3.5 Analisis Data Komposisi Jenis
Untuk mengetahui komposisi herba, data yang diperoleh dianalis dengan dimasukkan ke dalam tabel lalu dihitung nilai kerapatan mutlak, kerapatan relatif, frekuensi
mutlak, frekuensi relatif, indeks nilai penting, summed dominance ratio, indeks
keanekaragaman Shannon, indeks keseragaman dan indeks similaritas. Dengan rumus
dalam Setiadi et al. 1989, sebagai berikut :
a. Kerapatan Jumlah individu suatu jenis
Kerapatan Mutlak K = Luas seluruh petak contoh
Kerapatan mutlak suatu jenis Kerapatan Relatif KR =
x 100 Kerapatan total seluruh jenis
b. Frekuensi
Jumlah petak contoh ditemukannya suatu spesies Frekuensi Mutlak F =
Jumlah seluruh petak contoh
Frekuensi mutlak suatu jenis Frekuensi Relatif FR =
x 100 Frekuensi total seluruh jenis
c. Indeks Nilai Penting
INP = KR + FR
d. Summed Dominance Ratio SDR Perbandingan Nilai Penting
SDR = INP 2
Universitas Sumatera Utara
e. Indeks Keanekaragaman Shannon
H
’
= - Σpi ln pi
ni pi =
N
ni = jumlah individu suatu jenis N = jumlah total individu seluruh jenis
f. Indeks Keseragaman
H’ E =
H maks
E = Indeks keseragaman ; H’= indeks keanekaragaman H maks = Indeks keanekaragaman maksimum, sebesar Ln S
S = jumlah Genus jenis
g. Indeks Similaritas
Koefisien masyarakat atau koefisien kesamaan komunitas C ini menunjukkan tingkat kesamaan komposisi jenis dari dua contoh yang dibandingkan
menurut rumus dalam Soerianegara Indrawan 1988, hlm : 70 adalah sebagai berikut:
2w C = x 100
a + b
Universitas Sumatera Utara
Keterangan: C IS = Koefisien masyarakat atau koefisien kesamaan komunitas
W = Jumlah nilai yang sama dari nilai yang terendah ≤ dari jenis -jenis yang
terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan a = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat pada tegakan pertama
b = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat pada tegakan kedua
Berdasarkan hasil analisis data tersebut di atas selanjutnya akan didiskusikan lebih lanjut untuk melihat Komposisi dan Keanekaragaman Herba pada Beberapa Tahap
Suksesi Hutan Sekunder di Kawasan Ekosistem Leuser Desa Telagah Kabupaten Langkat Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kekayaan Jenis Herba di Hutan Sekunder Kawasan Ekosistem Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di hutan sekunder Kawasan Ekosistem Leuser diperoleh 54 jenis herba yang terdiri dari dua kelompok yaitu Pteridophyta
sebanyak 11 famili dan Spermatophyta sebanyak 20 famili Lampiran 3. Jenis-jenis herba yang ditemukan tersebut terdapat pada Tabel 4.1.1.
4.1.1 Jenis Herba di Hutan Sekunder Kawasan Ekosistem Leuser
No Divisi
Kelas Famili
Jenis
1 Pteridophyta
Filicinae Adiantaceae
Adiantum latifolium 2
Aspidiaceae Tectaria simonsii
3 Blechnaceae
Blechnum indicum 4
Cyatheaceae Cyathea contaminans
5 Davaliaceae
Davallia sp. 6
Gleicheniaceae Gleichenia linearis
7 Neprolephidaceae
Neprolephis dicksonioides 8
Marattiaceae Angiopteris angustifolium
9 Polypodiaceae
Micosorum hancockii 10
Thelypteridaceae Pneumatopteris ecallosa
11 Lycopodiinae
Selaginellaceae Selaginella biformis
12 Spermatophyta
Monocotyledonae Araceae Colocasia esculenta
13 Colocasia gigantea
14 Homalomena monandra
15 Rhaphidophora sp.
16 Rhaphidophora sp2
17 Schismatoglottis gillianae
18 Schismatoglottis calyptrata
19 Commelinaceae
Forrestia marginata 20
Palisota borterii 21
Costaceae Costus sp.
22 Cyperaceae
Kilinga monochepala 23
Hypoxidaceae Curculigo latifolia
24 Musaceae
Musa sp. 25
Poaceae Axonopus sp.
