berbagai macam agen penyakit. Tikus juga berperan dalam penyebaran penyakit zoonosis, seperti leptospirosis, salmonellosis, rat-bite fever, leishmaniasis, dan
plague Kia et al. 2009. Tikus rentan terhadap penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteria, virus, parasit, dan jamur. Beberapa penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan penyakit yang terdapat pada tikus seperti plague, tripanosomiasis, dan merupakan reservoir alami penyebab epidemic haemorrhagic
fever EHF virus Su et al. 1989; Coutinho dan Linardi 2007; Wei et al. 2010. Selain itu, tikus di alam juga dapat dijadikan sebagai indikator kehadiran dan
dispersal dari enam agen mikroba zoonotik, seperti Rickettsia typhi, R. Conorii, Toxoplasma sp., Coxiella burnetti, Bartonella henselae, dan Leishmania infantum
Anna et al. 2010. Selain mempengaruhi kesehatan tikus putih, keberadaan ektoparasit juga
dapat mempengaruhi hasil dari penelitian yang menggunakan tikus sebagai hewan coba. Oleh karena itu, sangat penting diketahui jenis-jenis ektoparasit yang
terdapat pada tikus sebagai hewan coba. Info mengenai jenis-jenis ektoparasit pada tikus ini belum pernah ditemukan sehingga penelitian ini diperlukan.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman jenis dan morfologi ektoparasit pada tikus putih R. norvegicus galur Sprague Dawley sebagai hewan
coba.
1.3 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang keberadaan dan jenis ektoparasit yang terdapat pada tikus putih R. norvegicus galur Sprague
Dawley sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan penggunaan tikus terinfestasi ektoparasit sebagai hewan coba dan pengendalian
yang tepat.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1
Tikus putih R. norvegicus
Hewan coba merupakan hewan yang dikembangbiakkan untuk digunakan sebagai hewan uji coba. Tikus sering digunakan pada berbagai macam penelitian
medis selama bertahun-tahun. Hal ini dikarenakan tikus memiliki karakteristik genetik yang unik, mudah berkembang biak, murah serta mudah untuk
mendapatkannya. Tikus merupakan hewan yang melakukan aktivitasnya pada malam hari nocturnal.
Tikus putih R. norvegicus atau biasa dikenal dengan nama lain Norway Rat berasal dari wilayah Cina dan menyebar ke Eropa bagian barat Sirois 2005.
Pada wilayah Asia Tenggara, tikus ini berkembang biak di Filipina, Indonesia, Laos, Malaysia, dan Singapura Medway 1983. Faktor yang mempengaruhi
penyebaran ekologi dan dinamika populasi tikus putih R. norvegicus yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik yang penting dalam mempengaruhi dinamika
populasi tikus adalah air minum dan sarang. Air merupakan kebutuhan penting bagi tikus. Sarang memiliki beberapa fungsi untuk kehidupan tikus, seperti untuk
melahirkan, membesarkan anak-anaknya, menyimpan pakan, berlindung dari lingkungan yang kurang menguntungkan, dan tempat untuk beristirahat. Cuaca
tidak mempengaruhi secara langsung pada dinamika populasi tikus. Faktor biotik yang penting dalam mempengaruhi populasi tikus antara lain adalah 1 tumbuhan
atau hewan kecil sebagai sumber pakan, 2 patogen penyebab penyakit dari golongan virus, bakteri, cendawan, nematoda, protozoa, dan sebagainya, 3
predator dari golongan reptilia, aves, dan mamalia, 4 tikus sebagai kompetitor, khususnya pada populasi tinggi, dan 5 manusia yang merupakan musuh utama
bagi tikus Priyambodo 1995.
2.1.1 Klasifikasi Tikus Putih
R. norvegicus
Tikus digolongkan ke dalam Ordo Rodentia hewan pengerat, Famili Muridae dari kelompok mamalia hewan menyusui. Menurut Priyambodo 1995
Ordo Rodentia merupakan ordo terbesar dari kelas mamalia karena memiliki jumlah spesies 40 dari 5.000 spesies di seluruh mamalia.
