MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SMK NEGERI 1 SIDOARJO.

(1)

MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI ANAK

BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SMK NEGERI 1

SIDOARJO

SKRIPSI

Oleh: DARUL FAROQI

NIM. D01211045

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


(2)

MODEL PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI ANAK

BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SMK NEGERI 1

SIDOARJO

SKRIPSI

Diajukan Kepada:

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Dalam Menyelesaikan Program Sarjana

Tarbiyah Dan Keguruan

Oleh:

DARUL FAROQI NIM. D01211045

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Darul Faroqi (D01211045), Model Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) DI SMK Negeri 1 Sidoarjo, Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Key Word: Model Pendidikan Inkklusif.

Pembimbing: Dra. Ilun Muallifah, M.Pd

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya anggapan bahwa tempat belajar anak berkebutuhan khusus adalah Sekolah Luar Biasa (SLB), padahal banyak sekolah yang dapat dimasuki oleh anak berkebutuhan khusus sebagai tempat belajar, atau yang dikenal dengan pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang manampung dan mendidik siswa-siswinya tanpa melihat bentuk dan kemampuan fisik maupun psikis. Semua anak dapat mengikuti pendidikan di lembaga tersebut, tanpa diskriminasi, dan mendapat perlakuan sama. Sebagai contoh, salah satu sekolah yang melaksanakan program pendidikan inklusif adalah SMK Negeri 1 Sidoarjo.

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan pedagogis yang disandarkan pada studi kasus, yakni di SMK Negeri 1 Sidoarjo. Teknik pengambilan datanya dengan menggunakan metode wawancara, observasi, dan dokumentasi.

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa SMK Negeri 1 Sidoarjo melaksanakan Model pendidikan inklusif. Sekolah ini menerima dan mendidik peserta didik berkebutuhan khusus sebagaimana layaknya peserta didik yang lain. Kurikulum yang digunakan menggunakan kurikulum dari departemen pendidikan nasional yakni kurikulum 2013.

Dalam pelaksanaanya di kelas menggunakan bentuk kelas reguler dengan pull out yang artinya anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv

MOTTO... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian. ... 8

D. Kegunaa Penelitian ... 8

E. Definisi Operasional ... 9

F. SistematikaPembahasan ... 10


(8)

A. Tinjauan Tentang Pendidikan Inklusif ... 12

1. Pengertian Pendidikan Inklusif ... 12

2. Sejarah Pendidikan Inklusif ... ««««««««« 14

3. Model Pendidikan Inklusif ... 16

4. Landasan Pendidikan Inklusif ... 31

5. Faktor Pendukung dan Penghambat Pendidikan Inklusif ... 33

6. Pendidikan Inklusif dalam Pandangan Islam ... 36

B. Tinjauan Tentang Anak Berkebutuhan Khusus ... 38

1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus... 38

2. Faktor Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus ... 40

3. Macam Anak Berkebutuhan Khusus... .. 43

BAB III: METODE PENELITIAN A.Jenis Dan Pendekatan Penelitian ... 51

B.Informan ... 52

C.Objek Penelitian. ... 53

D.Jenis Data ... 53

E.Metode Pengumpulan Data ... 55

F. Analisis ... 57


(9)

A. Gambaran Umum Objek ... 61

1. Profil SMK Negeri 1 Sidoarjo... 61

2. Visi, Misi dan Tujuan SMK Negeri 1 Sidoarjo... 64

3. Kurikulum Pendidikan ... 65

4. Tenaga Pendidik ... 66

5. Keadaan Ruang ... 66

6. Fasilitas Sekolah... 68

B. Penyajian Data ... 69

1. Model Pendidikan Inklusif ... 69

2. )DNWRU3HQGXNXQJGDQ3HQJKDPEDW3HQGLGLNDQ,QNOXVLI« . 81 C. Analisis ... 83

1. Model Pendidikan Inklusif ... 83

2. )DNWRU3HQGXNXQJGDQ3HQJKDPEDW3HQGLGLNDQ,QNOXVLI« . 87 BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa salah satu tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam arti sederhana Pendidikan adalah sebuah proses yang akan berlangsung sepanjang hidup manusia. Pendidikan adalah gejala yang dinamis dan merupakan sebuah usaha yang bercita-cita mulia, yaitu memanusiakan manusia itu sendiri sesuai dengan kodratnya. Ini berarti pendidikan adalah sebuah keharusan yang akan membawa manusia menjadi makhluk terbaik yang bermakna bagi dirinya dan menjadi khalifah yang bermakna bagi kehidupan makhluk-makhluk lainnya.1

Sudah disepakati oleh seluruh masyarakat di dunia tanpa memandang perbedaan ras, tingkat kemodernan dan sosio-kulturalnya, bahwa setiap anak harus memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Dan dalam kaitannya UNESCO merasa bertanggung jawab dalam hal konstitusinya untuk mengatur kerja sama antar bangsa guna memajukan kesamaan kesempatan dalam pendidikan. Berbagai kerumitan memang melingkupi pendidikan baik dari segi internal anak itu sendiri, misalnya, adanya hambatan fisik dan mental, maupun

1


(11)

2

dari segi eksternalnya seperti masalah ekonomi keluarga yang pada gilirannya memunculkan kelaparan, kekurangan gizi, dan berbagai permasalahan lainnya.2

Setiap anak harus diperlakukan sama seperti kita memperlakukan orang dewasa dan melayani sesuai kebutuhannya. Para pendidik perlu memperhatikan kebutuhan individual anak didiknya, termasuk kebutuhan belajar anak berkebutuhan khusus (selanjutnya disingkat ABK) karena perkembangan yang terjadi pada masa ini akan membentuk pola tertentu dalam setiap tahapan kehidupan yang tidak saja untuk perilaku aktual semata, namun juga untuk pertumbuhan dan penyesuaian yang akan datang. Konsep diri, tujuan hidup, serta aspirasi yang akan dicapai sangat dipengaruhi oleh hubungan anak dengan orang tua, teman sebaya maupun kekuatan motivasi yang ia terima selama masa kanak-kanak.3

Amanat hak atas pendidikan bagi anak penyandang kelainan atau ketunaan ditetapkan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

1DVLRQDO3DVDOGLVHEXWNDQEDKZD³3HQGLGLNDQNKXVXVSHQGLGLNDQOXDUELDVD

merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, dan

VRVLDO GDQ DWDX PHPLOLNL SRWHQVL NHFHUGDVDQ GDQ EDNDW LVWLPHZD´4 Ketetapan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tersebut bagi anak penyandang

2 Gaston Mialaret, Hak Anak-anak untuk Memperoleh Pendidikan, (Jakarta: Balai Pustaka,

1993), h.5

3

Reni akbar-Hawadi, Psikologi Perkembangan Anak: Mengenal sifat, Bakat, dan Kemampuan Anak, (Jakarta: PT Grasindo, 2001), h.14

4Undang-undang SISDIKNAS (Sistem Penddikan Nasional) Nomor 20 Tahun 2003 disertai


(12)

3

kelainan sangat berarti karena memberi landasan yang kuat bahwa anak berkelainan perlu memperoleh kesempatan yang sama sebagaimana yang diberikan kepada anak normal lainnya dalam hal pendidikan dan pengajaran.5

Sesuai dengan amanat dalam undang-undang pokok pendidikan, pemberdayaan anak berkebutuhan khusus melalui pendidikan harus tetap menjadi salah satu agenda pendidikan Nasional agar anak berkebutuhan khusus memiliki jiwa kemandirian. Dalam arti, tumbuhnya kemampuan untuk bertindak atas kemauan sendiri, keuletan dalam mencapai prestasi, mampu berpikir dan bertindak secara rasional, mampu mengendalikan diri, serta memiliki harga dan kepercayaan diri. Di atas semua itu, agar keberadaan anak berkebutuhan khusus di komunitas anak normal tidak semakin terpuruk.6

3HQGLGLNDQ,QNOXVLIEXNDQQDPDODLQXQWXNµSHQGLGLNDQNHEXWXKDQNKXVXV¶

Pendidikan inklusif menggunakan pendekatan yang berbeda dalam mengidentifikasi dan mencoba memecahkan kesulitan yang muncul di sekolah. Konsep pendidikan inklusif memiliki lebih banyak kesamaan dengan konsep

\DQJ PHODQGDVL JHUDNDQ µ3HQGLGLNDQ XQWXN 6HPXD¶ GDQ µ3HQLQJNatan mutu

VHNRODK¶

5Mohammad Efendi, Pengantar Psiko pedagogik Anak Berkelainan, (Jakarta: Bumi Aksara,

2006), h.1

6


(13)

4

Pendidikan inklusif merupakan pergeseran dari kecemasan tentang suatu kelompok tertentu menjadi upaya yang difokuskan untuk mengatasi hambatan untuk belajar dan berpartisipasi.7

Pendidikan inklusif dimulai dari pemikiran bahwa hak mendapatkan pendidikan merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar dan merupakan sebuah pondasi untuk hidup bermasyarakat. Melalui pendidikan inklusif ini muncul harapan dan kemungkinan bagi mereka yang tergolong kelompok minoritas dan terabaikan untuk memperoleh kesempatan pendidikan bersama dengan teman-teman sebayanya secara lebih inklusif (tidak terpisahkan). Semua anak memerlukan pendidikan yang membantu mereka berkembang untuk hidup dalam masyarakat yang normal. Dengan konsep kebijakan ini berarti setiap sekolah harus menerima dan mendidik siswa di lingkungan terdekat. Pendidikan inklusif merujuk pada kebutuhan belajar semua peserta didik, dengan suatu focus spesifik pada mereka yang rentan terhadap marjinalisasi dan pemisahan. Iplementasi pendidikan inklusif berarti sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, atau kondisi lainnya.