26 Brachiaria reptans
27 Leersia hexandra
28 Oplismenus compositus
29 Taccaceae
Tacca minor
Universitas Sumatera Utara
No Divisi
Kelas Famili
Jenis
30 Zingiberaceae
Etlingera elatior 31
Globba pattens 32
Globba pendula 33
Globba variabilis 34
Horstedtia sp. 35
Zingiber sp. 36
Dicotyledonae Asteraceae
Ageratum conyzoides 37
Clibadium surinamense 38
Crassochepalum crepidioides 39
Mikania micrantha 40
Spilanthes paniculata 41
Balsaminaceae Impatiens elephanticeps
42 Begoniaceae
Begonia robusta 43
Begonia sp. 44
Campanulaceae Pratia begoniaefolia
45 Gesneriaceae
Cyrtandra burbudgeii 46
Didissandra sp. 47
Gesner sp. 48
Lamiaceae Hyptis capitata
49 Melastomataceae
Phyllagothis griffithii 50
Polygalaceae Polygala paniculata
51 Rubiaceae
Ophiorriza bracteata 52
Urticaceae Elatostema sp.
53 Elatostema sesquifolium
54 Verbenaceae
Stachytarpheta jamaicensis
Dari Tabel 4.1.1 tampak bahwa suku yang memiliki jenis tertinggi adalah Araceae sebanyak 7 jenis, diikuti Zingiberaceae 6 jenis, Asteraceae 5 jenis, Poaceae 4 jenis,
Gesneriaceae 3 jenis dan suku-suku lainnya hanya terdiri dari 1 atau 2 jenis. Delapan suku vegetasi herba yang memiliki jenis tertinggi dapat dilihat pada Gambar 4.1
berikut ini
Gambar 4.1 Jumlah jenis tertinggi dari 8 suku herba
Universitas Sumatera Utara
Araceae memiliki jumlah terbanyak sebanyak 7 jenis, karena hutan sekunder 30 tahun memiliki keadaan tanah yang lembab, tutupan tajuk yang rapat dan serasah
yang tebal. Lingkungan seperti itu merupakan habitat yang cocok untuh pertumbuhan Araceae, selain faktor lingkungan famili ini juga memiliki cara perbanyakan secara
vegetatif dan generatif, sehingga memiliki kisaran toleransi yang besar untuk tumbuh. Henderson 1959 menyatakan Araceae biasanya dijumpai pada tempat-tempat yang
tertutup dan memiliki kelembaban yang tinggi. Jenis-jenis tersebut banyak ditemukan pada tempat-tempat yang teduh, lembap dan basah oleh karenanya jenis-jenis ini tidak
membutuhkan cahaya matahari untuk pertumbuhan dan perkembangannya
Kekayaan herba di hutan sekunder Taman Nasional Gunung Leuser Desa Telagah ini adalah cukup tinggi, bila dibandingkan dengan penelitian sejenis yang
pernah dilakukan yaitu Ramawati 2010, melaporkan di Hutan Lindung dan Perkebunan Kopi Rakyat di kabupaten Pakpak Bharat ditemukan 53 jenis yang
termasuk ke dalam 32 famili.
Tingginya kekayaan jenis herba di hutan sekunder kawasan Ekosistem Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara diduga disebabkan berbagai faktor lingkungan
yang cukup mendukung sebagai penyusun habitat yang sangat beragam seperti keadaan tanah yang lembab, iklim, fisiografi, penetrasi cahaya yang cukup dengan
naungan yang relatif terbuka. Hasil pengukuran faktor abiotik di lokasi penelitian menunjukkan suhu udara berkisar 20-27.5
C, kelembaban 91-92 dan intensitas cahaya 44.6-158 Lampiran 4. Keadaan iklim mikro yang berbeda-beda pada lokasi
penelitian ini membentuk suatu mikrohabitat yang berbeda. Hal ini sesuai yang dikatakan Arief 2001, bahwa herba hujan tropik dataran rendah banyak ditemukan
pada hutan yang terbuka, dekat aliran sungai serta jalan setapak yang penyinarannya cukup baik.
Kondisi mikrohabitat ini sesuai dengan besar kecilnya rumpang tempat yang terbuka pada suatu hutan. Herba yang dijumpai pada rumpang yang kecil berbeda
dengan herba di rumpang yang lebih besar, karena banyaknya cahaya matahari sampai ke lantai hutan menyebabkan suhu tanah menjadi lebih tinggi sehingga kelembaban
lebih rendah. Dengan demikian rumpang cukup mendukung dalam memperkaya jenis
Universitas Sumatera Utara
herba dalam suatu hutan. Bahkan jumlah jenis pada ekosistem hutan makin besar apabila masing-masing komponen dalam sistem itu mewakili habitat dengan kondisi
ekologi yang berbeda-beda Soemarwoto, 2004. Terjadinya regenerasi pada vegetasi hutan tropika biasanya diawali dengan pembukaan celah kanopi yang disebabkan oleh
adanya pohon tumbang atau patah Guariguata and Pinard, 1998 dalam Rasnovi 2006. Masuknya cahaya ke lantai hutan yang lembab menghasilkan perubahan iklim
mikro dan merupakan sumberdaya penting yang menjadi pembatas bagi pertumbuhan kecambah Swaine, 1996; Archibold, 1995 dalam Rasnovi 2006.
