Sanksi Pidana yang Dapat Dijatuhkan Pada Korporasi yang Melakukan

orang yang tidak berdosa seperti buruh, pemegang saham dan para konsumen sebuah pabrik. 137 Dalam KUHP yang berlaku sekarang ini, korporasi tidak dikenal sebagai subjek hukum pidana, dalam merumuskan sanksi pidana dikenal “double track system ” sistem dua jalur, yaitu di samping sanksi pidana dikenal juga tindakan yang dapat dikenakan pada pelaku. Sanksi pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP yang bunyinya : “Pidana terdiri atas : a. Pidana pokok yang terdiri atas: 1. Pidana mati, 2. Pidana penjara, 3. Kurungan, 4. Denda, dan 5. Pidana tutupan b. Pidana tambahan yang terdiri atas: 1. Pencabutan hak-hak tertentu, 2. Perampasan barang-barang tertentu, 3. Pengumuman keputusan hakim.” Sedangkan tindakannya diatur dalam Pasal 44 ayat 2 antara lain berupa penempatan di rumah sakit jiwa. Dari ketentuan pidana di atas jelas bahwa semua sanksi dan tindakan di atas ditujukan pada manusia alamiah, sedangkan sanksi yang dapat dikenakan pada korporasi hanyalah denda, dan pengumuman keputusan hakim. Hal ini 137 http:eprints.undip.ac.id186511ORPA_GANEFO_MANUAIN.pdf disebabkan karena KUHP tidak mengenal korporasi sebagai subjek hukum. Dalam undang-undang hukum pidana yang tersebar di luar KUHP, yang sudah mengenal korporasi sebagai salah satu subjek hukum pidana, misalnya Undang- Undang Tindak Pidana Ekonomi Undang-Undang No. 7 Drt1955 merumuskan pidana bagi korporasi adalah sebagai berikut : 138 1. Sanksi yang dapat dikenakan terhadap korporasi adalah pidana tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan siterhukum, apabila tindak pidana ekonomi dilakukan untuk waktu selama-lamanya satu tahun Pasal 7 ayat 1 sub b 2. Perampasan barang-barang tak tetap yang berwujud dan tidak berwujud termasuk perusahaan siterhukum yang berasal dari tindak pidana ekonomi Pasal 7 ayat 1 sub c jo. Sub d 3. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau pengahpusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan kepada siterhukum oleh pemerintah berhubungan dengan perusahaannya Pasal 7 ayat 1 sub e 4. Pengumuman putusan hakim Pasal 7 ayat 1 sub f 5. Tindakan tata tertib, seperti menempatkan perusahaan siterhukum di bawah pengampuan, mewajibkan pembayaran uang jaminan, mewajibakan membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan, mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat 138 Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 159. satu sama lain, semua atas biaya si terhukum, sekadar hakim tidak menentukan lain Pasal 8 a, b, c, d 6. Pidana denda, sebab menurut Pasal 9 dikatakan bahwa penjatuhan tindakan tata tertib dalam Pasal 8 harus bersama-sama dengan sanksi pidana, dan sanksi pidana yang tepat dapat dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda. Selain itu Pasal 20 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, telah mengatur tentang pertanggungjawaban pidana suatu korporasi, yaitu sebagai berikut: 1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. 2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun bedasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. 3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus. 4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 dapat diwakili oleh orang lain. 5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. 6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. 7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 13 satu pertiga. Jika dilihat dalam Pasal 20 ayat 1 di atas, maka yang dapat dimintai pertanggungjawaban adalah: a. Koporasi; b. Pengurus; c. Korporasi dan pengurus Jika melihat Pasal 20 ayat 7 di atas, maka pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi hanyalah pidana pokok berupa pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 13 satu pertiga. Ketentuan sanksi seperti diatur dalam Pasal 20 ayat 7 di atas, mempunyai konsekuensi yang sama dengan sanksi pidana yang dirumuskan tunggal, karena tidak ada alternatif lain seandainya denda tidak dibayar oleh korporasi. Hal ini akan menimbulkan masalah pada saat implementasinya yaitu apa tindakan yang dapat diambil seandainya pidana denda ini tidak dibayar oleh korporasi. Untuk mengatasi masalah ini maka UUPTPK harus membuat ketentuan khusus bagaimana jika denda tidak dibayar oleh korporasi. Disamping pidana denda, sebenarnya telah diatur beberapa