Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Adopsi Pupuk Bioorganik.

A. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Adopsi Pupuk Bioorganik.

Pupuk bioorganik merupakan suatu inovasi baru yang perlu dikaji adopsinya oleh petani di Kecamatan Pracimantoro. Adopsi pupuk bioorganik tentunya berhubungan dengan berbagai faktor. Faktor-faktor yang berhubungan dengan adopsi pupuk bioorganik dalam penelitian ini meliputi umur, pendidikan formal, pendidikan nonformal, pendapatan, luas penguasaan lahan serta sifat dari inovasi tersebut. Faktor-faktor yang berhubungan dengan adopsi pupuk bioorganik sebagaimana dapat dilihat dari pembahasan berikut.

1. Umur Umur responden merupakan lama responden hidup hingga penelitian dilakukan. Umur kadang menjadi ukuran kedewasaan seseorang dalam mengambil suatu keputusan, meskipun tidak selamanya demikian. Gambaran mengenai keadaan umur petani di wilayah penelitian Kecamatan Pracimantoro sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5.1 Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur

Umur (tahun)

Skor

Jumlah (orang)

40 100,0 Sumber : Analisis Data Primer Berdasarkan tabel 5.1 mengenai distribusi umur, dapat diketahui bahwa petani terbanyak pada kategori umur 40-49 tahun yaitu sebanyak 16 orang atau 40 persen dari total jumlah responden. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani termasuk dalam kategori usia muda. Petani yang tergolong dalam usia muda biasanya masih aktif dalam melakukan

commit to user

cenderung lebih mudah dalam menerima inovasi. Sesuai dengan pernyataan Soekartawi (1988), semakin muda umur petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum berpengalaman dalam soal adosi inovasi tersebut. Hal ini sejalan dengan pernyataan Lionberger (1960) dalam Mardikanto (2007) yang menyatakan semakin tua (diatas 50 tahun), biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat setempat.

Berdasarkan analisis dari lapang, petani di Kecamatan Pracimantoro kebanyakan tergolong dalam usia muda yaitu antara 40-49 tahun. Petani ini mau mengadopsi pupuk bioorganik lebih cepat dibanding petani yang tergolong kategori tua (>50 tahun). Petani muda ini nampaknya sadar akan kerusakan yang terjadi oleh penggunaan pupuk kimia. Oleh karena itu petani muda mempunyai kesadaran untuk memperbaiki kerusakan tersebut agar nantinya lahan usahatani mereka bisa menghasilkan hasil usahatani yang baik tanpa merusak lingkungan. Berbeda dengan petani yang tergolong dalam usia tua (>50 tahun), ada beberapa dari meraka yang cepat mengadopsi pupuk bioorganik karena kesadarannya untuk memperbaiki kerusakan tanah. Akan tetapi kebanyakan dari mereka hanya bertujuan untuk selalu meningkatkan hasil panen dengan selalu menggunakan pupuk kimia dalam usahataninya yang sudah dilakukan turun temurun dari masyarakat setempat, sehingga sulit untuk menerima suatu inovasi karena takut gagal.

2. Pendidikan Formal Pendidikan formal merupakan tingkat pendidikan formal yang pernah ditempuh responden pada bangku terakhir sekolah atau lembaga pendidikan formal. Pendidikan akan berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi. Seseorang yang berpendidikan tinggi akan cenderung

commit to user

pendidikan formal petani di Kecamatan Pracimantoro sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5.2

Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal Tingkat Pendidikan

Skor

Jumlah (orang) Presentase (%) Tidak sekolah

1 5 12,5 Tidak/tamat SD

2 12 30,0 Tidak/tamat SMP

3 7 17,5 Tidak/tamat SMA

4 14 35,0 Tamat D3/sarjana

5 2 5,0 Jumlah

40 100,0 Sumber: Analisis Data Primer

Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa sebagian besar petani berpendidikan tidak tamat/tamat SMA yaitu sebanyak 14 orang atau 35,00 persen dari jumlah responden. Kemudian tingkat pendidikan formal tidak/tamat SD sebanyak 12 orang atau 30,00 persen, tidak/tamat SMP sebanyak 7 orang atau 17,50 persen , tidak bersekolah sebanyak 5 orang atau 12,50 persen dan sisanya 5,00 persen atau sebanyak 2 orang adalah lulusan D3/sarjana. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa petani yang mencapai pendidikan formal tamat SMA lebih banyak. Hal ini berarti petani di Kecamatan Pracimantoro sudah mulai sadar akan arti pentingnya pendidikan.