Klasifikasi tikus putih R. norvegicus menurut Myres Armitage 2004. Kingdom
: Animalia Filum
: Chordata Kelas
: Mamalia Ordo
: Rodentia Subordo
: Sciurognathi Famili
: Muridae Sub-Famili
: Murinae Genus
: Rattus Spesies
: Rattus norvegicus GalurStrain
: Sprague Dawley Tikus putih merupakan strain albino dari R. norvegicus. Tikus memiliki
beberapa galur yang merupakan hasil pembiakkan sesama jenis atau persilangan. Galur yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Sprague Dawley
Inglis 1980. Galur ini berasal dari peternakan Sprague Dawley, Madison, Wiscoustin.
2.1.2 Ciri Morfologi Tikus Putih
R. norvegicus
Tikus putih R. norvegicus yang memiliki nama lain Norway rat, termasuk ke dalam hewan mamalia yang memiliki ekor panjang. Ciri-ciri galur ini
yaitu bertubuh panjang dengan kepala lebih sempit. Telinga tikus ini tebal dan pendek dengan rambut halus. Mata tikus putih berwarna merah. Ciri yang paling
terlihat adalah ekornya yang panjang. Bobot badan tikus jantan pada umur dua belas minggu mencapai 240 gram sedangkan betinanya mencapai 200 gram. Tikus
memiliki lama hidup berkisar antara 4-5 tahun dengan berat badan umum tikus jantan berkisar antara 267-500 gram dan betina 225-325 gram Sirois 2005.
Tikus dapat mendengar hingga suara ultrasonik dengan rentang pendengaran 70 dB yaitu 250 Hz-70 kHz dan rentang yang paling sensitif berkisar
antara 8-32 kHz. Suara ultrasonik ini sangat penting sebagai alat berkomunikasi antara induk dengan anaknya. Galur ini memiliki pertumbuhan yang cepat,
tempramen yang baik dan kemampuan laktasi yang tinggi Robinson 1979. Tikus putih R. norvegicus tersebar luas di beberapa tipe habitat, namun tikus putih
lebih sering terlihat pada beberapa tempat yang merupakan habitat alami dari tikus putih, yaitu area pertanian, hutan alami maupun buatan, pesisir pantai, dan tempat-
tempat yang lembab Pagad 2011.
2.1.3 Biologi dan Perilaku Tikus Putih
R. norvegicus
Tikus termasuk binatang pemakan segala makanan omnivora. Walaupun demikian, tikus cenderung untuk memilih biji-bijian serealia seperti jagung,
padi, dan gandum. Air sebagai sumber minuman dapat diambil dari air bebas atau dapat diperoleh dari pakan yang banyak mengandung air. Kebutuhan air bagi tikus
tergantung dari suhu, lingkungan, aktivitas, umur, dan jenis makanan. Kebutuhan air berkurang, jika pakan yang dikonsumsi sudah banyak mengandung air. Pada
umumnya tikus makan secara teratur pada tempat tertentu. Tikus putih R. norvegicus biasanya membuat sarang pada tempat-tempat yang berdekatan
dengan sumber makanan dan air. Tikus bermigrasi jika terjadi kekurangan makanan pada habitat awal yang ditempati Priyambodo 1995.
Menurut Smith Mangkoewidjojo 1988 tikus memiliki masa kawin pada saat berumur delapan sampai sembilan minggu. Tikus merupakan hewan
poliestrus dan berkembang biak sepanjang tahun. Periode estrus terjadi selama dua belas jam dan lebih sering terjadi pada malam hari dibandingkan dengan siang
hari. Kelahiran anak pada tikus putih dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kondisi iklim dan cuaca yang optimal khususnya suhu, pakan yang melimpah,
sarang yang baik, umur, dan kondisi induk yang optimal.
