Persepsi dan tradisi khitan perempuan di masyarakat Pasir Buah Karawang: pendekatan hukum islam

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh: Ulfah Hidayah NIM : 1110043100004

JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZAB FIQH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

vii

Perbandingan Madzab Fiqh, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435/2014 M. ix + 82 halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat Kampung Pasir Buah di Karawang terhadap khitan perempuan. Karena pada saat ini, masyarakat banyak yang salah persepsi dalam pemahaman tentang tujuan khitan perempuan dalam syariat Islam. Dalam hukum Islam telah dijelaskan hukum mengkhitankan anak perempuan dan bagaimana tata cara yang sesuai dengan syariat. Namun disamping itu banyak juga masalah yang timbul ditengah masyarakat tentang praktik khitan perempuan yang menuai kontroversi. Dalam skripsi ini juga dijelaskan mengenai kebijakan pemerintah dalam menyikapi masalah khitan perempuan yang dituangkan dalam Permenkes Nomor 1636 Tahun 2010 dan Keputusan MUI Nomor 9A tentang Hukum Pelarangan Khitan Perempuan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif dengan menggunakan metode quesioner dan wawancara sebanyak 15 responden, dalam hal ini yang dijadikan objek penelitian ini merupakan para masyarakat kampung Pasir Buah, tokoh agama dan ahli medis terkait dengan permasalahan yang diteliti. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pengisisan angket quesioner kepada warga, ahli agama dan ahli medis mengenai khitan perempuan yang berkaitan dengan pandangan responden terhadap hukum, tata cara, tujuan, manfaat dari khitan perempuan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa persepsi masyarakat terhadap khitan perempuan yaitu untuk menjalankan syariat Islam dan sunnah Rasul yang sudah menjadi tradisi di tengah masyarakat Pasir Buah, meski mereka banyak yang salah persepsi terhadap hukum mengkhitankan anak perempuan yang sesuai dengan syariat Islam. Namun mereka tetap melakukannya karena anggapan untuk mengislamkan si anak. Dan sudah menjadi tradisi di masyarakat yang susah untuk dihapuskan meski banyak kontrovesi yang timbul di dalam maupun luar negeri.

Kata kunci : khitan perempuan, persepsi, FGM Pembimbing I : Afwan Faizin, MA Pembimbing II : Arip Purkon, MA


(6)

v

anugerahnya penulis ucapkan Alhamdulillah karena dengan segala kemudahan, pertolongan dan ridha yang telah Allah limpahkan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi yang penulis lakukan dengan kerja keras diiringi dengan do‟a akhirnya telah rampung. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi besar Muhammad Saw, yang telah menyelematkan manusia dari kesesatan. Tak lupa juga kepada keluarganya, kepada para sahabatnya, dan kepada seluruh umatnya sampai akhir zaman.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput dari do‟a, bimbingan dan partisipasi dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada yang telah berjasa dan yang terhormat:

1. Dr. H. JM. Muslimin, M.A, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag, selaku ketua program study Perbandingan Madzab dan Hukum serta bapak Fahmi Muhammad Ahmadi M.Si, selaku sekretaris program study Perbandingan Madzab dan Hukum.

3. Bapak Afwan Faizin, MA dan bapak Arip Purkon, MA, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan dan meluangkan waktu dengan penuh keikhlasan dan kesabaran.

4. Seluruh dosen dan civitas akademik Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Khususnya untuk dosen Ibu Siti Hanna, Lc. MAg. yang sudah meluangkan waktunya untuk diwawancarai serta bapak Nur Rohim Yunus, LL.M yang sudah memberikan support dan arahan.

5. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vi

Terima kasih atas segala do‟a tulus, didikan, nasihat, cinta dan kasih sayang yang telah kalian curahkan. Semoga Allah membalas jasa-jasa dan kebaikannya. 8. Sahabat dan keluarga besar PMF kelas A dan B, PMFK dan PMH angkatan

2010, kawan-kawan Gontor Putri 3 angkatan 2009, teman-teman PA dan SJS dan adik kelas PA, kawan-kawan KKN Gemeter.

9. Semua pihak yang turut membantu dan menyelesaikan skripsi ini.

Semoga jasa dan amal baik mereka mendapat balasan yang berlipat dari Allah Swt. dan menjadikannya amal jariyah yang tak pernah berhenti mengalir hingga yaumil qiyamah. Dan semoga skripsi yang sederhana ini dapat memenuhi harapan dan dapat ikut serta berperan membantu dalam arah memajuan pendidikan, bermanfaat bagi orang banyak serta membawa keberkahan di dunia dan akhirat.

Akhirnya semoga Allah SWT, memberikan petunjuk ke jalan yang diridhai-Nya serta mencurahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua. Aamiin

Jakarta, 3 September 2014


(8)

viii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING...ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI...iii

LEMBAR PERNYATAAN...iv

KATA PENGANTAR...v

ABSTRAK...vii

DAFTAR ISI...viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Batasan dan Rumusan Masalah...5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...6

D. Metode Penelitian...8

1. Jenis Penelitian...8

2. Pendekatan Penelitian...8

3. Sumber Data Penelitian...8

4. Alat Pengumpul Data...9

5. Analisa Data...10

E. Review Studi...10

F. Sistematika Penulisan...12

BAB II TINJAUAN KHITAN PEREMPUAN DALAM HUKUM ISLAM A. Pengertian dan Praktik Khitan Perempuan...14

B. Sejarah Khitan dalam Dunia Islam...17

C. Hukum Khitan Perempuan dan Dalilnya...22


(9)

ix

Indonesia. ... 47 2. Tradisi dan Praktik Khitan Perempuan Masyarakat Pasir Buah

di Karawang...49 B. Kebijakan Pemerintah Indonesia Dalam Mengeluarkan Peraturan

Tentang Khitan Perempuan...53 1. Kontroversi Khitan Perempuan di Indonesia...53 2. Dasar Legitimasi Diberlakukannya Khitan Perempuan di

Indonesia...57

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERSEPSI

MASYARAKAT KAMPUNG PASIR BUAH DI KARAWANG TENTANG KHITAN PEREMPUAN

A. Pandangan dan Dasar Pemikiran Masyarakat Terhadap Khitan Perempuan...62 B. Penilaian dan Sikap Masyarakat Terhadap Adanya Kontrovesi Khitan Perempuan...76

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...82 B. Saran...84 DAFTAR PUSTAKA...85 LAMPIRAN


(10)

1

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Khitan masih tetap dianggap sesuatu yang tabu untuk dibicarakan, maka seperti pendidikan seks lainnya, persoalan khitan jarang dijumpai di forum-forum formal. Hingga sekarang khitan terhadap perempuan terus dipermasalahkan.1

Dalam syariat Islam, khitan merupakan suatu ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. sebagai kelanjutan dari ajaran Nabi Ibrahim As.2 Dalam masalah khitan perempuan ini tidak ditemukan dalil yang qatȋ’ dilȃlah (menunjukan adanya kepastian hukum), sehingga terjadilah perbedaan pendapat dikalangan ulama. Khitan bagi perempuan disyariatkan sebagaimana halnya bagi pria, apa pun derajat hukumnya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Ibnu Taimiyah,3 bahwa ada yang mewajibkan, mensunnahkan dan ada pula yang memubahkan.4 Sehingga menurut pendapat Syekh Mahmud Syaltut, ulama dari Mesir berpendapat bahwa khitan termasuk masalah ijtihad.

Namun begitu masih sering muncul kontrovesi seputar khitan bagi perempuan, baik di dalam maupun luar negeri. Perbedaan dan perdebatan tersebut terjadi karena berbagai alasan dan sudut pandang yang berbeda. Yang kontra bisa jadi

1

Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010) cet. ke-1, h.59.

2

Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, (Jakarta: Gema Insani, 2003) cet. ke-1, h. 287.

3

Lihat juga masalah ini dalam buku Jami’ Ahkam Al-Qur’an, Al-Qurthubi:2/93.

4

Imam Zaki Al-Barudi, Edisi Indonesia: Tafsir Wanita, Penterjemah Samson Rahman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004) cet. ke-1, h.35.


(11)

khitan yang syar‟i bagi perempuan, dan mungkin juga karena sudah antipati terhadap Islam.

Pelaksanaan khitan bagi perempuan juga harus didasarkan pada asas kemaslahatan, maka menjadi boleh bahkan sunnah. Sebaliknya bila menimbulkan efek negatif (mudharat bagi perempuan) seperti dapat menghilangkan kenikmatan seksual perempuan maka hukumnya tidak boleh.5

Dan apabila dilihat dari sisi tujuan syariat dalam metode maqasid al-syarȋ’ah

adalah mendatangkan kemaslahatan atau menolak kemafsadatan atau kombinasi keduanya. Definisi yang lebih tegas dan operasional dikemukakan oleh „Izzuddin bin „Abd al-Salam sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Imam Mawardi:6

“Barangsiapa yang berpandangan bahwa tujuan syara‟ adalah mendatangkan manfaat dan menolak mafsadat, maka berarti dalam dirinya terdapat keyakinan dan pengetahuan mendalam bahwa kemaslahatan dalam suatu permasalahan tidak boleh disia-siakan sebagaimana kemafsadatan yang ada dalamnya juga tidak boleh didekati walaupun dalam masalah tersebut tidak ada ijma’, nash, dan qiyas yang khusus.”7

Namun sepertinya banyak sekali kaum muslimin yang belum memahami hal-ihwal tentang hukum dan manfaat khitan perempuan.8 Dan banyaknya isu dan propaganda dari pihak-pihak yang terus berambisi untuk menjauhkan umat Islam dari

5

Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, h.305.

6

Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas, (Jakarta: LKIS, t.th) h. 181.

7„Izz

uddin bin Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam 2/160.

8

Maryam Ibrahim Hindi, Misteri Di Balik Khitan Wanita, penterjemah Abu Nabil (Solo: Penerbit Zam-Zam, 2008), cet. ke-1, h.5.


(12)

beberapa negara termasuk Indonesia.

Pada tahun 1960, diadakan sebuah konferensi yang disponsori PBB yang bertema Participation of women in Public Life di Addis Adaba. Delegasi perempuan Afrika ketika itu mempertanyakan kepada WHO tentang khitan pada perempuan yang dinilainya sebagai pelanggaran martabat dan kemanusiaan (violation of human dignity). Setelah itu pihak WHO melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa khitan pada perempuan di beberapa tempat di Afrika dinilai sebagai problem serius (a serious medical problem).9

Namun lain halnya dengan prosedur pelaksanaan khitan perempuan yang dikehendaki syariat Islam adalah dengan hanya melepaskan tudung klitoris sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ummu Athiyah, untuk tidak berlebihan dalam mengkhitankan anak perempuan, agar mendapat maslahat yang diharapkan dan terhindar dari mudharat yang dikhawatirkan akan membahayakan.10

Disebutkan oleh Imam Ibnu Taimiyah bahwa khitan juga merupakan perwujudan kesucian badaniyah yang berdampak positif pada kesehatan. Kebersihan, baik dalam konteks khitan maupun yang lain, merupakan bagian dari syari‟at Islam yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.11

9

Lilian Passmore Sanderson, Against The Mutilation of Women: The Struggle to End Unnecessary Suffering, (London: Itacha Press, 1981) h. 7-11.

10

Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, h.306.

11

Kementrian Agama RI, Tafsir Ilmi “Seksualitas Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains”,


(13)

terhadap pelaksanaan khitan perempuan tidak pada tempatnya bila hal itu dilakukan dalam rangka kemaslahatan yang lebih besar dengan memberikan kemuliaan bagi kaum perempuan melalui kontrol dan penyaluran libidonya.12

Dan perlu diketahui bahwa Nabi tidak pernah menginginkan pelaksanaan khitan yang menyiksa perempuan. Justru meluruskan tradisi Female Genital Mutilation (FGM) yang terjadi pada masyarakat Arab pada waktu itu.13

Pemahaman terhadap teks-teks keagamaan yang bersifat diskriminatif dan patriarkhis terhadap agama Islam tidaklah dapat dibenarkan, karena pandangan seperti ini memberikan pandangan yang kontradiktif dengan visi kesetaraan dan kemuliaan manusia. Kontradiksi terhadap kalam Tuhan dan atau ucapan-ucapan Nabi ini pastilah tidak boleh terjadi. Apa yang datang dari Tuhan pastilah tidak ada yang salah sebagaimana terdapat pada firman Allah Swt. dalam surat Fushilat ayat 42.14

Pemerintah Indonesia sendiri mengambil kebijakan WHO untuk tidak membolehkan adanya ketentuan khitan bagi perempuan karena dinilai bertentangan dengan HAM. Ini dibuktikan dengan terbitnya Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan, pada 20 April 2006 tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan.

