4. Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana, dan
keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana. Alasan beliau menambahkan sistem pembebanan yang keempat adalah
sebagai berikut
47
: a.
Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian karena
pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan atau
menghindarkanmengurangi kerugian finansial bagi korporasi. b.
Apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi sedangkan pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem ini
akan dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi tanga
n”. Dengan kata lain pengurus akan selalu dapat berlindung di balik punggung korporasi untuk melepaskan dirinya dari tanggung jawab
dengan dalih dahwa perbuatannya itu bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi merupakan perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi
dan untuk kepentingan korporasi. c.
Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin dilakukan secara vikarius, atau bukan langsung.
Menurut Pasal 59 KUHP, subyek hukum korporasi tidak dikenal. Apabila pengurus korporasi melakukan tindak pidana yang dilakukan dalam rangka
mewakili atau
dilakukan untuk
dan atas
nama korporasi,
maka
47
Ibid., hlm. 59.
pertanggungjawaban pidana dibebankan hanya kepada pengurus yang melakukan tindak pidana itu. Bunyi lengkap Pasal 59 KUHP adalah sebagai berikut :
“Dalam hal menentukan hukuman karena pelanggaran, terhadap pengurus, anggota salah satu pengurus atau komisaris, maka hukuman tidak dijatuhkan atas
pengurus atau komisaris jika nyata bahwa pelanggaran itu telah terjadi diluar tanggungannya”.
Dari isi Pasal 59 KUHP maka dapat diketahui bahwa tindak pidana tidak pernah dilakukan oleh korporasi tetapi dilakukan oleh pengurusnya. Sebagai
konsekuensinya, maka pengurus itu pula yang dibebani pertanggungjawaban pidana sekalipun pengurus dalam melakukan perbuatan itu dilakukan untuk dan
atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, atau bertujuan untuk memberikan manfaat bagi korporasi dan bukan bagi pribadi pengurus.
Alasan KUHP tidak mengenal adanya tanggung jawab pidana oleh korporasi dipengaruhi oleh dua azas, yaitu azas
“societas delinquere non potest” dan
“actus non facit reum, nisi mens sit rea”. Azas “societas delinquere non potest” atau “universitas delinquere non potest” berarti bahwa badan-badan
hukum tidak bisa melakukan tindak pidana. Azas ini merupakan contoh yang khas dari pemikiran dogmatis dari abad ke-19, dimana kesalahan menurut hukum
pidana selalu diisyaratkan sebagai kesalahan manusia.
48
Sehingga kesalahan korporasi tidak diakui dalam hukum pidana. Para pembuat KUHP berpendapat
bahwa hanya manusia yang dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana berdasarkan azas
“actus non facit reum, nisi mens sit rea” atau
“nulla poena sine
48
Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 53.
culpa”. Azas ini berarti bahwa “an act does not make a man guilty of crime, unless his mind be also guilty”. Atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan
ungkapan “Geen straf zonder schuld”. Jika diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia adalah “Tiada pidana tanpa kesalahan”.
49
Yang dimaksud dari azas ini adalah untuk membuktikan bahwa benar seseorang telah bersalah karena
melakukan suatu perbuatan yang diberikan sanksi pidana maka harus dibuktikan terlebih dahulu kesalahannya baik dalam perilaku maupun pikirannya. Azas ini
mengandung arti bahwa seseorang tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana karena telah melakukan suatu tindak pidana apabila dalam melakukan
perbuatan yang menurut undang-undang pidana merupakan tindak pidana, telah melakukan perbuatan tersebut dengan tidak sengaja dan bukan karena
kelalaiannya. Berkaitan dengan azas tersebut di atas, terdapat dua syarat yang harus
dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu adanya perbuatan lahiriah yang terlarangtindak pidana yang disebut actus reus dan sikap batin jahattercela yang
disebut mens rea.
50
Actus reus tidak hanya memandang pada suatu perbuatan dalam arti biasa, tetapi juga mengandung arti yang lebih luas, yaitu meliputi:
51
1. Perbuatan dari si terdakwa the conduct of the accused person.Perbuatan
ini dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu; komisi commisions dan omisi omissions.
2. Hasil atau akibat dari perbuatannya itu its resultconsequences; dan
49
Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 98.
50
Mahrus Ali, op. cit., hlm. 93.
51
http:en.wikipedia.orgwikiActus Reus
3. Keadaan-keadaan yang tercantum dalam perumusan tindak pidana
surrounding circumstances which are inclided ini the definition of the offence.