jenis pidana tambahan dalam Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, yaitu sebagai berikut: “selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah: a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut. b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 satu tahun. d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. Menurut Brickey, apabila dijatuhkan sanksi tindakan berupa segala pembatasan terhadap aktivitas korporasi, hal ini sebenarnya mempunyai hakekat yang sama dengan pidana penjara atau kurungan, sehingga ada istilah “corporate imprisonment ”, pidana tambahan dalam hal ini tetap bisa dijatuhkan. Bahkan pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim publication, merupakan sanksi yang sangat ditakuti oleh korporasi. 139 Sebagai bahan perbandingan dapat dilihat dalam Pasal 18 ayat 2, yang mengatur bahwa : “Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b paling lama dalam 1 satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menu tupi uang pengganti tersebut .” Dari ketentuan di atas jelas diatur alternatif lain seandainya uang pengganti tidak dibayar oleh terpidana. Menurut Sutan Remy Sjahdeni, selain pidana denda dapat pula ditentukan bentuk-bentuk lain sebagai sanksi pidana pokok. Beberapa sanksi yang saat ini ditentukan sebagai pidana tambahan seyogianya dapat diangkat sebagai sanksi pidana pokok bagi korporasi, yaitu: 140 1. Pidana Denda Satu-satunya jenis sanksi pidana criminal penalty yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi di Inggris adalah pidana denda fine. Oleh karena itu, suatu perusahaan tidak dapat dituntut karena pembunuhan murder, karena menurut hukum Inggris hanya satu bentuk sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada seorang pembunuh yaitu pidana penjara seumur hidup. 2. Pengumuman Putusan oleh Hakim 139 http:eprints.undip.ac.id186511ORPA_GANEFO_MANUAIN.pdf 140 Sutan Remy Sjahdeni, op. cit., hlm. 205. Pengumuman putusan oleh hakim ini dimaksudkan untuk mempermalukan pengurus danatau korporasi tersebut karena telah melakukan tindak pidana. Apabila sebelumnya korporasi tersebut memiliki reputasi yang sangat baik, maka akan betul-betul dipermalukan oleh pengumuman putusan hakim melalui media cetak atau pun melalui media elektronik. Meskipun bentuk sanksi pidana ini hanya merupakan sanksi pidana tambahan, akan tetapi sangat berguna untuk mencapai tujuan pencegahan deterrence. 3. Pembubaran yang Diikuti dengan Likuidasi Korporasi Undang-undang yang berlaku belakangan ini seperti yang dicontohkan oleh Sutan Remy Sjahdeini, telah mengatur mengenai pembubaran korporasi sebagai bentuk sanksi pidana terhadap korporasi. Beliau memberi contoh, Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003. Dalam Pasal 5 ayat 2 ditentukan suatu korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa “pencabutan izin usaha dan atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi”. Dalam Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang tersebut, pencabutan izin usaha bukan merupakan sanksi administratif, tetapi merupakan sanksi pidana, yaitu merupakan sanksi pidana tambahan. 4. Pencabutan Izin Usaha yang diikuti dengan Likuidasi Korporasi Selanjutnya Sutan Remy Sjahdeini , memberi usulan bahwa “korporasi hendaknya dapat pula dijatuhkan sanksi pidana berupa pencabutan izin usaha”. Beliau memberi alasan bahwa dengan dicabutnya izin usaha, maka sudah barang tentu selanjutnya korporasi tidak dapat lagi melakukan kegiatan usaha untuk selamanya. Guna memberikan perlindungan kepada kreditor, hendaknya putusan hakim berupa pencabutan izin usaha tersebut dibarengai pula denga perintah kepada pengurus korporasi untuk melakukan likuidasi terhadap aset perusahaan untuk pelunasan utang-utang korporasi kepada para kreditornya. 5. Pembekuan Kegiatan Usaha Selanjutnya bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi menurut Sutan Remy Sjahdeini, adalah pembekuan kegiatan usaha, baik untuk kegiatan tertentu atau semua kegiatan, untuk jangka waktu tertentu merupakan salah satu bentuk sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi. Misalnya saja, suatu Rumah Sakit dilarang menerima pasien dalam rangka menerima pemeriksaan kandungan dan melakukan partus melahirkan bayi karena telah terlibat tindak pidana aborsi ilegal. Pembekuan kegiatan terbut dapat ditentukan oleh hakim untuk jangka waktu tertentu saja atau untuk selamanya. Apabila pembekuan semua kegiatan dilakukan untuk selamanya maka putusan tersebut bukan merupakan pembekuan semua kegiatan usaha, akan tetapi berupa pembubaran korporasi atau berupa pencabutan izin usaha yang diikuti dengan likuidasi. 