Identifikasi Ektoparasit Sebaran Jenis-Jenis Ektoparasit pada Tikus Putih Sebaran Ektoparasit Berdasarkan Regio

dengan larutan laktofenol, spesimen kemudian dicuci sebanyak tiga sampai empat kali sampai air tidak berkabut. Larutan Hoyer diteteskan kurang lebih satu sampai dua tetes di atas gelas objek yang akan dipakai. Lalu satu sampai dua spesimen diletakkan ke dalam larutan Hoyer dengan cara menenggelamkan ke dalam larutan. Preparat kemudian ditutup dengan gelas penutup dan jangan sampai ada gelembung udara yang masuk. Namun, jika ada gelembung udara yang masuk maka gelas objek dipanaskan di atas api secara perlahan-lahan sehingga gelembung udara ini akan menghilang. Setelah itu, slide disimpan ke dalam slide warmer selama empat sampai lima hari atau di dalam temperatur kamar selama tujuh sampai sepuluh hari. Jika preparat tersebut sudah kering, pada sekeliling gelas penutup diberikan lapisan kuteks secara merata.

3.4 Identifikasi Ektoparasit

Proses identifikasi sampel ektoparasit yang dikumpulkan dilakukan dengan pengamatan di bawah mikroskop yang kemudian dicocokkan dengan kunci identifikasi ektoparasit Baker Canin 1958.

3.5 Pengamatan Tikus yang Terinfestasi Ektoparasit

3.5.1 Kondisi Umum

Pengamatan kondisi umum tikus dilakukan selama sebelum diberikan perlakuan dengan melihat kondisi normal serta perilaku behaviour tikus tersebut.

3.5.2 Gambaran Darah

Gambaran darah tikus yang terinfeksi ektoparasit dilihat diferensiasinya berdasarkan jumlah sel-sel darah putih, yaitu neutrofil, eosinofil, basofil, monosit dan limfosit. Pengambilan darah dilakukan pada empat belas ekor tikus. Sebanyak satu sampai dua tetes darah diambil dari ekor tikus, kemudian diletakkan di gelas objek. Kemudian dilakukan pengulasan darah dengan mengunakan gelas objek lainnya sehingga terbentuk ulasan darah yang tipis. Lalu ulasan tersebut didiamkan selama beberapa menit agar kering dan siap untuk dilakukan pewarnaan. Pewarnaan dilakukan dengan cara mencelupkan preparat ulasan darah ke dalam metil alkohol selama kurang lebih tiga sampai lima menit lalu dikeringkan. Setelah kering, preparat dimasukkan ke dalam larutan Giemsa selama kurang lebih tigah puluh menit kemudian dibilas dengan air yang mengalir dan dikeringkan. Hal ini bertujuan agar seluruh preparat dapat terwarnai dengan baik. Pengamatan terhadap preparat ulas darah dilakukan dibawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 100x. Metode yang digunakan adalah metode jalur sejajar, yaitu dengan menelusuri daerah yang terpilih pada lapang pandang yang digeser satu arah sehingga tidak terjadi perhitungan ulang. Setiap leukosit yang ditemukan dideferensiasi ke dalam kelompok basofil, eosinofil, neutrofil, monosit, dan limfosit sampai berjumlah 100 leukosit.

3.6 Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabulasi dan gambar. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Jenis Ektoparasit Jenis ektoparasit yang ditemukan dari empat belas ekor tikus putih R. norvegicus galur Sprague Dawley terdiri atas tiga jenis, yaitu tungau Laelaps echidninus, kutu Polyplax spinulosa, dan larva caplak.