12

Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, h. 306.

13

Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, h. 57.

14

Abuddin Nata, ed, Kajian Tematik Al-Qur’an Tentang Fiqih dan Ibadah, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2008), cet. ke-1, h.303-304.


(14)

kenyataannya ketentuan khitan bagi perempuan tetap berjalan di masyarakat malah diyakini sebagai kewajiban minimal sunah Nabi Muhammad Saw. sehingga beredar fatwa MUI tentang dibolehkannya khitan bagi perempuan pada tahun 2008 untuk menjawab persoalan khitan ini asalkan sesuai dengan standar kesehatan dan medis. Tentunya hal ini bertentangan dengan surat Edaran Depkes yang justru melarang praktik khitan perempuan. Hal inilah yang menjadi tumpang tindih peraturan di Indonesia akan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Dan tidak lama kemudian pada tahun 2010 kementrian kesehatan mengeluarkan suatu peraturan yaitu PERMENKES Nomor 1636 Tahun 2010 Tentang Sunat Perempuan, yang didalamnya berisikan petunjuk ahli medis dalam melakukan tindakan khitan perempuan dan legalitas kewenangan bagi ahli medis untuk melakukan tindakan khitan perempuan apabila diminta oleh pasien (orang tua bagi anak yang akan dikhitan). Hal inilah yang menyulut kembali kontroversi akan masalah khitan perempuan bagi pihak yang kontra dan memandang Permenkes itu sebagai kebijakan yang membuka peluang dan otoritas bagi tenaga medis untuk melakukan layanan khitan perempuan dan sebagai bentuk legalitas khitan perempuan di Indonesia.

Lalu bagaimana dengan sikap masyarakat dalam menghadapi problema tentang khitan perempuan itu, yang mana tidak jarang masyarakat yang masih tetap mempertahankan perintah Rasulullah yaitu mengkhitan anak perempuannya baik dengan konsep tradisi, kesehatan, perintah agama atau hanya sekedar menjalankan sunnah Rasul. Lalu apa yang membuat masyarakat di sebagian daerah di Indonesia


(15)

untuk menulis sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “PERSEPSI DAN TRADISI KHITAN PEREMPUAN DI MASYARAKAT PASIR BUAH :

PENDEKATAN HUKUM ISLAM”

B.Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka perlu diadakannya suatu penelitian yang komprehensif terhadap ajaran khitan perempuan dalam masyarakat di Indonesia. Studi ini difokuskan pada kajian hukum Islam memandang persepsi masyarakat dalam menjalankan ajaran khitan perempuan khususnya pada masyarakat di kampung Pasir Buah, Karawang Barat.

2. Rumusan Masalah

Berangkat dari uraian latar belakang yang tertera di atas, penulis rumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, diantaranya yaitu:

1. Bagaimana pelaksanaan khitan perempuan di masyarakat kampung Pasir Buah, Karawang?

2. Bagaimana persepsi masyarakat di kampung Pasir Buah, Karawang terhadap khitan perempuan dengan pendekatan hukum Islam?

3. Apakah dasar legitimasi diberlakukannya khitan perempuan di Indonesia ditinjau dari Putusan Majelis Ulama Indonesia Nomor 9A Tahun 2008 dan Terbitnya Permenkes RI No.1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan?


(16)

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui pelaksanaan khitan perempuan pada masyarakat di kampung

Pasir Buah, Karawang.

b. Untuk mengetahui persepsi masyarakat kampung Pasir Buah di Karawang terhadap khitan perempuan menggunakan pendekatan hukum Islam.

c. Untuk mengetahui peraturan yang mengesahkan atau membenarkan bahwa praktik khitan perempuan masih dapat diberlakukan di Indonesia.

d. Menemukan fakta yang menjadi alasan seseorang melakukan khitan perempuan terhadap anaknya.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah;

a. Mengungkap persepsi masyarakat terhadap khitan perempuan yang masih menjalankan ajaran khitan perempuan di zaman sekarang terkait dengan tinjauan hukum Islam, dengan menganalisis pendapat para ahli hukum Islam, pandangan juru khitan dan ahli medis, dan pandangan masyarakat terkait dengan khitan perempuan.

b. Sebagai wujud kontribusi positif penulis terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pada kaitannya dengan praktik khitan perempuan di Indonesia dilihat dari aspek keagamaan dan aspek yuridis peraturan di Indonesia.


(17)

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

d. Dapat dijadikan rujukan bagi masyarakat secara umum dalam memahami lebih mendalam mengenai khitan perempuan.

e. Hasil penelitian diharapkan dapat mengembangkan pola pikir kritis dan dinamis bagi penulis serta semua pihak dalam menyikapi masalah khitan perempuan dalam penerapan kehidupan.

D.Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif yakni penelitian yang difokuskan untuk menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang dijadikan sumber informasi, untuk menganalisa data non-statistik. Sedangkan metode penelitiannya menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research).

2. Pendekatan Penelitian

Untuk memperoleh suatu karya yang benar-benar dapat

dipertanggungjawabkan, maka dalam penelitian penulis menggunakan dua macam pendekatan yaitu:

a. Secara normatif, yaitu hukum doktiner yang dilakukan dalam penelitian untuk mendapat dasar pemikiran, dalam perumusan konsep yaitu dengan cara mengumpulkan data-data yang bersumber dari kitab-kitab fiqh klasik,


(18)

buku-skripsi ini.

b. Secara historis, yaitu dengan menulusuri sejarah tentang khitan perempuan, khitan perempuan dalam masyarakat modern, khitan perempuan yang berdampak pada aktivitas seksual.

3. Sumber data penelitian

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder:

a. Data Primer

1. Studi Kepustakaan (library research) dari buku, artikel, karya-karya ilmiah yang terkait dengan penilitian ini. Seperti Kitab-kitab fiqih, pendapat-pendapat para ahli terkait permasalahan skripsi ini.

2. Quesioner dan wawancara (interview), yaitu cara pengumpulan data melalui penyebaran angket dan tanya jawab langsung dengan responden yang mengetahui permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini yang menjadi responden adalah tokoh agama, masyarakat kampung Pasir Buah, dan para juru sunat (paraji) atau ahli medis, terkait dengan permasalahan yang diteliti. b. Data sekunder

Observasi di wilayah Kampung Pasir Buah dengan melakukan pengamatan terhadap kejadian-kejadian di lapangan terkait dengan khitan perempuan pada masyarakat kampung Pasir Buah dengan mayoritas aliran agama Islam Nahdlatul Ulama, meskipun dari tata cara beribadah mereka masih manut pada


(19)

kurang terhadap syariat agama Islam.

4. Alat Pengumpul Data

Karena jenis penilitian ini adalah penelitian lapangan (field research) di Pasir Buah, maka metode pengumpulan data yang dilakukan dengan quesioner dengan menyebar angket dan wawancara mendalam, pengamatan langsung yaitu pengamatan terhadap praktik khitan perempuan di Kampung Pasir Buah dan penelusuran data-data sekunder yang berkaitan dengan penilitian yang dilakukan.

5. Analisa data

Dalam pengolahan data digunakan metode content analitis. Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel, diurai dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab masalah yang telah dirumuskan. Selanjutnya semua bahan dan data dianalisa secara deduktif, yakni suatu bentuk penalaran yang berpangkal dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini (self-evident) dan berakhir suatu pengetahuan baru yang bersifat khusus.15 Dalam penelitian ini proposisi umum tersebut berupa kaedah-kaedah hukum.

E.Review Studi

15

AmiruddindanZainalAsikin, PengantarMetodePenelitianHukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003), h. 4


(20)

Indonesia sudah banyak dan terus di up-date dalam berbagai bentuk karya. Begitu juga kajian tentang khitan perempuan yang telah banyak dikupas oleh para ulama fuqoha dan pakar kesehatan, baik nasional bahkan internasional.

Namun dalam karya ilmiah yang ingin penulis sajikan dalam skripsi ini penulis ingin membahas mengenai persepsi masyarakat terhadap khitan perempuan yang masih tetap menjalankan ajaran khitan perempuan di zaman sekarang dikaitkan dengan tinjauan hukum Islam. Sedangkan diera sekarang khitan perempuan merupakan problematika yang menimbulkan pro dan kontra baik di dalam maupun di luar negeri. Sementara sejauh penelusuran penulis dari karya ilmiah yang telah dibuat oleh rekan-rekan sebelumnya sebagai tugas akhir pendidikan strata satu di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, ditemukan beberapa tulisan ilmiah yang telah membahas perihal khitan perempuan. Dan disini penulis ingin menyajikan kembali sebuah karya ilmiah dengan tema Khitan Perempaun namun dengan teknik penyajian data yang berbeda yaitu menganalisis persepsi masyarakat kampung Pasir Buah di Karawang yang masih tetap menjalankan praktik khitan perempuan dikaitkan dengan hukum Islam.

Berikut beberapa hasil penelusuran yang terkait; pertama, Haeriyah,

Problematika Khitan Perempuan (Analisa Hukum Islam dan Medis), 2010. Memaparkan masalah khitan perempuan yang diidentifikasi merugikan hak kesehatan, baik terkait atas hak reproduksi dan atau hak pemenuhan kepuasan seksual, yang dilihat dari perspektif ahli medis.


(21)

Perempuan Dalam Masyarakat Modern (Studi Kasus Masyarakat Angke, Tambora, Jakarta Barat), 2010. Membahas tentang penelitian praktik Khitan Perempuan yang masih dilakukan di era modern pada masyarakat Angke, Jakarta Barat serta mengungkapkan alasan konsep dasar khitan perempuan menurut hukum islam.

Daftar di atas, memiliki fokus kajian sendiri-sendiri dengan pembahasan yang berbeda satu sama lain. Jika dicermati, mungkin kajian yang akan penulis buat hampir sama dengan dengan skripsi karya Rabiatul Adawiyah, namun disini penulis mengambil tempat penelitian yang berbeda yaitu dengan objek penelitian masyarakat suku Sunda di Karawang yang masih tetap menjalankan praktik khitan perempuan meski banyak problematika di zaman sekarang terkait khitan perempuan. Serta adanya pembahasan mengenai kebijakan pemerintah dalam menyikapi masalah khitan perempuan yang dituangkan dalam Permenkes Nomor 1636 Tahun 2010 dan Keputusan MUI Nomor 9A tentang Hukum Pelarangan Khitan Perempuan yang akan dibahas dalam skripsi ini nanti.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima (5) bab, dimana masing-masing bab berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut;

Bab pertama berisikan pendahuluan menguraikan latar belakang masalah,

batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review studi, dan sistematika penulisan.


(22)

hukum Islam yang meliputi pengertian, sejarah dan praktik khitan dalam dunia Islam, pendapat ulama fuqoha beserta landasan hukumnya, hikmah dan faedah khitan perempuan.

Bab ketiga akan memaparkan perihal tinjauan umum praktik khitan perempuan

di beberapa daerah di Indonesia dengan membandingkan hasil penilitian tradisi dan praktik khitan di Karawang khususnya di kampung Pasir Buah yang menjadi objek penelitian, serta kebijakan pemerintah dalam mengeluarkan peraturan tentang khitan perempuan beserta pemaparan dasar legitimasi atas pemberlakuan praktik khitan perempuan di Indonesia dengan mengacu pada Putusan MUI tentang Hukum Pelarangan Khitan Perempuan nomor 9A Tahun 2008 dan Permenkes No 1636 Tahun 2010 tentang Sunat Perempuan.

Bab keempat merupakan analisis hukum Islam terhadap persepsi dan tradisi

masyarakat kampung Pasir Buah di Karawang terhadap khitan perempuan yang mana masih tetap menjalankan ajaran khitan perempuan dimasa kini meski telah timbul problematika berupa kontrovesi pro dan kontra terkait dengan khitan perempuan.

Bab kelima adalah bagian akhir dari penulisan skripsi ini, yang di dalamnya

akan berisikan kesimpulan dan saran yang bersifat kontribusi membangun bagi dunia akademis.