Dengan memberi kesempatan yang sama kepada anak berkemampuan berbeda untuk memperoleh pengajaran dan pendidikan, berarti memperkecil kesenjangan angka partisipasi pendidikan anak normal dengan anak berkelainan.

7 Sue Stubbs, Pendidikan Inklusif Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber, (Bandung: UPI Jurusan


(14)

5

Dalam kelas inklusif terdapat peserta didik yang normal dan berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus yaitu anak yang memiliki karakteristik khusus. Keadaan khusus membuat mereka berbeda dengan yang lainnya. Oleh karena itu pada kelas inklusif ini tidak ada pemisahan anak yang tumbuh secara normal dan anak yang berkebutuhan khusus (ABK).

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak yang memiliki karakteristik khusus. Keadaan khusus membuatnya mereka berbeda dengan anak

SDGD XPXPQ\D 3HPEHULDQ SUHGLNDW ³EHUNHEXWXKDQ NKXVXV´ WHQWX VDMD WDQSD

selalu menunjukkan pada pengertian lemah mental atau tidak identik juga dengan ketidakmampuan emosi atau kelainan fisik. Anak yang termasuk ABK, antara lain ; tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autis, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat, serta anak dengan gangguan kesehatan.8

Pada umumnya, sekolah-sekolah umum hanya menyelenggarakan pendidikan reguler, dimana siswa-siswanya adalah anak-anak normal yang tidak mengalami kebutuhan khusus dalam pendidikannya. Hal ini sudah berjalan sangat lama dan menjadi kebiasaan umum bahwa anak-anak biasanya belajar di sekolah umum, sementara anak-anak berkebutuhan khusus belajar di SLB. Mengapa hal ini terjadi? Karena pola pikir masyarakat sudah mengarah kepada pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus, yang menempatkan mereka berbeda dengan siswa lain yang normal. Banyak hal yang mempengaruhinya,

8


(15)

6

mulai dari sikap orang tua yang tidak menerima kehadirannya, atau menerima tetapi menjadi oferprotectife, hingga stigma masyarakat yang menempatkan mereka dalam kelas terpinggirkan, yang menjadikan anak berkebutuhan khusus kurang dapat mengakses pendidikan yang luas. Perlakuan seperti inilah yang kemudian membuat sebagian anak berkebutuhan khusus di Indonesia mempunyai sensitivitas yang sangat tinggi, minder, tertutup, dan menganggap dirinya hanya menjadi beban orang lain serta tidak berguna. Dalam kondisi seperti ini, pendidikanlah yang mampu menjembatani segala pola pikir kita untuk berubah dan mencoba memahami bahwa setiap anak mempunyai potensi masing-masing untuk berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya masingmasing.

Oleh karena itu, dengan adanya pendidikan inklusif ini diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus selama ini, karena tidak mungkin membangun sekolah Luar Biasa (SLB) di tiap-tiap desa atau kecamatan, sebab akan memakan biaya dan waktu yang lama.

SMK Negeri 1 Sidoarjo adalah salah satu lembaga yang telah menerapkan program pendidikan inklusif karena didalamnya terdapat anak-anak dengan kebutuhan khusus yang belajar bersama-sama anak normal lainnya, pastinya dengan model pembelajaran yang berbeda.

Menjadi sekolah inklusi seperti SMK Negeri 1 Sidoarjo memang tidak muda. Setidaknya sekolah harus mempersiapkan diri dengan inovasi-inovasi agar anak berkebutuhan khusus dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Di


(16)

7

samping itu, sekolah juga harus bias memberikan penyadaran kepada semua civitas akademika bahwa peserta didik berkebutuhan khusus juga bisa mengikuti pendidikan di sekolah umum. Penyusunan kurikulum, metode mengajar, media pembelajaran, kompetensi guru, evaluasi, dan layanan akademik maupun nonakademik harus disusun sedemikian rupa yang tentunya memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Hal ini karena pembelajaran model inklusi memerlukan adanya media, sarana prasarana, kurikulum, kompetensi guru, layanan akademik maupun nonakademik sedemikian rupa sehingga mampu melayani semua siswa tanpa terkecuali.

Dari berbagai masalah itulah, peneliti merasa tertarik untuk meneliti model pendidikan inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di SMK Negeri 1 Sidoarjo.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana model pendidikan inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di SMK Negeri 1 Sidoarjo?

2. Apa faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan pendidikan inklusif di SMK Negeri 1 Sidoarjo?


(17)

8

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, dapat di rumuskan beberapa pokok tujuan penelitian, antara lain sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui model pendidikan inklusi bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di SMK Negeri 1 Sidoarjo?

2. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan pendidikan inklusif di SMK Negeri 1 Sidoarjo?

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian dalam pembahasan ini adalah: 1. Bagi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya:

a. Bagi Akademik skripsi ini bias menjadi khazanah keilmuan dan bagi Fakultas Tarniyah dan Keguruan khususnya dapat digunakan sebagai bahan masukan dan kajian keilmuan untuk pengembangan kegiatan pembelajaran dengan pendekatan sistem yang dalam hal ini berupa pembelajaran pendidikan inklusi.

b. Bagi perpustakaan dapat dijadikan sebuah referensi dan perbandingan. 2. Bagi SMK Negeri 1 Sidoarjo, skripsi ini dapat digunakan sebagai bahan

masukan tentang pendidikan inklusif dan bahan untuk meningkatkan mutu peserta yang termasuk kategori berkebutuhan khusus.

3. Bagi individual penulis skripsi ini berguna sebagai pengetahuan baru dan syarat untuk mendapatkan ijazah Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)


(18)

9

E. Definisi Operasional

Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih mengarah dan terfokus pada permasalahan yang akan dibahas, sekaligus untuk menghindari terjadinya persepsi lain mengenai istilah-istilah yang ada, maka perlu adanya penjelasan mengenai definisi istilah . Hal ini sangat diperlukan agar tidak terjadi kesamaan penafsiran dan terhindar dari kesalahan pengertian pada pokok pembahasan ini.

Definisi istilah yang berkaitan dengan judul dalan penulisan skiripsi ini adalah sebagai berikut:

Model Pendidikan Inklusi : Menurut Staub dan Peck adalah penempatan anak kelainan tingkat ringan , sedang dan berat secara penuh di kelas regular (umum). Menurut shapo-shevin adalah system layanan pendidikan yang mempersyaartakan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas regular bersam teman seusianya.9

Anak Berkebutuhan Khusus : Mereka yang memiliki kebutuhan khusus sementara atau permanen sehingga

9 Direktorat PLB, Pedoman penyelenggaraan pendidikan inklusi : mengenal pendidikan


(19)

10

membutuhkan pelayanan pendidikan yang lebih intens.10

SMK Negeri 1 Sidoarjo : Lembaga pendidikan yang menjadi tempat penelitian dan menerapkan pendidikan inklusi. Dari definisi beberapa istilah di atas, maka yang dimaksud dengan judul

³0RGHO 3HQGLGLNDQ ,QNOXVLI EDJL $QDN %HUNHEXWXKDQ .KXVXV $%. GL 60. 1HJHUL6LGRDUMR´DGDODKPRGHOSHQHPSDWDQ$QDN%HUNHEXWXKDQ.KXVXV$%.

menjadi satu di kelas regular (umum) yang di terapkan di SMK Negeri 1 Sidoarjo.

F. Sistematika Pembahasan

Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh dalam isi pembahasan skripsi ini, maka secara global dapat dilihat pada sistematika penulisan dibawah ini, sebagai berikut:

Bab satu merupakan Pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, alasan memilih judul, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab dua merupakan kajian teori meliputi: pertama tinjauan tentang pendidikan inklusif yang meliputi ; sejarah pendidikan inklusif; pengertian pendidikan inklusif; Model pendidikan Inklusif; landasan pendidikan inklusif;

10 Mohammad Takdir Ilahi., Pendidikan Inklusif konsep dan aplikasi, PT ARuzz Media,


(20)

11

Pendidikan Inklusif dalam pandangan Islam. Kedua tinjauan tentang anak berkebutuhan khusus (ABK) yang meliputi; pengertian anak berkebutuhan khusus; macam anak berkebutuhan khusu; faktor penyebabnya.

Bab tiga merupakan pembahasan tentang metode penelitian yang meliputi jenis penelitian, objek penelitian, sumber data, jenis data dan teknik pengumpulan data.

Bab empat laporan hasil penelitian menjelaskan tentang gambaran umum objek penelitian, penyajian data, dan analisis data yang mencakup model pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus dan faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan pendidikan inklusif.

Bab lima merupakan bab terakhir yang membahas tentang penutup, terdiri dari simpulan dari semua isi atau hasil penelitian skripsi ini baik secara teoritis maupun secara empiris. Setelah itu peneliti mengajukan saran-saran sesuai dengan hasil simpulan sebagai tindak lanjutnya.


(21)

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Pendidikan Inklusif 1. Pengertian Pendidikan Inklusif

Istilah terbaru yang digunakan dalam mendeskripsikan penyatuan bagi anak-anak berkebutuhan khusus ke dalam program sekolah regular adalah inklusif.11 Banyak sekali interpretasi mengenai konsep pendidikan inklusi ini, mulai dari yang moderat hingga radikal. Ada sebagian orang mengartikannya sebagai mainstereaming, namun ada juga yang mengartikan sebagai full inclusion, yang berarti menghapus sekolah khusus. Namun yang pasti, inklusif berarti bahwa tujuan pendidikan bagi yang mengalami hambatan adalah keterlibatan yang sebenarnya dari tiap anak dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi yang ada di sekolah.12

Pendidikan Inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak,

11

J. David Smith, Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua. Terj. Baihaqi, (Bandung: Penerbit Nuansa), h. 45

12 Ibid. h. 46


(22)

13

menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap peserta didik.13

Tidak kalah pentinganya adalah untuk memudahkan layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang keberadaannya menyebar di berbagai daerah pedesaaan atau pelosok yang tidak berkesempatan sekolah di SLB. Memberi kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk berintegarasi dengan anak normal baik di dalam mengikuti pendidikan maupun adaptasi dengan lingkungannya sangat diperlukan, agar anak-anak berkebutuhan khusus tidak merasa dipinggirkan dan membangun paradigm pendidikan inklusif.