4.1.1 Laelaps echidninus

L. echidninus merupakan tungau yang paling banyak ditemukan pada tikus putih R. norvegicus galur Sprague Dawley. Hasil pengamatan dan pengukuran, menunjukkan bahwa jenis L. echidninus memiliki mata tunggal, berukuran satu mm, berwarna cokelat, berbentuk oval, dan terbagi menjadi dua bagian yaitu gnatosoma dan idiosoma Gambar 5. Gnatosoma merupakan bagian anterior sedangkan idiosoma merupakan bagian posterior dari tubuh L. echidninus. Di bagian gnatosoma terdapat sepasang pedipalpus dan kelisera. Pedipalpus terletak di lateral dan memiliki ukuran yang lebih panjang dibandingkan dengan kelisera. Kelisera pada L. echidninus berukuran kecil namun sangat kuat. Bagian idiosoma tidak mempunyai skutum atau perisai dorsal. Abdomennya hampir ditutupi sepenuhnya seta yang terlihat menyebar rata, berukuran kecil, meruncing dan terdapat keping genital yang berbentuk konkaf. L. echidninus dewasa memiliki empat pasang kaki yang panjang, dan bentuk yang bulat sedangkan larvanya hanya memiliki tiga pasang kaki. Stigmata terletak di bagian lateral di antara kaki ketiga dan keempat. Gambaran morfologi tersebut sesuai dengan Strandtmann Mitchell 1963 yang menyatakan bahwa L. echindinus betina memiliki panjang rata-rata kurang lebih satu mm dengan bentuk yang oval hingga bulat dan berwarna merah kecokelatan. Pilus dentilis lurus dan apendikulat berada di puncak. Tritosternum lebih lebar dibandingkan dengan piringan pada bagian basis. Seta adanal memiliki panjang yang hampir sama dengan seta post natal yaitu 12-23. seta inner basal pada trokhanter I bervariasi, mulai dari yang paling panjang hingga yang paling pendek, dan terdapat seta yang kasar tetapi tidak terlihat begitu jelas. L. echidninus jantan memiliki rata–rata panjang sekitar 880  . Seta koksa berbentuk filiform dan semua seta tarsal lonjong runcing. Peritreme terletak lebih ke depan mendekati koksa II. Seluruh seta anal terlihat tipis dengan bentuk meruncing. L. echidninus tergolong parasit yang biasa terdapat pada hewan laboratorium terutama tikus putih R. norvegicus. L. echidninus termasuk ke dalam ordo Acariformes dan famili Laelaptidae. Foreyt 2001 menyatakan bahwa L. echidninus merupakan satu di antara jenis ektoparasit yang tersebar di wilayah tropis. Tungau tersebar diseluruh dunia worldwide distribution karena L. echidninus memiliki ukuran tubuh kecil, yaitu satu mm dan dapat dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan. Gambar 5 Laelaps echidninus. a pedipalpus, b kelisera, c d e coxae 1-4, f keping anal, g seta, h anus, i kuku Berdasarkan klasifikasinya, L. echidninus tergolong ke dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Acariformes, famili Laelaptidae, genus Laelaps, dan spesies Laelaps echidninus Noble Noble 1989. L. echidninus termasuk tungau yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya di tubuh inangnya. Pada tikus putih R. norvegicus tungau ini biasanya ditemukan dalam bentuk dewasa dan nimfa serta beberapa di antaranya dapat ditemukan dalam bentuk larva. Siklus hidup tungau terdiri dari telur, prelarva, larva, protonimfa, deutronimfa, trinimfa dan dewasa Mullen et al. 2009. Dalam f e h g i b a c d daur hidupnya, seekor tungau betina dapat menghasilkan ratusan hingga ribuan telur. Telur-telur berubah menjadi larva dan sebagian besar bertindak sebagai ektoparasit pada inangnya . L. echidninus betina merupakan tungau yang berkembang biak secara ovivar. Tungau betina akan memproduksi hexapod larva, terkadang larva tersebut parthenogenesis. Larva tungau tidak makan, namun berganti kulit molting sampai fase pertama dari nimfa pada 10-13 jam. Perubahan menjadi nimfa fase kedua berlangsung dalam kurun waktu hingga sebelas hari. Lalu dalam kurun waktu tiga sampai sembilan hari akan berubah menjadi fase dewasa. Jadi, seluruh siklus hidup memerlukan waktu kurang lebih dua puluh hari. Tungau betina dapat hidup selama dua sampai tiga bulan jika makan, namun hanya mampu bertahan kurang lebih satu minggu tanpa adanya makanan. L. echidninus umum ditemukan pada tikus liar. Inang alaminya adalah cotton rats dan tikus-tikus liar lainnya. Tikus laboratorium dan mencit juga peka terhadap tungau ini dan infestasi pada tikus laboratorium sering terjadi. Hal ini dikarenakan kondisi kandang tikus yang tidak bersih maupun infestasi melalui alas kandang yang terinfestasi oleh L. echidninus. Alas kandang tikus yang biasa digunakan dalam pemeliharaan tikus laboratorium adalah jerami maupun serbuk kayu yang dapat menjadi tempat berkembang biak L. echidninus. Tungau akan makan pada malam hari dengan cara merobek kulit inang kemudian menghisap darah dari inang tersebut melalui kulit yang telah dilukai. Selain menghisap darah, L. echidninus juga memakan sekresi lakrimal dan eksudat serous dari inangnya. Terkadang, tungau juga memakan larva mereka sendiri. Pada kondisi laboratorium, mereka tidak pernah terlihat melukai kulit dari inang mereka. Menurut Flynn Baker 2007 L. echidninus merupakan inang alami dari Hepatozoon muris dan vektor Francisella tularensis, penyebab penyakit tularemia. L. echidninus dapat menyebabkan urtikaria pada tikus putih Zhao 2002.