(23)

14

A.Pengertian dan Praktik Khitan Perempuan

1. Pengertian Khitan Secara Bahasa

Secara bahasa kata khitan atau khitanan dalam bahasa Arab berasal dari kata ÅًğْÏخ - ĝÏْßي - ĝÏخ (khatana-yakhtinu-khatnan) mengandung arti harfiah

„menyunat/memotong‟.1

Sedangkan kata al-khatnu ( ĝْÏßْĖا) dengan fathah pada kha‟ dan sukun pada

ta terdapat dua kata رãْعي ĨãĖا ĘاغĖا ĝْÏخ yaitu khitan, anak laki-laki yang dikhitan bisa disebut juga dengan istilah i‟dzar dan åكãĖا ĝĚ عطقĖا عضĥĚ:ĜÅÏßĖا yaitu memotong bagian dari zakar laki-laki. Ada juga yang mengkhususkan istilah

khitan yaitu istilah khitan untuk laki-laki dan istilah khifadh untuk perempuan.2 Ada juga kata al-ikhtitan ( ĜÅÏÏْخَا). Kata khitan sendiri merupakan kata benda atau merupakan tempat khitan dari kata subyek (fa‟il) al-khatin ( ĝÎÅßْĖا) yaitu orang yang mengkhitan.

Abu Syamah sebagaimana disebutkan oleh Imad Zaki Al-Barudi menyebutkan bahwa para ahli bahasa menyatakan bahwa kata i‟dzar berlaku untuk

1

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah,1973) h.114.

2 Abȋ

al-Husain Ahmad Ibn Fȃris Ibn Zakariya, Kamus Mu‟jam Muqayyisu al-Lughah,


(24)

keduanya. Baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan kata khafdun atau

khafdan hanya berlaku untuk kaum perempuan.3

Abu Ubaidah sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata.

Jika dikatakan „Adzartul Jariyah wal Ghulaam‟artinya aku mengkhitankan anak perempuan dan anak laki-laki. Kata „adzara dan khatana memiliki kesamaan dari

segi pola kata maupun makna.”4

Sementara Imam Jauhari menambahkan, “Namun pada umumnya orang-orang menggunakan kata khafadat untuk konteks kaum

perempuan.”5

Adapun penyebutan istilah khitan lazim disebut sunat atau sunatan karena mengikuti sunnah Rasulallah Saw. sesuai dengan sunnah fitrah, seperti halnya dengan istilah yang biasa digunakan di negara Indonesia.

2. Pengertian Khitan Secara Terminologi

Sedangkan secara terminologi pengertian khitan dalam istilah fiqih dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Imam al-Mawardi, ulama

fiqih mazhab Syafi‟i, khitan bagi perempuan adalah membuang bagian paling atas faraj (vagina) yaitu ujung kelentit atau gumpalan jaringan kecil yang terdapat pada ujung lubang vulva (klitoris) pada bagian atas kemaluan perempuan yang

3

Imad Zaki al-Barudi, Tafsir Al-Qur‟an Wanita 1, Penerjemah Tim Penerjemah Pena (Jakarta: Pena Pundi Aksara, t.th) h. 43.

4

Ibnu Hajar Al-Asqalani, Edisi Indonesia: Fathul Baari 28, Peniliti Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Bazz, penerjemah Amiruddin (Jakarta:Pustaka Azzam,2011), cet ke-2, h. 758

5


(25)

bentuknya seperti biji kurma atau jengger ayam jago.6 Pemotongan itu baiknya dilakukan hanya pada bagian atasnya saja dan tidak memotong seluruh bagian klitoris.

Khitan dalam istilah kedokteran disebut Circumcision / Sirkumsisi. Menurut Kamus Saku Kedokteran DORLAND, circumcision adalah7:

Pemotongan praeputium atau kelentit depan. Female c., setiap cara, baik memotong bagian eksternal genitalia wanita atau infibulasi. Pharaonic c., jenis sirkumsisi pada wanita yang terdiri dari dua cara: cara radikal dimana klitoris, labia minor, dan labia mayor diangkat dan jaringan tersisa diperkirakan, dan bentuk yang telah dimodifikasi, dimana kulup dan glans klitoris serta daerah yang berbatasan dengan labia minora diangkat. Sunna c., bentuk sirkumsisi pada wanita dimana kulup klitoris diangkat.8

Prosedur pelaksanaan khitan perempuan yang dikehendaki syariat Islam adalah dengan hanya melepaskan tudung klitoris sebagaimana sabda Rasulallah

yang diriwayatkan oleh Ummu „Atiyah, “Ada seorang juru khitan bagi anak-anak perempuan Madinah, maka Rasulallah berpesan, „Jangan berlebihan, karena hal itu adalah bagian kenikmatan perempuan dan merupakan kecintaan suami.” Dalam riwayat Abȗ Daud diriwayatkan sabdanya, “Potong tipis saja dan jangan

berlebihan, karena hal itu penyeri wajah dan bagian kenikmatan suami.”9

6

Muslim, SahȋhMuslim bi Syarh al-Nawawȋ, Jilid 3, )Bairȗt: Dȃr al-Ihyȃ li al-Turats

Al-„Arabi, 1974( h.148; Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, (Jakarta: Gema Insani, 2003) cet. Ke-1, h.

302-303.

7

Poppy Kumala, dkk (pent.), Kamus Saku Kedokteran DORLAND, Ed. 25, (Jakarta: EGC, 1998) h. 232.

8

Ahmad Lutfi Fathullah, Fiqh Khitan Perempuan (Jakarta: Al-Mughni Press dan Mitra Inti Foundation, 2006) cet. ke-2, h. 2

9Imȃm Sulaimȃn bin Asy‟ats Al

-Sijistȃnȋ, Sunan Abî Dâwûd, Kitâb Adâb, Bâb Mâ Jâa fî

al-Khitân, hadis nomor: 5271, )Beirȗt: Dȃr Al-Fikr, t.th) h. 264; Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, h. 306.


(26)

Dilihat dari istilah khitan secara terminologi baik istilah fiqih maupun kedokteran, penulis menyimpulkan bahwasanya khitan sebaiknya dilakukan dengan cara yang ringan yaitu dengan cara membuang bagian ujung kelentit (smegma) sesuai dengan nasihat Nabi Saw. dalam hadis di atas. Agar mendapat maslahat dan terhindar dari resiko atau mudhorot dari khitan perempuan.

B. Sejarah Khitan dalam Dunia Islam

Orang yang pertama kali melakukan khitan adalah nabi Ibrahim As. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh hadist Rasulallah Saw. yang diriwayatkan oleh al-Bukhori, Muslim, Ahmad dan lain-lain dari Hurairah berkata:

Ôåعَا ĝع àÅĞçĖا ĥÈا Åğثáح : ĔÅق Êçěح ĝÈ Çيعش ÅĞåÉخا ĝع

Èا ى Ĝا ÊåيåĢ Åع َ ىėص َ Ĕْĥسر

ġْي

ęėسĤ ĔÅق ĘاسĖا ġْيėع ęْيĢåْÈا ĝÏÏْخا áعÈ

ًËğس ĝْيĞÅěث ĝÏÏخاĤ

ĘĤáقْĖÅÈ áěحا ĠاĤر( Ėا رÅßÉ Ħ Ĥ ęėسĚ Ĥ Ėا )يقģيÉ 1

... dari Abu Hurairah Rasulallah Saw. bersabda Ibrahim As. berkhitan saat berusia 80 tahun dengan dengan kapak kecil.(HR. Ahmad, Bukhari, Muslim,

dan Baihaqȋ)11

Dalam riwayat al-Baihaqȋ ditambahkan bahwa, kedua putra nabi Ibrahim juga

dikhitan, nabi Isma‟il dikhitan ketika usianya 13 tahun, sedangkan nabi Ishaq dikhitan dalam usia 7 hari.12

10

al-Hafizal-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, jil. 8,

)Makkah: Dȃr al-Bȃz, 1994( h.325-326; Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhȃrȋ, Al- Adab al-Mufrad,

)Beirȗt: Dȃr al-Kutub al-I‟lmiyah, 1986( cet. ke-1, h. 363.

11

Ibnu Hajar Al-Asqalani, Edisi Indonesia: Fathal-Bȃrȋ buku 28 , Peneliti Syaikh Abdul Aziz Abdullah bin Baz, penterjemah Amiruddin (Jakarta:Pustaka Azzam, 2011) cet ke-2, hal.764.

12

Lihat al-Hafiz al-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, h.326.


(27)

Di kalangan bangsa Arab, khitan telah menjadi tradisi sejak Nabi Ibrahim As. dan Nabi Ismail As. Sesudah tersebar Islam keseluruh dunia, maka kebiasaan tersebut juga dikukuhkan oleh ajaran Islam dan cepat diikuti oleh bangsa-bangsa penganut Islam lainnya.13

Sedangkan nabi Muhammad Saw. sendiri, tidak dikhitan oleh ayah atau paman atau kakeknya, namun dalam banyak riwayat diceritakan bahwa beliau lahir dalam keadaan sudah terkhitan. Hal ini dapat dimaklumi karena posisi beliau sebagai nabi dan kondisi terlahir seperti ini merupakan sebagian dari kelebihan beliau.

Kebiasaan orang Arab Makkah sebelum Islam datang, kemungkinan tidak dikhitan, apalagi kaum perempuannya. Namun di Madinah, selain laki-laki dikhitan ada juga kebiasaan perempuannya yang dikhitan. Hal ini nampak dari peringatan Nabi Saw. kepada Ummu „Atiyyah yang konon juga berprofesi sebagai tukang sunat tidak menyunat secara berlebihan.14 Hadis ini diriwayatkan dengan dua versi.

1. Riwayat Pertama:

ْÉعĤ يقْï̂áĖا ĝěْح€åĖا áْÉع ĝْÈ ĜÅěْيėس Åğث€áح Åğث€áح ĜاĤْåĚ Åğث€áح َÅق يعجْش ْْا ęيح€åĖا áْÉع ĝْÈ ÆŀĢĥْĖا á

ْĞ ْْا ˀيطع ‚Ęأ ْĝع åْيěع ĝْÈ كėěْĖا áْÉع ْĝع يفĥēْĖا ÆŀĢĥْĖا áْÉع ĔÅق Ĝŀسح ĝْÈ á€ěحĚ ًÊأåْĚا €Ĝأ ˀيرÅص

ْßÎ ْÍĞÅك أْåěْėĖ ىظْحأ كĖ⠀Ĝإف يēģْğÎ َ ę€ėسĤ ġْيėع €َ ى€ėص يɀğĖا ÅģĖ ĔÅقف ËğيáěْĖÅÈ ĝÏ ĕْعÉْĖا ىĖِ ÇحأĤ Ê

)àĤاàĥÈا ĠاĤر( 11

Dari Ummi „Atiyyah diceritakan bahwa di Madinah terdapat seorang perempuan tukang sunat /khitan, lalu Rasulallah saw bersabda kepada

13

M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 1996), Cet. ke-1, h. 179.

14

Ahmad Lutfi Fathullah, Fiqh Khitan Perempuan, h. 4

15Imȃm Sulaimȃn bin Asy‟ats Al


(28)

perempuan tersebut: jangan berlebihan, sesungguhnya hal itu lebih baik/disukai bagi perempuan dan lebih disenangi oleh lelaki.(HR. Abu Daud). Hadis di atas diriwayatkan oleh Abȗ Daȗd dari Sulaiman ibn Abd al-Rahman dan Abd al-Wahab – dari- Marwan – dari- Muhammad ibn Hassȃn – dari – Abd

al-Malik ibn „Umayir dari Ummu „Atiyyah.