Sapon-6KHYLQ 2¶1HLO GDODP 6XQDUGL PHQ\DWDNDQ

bahwa pendidikan inklusif sebagai system layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Konsekuensinya antara lain ditekankan adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.

Vaughn, Bos, dan Schumm (2000), mengatakan bahwa dalam praktik, istilah inklusif sering dipakai bergantian dengan istilah mainstreaming, yang

13 Direktorat PLB, Pedoman penyelenggaraan pendidikan inklusi : mengenal pendidikan terpadu, ( Jakarta;Depdiknas, 2004), h.4


(23)

14

secara teori diartikan sebagai penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak berkebutuhan khusus sesuai dengan kebutuhan individualnya.

Dari beberapa definisi di atas peneliti menarik kesimpulan bahwa melalui pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki dan tidak memaksakan hasil yang dicapai sama dengan peserta didik regular.

2. Sejarah Pendidikan Inklusif

Sejarah perkembangan pendidikan Inklusf di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan Inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif.

Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang

PHQJKDVLONDQ GHNODUDVL ¶HGXFDWLRQ IRU DOO¶ ,PSOLNDVL GDUL VWDWHPHQ LQL


(24)

15

(termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanana pendidikan secara memadai. Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan

¶WKH6DODPDQFDVWDWHPHQWRQLQFOXVLYHHGXFDWLRQ´

Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif.

Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.

Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan


(25)

16

mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusif.14

3. Model Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana-prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya.

Keuntungan dari pendidikan inklusif adalah bahwa anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai dengan potensinya masing-masing.

Pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Pandangan mengenai pendidikan yang harus menyesuaikan dengan kondisi peserta didik ini sangat terkait dengan adanya perbedaan yang terdapat dalam diri peserta

14 (http://bamperxii.blogspot.com/2008/12/pendidikaniklusif. html, diunduh pada sabtu,16 november 2014, 16.22 WIB)


(26)

17

didik. Pandangan lama yang menyatakan bahwa peserta didiklah yang harus menyesuaikan dengan pendidikan dan proses pembelajaran di kelas lambat laun harus berubah

Istilah inklusif berimplikasi pada adanya kebutuhan yang harus dipenuhi bagi semua anak dalam sekolah. Hal ini menyebabkan adanya penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran. Penyesuaian pendidikan (adaptive education) dilaksanakan dengan menyediakan pengalaman-pengalaman belajar guna membantu masing-masing peserta didik dalam meraih tujuan-tujuan pendidikan yang dikehendakinya. Penyesuaian pendidikan dapat berlangsung tatkala lingkungan pembelajaran sekolah dimodifikasi untuk merespon perbedaan-perbedaan peserta didik secara efektif dan mengembangkan kemampuan peserta didik agar dapat bertahan dalam lingkungan tersebut.

Dengan melihat adanya penyesuaian terhadap kebutuhan peserta didik yang berbeda-beda, maka dalam setting pendidikan inklusif model pendidikan yang dilaksanakan memiliki model yang berbeda dengan model pendidikan yang lazim dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler.

Model pendidikan inklusif yang diselenggarakan pemerintah Indonesia yaitu model pendidikan inklusif moderat.15 Pendidikan inklusi moderat yang dimaksud yaitu:

15 Departemen Pendidikan Nsional , Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi, 2007, h. 8-9


(27)

18

a. Pendidikan inklusi yang memadukan antara terpadu dan inklusi penuh b. Model moderat ini dikenal dengan model mainstreaming

Model pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa) dengan pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja.16

Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti:

1) Bentuk kelas reguler penuh

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama

2) Bentuk kelas reguler dengan cluster

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus17

3) Bentuk kelas reguler dengan pull out

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas

16 Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, h. 10.

17 Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 100.


(28)

19

reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus

4) Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar bersama dengan guru pembimbing khusus

5) Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian

Anak berkelainan belajar di kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler

6) Bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler

Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.18

Dengan demikian, pendidikan inklusif tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh), karena sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi berhubung gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah

18 Solicha dan Agustyawati, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h.104.


(29)

20

reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB).

Setiap sekolah inklusi dapat memilih model mana yang akan diterapkan, terutama bergantung kepada:

a. Kurikulum

Kurikulum memiliki kedudukan yang sangat strategis, karena kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Melalui kurikulum Sumber Daya Manusia dapat diarahkan untuk mencapai kemajuan pendidikan. Oleh karena itu, kurikulum harus terus dikembangkan sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik, kebutuhan pembangunan nasional, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Adapun kurikulum yang diterapkan pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusif tetap menggunakan kurikulum nasional untuk satuan pendidikan yang bersangkutan, misalnya Kurikulum Taman Kanak-Kanak, sekolah Dasar, Sekolah Menengah dan seterusnya. Hanya saja GBPP diperlukan format yang lebih sederhana.19

Dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang System Pendidikan Nasional (UUSPN) pada Pasal 1 butir 19 disebutkan: Bahwa

19 Direktorat PLB, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi, Pengembangan Kurikulum, (Jakarta: Depdiknas, 2004), h.14


(30)

21

kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Secara umum menurut Budiyanto dalam bukunya Pengantar Pendidikan Inklusif Berbasis Budaya Lokal, kerangka pendidikan inklusif rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum agar dapat dipergunakan bagi semua peserta didik, khususnya bagi anak berkebutuhan khusus sesuai dengan pernyataan Salamanca adalah sebagai berikut:

1) Kurikulum seyogyanya disesuaikan dengan kebutuhan anak, bukan sebaliknya. Oleh karena itu sekolah seyogyanya memberikan kesempatan kurikuler yang disesuaikan dengan anak yang memiliki bermacam-macam kemampuan dan minat.

2) Anak penyandang berkebutuhan khusus seyogyanya memperoleh dukungan pembelajaran tambahan dalam konteks kurikulum regular, bukan kurikulum yang berbeda. Prinsip yang dijadikan pedoman seyogyanya dapat memberikan bantuan dan dukungan tambahan bagi anak yang memerlukannya.

3) Perolehan pengetahuan bukan sekedar masalah pembelajaran formal dan teoritis. Pendidikan seyogyanya berisi hal-hal yang menimbulkan kesanggupan untuk mencapai standar yang lebih tinggi dan memenuhi


(31)

22

kebutuhan individu demi memungkinkannya berpartisipasi secara penuh dalam pembangunan. Pengajaran seyogyanya dihubungkan dengan hal-hal yang praktis agar mereka lebih termotivasi.

4) Untuk mengikuti kemajuan masing-masing anak, prosedur assessment harus dituju. Evaluasi format seyogyanya dimasukkan ke dalam proses pendidikan regular agar siswa dan guru senantiasa teri formasi tentang penguasaan pelajaran yang sudah dicapai maupun yan mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi dan membantu siswa menghadapinya.

5) Bagi anak penyandang pendidikan khusus, seyogyanya disediakan dukungan yang berkesinambungan, yang berkisar dari bantuan minimal di kelas regular hingga program pelajaran tambahan di sekolah itu dan bila perlu, disediakan bantuan dari guru spesialis dan staf pendukung eksternal.

6) Teknologi yang tepat dengan biaya terjangkau seyogyanya dipergunakan bila diperlukan untuk mempertinggi keberhasilan dalam kurikulum sekolah dan untuk membantu komunikasi, mobilitas danbelajar. Bantuan teknis dapat diberikan lebih ekonomis dan efektif biladisediakan dari sebuah pusat sumber yang didirikan di tiap wilayah,dimana terdapat seorang ahli yang dapat mencocokkan jenis alat bantudengan kebutuhan individu dan menjamin pemeliharaannya.


(32)

23

7) Kapabilitas seyogyanya dibangun dan penelitian dilakukan padatingkat nasional dan regional untuk mengembangkan system teknologi pendukung yang tepat untuk pendidikan kebutuhan khusus.20

Kurikulum memiliki kedudukan yang sangat strategis, karena kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Melalui kurikulum,Sumber Daya Manusia dapat diarahkan dan kemajuan suatu bangsa akan ditentukan. Oleh karena itu, kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik, kebutuhan pembangunan nasional, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kurikulum pendidikan inklusif menggunakan kurikulum sekolah reguler (Kurikulum Nasional) yang dimodifikasi (diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus dengan mempertimbangkan karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya. Modifikasi dapat dilakukan dengan cara:

1) Modifikasi Alokasi Waktu

Modifikasi alokasi waktu disesuaikan dengan mengacu pada kecepatan belajar siswa.

2) Modifikasi Isi/Materi

Modifikasi isi/materi disesuaikan dengan kemampuan siswa. Jika intelegensi anak di atas normal, materi dapat diperluas atau

20


(33)

24

ditambah materi baru. Jika intelegensi anak relatif normal, materi dapat tetap dipertahankan. Jika intelegensi anak di bawah normal, materi dapat dikurangi atau diturunkan tingkat kesulitan seperlunya atau bahkan dihilangkan bagian tertentu.

3) Modifikasi Proses Belajar Mengajar

a) Menggunakan pendekatan Student Centered yang menekankan perbedaan individual setiap anak.

b) Lebih terbuka (divergent).

c) Memberikan kesempatan mobilitas tinggi, karena kemampuan siswa di dalam kelas heterogen.

d) Menerapkan pendekatan pembelajaran kompetitif seimbang dengan pendekatan pembelajaran kooperatif. Disesuaikan dengan tipe belajar siswa.

