Jakarta Sebagai Tujuan Urbanisasi

BAB III PROSES BERDIRINYA YAYASAN SRIKANDI SEJATI

3.1 Jakarta Sebagai Tujuan Urbanisasi

Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah Kota administrasi dan satu Kabupaten administratif, yakni: Kota administrasi Jakarta Pusat dengan luas 47,90 km2, Jakarta Utara dengan luas 142,20 km2, Jakarta Barat dengan luas 126,15 km2, Jakarta Selatan dengan luas 145,73 km2, dan Kota administrasi Jakarta Timur dengan luas 187,73 km2, serta Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu dengan luas 11,81 km2. Di sebelah utara membentang pantai sepanjang 35 km, yang menjadi tempat bermuaranya 13 buah sungai dan 2 buah kanal. Di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, sebelah barat dengan Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang, serta di sebelah utara dengan Laut Jawa. 35 35 Statistik Sosial, Statistik Kesejahteraan Rakyat Propinsi DKI Jakarta, Katalog BPS: BPS Provinsi Jakarta Secara geologis, seluruh dataran terdiri dari endapan pleistocene yang terdapat pada ±50 m di bawah permukaan tanah. Bagian selatan terdiri atas lapisan alluvial, sedang dataran rendah pantai merentang ke bagian pedalaman sekitar 10 km. Di bawahnya terdapat lapisan endapan yang lebih tua yang tidak tampak pada permukaan tanah karena tertimbun seluruhnya oleh endapan alluvium. Di wilayah bagian utara baru terdapat pada kedalaman 10-25 m, makin ke selatan permukaan keras semakin dangkal 8-15 m. Pada bagian tertentu juga terdapat lapisan permukaan tanah yang keras dengan kedalaman 40 m. Universitas Sumatera Utara Keadaan Kota Jakarta umumnya beriklim panas dengan suhu udara maksimum berkisar 32,7°C - 34,°C pada siang hari, dan suhu udara minimum berkisar 23,8°C -25,4°C pada malam hari. Rata-rata curah hujan sepanjang tahun 237,96 mm, periode curah hujan terendah sebesar 122,0 mm dan tertinggi sebesar 267,4 mm, dengan tingkat kelembaban udara mencapai 73,0 - 78,0 persen dan kecepatan angin rata-rata mencapai 2,2 mdetik - 2,5 mdetik. Pada tahun 1948 penduduk Jakarta adalah sekitar 2 juta, dengan luas builtup dari 20.000 ha, termasuk Kebayoran Baru, sebuah kota baru di selatan. Pada tahun 1965 penduduk Jakarta adalah sekitar 4 juta, dengan luas built-up dari 35.000 ha. Pada tahun 1980, Jakarta menduduki 65.400 ha dengan jumlah penduduk 6,5 juta, dan itu saat ini bahwa pengaruh kota di daerah bukan hanya di pinggiran nya jelas ditunjukkan. Sensus Penduduk 1990 menunjukkan bahwa Jakarta memiliki 8,2 juta penduduk. Sebagai pusat perekonomian maka di Jakarta terdapat berbagai lapangan pekerjaan yang memungkinkan berbagai golongan dan tingkatan masyarakat melakukan aktivitas ekonominya di Jakarta. Mulai dari jenis pekerjaan formal seperti pegawai, pengusaha atau buruh sampai kepada pekerjaan informal seperti pedagang asongan, pengamen dan pemulung ada. Hal ini mendorong pertumbuhan penduduk yang tinggi, karena kota Jakarta menjanjikan kemapanan bahkan bagi mereka yang tidak memiliki keahlian pekerjaan tertentu. Keanekaragaman gaya hidup dan tuntutan hidup mendorong sikap individualistis di kalangan penduduk Jakarta. Keragaman suku, etnis dan agama di Jakarta membuat masyarakatnya tidak lagi memperhatikan perbedaan. Setiap orang bebas menjadi diri sendiri dan melakukan hal- hal yang disukai selama tidak mengganggu ketertiban dan kepentingan umum. Kehidupan kota Megapolitan ibukota mendorong terciptanya gaya hidup hedonis dalam berbagai tingkatan golongan masyarakat. Orientasi terhadap materi menjadi kebutuhan Universitas Sumatera Utara utama penduduk kota Jakarta. Sebagai pusat pemerintahan maka Jakarta secara tidak langsung menjadi pusat tren gaya hidup bagi wilayah lain di sekitarnya. Peristiwa- peristiwa yang terjadi di kota Jakarta menjadi sorotan dan menjadi acuan yang senantiasa ditiru masyarakat daerah sekitarnya. Orientasi terhadap materi dan kesenangan pribadi mendorong sikap apatis dan tidak mau peduli dalam diri masyarakat Jakarta, sehingga nilai- nilai tradisional yang umum dianut masyarakat Indonesia mulai terkikis dan hilang termakan arus jaman yang terus bergerak mengikuti mordenisasi di Jakarta. Hal ini juga lah yang memberi kesempatan bagi berbagai kelompok minoritas untuk memilih tinggal dan