4.2 Keanekaragaman Jenis Herba di Hutan Sekunder Kawasan Ekosistem Leuser
Jumlah individu herba pada masing-masing lokasi hutan sekunder dapat dilihat pada
Tabel 4.2.1.
Tabel 4.2.1 Jumlah Famili, Jenis dan Individu Herba di Hutan Sekunder Kawasan Ekosistem Leuser Pada Masing-masing Lokasi.
No Famili
Spesies Lokasi
I II
III IV
Pteridophyta
1 Adiantaceae
Adiantum latifolium -
1 1
- 2
Aspidiaceae Tectaria simonsii
- -
3 -
3 Blechnaceae
Blechnum indicum -
- 3
- 4
Cyatheaceae Cyathea contaminans
- -
- 2
5 Davaliaceae
Davallia sp. -
- 1
- 6
Gleicheniaceae Gleichenia linearis
- -
1 -
7 Marattiaceae
Angiopteris angustifolium -
- -
2 8
Neprolephidaceae Neprolephis dicksonioides
- -
4 -
9 Polypodiaceae
Micosorum hancockii -
1 -
- 10
Thelypteridaceae Pneumatopteris ecallosa
36 11
23 2
11 Selaginellaceae
Selaginella biformis -
122
11 4
Spermatophyta
12 Araceae
Colocasia esculenta -
- -
8 13
Colocasia gigantean -
- 6
- 14
Homalomena monandra -
2 -
10 15
Rhaphidophora sp. -
- -
1 16
Rhaphidophora sp2 -
- -
5 17
Schismatoglottis gillianae 8
16 4
- 18
Schismatoglottis calyptrate 5
43 6
30
19 Asteraceae
Ageratum conyzoides 36
- -
- 20
Clibadium surinamense 36
- -
- 21
Crassochepalum crepidioides 4
- -
-
Universitas Sumatera Utara
Keterangan :
Lokasi I hutan sekunder 5 tahun pada ketinggian 915 mdpl Lokasi II hutan sekunder 10 tahun pada ketinggian 908 mdpl
Lokasi III hutan sekunder 20 tahun pada ketinggian 1005 mdpl Lokasi IV hutan sekunder 30 tahun pada ketinggian 1099 mdpl
Dari Tabel 4.2.1 diketahui perbedaan jumlah jenis dan jumlah individu herba. Jumlah jenis tertinggi ditemukan pada Lokasi III sebanyak 27 jenis dan jumlah jenis terendah
berada pada lokasi II sebanyak 18 jenis. Hal ini dikarenakan setiap lokasi memiliki kondisi fisik yang berbeda-beda yang mengakibatkan pertumbuhan jenis herba yang
berbeda.
No Famili
Spesies Lokasi
I II
III IV
22 Mikania micrantha
136 -
- -
23 Spilanthes paniculata
20 -
- -
24 Balsaminaceae
Impatiens elephanticeps -
3 -
- 25
Begoniaceae Begonia robusta
- -
- 1
26 Begonia sp.
- -
- 1
27 Campanulaceae
Pratia begoniaefolia 56
- 5
- 28
Commelinaceae Forrestia marginata
- 12
- -
29 Palisota borterii
- -
6 -
30 Costaceae
Costus sp. -
5 -
- 31
Cyperaceae Kilinga monochepala
20 -
- -
32 Gesneriaceae
Cyrtandra burbudgeii -
2 -
4 33
Didissandra sp. -
- 1
- 34
Gesner sp. -
- -
1 35
Hypoxidaceae Curculigo latifolia
8 -
2 -
36 Lamiaceae
Hyptis capitata 8
- 2
- 37
Melastomataceae Phyllagothis griffithii
- -
4 -
38 Musaceae
Musa sp. 4
- 1
1 39
Poaceae Axonopus sp.
652 -
- -
40 Brachiaria reptans
364 11
- -
41 Leersia hexandra
- 10
32
42 Oplismenus composites
160 -
- -
43 Polygalaceae
Polygala paniculata 44
- 1
- 44
Rubiaceae Ophiorriza bracteata
- 6
- 3
45 Taccaceae
Tacca minor -
- 8
6 46
Urticaceae Elatostema sp.