4) Modifikasi Sarana dan Prasarana

a) Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki intelegensi di atas normal maka perlu disediakan laboratorium, alat praktikum dan sumber belajar lainnya yang memadai.

b) Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki intelegensi relative normal, dapat menggunakan sarana-prasana seperti halnya anak normal.

c) Untuk anak berkebutuhan khusus yang memiliki intelegensi di bawah normal, maka perlu tambahan sarana dan prasarana khusus


(34)

25

yang lebih banyak terutama untuk memvisualkan hal-hal yang abstrak agar menjadi lebih konkrit.

5) Modifikasi Lingkungan Belajar

a) Diupayakan lingkungan yang kondusif untuk belajar b) Ada sudut baca (perpustakaan kelas.

6) Modifikasi Pengelolaan Kelas

Pengelolaan kelas hendaknya fleksibel, yang memungkinkan mudah dilaksanakannya pembelajaran kompetitif (individual), pembelajaran kooperatif (kelompok/berpasangan) dan pembelajaran klasikal.21

b. Guru

Guru atau pendidik dalam pengertian yang sederhana adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik.22 Dalam pengertian lain, guru adalah orang yang bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan anak didik. Pribadi susila yang cakap adalah yang diharapkan ada pada diri setiap anak didik. Tidak ada satu orang gurupun yang mengaharapkan anak didiknya menjadi sampah masyarakat.23

21

Dr. Bandi Deplhie, MA., Bimbingan Konseling Untuk Perilaku Non Adaptif, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), 27.

22 Syaiful Bahri Djamarah, Gurun dan Anak Didik, h.31 23


(35)

26

Secara umum pada kelas inklusif di sekolah dasar terdiri dari guru mata pelajaran dan guru pembimbing khusus (GPK).

a) Guru mata pelajaran

Guru mata pelajaran yaitu guru yang mengajar pada mata pelajaran tertentu sesuai dengan kualifikasi yang dipersyaratkan. Di sekolah biasanya guru mata pelajaran pendidikan agama Islam serta jasmani dan kesehatan dipegang oleh guru mata pelajaran, selain itu dipegang oleh guru kelas

b) Guru pembimbing khusus

Guru pembimbing khusus adalah guru yang mempunyai latar belakang pendidikan luar biasa atau yang pernah mendapat pelatihan khusus terkait dengan pendidikan luar biasa. Tugas pembimbing khusus antara lain: Menyusun assessment pendidikan bersama guru kelas dan guru mata pelajaran, membangun sistem organisasi antara guru, pihak sekolah dengan orang tua siswa, memberikan bimbingan kepada anak berkelainan, sehingga anak mampu mengatasi hambatan/ kesulitannya dalam belajar, memberikan bantuan kepada guru kelas dan guru mata pelajaran agar dapat memberikan pelayanan pendidikan khusus kepada anak yang luar biasa yang membutuhkan.


(36)

27

c. Anak didik

Anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan.24 Anak didik bukan binatang akan tetapi manusia yang punya akal. Anak didik menempati kedudukan yang menempati posisi yang menentukan dalam interaksi pendidikan. Guru tidak berarti bila tanpa kehadiran anak didik sebagai subjek pembinaan.

Dalam perspektif pedagogis, anak didik adalah sejenis mahluk yang menghajatkan pendidikan, dalam artian anak didik disebut sejenis

³KRPR HGXFDQGXP´ Pendidikan merupakan suatu keharusan yang

diberikan kepada anak didik. Anak didik sebagai manusia yang perlu dibina dan di bimbing oleh guru. Potensi anak didik yang bersifat laten perlu diaktualisasikan agar anak didik tidak dikatakan lagi sebagai

³DQLPDO HGXFDEOH´sejenis binatang yang memungkinkan untuk dididik, tetapi anak didik harus dianggap sebagai manusia secara mutlak .25

Sebagai makhluk manusia, anak didik memiliki karakteristik. Menurut Sutari Imam Barnadib, Suwarno, dan Siti Mechati, anak didik memiliki karakteristik tertentu, yakni: Belum memiliki pribadi yang dewasa susila sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik (guru); Masih menyempurnakan aspek tertentu dari kedewasaannya, sehingga

24 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik, h.51 25 Ibid., h.52


(37)

28

masih menjadi tanggung jawab pendidik; Memiliki sifat-sifat dasar manusia yang sedang berkembang secara terpadu yaitu kebutuhan biologis, rohani, sosial, inteligensi, emosi, kemampuan bicara, anggota tubuh untuk bekerja (kaki, tangan, jari), latar belakang sosial, latar belakang biologis (warna kulit, bentuk tubuh, dan lainnya), serta perbedaan individual.

Dalam kelas inklusif terdapat siswa yang normal dan berkebutuhankhusus. Anak berkebutuhan khusus yaitu anak yang memiliki karakteristik khusus. Keadaan khusus membuat mereka berbeda denganyang lainnya. Oleh karena itu pada kelas inklusif ini tidak ada pemisahan anak yang tumbuh secara normal dan anak yang berkebutuhan khusus (ABK).

Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang memiliki karakteristik khusus. Keadaan khusus membuatnya mereka berbeda denJDQ DQDN SDGD XPXPQ\D 3HPEHULDQSUHGLNDW ³EHUNHEXWXKDQ NKXVXV´

tentu saja tanpa selalu menunjukkan pada pengertian lemah mental atau tidak identik juga dengan ketidakmampuan emosi atau kelainan fisik. Anak yang termasuk ABK, antara lain tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat, serta anak dengan gangguan kesehatan.26

26


(38)

29

d. Sarana-Prasarana

Sarana-prasarana adalah peralatan, perlengkapan dan fasilitas yang secara langsung dipergunakan dalam menunjang proses pendidikan khususnya proses belajar mengajar. Ditinjau dari fungsi atau peranannya terhadap pelaksanaan proses belajar mengajar, maka sarana pendidikan dibedakan menjadi 3 macam yaitu, alat peraga dan media pengajaran. Selanjutnya menurut Dra. Suharsimi Ari Kunto, diterangkan bahwa yang termasuk prasarana pendidikan adalah bangunan sekolah dan alat perabot sekolah. Prasarana pendidikan ini juga berperan dalam proses mengajar walaupun secara tidak langsung.27

Disamping menggunakan sarana prasarana seperti halnya anak normal, anak berkebutuhan khusus perlu pula menggunakan sarana prasarana khusus sesuai dengan jenis kelainan dan kebutuhan anak.

e. Keuangan atau Dana

Komponen keuangan sekolah merupakan komponen produksi yang menentukan terlaksananya kegiatan belajar mengajar bersama komponenkomponen lain. Dengan kata lain, setiap kegiatan yang dilakukan sekolah memerlukan biaya.28 Dalam rangka penyelenggaraan pendidikan inklusif, perlu dialokasikan dana khusus, yang antara lain untuk keperluan:

27 Drs. B. Suryobroto, Manajemen Pendidikan di Sekolah, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 114. 28


(39)

30

1) Kegiatan identifikasi input siswa. 2) Modifikasi kurikulum.

3) Insentif bagi tenaga kependidikan yang terlibat. 4) Pengadaan sarana-prasarana.

5) Pemberdayaan peran serta masyarakat. 6) Pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.

f. Lingkungan (Hubungan Sekolah dengan Masyarakat)

Sekolah sebagai suatu sistem sosial merupakan bagian integral dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat. Maju mundurnya Sumber Daya Manusia (SDM) pada suatu daerah, tidak hanya tergantung pada upayaupaya yang dilakukan sekolah, namun sangat bergantung kepada tingkat partisipasi masyarakat terhadap sekolah.29

Oleh karena itu, masyarakat hendaknya selalu dilibatkan dalam pembangunan sekolah di daerah. Masyarakat hendaknya ditumbuhkan

³UDVD LNXW PHPLOLNL´ VHNRODK GL GDHUDK VHNLWDQ\D 0DMX PXQGXUQ\D

sekolah di lingkungannya juga merupakan tanggung jawab bersama masyarakat setempat. Sehingga bukan hanya Kepala Sekolah dan Dewan Guru yang memikirkan maju mundurnya sekolah, tetapi masyarakat setempat terlibat pula memikirkannya.30

29'LUHNWRUDW3HQGLGLNDQ/XDU%LDVD0HQJHQDO«K

30


(40)

31

4. Landasan Pendidikan Inklusif a. Landasan Filosofis

Landasan filosofis pendidikan inklusif adalah Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa Indonesia. Filsafat ini merupakan pengakuan atas kebhinekaan di Indonesia. Kecacatan seseorang merupakan salah satu dari sekian banyak kebhinekaan yang mesti diakui oleh segenap komponen bangsa, sebagaimana perbedaan dalam hal suku, agama, ras, dan golongan.

Bertolak dari filosofi ini, pendidikan yang ada harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi siswa yang beragam, sehingga terdorong sikap saling asah, asih, dan asuh.31

b. Landasan Yuridis

Hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam hal pelaksanaan pendidikan inklusi tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 (1) yang berbunyi: bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 4 (1) dinyatakan bahwa: pendidikan di negeri ini diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Pasal 5 (2) menyatakan warga negara

31 Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Mengenal Pendidikan Terpadu, Buku 1, (Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta, 2004), h.11.