4.1.2 Polyplax spinulosa

Polyplax spinulosa merupakan kutu penghisap yang termasuk ke dalam ordo Phthiraptera dan subordo Anoplura sucking lice, famili Polyplacidae. Kutu ini biasa ditemukan pada tikus laboratorium R. norvegicus dan tikus liar. Menurut Burmeister 1839 P. spinulosa tergolong ke dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Phthiraptera, famili Polyplacidae, genus Polyplax, dan spesies Polyplax spinulosa. Gambar 6 Polyplax spinulosa. A Kepala, B, Toraks, C, Abdomen, a mulut, b antena, c kaki, d kuku, e segmen, f keping pleura Hasil penelitian menunjukkan bahwa P. spinulosa memiliki ukuran tubuh mencapai 1,5 mm dengan pembagian struktur tubuh kepala, toraks, dan abdomen. P. spinulosa tidak memiliki mata. Kepala kutu berukuran kecil dan terdapat sepasang antena yang tersegmentasi menjadi tiga sampai lima bagian dan meruncing pada bagian ujung dari antena tersebut. Di bagian toraks terdapat tiga pasang kaki dengan kuku yang berbentuk seperti capit pada bagian ujung kaki. Abdomen P. spinulosa berukuran panjang dan menyerupai kerucut. Bagian abdomen memiliki tujuh keping lateral pada setiap sisi dan memiliki tujuh sampai tiga belas keping dorsal. Tubuh kutu berwarna kuning kecokelatan Gambar 6. Suckow et al. 2006 menyatakan bahwa P. spinulosa merupakan jenis kutu yang biasa dijumpai pada tikus laboratorium R. norvegicus. Kutu ini A B C a b c d e f memiliki tubuh yang ramping dan berwarna kuning kecoklatan dan memiliki panjang tubuh 0,6-1,5 mm. Pada bagian kepala umumnya memiliki bentuk yang ramping dan lebih sempit dibandingkan toraks. Di bagian toraks terdapat keping ventral yang berbentuk pentagonal. Abdomen kutu dewasa berwarna kecokelatan dan memiliki sebelas segmen yang ditutupi oleh seta. P. spinulosa betina umumnya memiliki tubuh yang lebih panjang dari pada jantan yang memiliki bentuk tubuh lebih pendek dan lebar. Pada kutu betina, organ genitalnya memiliki dua pasang gonopod yang berfungsi untuk memandu, memanipulasi, dan memberikan perekat pada telur untuk diletakkan pada rambut maupun kulit inang. Organ genital P. spinulosa jantan umumnya besar dan terletak pada bagian tengah dari abdomen. Kutu memiliki enam kaki dengan kuku yang digunakan untuk mencengkeram rambut inang Mullen et al. 2009. Kutu termasuk serangga yang bermetamorfosis tidak sempurna, yaitu perkembangbiakkan yang memiliki fase hidup telur, nimfa, dan dewasa dimana fase nimfa menyerupai fase dewasa. P. spinulosa betina termasuk hewan ovivar. Sebagian besar telurnya diletakkan pada rambut inang. Telur-telur pada kutu memiliki operculum yang merupakan tempat untuk keluarnya larva, berbentuk kerucut dengan pori-pori di sepanjang operculum. Pada bagian atas dari operculum terdapat lubang kecil yang diselimuti oleh kutikula tipis berfungsi untuk tempat respirasi embrio yang sedang berkembang. Pada tahap nimfa, terdapat tiga nimfa instar dan nimfa ketiga akan berubah menjadi dewasa. Umumnya tahap ini berlangsung selama empat sampai lima belas hari, masing- masing nimfa instar selama tiga sampai delapan hari dan menjadi dewasa mencapai 35 hari. Pada kondisi yang optimal, kutu ini dapat menghasilkan sepuluh sampai dua belas generasi pertahunnya, namun jarang terjadi pada keadaan alaminya Mullen et al. 2009. P. spinulosa termasuk ke dalam kutu dengan inang yang spesifik host specific dan biasanya tidak dapat hidup jauh dari inangnya lebih dari empat jam atau empat hari pada sebagian kasus. P. spinulosa menghabiskan seluruh hidupnya pada tubuh inangnya. Kutu ini dapat berkembang dengan baik pada koloni tikus laboratorium dan jika infestasi terjadi dalam jumlah yang banyak maka dapat menyebabkan pendarahan yang serius pada tikus yang menjadi inangnya sehingga terjadi anemia serta dermatitis akibat gigitan dari P. spinulosa. Selain itu, P. spinulosa merupakan vektor dari Myoplasma haemomuris Haemobartonella muris, Rickettsia typhii, Trypanosoma lewisi, Borellia duttoni, dan Brucella brucei Suckow et al. 2006.