Menurut Soekartawi (1988) yaitu mereka yang berpendidikan tinggi akan relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi. Begitu pula sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah, agak sulit melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat. Ditambah pernyataan Hanafi (1987), dari segi pendidikan ciri-ciri bagi adopter yang lebih inovatif, yaitu lebih berpendidikan, termasuk lebih menguasai kemampuan baca tulis. Orang yang cepat berhenti dari penggunaan inovasi itu pendidikannya kurang, status sosialnya rendah, kurang berhubungan dengan agen pembaharu.

commit to user

Pracimantoro akan mempengaruhi cepat tidaknya adopsi pupuk bioorganik. Pendidikan formal petani akan mempengaruhi pola pikir terhadap pengelolaan usahatanimya dan permasalahan yang dihadapi. Selain itu petani yang berpendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan yang lebih luas sehingga sehingga lebih cepat mengambil keputusan untuk mengadospi inovasi baru.

3. Pendidikan Nonformal Pendidikan nonformal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendidikan yang diperoleh petani di luar pendidikan formal. Pendidikan nonformal di sini adalah pendidikan yang sasaran utamanya adalah orang dewasa (baik dewasa dalam arti biologis maupun psikologis), memiliki program yang terencana, dapat dilakukan dimana saja, tidak terikat waktu serta disesuaikan dengan kebutuhan sasaran peserta didik. Sehubungan dengan hal ini, maka pendidikan nonformal diasumsikan sebagai penyuluhan yang pernah diikuti oleh petani.

Pendidikan nonformal yang diukur dalam penelitian ini adalah banyaknya kegiatan penyuluhan yang pernah diikuti oleh petani dalam kurun waktu satu musim tanam. Gambaran mengenai pendidikan non formal petani sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5.3. Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Nonformal

Pendidikan Nonformal

Skor

Jumlah (orang)

Presentase (%) Tidak pernah

1 2 5,00 1-2 kali

2 3 7,50 3-4 kali

3 3 7,50 5-6 kali

4 19 47,50 > 6 kali

5 13 32,50 Jumlah

40 100,00 Sumber: Analisis Data Primer

Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan nonformal petani di Kecamatan Pracimantoro termasuk dalam kategori

commit to user

kegiatan penyuluhan. Kegiatan penyuluhan yang diadakan berupa kunjungan oleh penyuluh, sarasehan oleh penyuluh di lahan usahatani dan juga penyuluhan dalam pertemuan kelompok tani. Pada musim tanam ini sebagian besar petani mengikuti penyuluhan seputar pola tanam, sistem tanam, pengobatan, pemupukan serta sosialisasi pertanian organik. Untuk penyuluhan tentang penggunaan pupuk bioorganik biasanya disipkan pada setiap kegiatan penyuluhan yaitu dengan menganjurkan kepada petani untuk selalu menggunakan pupuk bioorganik.

Menurut Kartasapoetra (1991), penyuluhan termasuk suatu sistem pendidikan yang bersifat nonformal atau suatu sistem pendidikan diluar sistem sekolah yang biasa, dimana orang ditunjukkan cara-cara mencapai sesuatu dengan memuaskan dan mengerjakannya sendiri. Jadi dalam pendidikan nonformal, pelajar dituntut untuk kreatif dan mandiri.

Penyuluhan sering dilakukan pada awal musim tanam, biasanya petani mengikuti lebih dari 5 kali penyuluhan. Hal ini menunjukkan bahwa minat petani terhadap kegiatan penyuluhan masih cukup besar, karena melalui kegiatan penyuluhan yang diadakan oleh pihak penyelenggara dirasakan dapat menambah pengetahuan, membuka wawasan serta dapat digunakan sebagai ajang untuk mempererat kekerabatan petani-petani khususnya petani di Kecamatan Pracimantoro. Peran aktif petani dalam kegiatan penyuluhan menunjukkan bahwa kemauan petani untuk menambah pengetahuan, ketrampilan, serta menerima inovasi dalam mengelola usahataninya masih cukup besar. Keaktifan petani terbentuk karena motivasi petani untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan keluarganya cukup tinggi.