- 20
- 7
47 Elatostema sesquifolium
- -
- 16
48 Verbenaceae
Stachytarpheta jamaicensis 116
- 17
- 49
Zingiberaceae Etlingera elatior
- -
1 -
50 Globba pattens
- 4
14 3
51 Globba pendula
4 4
9 3
52 Globba variabilis
- -
8 -
53 Horstedtia sp.
- -
13 2
54 Zingiber sp.
- 3
- -
Jumlah Individu 2049
276 187
112
Jumlah Jenis 20
18 27
21
Universitas Sumatera Utara
Pada setiap lokasi terdapat 3 jenis herba yang selalu ditemukan yaitu, Pneumatopteris ecallosa, Schismatoglottis calyptrata dan Globba pendula. Hal ini
dikarenakan ketiga jenis ini memiliki kemampuan beradaptasi yang besar dan memiliki persebaran jenis yang luas. Ketiga jenis ini juga merupakan spesies pionir
dan sekaligus sebagai komponen penting dalam komunitas yang memiliki tingkat toleransi nisbi dan relung yang lebar dibandingkan dengan spesies yang lainnya,
sehingga mampu bertahan hidup dalam komunitas hingga tahap akhir proses suksesi.. Indriyanto 2006 dalam Sutomo 2009, menyatakan bahwa kecepatan proses suksesi
pada setiap habitat dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya adalah luas komunitas yang rusak serta jenis yang tumbuhan asli yang pernah terdapat di sekitar tempat
tersebut.
Pneumatopteris ecallosa merupakan tumbuhan paku yang memperbanyak diri dengan spora. Spora merupakan organ yang mudah dipencarkan oleh angin dan
diaspora yang paling utama bagi golongan tumbuhan rendah dapat dihasilkan dalam jumlah yang cukup besar. Menurut Ewusie 1990 dalam Widhiastuti et al., 2006,
tumbuhan paku merupakan kormophyta berspora yang dapat hidup dimana saja kosmopolitan. Kelimpahan dan penyebaran tumbuhan paku sangat tinggi terutama di
daerah hujan tropis. Tumbuhan paku juga banyak terdapat di hutan pegunungan.
Schismatoglottis calyptrara merupakan spesies dari famili Araceae yang memiliki kisaran toleransi yang besar untuk tumbuh, selain karena tempat yang
mendukung juga perbanyakannya dengan umbi batang dan biji. Mayo et al., 1997, menyatakan Schismatoglottis calyptrata dapat tumbuh di hutan tropis yang lembab,
teresterial, lantai hutan dan kadang-kadang di rawa.
Globba pendula adalah salah satu spesies yang merupakan indikator kelembaban, dimana spesies ini tumbuh di tempat yang lembab dan hutan sekunder.
Prosea 2003, menyatakan Globba paling sering ditemukan di tempat yang tertutup, daerah lembab di hutan hujan tropis dataran rendah, dan sering di sepanjang sungai.
Beberapa spesies yang memiliki persebaran yang luas, misalnya Globba pendula dapat ditemukan di hutan sekunder atau kadang-kadang di padang rumput.
Universitas Sumatera Utara
Jenis yang paling mendominasi pada lokasi I adalah Axonopus sp. Lampiran 7 sebanyak 652 jumlah individu. Hal ini disebabkan famili Poaceae merupakan
tumbuhan pionir pada lokasi yang terbuka, dapat berkembang biak secara vegetatif dan generatif, sehingga nemiliki kisaran toleransi yang luas dan memiliki sifat
tumbuhan kosmopolit. Hal ini sesuai dengan Aththorick 2005, bahwa semua anggota suku Poaceae merupakan tumbuhan bawah, memiliki alat perkembangbiakan yang
ringan sehingga mudah dipencarkan serta memiliki persyaratan hidup yang sederhana sehingga mudah hidup pada berbagai tipe habitat.
Lokasi II didominasi oleh Selaginella biformis Lampiran 7 sebanyak 122 individu. Jenis ini dijumpai pada dua lokasi yaitu lokasi III dan IV. S. biformis
merupakan jenis yang membutuhkan faktor fisik yang sesuai untuk kelangsungan hidupnya, seperti yang terdapat tabel pengukuran faktor fisik, lokasi II merupakan
lokasi yang tergolong lembab dengan kelembaban 91 dan suhu udara 21 C dan
lokasi ini berada pada ketinggian 1005 mdpl Lampiran 4. Soromessa et al., 2004, menyatakan bahwa ketinggian merupakan faktor lingkungan penting yang
mempengaruhi radiasi, tekanan kelembaban, atmosfer dan suhu yang semuanya memiliki pengaruh kuat pada pertumbuhan, pengembangan tanaman dan distribusi
tipe vegetasi. Dimana herba pada lokasi ini didominasi oleh Selaginella yaitu herba dengan kemampuan yang terbatas untuk mengurangi run-off.