4.1.3 Larva Caplak

Larva caplak merupakan jenis ektoparasit ketiga yang ditemukan pada tikus putih R. norvegicus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva caplak yang ditemukan tergolong ke dalam ordo Parasitiformes dan famili Ixodidae. Hal ini ditunjukkan oleh adanya skutum pada larva tersebut yang merupakan ciri khas dari famili Ixodidae. Ixodidae memiliki tubuh yang berbentuk bulat telur dan mempunyai integumen. Panjang bagian dari mulut sama dengan bagian basis kapituli. Segmen kedua dari palpi dan basis kapituli tidak tumbuh ke arah lateral. Caplak jantan dan betina memiliki skutum, namun pada caplak jantan skutum menutupi seluruh tubuh bagian dorsal sedangkan pada betina hanya menutupi sepertiga bagian anterior dari tubuh. Larva caplak memiliki tiga pasang kaki yang terdapat pada abdomen Gambar 7. Caplak tergolong ke dalam famili Ixodidae caplak keras dan Argasidae caplak lunak. Berdasarkan hasil penangkapan tikus di Korea, Kim et al. 2010 menemukan banyak larva caplak yang berasal dari famili Ixodidae pada tikus putih R. norvegicus. Caplak dewasa memiliki daur hidup yang diawali dari bentuk telur yang diletakkan di tanah oleh induknya. Larva yang telah menetas akan segera mencari inang untuk ditempatinya agar dapat bertahan hidup. Larva akan berubah menjadi nimfa. Larva dan nimfa caplak menghisap darah inangnya untuk dapat melakukan perubahan siklus hingga pencapaian dewasanya. Larva caplak memiliki tiga pasang kaki dan tidak berwarna. Larva caplak akan berbentuk bulat dan akan menjadi lebih besar ketika kenyang menghisap darah. Stadium larva pada caplak merupakan stadium parasitik. Infestasi larva caplak dapat menyebabkan anemia dan dermatitis. Selain itu, larva caplak memiliki peranan dalam penyebaran penyakit. Nijhof et al. 2007 menyatakan bahwa Ixodidae merupakan vektor Anaplasma phagocytophilum dan Rickettsia helvetic pada tikus. Keberadaan larva caplak pada tikus laboratorium dapat terjadi karena faktor alas kandang yang digunakan terinfestasi oleh telur caplak. Pemeliharaan tikus laboratorium dikondisikan untuk dikandangkan sehingga larva yang ditemukan hanya sedikit. Gambar 7 Larva Caplak Ixodidae. a palpi b kapitulum, c basis kapituli, d kaki, e skutum.