(41)

32

yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Dalam penjelasan pasal 15 dinyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan khusus tersebut dilakukan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus.32 Pasal 11 menyatakan bahwa; pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

c. Landasan Pedagogis

Tujuan pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3 adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.33

Melalui pendidikanlah anak bangsa dididik dan diajarkan untuk mengembangkan segala potensinya. Anak tidak mungkin dapat bersosialisasi dan menjadi masyarakat yang baik kalau ia tidak pernah berada di tengah-tengah masyarakat yang sangat plural. Anak-anak difabel harus diberi kesempatan untuk bersosialisasi dengan cara memasukkan

32 Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional), 2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.6

33


(42)

33

mereka ke dalam kelaskelas reguler agar dapat dibentuk menjadi individu-individu yang menghargai adanya perbedaan.34

d. Landasan Empiris

Berbagai penelitian yang dilakukan berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan inklusif telah banyak dilakukan di berbagai negara terutama negara barat yang dipelopori oleh the National Academy of Sciences (Amerika Serikat) sejak tahun 1980-an. Hampir keseluruhan penelitian itu menghasilkan kesimpulan bahwa pendidikan inklusif jauh lebih baik daripada pendidikan khusus secara segregasi. Para peneliti merekomendasikan bahwa pendidikan khusus hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat.35

5. Faktor Pendukung dan Penghambat Pendidikan Inklusif a. Faktor Pendukung

1) Adanya kepedulian pemerintah, baik pemerintah pusat, propinsi maupun daerah untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

2) Keterlibatan stakeholder sebagai penyelenggara pendidikan yang menyediakan fasilitas pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.

34'LUHNWRUDW3HQGLGLNDQ/XDU%LDVD0HQJHQDO«K

35


(43)

34

3) Adanya kepedulian pihak dunia usaha untuk menyediakan dan memproduksi media pendidikan yang dibutuhkan.36

Dalam pendidikian inklusif tidak cukup dengan memahami konsepnya saja. Sebuah rencana juga harus realistis dan tepat. Dalam hal ini perlu panduan untuk memastikan bahwa pendidikan inklusif dapat dipraktekkan dalam berbagai budaya dan konteks. Pengalaman pendidikan inklusif yang sukses menunjukkan bahwa ada 3 faktor penentu utama yang perlu diperhatikan agar implementasi pendidikan inklusif bertahan lama37:

1) Adanya kerangka yang kuat

Pendidikan inklusif perlu didukung oleh kerangka nilai-nilai, keyakinan, prinsip-prinsip, dan indikator keberhasilan. Ini akan berkembang seiring dengan implementasinya dan tidak harus

µGLVHPSXUQDNDQ¶VHEHOXPQ\D7HWDSLMLNDSLKDN-pihak yang terlibat mempunyai konflik nilai-nilai dll., dan jika konflik tersebut tidak diselesaikan dan disadari, maka pendidikan inklusif akan mudah ambruk.

2) Implementasi berdasarkan budaya dan konteks local

Pendidikan inklusif bukan merupakan suatu cetak biru. Satu kesalahan utama adalah asumsi bahwa solusi yang diekspor dari suatu budaya/konteks dapat mengatasi permasalahan dalam

36 Direktorat Pembinaan sekolah Luar Biasa, Model Media Pendidikan Inklusif, 2007, h.48 37


(44)

35

budaya/konteks lain yang sama sekali berbeda. Lagi-lagi, berbagai pengalaman menunjukkan bahwa solusi harus dikembangkan secara lokal dengan memanfaatkan sumber-sumber daya lokal; jika tidak, solusi tersebut tidak akan bertahan lama.

3) Partisipasi yang berkesinambungan dan refleksi

Pendidikan inklusif tidak akan berhasil jika hanya merupakan struktur yang mati. pendidikan inklusif merupakan proses yang dinamis, dan agar pendidikan inklusif terus hidup, diperlukan adanya monitoring partisipatori yang berkesinambungan, yang melibatkan SEMUA stakeholder dalam refleksi diri yang kritis. Satu prinsip inti dari pendidikan inklusif adalah harus tangap terhadap keberagaman secara fleksibel, yang senantiasa berubah dan tidak dapat diprediksi. Jadi, pendidikan inklusif harus tetap hidup dan mengalir. Secara bersama-sama, ketiga faktor penentu utama tersebut (rangka, daging dan darah) memberntuk organisme hidup yang kuat, yang dapat beradaptasi dan tumbuh dalam budaya dan kontekslokal.

b. Faktor Penghambat

1) Terbatasnya dana untuk penyediaan media pendidikan yang dibutuhkan.


(45)

36

2) Minimnya kretivitas dikalangan masyarakat dalam menyiapkan media pendidikan.

3) Terbatasnya sumber daya manusia yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan pesan-pesan melalui media pendidikan.

4) Kurangnya sosialisasi akan pentingnya media pendidikan bagi peserta didik dan lembaga penyelenggaraan pendidikan.

5) Terbatasnya keberadaan media pendidikan yang spesifik bagi peserta didik berkebutuhan khusus, karena tidak semua produk bisa dengan mudah didapatkan di lapangan pasar.

6. Pendidikan Inklusif dalam Pandangan Islam

Di dalam Islam, pandangan terhadap kecacatan adalah hal yang sudah bersifat final, dalam arti bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan persepsi di dalam memandang seseorang dari anggota tubuh. Dalam Islam, kemuliaan dan keutaman seseorang tidak didasarkan pada suku, warna kulit, maupun postur tubuh, namun lebih kepada akhlak dan ketakwaannya kepada Allah SWT.

Islam mengajarkan bahwa semua orang adalah sama, mempunyai hak dan kewajiban yang sama, baik di hadapan hukum, masyarakat, dan di hadapan Tuhan. Islam juga mengajarkan bahwa semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran tanpa memandang pangkat, golongan, kecacatan seseorang maupun hal-hal yang lain. Islam melarang


(46)

37

keras melakukan diskriminasi dalam hal pendidikan. Allah berfirman di dalam

4XU¶DQVXUDWµ$EDVD-10: `‡WWà rXSV"XT §ª¨ DU ÈPXÄ\C q\-ÕÃ)] §«¨ W%XT \c®qÕiÄc

œÄ Š\ÈV

r‹‰sWc §¬¨ ØTU ÄmŠ…kWc ÈO\È[Ý<W*VÙ sWmÙ°G §­¨ ‰%U

¨CW%

³RBÙÓW)Ôy

§®¨ _05UVÙ œÈOV s„i_¡V" §¯¨

W%XT

\

ÙkQWÃ

€ YU r‹‰sWc §°¨

‰%U XT

CW%

[

XÄ\C

³WËԁRd

§±¨

X

SÉFXT

³\”ÙcVf

§²¨ _05UVÙ ÈOØ=WÃ

q…6QV"

§ª©¨

Artinya:

1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, 2. Karena Telah datang seorang buta kepadanya

3. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), 4. Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi

manfaat kepadanya?

5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup 6. Maka kamu melayaninya.

7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).

8. Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),

9. Sedang ia takut kepada (Allah), 10. Maka kamu mengabaikannya.38

38


(47)

38

Ayat di atas merupakan dasar pendidikan inklusi di dalam Islam, dan konsep inklusi yang terjadi hari ini adalah sama dengan konsep tersebut di atas. Ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa yang menimpa Ibnu Ummi Maktum, seorang tuna netra yang ingin belajar Al-4XU¶DQ NHSDGD 1DEL

namun beliau memalingkan mukanya karena beliau sedang berbicara di depan para pembesar Qurays seperti Abu Jahal.39 Ayat di atas mengajarkan kita untuk tidak menolak siapa saja yang datang untuk belajar. Pembatasan kesempatan kepada seseorang untuk menuntut ilmu yang menjadi haknya berarti mengingkari ajaran Islam.

B. Tinjauan Tentang Anak Berkebutuhan Khusus 1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan (fisik, mental-intelektual, social, emosional) dalam proses pertumbuhan/ perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

Dengan demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan/ penyimpangan tertentu, tetapi kelainan/penyimpangan tersebut tidak

39$OODPDK.DPDO)DTLK,PDQL7DIVLUQXUXO4XU¶DQ-LOG7HUM5XGL0XO\RQRJakarta: Penerbit Al-huda. 2006. h. 207.


(48)

39

signifikan sehingga mereka tidak memerlukan pelayanan pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak dengan kebutuhan khusus.40

Anak ± anak yang memiliki kebutuhan individual yang bersifat khas tersebut dalam proses perkembangannya memerlukan adanya layanan pendidikan khusus. Dengan demikian, ABK dapat diartikan sebagai anak yang memiliki kebutuhan individual yang bersifat khas yang tidak bisa disamakan dengan anak normal pada umumnya sehingga dalam perkembangannya diperlukan adanya layanan pendidikan khusus agar potensinya dapat berkembang secara optimal.41

Menurut Heward dan Orlansky yang dimaksud dengan anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki atribut fisik atau kemampuan belajar yang berbeda dari anak normal, baik diatas atau dibawah, sehingga membutuhkan program individual dalam pendidikan khusus. Di dalam buku Exceptional Children, Heward dan Orlansky membagi anak berkebutuhan khusus menjadi delapan kategori, yaitu: retardasi mental, kesulitan belajar, gangguan emosi, gangguan komunikasi (bahasa dan pengucapan), tunarungu (gangguan pendengaran), tunanetra (gangguan penglihatan), tunadaksa (gangguan fisik atau gangguan kesehatan lainnya),

40

Mohammad efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan ,( Jakarta:PT. Bumi Aksara,2000) hlm59-61


(49)

40

tunaganda (memiliki lebih dari satu gangguan atau ketunaan yang cukup berat), dan berbakat.42

Dari beberapa definisi di atas menurut peneliti Anak-anak yang memiliki hambatan dalam perkembangannya, baik yang diturunkan atau diperoleh ketika masa pertumbuhan, mereka adalah anak-anak berkebutuhan khusus.

2. Faktor Penyebab

Anak berkebutuhan khusus selain sudah menjadi takdir juga karena adanya faktor ± faktor tertentu yang menjadi penyebabnya. Faktor ± faktor penyebab itu menurut kejadiannya dapat dibedakan menjadi tiga peristiwa yaitu43:

a. Kejadian Sebelum Lahir (prenatal)

Faktor penyebab ketunaan pada masa pre-natal sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan. Ketunaan yang terjadi pada ABK yang terjadi sebelum masa kelahiran dapat disebabkan antara lain oleh hal- hal sebagai berikut: 1) Virus Liptospirosis (air kencing tikus), yang menyerang ibu yang

sedang hamil. Jika virus ini merembet pada janin yang sedang dikandungnya melalui placenta maka ada kemungkinan anak mengalami kelainan.