Hadis ini dihukumkan oleh Abȗ Daȗd sendiri sebagai hadis da‟if dengan beberapa alasan: Pertama, Muhammad ibn Hassȃn adalah perawi yang majhul (tidak diketahui, baik identitas maupun karakternya), dan diriwayatkan melalui jalan lain yang mursal dan tidak kuat. Dan menurut Al-Dzahabi Ibn Hassȃn merupakan orang yang tidak dikenal (la Yu‟raf). Kesimpulannya, hadis ini adalah da‟if.16

2. Riwayat Kedua

ĐÅح÷Ėا ĝع ĔÅق éيق ĝÈا

ÅģĖ ĔÅقي ًÊأåْĚا ËğيáěĖÅÈ ĜÅك ģĖ ĔÅقف ĨراĥجĖا ضفßÎ Ëيطع Ęأ

Å َ Ĕĥسر

ġĞÅف ْيēģْğÎ َĤ ْي÷فْخا Ëيطع Ęأ Åي ęėس Ĥ ġيėع َ ىėص Ħåسا

Ĥ ġْجĥėĖ ÔْĤçĖا áğع ىظْخأ

ĠاĤر(

يقģيÉĖا ) 12

Dari al-Dahhak diceritakan bahwa di kota Madinah terdapat seorang

perempuan tukang sunat yang bernama Ummu „Atiyyah, lalu Rasulallah saw memperingatkannya dengan bersabda: Wahai Ummu „Atiyyah, sunatilah, tapi

jangan berlebihan (ketika memotong), karena sesungguhnya hal itu lebih mencerahkan wajah dan lebih disukai oleh suami.)HR. Baihaqȋ)

Hadist ini sama dengan yang pertama di atas, diriwayatkan oleh Hakim dalam

al-Mustadrak, al-Baihaqȋ dalam al-Sunan al-Kubra dan al-Saghir, Abȗ Nu‟aim

dalam al-Ma‟rifah, al-Tabrani dalam al-Mu‟jam al-Kabir dan Ibn „Adiy dalam

16

Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, hadis nomor: 5271, h. 264.

17

al-Hafiz al-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, h. 324.


(29)

Kamil. Kesemuanya melalui perawi yang disifatkan da‟if. Ibn Hajar al-„Asqalani yang mengupas panjang jalur periwayatan hadis ini menyimpulkan keda‟ifannya.18

Hadis ini diriwayatkan juga oleh al-Tabrani dalam al-Mu‟jam al-Awsat dan

al-Saghir dari Anas melalui Ahmad ibn Yahya, dari Muhammad ibn Sallam

al-Jumahi, dari Za‟idah ibn Abȋ al-Ruqqad, dari Tsabit al-Bunani dari Anas dengan lafaz yang hampir sama. Al-Haitsami mengatakan bahwa sanad ini hasan.19

Berbeda dengan kaum perempuan, setelah Islam datang, baik di Makkah maupun di Madinah, kaum lelakinya dipastikan bahwa mereka dikhitan. Adanya perintah atau penjelasan dari Rasulallah Saw. yang cukup banyak dan jelas, meskipun beberapa diantaranya merupakan hadist da‟if, menunjukkan hal itu. Terlebih lagi banyaknya riwayat yang menjelaskan bahwa Hasan dan Husain, dua cucu Nabi Saw, dikhitan pada hari ketujuh kelahirannya.20

Konsep khitan biasanya dilakukan atas dasar ajaran agama, bukan saja agama Islam tetapi juga beberapa agama lain. Namun yang dominan di dalam masyarakat Islam dan Yahudi bahwa khitan adalah perintah agama yang harus dilakukan. Khitan merupakan ritual keagamaan yang bersifat tradisional yang ada sebelum Islam,

18

Al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, jil. 8, h. 324 dan al-Sunan al-Saghȋr, jilid 2, h. 281-282,

hadis no. 3712;. Lihat kajian lengkapnya dalam Ibn Hajar, Talkhis al-Habir, jil. 4, h. 1408, hadist no. 1806 yang dinukil juga oleh al-Syaukani dalam Nail al-Autȃr, jilid 1, h. 137-139.

19

Al-Tabarani, al-Mu‟jam al-Ausat, jil. 3, h. 133, hadis no 2274; al-Tabaranȋ, al-Mu‟jam al -saghir, jilid 1, h. 47-48; al-Haytsami, Majma‟ al- Zawa‟id, jilid 5, h. 175.

20


(30)

dengan bentuk-bentuk yang beragam mulai dari hanya simbol, pembersihan, mencolek, membersihkan kotoran hingga pada perusakan alat kelamin perempuan.21

Namun lain halnya dalam agama Islam syarat khitan dalam Islam pada filosofinya mengajarkan prinsip kebersihan, kesucian, kesehatan dan kefitrahan dengan mencontoh sunnah Nabi Saw.22 Dalam al-Qur‟an, Allah Swt. berfirman:

€ĥ€ÏĖا Çحي َ €Ĝِ ا

ÇحيĤ ĝيÈ ‚ģطÏěĖا

ĝيå

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.(QS. Al-Baqarah: 222)

Khitan dalam Islam dimaksudkan sebagai bukti keyakinan bahwa seseorang sudah menjadi Islam. Dan khitan ini awalnya diterapkan hanya pada laki-laki dengan memotong kulup ujung kelamin mereka ketika mereka hendak menjadi muslim. Meskipun praktik khitan ini, sebelum Islam lahir, sudah berkembang dikalangan tribal suku bangsa Arab waktu lampau. Bahkan juga diwajibkan dalam agama Yahudi dan Kristen, sebelum Islam muncul, praktik khitan juga sudah ada di negeri-negeri lainnya, seperti di Afrika, Asia, dan Eropah masa purba.23

Berdasarkan sejarah yang disebutkan di atas, penulis berpendapat bahwasanya sudah sangat jelas khitan itu ada sejak masa Nabi Ibrahim As. sebagai perintah dari Allah Swt. dan perintah syariat khitan diteruskan oleh Rasulallah Saw. mengenai masalah khitan bagi perempuan pada zaman Rasulallah Saw. sudah ada dan dalam

21

Asriati. Hal. 15 mengutip Anita Rahman, Khitan perempuan di Indonesia: Pengetahuan dan Sikap Para Tokoh Agama (Studi Kasus di Kecamatan Cijeruk Jawa Barat dan Kemayoran, DKI Jakarta) Hasil Penelitian Adik Wibowo, Harni, Ambar Wahyuningsih, Emiarti. Dalam Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010) cet ke-1, h. 53.

22

Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, h. 307.

23“Khitan Perempuan: Praktik Purba YangHarus Dihapuskan ,”

Perempuan Bergerak, Edisi III, Juli-September, 2013, h. 4.


(31)

hadis pun telah dijelaskan. Meski kekuatan hadisnya da‟if namun banyak diriwayatkan oleh banyak perawi yang mendukung keshahihan hadis tersebut. Jadi hadis tentang pensyariatan khitan perempuan dapat diterima.

C.Hukum Khitan Perempuan dan Dalilnya

Syekh Mahmud Syaltut berpendapat sebagaimana dikatakan oleh Mayam Ibrahim Hindi bahwa khitan termasuk masalah ijtihad. Namun, para ahli fiqih

bersepakat tentang legalitas khitan perempuan dalam syari‟at Islam. Buktinya kitab -kitab kalangan ahli fiqih empat madzab menyebutkan perbedaan pendapat seputar status wajib atau sunnahnya khitan bagi perempuan. Tidak ada satupun dari mereka yang berpendapat haram atau makruh.24 Berikut penjelasan mengenai perbedaan pendapat status hukumnya:

1. Wajib

Di antara kalangan yang berpendapat wajibnya khitan bagi laki-laki dan wanita adalah Al-Sya‟bi, Rabi‟ah, Al-Auza‟i,Yahya bin Sa‟id Al-Anshari, madzab

Syafi‟iyah dan Hanabilah.25

Imam Nawawi berkata:26 ”Khitan dalam pandangan Imam Asy-Syafi‟ adalah wajib hukumnya. Imam al-Syafi‟i berpendapat bahwa khitan itu adalah wajib hukumnya, baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan.

24

Maryam Ibrahim Hindi, Misteri Di Balik Khitan Wanita, Penterjemah Abu Nabil (Solo: Penerbit Zam-Zam, 2008) cet. ke-1, h. 25.

25

Al-Hȃfiz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathal-Bȃrȋ X , )Kairo: Dȃr Al-Rayyan li Al-Turats, 1986) h. 353; dan Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani, Nailal-Autar I

)Beirȗt: Dȃr Al-Qalm, t.th) h. 145-146

26

Syarh al-Nawawȋ li Sahihi Muslim, jilid 3, (Al-Azhȃr: Maktabah Usȃmah Al-Islȃmiyyah, t.th) h. 148.


(32)

Imam Yahya, ulama-ulama Itrah, Al-Syafi‟i dan segolongan ulama menetapkan, bahwa berkhitan itu diwajibkan atas lelaki dan atas perempuan.27Mansur bin Yusuf al-Buhuti mengatakan, “Diwajibkan khitan ketika memasuki usia baligh, selagi tidak mengkhawatirkan keselamatan dirinya, baik bagi laki-laki, banci, ataupun wanita.”28 Sedangkan Ibrahim bin Dhawayan

berkata, “Khitan hukumnya wajib bagi laki-laki dan wanita.”29

Sedangkan pendapat keras yang datang dari ulama kontemporer yaitu Saleh al-Fauzan. Ahli fikih dari Saudi Arabia ini berpendapat bahwa khitan perempuan itu wajib dan harus dilakukan sejak kecil.30

Kalangan yang mewajibkan khitan bagi laki-laki maupun perempuan beralasan dengan dalil-dalil berikut ini:31

Firman Allah Ta‟ala :

ĝْيكåْïěْĖا ĝĚ ĜÅك ÅĚĤ Åفْيğح ęيĢاåْÈا ËėĚ ْعÉÎا Ĝا كْيĖا Åğْيح ْĤا ęث “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS. An-Nahl: 123).

27

Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani, Nail al-Autar, Jilid 1, h. 138; T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqah Islam, (Kelantang: Pustaka Aman Press SDN BHD 1987) cet. ke-2, h. 362.

28

Syaikh Manshur bin Yusuf, Al-Raudul Murbi‟, Jilid I, )Beirȗt: Dȃr al-Fikr,1985) h. 19.

29Ibrahȋm bin Sȃlim Dhawayan, Mȃnar al

-Sabȋl fi Syarh al-Dalil I (Riyadh: Maktabah

Al-Ma‟arif( h. 30;; Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, Tuhfatal-Wadud,)Kairo: Dȃr al-Rayyan li Al-Turats,t.th) h.

146;Al-Hȃfiz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathal-Bȃrȋ X , h. 353; dan Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani, Nailal-Autar I, h. 145-146.

30

Luthfi Assyaukanie, POLITIK, HAM, dan Isu-Isu Teknologi Dalam Fikih Kontemporer, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998) cet. ke-1, h. 125.

31

Lihat Fath al-Bȃrȋ, X : 353-355; Al-Mughnȋ karya Ibnu Qudamah, I : 85-86; Tuhfat


(33)

Sedangkan khitan termasuk ajaran millah Ibrahim. Bahkan, ia termasuk di antara kalimat-kalimat yang Allah ujikan kepada Ibrahim, sebagaimana yang tertera dalam firman-Nya yang artinya:

âِĤ åْÈِ ىėÏْÈا ا €ĝģ€ěÎÅف ÍěėēÈ ġÈر ęْيĢ

“Dan ingatlah , ketika Ibrahim diuji Rabb-Nya dengan beberapa kalimat

)perintah dan larangan(, lalu Ibrahim menunaikannya...” )Al-Baqarah:124) Biasanya, suatu ujian berkenaan dengan sesuatu yang wajib.32 Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata tentang ayat ini: “Allah menguji Ibrahim agar bersuci di lima tempat di bagian kepala dan lima tempat lainnya di tubuh. Yakni, menggunting kumis, berkumur, istinsyaq, bersiwak dan membelah sisiran rambut. Sedangkan yang di tubuh adalah menggunting kuku, mencukur bulu kemaluan, khitan mencabut ketiak dan mencuci organ yang digunakan untuk buang air besar dan air kecil dengan air ( istinja(.”33

Qatadah berkata, “yang dimaksud dengan hal itu )agama Ibrahim( adalah

khitan.” Pandangan ini adalah pandangan sebagian ulama madzab Maliki dan juga

merupakan pendapat Imam Asy-Syafi‟i.

Ibnu Suraij mengatakan pendapat itu adalah berlandaskan pada ijma‟.

Karena adanya keharaman untuk melihat pada aurat orang lain, maka dia

beralasan, “Andaikata khitan itu tidak wajib, pastilah seseorang tidak akan diperkenankan untuk melihat aurat seseorang yang dikhitan.” Dengan alasan yang

32

Al-Hafiz Ahmad bin Ali bin Hajȃr Al-Asqalani, Fath al-Bȃrȋ X, h. 354.