4. Luas Usahatani Luas usahatani mempengaruhi tingkat pendapatan petani dan akan mempengaruhi status sosial ekonomi dari petani tersebut. Petani yang memiliki lahan yang luas biasanya status sosial ekonominya tinggi

commit to user

lahan akan berpengaruh terhadap adopsi inovasi. Hal ini disebabkan karena luas penguasaan lahan akan mempengaruhi banyaknya pendapatan yang diterima oleh petani. Semakin luas penguasaan lahan yang digunakan untuk kegiatan usahatani maka akan semakin tinggi pula hasil produksinya. Hernanto (1993) menyebutkan, luas lahan usahatani menetukan pendapatan, taraf hidup dan derajat kesejahteraan rumah tangga tani. Hal tersebut tentunya akan turut meningkatkan pendapatan usahatani sehingga meningkatkan adopsi terhadap suatu inovasi.

Adapun yang dimaksud dengan luas usahatani dalam penelitian ini adalah ukuran luas lahan pertanian yang dikuasai responden baik milik sendiri maupun menyewa. Gambaran mengenai luas usahatani petani sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5.4.

Tabel 5.4 Luas Penguasaan Lahan Responden Luas Usahatani (ha)

Skor

Jumlah (orang) Presentase (%)

40 100,0 Sumber: Analisis Data Primer

Berdasarkan tabel 5.4 dapat disimpulkan bahwa luas usahatani di Kecamatan Pracimantoro termasuk dalam kategori cukup luas. Luas penguasaan lahan yang dikelola petani ini meliputi sawah, pekarangan dan tegal. Menurut Mardikanto (1996), luas usahatani mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi. Biasanya semakin luas usahatani yang dikelola petani, maka semakin cepat mengadopsi inovasi. Hal ini karena petani mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih baik.

Berdasarkan tabel 5.4, sebagian besar responden mempunyai lahan yang cukup luas. Dengan kepemilikan lahan usahatani yang cukup luas petani biasanya lebih cepat dalam menerima inovasi baru. Petani yang

commit to user

lahannya tanpa takut gagal karena masih memiliki sebagian besar luas lahannya yang tidak dicobakan terhadap suatu inovasi. Berbeda dengan petani yang mempunyai lahan yang sempit, pada umumnya petani yang memiliki lahan sempit cenderung tidak berani mencoba suatu inovasi karena takut gagal.

5. Pendapatan Secara umum pendapatan akan mempengaruhi terhadap kemampuan individu dalam mengadopsi suatu inovasi. Hal ini dikarenakan dalam mengadopsi suatu inovasi selain memerlukan pendidikan dan ketrampilan juga memerlukan biaya. Pendapatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendapatan dari kegiatan usahatani dan luar usahatani per satu musim tanam. Pendapatan usahatani diperoleh dari total penerimaan usahatani dikurangi biaya usahatani. Petani dengan pendapatan yang tinggi akan cenderung lebih cepat untuk menerima dan menerapkan suatu inovasi karena petani dengan pendapatan tinggi cenderung mempunyai kemampuan untuk mendapatkan sebuah inovasi. Gambaran mengenai pendapatan petani di Kecamatan Pracimantoro sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5.5. Tabel 5.5 Distribusi Petani Menurut Pendapatan dari Usahatani dan Non

Usahatani Selama Satu Musim Tanam Pendapatan (Rp/MT)

Skor

Jumlah (orang) Prosentase (%) 300.000-620.000

40 100,0 Sumber : Analisis Data Primer

Hasil analisis tabel 5.5 dapat menggambarkan pendapatan responden. sebagian besar petani memiliki pendapatan dengan kategori tinggi berjumlah 25 responden dengan persentase 62,5 persen dengan pendapatan kisaran antara Rp. 1.260.001-Rp. 1.580.000 per satu musim

commit to user

pendapatan yang semakin tinggi biasanya akan semakin cepat mengadopsi inovasi.