42 Heward & Orlansky, Exceptional children: An Introductory Survey of Special Education (3rd ed.) Columbus: Merrill Publishing. 1992), h.8

43


(50)

41

2) Virus maternal rubella (campak jerman, retrolanta fibroplasia (RLF) yang menyerang pada ibu hamil dan jamin janin yang dikandungnya terdapat kemunngkinan akan timbul kecacatan pada bayi yang lahir. 3) Keracunan darah (toxaenia) pada ibu- ibu yang sedang hamil sehingga

janin tidak dapat memperoleh oksigen secara maksimal, sehingga saraf

± saraf di otak mengalami gangguan.

4) Faktor rhesus (Rh) anoxia prenatal, kekurangan oksigen pada calon bayi di kandungan yang terjadi karena ada gangguan/infeksi pada placenta.

5) Penggunaan obat ± obatan kontrasepsi yang salah pemakaiannya sehingga jiwanya menjadi goncang, tertekan yang secara langsung dapat berimbas pada bayi dalam perut.

6) Percobaan abortus yang gagal, sehingga janin yang dikandungnya tidak dapat berkembang secara wajar.

b. Kejadian Pada Saat Kelahiran

Ketunaan yang terjadi pada saat kelahiran dapat disebabkan oleh beberapa faktor berikut:

1) Proses kelahiran yang menggunakan tang verlossing (dengan bantuan tang). Cara ini dapat menyebabkan brain injury (luka pada otak) sehingga pertumbuhan otak kurang dapat berkembang secara optimal. 2) Proses kelahiran bayi yang terlalu lama sehingga mengakibatkan bayi


(51)

42

sel-sel di otak. Keadaan bayi yang lahir dalam keadaan tercekik oleh ari

±ari ibunya sehingga bayi tidak dapat secara leluasa untuk bernafas yang pada akhirnya bisa menyebabkan gangguan pada otak.

3) Kelahiran bayi pada posisi sungsang sehingga bayi tidak dapat memperoleh oksigen cukup yang akhirnya dapat mengganggu perkembangan sel di otak.

c. Kejadian Setelah Kelahiran

Ketunaan pada ABK dapat diperoleh setelah kelahiran pula karena faktor- faktor penyebab seperti berikut ini:

1) Penyakit radang selaput otak(meningitis) dan radang otak(enchepalitis)sehingga menyebabkan perkembangan dan pertumbuhan sel-sel otak menjadi terganggu.

2) Terjadi incident(kecelakaan) yang melukai kepala dan menekan otak bagian dalam.

3) Stress berat dan gangguan kejiwaaan lainnya.

4) Penyakit panas tinggi dan kejang ± kejang(stuip), radang telinga(otitis media), malaria tropicana yang dapat berpengaruh terhadap kondisi badan.


(52)

43

Anak berkebutuhan khusus memiliki keragaman sifat, perilaku, karakteristik,dan bentuknya yaitu:

a. Kelompok ABK dilihat Dari Aspek Kecerdasan (Intelegensi)

Dari aspek kecerdasan, anak kelompok ini terdiri dari kelompok ABK berintelegensi di atas rata-rata (supernormal) dan kelompok ABK yang berintelegensi di bawah rata-rata (subnormal).:

1) Anak Berbakat (Supernormal)

Menurut Milgram, R.M, anak berbakat adalah mereka yang mempunyai skor IQ 140 atau lebih diukur dengan instrument Stanford Binet, mempunyai kreativitas tinggi, kemampuan memimpin dan kemampuan dalam seni drama, seni tari dan seni rupa .44

Anak berbakat mempunyai empat kategori, sebagai berikut:

a) Mempunyai kemampuan intelektual atau intelegensi yang menyeluruh, mengacu pada kemampuan berpikir secara abstrak dan mampu memecahkan masalah secara sistematis dan masuk akal.

b) Kemampuan intelektual khusus, mengacu pada kemampuan yang berbeda dalam matematika, bahasa asing, music, atau ilmu pengetahuan alam.

44 Bandi Delphie, Pembelajaran Anak berkebutuhan Khusus Suatu Pengantar Dalam Pendidikan Inklusi (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 139


(53)

44

c) Berpikir kreatif atau berpikir murni menyeluruh. Pada umumnya mampu berpikir untuk menyelesaikan masalah yang tidak umum dan memerlukan pemikiran tinggi.

d) Mempunyai bakat kreatif khusus, bersifat orisinil dan berbeda dengan yang lain.

2) Tuna Grahita (Subnormal)

Anak tunagrahita secara umum mempunyai tingkat kemampuan intlektual dibawah rata-rata. Dalam bahasa Indonesia, istilah yang digunakan, misalnya lemah otak, lemah pikiran, lemah ingatan dan tunagrahita. Oleh karena itu pemahaman yang jelas tentang siapa dan bagaimanakah anak tunagrahita itu merupakan hal yang sangat penting untuk menyelenggarakan layanan pendidikan dan pengajaran yang tepat bagi mereka. 45

Berbagai definisi telah dikemukakan oleh para ahli. Salah satu definisi yang diterima secara luas dan menjadi rujukan utama ialah definisi yang dirumuskan Grossman (1983) yaitu fungsi intelektual umum yang secara nyata berada dibawah rata-rata (normal) bersamaan dengan kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian diri dan semua ini berlangsung pada masa perkembangannya.

45IG.A.K. Wardani, Pengantar pendidikan luar biasa, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), h. 6.5


(54)

45

b. Kelompok ABK dilihat dari Aspek Fisik/Jasmani:

Dilihat dari fisik atau jasmani kelompok anak ini dibagi menjadi beberapa kategori yaitu:

1) Tunanetra

Individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti orang awas. Tunanetra dibagi menjadi dua yaitu46:

a) Kurang awas (low vision), yaitu anak yang masih memiliki sisa penglihatan sedemikian rupa sehingga masih dapat sedikit melihat atau membedakan gelap dan terang.

b) Buta (blind), yaitu anak yang sudah tidak bisa atau tidak memiliki sisa penglihatan sehingga tidak bida membedakan gelap dan terang.

2) Tunarungu

Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan terutama melalui indera pendengarannya.48Batasan pengertian anak tunarungu telah banyak dikemukakan oleh para ahli yang semuanya itu pada dasarnya mengandung pengertian yang sama.

46


(55)

46

Menurut Moores, definisi ketunarunguaan ada dua kelompok. Pertama, seorang dikatakan tuli (deaf) apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB Iso atau lebih, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik dengan ataupun tanpa alat bantu dengar. Kedua, seseorang dikatakan kurang dengar (hard ofhearing) bila kehilangan pendengaran pada 35 dB Iso sehingga ia mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik tanpa maupun dengan alat bantu dengar.

Heward dan Orlansky memberikan batasan ketunarunguan sebagai berikut: tuli (deaf) diartikan sebagai kerusakan yang menghambat seseorang yang menerima ransangan semua jenis bunyi dan sebagai suatu kodisi dimana suara-suara yang dapat dipahami, termasuk suara pembicaraan tidak mempunyai arti dan maksud-maksud dalam kehidupan sehari-hari. Orang tuli tidak dapat menggunakan pendengarannya untuk dapat mengartikan pembicaraan, walaupun sebagian pembicaraan dapat diterima, baik tanpa ataupun dengan alat bantu dengar. Kurang dengar (hear of hearing) adalah seseorang kehilangan pendengarannya secara nyata yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian khusus, baik tuli


(56)

47

maupau kurang mendengar dikatakan sebagai gangguan pendengaran (hearing impaired).47

Dari batasan yang dikemukakan oleh pakar ketunarunguaan, maka dapat disimpulkan bahwa ketunarunguaan adalah suatu keadaan atau derajat kehilangan yang meliputi seluruh gradasi ringan, sedang dan sangat berat yang dalam hal ini dikelompokkan kedalam dua golongan besar yaitu tuli (lebih dari 90 dB) dan kurang dengar (kurang dari 90 dB), yang walaupun telah diberikan alat bantu dengar tetap memerlukan palayanan khusus.

3) Tunadaksa

Anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menatap pada alat gerak (tulang,sendi,otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Tunadaksa dibagi menjadi dua kategori yaitu48:

a) Tunadaksa orthopedic (orthopedicallyhandicapped) yaitu mereka yang mengalami kelainan kecacatan tertentu sehingga menyebabkan terganggunya fungsi tubuh.

b) Tunadaaksa syaraf (neurologically handicapped) yaitu kelainan yang terjadi pada anggota tubuh yang disebabkan gangguan pada urat syaraf.