33

Al-Hafiz al-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, h. 325.


(34)

sama Abu Abdullah berkata, “Ibnu Abbas sangat menekankan masalah khitan ini.

Sampai-sampai dia berkata, „Dalil yang menjadi landasan wajibnya adalah, bahwa menutup aurat itu wajib‟. Dengan alasan yang sama seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Suraij di atas. Khitan juga merupakan syiar kaum muslimin. Dengan demikian, maka ia adalah wajib, sebagaimana syiar-syiar yang lain. Khitan juga disyariatkan untuk kaum perempuan.”34

Sabda Nabi Muhammad Saw. kepada seorang laki-laki yang baru saja masuk Islam. Khitan wajib bagi laki-laki dan perempuan. Karena itu merupakan ciri ke-Islaman. Nabi Saw. berkata kepada laki-laki yang baru memeluk Islam.35

ġْيÈا ĝع Çْيėك ĝÈ ęيثع ĝع ÌْåÉْخا : ĔÅق جْيåج ĝÈا ĝع ىĖا ءÅج ġĞا Ġáج ĝع

Ĥ ġيėع َ ىėص يÉğĖا

ĔÅقف ęėس ْقėْحا Ĕْĥقي åْفēْĖا åْعش كْğع قْĖا : ĔÅق Íْěėْسا áق : áěحا ĠاĤر(

)àĤاà ĥÈا Ĥ 6

Dari Ibnu Juraij, ia berkata, “Aku diberitahu oleh Utsaim bin Kulaib dari

ayahnya dari kakeknya, bahwasanya ia datang kepada Nabi saw lalu berkata,

„Aku telah memeluk Islam.‟ Maka Nabi Saw bersabda: “Buanglah rambut darimu rambut kekufuran, Ia mengatakan „Cukurlah‟”)HR.Ahmad dan Abu Daud)37

Dan dalam redaksi lain sabda Nabi saw:

34

Ibnu Hajar Al-Asqalani, Edisi Indonesia: Fath al-Bȃrȋ, h.762.

35

Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al- Wajiz: Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Tim Tashfiyah LIPIA (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2001) cet. ke-2, h. 31.

36

Muhammad Syams al-Haq al-„Azîm al-Abadi, „Aun al-Ma‟bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd,

)Beirȗt: Dȃr al-Kutub al-I‟lmiyah, 1998(, Jilid 2, h. 325; dan Imȃm Baihaqȋ, Al-Sunan al-Baihaqȋ, Jilid

1,(Makkah:Maktabah Dȃr al-Bȃz,1994) h. 172.

37

Al-Imam Al-Syaukani, Ringkasan Nail al- Autar, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011) cet. ke-2, h. 90.


(35)

ĔÅق Ĝا ġعĚåخا يĞåÉخا: ęص يÉğĖا

åْفēĖا åْعش كْğع قْĖا :åخَ ĔÅق ĝÏÏْخاĤ

ĠاĤر( Ĥ àĤاàĥÈاĤ áěحا

)يقģيÉĖا 8

Juraij berkata: Dan aku diberitahu oleh orang lain yang bersama dia bahwa Nabi Saw. bersabda kepada orang lain: ”Buanglah dari padamu rambut kekufuran dan berkhitanlah” (HR.Ahmad, Abu Daud, Baihaqi)39

Menurut Imam Syafi‟i bahwasanya hadis di atas tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Artinya, khitan bagi laki-laki dan perempuan diwajibkan.40

Demikian juga hadis yang berbunyi:

س Ã ËïئÅع ĕ ĝع

ÍĖÅقف ĝيĞÅÏßĖا ءÅقÏĖا ËïئÅع

: ĔÅق ð َ Ĕĥسر Ę

: Ĥ ْáقف ĜÅĞÅÏßْĖا ىقÏْĖا اâا ĕْسغْĖا Çج

)ĨãĚåÏĖا Ĥ ĨرÅßÉĖا ĠاĤر( 41

Ketika dua khitan bertemu maka diwajibkan mandi.(HR. Bukhori, Tirmidzi)42 Di dalam kitab Manarus Sabil, menurut Ibrahim Dhawayan hadis tersebut

mengindikasikan bahwa kaum wanita dulu berkhitan. Ahmad berkata, „Ibnu Abbas bersikap keras dalam masalah ini sampai diriwayatkan darinya bahwa haji dan

shalatnya orang yang tidak berkhitan tidak sah‟.”43

38

al-Hafizal-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, h. 323.

39

Al-Imam Al-Syaukani, Terjemahan Nailal-Autar, penterjemah Mu‟ammal Hamidy,dkk

(Surabaya: PT.Bina Ilmu,t.th) h. 99.

40

Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, h. 304.

41

Sahihal-Bukhȃrȋ, jilid 1, bȃb idzȃ iltaqaa al-khitanȃni, h. 111; Syaikh Syamsuddin Muhammad ibn al-Khatnib As-Syarbani, Kitȃb Mughnȋ al-Muhtaj, bȃb Ghusl, )Bairȗt: Dȃr

al-Ma‟rifah(, h.117; Musnad Imam As-Syȃfi‟ȋ )1/37( dalam Abȋ Muhammad Husain Mas‟ud Al-Baghwi,

Syarh Al-Sunnah, Jilid 1, )Bairȗt:Dȃr al-Kutub Al-I‟lmiyyah(.

42

Sunan Al-Tirmȋdzȋ Kitab Al-Jamȋ‟ Al-Sahih, h. 182 dan imam-imam lain. Hadist ini shahih.

43Ibrȃhȋm bin Sȃlim Dawayȃn,


(36)

Syaikh Abu Asybal Zuhairi sebagaimana dikatakan oleh Maryam Ibrahim Hindi berkata,”Dua khitan adalah letak khitan yang dimiliki laki-laki dan perempuan”. Bila maknanya tidak demikian, tentunya beliau bersabda, „Apabila

khitan laki-laki bertemu dengan farji perempuan, maka mandi telah menjadi

wajib.‟ Ungkapan dua khitan ini mengindikasikan bahwa khitan disyariatkan bagi

laki-laki dan perempuan.44

È ĜÅÏßْĖا ČçْĖا Ĥ عÈْرَا ÅģÉعش ĝْيÈ áعق اâا ĔÅق ęėس Ĥ ġيėع َ ىėص يÉğĖا Ĝا ÊåْيåĢ يÈا ĝع ْáقف ĜÅÏßْĖÅ

ĕْسغْĖا ÇجĤ )àĤاàĥÈا ĠاĤر(

45

Dari Abȗ Hurairah, Rasulallah bersabda: jika sudah bersatu keempat paha, dan bersentuhan dua barang yang dikhitan, maka sudah jatuh kewajiban mandi. (lafaz ini adalah riwayat Abu Daud).

Riwayat dan sanad hadis ini bahwasanya hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abȗ Daud, Ahmad, al-Darimi, Ibn Majah, al-Nasa‟i dan lain

-lain dari Abȗ Hurairah dengan lafaz yang berbeda. Berikut perinciannya: Lafaz al-Bukhari:46

:ĔÅق ęėس Ĥ ġيėع َ ىėص يÉğĖا ĝع ÊåيåĢ يÈا ĝع ęث عÈْرَْا ÅģÉعش ĝْيÈ éėج اâا

ÇجĤ ْáقف ÅĢáģج

ĕْسغْĖا )ĨرÅßÉĖا ĠاĤر(

Lafaz Muslim:47

َÅق ęėس Ĥ ġيėع َ ىėص يÉğĖا ĝع ÊåيåĢ يÈا ĝع ġْيėع ÇجĤ ْáقف ÅĢáģج ęث عÈْرَْا ÅģÉعش ĝْيÈ éėج اâ

ĕْسغْĖا )ęėسĚ ĠاĤر(

44

Maryam Ibrahim Hindi, Misteri Di Balik Khitan Wanita, h. 29.

45

Imam Sulaiman bin Asy‟ats As-Sijistani Al-Azdi, al-Sunan Abȋ Dȃwud, hadis no. 186.

46

Al-Hafiz al-Bukhȃrȋ, Sahih al- Bukhȃrȋ, hadis no. 291, h. 111

47

Muslim, al-Sahih, hadis no. 525 dan 526; Syaikh Al-Albani, Silsilah al-Ahȃdits al-Sahihah,


(37)

Lafaz riwayat „Aisyah: Dalam Sunan al-Tirmidzȋ:48

ËïئÅع ْĝع ĔÅق ÍĖÅق

ĕْسغĖا ÇجĤ ْáقف ĜÅÏßْĖا æĤÅج اâا ęėس Ĥ ġيėع َ ىėص يÉğĖا )ĨãيĚåÏĖا ĠاĤر(

Jika hadis di atas )lafaz Abȗ Daud dari Abȗ Hurairah dan al-Tirmidzȋ dari

„Aisyah) diartikan secara harfiah, maka hal itu menunjukan bahwa perempuan-perempuan muslimah adalah dikhitan.49

Hadis-hadis tersebut berlaku umum, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Bahkan Nabi Muhammad Saw. membenarkan praktik khitan yang dilakukan terhadap perempuan pada zamannya. Beliau bersabda “Apabila kalian

melakukan khitan terhadap anak perempuan, maka potonglah ujungnya dan jangan berlebihan. Sesungguhnya hal itu lebih menyenangkan baginya dan lebih membahagiakan bagi suaminya.50

Khitan bagi anak perempuan menurut kaum salaf juga hukumnya wajib sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad.51

ÌÅğÈ Ĝا ġÎåÉخا Ëěقėع Ęا Ĝا ġثáح اًåْيēÈ ĜاĤåěع يĞåÉخا : ĔÅق ÇĢĤ ĝÈا يĞåÉخا :ĔÅق غÉصا Åğثáح :ËïئÅعĖ ĕيقف )ĝÏخ( ËïÃĖÅع يخا Ìåěف ĝĢÅÎÅف Ĩáع ىĖا ÍėسرÅف ىėÈ :ÍĖÅق ؟ĝģيģėي ĝĚ ĝģĖ ĥعáĞ َا

48

Imam Al-Tirmidzȋ, Al-Jami‟ al- Sahih, hadis no.109 )Beirȗt: Dȃr al-Fikr, 1980), h. 182.

49

Ahmad Lutfi Fathullah, Fiqh Khitan Perempuan, h. 33.

50I‟anah al

-Tȃlibȋn, jilid 4 )Beirȗt: Dȃr al-Fikr) h. 198 dalam Keputusan Fatwa MUI Nomor

9A Tahun 2008.

51

Al-Adab al-Mufrad, no. 1247, sebagaimana yang tercantum dalam Silsilah al-Ahȃdȋts Sahihah, karya al-Albȃni, jilid 2, h.348, Ketika mentakhrij hadits no. 722, al-Albȃni mengatakan,

“Sanadnya tak menutup kemungkinan hasan. Para perawinya tsiqah, selain Ummu „Alqamah.

Namanya adalah Marjanah. Ia ditsiqahkan oleh Ajali dan Ibnu Hibban, serta para perawi tsiqah telah


(38)

ف ËïÃĖÅع ÅÈåø ġسار ĐåحيĤ ىğغÏي ġÎاåف ÍيÉĖا ي

-åيثك åعش اâ ĜÅكĤ

Ġĥجåخا Åطيش فا :ÍĖÅقف

Ġĥجåخا )ĨرÅßÉĖا ĠاĤر( 17

Dari Ummi „Alqamah bahwasanya keponakan-keponakan perempuan Aisyah

ra. telah dikhitan, lalu ditanyakanlah kepada Aisyah, “Tidakkah sebaiknya kita carikan untuk mereka orang yang bisa menghibur mereka?”Aisyah menjawab, “Baiklah”. Aisyah lantas mengutus seseorang pada Adi dan si Adi pun mendatangi mereka. Ketika berjalan di rumah dan melihat Adi bernyanyi-nyanyi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan jingkrak-jingkrak – dan rambutnya panjang- Aisyah pun langsung berseru “O, Setan! Usir dia,

usir dia”(HR. Bukhori).