Lokasi III didominasi oleh Leersia hexandra Lampiran 7 sebanyak 32 individu. Spesies ini dapat mudah tumbuh di tempat yang lembab dan memiliki
kemampuan memperbanyak diri dengan rhizom dan biji, sehingga dapat mendominasi pada suatu lokasi. Der Veen Van Rijn 1987, menyatakan bahwa, L. hexandra
selalu ada di tempat yang lembab, rawa, padang rumput basah, dan perbatasan parit. Dapat hidup pada ketinggian 0-2200 m dpl, selain itu spesies ini dapat memperbanyak
diri dengan rhizom, akar dan biji.
Lokasi IV didominasi oleh Schismatoglottis calyptrata Lampiran 7 sebanyak 30 individu. Lokasi ini merupakan tempat yang memiliki kanopi yang rapat dan
kelembaban yang tinggi. Karena tutupan tajuk rapat dan celah yang terbentuk kecil, maka biasanya yang tumbuh adalah jenis-jenis yang tidak toleran terhadap cahaya
Universitas Sumatera Utara
dalam jumlah banyak shade toleran dan hanya memerlukan cahaya secukupnya dan hidup terspesialisasi dibawah kanopi.
Dari Tabel 4.2.1 juga diketahui perbedaan jumlah individu herba. Jumlah individu tertinggi ditemukan pada lokasi I sebanyak 2049 individu. Lokasi I
merupakan tempat yang relatif terbuka dibandingkan lokasi yang lainnya, intensitas cahaya matahari yang tinggi dan kelembaban yang rendah. Ini sesuai dengan pendapat
Polunin 1990, jika penetrasi cahaya tidak cukup herba tidak dapat berkembang dengan baik. Ewusie 1990 Arief 2001, menambahkan tumbuhan ini lebih subur
di tempat bukaan hutan atau tempat terbuka lain yang tanahnya lebih banyak mendapat cahaya dan penyinaran yang cukup baik.
Jumlah individu terendah berada pada Lokasi IV sebanyak 112 individu, dikarenakan tempat tersebut memiliki kanopi yang sudah rapat, serasah
yang tebal sehingga kemungkinan untuk pertumbuhan herba sangat kecil. Umumnya hutan sekunder 30 tahun sudah merupakan hutan sekunder tua. Soerianegara
Indrawan 1988 menyatakan, jika hutan hujan mengalami kerusakan oleh alam atau manusia perladangan atau penebangan maka suksesi sekunder yang terjadi biasanya
dimulai dengan vegetasi rumput dan semak, sesudah 30 tahun terjadi hutan sekunder tua yang berangsur-angsur akan mencapai klimaks. Hutan sekunder tua mempunyai
struktur yang lebih rapat. Selain itu Barbour et al., 1987; Harborne, 1988; Larcher, 1995, dalam Sugiyarto et al., 2006 menambahkan bahwa pada lantai hutan yang
banyak ditutupi serasah, diduga banyak menghasilkan senyawa alelopati yang dapat membatasi pertumbuhan vegetasi di sekitarnya.
Universitas Sumatera Utara
4.3 Jenis Herba dengan nilai KR, FR dan INP pada masing-masing tegakan hutan sekunder Dari penelitian yang dilakukan diperoleh nilai KR, FR dan INP herba pada masing-masing tegakan hutan sekunder pada Tabel 4.3.1
Tabel 4.3.1 Jenis Herba dengan nilai KR, FR, dan INP pada masing-masing tegakan hutan sekunder