Pendapatan terendah petani adalah Rp. 300.000,_/musim tanam sedangkan pendapatan tertinggi petani adalah Rp. 1.900.000,-/musim tanam. Petani yang mempunyai pendapatan terendah umumnya adalah petani yang memiliki lahan yang sangat sempit sehingga hasil usahataninya pun sedikit. Adapun penyebab lainnya adalah biaya usahatani yang dikeluarkan lebih besar. Faktor alam juga menentukan pendapatan petani misalnya gagal panen karena kekeringan serta kondisi tanah yang berkapur, sehingga petani lebih memilih memanen tanaman lebih awal untuk dijadikan pakan ternak. Petani yang pendapatannya lebih tinggi biasanya adalah petani yang memiliki lahan lebih luas serta mempunyai pekerjaan sampingan baik dari sektor pertanian maupun nonpertanian.

Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa pendapatan petani per musim tanam adalah sebanyak 1.260.001-1.580.000 yaitu sebanyak 25 orang atau 62,5 persen dari jumlah seluruh pendapatan petani. Hal ini dikarenakan sebagian besar petani memiliki luas lahan yang hampir sama serta komoditas yang ditanampun juga sama setiap musimnya. Komoditas yang paling banyak di tanam di daerah penelitian adalah palawija terutama jagung dan ketela pohon.

Pendapatan petani pada penelitian kali ini merupakan pendapatan yang diperoleh dari penghasilan kegiatan on farm dan kegiatan off farm. Petani kadang harus bekerja di luar sektor pertanian yaitu seperti berdagang, PNS dan wiraswasta untuk mencukupi kebutuhan hidupnya karena penghasilan dari sektor pertanian tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga petani. Selain penghasilan dari sektor pertanian kurang mencukupi kebutuhan petani yang menyebabkan petani bekerja di luar sektor pertanian disebabkan penghasilan dari sektor pertanian dipengaruhi oleh faktor alam yang penuh dengan ketidakpastian dan tidak

commit to user

responden yang diperoleh dari hasil usahatani dan non usahatani dalam satu musim tanam dapat dilihat pada tabel 5.6. Tabel 5.6. Distribusi Rata-rata Responden Menurut Pendapatan dari

Usahatani dan Non Usahatani Selama Satu Musim Tanam Sumber Pendapatan

Rata-Rata

(Rp)

Prosentase (%) 1. Non usahatani

(Warung, Dagang di pasar, Buruh bangunan)

69,1% Total pendapatan

Rp 2.019.625

100,00 Sumber : Analisis Data Primer Tahun 2010

Berdasarkan tabel 5.6 menunjukkan bahwa pendapatan petani sebanyak 69,1 persen diperoleh dari pendapatan usahatani, dan pendapatan non usahatani sebesar 30,9 persen. Petani bekerja di luar kegiatan non usahatani untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan rumah tangganya. Mereka bekerja apa saja selama pekerjaan itu halal dan tidak melanggar peraturan. Kegiatan non usahatani dilakukan terutama pada saat musim kemarau dimana kegiatan non usahatani relatif sedikit memberikan penghasilan kepada petani. Pekerjaan yang dilakukan oleh petani diantaranya sebagai pedagang baik yang berbasis pada dagangan hasil bumi pertanian ataupun dagangan selain dari hasil bumi, ataupun sebagai buruh bangunan.

6. Persepsi terhadap Sifat Inovasi Suatu inovasi pasti memiliki sifat-sifat yang melekat dalam inovasi tersebut. Demikian juga dengan pupuk bioorganik yang merupakan suatu inovasi bagi petani di Kecamatan Pracimantoro juga memiliki sifat-sifat yang melekat pada inovasi tersebut. Sifat inovasi dalam penelitian ini diukur dengan persepsi petani terhadap sifat inovasi pupuk bioorganik. Gambaran mengenai persepsi petani terhadap inovasi pupuk bioorganik sebagaimana dilihat dalam tabel 5.7

commit to user

Kategori

Frekuensi (orang)

Presentase (%) Sangat rendah

18 45 Sangat tinggi

12 30 Total

40 100 Sumber: Analisis Data Primer

Berdasarkan tabel 5.7 dapat diketahui bahwa sebanyak 18 petani atau sebesar 45 persen menilai bahwa sifat inovasi pupuk bioorganik masuk dalam kategori tinggi. Hal ini berarti sifat inovasi yang terdapat pada pupuk bioorganik menurut penilaian atau persepi petani cenderung tinggi atau baik.

