiliki tujuan seperti yang dikemukakan oleh
Mathematical Sciences Education Board-National Research Council Wijaya, 2012: 6-7 yang merumuskan empat tujuan pendidikan matematika jika ditinjau
18
dari posisi matematika dalam lingkungan sosial. Empat tujuan dari pendidikan matematika tersebut yaitu: tujuan praktis, tujuan kemasyarakatan, tujuan budaya,
dan tujuan profesional. Pertama, tujuan praktis practical goal ini berkaitan dengan pengembangan kemampuan siswa dalam menggunakan matematika untuk
menyelesaikan masalah yang terkait dengan kehidupan sehari-hari. Tujuan kemasyarakatan civic goal yang berorientasi pada kemampuan siswa untuk
berpartisipasi secara aktif kemasyarakatan merupakan tujuan ke dua dari tujuan matematika. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan matematika tidak
hanya mengembangkan kemampuan kognitif siswa, tetapi juga aspek afektif siswa.
Tujuan ketiga yaitu, tujuan profesional professional goal yang mempersiapkan siswa untuk terjun ke dunia kerja. Tujuan ke empat adalah tujuan
budaya cultural goal yang merupakan suatu bentuk dan sekaligus produk budaya. Jadi, pendidikan matematika perlu menempatkan matematika sebagai
hasil kebudayaan manusia sekaligus sebagai suatu proses untuk mengembangkan suatu kebudayaan. Hal ini bertujuan agar pendidikan matematika memiliki nilai
lebih dibandingkan negara lain, khususnya dalam bidang kebudayaan. Ada lima tujuan pembelajaran matematika. Hal ini dikemukakan oleh
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Permendiknas Nomor 20 tahun 2006 tentang standar isi Wijaya, 2012: 16. Kelima tujuan tersebut adalah sebagai
berikut. Tujuan pertama yaitu memahami konsep matematika, menjelaskan
keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan, secara luwes, akurat, efisien, dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
tepat, dalam pemecahan masalah. Tujuan ke dua adalah menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat
generalisasi menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. Tujuan ke tiga, yaitu memecahkan masalah yang meliputi
kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah merupakan urutan ke empat dari
tujuan pembelajaran matematika. Tujuan yang terakhir adalah memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu sikap rasa ingin tahu,
perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Jadi, siswa diharapkan mampu memecahkan suatu
masalah matematika apabila siswa paham konsep setelah diadakannya suatu pembelajaran. Kedua pendapat mengenai rumusan tujuan matematika tersebut
menunjukkan bahwa pendidikan dan pembelajaran matematika sangat baik untuk kehidupan siswa.
2.1.4 Waktu dalam Matematika di SD
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran pokok yang wajib dipelajari oleh siswa SD. Sesuai dengan kurikulum KTSP Matemtika adalah salah
satu bagian dari isi pendidikan yang harus disampaikan di Sekolah Dasar, karena matematika merupakan ilmu yang universal dan mendasari perkembangan
teknologi modern, mempunyai peranan penting dalam berbagai disiplin ilmu, juga memajukan daya pikir manusia. Kurikulum 2006 BSNP menjelaskan bahwa :
20 “Matematika adalah mata pelajaran yang perlu diberikan kepada semua siswa mulai
dari Sekolah Dasar untuk membekali para siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, kritis, kreatif serta kemampuan kerja sama, agar dapat memiliki kemampuan
memperoleh, mengelola dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah dan tidak pasti dan kompetitif”.
Tujuan pembelajaran matematika seperti yang diuraikan dalam Kurikulum 2006 BSNP adalah agar peserta didik memiliki kemampuan memecahkan
masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
Materi waktu diajarkan pada pelajaran matematika di Sekolah Dasar mulai dari kelas I. Materi waktu kelas I meliputi menentukan pagi siang malam,
menentukan hari dan tanggal, membaca tanda waktu pada jam analog, menentukan lama suatu kejadian berlangsung, dan menyelesaikan soal
pengukuran waktu.
2.1.5 Karakteristik Siswa SD
Siswa SD memiliki rentang usia antara 7 sampai 12 tahun. Piaget dalam Heruman 2007: 1 mengemukakan bahwa siswa Sekolah Dasar SD umurnya
berkisar antara 6 atau 7 tahun sampai 12-13 tahun berada dalam tahap operasional konkret. Tahap ini merupakan kemampuan dalam proses berpikir untuk
mengoperasikan kaidah-kaidah logika meskipun masih terikat dengan objek yang bersifat konkret.