Demikianlah sikap Asiyah ra, salah seorang faqih golongan sahabat. Dengan kedalaman ilmu yang dimilikinya, ia pun mengakui dan menetapkan khitan bagi anak perempuan.53

2. Sunnah

Sebagaimana dikatakan oleh T.M. Hasybi Ash-Siddieqi: “Kata Abȗ Hanȋfah, Malik dan Murtada: “khitan itu, disunahkan atas lelaki dan atas

perempuan” dalam buku ini ditegaskan bahwa hadis yang menegaskan kewajiban

khitan , tidak ada. Sehingga ditetapkan bahwa khitan itu dihukumi suatu sunnah.54 Menurut Imam Malik dan sejumlah ulama, hukum khitan adalah sunnah.55 Dengan argumen dari hadist Abu Hurairah ra. bahwa Rasulallah saw bersabda:

ÊåيåĢ يÈا ĝع éْěخ ÊåْطفْĖا

ĜÅÏßْĖا ñقĤ àاáْحÏْسَاĤ ÆرŀïĖا

ęيėْقÎĤ øÅÈَا فْÏĞĤرÅفْü ْْا )ġيėع قفÏĚ(

16

52

Imam Hafiz Muhammad ibn Ismȃ‟il al-Bukhȃrȋ, Al-Adab Al-Mufrad, hadis nomor 1247, h. 364.

53

Wahid Abdus Salam Bali, 474 Ibadah Salah Kaprah, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2006) h. 87-88.

54

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqah Islam, (Kelantang: Pustaka Aman Press SDN BHD 1987) cet. ke-2, h. 362.

55

Syaikh Ahmad Imad Zaki Al-Burudi, Edisi Indonesia: Tafsir Wanita, Penerjemah Samson Rahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004) cet. ke-1, h. 33.


(39)

Fitrah itu ada lima perkara: Khitan, mencukur rambut kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak (Muttafaq alaih)57

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abȗ Daud, al-Tirmidzȋ, al-Nasa‟i, Ibn Majah, Ahmad dan masih banyak lagi perawi lain, semuanya

al-Zuhri dari Sa‟id ibn Musayyab dari sahabat Abȗ Hurairah dari Rasulallah Saw. dengan beberapa lafaz yang berbeda.58 Sedangkan Malik meriwayatkannya dan

Abȗ Sa‟ad al-Maqburi dari bapaknya )Kisaan( dari Abȗ Hurairah dari Rasulallah Saw. juga dengan beberapa versi lafaz seperti terurai di bawah ini sesuai dengan perawinya.

a) Lafaz al-Bukhori :

Terdapat 3 lafaz yang diriwayatkan oleh Bukhori salah satunya yaitu:

يėعÅğث€áح Åğث€áح ĜÅيْفس ĔÅق ĨåْĢçĖا ْĝعÅğث€áح áيعس ĝْÈ Ç€يسěْĖا ْĝع يÈأ ÊåْيåĢ ًËياĤر ÊåْطفْĖا éْěخ éْěخْĤأ ْĝĚ ÊåْطفْĖا ĜÅÏßْĖا àاáْحÏْسَاĤ فْÏĞĤ ùْÈ ْْا ęيėْقÎĤ رÅفْü ْْا ñقĤ ÆرŀïĖا ) ĨرÅßÉĖا : ÆÅÏك èÅÉėĖا . ÆÅÈ ñق ÆرÅïĖا ) 19

Riwayat dari Abû Hurairah: Ada lima hal yang temasuk fitrah, yaitu: Khitan, mencukur bulu yang ada di sekitar kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, menggunting kumis.(HR.Bukhori).

56

Al-Bukhȃrȋ, al-Sahih, hadis no. 5889; Muslim, al-Sahih, h. 152-153; Abu Dȃwud, al-Sunan,

jilid 4,hadis no. 4198, h. 265; al-Tirmidzi, al-Sunan, hadis no. 2756, h.91; al-Nasa‟i, al-Sunan, hadis no. 9, 10, 11, h. 20-21.

57

Syaikh Muhammad As-Sayyid Asy-Syinnawi, Bahaya Tidak Mengkhitankan Wanita, Penerjemah Nashirul Haq, (Jakarta: Penerbit Mustaqiim, 2003) cet. ke-1, h. 80.

58

Al-Bukhȃrȋ, al-Sahih, hadis no. 5889; Muslim, al-Sahih, h. 152-153; Abu Dȃwud, al-Sunan,

jilid 4,hadis no. 4198, h. 265; al-Tirmidzi, al-Sunan, hadis no. 2756, h.91; al-Nasa‟i, al-Sunan, hadis no. 9, 10, 11, h. 20-21.

59Abi Abdillah Muhammad ibn Ismȃ‟il Al

-Bukhȃri, Al-Jamȋ‟ Al-Sahih, jilid 4, Bab Qassu


(40)

Hadis riwayat Imam Bukhari di atas mauqûf, hanya sampai perawi Abȗ Hurairah. Akan tetapi ke-mauquf-an riwayat Imam Bukhari tertutupi dengan riwayat Imam Muslim di bawah ini yang menunjukkan bahwa hadis tersebut

marfu‟.

b) Lafaz Muslim :

Åğث€áح ĝْÈåْēÈĥÈأ يÈأ ËÉْيش ĝْÈåْيĢæĤáقŀğĖاĤ åْěعĤ Æْåح ْĝعÅًعيěج ĜÅيْفس ĔÅق ĝْÈاÅğث€áحåْēÈĥÈأ ْĝعËğْييع ‚ĨåْĢçĖا ْĝع áيعس ĝْÈ Ç€يسěْĖا ْĝع يÈأ ÊåْيåĢ ْĝع ‚يɀğĖا ى€ėص €َ ġْيėع ę€ėسĤ ĔÅق ÊåْطفْĖا éْěخ éْěخْĤأ ْĝĚ ÊåْطفْĖا ĜÅÏßْĖا àاáْحÏْسَاĤ ęيėْقÎĤ فْÏĞĤرÅفْü ْْا ùÈ ْْا ñقĤ ÆرŀïĖا ( ęėسĚ : ÆÅÏك ĠرÅģطĖا . ÆÅÈ ĔÅصخ ÊåطفĖا ) 6

Riwayat dari Abu Hurairah: Ada lima hal yang temasuk fitrah, yaitu: Khitan, mencukur bulu yang ada di sekitar kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, menggunting kumis (HR.Muslim)

c) Lafaz Riwayat Al-Nasa‟i:

ْĝع يÈأ ÊåْيåĢ ْĝع ‚يɀğĖا ى€ėص €َ ġْيėع ę€ėسĤ ĔÅق : éْěخ ْĝĚ ÊåْطفْĖا ĜÅÏßْĖا ËĞÅعĖا قْėحĤ فْÏĞĤ ùÈ ْْا ęيėْقÎĤ رÅفْü ْْا ĠاĤر( ÆرÅïĖا ãخاĤ )ÀÅسğĖا

61

Hadis di atas tidak memerlukan pembahasan dari status hadis dan hukum pengamalannya, karena sudah dipastikan marfu‟ (disandarkan kepada Rasulullah Saw.), muttasil (sanadnya bersambung sampai ke Rasulullah saw.) dan sahih

(kualitas seluruh periwayat tidak bermasalah), berarti hadis tersebut maqbul (dapat diterima). Jadi Hukum hadis ini sahih mengikut kaedah ilmu hadis. Sedangkan

60

Muslim, Sahih Muslim Syarh al-nawawȋ , Bab Khamsu min al-Fitrah,) Dȃr al-Ihya li al-Turats al-„Arabi, 1972( h. 152-153

61

Al-Hafiz al-Nasȃi, Sunan al-Nasȃi, Jilid 1, Bab Kitȃb al-Taharah, hadis no. 9, 10, dan 11,


(41)

perbedaan lafaz di atas hanya mendahulukan satu jenis dari yang lainnya, tanpa ada yang terbuang atau adanya unsur tambahan. Beberapa hadis di atas adalah riwayat dengan makna. Karena itu, hal tersebut tidak mengurangi keshahihan hadis ini.

Hadis di atas dijadikan argument bahwa hukum khitan bagi perempuan itu sunnah dengan alasan bahwa khitan dalam hadis tersebut disebut bersamaan dengan amalan-amalan yang status hukumnya adalah sunnah, seperti memotong kumis, memotong kuku dan seterusnya, sehingga khitan juga dihukumi sunnah seperti amalan fitrah yang lainnya. Dan fitrah ini ada yang memaknai bahwa fitrah artinya sunnah, kebiasaan baik. Hal ini akan berarti bahwa kelima hal yang diungkapkan adalah hanya berupa kebiasaan baik yang disarankan agama. Dampaknya, hukum khitan baik untuk laki-laki dan perempuan hukumnya adalah sunnah. Dan bahwasanya bentuk (sighah)-nyapun menggunakan bentuk umum, karena itu perempuan termasuk yang diperintahkan. Alasannya fitrah atau agama dengan ajarannya, bukan hanya ditujukan kepada kaum lelaki namun juga kaum perempuan.62

3. Mubah

Menurut madzab Hanafi dan Hanbali, khitan bagi perempuan hanya merupakan suatu kehormatan atau kemuliaan.63Sehingga khitan bagi kaum

62

Ahmad Lutfi Fathullah, Fiqh Khitan Perempuan. h. 14-15.

63


(42)

perempuan hukumnya mubah (boleh).64Berikut dasar hukumnya yaitu berupa hadis Rasulallah Saw:

: Ę ð يÉğĖا ĔÅق : ĔÅق ġيÈا ĝع ËĚÅسا ĝÈا ĝع ĔÅجåėĖ Ëğس ĜÅÏßْĖا

ءÅسğėĖ ËĚåْēĚ )Ëěسا ĝع áěحا ĠاĤر(

65

Khitan adalah suatu sunnah bagi kaum pria dan suatu kemuliaan bagi kaum wanita (Riwayat Ahmad dari Usamah).66

يح€åĖا áْÉع ĝْÈ ÆŀĢĥْĖا áْÉعĤ يقْï̂áĖا ĝěْح€åĖا áْÉع ĝْÈ ĜÅěْيėس Åğث€áح Åğث€áح ĜاĤْåĚ Åğث€áح َÅق يعجْش ْْا ę

ْĞ ْْا ˀيطع ‚Ęأ ْĝع åْيěع ĝْÈ كėěْĖا áْÉع ْĝع يفĥēْĖا ÆŀĢĥْĖا áْÉع ĔÅق Ĝŀسح ĝْÈ á€ěحĚ ًÊأåْĚا €Ĝأ ˀيرÅص

ا ÅģĖ ĔÅقف ËğيáěْĖÅÈ ĝÏْßÎ ْÍĞÅك ىĖِ ÇحأĤ ÊأْåěْėĖ ىظْحأ كĖ⠀Ĝإف يēģْğÎ َ ę€ėسĤ ġْيėع €َ ى€ėص يɀğĖ

ĕْعÉْĖا 62

Ummi „Atiyyah berkata: Sesungguhnya kaum perempuan di kota Madinah dikhitan. Rasulullah saw. Bersabda kepadanya: “Jangan engkau habiskan ketika mengkhitan perempuan, karena itu akan lebih baik bagi kaum perempuan dan lebih disenangi suaminya. )HR. Abȗ Dawud)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Fath al-Bȃrȋ, “Syekh Abȗ

„Abdillah bin Hajj menjelaskan dalam kitab Al-Madkhal, bahwa para ulama berbeda pendapat dalam masalah khitan perempuan, apakah mereka berlaku umum atau dibedakan antara perempuan Timur dan Perempuan Barat. Apakah perempuan Timur dikhitan sedangkan perempuan Barat tidak, hanya karena tidak

64

Ibnu Hajar Al-Asqalani, Edisi Inodnesia:Fath al-Bȃrȋ, h. 760.

65

al-Hafiz al-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra,h. 325.

66

Syaikh Muhammad As-Sayyid Asy-Syinnawi, Bahaya Tidak Mengkhitankan Wanita,h. 49.

67Imȃm Sulaimȃn bin Asy‟ats Al

-Sijistȃnȋ, Sunan Abî Dâwûd, Kitâb al-Adâb, Bâb Mâ Jâa fî


(43)

ada daging lebih yang harus dipotong pada perempuan Barat, sedangkan perempuan Timur memilikinya.68

Muhammad Syams al-Haq al-„Azîm dalam kitab „Aun al-Ma‟bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd menjelaskan beberapa pendapat ulama khitan bagi perempuan dengan berdasarkan hadis ini: Ada perbedaan antara kaum perempuan al-Masyrîq

(wilayah Timur) dan kaum perempuan al-Maghrîb (wilayah Barat). Perempuan wilayah Barat tidak perlu dikhitan karena pada kemaluannya tidak terdapat

kelebihan yang dapat dipotong sebagaimana yang disyari‟atkan. Sedangkan perempuan wilayah Timur dapat dikhitan sebagaimana yang disyari‟atkan69. Dalam hal ini tidak ada penjelasan tentang hukum khitan perempuan. Dan bagi mereka/perempuan yang sejak lahir tidak ada daging lebih yang biasa dikhitan, maka dia tidak perlu dikhitan. Baik dia berada di daerah al-Maghrȋb atau

al-Masyrȋq.70 Namun jika mereka ingin melakukan khitan maka dibolehkan

hukumnya mubah.

