Perkembangan Pasar Modal di Indonesia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1.1. Perkembangan Pasar Modal di Indonesia

Perkembangan pasar modal di Indonesia telah berlangsung cukup lama. Menurut Jogiyanto 2003: 37, era pasar modal di Indonesia dapat dibagi menjadi enam periode yaitu Periode Jaman Belanda, Periode Orde Lama, Periode Orde Baru, Periode Bangun dari Tidur yang Panjang, Periode Otomatisasi dan Periode Krisis Moneter.

4.1.1. Periode Pertama 1912-1942 Periode Zaman Belanda

Kegiatan perdagangan saham sudah ada sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda, yaitu ketika nama Indonesia masih Hindia Belanda. Suatu asosiasi 13 broker Fa. Dunlop Kolf, Fa. Gijselman Steup, Fa. Monod Co, Fa. Adree Witansi Co, Fa. A.W. Deleeman, Fa. H. Jul Joostensz, Fa. Jeannette Walen, Fa. Wiekert V.D.Linden, Fa. Walbrink Co, Wieckert V.D.Linden, Fa. Vermeys Co, Fa. Cruyff dan Fa. Gebroeders dibentuk di batavia sekarang Jakarta dimulai pada tanggal 14 Desember 1912. Asosiasi ini diberi nama Verreniging Voor de Effectenhandel yang merupakan cabang dari Amsterdamse Effectenbuerus. Ini merupakan cikal bakal pasar modal pertama di Indonesia. Sekuritas yang diperjualbelikan adalah saham dan obligasi perusahaan- perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, yang merupakan obligasi yang diterbitkan pemerintah Hindia Belanda dan afiliasinya yang tergabung dalam- Universitas Sumatera Utara Dutch East Indies Trading Agencies. Selain itu, pemerintahan Hindia Belanda juga mendirikan bursa efek di Surabaya pada tanggal 1 Januari 1925 dan di semarang pada tanggal 1 Agustus 1925. Pasar modal ini beroperasi sampai kedatangan Jepang ke Indonesia di tahun 1942.

4.1.2 Periode Kedua 1952-1960 Periode Orde Lama

Setelah Jepang meninggalkan Indonesia, pada tanggal 1 September 1951 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Darurat No. 12 yang kemudian dijadikan Undang-Undang No. 15 Tahun 1952 tentang pasar modal. Juga melalui Keputusan Menteri Keuangan No. 289737U.U. tanggal 1 Nopember 1951, Bursa Efek Jakarta BEJ akhirnya dibuka kembali pada tanggal 3 Juni 1952. Tujuan dibukanya kembali bursa ini untuk menampung obligasi pemerintah yang sudah dikeluarkan pada tahun-yahun sebelumnya. Tujuan yang lain adalah untuk mencegah saham-saham perusahaan Belanda yang dulunya diperdagangkan di pasar modal di Jakarta lari ke luar negeri. Kepengurusan bursa efek ini kemudian diserahkan kepada Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek PPUE yang terdiri dari 3 bank dengan Bank Indonesia sebagai anggota kehormatan. Bursa efek ini berkembang dengan cukup baik walaupun surat berharga yang diperdagangkan umumya adalah obligasi oleh perusahaan Belanda dan obligasi pemerintah Indonesia lewat Bank Pembangunan Indonesia. Penjualan obligasi semakin meningkat pada saat itu. Namun, karena adanya sengketa antara pemerintah RI dengan Belanda mengenai Irian Barat, semua bisnis Belanda dinasionalkan melalui UU Nasionalisasi No.86 tahun 1958. Sengketa ini mengakibatkan larinya modal Belanda dari tanah Indonesia. Akibatnya mulai tahun 1960, sekuritas-sekuritas perusahaan Belanda sudah tidak Universitas Sumatera Utara diperdagangkan lagi di Bursa Efek Jakarta. Sejak itu aktivitas di Bursa Efek Jakarta semakin menurun.

4.1.3 Periode Ketiga 1977-1988 Periode Orde Baru

Pemerintahan Orde Baru melaksanakan sistem ekonomi terbuka dengan mengeluarkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing pada tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri pada tahun 1968. Sepuluh tahun kemudian perekonomian Indonesia mengalami keberhasilan, sehingga pada tanggal 10 Agustus 1977 kegiatan bursa efek diaktifkan kembali serta diorganisasi secara baik dengan diresmikannya kembali Bursa Efek Jakarta BEJ. Sebagai pelaksana BEJ adalah Badan Pelaksana dan Pembina Pasar Modal BAPPEPAM. Periode ini disebut juga dengan periode tidur yang panjang, karena sampai dengan tahun 1988 hanya sedikit sekali perusahaan yang tercatat di BEJ, yaitu hanya 24 perusahaan saja. Kurang menariknya pasar modal pada periode ini dari segi investor mungkin disebabkan oleh tidak dikenakannya pajak atas bunga deposito, sedang penerimaan dividen dikenakan pajak penghasilan sebesar 15.