Ada beberapa karakteristik siswa sekolah dasar yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Piaget dalam Ormrod, 2008: 46 menyebutkan bahwa ada 6
karakteristik siswa dalam tahap operasional konkret. Karakteristik pertama, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
pembedaan perspektif sendiri dari perspektif orang lain. Siswa menyadari bahwa orang lain memiliki pemahaman yang berbeda dengannya dan gagasannya sendiri
belum tentu tepat. Karakteristik ke dua adalah inklusi kelas. Siswa menyadari bahwa objek-objek dapat secara bersamaan menjadi anggota suatu kategori
sekaligus menjadi anggota suatu kategori sekaligus menjadi anggota salah satu sub kategorinya. Konservasi adalah karakteristik ke tiga dari siswa sekolah dasar.
Siswa meyakini bahwa jumlah materi tetaplah sama jika tidak ada yang ditambahkan atau dikurangkan, walaupun ada beberapa materi yang diubah atau
disusun ulang. Karakteristik ke empat adalah reversibilitas. Siswa memahami bahwa
proses-proses tertentu dapat dilakukan dengan langkah yang berkebalikan, dengan hasil yang sama. Kemampuan melakukan penalaran mengenai transformasi adalah
karakteristik ke lima dari siswa sekolah dasar. Siswa dapat melakukan penalaran mengenai perubahan dan dampak-dampaknya. Karakteristik ke enam adalah
penalaran deduktif. Siswa mampu menarik kesimpulan logis berdasarkan dua atau lebih informasi. Karakteristik yang muncul dimulai dari hal yang mudah terlebih
dahulu, misalnya membedakan sesuatu, sampai dengan hal yang cukup sulit, yaitu siswa dapat menyimpulkan berbagai hal yang diperolehnya.
Menurut Nasution dalam Djamarah, 2011: 123 masa usia sekolah dasar sebagai masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia enam tahun hingga
kira-kira sebelas atau dua belas tahun. Pendapat Nasution ditambahkan oleh pendapat Suryobroto dalam Djamarah 2011: 124 yang menyatakan bahwa usia
sekolah dasar sebagai masa intelektual atau masa keserasian bersekolah. Masa ini, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
diperinci menjadi dua fase, yaitu: masa kelas-kelas rendah sekolah dasar, kira-kira umur 6 atau 7 tahun sampai umur 9 atau 10 tahun dan masa kelas-kelas tinggi
sekolah dasar, kira-kira umur 9 atau 10 tahun sampai umur 12 atau 13 tahun. Penjelasan dari fase kelas rendah menurut Suryobroto dalam Djamarah 2011:
124 adalah sebagai berikut: Fase pertama adalah masa kelas-kelas rendah sekolah dasar yang memiliki
beberapa sifat khas yang dimiliki oleh anak-anak pada masa ini, yaitu: a adanya korelasi positif yang tinggi antara keadaan kesehatan pertumbuhan jasmani
dengan prestasi sekolah; b adanya sikap yang cenderung untuk mamatuhi peraturan-peraturan permainan yang tradisional; c ada kecenderungan memuji
diri sendiri; d suka membanding-bandingkan dirinya dengan anak lain kalau hal itu dirasanya menguntungkan untuk meremehkan anak lain; e kalau tidak dapat
menyelesaikan sesuatu soal maka soal itu dianggapnya tidak penting; dan f pada masa ini terutama pada umur 6-8 anak menghendaki nilai angka rapor yang
baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak. Anak perlu diberi pengawasan dan pengertian oleh guru maupun orang tua
agar karakteristik yang dimilikinya tidak berdampak buruk pada fase usia selanjutnya.
Fase kedua adalah masa kelas atas siswa SD yang dikemukakan oleh Suryobroto dalam Djamarah 2011: 124 memiliki penjelasan sebagai berikut:
Fase kelas atas siswa SD memiliki beberapa sifat khas yang dimiliki oleh anak- anak pada masa ini, yaitu: a adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari
yang konkret; b amat realistik, ingin tahu, dan ingin belajar; c menjelang akhir PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
masa ini telah ada minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran khusus; d sampai dengan kira-kira umur 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang-orang
dewasa lainnya; dan e anak-anak pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya, biasanya untuk dapat bermain bersama-sama.