2.2 Jenis Ektoparasit Pengganggu pada Tikus Putih
R. norvegicus
Penyakit yang dapat diderita oleh tikus salah satunya diakibatkan oleh parasit luar. Ektoparasit yang dapat menginfestasi pada tikus ini meliputi Polyplax
spinulosa, Laelaps echidninus, Bdellonyssus bacoti, Notoedres cati, Otodectes cyanotis, Echidnophaga gallinacea, dan Xenopsylla cheopis Sirois 2005.
Polyplax spinulosa merupakan kutu yang
termasuk dalam ordo Phthiraptera dan famili polyplacidae. Kutu ini memiliki ukuran kecil, yaitu
berukuran mulai 1-10 mm, bermetamorfosis tak sempurna hemimetabola, tipe mulut untuk menusuk dan menghisap, serta tidak memiliki sayap. Kutu dapat
menyebabkan hewan tidak bisa tidur gatal-gatal, kehilangan berat badan, produksi berkurang, dan anemia Levine 1990. Selain itu, kutu juga dapat sebagai
vektor penyebaran penyakit pada tikus. Penyebaran penyakit ini dapat ditularkan melalui gigitan dari kutu yang membawa virus, bakteri, rikketsia, dan penyakit
parasitik lainnya Omudu Ati 2010. Laelaps echidninus merupakan jenis tungau yang biasa terdapat pada tikus
Gambar 1. Tungau ini memiliki ukuran yang sangat kecil dan aktif menghisap darah. L. echidninus sendiri merupakan vektor alami dari Hepatozoon muris dan
dapat juga mentransmisikan agen tularemia Francisella tularensis di antara rodentia lain. Infestasi tungau pada tubuh tikus dapat menyebabkan iritasi dan
kegatalan. L. echidninus menyebabkan lesio pada telapak kaki tikus Flynn
1973.
Gambar 1 Morfologi Laelaps echidninus ventral. a Kelisera, b Pedipalpus, c Peritreme, d Anus, e Keping anal, f Seta.
Bdellonyssus bacoti atau biasa dikenal dengan Ornithonyssus bacoti, termasuk ke dalam famili Macronyssidae dan merupakan tungau yang biasa hidup
pada tikus. Bdellonyssus bacoti dapat menyebabkan dermatitis dan menularkan penyakit tifus pada manusia. Tungau ini memiliki kelisera yang lebih kuat dari
pada Dermanyssus sp. dan lebih mudah terlihat di bawah mikroskop. Morfologi lain dari tungau yaitu memiliki satu keping dorsal dan anus terletak di tengah
anterior keping anal. B. bacoti merupakan inang antara dari Litmosoides carinii Bowman et al. 2003. Selain itu, B. bacoti sebagai vektor mekanik Trypanosoma
cruzi Jimenez et al. 1994. Notoedres cati merupakan parasit pada kucing, tikus, kelinci, dan manusia
bersifat sementara. Tungau ini memiliki ukuran dewasa mencapai 230-275 m
dan memiliki empat kaki yang pendek Gambar 2. Bagian dorsal tubuh tungau terdapat sisik, namun tidak terdapat duri. Anus N. cati terletak pada bagian dorsal
antara kaki ketiga dan keempat Flynn 1973. Tungau ini menginfestasi kucing, dan dapat berpindah ke hewan lain atau manusia, tetapi hanya dapat bertahan
hidup tidak lebih dari tiga hari. Hal ini disebabkan karena tungau memiliki induk semang inang yang spesifik Nahm Corwin 1997. Peradangan dan
a b
c
d e
f
keratinisasi pada kulit menyebabkan kulit menjadi tebal dan berkerut Soulsby 1982.
Gambar 2 Morfologi Notoedres cati. a Alat penghisap, b sisik, c anus, d Flagela Urquhart et al. 1987.