No Jenis
Lokasi I Lokasi II
Lokasi III Lokasi IV
KR FR
INP KR
FR INP
KR FR
INP KR
FR INP
1 Axonopus sp.
31.820 17.647
49.467
2 Brachiaria reptans
17.765 13.725
31.490 3.986
2.151 6.136
3 Leersia hexandra
16.203 8.824
25.027 3.623
2.151 5.774
17.112 10.000
27.112
4 Oplismenus compositus
7.809 6.863
14.671 5
Mikania micrantha 6.637
12.745 19.382
6 Stachytarpheta jamaicensis
5.661 4.902
10.563 9.091
4.444 13.535
7 Pratia begoniaefolia
2.733 3.922
6.655 8
Polygala paniculata 2.147
3.922 6.069
9 Pneumatopteris ecallosa
1.757 5.882
7.639 3.986
9.677 13.663
12.299 20.000
32.299 10
Clibadium surinamense 1.757
3.922 5.679
11 Selaginella biformis
44.203 24.731
68.934 5.882
4.444 10.327
3.571 3.922
7.493 12
Schismatoglotis calyptrata 15.580
17.204 32.784
26.786 15.686
42.472
13 Elatostema sp.
7.26 4.301
11.547 6.250
5.882 12.132
14 Schismatoglotis gillianae
5.797 13.978
19.776 15
Forrestia marginata 4.348
7.527 11.875
16 Ophiorrhiza bracteata
2.174 4.301
6.475 17
Costus sp. 1.812
2.151 3.962
18 Globba pattens
7.487 6.667
14.153 2.679
5.882 8.561
19 Horstedtia sp.
6.952 10.000
16.952 20
Globba pendula 4.813
3.333 8.146
21 Tacca minor
4.278 5.556
9.834 5.357
5.882 11.239
22 Globba variabilis
4.278 2.222
6.500 23
Palisota borterii 3.209
4.444 7.653
24 Elatostemma sesquifolium
14.286 7.843
22.129 25
Homalomena monandra 8.929
7.843 16.772
26 Colocasia esculenta
7.143 5.882
13.025 27
Rhaphidophora sp2 4.464
5.882 10.347
28 Cyrtandra burbudgeii
3.571 3.922
7.493
TOTAL 100.000
100.000 200.00
100.000 100.000
200.00 100.000
100.000 200.00
100.000 100.000
200.00
Universitas Sumatera Utara
Dari Tabel 4.3.1 diketahui bahwa kerapatan relatif tertinggi pada lokasi I dan lokasi III adalah sama yaitu dari famili Poaceae yaitu Axonopus sp. dan Leersia hexandra.
Hal ini karena anggota dari suku Poaceae ini merupakan tumbuhan pionir yang selalu tumbuh pada awal vegetasi, kemampuan berkembang biak secara vegetatif dan
generatif dan memiliki biji yang mudah diterbangakn oleh angin sehingga memudahkan pemencaran. Tjhiaw Djohan 2009, menyatakan proses suksesi alami
dimulai dengan hadirnya tumbuhan pionir berupa rumput yang dapat berkembang biak dengan geragih atau stolon vegetatif dan biji generatif. Bakar 2004 menyatakan,
banyak faktor yang mempengaruhi dinamika masyarakat gulma dan keragaman, komposisi spesies gulma, migrasi propagul, yang terakhir tidak hanya tergantung pada
interaksi biotik dalam komunitas tetapi juga sangat dibatasi oleh pemencaran.
Nilai frekuensi relatif tertinggi juga terdapat pada jenis Axonophus sp. dan Leersia hexandra. Hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis ini juga memiliki
persebaran yang cukup luas karena kemampuannya memperbanyak diri dengan biji, sesuai dengan Sadili 2010 bahwa pola sebaran jenis merupakan hasil akhir interaksi
dari berbagai proses eko-fisiologis yang terjadi, sehingga akan mempengaruhi nilai frekuensi yang dihasilkan serta berkaitan erat dengan kapasitas reproduksi dan
kemampuan adaptasi dari setiap jenis khususnya terhadap lingkungan sekitar. Menurut Muller et al., 1974, jenis yang memperbanyak diri dengan biji lebih luas
penyebarannya jika dibandingkan dengan jenis alat reproduksi yang menggunakan organ vegetatif. Greig-Smith 1983 dalam Arrijani 2008, menyatakan bahwa nilai
frekuensi suatu jenis dipengaruhi secara langsung oleh densitas dan pola distribusinya.
Indeks nilai penting herba berkisar antara 5,679 sampai 49,467 Lampiran 3. Dengan nilai yang tertinggi terdapat pada jenis Axonophus sp. sebesar 49,467
dan jenis Leersia hexandra 27,112. Hal ini menunjukkan bahwa Axonophus sp. dan Leersia hexandra mempunyai daya saing yang kuat terhadap tumbuhan di sekitarnya
sehingga mampu mengisi lantai hutan. Hal ini sesuai dengan Setiadi et al., 1989, bahwa jenis tumbuhan yang mempunyai indek nilai penting di antara vegetasi
sesamanya disebut jenis yang dominan. Hal ini menunjukkan tingginya kemampuan berbagai jenis tersebut dalam menyesuikan diri dengan lingkungan yang ada dan dapat
bersaing terhadap jenis yang lainnya. Menurut Krebs 1994 dalam Arrijani 2008,
Universitas Sumatera Utara
keberhasilan setiap jenis untuk mengokupasi suatu area dipengaruhi oleh kemampuannya beradaptasi secara optimal terhadap seluruh faktor lingkungan
fisik temperatur, cahaya, struktur tanah, kelembaban dan lainnya, faktor biotik interaksi antar jenis, kompetisi, parasitisme dan lain-lain dan faktor kimia yang
meliputi ketersediaan air, oksigen, pH, nutrisi dalam tanah dan lain-lain yang saling berinteraksi.