Sifat inovasi itu sendiri bisa ditinjau dari lima hal, yaitu keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, ketercobaan, dan keteramatan terhadap inovasi dalam hal ini berupa pupuk bioorganik. Kelima komponen tersebut dapat diketahui melalui penilaian atau persepsi responden terhadap pupuk bioorganik. Gambaran mengenai persepsi petani terhadap sifat inovasi pupuk bioorganik dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Persepsi Terhadap Keuntungan Relatif Suatu inovasi akan mudah diadopsi apabila menguntungkan bagi calon adopternya. Begitu juga dengan pupuk bioorganik yang merupakan sebuah inovasi tentunya akan lebih mudah diadopsi apabila dapat memberikan keuntungan bagi calon adopternya. Keuntungan relatif pupuk bioorganik dapat dilihat melalui persepsi petani terhadap pupuk bioorganik yang terdiri dari keuntungan dari segi teknis dan ekonomis. Keuntungan dari segi teknis berupa kemudahan dalam penggunaan atau aplikasi dari pupuk bioorganik tersebut. Secara ekonomi, pupuk bioorganik memberi keuntungan karena biaya yang lebih murah dan bisa digunakan untuk lahan yang luas. Gambaran

commit to user

dilihat pada tabel 5.8

Tabel 5.8 Persepsi Petani Terhadap Keuntungan Relatif

Kriteria

Frekuensi (orang) Presentase (%)

Sangat rendah

Sangat tinggi

3 7,5

Jumlah

40 100,0 Sumber: Analisis Data Primer

Berdasarkan Tabel 5.7 dapat diketahui bahwa persepsi petani terhadap keuntungan relatif pada pupuk bioorganik tergolong sedang dan cenderung tinggi dengan frekuensi sebanyak 15 petani atau 37,5 persen. Terdapat 11 petani atau 27,5 persen yang memberikan persepsi baik (tinggi) terhadap keuntungan relatif pupuk bioorganik, 3 petani atau 7,5 persen memberikan persepsi sangat baik (sangat tinggi), 9 petani atau 922,5 persen memberikan persepsi tidak baik (rendah) dan sisanya sebanyak 2 petani atau 5,0 persen memberikan persepsi sangat tidak baik (sangat rendah) terhadap inovasi pupuk bioorganik.

Sebanyak 37,5 persen petani menilai sedang atau ragu-ragu tehadap keuntungan relatif pupuk bioorganik karena pupuk bioorganik dianggap kurang meningkatkan hasil dari usahatani mereka, sehingga pupuk bioorganik dianggap kurang memberikan keuntungan bagi petani baik secara teknis maupun ekonomis. Secara teknis sebagian besar responden menilai bahwa pupuk bioorganik dalam penggunaanya harus cukup teliti dalam hal penyemprotan dan tidak seperti pupuk kimia yang hanya cukup disebarkan ke lahan saja.

Secara ekonomis biaya pembelian pupuk bioorganik dirasa lebih murah dibandingan pupuk kimia. Akan tetapi masih banyak petani yang masih menggunakan pupuk kimia bersamaan dengan

commit to user

usahatani sehingga keuntungan akan berkurang.

b. Persepsi Petani Terhadap Kesesuaian Kesesuaian inovasi berupa persepsi petani terhadap kesesuaian inovasi pupuk bioorganik dengan kebutuhan petani, keadaan lingkungan, kondisi tanah dan sesuai dengan kemampuan ekonomi petani. Gambaran mengenai kesesuaian pupuk bioorganik sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5.9

Tabel 5.9 Persepsi Petani Terhadap Kesesuaian Pupuk Bioorganik

Kriteria

Frekuensi (orang) Presentase (%)

Sangat rendah

Sangat tinggi

17 42,5

Jumlah

40 100,0 Sumber: Analisis Data Primer Berdasarkan Tabel 5.9 dapat diketahui bahwa sebanyak 17 petani atau 42,5 persen menilai sifat inovasi yang berupa kesesuaian pupuk bioorganik sangat baik (sangat tinggi). Sebanyak 13 petani atau 32,5 persen menilai baik (tinggi). Sebanyak 4 petani atau 10,0 persen menilai tidak baik (rendah) dan sebanyak masing-masing 3 petani atau 7,5 persen menilai sifat inovasi yeng berupa kesesuaian dengan ragu- ragu (sedang) dan sangat tidak baik (sangat rendah).