6. Perampasan Aset Korporasi oleh Negara Perampasan aset korporasi oleh negara dilakukan baik terhadap sebagian atau seluruh aset, baik aset tersebut secara langsung digunakan atau tidak digunakan dalam tindak pidana yang dilakukan. Ini merupakan bentuk sanksi pidana lain yang dapat dijatuhkan kepada korporasi. Menurut Sutan Remy Sjahdeini , “aset yang dirampas tersebut kemudian dilelang kepada umum, atau diserahkan menjadi milik salah satu BUMN tertentu yang memperlakukan aset tersebut untuk kegiatan usahanya ”. Disamping itu perampasan tersebut dapat dikombinasikan dengan pidana denda dan atau jenis-jenis pidana yang lain sebagaimana telah dijelaskan di atas. 7. Pengambilalihan Korporasi oleh Negara Sanksi pidana bagi korporasi dapat pula berbentuk perampasan korporasi oleh negara, atau dengan kata lain, korporasi tersebut diambil alih oleh negara. Sanksi ini berbeda dengan sanksi perampasan aset. Pada pidana perampasan aset, korporasi tetap milik pemegang saham, sedangkan perampasan korporasi berakibat saham pemilik beralih menjadi milik negara. Masalah sanksi pidana korporasi adalah ketentuan pidana pokok yang diatur dalam dalam Pasal 20 ayat 7 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yang bunyinya sebagai berikut : “Pidana pokok yang dapat digunakan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 13 satu pertiga”. Dari ketentuan pasal tersebut di atas jelas bahwa sanksi pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 20 ayat 7, mempunyai konsekuensi yang sama dengan sanksi yang dirumuskan tunggal, karena tidak ada alternatif lain yang dapat dipilih. Hal ini dapat menimbulkan masalah dalam implementasinya yaitu bagaimana jika denda tidak dibayar oleh korporasi dan tindakan apa yang dapat diambil. Dalam Ketentuan Umum Buku I KUHP ada diatur tentang bagaimana jika denda tidak dibayar yaitu dapat dikenakan pidana kurungan pengganti denda Pasal 30 ayat 2 . Kurungan pengganti denda ini hanya dapat dijatuhkan pada orang, bagaimana dengan korporasi. Masalah perumusan sanksi pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini, merupakan salah satu masalah yang harus ditinjau kembali. Berdasarkan uraian di atas, maka formulasi aturan pemidanaan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi yang sudah diatur oleh Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 masih memiliki kelemahan-kelemahan sebagai berikut : 141 1. Masalah kapan korporasi melakukan tindak pidana korupsi, sudah diatur tapi masih belum jelas mengenai pengertian hubungan kerja dan hubungan lainnya, sehingga dapat menimbulkan kesimpangsiuran penafsiran yang dapat menjadi salah satu masalah pada saat aplikasi. 2. Masalah sanksi pidana terhadap korporasi antara lain : a. masalah perumusan pemberatan sanksi pidana pada Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001; b. Masalah perumusan sanksi pidana pokok terhadap korporasi dalam Pasal 20 ayat 7 Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Undang-Undang No. 20 tahun 141 http:eprints.undip.ac.id186511ORPA_GANEFO_MANUAIN.pdf 2001 yaitu hanya berupa denda dan tidak diatur bagaimana jika denda tidak dibayar oleh korporasi. Dalam hal pemberatan dalam Pasal 2 ayat 2, maka formulasi sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 1, adalah penutupan seluruh korporasi, karena pidana ini sepadan dengan pidana mati untuk orang manusia alamiah. Dalam hal penjatuhan pidana penutupan seluruh atau sebagian usaha korporasi menurut Suzuki harus dipertimbangkan dengan hati-hati oleh karena menyangkut kehidupan banyak orang. 142 Namun penutupan seluruh korporasi dapat dijatuhkan maka dengan penggunaan kata “dapat” di sini memberikan keleluasaan bagi hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan sanksi ini, yaitu apabila memang sangat-sangat mendesak maka sanksi ini baru dapat dijatuhkan, sehingga pemberatan dalam ayat 2 ini tidak saja berlaku bagi orang tetapi juga berlaku bagi korporasi. 142 Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 143. BAB IV KAJIAN PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PUTUSAN PENGADILAN TINGGI BANJARMASIN NOMOR 04 PID. SUS 2011 PT BJM