Mens rea berasal dari bahasa latin yang artinya adalah sikap kalbu guilty mind. Sikap kalbu seseorang yang termasuk mens rea dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu:
52
a. Intention kesengajaan
b. Recklessness kesembronoan, atau sering disebut juga dengan istilah
willful blindness. Dikatakan terdapat recklessness jika seseorang mengambil dengan sengaja suatu risiko yang tidak dibenarkan.
c. Criminal negligence kealpaankekurang hati-hatian.
Dalam hukum pidana Indonesia mens rea hanya terbagi menjadi dua bagian, yaitu kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa. Jika seseorang
hanya memiliki sikap batin yang jahat tetapi tidak pernah melaksanakan sikap batinnya itu dalam wujud suatu perilaku, baik yang terlihat sebagai melakukan
perbuatan tertentu atau sebagai tidak berbuat sesuatu, tidak dapat dikatakan orang tersebut telah melakukan suatu tindak pidana.
Bagi korporasi, unsur kesalahan sangat sulit diterapkan karena korporasi bukanlah manusia. Korporasi tidak memiliki batin dan karena itu sulit untuk
mengetahui niatnya. Namun, apabila korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hanya karena sulitnya membuktikan kesalahan, maka akan
52
http:en.wikipedia.orgwikiMens Rea
terjadi kekebalan hukum terhadap korporasi, padahal korporasi juga banyak melakukan tindak pidana.
Tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah tindak pidana formil, dengan
demikian apabila perbuatan pelaku tindak pidana korupsi tersebut sudah memenuhi rumusan unsur-unsur pasal tindak pidana korupsi maka sudah dapat
disangka sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi menyatakan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu
adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi telah mengatur pertanggungjawaban pidana suatu korporasi. Dengan diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana maka tidak dapat
dilepaskan dari persoalan pertanggungjawaban pidana.
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap asas-asas hukum dengan mengacu pada
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang tentunya mempunyai hubungan dengan judul karya ilmiah.
Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Penelitian ini mencakup
53
: a.
Penelitian inventarisasi hukum positif b.
Penelitian terhadap asas-asas hukum c.
Penelitian hukum klinis d.
Penelitian hukum yang mengkaji sistematika peraturan perundang- undangan
e. Penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan
perundang-undangan f.
Penelitian perbandingan hukum g.
Penelitian sejarah hukum
2. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksudkan adalah sebagai berikut
54
: a.
Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang, yakni berupa Undang-
undang, Peraturan Pemerintahan. b.
Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh korporasi seperti seminar hukum, majalah, karya tulis
53
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 29.
54
Ibid., hlm. 31.
ilmiah yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan
dengan persoalan diatas. c.
Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep yang mendukung bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus,
ensiklopedia, biografi dan lain-lain.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini, maka metode yang digunakan adalah metode kepustakaan library research. Yakni metode yang menggunakan data sekunder
yang tertulis sebagai pedoman. Dan selain buku ilmiah, maka penulis juga mengumpulkan data-data dari bahan-bahan referensi yang berasal dari mass
media, seperti surat kabar dan juga bahan-bahan dari internet.
4. Analisis Data
Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan
asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan Karya ilmiah ini secara garis besar terdiri dari V lima Bab, dimana masing-masing berisikan tentang :
BAB I : Membicarakan tentang latar belakang, rumusan masalah,keaslian penulisan, manfaat, dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka yang
terdiri dari
pengertian tindak
pidana, pengertian
pertanggungjawaban, pengertian korupsi, pengertian korporasi, pengertian pertanggungjawaban korporasi, metode penelitian dan
sistematika penulisan. BAB II
: Membahas mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang mana dalam Bab ini akan
dibahas lebih rinci mengenai bentuk-bentuk tindak pidana korupsi dan bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
tindak pidana korupsi. BAB III
: Pembahasan tentang sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana terutama dalam tindak pidana korupsi
BAB IV : Berisi posisi kasus dan analisis putusan Pengadilan Tinggi
Banjarmasin No. 04 Pid.Sus 2011 PT BJM. BAB V
: Berisi mengenai kesimpulan dari permasalahan yang dibahas serta saran-saran yang dapat dijadikan acuan dalam penyelesain terhadap
permasalahan yang timbul.
BAB II PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM
TINDAK PIDANA KORUPSI A.
Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana
Asal mula adanya korporasi sampai sekarang masih menjadi persoalan, akan tetapi pada masyarakat yang primitif dengan karakteristik hidup dalam suatu
kelompok, sebenarnya sudah dikenal perbedaan individu yang terlepas dari suatu kelompok masyarakat. Pada zaman dahulu perkembangan korporasi terlihat
dengan adanya pembentukan kelompok yang terjadi seperti dalam masyarakat Asia Kecil, Yunani, dan masyarakat Romawi. Dalam perkembangannya,
kelompok-kelompok tersebut di Romawi membentuk suatu organisasi yang fungsinya mirip dengan korporasi pada zaman sekarang ini.