Sebanyak 42,5 persen petani menilai inovasi pupuk bioorganik memiliki kesesuaian yang sangat baik (sangat tinggi) karena inovasi tersebut sesuai dengan kebutuhan petani, kondisi tanah dan lingkungan maupun kemampuan ekonomi petani itu sendiri. Kesesuaian dengan kebutuhan petani yaitu inovasi pupuk bioorganik ada pada saat petani membutuhkan inovasi tersebut. Kesesuaian dengan kondisi lingkungan yaitu penggunaan pupuk kimia dirasa sudah merusak kondisi tanah lahan pertanian. Pertumbuhan tanaman memerlukan hara yang cukup

commit to user

dapat bermanfaat untuk mengembalikan kesuburan tanah dan terdapat hormon pertumbuhan untuk tanaman. Oleh karena itu keberadaan pupuk bioorganik sangat sesuai dengan kondisi tanah di Kecamatan Pracimantoro yang sudah mulai tidak subur karena penggunaan pupuk kimia yang berlebihan.

c. Persepsi Petani Terhadap Kerumitan Kerumitan suatu inovasi dapat mempengaruhi seseorang dalam adopsi inovasinya. Kerumitan pupuk bioorganik dapat dilihat melalui persepsi petani terhadap kemudahan cara penggunaan pupuk bioorganik. Gambaran mengenai tingkat kerumitan pupuk bioorganik sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5.10.

Tabel 5.10 Persepsi Petani Terhadap Kerumitan Pupuk Bioorganik

Kriteria

Frekuensi (orang) Presentase (%)

Sangat rendah

Sangat tinggi

3 7,5

40 100,0 Sumber: Analisis Data Primer

Berdasarkan tebel 5.10 dapat diketahui bahwa sebanyak 21 petani atau 52,5 persen menilai inovasi pupuk bioorganik mempunyai tingkat kerumitan yang rendah. Sebanyak 16 petani atau 40,0 persen menilai inovasi pupuk bioorganik mempunyai tingkat kerumitan yang tinggi dan sebanyak 3 petani atau 7,0 persen menilai inovasi pupuk bioorganik mempunyai tingkat kerumitan yang sangat rendah.

Sebanyak 52,2 persen petani menilai tingkat kerumitan pupuk bioorganik baik karena cara penggunaan pupuk bioorganik dirasakan lebih mudah bila dibandingkan dengan pupuk kimia. Cara penggunaan pupuk bioorganik sudah tertera dalam kemasan pupuk itu sendiri. Cara penggunaannya hanya cukup dengan menambahkan beberapa mili

commit to user

dengan satu tangki air. Dengan takaran yang sudah tersedia (tutup botol) akan mempermudah petani dalam mengira-ngira pupuk bioorganik yang akan digunakan.

Sebanyak 40,0 persen petani menilai tingkat kerumitan pupuk bioorganik tinggi karena petani menganggap bahwa cara penggunaan pupuk bioorganik membutuhkan ketelitian. Aplikasinya dirasa kurang simpel karena harus disemprotkan ke lahan dan juga pada bagian tanaman sehingga petani tidak sabar dalam pengaplikasian pupuk bioorganik ini. Sebanyak 7,5 persen petani menilai tingkat kerumitan pupuk bioorganik sangat rendah. Hal ini dikarenakan cara penggunaan pupuk bioorganik yang sangat mudah, cukup membaca rekomendasi yaitu mencampurkan beberapa mili pupuk bioorganik dengan satu tangki air yang takarannya sudah ditentukan.