4.2 Sebaran Jenis-Jenis Ektoparasit pada Tikus Putih

R. norvegicus

Berdasarkan hasil penelitian, jenis ektoparasit yang paling dominan terdapat pada tubuh tikus spesies R. norvegicus adalah L. echidninus. Jenis-jenis ektoparasit lain yang berhasil diidentifikasi adalah P. spinulosa, dan larva caplak Tabel 1. L. echidninus yang berhasil diidentifikasi pada empat belas ekor tikus R. norvegicus sebesar sebesar 92 46 ekor. P. spinulosa teridentifikasi sebanyak 6 3 ekor, dan larva caplak sebanyak 2 1 ekor. a b c d e L. echidninus merupakan tungau yang dominan ditemukan pada tikus putih. Hal ini terkait dengan daur hidup L. echidninus yang memiliki daur hidup metamorfosis sempurna. Larva dewasa yang bertelur akan meletakkan telur- telurnya pada permukaan tanah maupun alas kandang. Telur-telur akan berubah menjadi larva, nimfa, dan dewasa pada tubuh inang. Siklus hidup L. echidninus dewasa tergolong lama karena dapat bertahan hidup selama kurang lebih dua sampai tiga bulan.

4.3 Sebaran Ektoparasit Berdasarkan Regio

Hasil penelitian menunjukkan bahwa total ektoparasit yang berhasil dikoleksi dari beberapa regio tubuh empat belas ekor tikus R. norvegicus galur Sprague Dawley, seperti kepala, punggung, dan ekor adalah sebanyak 50 ekor Tabel 2. Sebesar 44 22 ekor ektoparasit ditemukan di regio tubuh punggung tikus putih R. norvegicus, bagian pangkal ekor sebanyak 32 16 ekor, dan bagian kepala sebanyak 24 12 ekor. Hasil ini menunjukkan bahwa regio yang paling dominan ditemukan ektoparasit tersebut adalah pada bagian punggung tikus putih R. norvegicus. Hal ini terjadi karena pada bagian punggung merupakan bagian dari tubuh yang paling jarang terjadi pergerakan, pergesekan dengan kandang dan tikus lainnya sehingga pada daerah tersebut banyak Tabel 1 Jenis ektoparasit pada tikus putih R. norvegicus No Tikus Jenis Ektoparasit ekor Total Laelaps echidninus Polyplax spinulosa Larva Caplak 1 4 4 2 7 7 3 5 5 4 4 2 6 5 4 1 5 6 3 3 7 5 5 8 4 4 9 2 2 10 1 1 11 1 1 2 12 3 3 13 2 2 14 1 1 Total 46 3 1 50 92 6 2 100 ditemukan ektoparasit. Selain itu, pada daerah punggung merupakan daerah yang nyaman bagi kehidupan ektoparasit karena pada lokasi ini memiliki kelenturan kulit yang cukup baik sehingga memudahkan ektoparasit tersebut mengambil makanan. Tabel 2 Sebaran ektoparasit pada tikus putih R. norvegicus berdasarkan regio No Tikus Jumlah Ektoparasit pada beberapa Regio ekor Total Kepala punggung Pangkal Ekor 1 4 4 2 4 3 7 3 2 3 5 4 4 1 5 5 2 1 3 6 2 1 3 7 3 2 5 8 1 2 3 9 1 1 2 10 3 3 11 1 1 2 12 1 2 3 13 2 2 14 2 1 3 Total 12 22 16 50 24 44 32 100

4.4 Gambaran Umum Tikus yang Terinfestasi Ektoparasit

Dokumen yang terkait

Pengaruh Hormon Testosteron Undekanoat (TU) Dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa dan Histologi Spermatogenesis Tikus Jantan (Rattus Novergicus L) Galur Sprague Dawley

4 46 157

Uji Efek Antifertilitas Serbuk Bawang Putih (Allium Sativum L.) Pada Tikus Jantan (Rattus Novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo Dan In Vitro

3 25 115

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) Terhadap Kualitas Sperma Pada Tikus Jantan Galur Sprague- Dawley Secara In Vivo dan Aktivitas Spermisidal Secara In Vitro

0 15 104

EFEK HEPATOPROTEKTIF SARANG BURUNG WALET PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI DENGAN ALKOHOL

1 9 77

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH PADA GAMBARAN HISTOPATOLOGI MIOKARDIUM TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 4 65

PERBEDAAN ANGKA RESORPSI FETUS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE DAWLEY TERHADAP PEMBERIAN ASAM FOLAT

1 14 63

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH TERHADAP KETEBALAN DINDING AORTA ABDOMINAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 5 72

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 26 71

Ragam jenis ektoparasit pada hewan uji coba tikus putih (Rattus norvegicus) galur sprague dawley

1 9 94

Uji Aktivitas Gel Etil p-metoksisinamat terhadap Penyembuhan Luka Terbuka pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley

6 24 104