Fase ini menunjukkan bahwa anak tidak lagi terikat pada aturan permainan yang tradisional, akan tetapi mereka sudah mampu membuat peraturan sendiri
dalam suatu permainan. Fase kelas atas ini juga menandakan bahwa anak mulai memiliki karakterisik yang baik, akan tetapi masih diperlukan adanya bimbingan
dari guru, orang tua, maupun orang lain disekitarnya agar karakteristik siswa tersebut dapat selalu mengarah kepada hal-hal positif.
Simpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat ahi tersebut adalah siswa sekolah dasar masih dalam tahap operasional konkret. Jadi, mereka
membutuhkan sesuatu yang nyata terlebih dahulu untuk dapat menyelesaikan suatu masalah. Siswa dapat diajak pada hal-hal yang bersifat abstrak apabila
perkembangan kemampuan siswa sudah bertambah. Bimbingan, pengertian, dan pengawasan dari luar diri siswaanak juga tetap harus diberikan kepada mereka.
Tujuannya adalah agar karakteristik siswaanak yang kurang baik pada masa operasional konkret ini tidak berdampak buruk bagi kehidupan selanjutnya.
2.1.6 Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia PMRI
Pendekatan pembelajaran merupakan salah satu cara yang digunakan oleh guru untuk menyampaikan suatu pembelajaran. Komalasari 2010: 54
mengemukakan bahwa, “ Pendekatan diartikan titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya
24
suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan
teoritis tertentu.” Guru perlu melakukan pemilihan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa agar dapat mencapai tujuan
pembelajaran yang diinginkan. Pendekatan pembelajaran yang dibahas dalam kajian teori ini adalah pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
PMRI. Uraian dari masing-masing kajian teori mengenai sejarah PMRI, prinsip
PMRI, dan karakteristik PMRI adalah sebagai berikut.
2.1.6.1
Sejarah Pendidikan Matermatika Realistik Indonesia PMRI
Pembaharuan dalam berbagai bidang pendidikan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang sesuai selalu dilakukan oleh suatu institusi pendidikan. Salah
satu pembaharuan tersebut dilakukan oleh pendidikan matematika. Suryanto 2010: 37 mengemukakan bahwa pada tahun 1970-an, universitas Utrecht, yang
memiliki lembaga penelitian tentang pendidikan matematika, melakukan upaya pembaharuan pendidikan matematika yang dipelopori oleh Hans Freudental.
Lembaga tersebut diberi nama dengan Freudental Institute, dan karya pembaharuannya diberi nama dengan “Realistic Mathematics Education RME”
yang bertumpu pada realitas dalam kehidupan sehari-hari. Ada beberapa tantangan yang harus dihadapi sebelum PMRI benar-benar
diakui di Indonesia, seperti ketidakpercayaan guru terhadap perubahan hasil belajar siswa apabila menggunakan pendekatan PMRI, orang tua yang
mengeluhkan perubahan pembelajaran, atasan yang hanya beranggapan bahwa yang penting siswa lulus dengan skor yang baik, dan sikap guru yang tidak
25
mempercayai pemegang otoritas Marpaung, 2008: 7. Tantangan tersebut sekarang telah terjawab. Kemajuan dan perubahan dalam bidang matematika
sudah mulai terlihat, seperti siswa menjadi senang belajar matematika dengan suasanya belajar yang tidak membuat tegang dan menakutkan, siswa memiliki
rasa percaya diri yang lebih tinggi, kerjasama antar siswa dengan siswa atau siswa dengan guru menjadi meningkat, serta guru juga merasa memiliki tantangan
tersendiri pada saat melakukan Kegiatan Belajar Mengajar KBM untuk membuat pembelajaran lebih bermakna bagi siswa.
Pemikiran Freudhental selanjutnya digunakan sebagai acuan penerapan PMRI. Freudhental Hariyati, Indaryanti, Zulkardi, 2008: 3 mengatakan
bahwa, “Matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia.” Pernyataan tersebut memiliki arti bahwa matematika harus
dekat dengan kehidupan sehari-hari yang dialami oleh siswa, karena matematika merupakan aktivitas yang dilakukan oleh manusia.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mengadaptasi Realistic Mathematics Education RME
dengan nama “Pendidikan Matematika Realistik Indonesia PMRI”. Jadi, dapat dikatakan bahwa Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia PMRI adalah pendidikan matematika sebagai hasil adaptasi dari Realistic Mathematics Education RME yang telah disesuaikan dengan kondisi
budaya, geografi, dan kehidupan masyarakat Indonesia. Suryanto 2010: 13
mengatakan bahwa “PMRI terbentuk dari usaha sekelompok kecil kelompok awal pendidik matematika di Indonesia yang peduli terhadap masalah-masalah
dalam pendidikan di Indonesia.” Sekelompok kecil pendidik tersebut berasal dari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
berbagai perguruan tinggi, yaitu ITB, UPI, Unesa, UNY, dan USD. Berbagai persiapan dilakukan oleh sekelompok kecil tersebut untuk melakukan perpindahan
ke arah PMRI. PMRI mulai dikenalkan dan diujicobakan di Indonesia pada tahun 2000 yang akhirnya pada tahun 2011 PMRI Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia lahir sebagai suatu gerakan peduli matematika yang mengusahakan peningkatan kualitas pendidikan matematika di Indonesia.