A. Posisi Kasus

1. Kronologi Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana yang berdiri berdasarkan akta pendirian perusahaan nomor 29 tanggal 27 Agustus 1992, secara berturut-turut sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2008 secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dan perbuatan tersebut merupakan serangkaian perbuatan yang berhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai suatu perbuatan yang diteruskan, perbuatan mana dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut: a. Terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana adalah sebuah perusahaan yang berkantor pusat di Wisma Ariani Lt. 2 Jln. Raya Kebon Jeruk No. 6, Jakarta. Perusahaan ini bergerak di bidang perdagangan, industri, agrobisnis, pengadaan barang dan jasa, transportasi, pembangunan dan design interior. Pada tanggal 14 Juli 1998, terdakwa melalui ST. Widagdo direktur utama menandatangani surat perjanjian kerjasama Nomor 664I548Prog; Nomor 003GJWVII1998 tentang pembangunan pasar induk antasari, antara Walikota Banjarmasin pihak kesatu dengan terdakwa PT. Giri Jaladhi Wana pihak kedua, bertempat di kantor 104 Walikota Banjarmasin Jln. RE Martadinata No.1 Banjarmasin atau setidak-tidaknya di suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Banjarmasin. b. Terdakwa menyertakan modal berupa biaya pembangunan pasar induk Antasari beserta seluruh fasilitas penunjangnya. c. Selama pelaksanaan pembangunan, terdakwa berkewajiban untuk memberikan subsidi penggantian retribusi Pasar Induk Antasari sebesar Rp. 250.000.000,00 dua ratus lima juta rupiah per tahun kepada pemerintah kota Banjarmasin, yang harus dilaksanakan selambat- lambatnya bulan Desember 1998. d. Selain subsidi penggantian retribusi, terdakwa bersedia melunasi Kredit Inpres Pasar Induk Antasari sebesar Rp. 3. 750. 000. 000,00 tiga milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah yang menjadi kewajiban pemerintah daerah Kota Banjarmasin kepada Pemerintah Pusat, yang harus dilunasi setelah bangunan selesai seluruhnya dan telah terjual seluruhnya. e. Terdakwa berkewajiban membangun Pasar Induk Antasari dan fasilitas penunjangnya dengan total 3. 459 unit dengan luas tanah 25. 171 m 2 . Pembangunan dilaksanakan dalam waktu 24 bulan sejak pembongkaran Pasar Induk Antasari, dan dapat diberikan perpanjangan waktu selama- lamanya 90 hari dengan alasan yang dapat dipertanggung jawabkan. f. Setelah pembangunan selesai, terdakwa berhak menjual los, kios, dan toko kepada para pedagang yang harganya sesuai dengan proposal yang telah disetujui kedua belah pihak. g. Pada tanggal 15 Agustus 2000, dilakukan adendum kerja sama yang ditandatangani oleh walikota Banjarmasin dan terdakwa melalui Drs. Tjiptomo selaku direktur PT. Giri Jaladhi Wana, yang isinya sebagai berikut: 1. Selama pelaksanaan pembangunan, terdakwa tetap berkewajiban membayar subsidi penggantian retribusi sesuai perjanjian awal 2. Jumlah unit dan luas bangunan menjadi 5.145 unit dengan luas 34. 992, 36 m 2 . 3. Setelah penjualan bangunan, para pedagang dan pemakai jasa pasar berhak berhak memperoleh hak sewa atas toko, kios, bak, dan los dengan ketentuan bebas uang sewa selama 25 tahun. Setelah 25 tahun pemerintah Banjarmasin berhak memungut sewa sesuai tarif dalam PERDA kota Banjarmasin. 4. Sebagai subsidi pergantian uang sewa selama 25 tahun, terdakwa harus membayar kompensasi sebesar Rp. 2. 500. 000. 