Otodectes cynotis merupakan tungau yang termasuk ke dalam famili Psoroptidae. Tubuh O. cynotis memiliki tarsi yang pendek, pedikulus pertama dan
kedua tidak memiliki segmen pada betina, serta di seluruh pedikulus pada jantan. Tungau ini menginfestasi telinga bagian luar dan kulit anjing, kucing, musang,
dan rubah yang dapat menyebabkan iritasi. Karakteristik dari penyakit yang ditimbulkan oleh O. cynotis adalah produk serumen yang berwarna gelap
Bowman et al. 2003. Echidnophaga gallinacea sticktight flea, umumnya terdapat pada ayam
namun dapat menyerang hewan domestik. Pinjal ini biasanya menyerang pada bagian kepala, terutama pial pada ayam. Beberapa hewan yang dapat dijadikan
inang oleh E. gallinacea antara lain burung-burung lokal kalkun, burung puyuh, tikus, anjing, kucing, dan terkadang manusia. Bentuk dewasa dari pinjal ini dapat
dikenali dari bentuk kepala dan tidak adanya pronatal serta genal ktenidia Mullen et al. 2009.
a
b c
d
Xenopsylla cheopis merupakan genus pinjal yang terdapat pada tikus serta dapat menyerang ke manusia. Ukuran tubuh pinjal kurang lebih 2,5 mm. Tubuh
pinjal terdiri dari kepala, thoraks, dan abdomen. Bagian kepala dan toraks memiliki dua segmen dan abdomen memiliki delapan segmen. X. Cheopis
memiliki tiga pasang kaki Gambar 3. Kaki belakang pinjal memiliki tungkai yang panjang sehingga pinjal dapat melompat jauh. Ciri morfologi yang
membedakan X. cheopis dengan genus lainnya adalah tidak memiliki rambut dan bentuk kepala yang lebih bulat. Pinjal ini berperan penting dalam penyebaran
penyakit pes di Indonesia maupun di dunia Gage Kosoy 2005.
a b
Gambar 3 Xenopsylla cheopis; a jantan; b betina
2.3.1 Gambaran Diferensiasi Sel Darah Putih pada Tikus Putih
R. norvegicus
Darah merupakan jaringan sirkulasi yang menyalurkan oksigen dan nutrisi serta membuang karbondioksida dan beberapa materi yang tidak diperlukan oleh
tubuh melalui pertukaran gas, aktivitas seluler, dan pertahanan tubuh. Darah tersusun dari komponen-komponen darah, yaitu sel darah dan plasma darah. Sel
darah terdiri atas sel darah merah red blood cell, sel darah putih white blood cell, dan keping darah platelete Samuelson 2007.
2.3.1 Sel Darah Putih
Leucocyte
Sel darah putih dikenal sebagai leukosit merupakan unit pertahanan tubuh yang dibentuk di sumsum tulang belakang dan sebagian dibentuk di jaringan
limfoid. Granulosit dan monosit merupakan sel darah putih yang dibentuk di sumsum tulang belakang, sedangkan limfosit dan sel-sel plasma dibentuk di
jaringan limfoid. Granulosit merupakan sel-sel polimorfonuklear yang memiliki granular, seperti neutrofil, eosinofil, dan basofil. Granulosit memiliki masa hidup
empat sampai delapan jam dalam sirkulasi darah dan empat sampai lima hari berikutnya pada jaringan yang membutuhkan. Namun, pada infeksi yang berat,
masa hidup keseluruhan dapat berkurang lebih cepat karena granulosit bekerja lebih cepat pada daerah yang terinfeksi, melakukan fungsinya, dan masuk ke
dalam proses ketika sel-sel tersebut dimusnahkan. Monosit memiliki masa edar yang singkat, yaitu 10-20 jam dalam darah, sedangkan limfosit memiliki masa
hidup berminggu-minggu atau berbulan-bulan tergantung dari kebutuhan tubuh terhadap limfosit Guyton Hall 2008
Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral. Neutrofil, eosinofil, basofil, dan monosit berfungsi sebagai pelindung tubuh
terhadap zat asing dengan cara fagositosis seluler. Fungsi limfosit dan sel plasma berkaitan dengan sistem imun humoral. Diferensiasi sel darah putih
dapat menjadi acuan untuk mengetahui sistem kekebalan tubuh pada tikus jika terserang suatu penyakit Guyton Hall 2008
2.3.2 Neutrofil
Neutrofil merupakan sel darah putih yang tergolong ke dalam sel polimorfonuklear PMN. Neutrofil dibentuk dalam sumsum tulang dan
dikeluarkan dalam sistem sirkulasi. Jumlah neutrofil normal berkisar antara 12- 37 dari leukosit yang beredar, garis tengah sekitar 12
m , dan terdapat dua
sampai lima segmen Gambar 4a. Sitoplasma banyak diisi oleh granula-granula spesifik 0,3-0,8
m dan berwarna merah muda Thrall et al. 2004.
