Jenis Riba

C. Jenis Riba

Klasifikasi riba dalam tinjaun ekonomi secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba hutang piutang dan riba jual beli.

Kelompok pertama riba hutang piutang terbagi menjadi dua yaitu Riba Qard, yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang. Kemudian Riba Jahiliyah, yaitu hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan. Riba Jahiliyah dilarang karena terjadi pelanggaran kaedah,

karena setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba. 54 Sedangkan kelompok kedua, riba jual beli, terbagi menjadi riba fadl dan riba nasi’ah. Riba fadl yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk barang yang ribawi. Ketidaksamaan ini dapat menimbulkan tindak dzalim terhadap salah saru pihak karena adanya unsur ketidak pastian. Riba nasi’ah penagguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam Nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan

kemudian. 55

54 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 20010, hlm. 166. 55 Ibid.

Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa’, riba fadl diperbolehkan karena dharurat dan bersifat sementara, kemudian menurut pendapat Syekh Rasyid Ridla, hasil analisisnya yang terdapat dalam al-Qur’an tentang riba bahwa:

Tidak termasuk dalam pengertian riba, jika seseorang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk diinvestasikan sambil menetapkan kadar tertentu (prosentase) baginya dari hasil usaha teresebut. Karena transaksi ini menguntungkan bagi pengelolaan bagi pemilik harta, sedangkan riba yang diharamkan adalah yang merugikan salah satu pihak tanpa sebab, kecuali keterpaksaan, serta menguntungkan pihak lain tanpa penganiayaan

dan ketamakan. 56

Kemudian Ibnu Qayyim az-Zaury mengatakan, bahwa riba dibagi dua, yaitu riba jaly dan riba khafi. Riba Jaly tidak diperboehkan kecuali dalam keadaan darurat (memaksa), sedangkan Riba Khafi diperbolehkan karena ada hajjat.

‘Illat riba menurut para ulama berbeda pendapat mengenai ‘illat atau alat ukur untuk mengetahui riba pada harta. Mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat, bahwa terjadinya riba pada enam jenis barang yang disebutkan dalam Hadis dan segala macam yang dapat ditimbang dan ditakar, baik berupa makanan atau bukan. Pendapat ini memiliki konskuensi bahwa riba terjadi pada barang apa saja yang dapat ditakar dan ditimbang. Pendapat ini sulit untuk diterapkaan, karena dapat dipastikan transaksi apa saja antara dua jenis barang yang dapat ditimbang dan ditakar, maka mengandung riba.

56 Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, hlm. 42.

Sedangkan madzhab Syafi’i berpendapat bahwa ‘illat pada keempat harta riba adalah makanan, sedangkan pada kedua harta adalah terbatas pada emas dan perak saja. Sehingga harta atau alat tukar yang bukan dari emas dan perak tidak termasuk harta riba. Pendapat ini akan dijadikan alasan kuat bahwa transaksi uang

yang berlaku sekarang tidak termasuk riba karena bukan emas dan perak. 57 Madzhab Maliki berpendapat ‘illat riba pada dua jenis harta emas dan

perak adalah nilainya atau harganya yang dapat dijadikan alat tukar, sedangkan pada empat harta lainnya adalah amkanan pokok yang dapat disimpan. Pendapat yang benar dan sesuai dengan realitas sekarang adalah pendapat madzhab Maliki, sehingga riba akan terjadi pada dua jenis makanan pokok yang dapat diawetkan dan semua jenis alat tukar yang memiliki nilai selain emas dan perak.