47 IG.A.K. Wardani, Pengantar pendidikan luar biasa, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), h. 73

48


(57)

48

c. Dengan Gangguan Emosi dan Perilaku (Tunalaras)

Anak tunalaras adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya,sehingga merugikan dirinya maupun orang lain. 49

d. kelompok ABK dilihat dari Aspek atau Jenis Tertentu

a) Autisme

Yaitu gangguan perkembangan anak yang disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem syaraf pusat yang mengakibatkan gangguan dalam interaksi sosial, komunikasi dan perilaku. Anak yang mengindap autis pada umumnya menunjukkan perilaku tidak senang kontak mata dengan orang lain, kurang suka berteman, senang menyendiri dan asyik dengan dirinya sendiri. 50

b) Hiperaktif

Istilah hiperaktif berasal dari kata hiper yang berarti kuat, tinggi, lebih, sedangkan kata aktif berarti gerak atau aktifitas jasmani. Dengan demikian hiperaktif berarti anak yang memiliki gerak jasmani yang lebih atau melebihi teman ± teman seusianya. Bisa juga dikatakan anak yang memiliki gejala ± gejala perilaku

49 IG.A.K. Wardani, Op.Cit, h.. 27 50


(58)

49

yang melebihi kapasitas anak ± anak yang normal. Misalnya: tidak dapat duduk dengan waktu yang relatif cukup, senang berpindah ±

pindah tempat duduk saat kegiatan belajar berlangsung.51 c) Anak berkesulitan belajar

Anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus (terutama dalam hal kemampuan membaca,menulis dan berhitung atau matematika), diduga disebabkan karena faktor disfungsi neugologis, bukan disebabkan karena faktor intelegensi (intelegensinya normal bahkan ada yang diatas normal), sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.52

51 Rini Hildayani, Penanganan Anak Berkelainan (Anak Dengan Kebutuhan Khusus), (Jakarta: Universitas Terbuka), hal. 10.3

52


(59)

50

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan pekerjaan ilmiah yang harus dilakukan secara sistematis, teratur dan tertib, baik mengenai prosedurnya maupun dalam proses berfifkir tentang materinya. Sifat ilmiah menitik beratkan kegiatan penelitian sebagai usaha menemukan kebenaran yang objektif. Kebenaran itu dapat berbentuk hasil pemecahan masalah atau pengujian hipotesis dan mungkin pula berupa pembuktian tentang adanya sesuatu yang semula belum ada, tetapi diduga mungkin ada. Kebenaran yang objektif itu satu pihak memerlukan dukungan data atau informasi yang bersifat empiris sebagai bukti ilmiah.

Penelitian yang harus dilakasanakan secara sistematis, teratur dan tertib , berarti prosesnya harus mengikuti prosedur /metode dan teknik yang paling sesuai dengan maslahnya. Prosedur atau metode dan teknik penelitian itu dalam kenyataannya juga merupakan pola yang berfungsi untuk mengarahkan proses

berfikir, agar penelitian menghasilkan kebenaran yang objektif.53

Kebenaran yang diambil peneliti tidak serta merta diambil dari wacana luar saja, tetapi kebenaran itu diambil melalui berbagai proses penelitian yang dirancang dan akan membuahkan sebuah pemikiran yang lugas dan bisa dijadikan bukti ilmiah. Bukti ilmiah akan diperkuat dengan adanya data-data penunjang untuk mendukung kebenaran yang dianggap peneliti benar.

53

Hadari Nawawi, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996) h. 7


(60)

51

Tujuan penelitian secara umum adalah untuk meningkatkan daya imajinasi mengenai masalah-masalah pendidikan kemudian meningkatnya daya nalar untuk

mencari jawaban permasalahan melalui penelitian.54

Metode penelitian adalah strategi umum yang dianut dalam pengumpulan dan analisis data yang diperlukan guna menjawab permasalahan yang dihadapi. Metode penelitian ini adalah rencana pemecahan bagi persoalan yang diselidiki.

Metode penelitian merupakan alat untuk membantu peneliti mencari cara dalam menyelesaikan masalah yang diangkat. Dengan melalui berbagai penyelidikan secara berangsur-angsur titik temu akan mulai terlihat sebagai alternative sebuah jawaban.

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian adalah usaha dalam bidang ilmu pengetahuan yang secara

sadar diarahkan untuk mengetahui atau mempelajari fakta-fakta baru.55 Dalam

penelitian ini peneliti menggunakan metode kualitatif, menurut Strauss dan Corbin (1997) di dalam buku Metodologi Penelitian metode kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran). Penelitian kualitatif secara-cara umum dapat digunakan untuk penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah,

54 Margono, Metode Penelitian Pendididkan .h.1

55 Suparmoko, Metode Penelitian Praktis: Untuk Ilmu-ilmu sosial dan Ekonomi,


(61)

52

tingkah laku, fungsionalisasi, organisasi, aktivitas sosial, dan lain-lain.56

Menurut Bogdan dan Taylor (1992) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati.57

Penelitian ini termasuk dalam metode deskriptif dengan pendekatan survey. Metode deskriptif ialah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu tempat tertentu tentang suatu peristiwa yang terjadi pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta-fakta, sifat serta hubungan antara

fenomena yang diselidiki.58 Metode deskriptif dirancang untuk mengumpulkan

informasi tentang keadaan nyata sekarang (sementara berlangsung) dengan tujuan untuk menggambarkan keadaan yang berjalan saat penelitian dilakukan. Maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan model pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus di SMK Negeri 1 Sidoarjo.

56

V. Wiratna Sujarweni, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2014), h. 30

57Ibid., 19 58


(62)

53

B. Informan

Dalam penelitian kualitatif, hal yang menjadi bahan pertimbangan utama dalam pengumpulan data adalah pemilihan informan.59 Menurut Moleong

(2006:132), informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberi

informasi tentang suatu situasi dan kondisi latar penelitian. Seorang informan adalah sumber data yang dibutuhkan oleh penulis dalam sebuah penelitian.

Adapun informan dalam penelitian ini adalah:

1. Kepala SMK Negeri 1 Sidoarjo, sebagai pimpinan dan pengambil kebijakan

sekolah

2. Wakil kepala sekolah bidang kurikulum

3. Guru Pembimbing Khusus

4. Guru Mata Pelajaran

C. Objek Penelitian

Obyek penelitian dapat dinyatakan sebagai situasi sosial penelitian yang ingin diketahui apa yang terjadi di dalamnya. Pada obyek penelitian ini,

penelitidapat mengamati secara mendalam aktivitas (activity) orang-orang

(actors) yang ada pada tempat (place) tertentu.60

59

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek, Edisi V (Jakarta: Rineka Cipta,2002), h. 102

60 Sugiyono, Metodologi Penelitian kuantitatif, kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta,


(63)

54

Obyek dari penelitian ini adalah model pendidikan inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam hal ini anak Autis yang di tempatkan bersama anak normal di kelas regular di SMK Negeri 1 Sidoarjo.

D. Jenis Data

Dalam penelitian, data dikumpulkan terutama oleh penliti sendiri dengan memasuki lapangan. Peneliti menjadi instrumen utama yang terjun ke lokasi serta berusaha sendiri mngumpulkan informasi melalui observasi atau

wawancara.61

Dalam penelitian, peneliti memerlukan berbagai data. Sedangkan data tersebut terdiri dari: jenis data primer dan jenis data skunder.

Jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari jenis data primer dan jenis data skunder.

1. Jenis Data Primer

Jenis data primer adalah tempat atau gudang yang menyimpan data orisinil dan merupakan sumber-sumber dasar yang merupakan bukti atau

saksi mata.62 Data yang langsung dikumpulkan dari individu-individu yang

diselidiki juga termasuk data primer.63

Jenis data primer dari penelitian ini adalah model pendidikan inklusif di SMK Negeri 1 Sidoarjo.

61 Nasution, Penelitian Kuallitatif Naturalistik (Bandung: Rineka Cipta, 1996), h. 17 62 Moh. Nasir, Metode Penelitian, (Jakarta: Gholia Indonesia, 1988), h.10

63


(64)

55

2. Jenis Data Skunder

Jenis data skunder adalah catatan tentang adanya sesuatu yang

jaraknya lebih jauh dari data orisinil.64 Data yang ada dalam

pustaka-pustaka juga termasuk data skunder.65

Jenis data skunder ini bersumber dari data (non lisan) berupa catatan-catatan, rekaman, dokumen-dokumen, file dan arsip yang dapat digunakan sebagai data pelengkap.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data ialah cara-cara yang ditempuh peneliti untuk mendapatkan data-data dan fakta yang terjadi dan terdapat padaobjek dan subjek penelitian. Adapun metode yang digunakan penulis adalah sebagai berikut :

1 Observasi

Metode observasi adalah suatu cara untuk menghimpun bahanbahan keterangan (data) yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang sering

dijadikan sasaran pengamatan.66 Pengamatan tersebut bisa berkenaan

64

Moh, nasir.h.9

65 Margono, h.23

66 Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h.


(65)

56

dengan cara guru mengajar, peserta didik belajar, kepala sekolah sedang

memberikan pengarahan, dan lain sebaginya.67

Dalam penelitian ini, hal-hal yang akan diobservasi adalah model pendidikan inklusif yang diterapkan di SMK Negeri 1 Sidoarjo serta faktor pendukung dan faktor penghambatnya.

2 Wawancara

Wawancara sering disebut juga dengan interview, yaitu dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Interview yang digunakan dalam metode ini adalah interview terpimpin di mana pewawancara terlebih dahulu mempersiapkan kuesioner yang akan diajukan kepada informan (interview guide), tetapi penyampaian

pertanyaan bisa secara bebas.68

Metode ini digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan data mengenai pendidikan inklusif dari informan utama dan informan pendukung.

Dalam penelitian ini, hal-hal yang akan diwawancarakan meliputi: kepemimpinan kepala sekolah di sekolah inklusif, kurikulum sekolah, penetapan guru ajar di kelas, evaluasi hasil belajar peserta didik berkebutuhan khusus, dan administasi sekolah.

67 Nana Shaodih, Metode Penelitian, h. 220.

68 Dudung Abdurrahman, Pengantar Metode Penelitian (Yogyakarta: Galang Press, 2000), h.


(66)

57

3 Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis,

gambar, maupun elektronik.69

Dokumen-dokumen yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini antara lain: dokumen sekolah, dokumen peserta didik, ketatausahaan, data peserta didik berkebututhan khusus, data tenaga pendidik dan kependidikan, data Guru Pembimbing Khusus (GPK), dan data-data lain yang menunjang penelitian ini.

F. Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif data diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam dan dilakukan terus menerus sampai puncak masalah terpecahkan. Dengan pengamatan terus menerus tersebut mengakibatkan variasi data tinggi. Data yang diperoleh pada umumnya adalah data kualitatif.