Neutrofil jarang mengandung retikulum endoplasma granuler, sedikit mitokondria, aparatus golgi rudimenter, dan sedikit granula glikogen. Neutrofil
merupakan garis depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad renik, memfagosit partikel kecil dengan aktif. Neutrofil mempunyai metabolisme yang sangat aktif
dan mampu melakukan glikolisis baik secara aerob maupun anaerob. Kemampuan neutrofil untuk hidup dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan karena
mereka dapat membunuh bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan nekrotik Effendi 2003.
2.3.3 Eosinofil
Eosinofil merupakan sel darah putih yang termasuk ke dalam granulosit. Jumlah eosinofil hanya 0-6 dari leukosit dan mempunyai garis tengah 9 m
, sedikit lebih kecil dari neutrofil Mitruka Rawnsley 1981. Inti memiliki dua
segmen, retikulum endoplasma, mitokondria, dan apparatus Golgi kurang berkembang Gambar 4b. Eosinofil mempunyai pergerakan amuboid dan mampu
melakukan fagositosis terhadap komplek antigen dan antibodi Effendi 2003. Pada infeksi parasit, eosinofil diproduksi dalam jumlah yang besar dan akan
dimigrasikan ke daerah yang terinfeksi. Selain itu, eosinofil juga mempunyai kecenderungan khusus untuk berkumpul di jaringan tempat terjadinya reaksi
alergi dan diduga mampu mendetoksifikasi beberapa zat yang dapat menimbulkan peradangan yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil Guyton Hall 2008.
2.3.4 Basofil
Basofil merupakan sel darah putih yang memiliki jumlah kecil di dalam darah tikus. Jumlah basofil di dalam darah berkisar antara 0-3 Thrall et al.
2004. Basofil umumnya berbentuk seperti huruf S Gambar 4c. Sitoplasma basofil berisi granul yang lebih besar dan seringkali menutupi inti. Granul basofil
memiliki bentuk ireguler berwarna metakromatik. Basofil merupakan sel utama yang paling banyak ditemukan pada tempat peradangan atau alergi Caroline et al.
2009. Basofil mengandung heparin dan memiliki protein reseptor pada bagian
permukaan yang dapat mengikat IgE Imunoglobulin yang berperan dalam pertahanan terhadap alergi Guyton Hall 2008.
2.3.5 Limfosit
Limfosit merupakan sel yang sferis, memiliki garis tengah 6-8 m
, dengan jumlah 63-84 dari leukosit darah Mitruka Rawnsley 1981. Secara
normal, sel limfosit mempunyai inti relatif besar, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, inti kromatin padat, anak inti baru terlihat dengan menggunakan mikroskop
elektron Gambar 4d. Limfosit memiliki sitoplasma yang sangat sedikit, sedikit basofilik, dan mengandung granula-granula azurofilik. Limfosit dalam sirkulasi
darah normal dapat berukuran 10-12 m . Ukuran yang lebih besar disebabkan
sitoplasmanya yang lebih banyak. Sel limfosit berada dalam kelenjar getah bening dan akan tampak dalam darah dalam keadaan patologis. Secara fungsional,
limfosit dikelompokkan menjadi dua, yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T dan B dibentuk dalam sumsum tulang. Limfosit T memiliki jangka waktu hidup
lama dan berperan dalam reaksi kekebalan yang diperantarai oleh sel. Limfosit B memiliki jangka waktu hidup yang bervariasi dan berperan dalam produksi
antibodi Guyton Hall 2008.