d. Persepsi Petani Terhadap Ketercobaan Pada umumnya pengetahuan petani tentang inovasi tertentu tidaklah tinggi. Hal tersebut berkaitan dengan keterbatasan sumberdaya petani. Oleh karena itu, suatu inovasi yang mempunyai ketercobaan yang tinggi akan cenderung lebih cepat diadopsi. Sebelum suatu inovasi diadopsi oleh petani hendaknya suatu inovasi dapat dicobakan dalam skala yang lebih kecil. Petani juga akan lebih percaya pada suatu inovasi ketika suatu inovasi dapat dicoba atau mungkin telah dicoba oleh petani lain dan memiliki tingkat keberhasilan. Ketercobaan pupuk bioorganik disini dapat dilihat dengan persepsi petani terhadap penerapan pupuk bioorganik pada lahan. Gambaran mengenai persepsi petani terhadap ketercobaan pupuk bioorganik sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5.11.

commit to user

Kriteria

Frekuensi (orang) Presentase (%)

Sangat rendah

Sangat tinggi

16 40,0

Jumlah

40 100,0 Sumber: Analisis Data Primer

Berdasarkan tabel 5.11 dapat diketahui bahwa sebanyak 16 petani atau 40,0 persen menilai sangat baik (sangat tinggi) terhadap ketercobaan pupuk bioorganik. Sebanyak 14 petani atau 35,0 persen petani menilai baik (tinggi) terhadap ketercobaan pupuk bioorganik. Sebanyak 8 petani atau 20,0 persen menilai ragu-ragu (sedang) terhadap ketercobaan pupuk bioorganik dan sisanya yaitu sebanyak 2 petani atau 5,0 persen menilai sangat tidak baik (sangat rendah) terhadap ketercobaan pupuk bioorganik.

Sebanyak 40,0 persen petani menilai sangat baik (sangat tinggi) terhadap ketercobaan pupuk bioorganik karena petani menilai inovasi pupuk bioorganik dapat dicoba sebelum benar-benar diadopsi. Petani dapat membuat campuran pupuk dengan air dengan takaran yang sesuai dengan rekomendasi. Kemudian petani dapat mencobakan pupuk bioorganik ke lahan yang sempit. Petani menilai pupuk bioorganik dapat membenahi struktur tanah yang sudah rusak dan menyuburkan tanaman. Mereka juga menilai bahwa pupuk bioorganik dapat meningkatkan produksi usahatani mereka. Oleh karena itu banyak petani di Kecamatan Pracimantoro mencoba menggunakan pupuk bioorganik.

e. Persepsi Petani Terhadap Keteramatan Keteramatan pupuk bioorganik di sini dapat dilihat melalui persepsi petani terhadap ketermatan pada hasil usahatani, ketahanan terhadap hama dan penyakit dan kecepatan pertumbuhan tanaman.

commit to user

bioorganik sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5.12.

Tabel 5.12 Persepsi Petani Terhadap Keteramatan Pupuk Bioorganik

Kriteria

Frekuensi (orang)

Presentase (%)

Sangat rendah

Sangat tinggi

13 32,5

Total

40 100,0 Sumber: Analisis Data Primer

Berdasarkan tabel 5.12 dapat diketahui bahwa petani menilai keteramatan pupuk bioorganik dalam kriteria baik (tinggi) sebanyak

19 petani atau 47,5 persen. Sebanyak 13 petani atau 32,5 persen menilai keteramatan pupuk bioorganik sangat baik (sangat tinggi). Sebanyak 4 petani atau 10,0 persen menilai keteramatan pupuk bioorganik dengan ragu-ragu (sedang). Sebanyak masing-masing 2 petani atau 5,0 persen menilai keteramatan pupuk bioorganik buruk (rendah) dan sangat buruk (sangat rendah).

Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa keteramatan pupuk bioorganik tergolong tinggi. Sebanyak 47,5 persen petani menilai keteramatan pupuk bioorganik baik karena petani dapat mengamati hasil dari penggunaan pupuk bioorganik. Petani dapat merasakan hasil usahatani meningkat setelah menggunakan pupuk bioorganik. Tanaman yang disemprot dengan pupuk bioorganik juga tahan terhadap serangan hama dan penyakit serta pertumbuhannya lebih cepat.