000,00 dua milyar lima ratus juta rupiah kepada pemerintah kota Banjarmasin, jika departemen store lantai 3 tiga terjual, jika tidak terjual maka terdakwa hanya berkewajiban membayar kompensasi sebesar Rp. 2. 000. 000. 000,00 dua milyar rupiah, dan akan dibayarkan dalam 5 lima tahap. h. Dalam pelaksanaan pembangunan, terdakwa bekerjasama dengan PT. UE Sentosa sebagai kontraktor pelaksana sesuai dengan surat perjanjian No. 094GJWSPBII01 tanggal 1 Februari 2001 antara terdakwa melalui ST. Widagdo direktur utama PT. Giri Jaladhi Wana dengan Dominic Tan Presiden Direktur PT. UE Sentosa. Dimana PT. UE Sentosa melaksanakan pembangunan dan membiayai pembangunan, dan setiap proyek mencapai kemajuan 30 maka terdakwa akan membayarnya. i. Terdakwa mengajukan surat permohonan kredit No. 066GJWBVII2001 tanggal 16 Juli 2001 tentang permohonan fasilitas kredit modal kerja KMK kepada Bank Mandiri sebesar Rp. 25. 000. 000. 000, 00 dua puluh lima milyar rupiah untuk mendukung pembangunan pasar. Kemudian ditindak lanjuti dengan penandatanganan perjanjian kredit No. 048011KMK-CO2001 tanggal 19 Desember 2001, dengan jangka waktu kredit selama 9 sembilan bulan. Namun sampai batas waktu yang ditentukan, terdakwa hanya membayar sebagian hutang pokoknya sebesar Rp. 1. 450. 000. 000, 00 satu milyar empat ratus lima puluh juta rupiah j. Sampai dengan bulan Agustus 2002, hutang terdakwa kepada PT. UE Sentosa yang belum dibayar sebesar Rp. 24. 000. 000. 000, 00 dua puluh empat milyar rupiah. Untuk itu, melalui surat No. 078GJWBVIII002 terdakwa mengajukan permohonan penjadwalan kembali pelunasan kredit sekaligus permohonan tambahan kredit sebesar Rp. 50. 000. 000. 000, 00 lima puluh milyar rupiah. Terbitlah surat persetujuan Restrukturisasi Fasilitas kredit No. 9. Hb. BLM. CO11372002 tanggal 7 Oktober 2002 oleh Bank Mandiri, dan diberikan penambahan kredit dengan batas waktu pelunasan sampai tanggal 31 Oktober 2003. Kemudian pada tanggal 8 Januari 2004, dilakukan penjadwalan ulang pelunasan kredit dengan batas waktu pelunasan sampai tanggal 30 September 2004. Namun pada kenyataannya, terdakwa hanya membayar sebesar Rp. 1. 030. 000. 000, 00 satu milyar tiga puluh juta rupiah. Kemudian pada tanggal 2 Agustus 2004, dilakukan lagi penjadwalan ulang pelunasan kredit dengan batas waktu sampai tanggal 30 Juni 2005. Namun terdakwa tidak dapat mengembalikan kredit dan pada tanggal 21 Desember 2004 meminta Bank Mandiri untuk mencairkan fasilitas Bank Garansi sebesar Rp. 25. 000. 000. 000, 00 dua puluh lima milyar rupiah. Bank Mandiri berdasarkan surat No. 048032KMK-CO2004 tanggal 21 Desember 2004, memberikan fasilitas Bank Garansi sebesar Rp. 25. 000. 000. 000, 00 dua puluh lima milyar rupiah kepada terdakwa sampai tanggal 30 Juni 2005. Namun tenyata, terdakwa tidak melakukan pelunasan kredit. k. Sampai dengan bulan Desember 2002, pembangunan pasar belum selesai dan hanya mencapai 36, sehingga Walikota Banjarmasin memberikan batas waktu pembangunan hingga 10 Februari 2003. Dan sampai batas waktu tersebut, terdakwa menyelesaikan pembangunan pasar, sehingga Walikota Banjarmasin membatalkan kontrak kerjasama pembangunan pasar dengan terdakwa. l. Pada tanggal 23 Agustus 2003, Walikota Banjarmasin meninggal dunia dan urusan pemerintahan dilaksanakan oleh wakilnya. Wakil Walikota Banjarmasin mengeluarkan surat keputusan yang memberlakukan kembali kontrak kerjasama denga terdakwa. m. Sesuai perjanjian dan adendumnya, terdakwa hanya berkewajiban membangun 5. 