berkembang di Jakarta. Kebebasan berekspresi lebih besar didapatkan di Jakarta dibandingkan dengan kota- kota besar lainnya. Nilai- nilai kebebasan dan individualisme menjadi salah satu faktor penarik dan pendorong migrasi dilakukan ke Jakarta. Jakarta menjadi pusat kegiatan- kegiatan organisasi kelompok sosial dan kemanusiaan. Keragaman suku yang ada di Jakarta menimbulkan kerancuan terhadap nilai tradisional mana yang menjadi ciri khas. Betawi yang merupakan suku asli Jakarta juga tergerus arus jaman karena tidak memiliki ciri khasnya sendiri, karena budaya Betawi adalah hasil asimilasi berbagai budaya yang dibawa masuk oleh para pendatang. Hal ini menjadi satu kekurangan yang khas kota Jakarta yang pada akhirnya berusaha mencari jati diri dengan proses westernisasi. Budaya kebarat- baratan dianggap sebagai bentuk terbaik dari mordenisasi. Nilai- nilai budaya barat semakin marak dianut dan seakan menjadi ciri khas kota Jakarta yang justru krisis identitas. Dengan begitu semakin besar kesempatan bagi pemikiran dan nilai- nilai budaya baru yang dianggap cocok hari ini dianut dan berkembang di Jakarta. Kemudahan akses untuk datang dan ke luar kota Jakarta membuka peluang bagi nilai- nilai baru yang masuk untuk menyebar ke daerah lain dan dianggap sebagai bentuk penyebaran Universitas Sumatera Utara modernisasi. Keragaman menjadi kelebihan sekaligus kekurangan terbesar kota Jakarta. Gemerlapnya kehidupan di kota Jakarta menutupi realitas kekurangan dan kesenjangan di kota Jakarta. Pendidikan adalah salah satu faktor penarik bagi para migran untuk datang tinggal di Jakarta. Luasnya akses pendidikan menjadi ciri tersendiri bagi kota Jakarta. Banyaknya jumlah sekolah dan fasilitas pendidikan formal dan informal di Jakarta menarik banyak orang untuk tinggal dan memperbaiki dan meningkatkan status sosial. Dengan meningkatnya pengetahuan dan wawasan akibat membaiknya tingkat pendidikan maka pandangan masyarakat kota Jakarta lebih heterogen dan terbuka terutama terhadap perbedaan dan perubahan. Hal ini mendorong mudah dan pesatnya perubahan- perubahan nilai yang dianut di kota Megapolitan Kota Jakarta. Hal inilah yang menjadi faktor pendorong banyak waria hijrah dari kampung halamannya menuju kota Jakarta. Data menunjukkan bahwa sebagian besar imigran waria berasal dari Jawa Barat. Sebagai pusat ekonomi, Jakarta memberikan berbagai peluang pekerjaan bagi penduduknya baik di sektor formal dan informal. Termasuk prostitusi sebagai alternatif pekerjaan yang banyak dilakukan waria. Lokasi ‘mangkal’ yang sering disebut cebongan tersebar di berbagai tempat di Jakarta seperti Taman Lawang, Prapanca, Grogol, Cawang atau daerah sekitar rel kereta api Jatinegara sebagai pusat. Selain untuk mencari pelanggan, para waria juga menjadikan cebongan sebagai tempat bersosialisasi dan berkumpul sesama waria. Lokasi- lokasi ini seringkali menjadi sasaran razia polisi yang mencoba memberantas prostitusi. Walaupun sering terjadi razia, umumnya para waria tetap kembali ke lokasi yang sama untuk ‘mangkal’. Kecamatan Jatinegara merupakan wilayah pemukiman penduduk Jakarta, dan juga berbagai kegitan ekonomi. Adapun pemilihan stasiun kereta api Jatinegara sebagai cebongan kemungkinan karena cukup banyak waria yang tinggal di sana dan Universitas Sumatera Utara wilayahnya strategis. Walaupun meresahkan masyarakat yang tinggal di sana, namun keberadaan waria sebagai penduduk di wilayah Jatinegara cukup diterima. Masyarakat yang bersikap individualis memberi peluang bagi waria untuk tinggal dan bekerja di sana. Terlepas dari razia yang sering dialami oleh waria, kebanyakan masyarakat Jatinegara membiarkan saja waria dengan kehidupannya sendiri, selama tindakan waria tidak mengganggu dan mengusik ketentraman warga sekitar. 36 Steriotipe negatif terhadap waria sebagai pembuat onar dan sebagai Pekerja Seks Komersial membuat keberadaan waria di pandang sebagai sesuatu yang hina, sehingga seringkali masyarakat tidak peduli terhadap nasib mereka. Dan jika ada kelompok tertentu yang bersedia menolong, kelompok tersebutpun secara tidak langsung maupun langsung dianggap sama dengan waria itu sendiri dan ikut mengalami diskriminasi. Oleh sebab itu

3.2 Sejarah Berdirinya Yayasan Srikandi Sejati