2.3.6 Monosit
Monosit merupakan sel leukosit yang berukuran besar dan terdapat sebanyak 0 sampai 5 dari jumlah leukosit normal Mitruka Rawnsley 1981
. Monosit memiliki diameter 9-10
m , tetapi pada sediaan darah kering diameter
mencapai 20 m
atau lebih. Inti biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda dan kromatin kurang padat Gambar 4e. Retikulum
endoplasma yang ditemui pada monosit sedikit. Monosit banyak ditemukan dalam darah dan terdapat di dalam darah selama beberapa jam Guyton Hall 2008.
Monosit tergolong fagositik mononuklear sistem retikuloendotel dan mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya. Monosit
beredar melalui aliran darah, menembus dinding kapiler masuk ke dalam jaringan
penghubung, dan berdiferensiasi menjadi makrofag. Di dalam jaringan bereaksi dengan limfosit dan memegang peranan penting dalam pengenalan dan interaksi
sel-sel dengan antigen Samuelson 2007.
Gambar 4 Sel darah putih leucocyte dan sel darah merah erytrocyte ; a Neutrofil, b Eosinofil, c Basofil, d Limfosit, e Monosit
a b
c d
e
3 METODE PENELITIAN 3.1
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Insektarium, Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai April 2010 dan
dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu pengambilan sampel, pembuatan preparat, dan identifikasi.
3.2 Pengambilan Sampel Ektoparasit
Sampel ektoparasit diambil dari empat belas ekor tikus putih R. norvegicus galur Sprague Dawley. Pengambilan ektoparasit pada tikus ini
dilakukan secara manual yaitu dengan menggunakan kapas yang dibasahi dengan alkohol 70 dan pinset. Kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol ini kemudian
ditempelkan ke bagian tubuh tikus yang terdapat ektoparasit. Hal ini dimaksudkan supaya ektoparasit pada tubuh tikus mudah untuk didapatkan dan dikoleksi
sedangkan pinset digunakan sebagai alat bantu untuk mengambil ektoparasit yang menempel pada badan tikus.
Teknik pengambilan sampel dilakukan selama sepuluh menit dan dilakukan pengulangan sebanyak dua kali. Sampel yang telah didapatkan kemudian
dimasukkan ke dalam cawan petri yang berisi alkohol 70. Tiap-tiap sampel ektoparasit yang telah terkumpul kemudian dipisahkan dengan kotoran yang
terikut di dalam cawan petri dan dipindahkan ke dalam tabung koleksi yang juga berisi alkohol 70 dan diberi label.
3.3 Pembuatan Preparat Ektoparasit
Pembuatan preparat dilakukan setelah sampel semua terkumpul. Spesimen yang berasal dari alkohol dikeluarkan dari botol, kemudian dicuci dengan
menggunakan air dan spesimen direndam dengan menggunakan laktofenol dalam temperatur kamar selama kurang lebih tujuh hari. Setelah tujuh hari direndam
dengan larutan laktofenol, spesimen kemudian dicuci sebanyak tiga sampai empat kali sampai air tidak berkabut. Larutan Hoyer diteteskan kurang lebih satu sampai
dua tetes di atas gelas objek yang akan dipakai. Lalu satu sampai dua spesimen diletakkan ke dalam larutan Hoyer dengan cara menenggelamkan ke dalam
larutan. Preparat kemudian ditutup dengan gelas penutup dan jangan sampai ada gelembung udara yang masuk. Namun, jika ada gelembung udara yang masuk
maka gelas objek dipanaskan di atas api secara perlahan-lahan sehingga gelembung udara ini akan menghilang. Setelah itu, slide disimpan ke dalam slide
warmer selama empat sampai lima hari atau di dalam temperatur kamar selama tujuh sampai sepuluh hari. Jika preparat tersebut sudah kering, pada sekeliling
gelas penutup diberikan lapisan kuteks secara merata.
3.4 Identifikasi Ektoparasit