145 unit bangunan, akan tetapi tanpa izin terdakwa telah membangun 6.045 unit bangunan. Sehingga terjadi penambahan 900 unit bangunan, yang dijual dengan harga Rp. 16. 691. 713. 166,00 enam belas milyar enam ratus sembilan puluh satu juta tujuh ratus tiga belas ribu seratus enam puluh enam rupiah, dan hasil penjualannya tidak disetorkan ke kas daerah Kota Banjarmasin. Perbuatan tersebut bertentangan dengan Perda No. 91980 tentang pasar dalam daerah Kota Banjarmasin dan melanggar isi perjanjian. n. Selain itu, terdakwa hanya membayar subsidi penggantian retribusi dan pelunasan kredit Inpres Pasar Induk Antasari sebesar Rp. 1. 000. 000. 000,00 satu milyar rupiah, sehingga masih terdapat kekurangan sebesar Rp. 5. 750. 000. 000,00 lima milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah. Terdakwa memberikan keterangan bahwa pembangunan pasar belum selesai, padahal pembangunan telah selesai dan hasil penjualan toko mempunyai surplus sebesar Rp. 64. 579. 000. 000,00 enam puluh empat milyar lima ratus tujuh puluh sembilan juta rupiah. o. Selain mendapat surplus, terdakwa juga menggunakan tanah dan bangunan pasar induk Antasari sebagai jaminan untuk mendapatkan kredit modal kerja KMK dari Bank Mandiri sebesar Rp. 100. 000. 000. 000, 00 seratus milyar rupiah. p. Pada tanggal 6 April 2004, terdakwa meminta kepada Pemerintah kota Banjarmasin untuk pengelolaan pasar induk antasari. Kemudian pada tanggal 30 Mei 2004, Walikota Banjarmasin menerbitkan surat No. 500259Ekobang2004 tentang Penunjukan Pengelolaan Sementara Pasar Sentra Antasari kepada terdakwa, sesuai dengan hasil rapat Walikota dengan tim pengendali pembangunan pasar sentra Antasari dan ST. Widagdo selaku direktur utama PT. Giri Jaladhi Wana. q. Terdakwa diberikan waktu 3 bulan untuk pengelolaan terhitung sejak tanggal 30 Mei 2004 sampai 30 Agustus 2004 dengan ketentuan harus membayar uang pengelolaan. Akan tetapi sampai dengan Desember 2007, terdakwa tidak membayar uang pengelolaan dengan memberikan keterangan bahwa pengelolaan itu merugi, padahal dalam kenyataannya antara periode Juli 2004 sampai Desember 2007 telah terkumpul dana sebesar Rp. 7. 650. 143. 645, 00 tujuh milyar enam ratus lima puluh juta seratus empat puluh tiga ribu enam ratus empat puluh lima rupiah. r. Ketika pasar masih dalam bentuk pasar trdisional dan belum dilakukan pembangunan, Pemerintah kota Banjarmasin menerima hasil retribusi pasar lebih kurang Rp. 800. 000. 000, 00 delapan ratus juta rupiah per tahun. Setelah dilakukan pembangunan dan pengelolaan oleh terdakwa, Pemerintah kota Banjarmasin kehilangan pendapatan dari pengelolaan pasar, sebesar Rp. 7. 650. 143. 645, 00 tujuh milyar enam ratus lima puluh juta seratus empat puluh tiga enam ratus empat puluh lima rupiah. s. Berdasarkan hasil audit Kantor Akuntan Publik Paul Hadiwinata, Hidajat, Rekan No. A251PCD03 tanggal 26 September 2003, menyatakan bahwa untuk periode 1 Januari 2000 sampai dengan 30 Juni 2003 terdapat

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

1 140 155

Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Dilakukan Oleh Korporasi Menurut UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

2 82 117

Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

0 34 179

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

1 65 124

Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi

0 61 4

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

3 98 139

BAB II PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banj

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

0 0 35