Kesimpulan dari hadis di atas tidak ada indikasi hukum tentang khitan bagi kaum perempuan, karena hadis tersebut bersifat informative. Rasulullah Saw. memerintahkan kepada Ummi „Atiyah untuk hati-hati dalam melakukan khitan kepada kaum perempuan karena ada resiko yang akan ditanggung oleh kaum perempuan apabila terjadi kesalahan pada khitan.

68

Al-Hafiz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalȃnȋ, Fathal-Bȃrȋ ; Ibnu al-Haj Abu „Abdillah Muhammad bin Muhammad Al-Abdari, Al-Mudkhal )Kairo:Maktabah dȃr al-Turats,t.th); Syaikh Ahmad Imad Zaki Al-Burudi, Edisi Indonesia: Tafsir Wanita, h. 34.

69

Muhammad Syams al-Haq al-„Azîm al-Abadi, „Aun al-Ma‟bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd, Jilid XIV, h. 123.

70


(44)

Penjelasan Ummi „Atiyah menunjukkan bahwa khitan perempuan merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat Madinah, bukan perintah dari Rasulullah Saw. tidak ada penjelasan bagaimana dengan masyarakat Makkah, ketika Rasulullah Saw. masih berada di Makkah.

4. Makrumah (hanya kehormatan bagi perempuan).

Ahli fiqh kontemporer, Wahbah al-Zuhaili dari Suriah dalam Fiqh al-Islami wa Adillatuhu menyatakan bahwa khitan bagi perempuan adalah suatu kemuliaan yang jika dilaksanakan dianjurkan untuk tidak berlebihan, agar ia tidak kehilangan kenikmatan seksual.71 Beliau juga mengatakan mengenai pendapat Madzab Hanafi dan Madzab Maliki bahwasanya kedua madzab ini berpendapat sama yaitu: khitan perempuan hukumnya makrumah, sedangkan khitan laki-laki hukumnya sunnah.72

Dalam kitab al-Mughni dan Syarh al-Kabir karya al-Maqdisi ditegaskan bahwa hukum khitan wajib atas laki-laki dan makrumah bagi perempuan, tidak wajib atas mereka.73

Dalam kitab Mu‟jam al-Fiqh al-Hanbali dikatakan:

Hukum khitan wajib atas laki-laki dan makrumah bagi perempuan, tidak wajib atas mereka. Dan jika seorang tua masuk Islam kemudian dia takut jika disunat (akan membahayakan kesehatan dan jiwanya) maka dia

71

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhal-Islamȋ wa „Adillatuhu,)Damaskus: Dȃr al-Fikr,1997), h.642; Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual, h. 304.

72

Lihat. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamȋ wa „Adillatuhu, jilid 1, cet ke-4, h. 460-461; Al-Hafiz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalȃnȋ, Fath al-Bȃrȋ X, h. 280. ; Lihat juga Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukȃnȋ, Nail al-Autar, jilid 1, )Beirȗt: Dȃr al-Qalam, t.th) h. 138.

73

Lihat Ibn Qudamah, al-Mughnȋ, jilid 1,(Kairo: Maktabah al-Qȃhirah,t.th( h. 70-71; ibn Qudamah, Syarh al-Kabir, jil.1 hal. 85-86.


(45)

terlepas dari kewajiban dikhitan. Namun jika orang tua tadi percaya, maka dia harus melakukannya (dikhitan).74

Hal senada menjadi pendapat mayoritas kalangan akademisi muslim. Imam

Ahmad berkata, “Kewajiban berkhitan bagi kaum laki-laki lebih ditekankan. Karena jika seorang laki-laki tidak berkhitan, kulit yang menutupi ujung penis tersebut akan menjuntai. Dan kotoran yang ada didalamnya tidak dapat dibersihkan. Sedangkan pembersihan kulit yang berada pada bagian atas kemaluan

perempuan lebih mudah.”75

Sehingga khitan pada perempuan dianggap tidak terlalu ditekankan untuk dilaksanakan.

Dalam buku Fiqh Khitan Perempuan karya Ahmad Luthfi Fathullah dijelaskan hadis yang menyatakan bahwa khitan bagi perempuan merupakan makrumah yaitu dengan berdasar kepada hadis:76

يÉğĖا ĔÅق : ĔÅق ġيÈا ĝع ËĚÅسا ĝÈا ĝع ęėسĤ ġيėع َ ىėص

: ءÅسğėĖ ËĚåْēĚ ĔÅجåėĖ Ëğس ĜÅÏßْĖا ĠاĤر(

)Ëěسا ĝع áěحا 22

Khitan merupakan sunnah buat laki-laki dan makrumah (kemuliaan) bagi perempuan (HR.Ahmad dari Usamah).78

Namun beberapa catatan dan perincian jalur sanadnya dapat dilihat sebagai berikut. Terdapat dua jalur periwayatan hadist ini:

74Mu‟jam al

-Fiqh al-Hanbali, jil. 2, hal.296, dalam kata Khitan.

75

Ibnu Hajar al-Asqalani, Edisi Indonesia: Fathul Bari 28, h. 760. Dan Syaikh Ahmad Imad Zaki Al-Burudi, Edisi Indonesia: Tafsir Wanita, h. 33.

76

Hadis-hadis yang dijadikan referensi dalam membicarakan khitan perempuan adalah riwayat sahih Bukhȃrȋ Muslim, Sunan Abu Dawȗd, Nasȃ‟i al-Muwattȃ‟ Imam Mȃlik, Imam Nawȃwȋ.

77

al-Hafiz al-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, h. 325.

78

Ahmad ibn Hanbal, al-Musnad, hadist no.19794; al-Hafiz al-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al -Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, jil. 8, Kitab al-Asyribah, Bab Al-Sultan Yukrihu „ala al -Khitan, h. 325.


(46)

Pertama riwayat yang bermuara pada al-Hajjȃj ibn Arta‟ah,79beliau meriwayatkannya dengan tiga versi yaitu:

a) Al-Hajjȃj –dari- Abȋ Malȋh –dari- Usamah –dari- Rasulullah saw. Diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Baihaqȋ dalam al-Sunan al-Kubra.80

Åğث€áح ĝع Ęا€ĥعْĖا ĝْÈا يğْعي àŀÉع Åğث€áح جْيåس ÔŀجحْĖا

ى€ėص €يɀğĖا €ĜأģيÈأ ْĝع ËĚÅسأ ĝْÈ حيėěْĖا يÈأ ْĝع

€َ ˀğس ĜÅÏßْĖا ĔÅق ę€ėسĤ ġْيėع ءÅس‚ğėĖ ËĚåْēĚ ĔÅج‚åėĖ

)يقÅģيÉĖا Ĥ áěحا ĠاĤر(

ÅĞåÉْخأ ْĖا Æĥيأ Åğث€áح ĜاáْÉع Åğث€áح Ĝŀيح ĝْÈ á€ěحĚ ĥÈأ ÅĞåÉْخأ ġيقفْĖا ÐرÅحْĖا ĝْÈ åْēÈ ĥÈأ Åğث€áح Ĝا€æĥ

ËĚåْēع ْĝع Ĝاْجع ĝْÈ á€ěحĚ ْĝع ĜÅÈْĥث ĝْÈا Åğث€áح áيĖĥْĖا ĝْÈ áيĖĥْĖا ‚ىɀğĖا ĝع èŀÉع ĝْÈا ĝع

َ ىėص ęėسĤ ġيėع - ĔÅق ذ: ءÅس‚ğėĖ ËĚåْēĚ ĔÅج‚åėĖ ˀğس ĜÅÏßْĖا .د

)يĞاåÉø ĠاĤر( . فيعض àÅğْسِ اãĢ

81

b) Al-Hajjȃj –dari- Abi Malȋh –dari- Usamah –dari- Syidȃd ibn Aus –dari- Rasulallah Saw. diriwayatkan oleh Ibn Abȋ Syaibah dalam Musannaf Ibn Syaibah, Ibn Abȋ Hatim dalam al-I‟lal, dan Tabaranȋ dalam al-Mu‟jam al -kabir.82

-Åğث€áح ĝع ، Ęا€ĥعْĖا ĝْÈ àŀÉع Ôŀجح

ĔÅق : ĔÅق èْĤأ ĝْÈ àا€áش ĝع ، حيėěْĖا يÈأ ْĝع ، ĕجر ĝع ،

ˀğس ĜÅÏßْĖا : ęėسĤ ġيėع َ ىėص َ Ĕĥسر ءÅس‚ğėĖ ËĚåْēĚ ĔÅج‚åėĖ

. )يĞاåÉø ĠاĤر(

79

Kredibilitas al-Hajjȃj diperselisihkan ulama, banyak yang mendhaifkannya dan ada juga yang mengatakan beliau termasuk penghafal hadis, hanya saja sering sekali mentadlis. Ibn Hajar menyimpulkan pendapat ulama dengan mengatakan bahwa beliau salah seorang fuqaha, jujur, namun banyak salah dan banyak tadlis. Hal yang sedemikian juga dikatakan oleh al-Zahabi. Lihat keterangan biografi al-Hajjȃj dalam kitab-kitab dibawah ini: al-Kamil, jil.2, hal.518-527; Mizan al-I‟tidad, jil. 2, hal. 197; al-Majuruhin, jil.1, hal. 225-228; Tahzib al-Kamal,jil.5, hal.420-429;al-Kasyif, jil.1, hal.311;

Taqrib al-Tahzib, hal. 152.

80

Ahmad ibn Hanbal, al-Musnad, hadist no.19794;al-Hafiz al-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al -Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra, jil. 8, Kitab al-Asyribah, Bab Al-Sultan Yukrihu „ala al -Khitan )Makkah: Dȃr al-Bȃz, 1994(,h. 325.

81

al-Hafiz al-Jalȋl ibn Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Baihaqȋ, al-Sunan al-Kubra,h. 325

82

Al-Tabrȃnȋ, al-Mu‟jam al-Kabir, jil. 7, (Al-Mushil: Maktabah „Ulum wa al-Hikam,1983) h.


(1)

awam). Ketika ditindik akan memperlancar jalur saat hubungan suami istri dan ada hadis yang mengatakan dapat mencerahkan wajah perempuan.

3. Bagaimana pendapat anda mngenai hadis2 tentang khitan yang banyak dinyatakan dhaif?

Jawab: Hadis dhaif menjadi kuat ketika banyak diriwayatkan, dan bnyaknya versi hadis yang lain yang intinya sama maka itu saling menguatkan.