Nilai kerapatan relatif tertinggi pada lokasi II terdapat pada jenis Selaginella biformis sebesar 44,203 Lampiran 3. Jenis ini merupakan golongan Pteridophyta,
dimana cara perkembangbiakannya dengan spora. Tumbuhan paku Pteridophyta merupakan satu divisi tumbuhan yang telah memiliki sistem pembuluh sejati kormus
yang menggunakan spora sebagai alat perbanyakan generatifnya. Cara pemencaran spora yang mudah diterbangkan oleh angin, mengakibatkan tumbuhan ini banyak
terdapat di lokasi penelitian. Tumbuhan ini sebagian besar hidup di daerah tropika basah yang lembab.
Nilai frekuensi relatif tertinggi juga terdapat pada jenis Selaginella biformis sebesar 24,731. Distribusi tumbuhan pada suatu komunitas tertentu dibatasi oleh
kondisi lingkungan dalam arti luas. Beberapa jenis dalam hutan tropika teradaptasi dengan kondisi di bawah kanopi, pertengahan dan di atas kanopi yang intensitas
cahaya yang berbeda-beda Balakrishnan et al., 1994. Indeks nilai penting herba berkisar antara 3,962 sampai 68,934 lampiran
3. Dengan nilai yang tertinggi terdapat pada jenis Selaginella biformis sebesar 68,934. Indeks nilai penting merupakan hasil penjumlahan nilai relatif dari
parameter kerapatan dan frekwensi yang telah diukur sebelumnya, sehingga nilainya juga bervariasi. Menurut Sundarapandian dan Swamy 2000 dalam Arrijani 2008,
indeks nilai penting merupakan salah satu parameter yang dapat memberikan gambaran tentang peranan jenis yang bersangkutan dalam komunitasnya atau pada
lokasi penelitian. Kehadiran suatu jenis herba pada daerah tertentu menunjukkan kemampuan herba
tersebut untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat, sehingga jenis yang mendominasi suatu areal dapat dinyatakan
Universitas Sumatera Utara
sebagai jenis yang memiliki kemampuan adaptasi dan toleransi yang lebar terhadap kondisi lingkungan.
Nilai kerapatan relatif tertinggi pada lokasi IV ditemukan pada Schismatoglottis calyptrata sebesar 26,786. S. calptrata memiliki nilai kerapatan
relatif tertinggi karena spesies ini mudah tumbuh di tempat yang lembab, dan didukung oleh perbungaannya. Barabe et al., 2004, menyatakan Schismatoglottis
memiliki perbungaan yang berbeda dengan genus Araceae yang lainnya, tetapi tipe perbungaan ini memudahkan berlangsungnya penyerbukannya.
Nilai frekuensi relatif tertinggi juga ditemukan pada jenis S. calyptrata sebesar 15,686. Mayo et al., 1997, menyatakan bahwa pertumbuhan Araceae tergantung
pada banyaknya ketersediaan air yang melimpah dan kelembaban atmosfer yang berlaku. Struktural dan fisiologis Araceae tidak cocok untuk tumbuh pada kondisi
yang kering atau dingin dan harus berada pada di lingkungan yang ekstrim. Araceae paling beragam dan melimpah di daerah tropis yang lembab dimana kekayaan
varietasnya paling tinggi pada lokasi ini.
Nilai INP tertinggi ditemukan pada jenis S. calyptrata sebesar 42,472. Hal ini menunjukkan bahwa S.calyptrata adalah jenis yang paling berhasil dalam proses
perkembangan suksesi yang sedang berlangsung. Hal ini dikarenakan pada lokasi ini, banyak terdapat pohon-pohon yang besar yang memiliki kanopi yang rapat sehingga
mendukung untuk pertumbuhan herba. Kartijono 2004, menyatakan bahwa tingginya indeks nilai penting tidak terlepas dari kehadiran strata pohon yang dapat menciptakan
lingkungan mikro khusus guna mendukung kehidupan tumbuhan strata herba suhu, kelembaban, intensitas cahaya, nutrien tanah dan lain-lain.