4.1.4 Periode Keempat 1988-1995: Periode Bangun dari Tidur yang Panjang

Setelah tahun 1988, selama 3 tahun saja yaitu sampai tahun1990, jumlah perusahaan yang terdaftar di BEJ meningkat sampai dengan 127. Peningkatan di pasar modal ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : a. Permintaan dari investor asing Universitas Sumatera Utara Investor asing melihat bahwa pasar modal di Indonesia telah maju dengan pesat pada periode ini dan mempunyai prospek yang baik. Investor asing tertarik dengan pasar Indonesia karena dianggap sebagai pasar yang menguntungkan untuk diversivikasi secara international. Sampai dengan awal tahun 1995, jumlah kepemilikan oleh investor asing mencapai 7,06 Milyar lembar atau sekitar 29,61 dari semua sekuritas yang terdaftar. b. Pakdes 87 merupakan penyederhanaan persyaratan proses emisi saham dan obligasi, dihapuskannya biaya yang sebelumnya dipungut oleh BAPEPAM seperti biaya pendaftaran emisi efek. Selain itu juga menghapus batasan fluktuasi harga saham di bursa efek dan memperkenalkan bursa paralel sebagai pilihan bagi emiten yang belum memenuhi syarat untuk memasuki bursa efek. Pakdes 87 c. Pakto 88 merupakan reformasi tanggal 27 Oktober 1988 yang dikeluarkan untuk merangsang ekspor non-migas, meningkatkan efisiensi dari bank komersial, membuat kebijakan moneter lebih efektif, meningkatkan simpanan domestik dan meningkatkan pasar modal. Salah satu hasil dari Pakto 88 adalah mengurangi Reserve Requirement dari bank-bank deposito. Akibatnya dana sebesar Rp. 4 Triliun dari BI dilepas ke sektor keuangan, sehingga masyarakat mempunyai cukup dana untuk bermain di pasar saham. Pakto 88

4.1.5 Periode Kelima Mulai 1995: Periode Otomatisasi

Universitas Sumatera Utara Peningkatan kegiatan transaksi yang sudah melebihi kapasitas manual, menyebabkan BEJ melakukan otomatisasi seluruh kegiatannya. Dari pencatatan di papan tulis, menjadi pencatatan di jaringan komputer. Sistem otomatisasi yang digunakan adalah Jakarta Automated Trading System JATS yang mulai dioperasikan tanggal 22 Mei 1995. Dengan diberlakukannya sistem ini volume perdagangan meningkat cukup signifikan. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan integritas serta pamor pasar modal Indonesia.

4.1.6 Periode Keenam Mulai Agustus 1997: Krisis Moneter

Pada bulan Agustus 1997, krisis moneter melanda negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Terjadi penurunan nilai mata uang yang diakibatkan oleh spekulasi pedagang valas dan kurang percayanya masyarakat terhadap mata uang negaranya sendiri. Untuk mencegah permintaan dolar maka suku bunga SBI dinaikkan sehingga suku bunga deposito naik, dan akibatnya investor tidak lagi tertarik menanamkan modalnya di pasar modal. Pada tahun 2000, sistem Perdagangan Tanpa Warkat scripless trading mulai diaplikasikan di pasar modal Indonesia. Kemudian pada tahun 2002, Bursa Efek Jakarta BEJ mulai mengaplikasikan sistem perdagangan jarak jauh remote trading yang diharapkan dapat meningkatkan aktivitasnya. Indonesia memiliki 2 bursa efek, yaitu Bursa Efek Jakarta BEJ dan Bursa Efek Surabaya BES, yang masing-masing dijalankan oleh perseroan terbatas. Pada tanggal 1 Desember 2007 dilakukan penggabungan merger Bursa Efek Surabaya BES ke Bursa Efek Jakarta BEJ dan berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia BEI. Melalui merger ini diharapkan dapat makin Universitas Sumatera Utara memberikan peluang bagi perusahaan ke pasar modal. Dengan adanya penggabungan ini, biaya pencatatan menjadi lebih murah, karena hanya mencatatkan saham secara single listing, sudah terakreditasi pada BEI. Sementara itu bagi anggota bursa, dengan menjadi anggota bursa atau pemegang saham BEI, akan langsung menembus pasar. Bagi investor penggabungan ini menjadikan makin banyaknya pilihan investasi, karena tidak ada lagi pembedaan pasar BES dan BEJ, karena produk investasi ditawarkan dalam satu atap yaitu Bursa Efek Indonesia BEI.

4.2 Saham Industri Telekomunikasi di Bursa Efek Indonesia