55
Perkembangan korporasi pada permulaan zaman modern dipengaruhi oleh bisnis perdagangan yang sifatnya semakin kompleks pada negara-negara Eropa
misalnya di negara Inggris.
56
Pengakuan korporasi sebagai subjek delik dalam hukum pidana sudah berlangsung sejak tahun 1635, ketika sistem hukum Inggris
mengakui bahwa korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana atas tindak pidana ringan. Sedangkan Amerika baru mengakuinya pada tahun 1909 melalui
putusan pengadilan. Setelah itu banyak negara-negara yang mengakui korporasi sebagai pelaku tindak pidana seperti Belanda, Italia, Prancis, Kanada, Australia,
Swiss, dan beberapa negara di Eropa.
57
55
Muladi dan Dwija Priyatno, op.cit.,hlm. 35.
56
Ibid., hlm. 36
57
Mahrus Ali, op. cit., hlm. 98.
36
Dalam perkembangannya korporasi ternyata tidak hanya bergerak di bidang kegiatan ekonomi saja, akan tetapi sekarang ini ruang lingkupnya sudah
semakin luas karena dapat mencakup bidang pendidikan, kesehatan, riset, pemerintahan, sosial, budaya, dan agama.
58
Perkembangan dan pertumbuhan korporasi dapat menimbulkan efek negatif, sehingga kedudukannya mulai
bergeser menjadi subjek hukum pidana. Dalam kongres PBB VII pada tahun 1985 telah dibicarakan tentang jenis kejahatan dalam tema “dimensi baru kejahatan
dalam konteks pembangunan”, dengan melihat gejala kriminalitas merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dimana korporasi
banyak berperan di dalamnya seperti terjadinya penipuan pajak, kerusakan lingkungan hidup, penipuan asuransi, pemalsuan invoice yang dampaknya dapat
merusak sendi-sendi
perekonomian suatu
negara. Sebelumnya
pertanggungjawaban korporasi secara kolektif telah dikenal dalam hukum adat Indonesia.
59
Menurut J. E. Sahetapy dalam penelitiannya pada tahun 1988 tentang permasalahan denda dalam hukum adat Indonesia menyatakan bahwa, di beberapa
daerah di Kepulauan Indonesia sering kali terjadi bahwa kampung si penjahat atau kampung terjadinya suatu pembunuhan atau kerugian kepada golongan familinya
orang yang dibunuh, ada kewajiban mambayar denda atau kerugian kepada golongan famili orang yang dibunuh atau yang kecurian
60
. Hal tersebut didukung pula oleh Zainal Abidin yang menyatakan bahwa
disebagian daerah di Indonesia dahulu kala dikenal hukum pidana adat yang mengancam pidana bagi keluarga atau kampung seseorang yang dipersalahkan
58
Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 41.
59
Ibid., hlm. 41.
60
Ibid., hlm. 42.
melakukan kejahatan.
61
Jadi, hukum pidana adat Indonesia sudah mengenal pertanggungjawaban kolektif yang mirip dengan pertanggungjawaban korporasi
pada zaman sekarang ini. Pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana muncul tidak melalui
penelitian yang mendalam dari para ahli, tetapi merupakan akibat dari kecenderungan
formalisme hukum
legal formalism.
Doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi telah berkembang tanpa adanya teori yang
membenarkannya. Penerimaan korporasi sebagai subjek hukum layaknya manusia hanya melalui peran pengadilan. Hakim di dalam sistem hukum common law
melakukan suatu analogi atas subjek hukum manusia, sehingga korporasi juga memiliki identitas hukum dan penguasaan kekayaan dari pengurus yang
menciptakannya.
62
Para hakim yang pada waktu itu tidak memiliki banyak teori untuk membebankan tindakan para pengurus kepada korporasi, berusaha untuk menjerat
korporasi dengan mengajukan pertanyaan apakah suatu korporasi dengan entitas hukum tanpa memiliki bentuk psikis yang jelas dapat juga dipersyaratkan
memiliki kondisikeadaan psikologis untuk adanya suatu penuntutan sebagaimana halnya kejahatan-kejahatan lain yang mensyaratkan adanya hal itu. Berdasarkan
pemikiran ini, akhirnya disepakati bahwa korporasi juga dianggap sebagai subjek hukum yang bertanggung jawab hanya pada kejahatan-kejahatan ringan. Konsep
ini bertahan hingga akhir abad ke-19. Pada abad ke-19 berkembang suatu
61
A. Z. Abidin, op. cit., hlm. 50.
62
Mahrus Ali, op. cit., hlm. 99.