2.1.6.2
Prinsip Pendidikan Matematika Realistik Indonesia PMRI
PMRI merupakan pengembangan dari Realistic Mathematics Education RME. Hal ini dikemukakan oleh
Ullya, dkk 2010: 87, yaitu “Gagasan PMRI berawal dari Realistic Mathematics Education RME yang telah dikembangkan di
Belanda sejak awal 70- an.” Gagasan tersebut menjelaskan bahwa prinsip PMRI
juga mengadaptasi prinsip RME. Gravemeijer Marpaung, 2008: 4 menyebutkan bahwa prinsip dari Real Mathematic Education RME adalah: guided reinvention
and progressive mathematization, didactical phenomenology, dan from informal to formal mathematics. Ketiga prinsip yang disebutkan oleh Gravemeijer tersebut
juga dijelaskan oleh Suryanto 2010: 42. Prinsip yang pertama adalah guided reinvention and progressive
mathematization penemuan kembali secara terbimbing dan matematisasi progresif. Prinsip ini menekankan pada “penemuan kembali dan matematisasi
atau pematematikaan” dimulai dari masalah kontekstual yang dapat dipahami atau dibayangkandikonstruksi sendiri oleh siswa dan mengarah ke pemikiran
matematis. Progresif dalam hal ini memiliki maksud bahwa prinsip tersebut terdiri dari dua langkah yang berurutan, yaitu matematisasi horizontal berawal dari
27
masalah kontekstual yang diberikan dan berakhir pada matematika formal dan matematisasi vertikal dari matematika formal menuju ke matematika formal yang
lebih luas, tinggi, atau rumit. Prinsip kedua adalah didactical phenomenology fenomenologi didaktis.
Prinsip ini menekankan pada fenomena pembelajaran yang bersifat mendidik dan menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik
matematika kepada siswa. Jadi, pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru, tetapi akan berpusat pada siswa, bahkan pada masalah kontekstual, karena dalam
masalah kontekstual dapat digunakan untuk memantapkan pemahaman siswa atas sesuatu yang dihadapinya.
Prinsip ketiga adalah from informal to formal mathematics dari matematika informal menuju matematika formal. Prinsip ini menunjukkan
adanya fungsi “jembatan” yang berupa model. Model disini disebut dengan “model of” dan sifatnya masih dapat disebut “matematika informal.” Selanjutnya
melalui generalisasi atau formalisasi dapat mengembangkan model yang lebih umum yang mengarah kepada matematika formal. Model yang memiliki sifat
umum ini disebut dengan “model for.” Proses tersebut sesuai dengan
matematisasi yang berurutan, yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal, yang memungkinkan siswa dapat menyelesaikan masalah matematika
dengan caranya sendiri. Ketiga prinsip tersebut juga diilhami oleh Pendidikan Matematika
Realistik Indonesia PMRI. Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan penjelasan dari kedua ahli tersebut adalah dalam proses pembelajaran siswa tidak
28
perlu lagi mengalami ketakutan terhadap matematika. Hal ini dikarenakan dengan guru menyajikan prinsip-prinsip dari para ahli tersebut maka proses pembelajaran
matematika menjadi lebih baik dan mudah dipahami oleh siswa. 2.1.6.3
Karakteristik Pendidikan Matermatika Realistik Indonesia PMRI
Ada lima karakteristik Realistic Mathematics Education RME yang digunakan sebagai acuan penarapan pembelajaran matematika di sekolah seperti
yang dikemukakan oleh Traffers. Traffers Wijaya, 2012: 21-22 merumuskan lima karakteristik Realistic Mathematics Education RME, yaitu: penggunaan
konteks, penggunaan model, pemanfaatan hasil konstruksi siswa, interaktivitas,
dan keterkaitan.