4. Apakah ibu pernah mendengar larangan khitan?

Dari yang saya tahu, khitan itu kan sebenarnya bukan ajaran agama saja namun juga adat dari ribuan tahun yang lalu hanya bentuknya banyak yang menyakitkan perempuan. Seperti bibir vagina si perempuan harus dijahit untuk dapat memberikan kepuasan pada suaminya saat berhubungan, dan itu sangatlah menyakitkan perempuan, dan itu yang menakutkan sampai ditusuk-tusuk sehingga menimbulkan firgid. Dan ketika Islam datang memberikan anjuran arahan-arahan Khitan berjalan sebagamaiman ajaran nabi Ibrahim karena nabi Ibrahim juga melakukan khitan. Hanya saja ketika itu muncul gerakan-gerakan agar umat Islam yang terserabut dari sebuah fithrah. Apa yang diambil pertama masalah pelarangan jilbab. Khitan itu adalah hal kedua yang dilakukan orang-orang barat untuk dicabut perintahnya, Itu di Mesir. Masalah pertama mengenai jilbab pertama-tama jilbab merupakan wajib, namun menjadi hanya anjuran. Ketika banyak orang-orang yang keluar masuk luar negeri orang barat meragukan kewajiban penggunaan jilbab. Dan ada seorang aktifis perempuan yang keluar negeri dan melepas jilbabnya sebagai simbol bahwa jilbab itu tidak wajib. Sehingga sekarang di Mesir tidak lagi diwajibkan berjilbab. Kemudian orang-orang barat berifikir apalagi setelah jilbab, mungkin sunnah fithroh yaitu masalah khitan perempuan. Ada suatu keluarga miskin dan mereka tidak tahu kalau dia sedang diberdayakan, didatangkan paraji bahwa dia tidak tahu cara khitan bagaimana. Lalu disorot praktek khitan yang salah jadi menggambarkan bahwa praktek khitan perempuan itu menyakitkan perempuan, sebgaimana dengan berita-berita yang telah beredar di masyarkat mengenai korban anak perempuan yang meninggal karena telah dikhitan, dan itu hanyalah rumor di Mesir yang dilakukan oleh orang-orang barat untuk menghapuskan fithrah dari thaharoh yaitu pelarangan terhadap khitan perempuan. Sehingga sejak saat itu PBB memberlakukan pelarangan praktek khitan perempuan dan melarang semua dokter untuk melakukan praktek khitan perempuan, perbuatan itu dapat dipidanakan. Sehingga banyak dokter-dokter Islam menentang itu dan mereka maju ke pengadilan. Pada tingkat pertama mereka (pemerintah) menang. Pada tingkat kedua banding Ikatan Dokter Muslim yang


(2)

menang. Pada tingkat ketiga kalah lagi. Sehingga diberlakukan pelarangan praktik khitan perempuan. Untuk saat ini saya belum tahu apakah sudah ada revolusi atas perubahan larangan itu, namun dari yang terakhir saya pulang dari Mesir masih diberlakukan larangan praktik khitan perempuan. Sehingga apabila ingin melakukan khitan perempuan kecuali dilakukan dengan cara ngumpet-ngumpet (diam2), jadi praktek ilegal dan itu lebih bahaya. Di Indonesia juga diberlakukan larangan praktik khitan perempuan, namun masyarakat belum banyak yang tahu sehingga masih tetap melakukan khitan perempuan. Dan bahaya itu karena dokter tidak mau melakukan dan mereka melakukan khitan pada orang yang tidak begitu memahami cara khitan jadi lebih baik ke dokter. Sehingga larangan itu kembali dicabut pada (masyarakat Indonesia). Dan sekarang justru orang-orang yahudi laki-laki, perempuan itu dikhitan.

5. Larangan fatwa MUI dimesir mengenai khitan perempuan?

Jawab: Ini merupakan ijtihad pribadi, dia melihat bahwa tidak ada nash yang mewajibkan orang berkhitan, kecuali nash tadi yang digunakan oleh madzab imam Syafi’i. Dan selama masih ada perebadan ulama maka itu merupakan masalah ijtihadiyah, yang mana setiap orang boleh melakukan ijtihad, dan beliau melihat bahwa lebih maslahat tidak mengkhitan perempuan, alasannya lagi-lagi itu asumsi yang dibuat oleh masyarakat internsional bahwa itu menyakiti perempuan. Ketika ada unsur menyakiti itu akhirnya ditutup jalan itu. Alasan kedua selain masalah ijtihad sepihak namun ketika itu beliau posisinya sebagai ketua MUI , maka ia juga harus selaras dengan kebijakan pemerintah dan pemerintah sudah melarang, maka perlu juga ada legalitas agama. Dan mungkin beliau “al khuruj min al-khilaf” keluar dari perselisihan karena kan rame disana (Mesir) dan itu merupakan masalah yang begitu prinsipil dari pada nanti mengacak-acak persatuan umat Islam maka dibuat satu pendapat saja dengan pemerintah.

6. Dampak negatif khitan perempuan?

Jawab: Saya sih belum pernah dengar tentang dampak negatif itu, kalaupun ada itu justru baca dari brita-berita yang kejadiannya jauh dari daerah kita dari keluarga kita, mungkin di brita diberitakan perempuan menjadi frigiditas, itu karena kesalahan dari cara khitan. Kalau sepanjang ini sih tidak pernah menemukan.


(3)

Pertama untuk kesehatan pastinya untuk kesehatan. Untuk kepentingan ibadah maka sepatutnya kita membersihkan anggota badan kita, karena disitu menjamin diterima atau tidaknya ibadah kita. Itu yang palling penting. Yang kedua karena percaya dengan hadis Rasul tadi (khitan itu dapat mencerahkan wajah dan menyenangkan suami) apabila meyakini itu. Dan apabila ada dua hikmah itu mengapa kita melakukan kan? Itu saja sudah sangat baik buat perempuan. Yang dicari apa sih dari seorang perempuan yaitu menyenangkan suami.

7. Adakah dampak negatif apabilah perempuan tidak dikhitan?

Jawab: Saya pernah mengikuti sebuah perkuliahan di Mesir. Seorang syaikh disana

mengatakan bahwa “perempuan tidak dikhitan itu tidak dapat menjaga syahwatnya”

sehingga ada hadis yang mengatakan khitan perempuan itu untuk menjaga kehormatan perempuan. Jadi kelihatnnya perempuan itu lebih cuek, jadi khitann merupakan untuk menjaga diri (menjaga iffah). Maka beliau juga mengatakan khitan perempuan itu tidak dengan dokter namun dengan tabib agama. Meskipun ada permepuan yang tidak dikhitan itu bisa menjaga iffah itu alhamdulillah, tapi kita diperintahkan secara umum bahwa untuk menjaga diri perempuan salah satu caranya yaitu dengan dikhitan. Seandainya ada orang yang tidak dikhitan bisa menjaga diri itu alhamdulillah namun kita kan tidak tahu, anak perempuan kita kan masih kecil, kita berusaha mendidik dia, kita mendidik secara teori tapi tetap ajaran2 rasul yang bersifat sunnah seperti khitan perempuan tadi. Banyak positifnya apabila melakukan itu.

8. Perlukah sosialisasi ajaran khitan perempuan kepada masyarakat, karena yang saya ketahui banyak masyarakat yang mengetahui bahwa khitan perempuan itu hanya tradisi.?

Jawab: Larangan khitan itu masih baru dicabutnya di Indonesia, dan masih jarang tokoh2 agama yang mengangkat itu. Maka ketika diangkatlah ceramah sosialisasi merupakan kesempatan bagi tokoh agama, mahasiswa ketika KKN, pengajian2, itu merupakan kesempatan untuk mengkomunikasikan hukum khitan perempuan. Jadi tidak hanya paham sekedar ikut2an. Dan selama masih ada yang mengatakan tidak wajib, maka bagi yang tidak melakukan itu tidak berdosa. Hanya saja ketika kita melakukan bukan karena dosa ataupun pahala, namun lebih ke sehat mana (manfaat/faidah) bukan kepada kependekatan dosa pahala.

9. Masyarakat ada yg brpendapat untuk mengislamkan, bagaimana pendapat ibu? Syarat Islam itu sendiri apa?


(4)

Jawab: Kalau orang mau masuk Islam atau orang sudah masuk Islam, misal (muallaf). Itu kan dengan khitan bagi laki-laki itu harus wajib dan mungkin itu juga yang terjadi pada pemahaman masyarakat itu bahwa perempuan itu harus dikhitan baru dia jadi Islam. Tadi saya katakan bahwa ketika khitan perempuan msih khilafiyah ya msh perbedaan pendapat maka tidak terkait dnegan dosa dan pahala. Juga tidak terkait dengan agama tentunya. Kalau kita katakan untuk mengislmakan maka berarti perempuan itu tidak dikhitan maka tidak Islam dong, padahal tidak begitu kedudukannya. Nah jadi mungkin saya memahami msyarakat ini mengqiyaskan dengan laki-laki. Syarat orang isalm itu apa sih? Ya mengucap syahadat setelah itu memang harus ibadah, ketika beribadah itu dia harus thaharah, nah ketika harus thaharah itulah baru khitan itu muncul. Karena bagi orang laki-laki sangat menonjol ketika thaharah atau tidaknya ketika dikhitan itu. Jaid larinya kesitu bukan khitan menjadi sayrat islam tapi menjadi sayrat kesucian ibadah itu.

10.Lalu bagaimana dengan bayi yang lahir dari orang tua muslim maka sudah pasti muslim?

Jawab: Iya, kita lahir dari keluarga muslim tidak menunggu mengucap syahadat, ya kita lahir maka sudah Islam


(5)

Wawancara pribadi dengan ahli medis. Nama : Evi Mey, AMKeb Tempat : Puskesmas Karawang

1. Sejauh mana praktik khitan perempuan masih berlangsung di masyarkat karawang?

Jawab: Ga, ga semua ya, ga semua masyarakat tu mau mengkhitankan anaknya, jd kita ksh pngertian, klo khitan itu maksudnya sepeerti apa, membersihkan ya, lalu kita kembalikan lagi ke ibunya terutama. Ada yang mau ada yang tidak. Untuk sekarang ini penduduk masyarakat karawang itu masih banyak, ada lah masih banyak sih tidak, tapi masih ada yang membawa bayinya kesini untuk dikhitan. Lalu kita jelasin ya khitan ini untuk membersihkan tidak ada apa-apanya.

2. Alasan masyarakat lebih memilih datang kepada ahli medis dari pada dukun paraji?

Jawab: Pertama, karena dukun paraji sudah tidak ada, sudah hampir tidak banyak seperti dulu dan mungkin mulut ke mulut ada tetangganya yg di puskesmas ni bisa, jadi dia dateng kesini gitu..

3. Bagaimana cara dan metode khitan yang biasa ahli medis lakukan?

Jawab: Kalo disini kita sih membersihkan dg kpas dtt ya disela-sela itu ya labia mayor sama labia minornya itu kita bersihkan dulu, seperti itu.

4. Kmren saya udah mlakukan wawancara dengan beberapa warga trutama ibu-ibu mereka mngatakan bahwasanya membuang yang putih-putihnya di ujung kelentitnya?

Jawab: Ga semua di ujung itu ada putihnya. Jadi ga semua keadaan bayi ada putih-putihnya. Karena putih-putihnya itu ada di labianya itu. Karen mereka masih pake bedak klo habis pipis dibedakin, itu yang kita bersihin. Jadi untuk menggunting atau ini ga.

5. Kmudian dalam kurikulum bidan sendiri ada ga sih tentang khitan perempuan diajarkan ga?


(6)

6. Tujuan dari khitan perempuan itu sendri itu apa?

Jawab: Tujuan dari khitan, khitan itu membersihkan sama halnya dengan laki-laki, semua sama khitan itu kan mungkin ya saya ga terlalu banyak ini hfl arabnya, yang penting intinya membersihkan saja, sama halnya laki-laki kan membersihkan kulitnya dibuka. Jadi hanya membersihkan saja sih, intinya. Jadi ga ada yang namanya memotong sedikitpun dari klitoris itu, ga ada.

7. Bagamana pendapat anda mengenai manfaat dari khitan perempuan, sebelumnya manfaat khitan perempuan dari sisi medis itu ada ga sih?

Jawab: Ada, untuk kebersihan, jadi klo kita tidak khitan itu kadang dilabia itu numpuk kotoran, itu yang bisa infeksi kan nanti akhirnya masuk ke vagina. Kita mengajarkan kebersihan aja kepada masyarakat.

8. Bagamana Pendapat anda mengenai mitos bahwasanya khitan perempuan itu dapat mengendalikan libido perempuan, apakah itu benar dan ada hubungnnya dengan penguranga libido perempuan ?

Jawab: Kalo itu sih belum ada penelitian tentang itu, kalo itu sih saya belum bisa jawab, klo masalah pengurangan, perlu ada penelitian satu orang yang disunat dengan yang ini tidak disunat. Jadi sama aja lah ga ada perbedaan. Memang itu kan disitukan pusat syaraf.

9. Ada juga yang mngatakan brmanfaat saat berhubungan nanti saat si perempuan itu dewasa, dapat mngendalikn libido!

Jawab: Kalo masalah itu ya, hanya mitos aja waktu saya belajar waktu itu intinya prilaku seksual tidak ada ininya tergntung kitanya aja?

10. Adakah dampak negatif dari khitan perempuan?

Jawab: Kalo berlebeihan ada dampak negatif mungkin ada ya, yang digunting itu ya, tapi kalo misalkan yang selama ini standar-satndar aja ga masalah.