Ditinjau dari segi kesulitan, analissis data dalam penelitian kualitatif relative lebih sulit dari penelitian kuantitatif, karena peneliti diharuskan memiliki daya fikir yang tinggi untuk mengkritisi segala yang terjadi, sehingga dari analisis yang dilakukan oleh peneliti menimbulkan berbagai alternatif jawaban untuk menjawab pertanyaan yang belum terjawab.

69


(67)

58

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakuakan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara , peneiti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai.

Aktivitas dalam analisis data yaitu, data reduction, data display, dan verification.

1. Data Reduction (Reduksi Data)

Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. semakin lama ke lapangan, maka jumlah data semakin banyak, kompleks dan rumit. Untuk itu perlu

segera dilakukan analisis data melalui reduksi data.70

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mepermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan.

Peneliti dalam tahap ini akan memilah dan akan memilih seluruh data yang diperoleh menjadi beberapa bagian yang memiliki kriteria-kriteria tersendiri. Dari pemilahan tersebut, maka peneliti akan melakukan sebuah proses untuk menyiapkan data sebagai bentuk penyajian.

70


(68)

59

2. Data Display ( Penyajian Data)

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Yang paling sering diguanakan untuk menyajikan

data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.71

Dengan menyajikan data, maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan selanjutnya berdasarkan apa yang telah difahami tersebut. Selain dengan teks naratif, juga dapat berupa grafik, matrik, jaringan kerja dan chart.

Segala data yang ada akan dipaparkan sebagai sebuah sajian yang bisa dicerna dan dipahami. Dari sajian tersebut peneliti akan lebih mudah mencari masalah yang dimungkinkan masih timbul. Dan dari segala kemungkinan permasalahan yang terjadi peneliti akan mencari sebuah alternative solusi dari dari semua data yang dimungkinkan dijadikan jawaban.

3. Verification

Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak dikemukakan bukti-bukti yang kuat yang mendudukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang

71


(1)

94

pintu masuk, yaitu melalui sekolah reguler yang terdekat dengan lingkungan anak. Pemerintah membuat kebijakan untuk mendekatkan anak dengan sekolah.³104

Kebijakan-kebijakan pemerintah, baik pemerintah pusat, propinsi maupun kabupaten kota sebagai payung kekuatan yang dapat dijadikan lanndasan bergerak bagi sekolah, guru dan staff dalam memperlancar dan memuluskan pengembangan pembelajaran model pendidikan inklusif melalui program pembelajaran yang diindividualisasikan.

Dalam pengembangan Penyelenggaraan pendidikan inklusif akan semakin baik dalam pelaksanaannya apabila sekolah mengembangkan kemitraan dengan lembaga-lembaga berkaitan yakni departemen-departemen terkait, misalnya dengan departemen kesehatan dalam pemeriksaan kesehatan fisik, depertemen sosial dalam bantu anasesibililitas, departemen perindustrian dalam mengembangkan sarana-prasarana, departemen hukum dan HAM dalam perlindungan hukum.

Selanjutnya menurut Dra. Suharsimi Ari Kunto, diterangkan bahwa yang termasuk prasarana pendidikan adalah bangunan sekolah dan alat perabot sekolah. Prasarana pendidikan ini juga berperan dalam proses mengajar walaupun secara tidak langsung.105

104

Wawancara dengan bapak Drs. H. Heru Mursanyoto, MM pada hari Rabu, 19 November jam 11.03

105 Drs. B. Suryobroto, Manajemen Pendidikan di Sekolah, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 114.


(2)

95

Disamping menggunakan sarana prasarana seperti halnya anak normal, anak berkebutuhan khusus perlu pula menggunakan sarana prasarana khusus sesuai dengan jenis kelainan dan kebutuhan anak.

Dari segi sarana dan prasarana di SMK Negeri 1 Sidoarjo sudah mengupayakan memenuhi kebutuhan anak berkebutuhan khusus, dengan dibuatkannya ruangan khusus yang didalamnya disediakan fasilitas untuk anak berkebutuhan khusus seperti computer, alat music, tempat tidur dan lainnya.

Salah satu faktor penghambat yang besar pengaruhnyaadalah kelainan dan perbedaan kelainan yang dimiliki oleh masing ± masing Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), karena setiap kelainan yang berbeda, maka akan berbeda pula cara pengajarannya meskipunmaterinya sama.

Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Arifah Spd. Selaku guru pembimbing khusus.:

³3HUEHGDDQ VLVZD EHUNHEXWXKDQ NKXVXV \DQJ EHUEHGD

maka akan membutuhkan penanganan yang berbeda, karena disini hanya ada dua guru pembimbing khusus, sedang siswa berkebutuhan khusus ada lima belas siswa. Kemudian itu mas komunikasi, ketika guru menerangkan siswa berkebutuhan khusus seperti huda mas ya yang anak autis, ia sulit menerima, disini peran kami namun jika tidak ada komunikasi guru terhadap kami maka ini akan menghambat, karena kita setiap


(3)

96

harinya tidak hanya di satu kelas melainkan kami juga mendampingi siswa lainnya.106

Dari ungkapan diatas menunjukkan bahwasannya manejerial khusu untuk anak berkebutuhan khusus sangat penting dengan memaksimalkan fasilitas termasuk guru pembimbing khusus yang jumlahnya sebaiknya ditambah sehingga mampu mengontrol anak berkebutuhan khusus dengan baik.

Komunikasi juga menjadi faktor penghambat pembelajaran karena ketika menjelaskan, guru dituntut untuk memberikan kepahaman pada semua siswa, sedangkan diantara mereka ada yang mengalami kelainan sehingga guru kesulitan dalam menyampaikan materi.

Disamping menjadi faktor pendukung, keluarga, sekolah, dan masyarakat juga menjadi faktor penghambat, meskipun itu sangat minim sekali. Hal ini dikarenakan masih adanya sebagian kecil dari pihak orang tua yang masih keberatan ketika anaknya belajar bersama ± sama Anak Berkebutuhan Khusus dan juga masih ada sebagian kecil masyarakat yang kurang mendukung pendidikan inklusif.

106


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009)

$OODPDK .DPDO )DTLK ,PDQL 7DIVLU QXUXO 4XU¶DQ -LOG 7HUM 5XGL 0XO\RQR

Jakarta: Penerbit Al-huda. 2006.

Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat, (Yogyakarta: Katahati, 2010)

B. Suryobroto, Manajemen Pendidikan di Sekolah, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004)

Bandi Delphie, Pembelajaran Anak berkebutuhan Khusus Suatu Pengantar Dalam Pendidikan Inklusi (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006)

Bandi Deplhie, MA., Bimbingan Konseling Untuk Perilaku Non Adaptif, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005)

Budiyanto, Pengantar Pendidikan Inklusif,( DEPDIKNAS,2005)

Departemen Agama, Al-4XU¶DQGDQ7HUMHPDKDQQ\D, ( Bandung: Diponegoro, 2012)

Departemen Pendidikan Nsional , Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi, 2007.

Direktorat Pembinaan sekolah Luar Biasa, Model Media Pendidikan Inklusif, 2007.

Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Mengenal Pendidikan Terpadu, Buku 1,

(Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta, 2004)

Direktorat PLB, Pedoman penyelenggaraan pendidikan inklusi : mengenal pendidikan terpadu, ( Jakarta;Depdiknas, 2004.

Dudung Abdurrahman, Pengantar Metode Penelitian. Yogyakarta: Galang Press, 2000.

Gaston Mialaret, Hak Anak-anak untuk Memperoleh Pendidikan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993)


(5)

Hadari Nawawi, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996)

Hasan Aedy, Karya Agung Sang Guru Sejati, (Bandung: Alfa Beta, 2009)

Heward & Orlansky, Exceptional children: An Introductory Survey of Special Education (3rd ed.) Columbus: Merrill Publishing. 1992)

IG.A.K. Wardani, Pengantar pendidikan luar biasa, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010)

J. David Smith, Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua. Terj. Baihaqi, (Bandung: Penerbit Nuansa)

Joko Yuwono, Memahami Anak Autistik, (Bandung:Alfabeta, 2009)

Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan,( Jakarta: Rineka Cipta,1997)

Mohammad Efendi, Pengantar Psiko pedagogik Anak Berkelainan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006)

Mohammad Takdir Ilahi., Pendidikan Inklusif konsep dan aplikasi, PT ARuzz Media, Jogjakarta, 2013.

Nasution, Penelitian Kuallitatif Naturalistik (Bandung: Rineka Cipta, 1996)

Reni akbar-Hawadi, Psikologi Perkembangan Anak: Mengenal sifat, Bakat, dan Kemampuan Anak, (Jakarta: PT Grasindo, 2001)

Rini Hildayani, Penanganan Anak Berkelainan (Anak Dengan Kebutuhan Khusus), (Jakarta: Universitas Terbuka)

Satmoko Budi Santosos, Sekolah Alternatif, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006)

Solicha dan Agustyawati, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009)

Sue Stubbs, Pendidikan Inklusif Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber, (Bandung: UPI Jurusan Pendidikan Luar Biasa, 2002)

Sugiyono, Metodologi Penelitian kuantitatif, kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2006)


(6)

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek, Edisi V (Jakarta: Rineka Cipta,2002)

Suparmoko, Metode Penelitian Praktis: Untuk Ilmu-ilmu sosial dan Ekonomi, (Yogjyakarta: BPFE, 1996)

Undang-undang SISDIKNAS (Sistem Penddikan Nasional) Nomor 20 Tahun 2003 disertai penjelasan, V. Wiratna Sujarweni, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2014)

(http://bamperxii.blogspot.com/2008/12/pendidikaniklusif. html, diunduh pada sabtu,16 november 2014, 16.22 WIB)