4.4 Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman Herba Indeks keanekaragaman jenis berfungsi untuk menandai jumlah jenis dalam suatu
daerah tertentu atau sebagai jumlah jenis diantara jumlah total individu seluruh jenis yang ada. Fachrul 2007, mengemukakan bahwa indeks keanekaragaman merupakan
parameter vegetasi yang sangat berguna untuk membandingkan berbagai komunitas
Universitas Sumatera Utara
tumbuhan. terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan faktor-faktor lingkungan atau abiotik terhadap komunitas atau untuk mengetahui keadaan suksesi atau stabilitas
komunitas. Karena dalam suatu komunitas pada umumnya terdapat berbagai jenis tumbuhan, maka makin tua atau semakin stabil keadaan suatu komunitas, makin tinggi
keanekaragaman jenis tumbuhannya. Lebih lanjut Michael 1984 menyatakan bahwa indeks keanekaragaman juga sangat penting dalam menentukan batas kerusakan
hutan. Kerusakan hutan itu terjadi karena adanya campur tangan manusia atau karena proses alami di dalam hutan tersebut.
Nilai indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman pada keempat lokasi dapat dilihat pada Tabel 4.4.1
Tabel 4.4.1 Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman Herba
Umur Hutan Sekunder H
E Indeks Keanekaragaman
Indeks Keseragaman 5 tahun
2.162 0.722
10 tahun 2.008
0.695 20 tahun
2.840 0.862
30 tahun 2.531
0.831 Dari Tabel 4.4.1 diketahui bahwa indeks keanekaragaman herba berkisar dari 2.008
sampai 2.840. Nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada hutan sekunder 20 tahun yaitu 2.840 dan indeks keanekaragaman terendah pada hutan sekunder 10 tahun
sebesar 2.008. Nilai indeks keanekaragaman ini menunjukkan herba di kawasan hutan sekunder memiliki keanekaragaman jenis yang sedang melimpah. Menurut Fachrul
2007 jika nilai H’ 1 menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies pada suatu transek adalah sedikit atau rendah. jika H’ 1
≤ H’ ≤ 3 keanekaragaman adalah sedang melimpah dan jika nilai H’ 3 maka keanekaragaman spesies adalah melimpah
tinggi. Mason 1980 menambahkan jika nilai Indeks Keanekaragaman lebih kecil dari 1 berarti keanekaragaman jenis rendah, jika diantara 1-3 berarti keanekaragaman
sedang, jika lebih besar dari 3 berarti keanekaragaman jenis tinggi.
Heddy dan Kurniati 1996 dalam Suwondo et al., 2005 menyatakan bahwa keanekaragaman yang rendah
menandakan bahwa suatu ekosistem mengalami tekanan atau kondisinya menurun.
Universitas Sumatera Utara
Dari Tabel 4.4.1 juga diketahui bahwa nilai indeks keseragaman herba pada hutan sekunder 5 tahun sebesar 0.722, 10 tahun sebesar 0.695, 20 tahun sebesar 0.862
dan 30 tahun sebesar 0.831. Analisis data menunjukkan bahwa nilai keseragaman herba pada hutan sekunder 5, 10, 20 dan 30 tahun adalah tinggi. Menurut Krebs
1985, keseragaman rendah apabila E bernilai 0-0.5 dan keseragaman tinggi apabila E bernilai 0.5-1. Selanjutnya Barbour et al., 1987 menyatakan bahwa penyebaran
individu setiap jenis disebut dengan kemerataan jenis atau ekuibilitas jenis. Kemerataankeseragaman menjadi maksimum bila suatu jenis mempunyai jumlah
individu sama. Kemerataan dan kekayaan jenis merupakan hal yang berbeda meskipun keduanya sering berkorelasi positif, namun gradien lingkungan dapat
menurunkan kekayaan jenis disertai dengan adanya peningkatan keanekaragaman.
Nilai Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman di lokasi I-IV dapat dilihat pada Gambar 4.4.1
Gambar 4.4.1 Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman Lokasi I-IV
Tinggi dan rendahnya nilai keanekaragaman dan nilai keseragaman dari keempat lokasi penelitian tersebut disebabkan oleh kondisi lingkungan dan penyediaan nutrisi
tanah yang berbeda-beda. Hal tersebut sesuai dengan Sastrawidjaja 1991 yang menyatakan bahwa ketersedian nutrisi dan pemanfaatan nutrisi yang berbeda
menyebabkan nilai keanekaragaman dan nilai keseragaman bervariasi
Universitas Sumatera Utara
4.5 Indeks Similaritas Nilai indeks similaritas dari keempat lokasi dapat dilihat pada Tabel 4.5.1