Karakteristik pertama adalah penggunaan konteks. Konteks digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. De Lange Hariyati, Indaryanti,
Zulkardi, 2008: 4, menyatakan bahwa, “Masalah kontekstual sebagai aplikasi dan sebagai titik tolak darimana matematika yang diinginkan dapat muncul.” Konteks
dalam hal ini tidak harus berupa masalah dunia nyata, namun bisa dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga, ataupun situasi yang bermakna bagi siswa
dan dapat dibayangkan dalam pikiran siswa. Suryanto 2010: 44 menambahkan bahwa masalah kontesktual dapat disajikan di awal, tengah, atau akhir
pembelajaran. Tujuan dari masalah yang disajikan di awal adalah untuk membangun konsep, definisi, operasi, dan cara pemecahan masalah.
Permasalahan yang disajikan di tengah mengandung maksud untuk memantapkan hal-hal yang telah ditemukan siswa, sedangkan permasalahan yang disajikan
29
diakhir dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam mengaplikasikan hal-hal yang telah ditemukan tersebut.
Karakteristik ke dua adalah menggunakan model untuk matematisasi progresif yang dapat menjadi jembatan bridge dari pengetahuan dan matematika
tingkat konkret menuju pengetahuan matematika tingkat formal. Model yang dimaksud adalah benda konkret ataupun semikonkret seperti gambar dan skema
Suryanto, 2012: 44. Usdiyana, Purniati, Yulianti, Harningsih 2009: 3 menambahkan bahwa proses penyelesaian soal cerita dilakukan dengan mengubah
soal cerita ke dalam bentuk konkret, dilanjutkan ke dalam bentuk abstrak. Bentuk abstrak tersebut berupa simbol melalui proses pemahaman soal dengan
menunjukkan hal yang diketahui hal yang ditanyakan, dan operasi hitung yang diperlukan.
Karakteristik ke tiga adalah pemanfaatan hasil konstruksi siswa. Siswa pada karakteristik ke tiga ini ditempatkan sebagai subjek belajar untuk
mengembangkan strategi pemecahan masalah, sehingga diharapkan akan diperoleh strategi yang bervariasi. De Lange Hariyati, Indaryanti, Zulkardi,
2008: 4 menambahkan bahwa kontribusi yang besar pada proses belajar mengajar diharapkan dari konstruksi siswa sendiri. Konstruksi tersebut mengarahkan
mereka untuk mengembangkan kemampuannya dalam pemecahan masalah matematika.
Karakteristik ke empat adalah interaktivitas. Proses belajar diarahkan kedalam proses sosial interaksi bukan hanya proses individu saja. Suryanto
2010: 45, menambahkan bahwa interaksi dapat terjadi pada siswa dengan siswa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
atau siswa dengan guru yang bertindak sebagai fasilitator. Bentuk interaksi tersebut, misalnya: diskusi, negosiasi, dan komunikasi. Selanjutnya, De Lange
Hariyati, Indaryanti, Zulkardi, 2008: 4 menyatakan bahw a, “Kontribusi yang
besar pada proses belajar mengajar diharapkan dari konstruksi murid sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal mereka kearah yang lebih formal atau
standar.” Kebermaknaan pembelajaran merupakan tujuan dari karakteristik ini. Karakteristik ke lima adalah keterkaitan. RME menempatkan keterkaitan
intertwinement antar
konsep matematika
sebagai hal
yang harus
dipertimbangkan dalam proses pembelajaran. De Lange Hariyati, Indaryanti, Zulkardi, 2008: 4 menambahkan, “Pembelajaran holistik, menunjukkan bahwa
unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara terpisah tetapi keterkaitan dan keintegrasian harus dieksploitasi dalam pemecahan masalah.” Pernyataan De
Lange selaras dengan pernyataan Suryanto 2010: 45, yang menyatakan bahwa keterkaitan antar topik, konsep, operasi, sangat kuat, sehingga sangat
dimungkinkan adanya integrasi antara hal-hal tersebut. Jadi, tujuan dari karakteristik ke lima ini adalah pembelajaran matematika dapat mengenalkan dan
membangun lebih dari satu konsep matematika secara bersamaan, walaupun akan ada konsep tertentu yang dominan.
Lima karakteristik Pendidikan Matematika Realistik tersebut diilhami oleh Pendidikan Matematika Realistik Indonesia PMRI. Karakteristik yang ada pada
Realistic Mathematics Education RME itulah yang membantu peserta didik dalam memahami pembelajaran matematika. Karakteristik tersebut juga perlahan
31
akan merubah citra matematika yang awalnya dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit dan menakutkan.
2.2 Penelitian yang Relevan